TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS




TATA KELOLA YAYASAN
SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS










Oleh :



Dr. Bambang Syamsuzar Oyong, SH.MH

















Untuk dimuat Untuk Jurnal
 Lambung Mangkurat Law Joumal (LamlaJ)




Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin





BAB I
P E N D A H U L U A N

1.      Latar Belakang Masalah
Pertanyaan yang sangat mendasar mengenai kontribusi perangkat perundang-undangan dalam perekayasaan mencapai masyarakat adil dan makmur, menjadi sangat relevan untuk dikemukakan manakala melihat hukum dan perundang-undangan “etalase” dan tidak juga sebagai norma yang berada diruang kosong; tapi melihat hukum itu sebagai sesuatu yang selalu ada dan berinteraksi ditengah dinamika kehidupan masyarakat. Tunggakan sejarah yang belum lunas dibayar oleh bangsa Indonesia hingga saat ini, adalah penggantian undang-undang yang beretos kolonial feodalistis dengan perundang-undangan yang beretos egaliter demokratis sesuai dengan status bangsa yang merdeka dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.[1] Untuk itu, berbicara mengenai peranan hukum dalam pembangunan ekonomi dan modernisasi masih saja terus diperdebatkan, khususnya peranan hukum di dalam kehidupan masyarakat. Hukum merupakan tatanan dan aturan yang menjadi pegangan oleh manusia. Tidak semua aturan adalah hukum, tapi semua hukum adalah aturan yang ada.[2]
Pasal 1 angka 1 UU Yayasan menyebutkan bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Definisi yayasan tersebut terdapat empat karakteristik yang membedakan yayasan dengan badan hukum lainnya berupa :[3]
a.       Yayasan sebagai badan hukum.
b.      Mempunyai harta kekayaan tersendiri yang berasal dari pendiri untuk mencapai tujuan yayasan.
c.       Tujuan yayasan dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
d.      Tidak mempunyai anggota.
Penegasan mengenai definisi yayasan yang dipersamakan dengan Foundation bisa disimak menurut pendapat Bruce R. Hopkins, Jody Blazek[4] dalam sebuah pertanyaan yang sangat sederhana What is Private Foundation ? Foundation is there is no affirmative definition of the term private foundation. The statutory definition basically the a private foundation is a charitable organization this is not a public cahrity. Genercally,  a private foundation has four charcteristics :
a.      It is a charitable organization;
b.      It is initially foundation a from one source (usually an individual, a married cauple, a family, on a business);
c.       Its on going income derives from investment (in the nature of an endowment fund);
d.      It make grants to other charitable organization rather than operate its own program.
Pendapat Bruce R. Hopkins, Jody Blazek tersebut memiliki persamaan menurut Herline Budiono dengan yayasan sebagai badan hukum, yaitu dipisahkan suatu harta kekayaan pribadi seseorang yang dipergunakan untuk sesuatu tujuan idiil dan pengurusnya diserahkan kepada suatu badan pengurus untuk dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab.[5]
 Perbuatan hukum memisahkan sebagian harta kekayaan tersebut menurut Yohanes Sogar Simamora[6] mengadung makna adanya kesukarelaan dari para pendiri untuk melepaskan suatu kekayaan tersebut. Memisahkan sebagian harta kekayaan, maka para pendiri maupun ahli warisnya tidak lagi berhak atas harta kekayaan yang dipisahkan, sebagaimana yang disyaratkan untuk menjadikan yayasan sebagai badan hukum. Harta kekayaan yang dipisahkan tersebut dapat berbentuk uang atau barang, disamping harta kekayaan yayasan yang diperoleh dari sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, yang berasal dari wakaf, hibah, hibah wasiat dan segala perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, tidak ada orang atau badan  yang mengklaim status pemilik atas suatu yayasan yang didirikan.
Konflik di tubuh yayasan selalu dilatar belakangi oleh permasalahan-permasalahan di bidang kepentingan dari organ yayasan, baik pendiri, pembina, pengurus dan pengawas. Di samping adanya konflik menyangkut kepentingan atas harta kekayaan yayasan,  maka penerapan dan pelaksanaan prinsip tata kelola yang baik, menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan segala permasalahan yang timbul di yayasan, gunanya untuk memastikan bahwa organ yayasan dalam menjalankan tugasnya semata-mata untuk mencapai tujuan yayasan, dan bukan pada tujuan lainnya. Selain itu penerapan prinsip tersebut bisa memberikan kepastian bahwa organ yayasan tidak melakukan pelanggaran hukum atau lalai dalam menjalankan jabatannya.

2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik legal issues  sebagai permasalahan pada penelitian ini adalah :
a.    Prinsip idiil pendirian yayasan yang berbadan hukum.
b.   Prinsip tata kelola yang baik pada yayasan.
c.    Prinsip tata kelola badan usaha yayasan yang tidak bertentangan dengan prinsip idiil yayasan.

3.      Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pokok permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:
a.       Untuk menganalisis dan menemukan hakikat konsep idiil yayasan sebagaimana yang dimaksud pada pendirian yayasan. Konsep idiil ini tergambarkan pada asas-asas dan prinsip-prinsip. Bahwa yayasan sebagai badan hukum  memiliki karakter dan konsep pendirian dan tujuan  bukan bermotif mencari keuntungan.
b.      Untuk menemukan konsep tata kelola yayasan yang baik, dengan menjalankan prinsip-prinsip transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), resposibilitas (responsibility), idependensi (Independency),  dan  kesetaraan (fairness)  pada yayasan.
c.       Menganalisis dan menemukan konsep dan model pengawasan yayasan secara internal dan eksternal dan juga menemukan konsep dan model penyelesaian sengketa yayasan dengan cara penyelesaian non litigasi dengan menekankan prinsip penyelesaian secara Alternative Despute Resulutian (ADR) yaitu penyelesaian konflik melalui musyawarah mufakat dengan menghormati hak dan kepentingan pada pihak yang bersengketa, baik terhadap pendirian yayasan maupun pendirian badan usaha yayasan.

4.      Kerangka Teoritik
Dimulai dari suatu gagasan menggunakan hukum sebagai sarana pembaruan dimasyarakat yang dilontarkan untuk pertama kali dalam khazanah hukum Indonesia oleh Mochtar Kusumaatmadja diawal tahun 1970 [7] sebagaimana pengembangan dari pandangan Roscoe Pound, law as tool for social engineering. Ada dua hal yang harus menjadi perhatian. Pertama adalah pengertian law dalam pandangan Pound tidak serta-merta sama dan sebangun dengan gagasan hukum dalam konteks Indonesia. Pada pemikiran Roscoe Pound yang tumbuh dalam tradisi sistem hukum Anglo-Saxon, dapat diduga bahwa law yang dimaksud adalah hukum yang bersumber pada putusan-putusan US Supreme Court (case law). Kedua, pengertian social engineering, perekayasaan masyarakat. Pound, sendiri mengungkapkan bahwa law tidak niscaya harus mencerminkan nilai-nilai dan keyakinan yang hidup dalam masyarakat, tetapi harus mampu mengarahkan dinamika bahkan mengubah tata nilai masyarakat yang berlaku pada saat tertentu.[8] Ketentuan itu membuat Pound meninggalkan jauh pandangan Savigny yang menyatakan bahwa hukum adalah cerminan atau pengejewantahan jiwa bangsa (volkgeist), dalam  pandangan dari Brian Z.Tamanaha :[9]
“Positive law need not necessarily mirror the society’s custom or moral values; it need not even be derived from that society (...) Legal positivism contains the seed of subversin of the mirror thesis it within it precisely because it holds that, at root, positive law is indeed a system of power”.
Konsep law sebagaimana menurut Mochtar, merupakan sarana yang dimiliki negara untuk mencampuri, mengarahkan dan merekayasa sebagai pemegang kedaulatan.

a.       Teori Hukum Merekayasa Masyarakat (Social Engineering)
            Hukum dan masyarakat tidak dapat dipisahkan sebagaimana adanya, dan selalu diartikan bahwa hukum dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong perubahan pada masyarakat. Teori fungsi hukum dalam masyarakat yang sudah maju, dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi pertama di mana kemajuan masyarakat dalam berbagai bidang membutuhkan  aturan hukum untuk mengaturnya. Sehingga hukumpun turut ditarik oleh perkembangan masyarakat tersebut. Sedangkan pada sisi yang kedua, hukum dapat mengembangkan masyarakat atau mengarahkan perkembangan masyarakat tersebut.[10]
b.      Teori Badan Hukum
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan pada tanggal 6 Agustus 2001, melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001, Nomor 112 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132, selanjutnya disebut UU Yayasan. Sebagai pijakan besar mengenai perkembangan hukum di bidang Yayasan. UU Yayasan memposisikan sebagai aturan yang mengatur secara khusus ketentuan badan hukum yayasan. Ini terlihat pada konsideran menimbang pada huruf c menyebutkan, bahwa dengan adanya UU Yayasan memberi jaminan kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat.
Teori-teori badan hukum yang ada, sebenarnya dapat dihimpun pada 2 (dua) golongan  atau pandangan yaitu :[11]
1.      Badan hukum itu sebagai wujud yang nyata,  yang selalu diidentikan dengan manusia.
2.      Badan hukum itu tidak sebagai wujud  yang nyata, tetapi badan hukum hanya merupakan manusia yang berdiri dibelakang badan hukum tersebut, artinya jika badan hukum tersebut melakukan kesalahan, hak itu hanyalah kesalahan manusia-manusia yang berdiri dibelakang badan hukum tersebut secara bersama-sama.

c.        Teori Governance
            Di dalam perjalanan dan perkembangan teori, yang didefinisikan sebagai suatu penjelasan umum (general explanation) sebagaimana yang diungkapkan oleh Akhmad Syakhroza [12] dari suatu fenomena governance. Bahwa aplikasi dan kebutuhan terhadap governance lebih dibutuhkan oleh sektor usaha swasta (korporasi), maka perkembangannya mengikuti dinamika dunia usaha.
            Sejak dimulainya perdebatan yang mengarah pada pentingnya governance dalam era korporasi yang modern. Perkembangan teori governance sangat berpengaruh dalam munculnya beberapa model yang dapat di adopsi oleh berbagai perusahaan. Dengan demikian, pembahasan di dalam teori governance tepat dilakukan dengan memperhatikan berbagai “perspektif”, agar  model yang dihasilkan dapat bersifat lebih aplikatif.
            Secara umum, perspektif di dalam memahami corporate governance dapat dikategorikan menjadi dua paradigma yang memiliki perbedaan secara prinsipal, pertama dilihat dari prespektif pemegang saham (shareholding) sedangkan yang kedua prespektif dari pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholding).[13] Perbedaan paradigma ini pada dasarnya berhubungan dengan pemahaman konsepsional mengenai tujuan didirikannya suatu korporasi serta struktur korporasi yang pada akhirnya mempengaruhi berbagai perangkat governance yang dibutuhkan.



d.       Sistem Governance
            Sudah menjadi rahasia umum bahwa konsep corporate governance dan berbagai aturan pada dasarnya hasil adopsi dari negara-negara barat, antara sistem Anglo Saxon dengan Continental European[14]. Lebih lanjut jika dihubungkan dengan sistem yang akan digunakan di dalam menjalankan konsep corporate governance. Sistem governance dapat diklasifikasikan menjadi sistem yang berdasarkan pada dominasi pasar (market dominated) dan sistem yang berdasarkan dominasi bank (bank dominated).
            Sistem yang bercirikan dominasi pasar biasanya ditemukan pada negara-negara yang mengadopsi model Anglo Saxon dan di dalam sistem ini pasar modal memegang peranan penting dalam perekonomiannya. Pada negara yang menganut sistem ini mekanisme pengendalian oleh kekuatan pasar bertindak sebagai pusat dari sistem pengendalian atau adanya kontrol terhadap korporasi yang mereka anut. Kontrol tersebut dapat berasal dari internal dan eksternal. Sementara untuk negara-negarar yang menganut model kontinental Eropa secara umum dikategorikan sebagai penganut sistem governance yang didominasi perbankan. Pada sistem ini, tidak menyandarkan pada mekanisme pasar sebagai alat kontrol dalam mekanisme pengendalian. Sebab peran pemerintah dalam memberikan arahan dan kontrol sangat dominan. Hubungan yang kuat antara pemerintah dan pelaku industri adalah untuk bertujuan jangka panjang dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang ada.

E.        Konsep Keseimbangan Yayasan
UU Yayasan sebagaimana diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2001,  kemudian dirubah melalui UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 Tentang Yayasan, Lembaran Negara Republik Idonesia Tahun 2004 Nomor 115. UU Yayasan sendiri telah melahirkan beberapa peraturan pemerintah yaitu  Peraturan Pemerintah Nomot 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan, dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4894, dan   Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan.
Penempatan prinsip-prinsip tata kelola yayasan yang baik sebagaimana pada prinsip Good Corporate Governance, menjadi hal yang sangat prinsip diterapkan.  Prinsip-prinisp itu dikenal sebagai prinsip utama pada tata kelola yang baik pada badan hukum dan badan usaha dengan beberapa ketentuan dari adanya beberapa prinsip[15]. Dimulai dari prinsip transparansi (Transparency) yaitu nilai yang memuat dan menjaga obyektifitas dalam menjalankan perusahaan atau korporasi harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif unuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditor dan pemangku kepentingan lainnya. Akuntabilitas (Accountability) yaitu perusahaan sebagai badan hukum harus mempertanggung jawab kinerja secara transparan dan wajar. Oleh karena itu, perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Akuntabilitas dapat juga sebagai persyaratan yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Responsibilitas (Responsibility) diartikan bahwa perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara dan kesinambungan usaha dalam jangka panjang. Independensi (Independency) diartikan bahwa perusahaan harus dapat dikelola secara independen, sehingga masing-masing organ pada perusahaan tersebut tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi dari pihak lainnya. Sedangkan kesetaraan atau kewajaran (Fairness), bahwa perusahaan sebagai korporate dalam melaksanakan kegiatannya, maka perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
Secara definitif penerapan Good Corporate Governance untuk selanjutnya  merupakan suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptkan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Penerapan prinsip Good Corporate Governance di Indonesia dapat diartikan sebagai konsep pengelolaan perusahaan yang baik. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini. Pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar atau akurat. Kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclousure) secara akurat, tepat waktu dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder.[16]
Penerapan prinsip Good Corporate Governance  dalam dunia usaha saat ini merupakan suatu tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut dapat tetap eksis dalam persaingan global, yang memiliki tujuan strategis berupa :
1.      Untuk dapat mengembangan dan meningkatkan nilai perusahaan;
2.      Untuk dapat mengelola sumber daya dan resiko lebih efektif dan efisien;
3.      Untuk dapat meningkatkan disiplin dan tanggung jawab dari organ perusahaan demi menjaga kepentingan para stakeholder perusahaan.
4.      Meningkatkan kontribusi perusahaan khususnya perusahaan-perusahaan terhadap perekonomian nasional;
5.      Meningkatkan investasi; dan
6.      Mensukseskan program privatisasi perusahaan-perusahaan pemerintah.
 Dari berbagai ketentuan tersebut, walaupun adanya penekanan, penerapan Good Corporate Governance hanya diperuntukan pada perusahaan profit oriented, menjadi lain jika diterapkan prinsip tersebut pada yayasan sebagai lembaga yang berbadan hukum.
 Penempatan prinsip-prinsip tersebut, merupakan suatu mekanisme pengaturan tentang tata cara pengelolaan perusahaan atau badan berdasarkan rules yang benar, dengan menjalankan fungsi-fungsi anggaran dasar (articles of association) pada badan hukum tersebut, serta aturan-aturan pada undang-undang maupun pada aturan peralihannya. Memberikan hubungan keseimbangan  mengenai organ-organ yang ada pada yayasan, baik pembina, pengurus dan pengawas. Pada prinsipnya, pemakaian istilah Good Corporate Governance yaitu penerapan prinsip manajemen badan atau perusahaan untuk mengelola perusahaan atau badan secara baik, benar dan penuh integritas.[17]

5.    Metode Penelitian
5.1             Type Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif lazim dilakukan dalam kegiatan pengembangan Ilmu Hukum, yang mencakup kegiatan menginventarisasi, memaparkan dan menginterprestasi, mensistematisasi dan juga mengevaluasi keseluruhan hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat dan negara tertentu, dengan konsep-konsep, pengertian-pengertian, teori-teori, klasifikasi-klasifikasi yang dibentuk dan dikembangkan khusus untuk melakukan semua kegiatan tersebut.
Masalah inti dari dalam Ilmu Hukum adalah menentukan apa yang menjadi hukumnya bagi situasi konkret, maka diperlukan proses penalaran hukum (legal reasoning), yaitu metode berpikir yuridis untuk mengindentifikasi, berdasarkan tatanan hukum yang berlaku.[18] Semakin menjadi benar sebagaimana yang disampaikan oleh Peter Mahmud Marzuki berdasarkan keilmuan ilmu hukum tersebut menguktip dari pendapat Jan Gijssels dan Mark van Hoecke,  membagi ilmu hukum menjadi tiga lapisan yaitu, rechtsdogmatiek (Dokmatig Hukum), rechtteorie (Teori Hukum) dan rechtsfilosie (filsafat Hukum). Pada kenyataannya, bahwa ilmu hukum mempunyai dua aspek yaitu aspek praktis dan aspek teoritis. Mengingat hal tersebut, dalam penelitian ilmu hukum dibedakan menjadi penelitian untuk keperluan praktis dan penelitian untuk kajian akademis. Penelitian untuk tujuan praktis  dilakukan bagi kepentingan klien dan sesama praktisi hukum. Sedangkan untuk kajian akademis, penelitian dilakukan bagi dunia akademis dan pembuat undang-undang. Hasil dari penelitian untuk keperluan aspek praktis berupa adanya pendapat hukum. Sedangkan hasil penelitian untuk kajian akademis berupa karya akademis baik dalam bentuk tesis, disertasi, artikel dan jurnal hukum dan naskah akademis dalam proses penyusunan rancangan undang-undang.[19] Maka hasil akhir dari penelitan tersebut dapat menjawab makna apakah dapat ditemukannya teori hukum baru, atau menemukan konsep baru terhadap hal-hal yang dipandang telah mapan dalam ilmu hukum.
5.2    Pendekatan Masalah
          Untuk memperoleh kebenaran ilmiah atas jawaban isu hukum yang dikaji, maka dalam penelitian hukum ini memadukan beberapa pendekatan (Approach) yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach),  pendekatan Konseptual (conceptual approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan kasus (case approach).
a.        Pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan ini menganalisa semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini dalam lingkup prinsip tata kelola yayasan yang baik, yaitu diawali dari suatu konstitusi dan aspek-aspek hukum serta konsep-konsep hukum terhadap undang-undang serta  ikutannya, baik dalam bentuk Undang-Undang maupun Peraturan Pelaksanaanya.
b.        Pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan ini berawal dari adanya pemikiran-pemikiran dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Keberadaan pendekatan ini akan digunakan sebagai usaha dan keinginan untuk menemukan ide atau gagasan yang akan menghasilkan sebuah konsep dan argumentasi hukum yang berkaitan dengan yayasan sebagai badan hukum dalam penerapan prinsip tata kelola yang baik dengan istilah Good Corporate Covernance (GCG) dengan memuat prinsip Transparency (Transparansi), Accountability (Akuntabilitas), Responsibility (Responsibilitas), Independency (Independensi) dan Fairness (Kewajaran dan Kesetaraan), apakah hal ini cukup ideal diterapkan pada yayasan ? Penerapan prinsip tata kelola yang baik ini, sangat dimungkinkan adanya proses pengawasan pada lembaga yayasan sebagai badan hukum. Lembaga pengawasan dalam kedudukannya menempatkan sebagai pihak pengendali dari keberadaan yayasan. Lembaga pengawasan ini bentuk dari hadirnya negara atau pemerintah menempatkan keistimewaan yayasan ini sebagai organisasi nirlaba dengan penekanan nilai-nilai sosial, keagamaan dan kemanusiaan sebagai penempatan prinsip idiil pendirian yayasan. Oleh karena itu, yayasan sebagaimana yang dimaksud  yang membedakan yayasan dengan badan hukum lainnya. Lembaga pengawasan untuk yayasan ini, digunakan untuk menghindari penempatan yayasan sebagai wadah yang tidak berjalan pada tatanan prinsip idiil. Hal ini sangat mungkin terjadi disaat yayasan dalam keberadaannya, sebagaimana dimaksud  Pasal 26 ayat 2 UU Yayasan, kekayaan yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang sebagai dasar pendirian yayasan. Kekayaan yayasan juga diperoeh dari sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat. Bantuan tersebut bisa perorangan atau melalui badan privat atau badan publik. Kekayaan yayasan juga berasal dari harta wakaf yang digunakan untuk kepentingan keagamaan dan sosial. Kekayaan yayasan juga diperoleh dari harta yang bersumber dari hibah yaitu adanya pemberian cuma-cuma untuk yayasan dan dikelola untuk kepentingan agama, sosial dan kemanusiaan. Kekayaan yayasan juga dapat berasal dari hibah wasiat, dan kekayaan yayasan diperoleh dari hasil yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan atau peraturan perundang-undangan. Pada konteks ini, maka untuk menempatkan yayasan berjalan sebagaimana mestinya dibutuhkan lembaga pengawas yang kedudukannya bersifat independen. Lembaga ini bentuk wujud hadirnya pemerintah atau negara pada yayasan. Pada beberapa negara di Eropa telah mengenal bentuk pengawasan terhadap yayasan. Di Inggris sejak tahun 1853 telah membentuk suatu badan pengawas yang bersifat tetap dengan nama Board of Charity Commissioners. Badan pengawas ini berwenang memberikan nasehat, mempengaruhi, menginvestigasi dan mengecek penyalahgunaan, serta mengefektifkan kerja badan amal. Disamping itu juga lembaga ini dapat melakukan penelitian dan atas laporan-laporan yang berkembang dari adanya laporan masyarakat dengan membuka dokumen-dokumen atas tugas yang diberikan melindungi harta benda amal yang dibawah naungan lembaga. Komisioner yang ada pada lembaga pengawas mempunyai kekuasaan berupa :
a.       Menghentikan suatu trustee atau orang lain yang berhubungan dengan badan amal dari penggunaan kantor atau pekerjaannya.
b.      Menunjuk trustee tambahan,
c.       Membatasi transaksi yang mungkin dimasukan dalam badan amal tanpa persetujuan komisioner.
c.         Pendekatan perbandingan  (comparative approach). Pendekatan ini berusaha untuk membandingkan hukum yayasan pada satu negara baik dari proses pendirian sampai keberadaan yayasan tersebut dengan peraturan yayasan yang ada di Indonesia. Sebab yayasan di Indonesia, sebelum diberlakukannya UU Yayasan yang ada, pendirian yayasan hanya didasari dari kebiasan-kebiasan yang berlaku pada saat itu, dengan menempatkan yayasan sebagai badan hukum. Pada pendekatan perbandingan, mengkaji lebih dalam dan membandingkan dari segi diberlakukannya peraturan yayasan atau dengan sebutan lain sebagai lembaga non profit dengan istilah Foundation dari suatu Negara tertentu secara mikro atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu lainnya.
d.        Pendekatan kasus (case approach). Pendekatan ini akan dilakukan dengan menelusuri beberapa kasus mengenai yayasan. Sedangkan pada pendekatan kasus, selalu dimulai dengan mengkaji dan menganalisis berbagai putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, atau mengikat (inkrach van gewijsde) sebagai yurisprudence yaitu dengan mengkaji apa yang menjadi alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim sampai kepada putusan yang dikenal sebagai ratio decidendi.[20] Pada pendekatan kasus menelaan beberapa putusan yang yang telah berkekuatan hukum tetap.
6.    Sumber Bahan Hukum
a.       Bahan hukum primer berupa peraturan-peraturan hukum, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
b.      Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum sebagai pendukung bahan hukum primer seperti publikasi-publikasi tentang hukum yang meliputi doktrin sebagai pendapat para ahli, textbooks, jurnal, majalah ilmiah baik cetak maupun on-line, kamus hukum, putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum, serta sumber-sumber lain yang berkaitan dengan hukum yayasan.

7.    Pengelolahan dan analisa bahan hukum.
Pada pengelolaan dan analisa bahan hukum merupakan proses pengumpulan bahan hukum melalui menginventarisasi guna melakukan pengelolaan dan analisis bahan hukum yang ada. Seluruh sumber bahan hukum yang terkumpul pada penelitian ini, baik berupa sumber hukum primer dan sekunder, dilakukan pengelolaan sesuai dengan karakter penelitian hukum normatif. Sumber bahan hukum primer dilakukan dengan cara melakukan inventarisasi dari ketentuan hukum positif dilihat dari peraturan-peraturan perundang-undangan dan seluruh peraturan-peraturan lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Pada sisi yang lain sumber hukum sekunder dilakukan dengan cara penelusuran bahan-bahan hukum berasal dari perpustakaan (studi pustaka) yang ada kaitan dengan penelitian ini. Seluruh langkah-langkah tersebut untuk menjawab semua permasalahan pada penelitian ini yang berkaitan dengan penerapan prinsip tata kelola yang baik pada yayasan, dengan suatu pertanyaan apakah prinsip tersebut dapat digunakan pada yayasan ? Prinsip tata kelola yang baik sebagaimana yang dikenal dengan penyebutan Good Corporate Governance (GCG) memuat pada prinsip prinsip Transparency (Transparansi), Accountability (Akuntabilitas), Responsibility (Responsibilitas), Independency (Independensi) dan Fairness (Kewajaran dan Kesetaraan) yang disingkat dengan TARIF. Namun prinsip yang termuat pada Good Corporate Governance yang diselaraskan pada prinsip idiil yayasan. Oleh karena itu,  berdasarkan definisi yayasan sebagai badan hukum yang terdiri dari atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Penekanan pendirian yayasan pada bidang sosial, keagamaan dan kemanusian, menjadi ciri utama pendirian yayasan jika dibandingkan pada badan hukum lainnya. Namun disatu sisi, UU Yayasan memberi kemungkinan pada yayasan untuk mendirikan badan usaha yayasan dengan maksud sebagai penunjang pencapaian maksud dan tujuan yayasan. Batasan yang memungkinkan pendirian badan usaha yayasan tidak boleh melanggar pada norma pendirian yayasan,  yang selalu mengacu pada prinsip-prinsip idiil yayasan.
Pada penelitian ini menggunakan analisi dengan metode induktif dan deduktif. Pada metode induktif yakni memahami fakta-fakta atau gejala-gejala kemudian diabstarksi dengan mencari prinsip-prinsip, teori-teori, yang berhubungan dengan isu hukum yang ada. Sedangkan metode deduktif berpijak pada peraturan yang bersifat umum untuk dijadikan pisau analisis yaitu seluruh sumber hukum baik primer dan sekunder diparalelkan untuk dianalisa atau dilakukan interprestasi untuk dapat memecahkan isu-isu hukum pada penelitian ini.


BAB II
PRINSIP IDIIL PENDIRIAN YAYASAN YANG BERBADAN HUKUM

1.      Pancasila Sebagai Ideologi
            Pancasila sebagai ideologi memiliki makna yang ideal, satu hal yang sangat utama bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, sebagaimana tercantum pada pada Lampiran Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor : XX/MPRS/1966.  Notonegoro (almarhum) dalam pidato Dies Netalis Universitas Airlangga pada tanggal 10 November 1955, menyatakan bahwa Pancasila adalah pokok Kaidah Fundamental Negara atau Staatsfundamenalnorm.[21] Sebagai fundamental negara sebagaimana yang diungkapkan oleh Notonegoro, dalam kedudukannya bahwa Pancasila adalah bagian cita-cita hukum dalam menggantikan keberadaan pancasila sebagai ideologi  dalam kaitannya Pancasila dengan kehidupan hukum bangsa Indonesia, sebagaimana yang dikatakan oleh A. Hamid S. Attamimi, bahwa kehidupan hukum dalam lingkup yang lebih terbatas yaitu kehidupan hukum tertulis, kehidupan perundang-undangan, baik perundang-undangan dalam arti prodak yang berupa peraturan-peraturan perundang-undangan (wetgevingsregels) ataupun peraturan-peraturan kebijakan (beleidsregels).
            Rudolf Stammler, seorang ahli filsafat hukum yang beraliran neo-Kantien, berpendapat bahwa cita hukum ialah konstruksi pikir yang merupakan keharusan bagi mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai bintang pemandu (leitstern) bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Meski merupakan titik akhir yang tidak mungkin tercapai, namun hukum memberi manfaat karena ia mengandung dua sisi yaitu bahwa dengan cita hukum dapat menguji hukum positif yang berlaku, dan kepada cita hukum dapat mengarahkan hukum positif sebagai usaha dengan sanksi pemaksa menuju sesuatu yang adil (zwangversuch zum Richtigen). Karena itu menurut Stammler, keadilan ialah usaha atau tindakan mengarahkan hukum positif kepada cita hukum. Dengan demikian, maka hukum yang adil (richtiges Recht) ialah hukum positif yang memiliki sifat yang diarahkan oleh cita hukum untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Stammler sendiri mengatakan mengenai tentang hukum merupakan bagian kehendak manusia dalam kehidupan sosial yaitu hidup bersama yang teratur.[22]
            Sedangkan Gustav Radbruch, menegaskan  bahwa cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif yaitu yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak ? Melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum maka akan kehilangan maknanya sebagai hukum. Sebagaimana diketahui, Radbruch termasuk ke dalam mazhab yang berusaha menjembatani dualisme das Sein dan das Sollen, dengan mengintruksikan lingkup ketiga yaitu kebudayaan (kultur).[23]
            Apa yang tergambarkan tersebut dalam posisi yayasan sebagai penampung dari harta-harta ilegal,  jelas akan mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tindakan tersebut yang dikenal dengan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, diundangkan pada tanggal 22 Oktober 2010, diumumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010, Nomor 122, atau disebutkan juga UU TPPU. Pada Pasal 1 angka 5  UU TPPU menyebutkan bahwa transaksi keuangan yang mencurigakan tersebut dapat berupa :
a.       Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan.
b.      Transaksi keuangan oleh pengguna jasa patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghidari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
c.       Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana, atau
d.      Transaksi keuangan yang diminta PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan, diduga hasil tindak berasal dari hasil tindak pidana.
Transaksi keuangan yang mencurigai tersebut sangat memungkinkan akan digunakan oleh para pendiri yayasan dan para pihak yang terlibat dan masuk dalam struktur organ yayasan atau pihak-pihak yang terafiliasi dengan yayasan. Oleh karena itu,  sangat dimungkinkan akan menjadi tempat dan keberadaan uang-uang haram dari transaksi yang mencurigakan itu akan digunakan oleh para pendiri dan para pihak dalam organ untuk kepentingannya secara pribadi dan kepentingan sesaat,  saat UU Yayasan belum mengatur secara menyeluruh. Jika yayasan dan prodak aturan yang mengaturnya baik dalam bentuk UU dan Peraturan Pemerintah yang ada saat ini tidak diperkuat, maka ini menjadi tempat dan wahana terhadap pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Walaupun begitu, umumnya pelaku tindak pidana yang berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana yang susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan harta kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Karena itu tindakan tersebut dikategorikan pada tindakan yang bisa mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Keberadaan yayasan dalam struktur dan kedudukannya dimasyarakat dimulai dari adanya pemikiran dari sebagian kelompok masyarakat untuk berserikat, berkumpul membentuk organisasi. Karena keterlibatan manusia diorganisasi merupakan hal yang sepatutnya dalam kehidupan sehari-hari, dari organisasi yang terkecil dalam lingkup masyarakat sampai organisasi besar yang melingkupi antar negara. Sebab masyarakat atau kelompok individu beranggapan organisasi pada dasarnya bagian dari menyelenggarakan, mengurus, mengusahakan, mengorganisir dan mengelola.
Beberapa pendapat beberapa ahli, menerangkan bahwa orang-orang dalam sebuah organisasi mempunyai suatu keterikatan yang terus menerus. Rasa keterikatan ini berkaitan dengan partisipasi para anggota secara sadar teratur di dalam organisasi. Akhirnya, organisasi itu ada untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Oleh karena itu, kata “sesuatu” adalah tujuan dan tujuan itu biasanya tidak dapat dicapai oleh individu-individu yang bekerja sendiri, atau jika mungkin, hal tersebut dicapai secara lebih efisien melalui usaha-usaha kelompok. Tidak perlu semua anggota mendukung tujuan organisasi secara penuh, namun adanya kesepakatan umum mengenai misi organisasi.
            Peran dan rekam jejak Ormas yang telah berjuang secara ikhlas dan sukarela tersebut mengandung nilai sejarah dan merupakan aset bangsa yang sangat penting bagi perjalanan bangsa dan negara yang ada saat ini. Oleh karena itu, peningkatan peran dan fungsi ormas dalam pembangunan memberi fungsi dan konsekuensi pentingnya membangun sistem pengelolaan ormas yang memenuhi kaidah Ormas yang sehat sebagai organisasi nirlaba yang demokratis, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel. Inilah yang selalu diharapkan dengan adanya nilai-nilai sosial.
Undang-Undang Ormas yang ada saat ini, ingin menempatkan ormas sebagai organisasi yang memiliki jiwa dan roh sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Para mater ini juga sudah mulai diterapkan pada lembaga atau badan hukum yang memang beorientasi profit (profit orientate).
            Berpijak dari persoalan tersebut, Pemerintah sebagai regulator telah memasukan klausula tanggung jawab sosial bagi badan hukum  ke dalam beberapa peraturan yang ada. Dimulai dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disingkat UU Penanaman Modal) sebagai pengganti dari UU Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU Perseroan Terbatas) sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995. Ketentuan ini akan menjadi pijakan bagi pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat dalam membuat aturan untuk kepentingan sosial masyarakat.
            Pada UU Penanaman Modal terdapat tiga pasal yang mengatur tentang tanggung jawab sosial bagi perusahaan yang dikenal dengan istilah Corporate Social Resposibilty yaitu :
a.       Pasal 15 huruf b UU Penanaman Modal, menyatakan bahwa “setiap penanaman modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.’
b.      Pasal 16 UU Penanaman Modal  yaitu :
1.      Huruf d menyatakan bahwa “setiap penanaman modal bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan hidup”.
2.      Huruf e menyatakan bahwa “setiap penanaman modal bertanggung jawab untuk menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja”
c.       Pasal 17 UU Penanaman Modal, menyatakan bahwa “penanaman modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Sedangkan menurut Pasal 74 UU Perseroan Terbatas menyatakan sebagai bahwa  :
1)      Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
2)      Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang melaksanakannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3)      Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan di atur dengan Peraturan Pemerintah.[24]
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 huruf e UU BUMN dan Pasal 4 ayat (2) PP  Persero, Kementerian BUMN menindaklanjuti dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor Kep-236/MBU/2003 yang mengharuskan setiap BUMN untuk menyelenggarakan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (selanjutnya disingkat PKBL). Surat Keputusan tersebut dijabarkan dalam bentuk dikeluarkannya Surat Edaran Menteri BUMN Nomor SE-433/MBU/2003 yang menegaskan setiap BUMN membentuk unit tersendiri yang bertugas secara khusus mengenai PKBL. Ketentuan mengenai PKBL telah diatur dalam bentuk Peraturan Menteri BUMN Nomor PER 05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan sebagai pengganti Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor Kep-236/MBU/2003.[25]
            Paradikma yang mendekatkan peraturan dengan kepentingan dan kehidupan masyarakat, baik dalam bentuk undang-undang dan peraturan pelaksanan lainnya oleh Jimly Asshiddiqie dikatakan sebagai gagasan konstitusi social (Social Constitution). Konstitusi sosial merupakan konstitusi masyarakat madani yang terkait dengan fenomena institusionalisasi dan konstitusionalisasi kehidupan sosial. Konstitusi sosial ini merupakan seperangkat nilai-nilai (social values) dan kaidah-kaidah hukum (legal norms), tetapi juga kaidah-kaidah etika (ethical norms) dalam perikehidupan bersama. Konstitusi sosial itu berisi norma-norma hukum konstitusi (constitution ethics). Konstitusi tersebut hendaknya menjadi pegangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip-prinsip nilai dan ide-ide yang terkandung dalam UUD 1945 harus tercermin dalam berbagai naskah konstitusi atau anggaran dasar setiap organisasi masyarakat madani, dari semua jenis organisasi baik di luar struktur formal, organisasi pemerintah negara, organisasi usaha dan unit-unit keluarga atau rumah tangga.[26]
            Secara umum pengertian civiel society dalam ditelaah menurut pendapat Bruce Sievers, sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie [27] terdapat 7 ciri yaitu :
1)      Non-profit and voluntary institutions;
2)      Mengutamakan dan mengagungkan prinsip “individual right”;
3)      The Common goods;
4)      The Rule of Law;
5)      Philanthropy;
6)      Free Expression;
7)      Tolerance

2. Prinsip Idiil Organisasi Non Profit
            Sebagaimana yang telah dijelaskan pada ketentuan tersebut, yayasan juga bagian cermin dari konsep gagasan konstitusi sosial. Suatu pengertian dari konsep konstitusi merupakan suatu pengertian tentang seperangkat prinsip-prinsip nilai dan norma dasar yang mengatur mengenai apa dan bagaimana suatu sistem kekuasaan dilembagakan dan dijalankan untuk mencapai tujuan bersama dalam wadah organisasi. Karena itu, Briam Thompson sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshidiqie, menyatakan “…a constitution is a document which contains the rules for the operation of an organization[28]. Dalam pengertian demikian, konstitusi dapat dipakai oleh berbagai macam dan jenis organisasi, mulai dari organisasi negara yang berdaulat, organisasi-organisasi internasional, sampai ke organisasi-organisasi perusahaan dan asosiasi-asosiasi berbadan hukum ataupun  organisasi-organisasi profesi, dan organisasi sosial dan kemasyarakatan pada umumnya. Semuanya dapat memiliki dokumen konstitusi, yang dikenal dengan anggaran dasar, atau disebut By-Law . 
            Di Indonesia dalam prakteknya yayasan merupakan suatu lembaga yang pokok fungsinya berperan sebagai wujud kepedulian sosial masyarakat, karena program kerja kegiatannya bergerak di bidang sosial keagamaan dan kemanusiaan.[29] Sebuah gejala sosial menurut Theodor Geiger, dimulai dari suatu aturan hukum yang ia katakan bukan terutama aturan formal dalam wujud undang-undang. Ia merupakan norma yang hidup dalam hati orang-orang. Oleh karena itu, Geiger membedakan dua macam norma yaitu norma yang sebenarnya dan norma yang tidak sebenarnya. Norma yang sebenarnya menunjukan pada norma-norma yang belum masuk pada aturan-aturan perundang-undangan negara. Ia merupakan norma-norma yang habitual. Sedangkan norma yang tidak sebenarnya adalah normasatz, yaitu norma yang dirumuskan dalam aturan perundang-undangan negara.[30]
            Namun jika kita melihat teori Theodor Geiger, hukum dan gejala sosial. Segala sesuatunya akan menjadi seimbang dalam memandang teori Roscoe Pound dengan hukum keseimbangan dan kepentingan. Pijakan Pound selalu menghindar segala kontruksi-konstruksi teori yang terlampau abstrak seperti umumnya teori-teori yang muncul di Eropa. Bagi Pound, seorang filsup dengan gagasan-gagasan dimuat dalam Sporious Interpretation (1907), Outlines of Lectures on Jurisprudence, The Spirit of the Common Law, Law and Moral, Criminal justice in America dan Social Control Through Law. Menurut Pound dimulai dengan ketentuan ada tiga macam etik sosial yang bisa diperbedakan menurut tujuannya, yaitu demi kepentingan individu, demi kepentingan publik dan demi kepentingan sosial. Tujuan yang ketiga ini menurut Pound diakatakan  to guide the court in applying the law,” bukan “those of individual or public interst ”.[31]
Menurut J.H.P Bellefroid dalam bukunya Inleiding tot de Rechtsweten schop in Nederland,  yang dikutip oleh Titik Triwulan Tutik menyebutkan, hukum kebiasaan   meliputi suatu peraturan-peraturan yang walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat, karena mereka yakin bahwa peraturan itu berlaku sebagai hukum. Untuk timbulnya hukum kebiasaan diperlukan syarat-syarat, yaitu adanya perbuatan yang dilakukan berulang-ulang (tetap) dalam lingkungan masyarakat tertentu (bersifat materiil), adanya keyakinan hukum dari masyarakat (opinion juris seu necessitates) yang bersangkutan bahwa perbuatan itu merupakan sesuatunya dilakukan, dan adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.[32]
Melihat perkembangan yang ada saat ini, tidak tertutup kemungkinan banyaknya permasalahan hukum yang berhubungan dengan yayasan dimulai dari tumpang tindihnya hubungan antar masing-masing organ yayasan, disamping tidak adanya keterbukaan yang berhubungan mengenai harta kekayaan yayasan atau hasil-hasil dari pendapatan yayasan disaat yayasan menjalankan aktifitas dalam pendirian bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Permasalahan lain yang selalu timbul akibat adanya hubungan ketidak harmonis diantara ketua pengurus yayasan dengan ketua pelaksana pekerjaan yayasan. Permasalahan ini dikarenakan masih banyaknya yang belum memahami makna apa yang terkandung pada UU Yayasan. UU Yayasan pada prinsipnya telah mengatur secara jelas dan nyata mengenai kedudukan masing-masing organ yang memiliki tugas dan tanggung jawab. Inilah yang membedakan yayasan dengan badan hukum dan badan usaha lainnya.
Yayasan dan peran serta dalam pembagunan tidak dapat dipisahkan. Banyak yang telah diperbuat yayasan dalam pembangunan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan dan pemberian bantuan sosial lainnya. Oleh karena itu, yayasan yang didirikan sebagai organisasi yang menaungi segala kegiatan yang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan, keagamaan dan kemasyarakatan, yang tercermin pada maksud dan tujuan pendirian yayasan. Setiap pendirian yayasan sebagaimana termuat pada anggaran dasar yayasan selalu mencantumkan bidang yang menjadi tujuan yayasan didirikan yaitu bidang sosial, bidang keagamaan dan bidang kemanusiaan, sebagaimana termuat pada Pasal 1 angka 1 UU Yayasan.  Ketiga bidang maksud dan tujuan dijabarkan menjadi beberapa kegiatan Yayasan yang tidak terlepas dari maksud tujuan Yayasan didirikan, berupa :Sosial,
-          Lembaga formal dan non formal.
-          Panti asuhan, panti jompo, dan panti werda.
-          Rumah sakit, Poliklinik, dan laboratorium.
-          Pembinaan olahraga.
-          Penelitian dibidang ilmu pengetahuan.
-          Studi banding.
a.       Keagamaan,
-          Mendirikan sarana ibadah.
-          Menyelenggarakan pondok pesantren dan madrasah.
-          Meningkatkan pemahaman keagamaan.
-          Melaksanakan syiar agama.
-          Studi banding, keagamaan.
b.      Kemanusiaan,
-          Memberikan bantuan kepada korban bencana alam.
-          Memberikan bantuan kepada pengungsi akibat perang.
-          Memberikan bantuan kepada tunawisma, fakir miskin dan gelandangan.
-          Mendirikan dan menyelenggarakan rumah singgah dan rumah duka.
-          Memberikan perlindungan konsumen.
-          Melestarikan lingkungan hidup.
Kegiatan-kegiatan sebagaimana tersebut bagian maksud dan tujuan pendirian yayasan. Namun yayasan dapat juga mendirikan badan usaha yayasan. Kegiatan mendirikan badan usaha yayasan tidak lain untuk menunjukkan eksistensi yayasan. Inilah bagian peran serta yayasan dalam pembangunan berbangsa dan bernegara. Peran serta yayasan dalam pembangunan berbangsa dan negara cukup terasa.  Keikutsertaan yayasan dalam pembangunan haruslah tetap terjaga. Banyak hal-hal yang telah diperbuat yayasan sebagai badan hukum khususnya dibidang pendidikan, kesehatan, keagamaan dan bidang-bidang lainnya.
Keberadaan yayasan berbadan hukum sesuatu yang sangat penting jika dihubungkan dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab yang berhubungan dengan badan hukum yayasan, tanggung jawab para organ yayasan, serta tanggung jawab dari maksud dan tujuan pendirian yayasan. Yayasan memperoleh status badan hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat 1 UU Yayasan, saat yayasan memperoleh pengesahan badan hukum dari Menteri terkait dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Kewenangan Menteri dalam memberikan pengesahan itu tidak lain adalah amanah undang-undang yang mengatur. Menteri sebagaimana dimaksud adalah wakil pemerintah selaku pemberi kewenangan. Pengertian “pemerintah” dikaitkan dengan istilah atau terminology  bahasa Belanda adalah “bestuur”. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia diistilahkan “bestuur” maupun “regering”, diterjemahkan dengan pemerintah. Sehingga untuk membedakan antara ‘bestuur” dengan “regering”, dengan memposisikan bahwa “bestuur” diartikan pemerintah dalam arti sempit, sedangkan ‘regering” pemerintah dalam arti luas. [33]
Menurut Philipus M. Hadjon [34], menyebutkan wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechmacht). Jadi dalam konsep hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Sedangkan F.P.C.L. Toner ,dalam Ridwan AR[35], berpendapat “Overheidsbevoegheid wordt n dit verband opgevad als het vermogen om positief recht  vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burger onderling en tussen overhead en te scheppen”. Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini, harus dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.
Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan perundang-undangan untuk memenuhi  atau menimbulkan akibat-akibat hukum. Ketentuan tersebut dapat terlihat dari UU Yayasan, khususnya pada Pasal 71 UU Yayasan mengenai penyesuaian yayasan ke dalam UU Yayasan,  yang memberikan jangka waktu untuk penyesuaian selama 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya UU Yayasan, maka dengan diundangkannya UU Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang yayasan, dimungkinkan untuk menyesuaikan yayasan lama ke dalam UU Yayasan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. Konsekuensinya, jika tidak dilaksanakan, tidak diperkenankan menggunakan kata “Yayasan” didepan nama yayasan tersebut. Di samping dimungkinkan yayasan dibubarkan berdasarkan adanya putusan Pengadilan atas adanya permohoan dari Kejaksaan atau pihak-pihak yang berkepentingan.
Sejak diundangkannya UU Yayasan, pembahasan menyangkut peraturan pelaksanaan sebagaimana yang diamanahkan oleh UU Yayasan berupa Peraturan Pemerintah, baru dilaksanakan dan dikeluarkan sejak tahun 2008, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008. PP ini memuat segala sesuatu yang berhubungan dengan pemakaian nama yayasan, kekayaan awal yayasan, pendirian yayasan berdasarkan surat wasiat, syarat dan tata cara pendirian yayasan oleh orang asing, tata cara pengajuan permohonan pengesahan akta pendirian dan persetujuan, akta perubahan anggaran dasar yayasan, tata cara pembentukan perubahan anggaran dasar dan Perubahan data yayasan, syarat dan tata cara pemberian bantuan negara kepada yayasan, syarat dan tata cara yayasan asing melakukan kegiatan di Indonesia dan tata cara penggabungan yayasan. 
 Dibatasinya tujuan yayasan tersebut sebagaimana termuat pada anggaran dasar yayasan, menurut Rudhi Prasetya, tidak lain agar yayasan didirikan tidak disalahgunakan untuk kepentingan yang tidak mencerminkan pada pendirian yayasan yang lebih menekankan pada prinsip idiil.[36] Ini sangat dimungkinkan terjadi, pendirian yayasan menghilangkan akar dari prinsip utama yayasan itu sendiri. Kemungkinan pendirian yayasan disalahgunakan oleh para pendiri dengan maksud yang tidak sesuai pada prinsip pendiriannya. Hal ini dikarenakan  masih lemahnya pengaturan yayasan itu sendiri sejak diundangkannya UU Yayasan, sampai dengan perubahannya maupun pengaturan yang mendukung.
Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa tingginya sengketa yayasan yang ada saat,  dimulai pada saat yayasan didirikan. Sampai saat yayasan mulai eksis, adanya benturan antar organ yayasan, maupun sengketa antara yayasan sebagai badan hukum dengan lembaga atau badan yang didirikan oleh badan hukum yayasan sebagai maksud dari pendirian yayasan yang ada. Tingginya sengketa yayasan tersebut, dikarenakan belum pahamnya pelaku yayasan dari beberapa peraturan mengenai yayasan yang pada dasarnya telah diatur dan memuat cara penyelesaiannya. Sengketa yayasan sebagaimana yang ada secara garis besarnya dapat disimpulkan pada 3 (tiga) hal utama yaitu :
a.       Tentang status dari akta pendirian yayasan atau hal yang dimuat pada anggaran dasar yayasan maupun pada perubahan dari anggaran dasar yayasan sebagaimana adanya.
b.      Tentang penggantian organ yayasan yang dilakukan oleh pembina tanpa batasan yang jelas, seolah-olah Pembina dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya.
c.       Status aset yayasan, dalam pemikiran para pendiri yayasan, dan organ yayasan, pembina, pengurus dan pengawas, yang sering terlibat pada motivasi penguasaan aset yayasan.[37]
Sedangkan dari 3 (tiga) kalisifikasi tersebut isu sengketa yang sering timbul pada yayasan, menurut pendapat  H.P Panggabean, [38] bahwa timbul sengketa yayasan dimulai dari adanya keinginan pendiri yayasan untuk membelokan makna pendirian yayasan bukan pada prinsip idiil, melainkan penempatan pendirian yayasan untuk kepentingan keuntungan dengan mencari celah-celah terhadap lemahnya aturan yang mengatur mengenai yayasan.. Oleh sebab itu, proses pengawasan dapat dijadikan pijakan pada 3 (tiga) prinsip fiduciary pengurus dan pengawas yang harus di perhatikan oleh badan hukum yayasan dalam memberikan makna terhadap kelangsungan yayasan berupa :
a.       The conflict rule, dalam arti bahwa pengurus atau pengawas tidak boleh menjalankan tugas untuk kepentingannya atau untuk kepentingan pihak lain sebelum disetujui oleh yayasan.
b.      The Profit rule, dalam arti pengurus atau pengawas tidak boleh menggunakan kedudukannya untuk mendapatkan keuntungan baik untuk keuntungan pribadi maupun untuk keuntungan pihak lain atau pihak ketiga tanpa persetujuan yayasan.
c.       The misappropriation rule, yakni pengurus atau pengawas dilarang memakai atau menyalahgunakan segala milik yayasan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan pihak lain atau pihak ketiga.[39]
Batasan  tersebut menyebutkan bahwa proses pengawasan terhadap organ pengurus dan pengawas pada yayasan sesuatu yang utama, disamping The conflict rule, The Profit rule dan The misappropriation rule, sebagai bentuk untuk menghindari adanya konflik pada yayasan. Batasan-batasan tersebut sebagai rule yang harus dimengerti, yang dapat  diperuntukan juga pada pembina yayasan, gunanya untuk meminimalkan adanya konflik pada yayasan.
Adanya prinsip Fiduciary ini sangat penting untuk diaplikasikan pada setiap organ yayasan selalu menekankan pada prinsip itikad baik sebagaimana yang dimaksud pada ketentuan Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 42 pada UU Yayasan.
Pasal 35 ayat 2 , bahwa :
             “Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan  dan tujuan yayasan”
              Pasal 42, bahwa :
              “pengawas wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan yayasan”

3.    Pola Kerja Sama Organisasi Yayasan
Organisasi dalam sebuah perusahaan merupakan komponen yang sangat menunjang untuk tercapainya visi dan misi suatu perusahaan dalam menghadapi dan mengantisipasi berbagai persaingan, baik ditingkat lokal maupun global. Organisasi dalam suatu perusahaan mempunyai batasan yang relatif dapat diidentifikasi. Batasan ini dapat berubah dalam kurun waktu tertentu. Namun sebuah batasan harus diberikan secara nyata agar dapat membedakannya. Perkembangan organisaisi dalam sebuah perusahaan memberikan batasan bagi individu-individu dalam organisasi tersebut untuk senantiasa dikembangkan agar sebuah organisasi mempunyai sesuatu keterikatan yang terus menerus. Rasa keterikatan ini berkaitan dengan partisipasi para anggota untuk mencapai sesuatu. Sesuatu itu adalah tujuan, dan tujuan itu biasanya tidak akan tercapai oleh individu-individu yang bekerja sendiri, sesuatunya berdasarkan misi dari organisasi tersebut.
Melihat dari keberadaannya yayasan sebagai badan hukum tidak lepas dari kemitraan antara satu badan hukum dan badan hukum lainnya maupun kepada badan usaha. Kemitraan sebagaimana adanya merupakan salah satu bentuk kegiatan bisnis dan non bisnis yang dapat didirikan baik dengan modal, keahlian, kemampuan atau keinginan motivasi bersama yang bermitra sebagai bentuk pola kegiatan interaksi satu dengan yang lainnya. Bentuk kemitraan tersebut berkembang bagi negara-negara Common Law maupun Civil Law.
Bagaimaa dengan koperasi sebagai badan hukum.  Koperasi memiliki organ berupa rapat anggota,  pengurus dan pengawas yang memiliki tugas dan tanggung jawab berbeda antara satu dan lainnya.  Jika membadingkan organ yang lain pada yayasan. Pada yayasan memliki organ tertinggi dengan sebutan pembina  yang tugas dan tanggung jawabnya tidak dapat diserahkan pada pengurus atau pengawas yayasan, berupa :
a.       Keputusan mengenai Perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
b.      Pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan anggota pengawas;
c.       Penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan;
d.      Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan yayasan, dan
e.       Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran yayasan.
Pengurus pada yayasan adalah organ yang melaksanakan kepengurusan yayasan. pengurus adalah orang yang cakap dimata hukum untuk melakukan kepengurusan yayasan. Namun untuk hal-hal tertentu pengurus tidak berwenang mewakili yayasan, apabila :
a.       Terjadi perkara di depan pengadilan antara yayasan dengan anggota pengurus yang bersangkutan;
b.      Anggota pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan yayasan.
Weber seorang ahli sosiologi kebangsaan Jerman, mengatakan, makin formal suatu organisasi sehubungan dengan dispesifikasi tugas-tugas pekerjaan, titik koordinasi, teknik pengawasan dan rencana-rencana, makin efisien organisasi tersebut dalam hal mencapai tujuan. Karena itu, ada 6 (enam) hal yang menjadi karakteristik organisasi besar, berupa [40]:
1.      Aktifitas-aktifitas spesifikasi dan tugas-tugas dispesifikasi, bersama-sama dengan alat-alat untuk melaksanakannya.
2.      Sebuah rantai komando (hierarki otoritas) dibentuk guna melancarkan arus informasi dan arus keputusan di dalam organisasi yang berangkutan, guna melaksanakan kewajiban-kewajiban.
3.      Kepemilikan kekayaan private sang manajer harus dipisahkan dengan kekayaan organisasi. Hal ini dititik beratkan pada badan-badan pemerintah, yaitu seorang pejabat tidak boleh memiliki kepentingan apapun pada perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan unit pemerintah tersebut.
4.      Manajemen merupakan hal yang khusus dibandingkan dengan tipe-tipe aktifitas lain. Pelatihan manajerial serta keterampilan adalah esensial untuk meraih keberhasilan.
5.      Manajemen merupakan sebuah kegiatan penuh waktu yang menuntut tanggung jawab  untuk mencapai tujuan-tujuan bagi organisasi.
6.      Para manajer mengikuti peraturan–peraturan spesifik, yang diterapkan secara seragam dan tanpa emosi,  guna mengatur setiap kasus secara fair.
Jika ditelaah lebih dalam dengan tingkat analisis terhadap organisasi, maka terdapat beberapa karakteristik organisasi berdasarkan tingkatannya, yaitu :[41]
Komunitas dan lingkungan :
a.       Organisasi secara keseluruhan.
b.      Bagian dari organisasi.     
c.       Kumpulan individu (kelompok atau group)
Sedangkan menurut dimensi karakteristik organisasi dapat dijelaskan berupa :
1)      Dimensi struktural, menggambarkan tingkat penggunaan dokumen tertulis dalam organisasi, yang menggambarkan perilaku serta kegiatan organisasi, yang dapat meliputi
a)      Formalisasi, menunjuk tingkat penggunaan dokumen tertulis dalam organisasi yang menggambarkan perilaku serta kegiatan organisasi.
b)      Spesialisasi, menunjukan derajat pembagian pekerjaan dalam organisasi.
c)      Standarlisasi, menggambarkan derajat kesamaan dalam pelaksanaan kerja.
d)     Sentralisasi, menunjuk pembagian kekuasaan menurut tingkatan (hiraki) dalam organisasi antara lain ditunjukkan dengan jenis dan jumlah keputusan yang boleh ditetapkan pada setiap tingkatan.
e)      Hirarki kekuasaan (oritas), menggambarkan pola pembagian kekuasaan serta rentang kendali secara umum.
f)       Kompleksitas, menunjuk banyak kegiatan (sub sitem) dalam organisasi, dan terdiri dari :
1)      Kompleksitas Vertikal, menunjukkan jumlah tingkatan yang ada dalam organisasi.
2)      Kompleksitas Horizontal, menunjuk pembagian secara horizontal yaitu menjadi bagian-bagian yang secara vertikal berada pada tingkatan yang sama.
g)      Profesionalisme, menunjukkan tingkat pendidikan formal atau tingkat formal rata-rata yang dimiliki oleh anggota organisasi.
h)      Konfigurasi, menunjukan bentuk pembagian anggota organisasi ke dalam bagian-bagian, baik secara vertikal maupun horizontal.
2)      Dimensi Kontekstual, menggambarkan karakteristik keseluruhan suatu organisasi yang mencakup lingkungan berupa :
a)      Ukuran organisasi, menunjukan jumlah anggota (personil) organisasi.
b)      Teknologi organisasi, menunjukan jenis dan tingkat teknologi dari sistem produksi suatu organisasi.
c)      Lingkungan, menggambarkan keadaan semua elemen lingkungan yang terdapat di luar batas-batas organisasi, terutama elemen-elemen lingkungan yang berpengaruh terhadap organisasi.
Oleh karena itu, konsep budaya perusahaan atau lembaga dapat dilihat berdasarkan kepada beberapa elemen dasar, nilai, norma dan artifak yang diintegrasikan bersama oleh anggota sesuatu organisasi. Berdasarkan pendapat Cumming dan Worley sebagaimana dikutip oleh Erni R. Ernawan, [42] bahwa budaya korporat itu adalah ‘….is the pattern of basic assumption volues, norm and artifacts sharred by organization members. It represents the taken for granted and shared assumption that people make about how work is to be done and  evaluated an how employees relate to one another and to significant others, such as suppliers customers, and government agencies”
Makanya, konsep budaya korporat sebenarnya adalah dimanifestasikan melalui bagaimana sesuatu kerja dalam sebuah organisasi itu dilaksanakan dan dinilai. Disamping itu juga melibatkan jalinan hubungan para pekerja diperingkat ke dalam (internal) dan juga diperingkat di luaran (eksternal) pada sebuah organisasi. Oleh karena itu, konsep budaya  korporat adalah juga dilihat melalui bentuk hubungan sesama pekerja dalam sebuah organisasi serta hubungan dengan pihak lain yang berkaitan seperti klien, pelanggan, atau agensi kerja lainnya.

4.    Pembentukan Yayasan
Jika apa yang disebut dengan adanya esensi dari budaya organisasi. Maka sebuah organisasi tidak dapat terlepas dengan apa yang dinamakan dengan perilaku organisasi. Untuk itu sebelum sampai pada pemahaman perilaku organisasi, harus mengerti dulu dengan  adanya keinginan manusaia untuk berkelompok untuk membentuk suatu wadah, sebagai tempat berkumpul, bercengrama dari bagian hidup manusia yang berkeinginan untuk bermasyarakat. Bermasyarakat tersebut senantiasa  ditandai adanya keinginan keterlibatan pada sebuah organisasi tertentu, dengan istilah “masyarakat kita adalah masyarakat yang berorganisasi”. Masyarakat hidup dan dilahirkan dalam organisasi, dididik oleh organisasi, dan hampir semua manusia mempergunakan waktunya bekerja untuk organisasi. Dari ungkapan ini jelaslah bahwa manusia dan organisasi sudah menyatu terhadap dua komponen pendukung yang dinamakan dengan perilaku organisaisi (organizational behavior).
Perilaku organisasi adalah suatu studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia suatu organisasi atau suatu kelompok tertentu. Ia meliputi aspek yang ditimbulkan dari pengaruh organisasi terhadap manusia demikian pula aspek yang ditimbulkan dari pengaruh manusia terhadap organisasi. Tujuan praktis dari penelaan studi ini adalah untuk mendeterminasi bagaimanakah perilaku manusia itu mempengaruhi usaha pencapaian tujuan-tujuan organisasi.[43]
            Perilaku organsiasi ini pada dasarnya juga bagian dari perilaku kelompok, yang dimulai dari adanya kesamaan, dan kesenangan bersama, yang menimbulkan kedekatan satu sama lainnya, yang melahirkan kehidupan berkelompok dalam organisasi. Teori pembentukan kelompok itu sendiri yang dipelopori oleh George Homans, [44] bahwa pembentukan kelompok itu sendiri dimulai adanya aktivitas-aktivitas, interaksi-interaksi, dan sentimen-sentimen (perasaan atau emosi). Ketiga hal yang saling berhubungan :
1.         Semakin banyak aktivitas-aktivitas seseorang dilakukan dengan orang lain (shared), semakin beraneka interaksi-interaksinya, dan juga semakin kuat tumbuhnya sentimen-sentimen mereka.
2.         Semakin banyak interaksi-interkasi di antara orang-orang maka semakin banyak kemungkinan aktivitas-aktivitas dan sentimen yang ditularkan (shared) pada orang lain.
3.         Semakin banyak aktivitas dan sentimen yang ditularkan pada orang lain, dan semakin banyak sentimen seseorang dipahami oleh orang lain, maka semakin banyak kemungkinan ditularkannya aktivitas dan interaksi-interaksi.
Banyak teori lain lain yang berusaha untuk menjelaskan tentang pembentukan kelompok. Pada umumnya teori-teori tersebut saling melengkapi, karena teori yang satu melengkapai teori yang lain.
Salah satu teori pembentukan kelompok yang  agak menyeluruh (comprehensive) ialah teori keseimbangan (a balance theory of group formation) yang dikembangkan oleh Theodore Newcomb, sebagaimana yang dikuti oleh Miftah Thoha[45]. Teori ini menyatakan bahwa seseorang tertarik kepada orang lain yang didasarkan atas kesamaan sikap di dalam menanggai suatu tujuan yang relevan satu sama lain. Teori keseimbangan ini dimulai dari interaksi antara individu A akan berinteraksi dan membentuk suatu hubungan (kelompok) dengan individu B, lantaran adanya sikap dan nilai yang sama dalam rangka mencapai tujuan X. Hubungan tersebut terbentuk dengan didasari nilai atau keinginan untuk mencapai dan menjaga hubungan dan memberi keseimbangan yang simetris diantara sikap-sikap yang menarik  dan bersama. Jika ketidak seimbangan terjadi ada suatu usaha untuk memperbaiki keseimbangan tersebut. Jika keseimbangan tidak bisa diperbaiki, maka hubungan tersebut akan pecah.
Teori lain yang sekarang ini sedang mendapatkan  perhatian dari pembentukan kelompok adalah teori yang didasarkan pada alasan-alasan praktis (practicalities of groupformation). Teori ini dilandasi pada keinginan anggota pada suatu organisasi pada pembentukan kelompok disebabkan karena alasan-alasan ekonomi, keamanan, atau alasan-alasan sosial. Maka pembentukan kelompok berdasarkan alasan-alasan praktis, yaitu adanya kecendrungan memberikan kepuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial yang mendasar dari orang-orang yang mengelompok tersebut. Para pekerja dalam hal ini pada umumnya mempunyai keinginan yang kuat untuk berafiliasi dengan pihak lain. Keinginan ini dapat diketemukan dalam suatu kelompok. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Hawthorne, membuktikan bahwa motif afiliasi ini mempunyai pengaruh  yang besar terhadap perilaku manusia dalam organisasi.[46]
Dari pemahaman beberapa teori pembentukan kelompok seperti yang diuraikan di atas, oleh Reits, dijadikan beberapa unsur yang menonjol, antara lain :
1.      Adanya dua orang atau lebih.
2.      Berinteraksi satu sama lainnya.
3.      Yang saling membagi beberapa tujuan.
4.      Melihat dirinya suatu kelompok.
Kajian-kajian tentang organisasi tidak hanya pada perkumpulan orang-orang, aktivitas-aktivitas mereka dan tujuan yang akan dicapai, tapi juga semua aspek yang mempengaruhi eksistensi, perkembangan dan efektivitas organisasi tersebut, antara lain adanya rincian dan susunan tugas barang dan mesin, teknologi, informasi dan sumber-sumber lain yang digunakan serta saling berpengaruh dan keterpaduannya dalam suatu sistem.Organisasi adalah entitas sosial yang secara sadar dikoordinasikan dengan batasan-batasan  yang relatif dapat diidentifikasikan dengan terus menerus bekerja sama untuk mencapai tujuan-tujuan umum.
Robbins dan Jugje,[47] juga mengemukakan bahwa organisasi adalah kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diindetifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau seklompok tujuan. Adanya perkataan “dikoordinasikan”dengan sadar pada dasarnya mengandung pengertian manajeman. Kesatuan sosial itu diartikan bahwa unit terdiri dari orang-orang atau kelompok yang berinteraksi satu sama lain. Pola interaksi yang dikuti orang di dalam sebuah organisasi tidak begitu saja timbul, melainkan telah dipikirkan terlebih dahulu. Oleh karena itu organisasi sosial merupakan kesatuan sosial, maka pola interaksi para anggotanya harus diseimbangkan dan diselaraskan untuk meminimalkan kelebihan (redundancy), namun juga memastikan bahwa tugas-tugas yang dikritis telah diselasikan.
            Organisasi itu sendiri dapat dikelompokkan menjadi organisasi formal dan organisasi informal. Adanya pembagian tersebut tergantung pada tingkat atau derajat. Tidak mungkin kita menjumpai organisasi formal sempurna atau organisasi informal sempurna. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Herbert G. Hicks dikutip oleh  J. Winardi[48], menyebutkan bahwa organisasi formal memiliki suatu struktur yang terumuskan dengan baik, juga adanya struktur yang menerangkan hubungan-hubungan otoritas, kekuasaan, akuntabilitas dan tanggung jawab. Pada organisasi formal; menunjukan tugas-tugas terspesifikasi bagi masing-masing anggota, disamping adanya organisai formal yang bertahan lama dan terencana, mengingat ditekankannya suatu keteraturan. Contoh dari organisasi formal itu adalah perusahaan-perusahaan, badan-badan hukum dan  badan-badan pemerintah.

5.    Yayasan di Indonesia
Terbentuknya yayasan di Indonesia sebagai organisasi yang berbadan hukum dilihat dari konteks yang dirumuskan di atas, maka yayasan sebagai badan hukum adalah corak pengorganisasi kegiatan bersama dalam masyarakat Indonesia. Dapat dikatakan agak berbeda dari pengalaman sejarah di negara-negara barat, terutama di Eropa. Dalam ilmu sosial sebenarnya, berorganisasi itu adalah watak alamiah manusia yang bermasyarakat. Jika Aristoteles[49]berkata  bahwa dimana ada masyarakat di sana ada hukum, kemudian diperjelas lagi oleh Cicerio,  maka dalam ilmu sosial sudah sejak lama menjadi adagium bahwa dimana  orang berkumpul disana pasti ada organisasi.
Masyarakat Indonesia yang beraneka ragam dari Sabang sampai Merauke, pada tahun 1945 telah mengadakan kesepakatan bersama untuk menandatangani yang dinamakan dengan nama Piagam Jakarta, pada tanggal  22 Juni 1945. Naskah Piagam Jakarta inilah kemudian diadopsi, dengan mengurangkan 7 kata, menjadi Prembule atau Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus  sehari setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Artinya, organisasi negara dan pemerintahan justru dibentuk dan dibangun oleh masyarakat madani Indonesia dengan kesadaran bahwa instrumen organisasi negara dan pemerintahan menjamin kemerdekaan bagi seluruh warga negara. Sebagaimana dirumuskan dalam Alinea ke IV Pembukaan UUD 1945, Pemerintahan negara Indonesia diperlukan oleh warga masyarakat madani Indonesia berupa untuk memberikan perlindungan bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteran umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Selama ini tidak ada suatu definisi yang pasti mengenai badan hukum. Penelaan mengenai badan hukum lebih mengarah pada pendapat beberapa pakar dalam memberikan definisi badan hukum.  Badan hukum adalah badan yang diumpamakan sama dengan manusia sebagai subjek hukum menyandang hak dan kewajiban. Untuk itu definisi yang disampaikan Soebekti bisa menjadi patokan dan pemaham bahwa yang dimaksud badan hukum itu adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim[50]. Pendapat Soebekti tersebut memiliki persamaan sebagaimana yang dikatakan oleh Rochmad Soemitro yang menyebutkan bahwa badan hukum ialah suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi[51]. Maka dapat ditarik beberapa unsur yaitu adanya harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subyek hukum yang lain, mempunyai tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, mempunyai kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum yang ada, dan memiliki organisaisi kepengurusan yang bersifat teratur menurut peraturan perundangan yang berlaku. Dari ketentuan yang ada dibedakan adanya badan hukum publik dan badan hukum privat.
Badan hukum publik sebagaimana yang dikenal merupakan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara pada umumnya. Badan hukum publik merupakan badan-badan negara dan memiliki kekuasaan wilayah atau merupakan lembaga yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-perundangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif atau pemerintah atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu. Sedangkan badan hukum privat adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan pribadi orang di dalam badan hukum itu. Badan hukum semacam ini merupakan badan swasta yang didirikan oleh pribadi orang tersebut untuk tujuan tertentu yaitu mencari keuntungan, dan tidak mencari keuntungan dengan tujuan sosial, kemasyarakatan, keagamaan, disamping bergerak pada bidang-bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, politik, kebudayaan, kesenian, olahraga dan lain-lain.
Badan hukum privat ada yang berorientasi pada keuntungan seperti Perseroan Terbatas (PT), maupun Koperasi, dan ada yang menekankan pada prinsip idiil dimana keuntungan bukan sesuatu yang utama atau bersifat non profit, yaitu Yayasan dan Perkumpulan. Semua badan hukum privat telah diatur pada ketentuan hukum yang mengatur mengenai yayasan. Sedangkan pda perkumpulan diatur pada Staatsblad 1870 No. 64 (Stb. 1870-64) dan KUHPerdata (KUHPer) Buku III Bab IX. Untuk pendiriannya, didirikan oeh dua orang atau lebih dapat mendirikan suatu perkumpulan.
Ketidakpastian hukum mengenai yayasan sering digunakan untuk menampung kekayaan para pendiri atau pihak lain. Bahkan yayasan sering dijadikan tempat untuk memperkaya para pengelola yayasan. Sehingga, yayasan tidak lagi bersifat nirlaba, sebab digunakan untuk usaha-usaha bisnis dan komersial dengan segala aspeknya. Tidak adanya kepastian hukum ini, maka semakin berkembang dan bertumbuhlah yayasan-yayasan di Indonesia dengan cepat, namun pertumbuhan yayasan tidak diimbangi dengan adanya peraturan perundang-undangan yayasan yang memadai, sehingga masing-masing pihak yang berkepentingan menafsirkan sendiri peraturan-peraturan yang ada sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka. Sejalan dengan hal tersebut, timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang berkaitan dengan kegiatan yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang tercantum dalam Anggaran Dasar, sengketa antara pengurus dengan pendiri atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa yayasan digunakan untuk menampung kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain yang diperoleh dengan cara melawan hukum.
 
BAB III
PRINSIP TATA KELOLA YAYASAN

1.    Pembentukan Korporasi Sebagai Badan Hukum
Istilah korporasi sejatinya menunjukan pada subyek hukum buatan yang diciptakan oleh Negara untuk menjalankan kegiatan suatu perusahaan[52].  Dengan demikian yang menjadi perhatian utama dalam korporasi adalah aspek subyek hukum dan menjalankan perusahaan. Korporasi sebagai subyek hukum tidak dapat diindera (invisible) dan tidak berwujud (intangible) yang bersifat terpisah dari para pemiliknya. Korporasi dalam menjalankan aktivitasnya dapat bertindak membuat perjanjian (kontrak), membeli atau menjual, sama diartikan memiliki aktivitas yang diakui keberadaanya semi sebagai manusia makluk yang beryawa, segala aktivitas korporasi ini bermuara dengan pertanggung jawaban yang dijalankan pihak-pihak yang mewakili untuk dan atas nama korporasi sebagai subyek penyandang hak dan kewajiban.
Berdasarkan ketentuan yang ada secara teoritis, korporasi memiliki cakupan yang sangat luas berdasarkan jenis dan bidang usaha yang dijalankan. Melihat jenis dan bidang usaha korporasi, maka korporasi dapat dipilah [53]:
1.      Dilihat dari pemiliknya, korporasi dapat dibedakan menjadi :
a.       Korporasi Milik Negara (State Corporation)
b.      Korporasi Milik Swasta (Private Corporation)
c.       Korporasi Campuran, dimana modalnya berasal dari unsur negara dan swasta.
d.      Dilihat dari orientasi usahanya, korporasi dapat dibedakan menjadi :
-       Korporasi yang berorientasi pada keuntungan (profit oriented)
-       Korporasi yang tidak berorientasi pada keuntungan (non profit oriented)
2.      Dilihat dari kepemilikan, korporasi dapat dibedakan menjadi :
a.     Korporasi terbuka
b.    Korporasi tertutup
3.      Berdasarkan jaringan usaha yang dikembangkan, korporasi dapat dibedakan menjadi :
a.       Korporasi nasional (local)
b.      Korporasi Multinasional (transnasional)
Menurut Utrecht [54]yang dimaksud dengan korporasi ialah suatu gabungan orang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subyek hukum sendiri. Korporasi adalah badan hukum yang beranggotakan tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban anggotanya masing-masing. Sedangkan yang dimaksud yayasan ialah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.[55] Dari penjelasan yang ada yang membedakan antara korporasi dan yayasan, dilihat dari kedudukannya yang sama-sama berbadan hukum penyandang hak dan kewajiban.  Korporasi berbasis anggota sedangkan yayasan bukan berbasis anggota.
Menjawab semua itu pembentukan korporasi selelu menekankan pada asas-asas perjanjian, kepribadian, tanggung jawab sosial, kesimbangan, gotong royong, fiduciary duty, fiduciary skilland care, dan asas publisitas.[56] Adapun yang menjadi penjelasan pada asas-asas itu berupa :
a.      Asas-asas Hukum Perjanjian.
Asas-asas hukum perjanjian yang disebutkan di atas yang meliputi antara lain : asas konsensualisme, asas kebebasasn berkontrak, asas kepastian hukum (facta sunt servanda), asas itikad baik, asas keseimbangan, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas moral menjadi prinsip yang mendasar dalam pembentukan sustu badan korporasi mengingat pembentukannya dilakukan oleh dua orang atau lebih. Saat penyusunan anggaran dasar tersebut pembatasan-pembatasan yang telah ditentukan oleh undang-undang, termasuk oleh kepatutan dan kebiasaan hatus dijadikan pegangan dalam menyusunan syarat dan isi perjanjian yang diwujudkan dalam anggaran dasar. Kecuali dalam hal badan usaha mikro yang selama ini berbentuk Usaha Dagang (UD) atau Perusahaan Dagang (PD) yang dibentuk oleh satu orang saja, maka tanggung jawab melekat pada setiap aktifitas  baik untung maupun rugi tanpa melibatkan pihak lain, sehingga terhadap bentuk kegiatan berlaku asas-asas dalam hukum keluarga dan hukum perkawinan.
b. Asas Kepribadian.
Perlu diperhatikan bahwa korporasi yang berbadan hukum adalah subjek hukum, artinya semua tindakan yang disesuai dan diamanahkan melekat pada tanaggung jawab badan hukum. Hal ini berbeda pada saat tanggung jawab yang diberikan tersebut keluar pada sisi koridor anggaran dasar ataupun peraturan yang mengatur, maka menjadi tanggung jawan secara pribadi untuk keseluruhannya. Asas kepribadian menunjukkan adanya keterkaitan langsung antara harta yang dimiliki serta tanggung jawab penuh para sekutu dalam persekutuan perdata, Firma dan Persekutuan Komanditer. Asas kepribadian dapat dipakai dalam bentuk tanggung renteng bagi pengurus.
c. Asas Tanggung Jawab Sosial & Lingkungan Corporate Social Responsibility.
Sebagaimana yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sebagai badan hukum tidak dapat terlepas dari keharusan guna menerapkan asas CSR. Hal ini merupakan amanah pada UU Perseroan Terbatas. UU Perseroan Terbatas menyebutkan setiap perseroan yang melakukan usaha di bidang dan atau terkait dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang memperhatikan kepatutan dan kewajaran dalam pelaksanaannya. Hal ini penting demi terjalinnya hubungan pelaku usaha (perusahaan) yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat.
d. Asas Keseimbangan.
Asas keseimbangan memberikan hak dan kedudukan yang sama bagi para pihak di depan hukum. Dalam asas hukum yang berlaku umum (generale principle of law), sesuai dengan asasinya, maka dituntut adanya persamaan hak dan kedudukan orang-perorang di depan hukum (equality before the law). Salah satu unsur keseimbangan dapat dilihat dari Pasal 1320 ayat (1) jo. Pasal 1321 BW yang menjamin unsur kesepakatan yang bebas dari kehilafan, paksaan dan penipuan dengan ancaman kebatalan. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1323 s.d Pasal 1326 BW, mengingat adanya tanggung jawab yang seimbang secara renteng serta tanggung jawab yang terbagi sesuai dengan tenaga, dan uang yang dilepaskan dalam persekutuan. Pancasila, pada Sila ke-2, Kemanusiaan yang adil dan beradab, perlindungan hak-hak perorangan diatur secara tegas bersama dengan itu pula dalam Sila ke-5 diatur tentang asas-asas keadilan, untuk memberikan kedudukan yang seimbang bagi masyarakat tanpa membedakan suku, agama, ras dan antar golongan.
e. Asas Gotong Royong dan Asas Kekeluargaan
Asas gotong royong dan asas kekeluargaan diambil dari butir-butir Sila ke-3 Pancasila :”Persatuan Indonesia”, makna yang terkandung tersebut merupakan cikal bakal pembentukan kerjasama yang dijabarkan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang di dalamnya mengandung asas kekeluargaan, dalam melaksanakan usaha bersama, baik dalam bentuk koperasi guna mendapatkan manfaat bersama seperti usaha.
f. Asas Fiduciary Duty.
Asas ini dikenal dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang memberikan kedudukan dan tanggung jawab seimbang Direksi perseroan sebagai pengurus dan pengelola perusahaan. Asas ini diambil dari hukum adat. Dimana Direksi selaku kepala keluarga bertanggung jawab sepenuhnya atas kelangsungan hidup keluarga sebagai bapak rumah yang baik. Ini juga berlaku kepada pengurus badan usaha badan hukum.
g. Asas Fiduciary Skill & Care.
Sebagai bentuk dari tanggung jawab hukum pengurus dan pengelola perusahaan kepada pihak ketiga, dituntut juga keahlian dan kepedulian serta kehati-hatian sekutu, pengurus dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada pihak ketiga sekaligus kontrol terhadap perilaku menyimpang yang merugikan yang dilakukan oleh pengurus dan/atau sekutu dalam persekutuan.
h. Asas Publisitas.
Sejalan dengan tuntutan yang diatur oleh Undang-undang Wajib Daftar Perusahaan, dalam rangka tertib administrasi, maka setiap pendirian badan hukum wajibkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris. Pendaftaran dilakukan di tempat domisili badan usaha bukan badan hukum, dimaksudkan agar Pemerintah mudah melakukan pembinaan dan pengawasan. Di samping itu, asas publisitas dapat juga memberikan akses publik untuk mengetahui keberadaan badan usaha tersebut. Asas publisitas hendaknya disinergikan dengan asas domisili yang ada.
Apa yang terbaca pada asas-asas tersebut, jika dihubungkan dengan pendirian yayasan, hanya dibedakan pada ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Yayasan. Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendiriannya sebagai kekayaan awal. Yayasan pada pendiriannya bisa dilakukan oleh satu orang atau lebih. Sangat dimungkinkan pendirian yayasan hanya satu orang maka proses pendiriannya tidak dapat dikategorikan sebagai bagian pada perjanjian.



2.    Yayasan Lembaga Berbadan Hukum
Salah satu ciri penting suatu organisai berbadan hukum adalah adanya naskah yang disebut konstitusi. Pengertian tentang hal ini dalam kebiasaan di Indonesia sejak dahulu sampai sekarang disebut sebagai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Ketentuan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sesuatu yang wajib dan utama dalam konteks organisasi yang selalu ada yang berbadan hukum, tidak hanya terbatas organisasi yang berbadan hukum privat dan non privat. Dalam bahasa Inggris, anggaran dasar itu sebut “constitution”, sedangkan pada anggaran rumah tangga dapat disebut dengan istilah “By-Law”. Anggaran rumah tangga selalu berisi penjabaran lebih teknis dari materi ketentuan konstitusi, terutama yang berkenaan dengan mekanisme kerja internal organisasi. Istilah yang dipakai adalah anggaran rumah tangga, yaitu terkait dengan urusan-urusan rumah tangga.  Namun pada dasarnya anggaran rumah tangga diatur secara internal dari masing-masing organisasi yang berbadan hukum yang tidak bertentangan dengan AD yang ada.
Pada ketentuan Pasal 9 ayat 2 menyebutkan bahwa pendirian yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dengan akta Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia. Ketentuan pembuatan akta pendirian yayasan dengan menggunakan akta Notaris sesuatu hal yang diwajibkan oleh UU. Karena akta pendirian pada yayasan didalam memuat anggaran dasar yayasan adalah suatu rangkaian untuk menempatkan yayasan sebagai badan hukum.
Pendirian Yayasan dengan akta Notaris merupakan syarat wajib karena diperintahkan oleh UU Yayasan. Fungsi akta notaris dalam pendirian yayasan merupakan syarat mutlak untuk adanya yayasan. Tanpa adanya akta yayasan yang dibuat dihadapan Notaris, maka pendirian yayasan  tersebut dianggap tidak pernah ada. Dengan kata lain,  akta akan menjadi bukti yang sempurna telah didirikannya yayasan.[57]
Karena itu, Habib Adjie mengatakan keberadaan akta pendirian yayasan yang dibuat oleh Notaris, di dalamnya memuat anggaran dasar merupakan aturan main untuk organ-organ dengan segala kewenangan, tugas, dan tanggung jawab, serta pengaturan  hubungan antar organ yayasan satu dengan lainnya. Selain itu akta tersebut juga mengatur secara eksternal yang mengatur yayasan dalam hubungan dengan pihak lain khususnya pihak diluar yayasan. Akta yayasan yang dibuat oleh Notaris adalah bersifat mandatori, sedangkan pendirian yayasan itu bersifat imperatif. Karena itu sifat akta pendirian Yayasan sebagai badan hukum berupa akta Notaris yang mandatori dan akta Notaris yang voluteari. Akta Notaris mandatori yaitu suatu perintah yang mewajibkan agar tindakan  hukum yang bersangkutan wajib dituangkan dalam bentuk akta Notaris.
Definis Yayasan tersebut menjadi jelas pilihan pendirian yayasan dengan maksud dan tujuan bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, untuk memberi ciri yang berbeda dengan badan hukum profit lainnya seperti perseroan terbatas maupun koperasi. Maksud dan tujuan pada pendirian yayasan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan dalam penjabarannya sebagaimana yang ada menempatkan yayasan yang dirikan benar-benar diarahkan untuk kepentingan sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang menekankan adanya hubungan kemanusiaan antar sesama manusia sebagai makluk sosial.
Ditempatkannya yayasan sebagai lembaga nirlaba yang berkarakter sosial, keagamaan dan kemanusiaan, maka kedudukan yayasan bukanlah sebuah perusahaan  sebagaiamana yang dikenal. Perusahaan sebagai entitas lembaga mencari keuntungan memang berbeda dengan yayasan. Sedangkan pendirian perusahaan pada perseroan terbatas biasanya dilalui dengan adanya perjanjian, sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 yang menyebutkan bahwa Perseroan Terbatas adalah suatu badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal yang seluruhnya terbagi dalam saham-saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaan. Pendirian perseroan terbatas yang dilalui oleh adanya perjanjian pendirian oleh para pendiri merupakan suatu yang utama karena adanya kesepakatan para pihak yang berkeinginan untuk mendirikan perseroan terbatas. Pasal 15 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) disebutkan bahwa jelas segala jenis perseroan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dikuasai oleh adanya persetujuan atau perjanjian pihak-pihak yang bersangkutan. Isi pasal ini mengharuskan perseroan-perseroan yang diatur dalam KUHD seperti perseroan komanditer, firma dan perseroan terbatas, lahir dari adanya persetujuan atau perjanjian diantara para pihak yang bersangkutan.[58]
Rudi Prasetyo[59], mengatakan di Belanda pada mulanya menganut pandangan bahwa setiap perbuatan pendirian badan hukum merupakan suatu perbuatan perjanjian, yang perlu dilakukan oleh dua orang atau lebih. Namun pandangan tersebut sudah ditinggalkan karena tidak relevan lagi.  Maka di Belanda sudah mulai menerapkan bahwa setiap perbuatan pendirian badan hukum tidak harus dipandang sebagai perjanjian, tetapi didasarkan pada ketentuan institusional (institutionele opvatting). Karena itu, pendirian badan hukum tidak perlu dilakukan oleh dua orang atau lebih, tetapi cukup dilakukan  oleh satu orang. Apa yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 9 ayat 1 UU Yayasan, bahwa setiap pendirian Yayasan dapat dilakukan oleh satu orang saja.
 Hal yang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat 2 UU Yayasan, pendirian yayasan dapat pula dilakukan berdasarkan adanya “Surat Wasiat”. Jadi dimungkinkan seseorang semasa hidupnya sudah bertekat atau berkeinginan  untuk memisahkan sebagian harta kekayaannya untuk dijadikan harta kekayaan suatu yayasan yang akan didirikannya. Tetapi pemisahan harta kekayaan itu dan pendirian yayasan itu tidak dikehendaki terjadi semasa hidupnya. Pendirian yayasan itu baru bisa terlaksana pada saat yang bersangkutan pemberi wasiat itu meninggal dunia.  Sedangkan pihak yang bertindak saat pemberi wasiat meninggal dunia adalah si penerima wasita  bertindak untuk mewakili pemberi wasiat.
Kalangan praktisi sering membedakan antara yurisprudensi tetap dan yurisprudensi belum tetap. Memang sampai saat ini belum ada kesepakatan definisi tentang apa yang dimaksud dengan yurisprudensi tetap maupun yurisprudensi belum tetap. Namun beberapa pendapat dan pendirian Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, menyebutkan bahwa yurisprudensi tetap adalah putusan-putusan hakim tingkat pertama, dan putusan hakim tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang telah berkekuatan tetap, atas perkara atau kasus yang belum jelas aturan hukumnya yang memiliki muatan keadilan dan kebenaran objektif yang telah diikuti berulang kali oleh hakim berikutnya dalam memutus perkara yang sama. Karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa putusan hakim dapat disebut yurisprudensi apabila putusan itu memiliki unsur-unsur sebagai berikut [60]:
a.       Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya.
b.      Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
c.       Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama.
d.      Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan, dan
e.       Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung
Beberapa unsur tersebut menjadi ladasan pijakan bagaimana suatu putusan memiliki nilai menjadi yurisprudensi. Ambil contoh Putusan Mahkamah Agung Nomor 63 K/Pdt/1987  Dalam hak Tergugat membayar harga barang yang dibelinya dengan Giro Bilyet yang ternyata kosong, maka dapat diartikan bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi dan mempunyai utang atau pinjaman kepada Penggugat sebesar harga barang tersebut dan tentang ganti rugi karena pembeli terlambat membayar, maka ganti rugi tesrebut adalah ganti rugi atas dasar bunga yang tidak diperjanjikan, yaitu 6 % setahun
Sedangkan yurisprudensi tidak tetap adalah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap namun belum melalui uji eksaminasi dan notasi tim Mahkamah Agung dan belum ada rekomendasi untuk menjadi yurisprudensi tetap. Walaupun kedudukan hukum yurisprudensi tidak mengikat bagi hakim,  namun dalam praktek peradilan ternyata memori bading, memori kasasi, bahkan memori Peninjauan Kembali (PK), serta kontranya selalu mencantumkan kaidah hukum yurisprudensi sebagai salah satu argumentasi pertimbangan yang dianggap penting.
Pasal 22 A.B, terkandung pengertian bahwa “Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili.”Hakim mempunyai kewenangan untuk menciptakan hukum (judge Made Law), terutama terhadap kasus-kasus yang sama sekali belum ada hukumnya, tetapi telah masuk di pengadilan. Dalam menciptkan hukum atas kasus-kasus perkara yang belum ada aturan hukum tersebut, hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dan dipelihara baik ditengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai hukum yang hidup itu antara lain : nilai-nilai ajaran agama, nilai-nilai adat istiadat yang masih terpelihara baik, keadaan sosial dan lainnya.
Montesquieu mengajarkan, badan peradilan (judiciary) sebagai salah satu unsur trias politica, menjalankan kekuasaan atau berfungsi mengawasi pelaksanaan hukum. Dalam perkembangannya, bukan lagi mengawasi pelaksanaan hukum yang dikedapankan, melainkan sebagai penegak hukum atau mempertahankan hukum (law enforcement, handhaving  van het recht) terhadap pelanggaran hukum (wederrechtelijk) atau perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad).  Fungsi peradilan tidak hanya mengawasi pelasanaan hukum dan menegakan hukum, melainkan sebagai pencipta hukum atau pembentuk hukum (law creator. Rechtschepper).
Ada berbagai faktor pendorong perkembangan itu sendiri yaitu ajaran hakim sebagai pembentuk hukum atau dikenal dengan sebutan ‘hukum yang dibuat oleh hakim (judge made law), ajaran ini dikenal pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System. Pembentukan dan sumber utama kaidah hukum dalam sistem Common Law adalah putusan hakim. Sedangkan ajaran yang lain yaitu peraturan perundang-undangan adalah sumber kedua setelah hukum dibentuk oleh hakim.
Karena itu peran hakim sebagai pencipta hukum sangat dominan pada kedudukan yang diemban dalam menjalankan kekuasaan peradilan sebagai hukum yang dibuat hakim (judge made law) atau hakim sebagai pembentuk hukum itu sendiri.
Putusan-putusan hakim yang berisi suatu pertimbangan-pertimbangan hukum berdasarkan ketentuan Pasal 22 A.B, kemudian menjadi dasar putusan hakim lain untuk mengadili perkara yang memiliki unsur-unsur sama, selanjutnya putusan hakim tersebut menjadi sumber hukum di pengadilan yang menjadi hukum yurispruednsi. Pengembangan hukum yurisprudensi bertujuan untuk menghindari kesimpangsiuran putusan-putusan hakim dalam menilai dan memutus pada perkara yang sama.
Putusan hakim tersebut, kemudian dibaca dan dimengerti oleh praktisi hukum lain, berproses menjadi putusan yang dinilai  realisitis, rasional, adil dan sesuai dengan  rasa hukum  yang hidup dalam masyarakat, maka putusan hakim tersebut  akan menjelma menjadi yurisprudensi tetap. Boleh jadi hukum yurisprudensi tersebut bertentangan dengan norma hukum tertulis yang jelas maknanya, tetapi disimpangi oleh hakim dengan pertimbangan social justice, dan moral justice.
Kata yurisprudensi beradal dari “iuris prudential” (Latin),  “jurisprusentie” (Belanda), “jurisprudence” (Prancis) yang berarti “ilmu hukum” (Black’s Law Dictionary, edisi II, 1979).  Pada sistem common law, yurisprudensi diterjemahkan sebagai “suatu ilmu pengetahuan hukum positif dalam hubungan  dengan hukum lain”. Sedangkan dalam sistem hukum statuta law, diterjemahkan “putusan-putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama. Putusan-putusan hakim yang lebih  tinggi tingkatnya dan diikuti secara tetap sehingga menjadi bagian dari ilmu pengetahuan, maka disebut hukum kasus “case law”. Berdasarkan definisi tersebut, putusan hakim ditingkat pertama maupun putusan hakim ditingkat banding sebagai pengadilan judex factie yang telah berkekuatan hukum tetap, putusan mana ternyata diikuti oleh hakim-hakim kemudian dalam memutus perkara yang sama, maka putusan hakim yang diikuti tersebut menjelma menjadi hukum yurisprudensi sebagai kaidah hukum baru dalam  mengisi kekosangan hukum.[61]
Untuk memahami apa yang dimaksud dengan badan hukum, kiranya perlu dibicarakan dulu megenai subjek hukum karena badan hukum merupakan salah satu dari subjek hukum. Subyek hukum adalah sesuatu yang dapat dibebani hak dan kewajiban.
Pernyataan pada Pasal 1 angka 1 UUY, menegaskan bahwa Yayasan adalah badan hukum. Badan hukum Yayasan terjadi karena undang-undang. Karena UU menyatakan dengan tegas. Sampai saat ini tidak ada batasan apa yang dimaksud dengan badan hukum tersebut.Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai badan hukum menurut Ali Rido :[62]
a.       Teori Fictie dari van Savigny berpendapat, bahwa badan hukum itu semata-amata buatan negara saja. Sebetulnya, menurut hukum alam hanya manusia sajalah sebagai subjek hukum, dan badan hukum itu hanya suatu fictie saja, yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya suatu pelaku hukum (badan hukum) yang sebagai subjek hukum diperhitungkan sama denga manusia,
b.      Teori harta kekayaan dari Brinz. Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. Namun tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu kekayaan, sedangkan tiada manusia pun yang menjadi pendukung hak-hak. Apa yang dinamakan hak-hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang mempunyai dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan kepunyaan suatu tujuan.
c.       Teori organ dari Otto van Gierke, menerangkan badan hukum itu adalah suatu realitas sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia ada di dalam pergaulan hukum. Tidak hanya suatu pribadi yang sesungguhnya, tetapi badan hukum itu juga mempunyai kehendak atau kemauan sendiri yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapannya (pengurus, pembida pengawas jiak itu pada Yayasan dan Direktur, Komisaris, jika itu pada Perseroan Terbatas). Apa yang mereka putuskan  adalah kehendak atau kemauan dari badan hukum. Teori ini menggambarkan badan hukum sebagai suatu yang tidak berbeda dengan manusia.
d.      Teori Propriete cellective dari Palniol, menurut teori ini, hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Disamping  hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupakan harta kekayaan bersama. Anggota-anggota tidak hanya dapat memiliki masing-masing untuk bagian yang tidak dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik bersama-sama untuk keseluruhan. Dapat dikatakan bahwa orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi  yang dinamakan badan hukum. Maka badan hukum adalah suatu kontraksi yuridis.
Teori-teori mengenai badan hukum tersebut mencoba untuk menerangkan suatu gejala hukum, yaitu adanya suatu organisasi yang mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana subjek hukum orang. Di satu pihak, hanya oranglah yang dapat menyatakan kehendaknya, tetapi di lain pihak dibutuhkan suatu bentuk kerja sama yang mempunyai hak dan kewajiban seperti  dimiliki oleh orang.Dengan demikian, dari berbagai teori badan hukum tersebut dibagi menjadi dua kelompok teori yaitu :[63]
a.       Pertama, mereka yag menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud yang nyata, dianggap mempunyai “panca indera” sendiri seperti manusia, akibatnya badan hukum itu disamakan dengan manusia.
b.      Kedua, mereka yang menganggap badan hukum itu tidak sebagai wujud yang nyata. Bahwa dibelakang badan hukum itu sebenarnya berdiri manusia. Akibatnya, apabila badan hukum itu membuat kesalahan maka kesalahan itu adalah kesalahan manusia yang berdiri dibelakang badan hukum itu secara bersama-sama.
Menurut doktrin atau ajaran umum (de heersende leer) pengertian tentang badan hukum haruslah memenuhi unsur-unsur :[64]
a.       Mempunyai harta kekayaan yang terpisah.
b.      Mempunyai tujuan tertentu
c.       Mempunyai kepentingan sendiri.
d.      Mempunyai organisasi teratur
Secara teoritik, baik dinegara common law maupun civil law dikenal beberapa ajaran atau doktrin yang menjadi landasan teoritik keberadaan badan hukum. Ada beberapa konsep tentang personalitas badan hukum (legal personality).
a.    Legal Personality as Legal Person
Menurut konsep ini badan hukum adalah ciptaan atau rakayasa manusia, badan merupakan hasil  atau fiksi manusia. Kapasitas hukum badan ini didasarkan pada hukum positif. Oleh karena personalitas badan hukum ini didasarkan pada hukum positif, maka negara mengakui dan menjamin personalitas hukum badan tersebut. Badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban tersebut diperlakukan sama dengan manusia “real Person

b.    Corporate Realism
Menurut konsep ini personalitas hukum suatu badan hukum berasal dari suatu kenyataan dan tidak diciptakan oleh proses inkorporasi, yakni pendirian badan hukum yang didasarkan pada peraturan perundang-udangan. Suatu badan hukum tidak memiliki personalitas sendiri yang diakui negara. Personalitas hukum ini tidak didasarkan pada fiksi, tetapi didasarkan pada kenyataan alamiah layaknya manusia.
Di dalam pendekatan yang demikian, ada kesulitan untuk menjelaskan mangapa beberapa badan hukum seperti persekutuan perdata dan perkumpulan  yang tidak berbadan hukum (unincorporates assosiation)  yang juga ada realitas, di sejumlah negara tidak diakui sebagai badan hukum.
c.    Theory of  Zweckvermogen
Menurut konsep ini suatu badan hukum terdiri atas sejumlah kekayaan yang digunakanan untuk tujuan tertentu. Teori ini dapat ditelusuri  ke dalam sistem yang menentukan  seperti hukum  yang ada di Jerman, bahwa institusi badan hukum publik (Anstalten) dan endowment dalam hukum perdata (Stftungen) adalah badan hukum yang ditentukan oleh individual anggotanya.
d.    Aggregation Theory
Teori aggregasi ini disebut juga sebagai teori symbolist atau teori bracker dan dalam versi moderen dikenal sebagai corporate nomonalism, secara teoritik berhubungan dengan teori fiksi. Pandangan individualistik yang berhubungan dengan teori fiksi. Pandangan individualistik ini menyatakan bahwa makluk (human being) dapat menjadi subjek atau penyandang hak dan kewajiban  timbul atau lahir dari hubungan hukum dan oleh karenanya benar-benar menjadi badan hukum. Menurut konsep personalitas korporasi, badan hukum ini adalah semata-mata suatu nama bersama (collective name) suatu simbol bagi para anggota korporasi.
e.    Modern Views on Legal Personality
Hukum nasional moderen dewasa ini menggabungkan antara realist and fictionist theory dalam pengatur hubungan bisnis domestik dan internasional, di satu sisi mengakui realitas sosial yang ada di belakang personalitas hukum, dan sisi lain memperlakukan badan hukum dalam sejumlah aspek sebagai suatui fiksi.
Menurut Blacks Law Distionary, sebagaimana dikutip oleh Suyud Maargono, [65]Yayasan adalah :
“Permanent fund established and maintained by contribution for charitable, educational, religious, research or other benevolent purposes. In institution or association given to rendering financial aid tocollagers, school, hospital, and charities and generally supported by gifts for such purposes. The founding or building of a college or hospital. The incorporation or endowment of a college or hospital is the foundation; and he who endows it with land or other property is the founder
Diartikan pula bahwa Yayasan adalah istitusi legal non-profit yang didirikan untuk tujuan karitatif (charitable purposes)
“A Foundation (also a charitable faoundation) is a legal categorization of nonprofit organization that will typically either donate funds and support to other organizations, or provide the source of funding for its own charitable purposes”
Beberapa pakar hukum juga memberikan definisi tentang yayasan diantaranya menurut  Utrecht, yang dimaksud dengan yayasan  ialah segala tiap-tiap kekayaan yang tidak merupakan kekayaan orang atau kekayaan badan yang diberikan tujuan tertentu. Sedangkan Yayasan menurut F. Emerson Andrews[66], yang dimaksud pada Yayasan adalah “A non governmental non profit organization having a principal fund of its’s own, managed by it’s trunders or director and established to maintain or aid social, educationnal, charitable, religius or other activities serving the common welfare.
Dari beberapa pengertian yang ada terlihat bahwa yayasan adanya batasan yang jelas dan diharapkan masyarakat dapat memahami bentuk dan tujuan pendirian yayasan, sehingga dengan demikian meluruskan persepsi tentang yayasan dan tujuan didirikannya yayasan yang pada tujuan pokoknya bergerak pada bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan sehingga pendirian yayasan tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
Beberapa upaya dilakukan untuk memberikan definisi tujuan sosial dan kemanusiaan pada yayasan, hal ini seringkali dikaitkan dengan pengertian charity yang diartikan pada Kamus The Contemporary English Indonesia Dictionary , kegiatan derma dan kegiatan amal dan disatu sisi diartikan juga Yayasan atau organisasi untuk membantu bagi orang-orang miskin.
Sedangkan pada pengertian Private Foundation pada Blacks Law Dictionary[67]  “ A charitable organization that is funded by single source, derivers its income from investments rather than contributions, and makes rants to other charitable organizations”.
Namun ada pertanyaan yang sangat mendasar sebagaimana yang disampaikan Rudhi Prasetyo[68], sampai seberapa jauh intensitas tujuan sosial tersebut menjadi nilai utama pada pendirian yayasan ? Hal ini pernah menjadi polemik di Belanda saat akan menyusun Wet opStichtingen. Pada saat ini pada pembentukannya ada yang sangat keras bahwa stichting harus murni nirlaba. Disamping yayasan dimungkinkan mendirikan badan usaha untuk menunjang pelaksanaan maksud dan tujuan yayasan. Yayasan dapat juga melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan pada yayasan. Penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif  yang dimaksud pada UUY dengan menempatkan yayasan selaku peserta pada bentuk usaha profit selaku pemegang saham pada perseroan terbatas yang tidak melebihi dari ketentuan yang ditetapkan oleh anggaran dasar yayasan, dimana yayasan mengambil saham  dari perseroan terbatas, maka keuntungan atau deviden merupakan hak dari pemegang saham  untuk dapat mengintensitaskan tujuan dari yayasan bidang sosial, keagamaan dan kemanusian dapat tercapai.

3.    Prinsip Dasar Good Corporate Governance
Prinsip tata kelola badan hukum selalu dimulai dari istilah yang memang sudah cukup lama dikenal dengan menggunakan istilah moderen dengan sebutan Good Corporate Governance. Prinsip tata kelola ini mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan keadilan. Penerapan Good Corporate Governance, mendorong dari dua sisi yang sebagai landasan  utama berupa etika dan peraturan.  Dorongan  etika (ethical driven) datang dari kesadaran para pelaku bisnis untuk menjalankan praktik bisnis yang mengutamakan kelangsungan hidup perusahaan,  adanya kepentingan stakeholders,  dan menghindari cara-cara menciptakan keuntungan sesaat. Sedangkan doroangan dari peraturan (regulatory driven) adalah bersifat memaksa perusahaan untuk patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebab itu, penerapan etika secara berkesinambungan akan  dapat mendukung terciptanya budaya governance. Etika pada Good Corporate Governance menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai sebuah mata rantai. Dalam arti, pada penerapan Good Corporate Governance merupakan perangkat kerasnya sedangkan etika menjadi perangkat lunak yang dapat menggerakan organisasi. Namun hal ini  selalu memiliki kelemahan dan kekuatan. Namun  masing-masing kelemahan dan kekuatan tersebut seyogyanya dapat saling melengkapi untuk menciptakan lingkungan yang seimbang dalam menjalankan roda kegiatan para pelaku bisnis dalam sebuah organisasi yang berbadan hukum privat baik yang berorientasi pada keuntungan maupun yang tidak.
Membicarakan persoalan Good Corporate Governance tidak dapat dilepaskan pada persoalan yang menjadikan corporate governance sebagai isu penting dikalangan para eksekuitf bisnis, akademis, konsultan korporasi, dan regulator (pemerintah) diberbagai dunia saat ini. Isu-isu yang berkaitan dengan coporate governance seperi  tranparansi, akuntabilitas, idependensi, responsibilitas, kesetaraan, etika bisnis, tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan perlindungan investor menjadi ungkapan-ungkapan yang lazim diperbincangkan dikalangan para pelaku bisnis.[69]
Perkembangan konsep corporate covernance sesungguhnya telah dimulai sebelum isu corporate governance menjadi kosa kata yang paling hangat di kalangan eksekutif bisnis. Bersama dengan dikembangkannya sistem korporasi di Inggris dan di Amerika Serikat sekitar satu setengah abad lalu (1840-an), isu corporate governance telah muncul ke permukaan, meskipun baru berupa saran dan anekdot. Saat berbagai definisi yang disampaikan, misalnya Cadbury Commitee  sebagaimana dikutip oleh Muhammad Shidqon Prabowo, [70]mendefinisikan corporate governance sebagai
A set of rule that define the ralationship between shareholder, manager, creditors, the governance, employees and other internal and external stakeholders in respect to their rights and responsibilities.
Sedangkan The Organization for Economic Corporation and Development (OECD)  mendefinisikan corporate governance berupa :
Coporate governance is the sistem by which  busines corporation are directed and control. The corporate governance structure specifies the distribution of right and responsibilities among different participant in the corporation, such as the board, the managers, shareholders and other stakeholder, and spells out the rule and procedure for making decision on corporate affairs. By doing this, it also provides the structure through which the company objectives are set, and the means of attaining those objectives and monitoring performance.
Menurut The Organization for Economic Corporation and Development, menyebutkan bahwa corporate governance adalah sistem yang dipergunakan untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan pada perusahaan, yang mengatur berbagau tugas, hak dan kewajiban terhadap kehidupan perusahaan, termasuk diperuntukan bagi para pemegang saham, direksi, dewan komisaris, dan maupun pihak-pihak yang terlibat pada perusahaan.[71]
Prinsip Good Corporate Governance di Indonesia, menjadi primadona saat mulai diwajibkan kepada seluruh sistem perbankan menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian  juga bagian salah satu prinsip yang termuat pada Good Corporate Governance. Sebab industri perbankan yang berkembang sangat pesat disertai makin kompleksitasnya kegiatan usaha perbankan mengakibatkan peningkatan resiko pada bank.  Oleh karena itu juga, pelaksanaan Good Corporate Governance pada industri perbankan harus senantiasa berlandaskan  pada lima prinsip utama. Pertama, prinsip transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi kepada para pihak khusus kepada para nasabah perbankan yang menyimpan dananya pada perbankan yang ada, serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggung jawaban organ bank sehingga pengelolaan dapat berjalan secara efektif. Ketiga, pertanggung jawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat. Keempat, indepedensi (independency), yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh atau adanya tekanan dari pihak manapun. Kelima, kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundaang-undangan yang berlaku. Kelima prinsip dasar tersebut, bank wajib berpedoman pada berbagai ketentuan-ketentuan serta pedoman yang berkaitan dengan dengan pelaksanaan Good Coporate Governance.[72]
Dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pelaksanaan Good Corporate Governance, bank diwajibkan secara berkala melakukan self assessement terhadap kecekupan pelaksanaan Good Corporate Governance dengan menyusun laporan pelaksana kegiatan, sehingga apabila masih terdapat kekurangan-kekurangan, maka dapat segera dilakukan tindakan-tindakan korektif yang diperlukan. Ini termuat pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank-Bank Umum.

4.        Penerapan Prinsip Good Corporate Governance Pada Yayasan
Undang-Undang Yayasan sebagaimana yang ada merupakan aturan dasar bagi yayasan di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan dari proses pendirian yayasan, perubahan anggaran dasar yayasan, pengumuman, kekayaan, organ yayasan dengna tugas dan tanggung jawabnya, laporan tahunan, pemeriksaan terhadap yayasan, proses penggabungan yayasan, permbubaran yayasan, terbentuknya yayasan asing dan ketentuan-ketentuan pidana.
Yayasan merupakan salah satu organsisai yang berbadan hukum. Sebagai badan hukum yayasan sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban, maka menjadi keharusan yang selalu ditekankan jika sebuah organisasi berbadan hukum tetap eksis dengan memandang pada nilai-nilai universal sebagaimana yang terkandung pada  Good Corporate Governance . Nilai-nilai tersebut menjadi suatu landasan yang selalu dijaga jika suatu badan atau organisasi yang berbadan hukum dalam hal ini yayasan dapat juga menerapan prinsip-prinsip yang terkandung pada Good Corporate Governance dilihat besarnya konflik ditubuh yayasan yang ada saat ini.
Prinsip Good Corporate Governance itu bukanlah istilah baru, melainkan konsep lama yang kembali dipopularkan, akibat adanya perkembangan sosial dari kemajuan pada praktik bisnis yang berkembang saat ini.  Ini bisa terlihat pada penerapan Good Corporate Governance,  sudah muncul sekitar tahun 1970-an.  Dimulai saat munculnya scandal keuangan yang melibatkan perusahaan  besar pada saat itu  seperti Enron, Wordcom, Tyco, London and Commonweald, Poly Peck, Maxwel, dan perusahaan besar lainnya.[73] Kasus kecurangan ini melibatkan manajemen puncak yang berlangsung cukup lama karena lemahnya corporate boards, yang diartikan juga sebagai peran lembaga pengawasan pada suatu badan hukum profit.
Kasus-kasus yang ada tersebut mencerminkan tidak jalannya pelaksanaan prinsip-prinsip Good Corporate Governance. Pada prinisp Good Corporate Governance  dalam penerapannya dapat dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan utama, yaitu etika dan peraturan peraturan. Pendekatan etika (ethical driven) merupakan kesadaran individu-individu pelaku bisnis untuk menjalankan praktik bisnis yang mengutamakan kelangsungan hidup perusahaan, kepentingan stakeholder, dan menghindari cara-cara menciptakan keuntungan sesaat. Sedangkan pendekatan peraturan  (regulatory driven) justru memaksa perusahaan untuk patuh terhadap peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua pendekatan ini memiliki kekuatan dan kelemahan dan saling ditutupi.
            Jika sebelumnya dasar diterapkannya Good Corporate Governance ini dimulai dari adanya adanya Keputusan Menteri Negara /Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara Nomor : KEP-23/M-PM.PBUMN/2000, tertanggal 31 mei 2000 tentang Pengembangan Praktek Good Corporate Governance dalam Perusahaan Perseroan (Persero), kemudian diubah dengan adanya Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor : KEP-117/M-MBU/2002, tentang Penerapan Praktek Good  Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), diberlakukan pada tanggal 31 Juli 2002. Dari keputusan tersebut adanya penekanan penerapan Good Corporate Governance  dimulai dari prinsip transparansi, kemandirian dan akuntabilitas dan lainnya.
            Prinsip tata kelola yayasan yang baik sebagaimana yang termuat pada prinsip Good Corporate Governance, dapat dijalankan oleh yayasan sepanjang prinsip tersebut memuat ketentuan aturan yang mengatur. Jika dilihat dari UU Yayasan yang ada dan dihubungkan pada prinsip Good Corporate Governance. Ada lima aspek yang harus dijalankan yayasan berupa :[74]
a.         Transparancy, dapat diartikan sebagai keterbukaan infomasi baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai yayasan.Prinsip ini sangat penting bagi para pendiri yayasan yang telah memisahkan sebagian harta pribadinya untuk kepentingan yayasan. Tidak hanya penting bagi pendiri yayasan, juga penting bagi organ yayasan yang menekankan pada keterbukaan informasi dengan mewujutkan pengembangan sistem akuntansi yang berbasis standar akuntansi dan best practices yang menjamin adanya laporan keuangan yayasan secara menyeluruh di saat yayasan mengelola pengembangan aset yang berasal dari sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, aset yayasan berasal dari benda wakaf, aset yayasan yang berasal dari hibah atau pemberian cuma-cuma untuk kepentingan maksud dan tujuan yayasan, aset yayasan yang berasal dari hibah wasiat dan aset yayasan yang diperoleh yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan.
b.         Accountability, adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggung-jawaban organ yayasan sehingga pengelolaan yayasan dapat berjalan secara efektif. Prinsip ini menegaskan bagiaman pertanggung-jawaban manajemen yayasan  untuk disampaikan kepada pembina yayasan atau kepada pihak ketiga. Prinsip ini diwujudkan dalam bentuk penyiapan laporan keuangan pda waktu yang tepat dan dengan cara yang cepat, adanya pengembangan komite audit baik secara internal dan eksternal, dengan menerapkan manajemen resiko dalam rangka mendukung fungsi pengawasan oleh pengawas yayasan sebagai organ secara internal dan adanya lembaga pengawas secara eksternal yang dibentuk oleh pemerintah dari yang membedakan yayasan dengan badan hukum lainnya. Penegakan hukum salah satu bagain menjalankan prinsip akuntabilitas.
c.         Responsibility, adalah pertanggung-jawaban yayasan. Prinsip ini menekankan dalam menjalankan yayasan dengan maksud dan tujuan di bidang sosial, keagaman dan kemanusiaan, harus selau mengacu pada UU Yayasan, anggaran yayasan yang termuat pada akta pendirian yayasan. Yayasan harus juga memiliki rasa tanggung jawab sosial baik kepada masyarakat atau lingkungan, dengan menjunjung tinggi etika.
d.        Independency, adalah kemadirian yayasan. Kemandirian ini diartikan suatu keadaan yayasan yang dikelola secara mendiri dan profesional tanpa harus meminta bantuan kepada pemerintah. Kedudukan yayasan akan eksis dan tidaknya hanya didasari dari niat baik para pendiri yayasan yang ada.
e.         Fairness (kesetaraan ) yaitu perlakukan yang adil dan setara dalam memenihi hak-hak yang ditetapkan. Prinsip ini menekankan nilai-nilai kesetaraan baik kepada pembina yayasan, pengurus yayasan dan pengawas yayasan. Prinsip ini menekankan  bahwa semua pihak baik pendiri yayasan dan para organ yayasan  harus diperlakukan sama dengan berdasarkan kedudukan yang dimiliki. Prinsip kesetaraan ini dapat diwujudkan dengan membuat peraturan yayasan tidak hanya yang termuat pada anggaran dasar yayasan atau UU Yayasan. Namun kesetaraan ini tidak boleh keluar dari tugas dan tanggung jawab yang ada.

f.     Pembentukan Lembaga Pengawas Sebagai Bagian Akuntabilitas Yayasan
Penerapan akuntabilitas (Accountability) pada yayasan membicarakan bagaimana yayasan sebagai kelembagaan non profit dapat memepertanggung jawababkan secara transparan dan wajar prinsip-prinsip pengelolaan yayasan secara benar, terukur dan sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan itu didirikan.[75] Akuntabilitas merupakan persyaratan yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Akuntabilitas yang dimaksud adalah  jaminan tersedianya mekanisme peran dan tanggung jawab dari masing-masing organ dalam fungsi dan kedudukannya yang benar-benar menjalankan sesuai sebagaimana yang diamanahkan oleh UU Yayasan, anggaran dasar yayasan dan tata aturan yang benar. Semuanya berjalan seusia dengan profesionalitas atas semua keputusan dan kebijakan yang diambil sehubungan dengan kegiatan yayasan bergerak pada bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
Penerapan akuntabilitas itu supaya dapat berjalan sebagaimana mestinya, maka sudah sepantasnya pemerintah memikirkan terbentuknya lembaga pengawas sebagaimana yang ada di Inggris dengan nama Board of Charity Commissioners. Lembaga ini memilikii peran pengawasan kepada lembaga-lembaga yayasan. Lembaga pengawas ini dapat memberikan nasehat dan melaksanakan investigasi terhadap penyalahgunaan fungsi yayasan sebagai badan hukum terhadap adanya laporan dari pihak ketiga.. Fungsi lembaga ini sebagai bagian penempatan sistem tata kelola yang baik pada yayasan dalam proses pengawasan secara eksternal.
UU Yayasan sendiri tidak menempatkan lembaga pengawas dalam arti mengawasi keberadaan yayasan sebagai badan hukum. Pasal 46 UU Yayasan, yang menyebutkan keberadaan lembaga kejaksaan yang mewakili kepentingan umum dalam arti tidak sesuainya pelaksanaan anggaran dasar yayasan yang dijalankan. Namun lembaga kejaksanaan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan investigasi yang bersifat kelembahaan. Lembaga kejaksaan hanya sebatas apabila didapati  proses pengangkatan, pemberhentian dan penggantian pengawas yang tidak sesuai dengan anggaran dasar yayasan.
Namun proses pengawasan sebagaimana yang ada saat diundangkannya UU Yayasan dalam kedudukannya peran-peran ogran pengawas tidak dapat berjalan. Kedudukan organ pengawas pada UU Yayasan maupun pada anggaran dasar yayasan hanya sebatas sebagai alat perlengkapan pada pendirian yayasan. Pemberian wewenang yang tercantum pada UU Yayasan terhadap organ pengawas hanya bersifat internal, karena sebagai tugas yang dilakukannya adalah memberikan nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan. Namun tidak dapat dipungkiri organ pengawas pada yayasan bisa saja tidak sejalan dengan pembina yang setiap saat pembina melakukan pemberhentian dengan alasan apa yang dijalankan oleh pengawas tidak sesuai dengan anggaran dasar yayasan.


 
BAB IV
PRINSIP TATA KELOLA BADAN USAHA YAYASAN

1.    Tata Kelola Badan Usaha Yayasan
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, yayasan didirikan oleh beberapa orang atau dapat juga oleh seorang saja, baik yang berwarga negara Indonesia maupun pendirian yayasan yang dilakukan oleh warga negara asing, dengan maksud untuk memisahkan harta pribadi seseorang atau beberapa orang untuk mendirikan yayasan dengan maksud dan tujuan pendirian dibidang sosial, kamanusiaan dan keagamaan.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 9 ayat 1 UU Yayasan disebutkan, bahwa yayasan dapat didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan harta kekayaan  sebagai pendiri digunakan sebagai kekayaan awal saat pendirian yayasan. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pendirian yayasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat 1 disebutkan yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal. Karena itu, pendirian yayasan tidak bisa disamakan dengan badan hukum lainnya yang berkarakter, dari adanya kesepakatan dua orang atau lebih untuk mendirikan suatu badan hukum yang dimaksud, bisa perseroan terbatas, koperasi, maupun perkumpulan.
Oleh karena itu, pendirian suatu yayasan di dalam hukum perdata disyaratkan pada dua aspek utama yaitu :
(a)    AspekMaterial, yaitu aspek yang berhubungan pada pendirian yayasan dimulai dari adanya pemisahan harta kekayaan pribadi untuk dimasukan ke dalam yayasan sebagai modal gerak pada kegiatan yayasan. Disamping itu juga, pada aspek material berupa pendirian yayasan harus memiliki tujuan pendirian yayasan. Tujuan pendirian yayasan itu bergerak pada bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Maksud dan tujuan dari pendirian yayasan sebagaimana tersebut sesuatu yang utama untuk membedakan badan hukum yayasan dengan badan hukum lainnya. Yayasan suatu badan hukum non profit, maka maksud dan tujuannya harus memiliki nilai sosial, nilai keagamaan dan nilai kemanusiaannya. Dimana nilai-nilai tersebut dijabarkan pada gerak dan kegiatan pada yayasan. Begitu juga pada pendirian yayasan harus ada sistem organisasi yang teratur, dimulai dari pemakaian nama yayasan yang harus didaftarkan melalui kantor Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dan penyusunan tanggung jawab masing-masing organ dari pendiri, pembina, pengurus dan pengawas. Walaupun pada anggaran dasar yayasan fungsi keberadaan pendiri hanya sebatas membawa proses pendirian yang dibuktikan pada akta pendirian yayasan dengan memisahkan harta pribadi untuk kepentingan yayasan. Kemudian pendiri dapat memposisikan dirinya untuk dan kepentingan selaku pembina, pengurus atau pengawas. Namun menurut ketentuan aturan yang berlaku kedudukan organ tersebut tidak dapat merangkap dalam jabatan yang telah ada.
(b)   Aspek Formal, yaitu aspek yang berhubungan dengan pendirian yayasan dibuktikan dengan adanya akta pendirian yayasan sebagai akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini Notaris. Pasal 9 ayat 2 menyebutkan setiap pendirian yayasan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan akta Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia. Ketentuan ini mencirikan keberadaan pendirian yayasan di Indonesia menurut ketentuan hukum yang  berlaku di Indonesia.[76]

2.    Tanggung Jawab  OrganYayasan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa yayasan sebagai subjek hukum yang bukanlah mahluk hidup seperti manusia, melainkan sebagai badan hukum yang mandiri penyandang hak dan kewajiban. Yayasan kehilangan daya berfikir dan kehendaknya, serta tidak mempunyai centraal bewustzijn, karenanya yayasan tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri. Berbeda dengan manusia yang dapat bertindak sendiri, yayasan sekalipun sebagai badan hukum merupakan objek hukum mandiri, tetapi pada dasarnya adalah “orang ciptaan hukum” (artificial person) yang hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantara manusia selaku wakilnya. Walaupun yayasan bertindak harus melalui perantara orang (natuurlijke personen), tetapi orang tersebut tidak bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri, melainkan untuk dan atas pertanggung jawaban yayasan. Orang-orang yang bertindak untuk dan atas pertanggung jawaban yayasan disebut organ. Ketergantungan yayasan pada wakilnya untuk melakukan perbuatan hukum menjadi sebab bahwa yayasan mempunyai organ sebagai alat perlengkapannya.[77]
            Jika merujuk pada teori organ yang dikemukakan oleh Otto von Gierke, terhadap bentuk usaha mandiri dengan tanggung jawab terbatas (legal entity) merupakan realitas hukum yang mempunyai kehendak dan kamauan sendiri yang dijalankan oleh alat-alat perlengkapannya. Alat perleangkapan ini dapat diidentikan pada seperti manusia yang mempunyai tangan, kaki, mata, telinga dan seterusnya. Karena setiap gerakan organ itu tunduk pada kehendak otak manusia. Maka sejalan dengan itu konsep manusia dan organ tersebut dapat dianalogikan bahwa setiap gerakan atau aktivitas pengurus, pembina dan pengawas pada yayasan merupakan kehendak dari badan hukum yayasan tersebut.Kehendak badan hukum itu dapat dilihat pada tujuan berdirinya yayasan yang memang berbeda dari badan hukum lainya yang berbasis profit.[78]

3.    Organ Yayasan
Patut disimak pendapat Rudhi Prasetya, sebagaimana yang disebukan bahwa yayasan tergolong sebagai subyek hukum yang diwujudkan pada badan hukum, maka sudah tentu sebagai subyek hukum yang berwujud badan, maka tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Sebagai subyek hukum badan, ia tidak dapat menjalankan sendiri apa yang harus dilakukan oleh badan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan alat perlengkapan (yang dinamakan sebagai organ) yang berwujud manusia alamiah untuk mengurus dan bertindak mewakili badan yang ada. [79]
Sekalipun yayasan sebagai badan hukum merupakan subjek hukum mandiri, pada dasarnya sebagai orang ciptaan hukum (artificial person) yang hanya dapat melakukan perbuatan dengan perantara manusia selaku wakil (melalui Pengurus). Selanjutnya ketergantungan yayasan pada seorang wakil (Pengurus) dalam melakukan perbuatan hukum menjadi sebab mengapa yayasan mempuyai organ? Tanpa organ tersebut yayasan tidak berfungsi atau berjalan dalam mencapai maksud dan tujuan yayasan. Dengan demikian, antara yayasan dan organ yayasan terdapat hubungan yang saling ketergantungan yang erat satu dengan yang lainnya. Di satu sisi keberadaan yayasan bergantung sepenuhnya keberadaan organ, disatu sisi tanpa adanya yayasan, maka organ yayasan tidak pernah ada. Di samping itu juga, yayasan juga bergantung pada organ-organ lainnya tersebut untuk melakukan kegiatan melaksanakan fungsi dan tujuannya. Sebagai sebuah badan hukum yayasan mempunyai suatu badan yang membentuk kehendak dengan perantara alat-alat atau organ-organ badan tersebut. Sebagai suatu organisasi dalam hukum, segala tindakan dari yayasan diwakili oleh organ pengurus, apa yang diputus oleh organ tersebut adalah keputusan dari yayasan.[80]

3.1    Organ Pembina
Istilah yang digunakan dalam UU Yayasan untuk lembaga tertinggi pada yayasan adalah pembina. Pembina adalah organ yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh UU Yayasan. Maka yang dapat diangkat menjadi anggota pembina adalah orang perseorangan yang merupakan pendiri yayasan dan atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Untuk menghindari tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan, tugas dan tanggung jawab yang mungkin dapat merugikan kepentingan yayasan atau pihak lain, maka anggota pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota pengurus, anggota pengawas dan atau pelaksana harian yayasan.

3.2              Organ Pengurus
Pengurus merupakan organ eksekutif dalam yayasan, karena pengurus melakukan pengurusan baik di dalam dan diluar yayasan. Pengurus menjalankan roda yayasan untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa pengurus merupakan organ yang mutlak harus dimiliki oleh yayasan. Untuk menjadi pengurus seseorang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.                   Orang perorangan (Pasal 30 ayat (2));
b.                   Mampu melakukan perbuatan hukum (Pasal 30 ayat (2));
c.                   Bukan pembina atau pengawas yayasan tersebut (Pasal 30 ayat (3));
d.                  Tidak pernah dinyatakan bersalah dalam melakukan pengurusan yayasan yang menyebabkan kerugian bagi yayasan, masyarakat, dan Negara berdasarkan putusan pengadilan, dalam jangka waktu 5 tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Pasal 38 ayat (2)); dan
e.                   Memenuhi persyaratan lainya yang diatur didalam anggaran dasar(Pasal 32).
f.                   Anggota pengurus yayasan yang didirikan oleh orang asing atau orang asing bersama orang Indonesia wajib bertempat tinggal di Indonesia.
3.3              Organ Pengawas
Ketentuan yang menyangkut organ pengawas pada yayasan terdapat pada Pasal 40 UU Yayasan dengan jelas menyebutkan bahwa pengawas adalah organ yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberikan nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan. Karena itu, setiap pendirian yayasan harus menempatkan satu orang dengan karakter dan dedikasi yang tinggi dan kemapuan sebagaimana yang disyaratkan untuk berperan sebagai pengawas yang akan memberikan nasihat kepada Pengurus.

4.    Badan Usaha Milik Yayasan
Adanya penegasan tentang status yayasan sebagai suatu badan hukum tertuang dalam Pasal 1 angka 1 UU No.28 Tahun 2004, menyebutkan bahwa yayasan ialah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemausiaan yang tidak mempunyai anggota.
Yayasan menurut penjelasan di atas mempunyai harta kekayaan.Harta kekayaan yayasan digunakan untuk mencapai maksud dan tujuan dari yayasan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat1 UU Yayasan menyebutkan bahwa suatu yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuan dari yayasan, dengan cara mendirikan badan usaha dan atau ikut serta dalam suatu badan usaha.[81]
Ketentuan Pasal 7 ayat 2 UU Yayasan yang memberikan batas tentang besarnya penyertaan modal usaha yang bersifat prosfektif, dengan maksimal seluruh penyertaan tersebut sebesar 25 % (dua puluh lima prosen) dari seluruh nilai kekayaan yayasan. Pembatasan tersebut dengan makud agar kekayaan yayasan jangan sampat digunakan melebihi batasan yang telah ditetapkan yang berakibat pada timbulnya kerugian bagi yayasan. Jika yayasan sebagai pendiri perseroan terbatas, maka yayasan turut andil sebagai pemegang saham pada perseroan terbatas tersebut. Keberadaan yayasan sebagai pemegang saham, diwakili oleh pengurus yayasan dengan terlebih dahulu telah mendapatkan persetujuan dari pembina untuk mewakili yayasan pada Rapat Umum Pemegang Saham pada perseroan terbatas. Keberadaan yayasan selaku pemegang saham pada perseroan terbatas, tidak serta merta pengurus yang mewakili yayasan pada Rapat Umum Pemegang Saham juga selaku organ pada perseroan terbatas. Keberadaan yayasan hanyalah selaku pemegang saham saja pada perseroan terbatas yang ada. Hal ini dikarenakan pada Pasal 7 ayat 3 UU Yayasan yang menyebutkan bahwa pembina, pengurus dan pengawas dari yayasan dilarang merangkap sebagai anggota direksi atau pengurus dan  anggota dewan komisaris atau pengawas dari badan-badan usaha. Penyertaan harta kekayaan yayasan  sebesar maksimal 25 % (dua puluh lima prosen) pada perseron terbatas selaku pemegang saham yang haknya menerim deviden (keuntungan) dari  perseroan terbatas yang ada.   Begitu juga pada Pasal 3 ayat 2 menyebutkan bahwa yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada pembina, pengurus dan pengawas.[82]
Pemberitaan Tempo.com pada tanggal 17 Maret 2017 membuat berita ada enam yayasan milik Soeharta yang bermasalah, salah satunya  Yayasan Supersemar. Yayasan ini oleh pemerintah diwajibkan membayar dan mengembalikan uang kepada negara sebesar Rp. 4.3 T. (empat koma tiga Triliyun rupiah).[83] Berdasarkan putusan Mahkamah Agung  dalam perkara Nomor : 2003 K/Pdt/2017.  Mahkamah Agung dalam penilaiannya bahwa Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum dan diharuskan mengembalikan 75 (tujuh puluh lima)  persen dana yang telah terkumpul  sejak tahun 1974 dengan asuumsi 25  persen dana tersebut telah disalurkan ke pihak-pihak penerima bantuan beasiswa Supersemar.
Adapun ke enam Yayasan Soeharta tersebut adalah :[84]
b.     Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab)
Yayasan Dakab didirikan untuk membantu keluarga besar Golkar. Semenjak tahun 1998 yayasan diubah tujuannya untuk membantu mengentaskan kemiskinan di beberapa provinsi yang dianggap rawan. Misalnya Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur. Awalnya Dakab mencari modal melalui penempatan modal pada Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk membantu modal kelompok keluarga miskin dengan bunga rendah. Berdasarkan hasil persidangan sejak turunnya Soeharto, ternyata ditemukan adanya banyak penyimpangan dalam menyalurkan dana yayasan. Dana yayasan sebesar Rp. 532,5 M  (lima ratus tiga puluh dua koma lima Miliyar rupiah) yang terhimpun dari sejumlah perusahaan atau badan usaha sebanyak Rp. 17,9 M  (tujuhbelas koma Sembilan miliyar rupiah) dikucurkan ke Perseroan Terbatas Sempati Nusantara Airlines milik Tommy Soeharto. Kucuran dana juga diterima oleh Perseroan Terbatas Kiani Sakti, milik Bob Hasan, yang digunakan untuk membangun proyek pulp.
c.      Yayasan Dharmais
Yayasan  Dharmais mewujudkan bantuannya untuk keperluan biaya makan dan perawatan kesehatan, paket pakaian, peralatan, prasarana dan alat ketrampilan, modal kerja, beasiswa anak asuh, kepada panti-panti asuhan. Bantuan untuk panti-panti asuhan itu dikirimkan setiap tiga bulan. Dana yang disediakan selama tahun 1999-2000  adalah sebesar Rp. 28.991.825.000 (dua puluh delapan miliyar sembilan ratus sembilan puluh satu juta delapan ratus dua puluh lima ribu rupiah) Aktivitas yayasan lainnya adalah membeli dan memiliki saham-saham di perusahaan-perusahaan besar. Termasuk dana sebesar Rp. 11,2 M  (sebelas koma dua miliyar rupiah) dikucurkan ke Perseroan Terbatas Sempati Nusantara. Nusamba Grup, milik Bob Hasan juga menerima kucuran dana sebesar Rp. 12,75 M (dua belas koma tujuh puluh lima miliyar rupiah)
d.     Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila
Yayasan yang berkembang ketika Sudharmono mejadi Kepala Sekretariat dilibatkan dalam pengelolaan proyek-proyek bantuan presiden (banpres). Cara mendapatkan dananya yayasan ini mewajibkan pelaksana proyek banpres meyumbang bagi yayasan. Selain itu dana yayasan diperoleh dari masyarakat, termasuk pegawai negeri sipil dan tentara. Anggota Korps Pegawai Negeri Indonesia golongan I bersedekah Rp 50 (lima puluh rupiah), golongan II Rp 100 (seratus rupiah), golongan III Rp 500 (lima ratus rupiah), dan golongan IV Rp 1.000 (seribu rupiah).
e.      Yayasan Supersemar
Didirikan Soeharto pada 1974 untuk memberikan beasiswa bagi pelajar/mahasiswa yang tak mampu. Namun penyaluran dana dari yayasan ini banyak mengalir ke perusahaan milik Bob Hasan, Nusamba Grup sebesar Rp. 12,7 M (dua belas koma tujuh Miliyar rupiah).  Selain itu, Rp. 10 M (sepuluh miliyar rupiah) dipakai untuk membeli saham Gedung Kosgoro. Bahkan saat Bank Duta mengalami kerugian, yayasan ini meyumbang dana sebesar US$ 419.6 (empat ratus sembilan belas koma enam juta dollar amerika).
f.       Yayasan Dhamandiri
Soeharto sebagai ketua yayasan pernah menerbitkan Keppres Nomor 90/1995. Isinya mengimbau para wajib pajak, baik perusahaan maupun pribadi, yang berpenghasilan Rp 100 juta ke atas untuk menyetorkan dua persen laba mereka ke pundi-pundi Damandiri. Belum puas, Soeharto melalui Keputusan Nomor 92/1996, dan kata "mengimbau" itu diganti menjadi "wajib". Hasilnya luar biasa, kejaksaan menemukan adanya dana yayasan-yayasan Soeharto sejumlah Rp 1,4 T (satu koma empat triliyun rupiah) yang digunakan di luar tujuan yayasan sebagai badan sosial. Dana itu digelontorkan ke sejumlah perusahaan milik kerabat Cendana. Antara lain Soeharto ini pernah memerintahkan kepada bendahara yayasan,  Bambang Trihatmojo, anak Soeharto, untuk menyalurkan dana ke bank milik Bambang yang sedang mengalami kesulitan dana. Bank Andromeda mendapat bantuan dana sebesar Rp. 112,7 M (seratus dua belas koma tujuh miliyar rupiah), yang dikucurkan secara bertahap mulai 26 Mei hingga 29 Agustus 1997. Karena bank tersebut akhirnya dilikuidasi, dana tersebut tidak ada tindak lanjutnya.
g.     Yayasan Trikora
Yayasan yang awalnya bertujuan mulia membantu anak-anak yatim anggota TNI yang gugur pada peristiwa merebut Irian Jaya. Tapi oleh kejaksaan dalam surat dakwaan bernomor Reg. PDS-217/JKTS/Fpk.2/08/2000, yang ditandatangani Ketua Jaksa Penuntut Umum Muchtar Arifin SH, disebutkan bahwa Soeharto telah merugikan negara sebesar Rp. 7 M (tujuh miliyar rupiah) di yayasan Trikora. Kerugian itu disebabkan pemberian dana kepada lembaga yang tidak berhubungan dengan kegiatan yayasan. Hingga 31 Juli 1999, dana yang tersisa dalam rekening yayasan sejumlah Rp. 26,5 M (dua puluh enam koma lima miliyar rupiah)..
            Bercermin pada kasus-kasus yang menimpa yayasan milik Soeharto[85]merupakan bentuk  tata cara pengelolaan yayasan yang tidak sesuai dengan UU Yayasan maupun pada aturan lainnya. Ketentuan yang menerangkan bahwa setiap yayasan yang didirikan sebelum UU Yayasan ada maupun saat UU Yayasan diundangkan atau diberlakukan, maka segala ketentuannya harus mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai yayasan dalam hal ini pada ketentuan Undang-Undang Yayasan yang ada saat ini. Sebab pada  UU Yayasan dipenjelasan bahwa Undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai yayasan, menjamin kepastian hukum dan ketertiban hukum, serta mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusian.[86]
            Ketegasan sebagaimana tergambarkan pada UU Yayasan[87] tidak lain menutup celah dari motivasi pendirian yayasan yang berlindung dari balik status  badan hukum yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan, melainkan juga ada kalanya bertujuan untuk memperkaya diri pendiri, pengurus dan pengawas dari yayasan. Disamping masih banyaknya kegiatan yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan.
                        Pada Pasal 28 ayat 2 huruf e UU Nomor 28 Tahun 2004, pada penjelasan  menyebutkan, bahwa kekayaan yang diperoleh yayasan dapat berasal dari  hasil usaha yayasan yang ada. Ini menunjukkan bahwa ditinjau dari kegiatan usahanya, maka jenis kekayaan Yayasan dapat berupa :
1.             Kekayaan yang berasal dari hasil usaha yayasan, misalnya kekayaan yang berasal dari penyertaan saham dari yayasan pada saat badan usaha yayasan dirikan, maka yayasan mendapatkan dividen pada pendirian tersebut; dan
2.             Kekayaan yang berasal dari perolehan lain atau di luar dari hasil usaha yayasan, misalnya bunga tabungan/deposito bank, sewa gedung, serta kelebihan pendapatan yayasan.
Telah diungkapkan pada bab sebelumnya,  memang terdapat pandangan yang mengatakan, bahwa yang dimaksud perolehan dari hasil usaha yayasan ialah perolehan yang didapat yayasan sehubungan dengan kegiatan yayasan sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan serta ijin yang dimiliki yayasan tersebut. Bagi yayasan yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan, tentunya para pengguna jasa kesehatan tersebut memberikan sejumlah pembayaran tertentu yang ditetapkan yayasan. Bagi yayasan yang bergerak di bidang pendidikan,  para siswa dikenakan sejumlah kewajiban pembayaran tertentu sebagai biaya pendidikan. Yayasan yang demikian ini dianggap yayasan yang memiliki kekayaan yang berasal dari hasil usaha yang dimilikinya.
Adapula yayasan yang sama sekali tidak memungut uang jasa kesehatan yang diberikan ataupun biaya pendidikan yang diberikan sebagai pendapatan yayasan, terlihat pada yayasan yang membebaskan uang biaya rumah sakit dan/atau obat-obatan bagi penderita penyakit atau penyakit tertentu atau pemberian bea siswa atau yayasan yang bergerak dalam pembangunan sarana peribadatan. Yayasan ini, memperoleh seluruh atau sebagian pendapatannya berasal dari para pengguna jasa yayasan. Maka sebagian sumber dana pendapatan yayasan dapat diperoleh dari para donator dalam bentuk sumbangan atau donasi yang tidak mengikat. Yayasan yang demikian ini merupakan yayasan yang tidak memiliki kekayaan yang berasal dari hasil usahanya.[88]
Bagi yayasan yang sama sekali tidak memungut pendapatan, maka seluruh dana dan/atau assetnya berasal dari modal awal para pendiri dan para donator atau sumber kekayaan yayasan lainnya. Biasanya, penerima jasa yayasan dari kalangan yang memenuhi kualifikasi tertentu misalnya karena termasuk golongan tidak mampu, atau karena mencapai prestasi tertentu dan sebagainya.
Berlakunya UU No. 28 Tahun 2004, secara tegas telah mengatur bahwa yayasan hanya diperkenankan untuk melakukan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat 1 yaitu menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan atau ikut serta dalam suatu badan usaha. UU Yayasan tidak memberikan kemungkinan bagi yayasan untuk langsung melakukan kegiatan usaha komersial dalam arti yayasan langsung mencari pendapatan/keuntungan (berbisnis), oleh karenan yayasan harus memiliki sifat sosial. Sebab pendirian yayasan didirikan bukan untuk tujuan komersial.
Yayasan merupakan salah satu badan hukum tertentu yang diberi keistimewaan untuk dapat ditunjuk sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Keistimewaan ini diberikan oleh Undang-Undang Pokok Agraria, sebagaimana menurut ketentuan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukkan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Pemberiaan keistimewaan ini sebenarnya merupakan pengecualian dari prinsip umum penerima dan pemegang hak atas tanah hak milik. Hal ini diperlukan mengingat badan-badan tersebut dalam  menjalankan tugas dan usahanya benar-benar memerlukan tanah dengan status hak milik. Pembebanan pemberian keistimewaan yang dimaksud bukan tidak terbatas. Peraturan ini mengatur bahwa pemilikan tanah dengan hak milik oleh badan-badan tersebut disertai dengan syarat-syarat mengenai peruntukan, yaitu dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha keagamaan/sosial, serta mengenai luasnya.[89]
Hal lain  terhadap pendirian yayasan oleh lembaga-lembaga pemerintah termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pada umumnya juga memanfaatkan fasilitas lembaga pemerintah atau BUMN maupun BUMD yang bersangkutan, baik dalam bentuk sarana, prasarana, ataupun kewenangan-kewenangan publik yang melekat pada lembaga pemerintah atau BUMN maupun BUMD tersebut. Kedudukan BUMN maupun BUMD sebagai pendiri yayasan pada umumnya diwakili oleh pejabat pada lembaga atau BUMN dan BUMD yang bersangkutan baik ex offisio maupun secara pribadi, namun kewenangan-kewenangan publik yang melekat pada dirinya sering dimanfaatkan untuk memupuk keuntungan yayasan. Hal ini disebabkan dalam kiprahnya yayasan tersebut tampak seperti penerima kuasa lembaga pemerintah, baik yang berasal dari BUMN atau BUMD.  Ketidak jelasan kedudukan ini menjadi akar masa timbulnya korupsi di Indonesia diduga berada dibalik pendirian dan pengelolaan yayasan yang pendiriannya didirikan oleh badan-badan milik pemerintah baik yang berasal dari Kementrian, departemen maupun badan usaha miik Negara, yang tidak sesuai dengan prinsip utama pendirian yayasan.
Pada masa pemerintahan Orde Baru hingga Era Reformasi, saat ini tercatat lebih 50 (lima puluh) yayasan milik pemerintah yang terafiliasi dengan 22 (dua puluh dua) departemen, kementerian, dan lembaga pemerintah pusat, 30  (tiga puluh) diantaranya yayasan yang didirikan oleh pemerintah melalui departemen, intansi atau pemerintah daerah, yang  80 % (delapan puluh persen) diantaranya berdiri di masa era pemerintahan Orde Baru. Hanya ada satu di masa Orde Lama dan lima lainnya berdiri di masa Era Reformasi. Fakta-fakta tersebut, terkait kasus korupsi sehubungan dengan keberadaan yayasan di departemen bersangkutan. Misalnya, kasus korupsi dana Yanatera Bulog tahun 1999 yang merugikan Negara Rp 35 M (tiga puluh miliyar rupiah).[90] Kasus penggelapan dana Yayasan Kesejahteraan dan Perumahan Prajurit (YKPP) senilai Rp 410 M (empat ratus sepuluh miliyar rupiah)  yang mencuat pada tahun 2004. Skandal aliran dana yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (milik Bank Indonesia) ke sejumlah anggota dewan dan penegak hukum senilai Rp 100 M (seratus miliyar rupiah), dan lainnya. Masalah yang ada menunjukan keberadaan yayasan pada saat pendiriannya sebelum diberlakukannya UU Yayasan, selalu digunakan untuk kepentingan pribadi pendiri, lembaga dan lainnya yang pengaturan secara pengawasan pada saat itu belum berjalan. Oleh karenanya, UU Yayasan selalu mengingatkan bagi para pendiri yayasan untuk segera menyesuaikan yayasan yang ada ke dalam peraturan yayasan yang berlaku saat ini. Guna penyesuaian tersebut dari sisi pemerintah tidak lain melakukan pendataan pada yayasan dalam register daftar yayasan pada Kantor Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia, dan segi legalitas keberadaan yayasan tersebut telah disahkan keberadaanya melalui Surat Keputusan Pengesahan Badan Hukum Yayasan melalui Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Pengesahan badan hukum yayasan ini dengan maksud penggunaan nama yayasan yang ada tidak boleh digunakan oleh pihak lainnya yang tidak berkepentingan atau yayasan itu secara khusus sudah memiliki identitas dengan pemakaian nama yayasan.



5.    Yayasan Sebagai Badan Hukum Penerima Bantuan Sosial
Saat ini regulasi pemberian hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari APBD (Aggaran Pendapatan Belanja Daerah) oleh Pemerintah Daerah baik Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada lembaga-lembaga sosial khususnya kepada penerima bantuan itu berupa badan hukum yayasan, saat masih terdapat beberapa kendala pada pemahaman dan pengertian. Walaupun regulasi mengenai ketentuan tersebut selalu ditafsirkan bermacam-macam.
Regulasi atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberian hibah dan bantuan sosial oleh pemerintah daerah adalah Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD yeng ditetapkan pada tanggal 27 Juli 2011 dan diundangkan pada tanggal 28 Juli 2012. Kemudian pada tanggal 21 Mei 2012 ditetapkan juga Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD yang diundangkan pada tanggal 22 Mei 2012, serta Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah.

6.    Pembubaran Yayasan
            Undang-Undang yayasan menyebutkan bahwa pembubaran yayasan terjadi dikarenakan :
a.       Jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir.
b.      Tujuan yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran telah tercapai atau tidak tercapai.
c.       Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan :
1)   Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan
2)   Tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau
3)   Harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah pernyataan pailit dicabut.

6.  Tanggung Gugat Yayasan
Tingginya angka tindak pidana korporasi yang terjadi di Amerika Serikat mendorong pemerintah Amerika Serikat membentuk satuan tugas yang disebut Corporate Fraud Task Force, yaitu suatu usaha administrasi politis yang sengaja dibuat untuk memberantas kejahatan korporasi.  Disebutkan bahwa dari sejak pembentukan Gugus Tugas tersebut pada tahun 2002 sampai tanggal 31 Mei 2004, Jaksa Penuntut Utama telah berhasil melakukan penuntutan terhadap lebih dari 500 (lima ratus) korporasi yang dianggap telah melakukan penipuan (corporate fraud) dengan tersangka sebanyak lebih dari 900 (semilan ratus) orang dan 60 (enam ratus) orang diantaranya terdiri dari pejabat korporasi setingkat Chief Excecutive Officer (CEO) dan direktur dengan tuduhan telah melakukan kehatan penipuan.[91]
Perkembangan kejahatan korporasi lainnya, juga terjadi di dalam masalah lingkungan hidup, seperti kasus “Pencemaran Teluk Buyat” dengan tersangka utama adalah Perseroan Terbatas  Newmont Minahasa Raya (PT. NMR). Perseroan Terbatas NMR yang telah melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan emas di wilayah tersebut selama 20 (dua puluh)  tahun telah diduga melakukan pencemaran lingkungan di Teluk Buyat akibat pembuangan limbah tailing (lumpur sisa penghancuran batu tambang) milik korporasi tersebut.
Dalam penyelidikan atas dugaan pencemaran lingkungan tersebut aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) selaku penyidik telah memeriksa sejumlah pengurus korporasi tersebut termasuk Richard Ness selaku presiden direktur korporasi yang telah ditetapkan sebagai tersangka pencemaran lingkungan yang pada tanggal 24 April 2007, dan kemudian dibebaskan dari segala tuduhan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Manado dan saat ini pihak kejaksaan selaku penuntut umum sedang melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI.
Walaupun upaya-upaya hukum untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana korporasi telah banyak dilakukan oleh berbagai negara, baik melalui pendekatan kerja sama internasional maupun melalui penegakan hukum di negara masing-masing namun dapat dikatakan hasilnya belum memuaskan.  Hal tersebut diakibatkan karena di samping sistem hukum (pidana) yang berbeda-beda dalam setiap negara, juga sistem pemidanaan yang cenderung lebih menekankan aspek pembalasan untuk memberi efek jera kepada pelaku sedangkan kepentingan si korban kurang terwakili dan sering terabaikan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka Indonesia sebagai negara hukum perlu melakukan perubahan-perubahan khusunya yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana (criminal law policy).  Kebijakan tersebut sangat diperlukan untuk memberi jalan keluar dalam penyelesaian berbagai kasus kejahatan dengan cara yang lebih bertanggung jawab, seperti proses penyelesaian kasus tindak pidana yang dituduhkan kepada H.M. Soeharto (mantan Presiden RI kedua) yang sampai akhir hayatnya belum dapat diselesaikan secara hukum.
Menurut pandangan penulis, bahwa terbengkalainya penyelesaian kasus H.M. Soeharto lebih diakibatkan oleh adanya pengaruh kuat dari aliran klasik yang begitu kuat tertanam dalam pemikiran para aparatur penegak hukum untuk lebih memilih dan mengedepankan pendekatan asas primum remedium tanpa mempertimbangkan sedikitpun asas ultimum remedium yang memberi peluang untuk menyelesaikan kasus tindak pidana dimaksud melalui pendekatan yang lebih bertanggung jawab seperti melalui pendekatan pemulihan atau restorative approach.
Di Indonesia, upaya penegak hukum terhadap tindak pidana korporasi telah dimulai sejak tahun 1955.  Diaturnya beberapa hal yang berhubugan dengan tindak pidana korporasi tercantum dalam Undang-undang tentang Penimbunan Barang yang kemudian dikenal secara lebih luas lagi dalam Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi serta beberapa ketentuan perundang-undangan yang baru yang mengatur tentang penegakan hukum atau pemidanaan terhadap tindak pidana korporasi, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Pasar Modal, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pencucian uang.
Pemberlakuan ketentuan perundang-undangan sejak tahun 1955 tersebut merupakan perwujudan dari keinginan yang besar pemerintah Republik Indonesia untuk memberantas tindak pidana korporasi yang sudah dianggap sebagai tindak pidana yang sangat berpotensi mengancam kehidupan perekonomian negara. Perumusan kebijakan pidana yang tertuang dalam sistem perundang-undangan yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korporasi di Indonesia, pada awalnya lebih menekankan pendekatan yang bersifat represif dan preventif, namun dalam perkembangannya terlihat beberapa perubahan, yaitu menggunakan pendekatan represif, preventif, dan restoratif secara bersama-sama baik terhadap ketentuan hukum pidana materiil maupun formiil, sebagaimana tercermin pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).
Romli Atmasasmita,[92] menyebutkan bahwa pendekatan refresif mencerminkan teori pemindanaan yang mengutamakan penjeraan dan pencegahan khusus; pendekatan preventif, yaitu merupakan sistem pencegahan kejahatan yang efektif; pendekatan restoratif, yaitu pengaturan tentang pengembalian aset hasil tindak pidana termasuk mekanisme dan proses penyitaan yang sangat diperlukan dalam meyelesaikan tindak pidana korupsi. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa pendekatan restoratif bertujuan memulihkan keadaan yang bermasalah atau mengalamai ketidakseimbangan menjadi tidak bermasalah atau mencapai harmoni dalam kehidupan masyarakat tertentu atau dapat memberi kemaslahatan bagi bangsa dan negara.
Kebijakan pengaturan dan penyelesaian kasus dalam sistem hukum pidana melalui pendekatan restoratif dalam perundang-undangan di Indonesia, selain merupakan kebutuhan hukum nyata yang sesuai dengan karakteristik iklim bisnis global, juga bertumpu kepada pengembangan korporasi baik domestik maupun joint venture domestik dan asing yang memerlukan perubahan paradigma dari pandangan yang masih menitik beratkan kepada sifat represif semata kepada pendekatan yang bersifat restoratif.
Dalam sistem hukum pidana Indonesia, penerapan pendekatan restoratif merupakan suatu kebijakan yang relatif baru dan masih bersifat sektoral namun demikian kebijakan tesebut adalah sesuai dan sejalan dengan deklarasi PBB yang diselenggarakan pada tahun 2000 yang tertuang dalam Prinsip-Prinsip Pokok tentang Penggunaan Program-Program Keadilan Restoratif dalam Permasalahan-Permasalahan Pidana (United Nations Declaration on the Basic Principles On the Use Of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters). Dalam deklarasi tersebut PBB telah menganjurkan agar setiap negara mendayagunakan konsep restoratice justice secara lebih luas pada suatu sistem peradilan pidana masing-masing negara sebagaimana yang kemudian dipertegas dalam deklarasi Wina (Vienna Declaration on Crime and Justice.  “Meeting the challenges of the Twenty-first Century”) dalam butir 27 dan butir 28 yang menyebutkan :
Butir 27 menyebutkan. We decice to introduce, where appropriate, national, regional and international action plans in support of victims of crime, such as mechanisms for mediation and restorative justice, and we establish 2002 as a target date for states to review their relevant practices, to develop further victim support services and awareness campaigns on the rights of victims and to consider the establishment of funds of victims, in addition to developing and implementing witness protection policies.
Butir 28 menyebutkan. We encourage the development of restoratice justice policies, procedures, and programmers that are respectful of the rights, needs and interests of victims, offenders, communities and all other parties.
            Demikian juga dalam Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke- 11 tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana (Eleventh United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice) yang diselenggarakan di Bangkok Tahun 2005, telah di tegaskan kembali pendekatan rsetoratif.  Butir 32 Deklarasi Bangkok tersebut dibawah judul Sinergi dan Tanggapan: Persekutuan Startegis dalam Pencegahan tindak pidana dan peradilan Pidana (Synergies and Responses: Startegic Alliances in Crime Prevention an Criminal Justice) menyebutkan sebagai berikut.[93]
            o promote the interests of victims and the rehabilitation of offenders, we recognize the importance of further developing restorative justice policies, procedures and programmers that include alternative to prosecution, thereby avoiding possible adverse effects of imprisonment, helping to decrease the overload of criminal court and promoting the incorporation of restoractive justice approaches into criminal justice system, as appropriate.
Karena itu pemberian sanksi terhadap korporasi baik profit model dan non profit model, yang mana pada pemberian saksi  terhadap korporasi yang bersifat represif atau retributif semata-mata ditengarai sering mengundang berbagai persoalan sosial baru khususnya bagi kedudukan korporasi tersebut, tidak terbatas kepada pihak ketiga maupun bagi karyawan. Karena itu menurut Rufinus Hotmaulana Hutauruk, pemberian sanksi pada korporasi yang telah melakukan tindak pelanggaran dengan cara pendekatan restoratif dan responsif sebagai alternatif pilihan sanksi yang dapat diterapkan terhadap korporasi agar penyelesaian tindak pidana dapat direspon dengan lebih baik dan maksimal serta tidak menimbulkan masalah sosial yang baru.
Pada kasus yang terjadi sebagaimana pada putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/2015 Tahun 2015 yang telah diputus pada tanggal 8 Juli 2015 dalam perkara yanag menempatkan Negara Republin Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesa  sebagai penggugat menggugat keberadaan Yayasan Supersemar yang amar putusannya menyebutkan :
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum;
3. Menghukum Tergugat II untuk membayar kepada Penggugat sejumlah 75 persen x US $ 420.002.910,64 = US $ 315.002.183,00 (tiga ratus limabelas juta dua ribu seratus delapan puluh tiga dolar Amerika Serikat) dan 75persen x Rp.185.918.048.904,75 = Rp.139.438.536.678,56 (seratus tigapuluh sembilan miliar empat ratus tiga puluh delapan juta lima ratus tiga puluhenam ribu enam ratus tujuh puluh delapan rupiah lima puluh enam sen);
4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
Menghukum Termohon Peninjauan Kembali I/Pemohon PeninjauanKembali II untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sejumlah Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah).
Kasus Yayasan Supersemar ini dimulai dari pemikiran bahwa masalah pendidikan meruapakan masalah bersama antara orang tua, masyarakat dan pemerintah. Banyak anak-anak dengan ekonomi yang terbatas memiliki kemampuan inteletual, namun kondisi ekonomi orang tua tidak dapat mendukung kelangsungan pendidikan formal. Sehingga saat itu Presiden Soeharto bermaksud untuk mendirikan suatu yayasan yang bertujuan untuk membatu anak-anak Indonesia disektor pendidikan. Maka pada tanggal 16 Mei Tahun 1974, Soeharto mendirikan Yayasan Supersemar tersebut. Pemakaian nama Supersemar pada pendirian yayasan bagian pada historis tegaknya masa pelaksanaan pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru  melaksanakan koreksi total terhadap kesalahan di masa lalu dan seterusnya bertekad melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen; yang berarti pula suatu perjuangan yang tidak kecil dalam upaya meningkatkan kecerdasan rakyat Indonesia.
Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1976 pada 23 April 1976 tentang Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.011/1978 tertanggal 30 Agustus 1978. Dalam aturan ini, Soeharto memerintahkan 5 persen dari 50 persen laba bersih bank milik negara disetor ke Yayasan Supersemar. Di mana Ketua Yayasan Supersemar adalah dirinya sendiri.  PP 15/1976 menjadi alat untuk mengucurkan dana negara ke Yayasan Supersemar. Hingga Soeharto lengser, Yayasan Supersemar mendapatkan dana USD 420 juta dan Rp 182 mliliar.  Setelah dana masuk ke kas Yayasan Supersemar, dana dibelokkan di luar tujuan pendidikan. Dana itu digunakan untuk investasi kepada :[94]
a.                   Perseroan Terbatas Bank Duta USD 125 juta.
b.                   Perseroan Terbatas Bank Duta juga kembali diberi dana USD 19 juta.
c.                   Perseroan Terbatas Bank Duta kembali mendapat kucuran dana USD 275 juta.
d.                  Sempati Air sebesar Rp 13 miliar kurun 1989 hingga 1997.
e.                   Diberikan kepada Perseroan Terbatas Kiani Lestari sebesar Rp 150 miliar pada 13 November 1995.
f.                   Diberikan kepada Perseroan Terbatas Kalhold Utama, Essam Timber dan Perseroan Terbatas Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri sebesar Rp 12 miliar pada 1982 hingga 1993.
g.                  Diberikan kepada kelompok usaha Kosgoro sebesar Rp 10 miliar pada 28 Desember 1993.
Kasus Yayasan Supersemar ini merupakan potret penyalahgunaan fungsi yayasan dalam pendiriannya. Yayasan sebagai lembaga non profit tidak dibenarkan dikelola secara perusahaan yang berorientasi mendatangkan keuntungan. Kasus yayasan yang mengatas namakan mantan Presiden Soeharto sampai saat ini masih menjadi polemik dalam tataran hukum di Indonesia dari langkah-langka cara penyelesaiannya.
7.    Penyelesaian Sengketa Pada Yayasan
Tingginya sengketa yayasan sebagaimana tergambarkan pada kasus-kasus yayasan yang ada saat ini, dikarenakan cara-cara penyelesaian sengketa yayasan selalu disamakan penyelesaian sengketa secara litigasi pada umumnya. Penyelesaian sengketa secara litigasi yang selama ini berjalan terasa tidak efektif yang masing-masing pihak  bersengketa berusaha memposisikannya paling benar terhadap kasus yang ada. Bisa terlihat dari kasus Yayasan Trisaksi yang bersengketa dengan Universitas Trisaksi dibawah kendali Rektor  selama jangka waktu 16 tahun lamanya. Selama 16 tahun baru bisa terselesaikan kasus tersebut saat dikeluarkan putusan Mahkamah Agung dengan melalui adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 410 K/PDT/2004 dan diperkuat dengan putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 575 PK/PDT/2011.
Adapun kronologis dari kasus Yayasan Trisaksi berupa :[95]
1.         Profil Yayasan Trisakti
Universitas Universitas Trisakti merupakan satu-satunya perguruan tinggi swasta di Indonesia dan perguruan tinggi swasta terbesar yang didirikan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 29 November 1965. Universitas Trisakti (Usakti) salah satu perguruan tinggi yang terletak di pusat kota Jakarta, tepatnya di Jalan Kyai Tapa, Grogol. Universitas Trisakti pada awal berdirinya diberi nama dengan Universitas Baperki yang didirikan oleh para petinggi organisasi Baperki pada tahun 1958. Tidak lama setelah itu, tepatnya pada tahun 1962 nama tersebut berubah kembali menjadi Universitas Res Publica. Selang beberapa tahun setelah itu, Indonesia mengalami peristiwa G30S PKI pada tahun 1965, yang mengakibatkan dibubarkannya Baperki oleh pemerintahan Orde Baru pada tahun 1966. Setelah dibubarkannya Universitas Res Publica dan pengambilalihan gedung operasional oleh pemerintah masa Orde Baru, Universitas Trisakti terlahir dengan wujud dan bentuk yang baru. Pembentukan susunan kepengurusan dan keanggotaan dewan operasional yang dilakukan dan dipimpin langsung oleh pemerintah. Dari pembentukan tersebut maka disepakati bahwa universitas akan dipimpin oleh Presidium sementara yang terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur Departemen PTIP, unsur ABRI dan unsur Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). Berdasarkan konsensus tersebut maka Universitas Trisakti merupakan unit perguruan tinggi swasta yang pertama dan satu-satunya, yang didirikan oleh pemerintahan Republik Indonesia. Pada masa sekarang kampus Universitas Trisakti, juga dikenal karena keterterlibatannya dalam peristiwa 12 Mei 1998 atau yang lebih dikenal dengan Tragedi Trisakti.
2.         Kronologi Kasus
Kasus ini dimulai antara Yayasan Trisakti dengan Universitas Trisaksi dibawah  naungan Rektor Trisakti pada saat itu Prof. Thoby diangkat sebagai rektor di Universitas Trisakti pada 9 September 1998 hingga 9 September 2002, untuk masa jabatan selama empat tahun. Namun, menjelang berakhirnya masa jabatan, Thoby diduga menggunakan cara-cara melawan hukum untuk mempertahankan posisinya sebagai rektor. Dengan melawan hukum, jelasnya, Thoby dan kawan-kawan telah mengganti secara sepihak statuta Yayasan Trisakti yang sah tahun 2001 dengan statuta karangannya sendiri, yakni statuta 2001 R tanggal 6 April 2002. Konflik antara Yayasan Trisakti dan Universitas Trisakti bermula ketika Rektor Usakti Thoby Mutis menyatakan diri sebagai calon tunggal rektor pada 2002. Padahal, sesuai statuta universitas, calon rektor minimal ada tiga orang. Sengketa pengelolaan pun bergulir hingga kini. Pengadilan demi pengadilan dihelat untuk memutuskan sengketa antara Yayasan dan Universitas Trisakti. Akhirnya, Mahkamah Agung (MA) memenangkan yayasan dan memerintahkan pengadilan negeri (PN) Jakarta Barat untuk mengeksekusi rektor bersama sembilan pejabat rektorat lainnya. Menurut yayasan, pada 4 September 2002, Rektor Universitas Trisakti Thoby Mutis beserta sembilan dosen dan pegawainya telah mengambil pengelolaan Universitas Trisakti secara paksa. Sengketa semakin meruncing. Ketiadaan kata sepakat antara pihak Thoby Cs. dengan pihak Yayasan Trisakti memaksa kedua pihak untuk berhadapan di meja pengadilan. Yayasan Trisakti sebagai penggugat, sementara Thoby Mutis dan delapan rekannya sebagai tergugat. Setelah tergugat sempat dimenangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, hakim mengabulkan gugatan dan memenangkan Yayasan Trisakti di tingkat selanjutnya. Pengadilan Tinggi DKI dan Mahkamah Agung (kasasi dan PK). Namun putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap tersebut tidak dapat dieksekusi karena dikatakan hanya bersifat deklaratoir yang menyatakan Thoby Mutis tidak sah sebagai Rektor.
3.         Perkembangan Kasus I
Yayasan kemudian menggugat ulang Thoby Mutis cs pada tahun 2007, yang dimenangkan oleh Yayasan Trisakti sejak di tingkat PN Jakarta Barat hingga Mahkamah Agung. Termaktub dalam Amar Putusan PT DKI No: 248/PDT/2009 Atas pengeluaran Thoby Mutis dari Kampus dan pertanggungjawaban keuangan sebagaimana dalam poin 4 disebutkan: menghukum para tergugat atau siapapun tanpa kecuali yang telah mendapatkan hak dan kewenangan dengan cara apapun juga dari para tergugat dengan memerintahkan secara paksa dengan menggunakan alat negara (Kepolisian), Putusan ini kemudian dibelokan oleh para tergugat dengan mengatakan bahwa implikasi hukumnya seluruh dosen dan karyawan akan terkena PHK kalau putusan ini dijalankan. Padahal maksud amar putusan ini adalah untuk mencegah Thoby Mutis cs menunjuk orang lain untuk menggantikan mereka secara sepihak, tanpa keterlibatan Yayasan Trisakti. Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung oleh Thoby Mutis Cs. ditolak oleh Majelis Hakim Agung dengan putusan nomor 821 K/PDT/2010, sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) pada tanggal 4 Januari 2011. Majelis Hakim Agung menyatakan Yayasan Trisakti adalah pemilik, pengelola, pembina, serta penanggung jawab yang sah secara hukum. Berbekal surat keputusan yang sudah berketetapan hukum (inkracht) tersebut, pengurus Yayasan Trisakti pun bermaksud mengeksekusi orang-orang yang dianggap terlibat dalam penguasaan kampus. Tercatat, sudah beberapa kali Yayasan Trisakti mendatangi Universitas Trisakti untuk menjalankan proses eksekusi. Meski demikian, upaya eksekusi ini berulang kali berujung pada kegagalan. Empat belas tahun setelah konflik Universitas Trisakti dan Yayasan Trisakti bermula, penunjukkan rektor baru diharapkan menjadi awal dari sebuah akhir. Namun, pihak universitas masih keberatan dengan kebijakan yayasan tersebut. Dalam sebuah audiensi dengan Senat Universitas Trisakti, Rabu, 19 Juli 2016, Menristekdikti M Nasir menawarkan sejumlah solusi dalam konflik antara Universitas Trisakti dengan Yayasan Trisakti tersebut. Salah satunya, jika Universitas Trisakti akan menjadi negeri, maka biaya kuliah harus disesuaikan dengan biaya kuliah PTN. Nasir juga menegaskan, Universitas Trisakti pun harus siap diaudit dari berbagai aspek. Pasalnya, meski berstatus kampus swasta, aset yang digunakan adalah milik negara. Sekira sebulan setelah mediasi di Kemristekdikti, suasana tegang menyelimuti
4.         Perkembangan Kasus II
Universitas Trisakti. Rabu, 24 Agustus, dini hari, ratusan preman menduduki kampus di kawasan Grogol, Jakarta Barat tersebut. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Trisakti lalu duduk bersama dalam proses mediasi dengan Menristekdikti Mohamad Nasir, rektor pilihan yayasan, Edy Suandi Hamid, serta Senat Trisakti selama satu jam lebih. Di antara hasil mediasi adalah, PDPT Usakti akan diselamatkan oleh Dikti sehingga dekan dan dosen bisa mengaksesnya tanpa harus ke rektorat atau yayasan. Kemudian, mediasi juga menyepakati perlu segeranya diadakan forum yang melibatkan kedua belah pihak untuk mencari solusi. Forum ini juga akan dihadiri wakil Kemristekdikti, Kemenkumham, Komnas HAM, komisi X DPR RI, dan mahasiswa. Kader menegaskan, penolakan atas pilihan yayasan menunjuk Edy Suandi sebagai rektor baru bukan karena tak suka dengan sosoknya. "Terkait rektor baru, Kami menolak mekanismenya bukan orangnya. Itu yang harus ditandai. Prof Edy tadi juga mengatakan apabila kehadiran beliau justru menambah permasalah, beliau bilang siap mundur," pungkas Kader. Namun proses mediasi belum menemukan hasil yang baik, karena pihak tergugat masih akan terus melawan walaupun melakukan langkah- langkah yang yang akan menerabas batas-batas hukum. Walaupun Ketua Tim Reposisi dan Penegerian Usakti, Dadan Umar Daihani menyebut, mengubah status Universitas Trisakti menjadi Perguruan Tinggi Negeri, diyakini menjadi solusi terbaik dalam menyelesaikan sengketa antara Universitas Trisakti dengan Yayasan Trisakti terkait dengan pengelolaan dan pembinaan kampus. Terlebih lagi, sebagian aset Universitas Trisakti dimiliki negara. Pada kasus ini akhirnya berujung pada pemecatan Thoby Mutis sebagai rektor karena sudah melanggar aturan yang sudah ditetapkan pihak Universitas maupun Yayasan.
Apa yang tergambarkan pada kasus Yayasan Trisakti, menunjukan proses penyelesaian sengketa yayasan yang diselesaikan secara litigasi tidak memberikan cara-cara penyelesaian yang ideal. Yayasan sebagaimana yang didefinisikan pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Yayasan, menyebutkan  bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan  yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai maksud dan tujuan  tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Apa yang tertulis pada ketentuan Pasal 1 angka 1 pada prinsip idiil pendirian yayasan dengan menempatkan prinsip utama pendirian yayaasan dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Prnisip-prinsip tersebut tidak berorientasi pada keuntungan sebagaimana pada pendirian badan hukum profit lainnya, seperti perseroan terbatas dan koperasi yang didirikan memang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.  Apalagi pada UU Yayasan tidak menyelaskan secara detail penyelesaian sengketa pada yayasan.
Cara-cara yang tergambarkan pada UU Yayasan dalam penanganan sengketa pada yayasan terasa belum efektif,  sepanjang para pihak tidak melakukan tindak pidana. Proses penyelesaian sengketa  yayasan sudah sepantasnya di bawah keranah non litigasi dengan membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Yayasan (BPSY). Badan Penyelesaian Sengketa Yayasan suatu badan yang dibentuk oleh pemerintah yang kedudukannya berada didaerah tingkat II. Sebab budaya bangsa Indonesia yang menekankan pada nilai-nilai musyawarah dalam menyelaikan perselisihan menjadi akar utama untuk menempatkan penyelesaian sengketa yayasan diluar pengadilan. Menurut Daniel S. Lev[96] adanya kecendrungan budaya di Indonesia untuk berkompromi bila timbul perselisihan pribadi tetap kuat dan sama sekali tidak terbatas pada masyarakat di desa saja juga dimasyarakat perkotaan. Membawa perselisihan diluar desa  berarti menarik perhatian pihak lain.
Lev menilai bahwa konsiliasi yang lazim dilakukan di Indonesia merupakan sifat budaya hukum Indonesia. Sesudah kemerdekaan Indonesia proses menjalankan sengketa dengan cara-cara diluar pengadilan sudah mulai diterapkan baik dengan cara konsiliasi, mediasi dan cara abritrase. Hal ini dilihat dari cara penyelesaian sengketa yang lebih efisiensi dan cepat baik dari segi waktu dan biaya. Penerapan penyelesaian sengketa pada yayasan dengan membentuk Badan Penyelesaian Sengketa yayasan dapat menjadi jalan keluar dalam menyelesaikan sengketa yayasan yang berlarut-larut. Sudah sepantasnya UU Yayasan yang ada saat ini untuk dilakukan revisi yang disesuaikan dengan kondisi yang ada saat ini.

8.  Perbandingan Yayasan di Belanda
8. 1 Sejarah Yayasan di Belanda
Yayasan, yang dalam bahasa Belanda disebut dengan stichting,  telah dikenal selama beberapa ratus tahun dan telah digunakan untuk berbagai tujuan di Belanda. Pada abad ke-17, orang-orang kaya mendirikan perumahan mewah (housing estates), misalnya Begijhhof di Amsterdam atau Bruges, rumah yatim piatu untuk anak-anak, gereja, museum dan sebagainya, semuanya dalam bentuk stichting. Sebagian besar stichting ini masih ada.Pada awalnya, stichting ini diperuntukkan hanya semata-mata sebatas untuk kegiatan sosial (liefdadig doel), tetapi ternyata dalam praktik telah berkembang untuk berbagai tujuan, yang bahkan berkembang ke gejala negatif yang menimbulkan akses penyalahgunaan stichting. Banyak stichting didirikan untuk berbagai bidang seperti eksploitasi persurat-kabaran, bank tabungan, bahkan sampai kepada kegiatan yang seyogyanya dijalankan dalam bentuk Besloten Vennootschap(BV). Namun dapat dilihat, provinsi Utrecht pada waktu itu, untuk penyelenggaraan air minum, mendirikan Drinkwater-leiding West Utrecht. Hal ini terjadi karena ini adalah cara yang paling mudah untuk membentuk badan hukum untuk berbagai tujuan.[97]
Secara yuridis diakuinya yayasan di Belanda sebagai badan hukum pertama-tama mengacu pada keputusan Hoge Raad tahun 1882 yang menyatakan bahwa yayasan sebagai badan hukum adalah sah menurut hukum dan karenanya dapat didirikan dalam kapasitas sebagai badan hukum. Pendapat Hoge Raad ini diikuti oleh Hooggerechtshof di Hindia Belanda dalam putusannya dari tahun 1884.35Sebelum adanya putusan dari Hoge Raad dan Hooggerechtshof yayasan hanya merupakan sebuah organisasi yang tumbuh dalam masyarakat karena tidak diatur dalam undang-undang.Artinya, sampai tahun 1956 Belanda tidak memiliki peraturan perundang-undangan tentang stichting dan hanya diatur oleh hukum tidak tertulis. Mencermati potensi stichting yang cenderung digunakan sebagai kegiatan usaha, pada tahun 1937 Pemerintah Belanda menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Stichting. Namun, dalam prosesnya mengalami kemacetan sehingga baru pada tahun 1956 dapat terlaksana, yaitu dengan terbentuknya “wet op de stichting” (disingkat W.S) tertanggal 31 Mei 1956, Staatsblad 327 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1957.37Pemberlakukan WS tersebut menguatkan keputusan Hoge Raad yang menyatakan bahwa stichting adalah sebuah badan hukum.Selanjutnya kaidah-kaidah hukum stichting dari WS ini diintegrasikan dalam Nieuwe Burgerlijk Wetboek (NBW)). Perihal stichting diatur dalam Buku II Titel 5 Pasal 285 sampai dengan Pasal 307, diatur bersamaan dengan rechtspersoonen.NBW mulai diberlakukan pada tahun 1977. [98]
Suatu stichting adalah badan hukum dengan tanggung jawab terbatas.Stichting kerap diartikan juga sebagai suatu “modal yang memiliki tujuan” yang dalam bahasa Belanda disebut “doelvermogen”, atau sejumlah uang yang dipisahkan untuk tujuan tertentu yang memiliki kehidupan sendiri. Stichting tidak memiliki anggota dan memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran kepada pendiri atau orang lain, dengan beberapa pengecualian yang akan di diskusikan berikut ini. Stichting masuk dalam buku II Bab 6 NBW dari Pasal 285 sampai dengan Pasal 307. Pasal 285 ayat 1 NBW. mendefinisikan stichting sebagai:
“Een Stichting is een door een rechtshandeling in het leven geroepen rechtspersoon, welke geen leden kent en beoogt met behulp van een daartoe bestemd vermogen een in de statuten vermeld doel te verwezenlijken”.  ''stichting'' is a legal person formed by means of a juridical act, that has no members, and that intents to realize an objective (purpose), mentioned in its articles of incorporation, by using capital (property) which has been brought in for this purpose.
Kemudian ayat 3 Pasal 285 N.B.W mengatur mengenai tujuan stichting yaitu hanya bertujuan sosial, sebagaimana berikut ini:
the objective (purpose) of a 'stichting' may not include the making of distributions to its founders (incorporators) or to those who are participating in its bodies or to others, except, as regards the latter, when these distributions are made for charitable (philanthropic) or social purposes
Secara khusus, Pasal 285 ayat (2) NBW, mengatur sebagai berikut:       [99]
a.       Suatu stichting adalah suatu badan hukum didirikan oleh suatu perbuatan hukum, tidak memiliki anggota dan bermaksud untuk menjalankan suatu tujuan yang disebutkan dalam akte pendiriannya, dengan menggunakