HAK INGKAR NOTARIS


HAK INGKAR NOTARIS DIGUGAT MELALUI MK


          Pada tanggal 5 Juli yang lalu, Mahkamah Konstitusi menggelar sidang permohonan Pemohon Kent Kamal terhadap Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Persidangan itu membahas khususnya pada ketentuan Pasal 66 ayat 1 yang dinyatakan bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 28 D ayat 2 dari UUD 1945.
Pasal 66 ayat 1 dari UUJN adalah pasal yang mengatur  tentang pengambilan minuta akta dan pemanggilan Notaris, yang mana menurut ketentuannya menyebutkan bahwa pada pasal tersebut  untuk kepentingan proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang mengambil fotocopy minuta akta dan atau surat-surat  yang dilekatkan pada minuta akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan oleh Notaris. Disamping itu juga untuk memaggil Notaris  hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
Ketentuan Pasal 66 ayat 1 ini adalah aturan main dalam rangka proses pemeriksaan Notaris sebagai terperiksa baik sebagai saksi maupun ditetapkan sebagai tersangka  menyangkut dalam jabatannya. Namun dalam kenyataan, UUJN meminta dalam rangka proses pemeriksaan seorang Notaris harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) yang mana masing-masing daerah memiliki dengan keanggotaan terdiri dari 9 orang  berasal dari unsur Pemerintah, Akademisi dan Notaris. Keberadaan MPD adalah sesuatu yang sangat dihormati karena dibentuknya MPD bagian kontrol terhadap jabatan Notaris selaku pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta otentik dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Prodak yang dihasilkan Notaris berupa akta otentik yang diidentikkan sebagai alat bukti yang sempurna dibandingkan pada ala-alat bukti lain, karena dibuat dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu.  
Keberadaan Pasal 66 ayat 1 dapat salah artikan sebagai bentuk hak ingkar Notaris. Namun penulis tidak mengidentikan keberadaan Pasal 66 ayat 1 itu sebagai bentuk hak ingkar Notaris. Karena ini merupakan bagian pengawasan yang diberikan oleh UU terhadap jabatan Notaris. Dibentuknya MPD disetiap daerah tidak lain menggantikan fungsi Pengadilan yang pada saat itu melaksanakan pengawasan terhadap jabatan Notaris.  Yang mana setiap pemanggilan Notaris sebagai terperiksa baik untuk kepentingan penyidikan oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan, harus melalui tata cara yang ditetapkan. Yang mana sebelumnya  harus melalui proses penetapan Pengadilan Negeri setempat setiap pemanggilan Notaris.
Ketentuan pengawasan Notaris dalam menjalankan jabatan yang sebelumnya berada pada Pengadilan Negeri, sekarang berada pada Menteri Hukum Dan HAM RI dengan dibentuknya MPD, tidak lain karena ketentuan Pasal 54  UU Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum telah dicabut dengan ketentuan Pasal 91 UUJN. Walaupun pada  ketentuan mukadimah UUJN dan penjelasan tidak menjelaskan secara jelas.
Pengawasan Notaris di bawah Pengadilan Negeri, maupun pada saat pengawasan  digantikan pada lembaga MPD,  menyebutkan bahwa fungsi pengawasan Notaris  tidak lain agar para Notaris dalam menjalankan Jabatannya  telah memenuhi semua persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan jabatan gunanya untuk pengamanan kepentingan masyarakat. Karena Notaris diangkat oleh Pemerintah,  bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri, melainkan untuk kepentingan masyarakat yang dilayani oleh Notaris. Disamping itu juga, pengawasan terhadap Notaris gunanya  untuk melayani kepentingan  masyarakat yang membutuhkan alat bukti berupa akta otentik  sesuai permintaan kepada Notaris yang bersangkutan. Karena itu ketentuan Pasal 66 ayat 1 UUJN tidak diartikan hak ingkar Notaris sebagaimana yang dibahasakan.
Ketentuan Pasal 66 ayat 1 tidak lain untuk menempatkan posisi Notaris sebagai Pajabat umum dalam menjalankan jabatannya tetap terlindungi, dengan ketentuan tata cara pemanggilan terhadap yang bersangkutan harus diatur secara jelas, untuk menghindari segala ketentuan yang berlaku. Karena Notaris selalu terikat pada kerahasian yang selalu dijaga. Disamping itu juga untuk melindungi Protokol Notaris yang didalamnye memuat surat-surat yang dilekatkankan pada minuta (asli) akta dan Notaris diwajibkan untuk selalu menjaga dengan sebaik-baiknya, karena nantinya dinyatakan sebagai arsip Negara.



HAK INGKAR

Apa yang dipermasalahkan oleh Pemohon melalui gugatan pada Mahkamah Konstitusi  terhadap Pasal 66 ayat 1  UUJN  telah melanggar ketentuan Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 28 ayat 2  UUD 1945 adalah sesuatu yang sangat berlebihan. Karena yang bersangkutan berpikiran, bahwa ketentuan Pasal 66 ayat 1 adalah pasal yang bisa menghambat sebuah proses hukum karena Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak dapat diperiksa oleh aparat penegak hukum kecuali telah mendapatkan izin dari lembaga pengawas.
Namun Pemerintah dalam  opening statement di hadapan pleno hakim yang diketua Wakil Ketua MK, Achmad Sodiki,  terkait kedudukan hukum Pemohon, dimana Pemerintah mempertanyakan kepentingan Para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangannya dirugikan dengan ketentuan Pasal 66 ayat (1) UUJN. Menurut Pemerintah, apa yang tercantum pada UUJN telah memberikan perlindungan yang seimbang antara upaya menjaga kerahasiaan akta otentik yang merupakan arsip negara dan upaya  penegakan hukum melalui proses peradilan yang berlaku kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali, sehingga  tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan hal tersebut Pemerintah berpendapat, Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum.
Sebagai Negara menganut prinsip Negara hukum, yang mana Negara menjamin adanya kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum, dimana Negara menjamin adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Untuk menjamin adanya kepastian hukum gunanya memberikan perlindungan hukum,  salah satunya dengan alat bukti yang terkuat dan terpenuh, dan mempunyai peranan penting berupa “akta otentik”.
Bahwa UUJN selalu menyatakan Notaris sebagai pejabat umum berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh perauran perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, dengan menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang permbuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang yang ditetapkan oleh undang-undang.
Karena itu, keberadaan MPD sebagai lembaga pengawas sebagaimana dimaksud  Pasal 66 ayat 1 UUJN  untuk menjaga keseimbangan dan kewajiban, dimana hak ingkar yang dimiliki oleh Notaris dan proses penegakan hukum merupakan bagian untuk melindungi kerahasian. Hal demikian dibutuhkan untuk memberikan perlindungan hukum. Apa yang dijaminkan oleh UUJN terhadap Notaris dalam menjalankan jabatannya selama ini  untuk  tidak disalah artikan, bahwa hak ingkar, bukan dalam arti Notaris tidak dapat diperiksa untuk kepentingan penyidikan, atau tidak dapat persalahkan. 
Segala sesuatu yang menjadi kewenangan Notaris untuk merahasiakan telah diatur pada ketentuan Pasal 1909 ayat 3 KUH Perdata, dimana disebutkan  segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaan atau jabatannya menurut undang-undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayahkan kepadanya sebagai demikian. Untuk itu, apa yang dipermasalahakan oleh Pemohon pada gugatan ke MK mengenai Pasal 66 ayat 1,  suatu pasal yang dapat menghambat proses hokum , sebagaimana yang didalilkan akibat dari ketidak pahaman yang bersangkutan mengenai jabatan Notaris.  
Jika melihat sejarahnya baik sebelum diberlakukannya UUJN dan ketentuan Pasal 54 UU Nomor 8 Tahun 2004 kemudian dicabut dengan Pasal 91 UUJN. Proses pengawasan Notaris telah diatur menurut ketentuan Reglement op Het Notais Amb in Indonesie (Stb. 1860:3) tentang Peraturan Jabatan Notaris, khususnya pada Pasal 50.  Kemudian terlihat pada  ketentuan Pasal 140 Reglement op Rechtelijke  Organisatie en Het Der justitie (stbl.1847 No. 23),  maupun pada Pasal 96 Reglement Buitengewesten, Pasal  3 Ordonantie Buitengerectelijke Verrichtingen, Lembaran Negara 1946 Nomor 135. Begitu juga pada ketentuan Pasal 32 dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965  tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, dimana pengawasan Notaris dilakukan oleh peradilan umum dan Mahkamah Agung. Disamping itu juga melalui Surat Edaran Mahkamah Agung RI  Nomor 2 Tahun 1984 tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap Notaris, juga pada Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Nomor  KMA/006/SKB/VII/1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris.
Dengan diberlakukannya UUJN, proses pengawasan Notaris, sebelumnya berada pada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri setempat, kemudian dialihkan pada Menteri Hukum Dan HAM RI melalui Majelis Pengawasa Daerah (MPD), dengan tata caranya terlihat pada saat Kepolisian RI sebagai penyidik bersama dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI),  pada tahun 2006 telah membuat Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia bersama Ikatan Notaris Indonesia (INI)  No. Pol : B/1056/V/2006 dan Nomor : 01/MOU/PP-INI-/V/2006 tentang Pembinaan Peningkatan Profesionalisme Dibidang Penegakan Hukum, tertanggal 9 Mai 2006. Salah satu kesepakatan tersebut terlampir pada ketentuan Pasal 1 ayat 2 menyebutkan  tindakan-tindakan hukum yang dilakukan Penyelidik sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1  berupa pemanggilan, pemeriksaan, penyitaan dan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab sesuai pada Pasal 7 ayat 1 huruf j KUHAP, dapat juga dilakukan kepada Notaris-PPAT baik selaku saksi maupun tersangka, terutama dalam kaitan suatu tindakan pidana dalam pembuatan akta Notaris-PPAT sesuai dengan ketentuan Pasal 66 UUJN. Kemudian pada Pasal 2 ayat 2 menyebutkan juga “Pemanggilan Notaris-PPAT dilakukan setelah penyidik memperoleh persetujuan dari Majelis Pengawas  yang merupakan suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan kewenangan.
Dari ketentuan tersebut, menjadi jelas, bahwa Pasal 66 ayat 1 UUJN, adalah bagian dari proses pengawasan Notaris sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta otentik, gunaya untuk menjaga kerahasian, baik terhadap data-data yang ada, sebagai bagian dalam rangka proses  penegakan hukum. Bukan menempatakan pasal tersebut sebagai hak ingkar untuk menghindari dari dan segala tanggung jawab.



BAMBANG SYAMSUZAR OYONG, SH., MH
Notaris-PPAT Kota Banjarmasin


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS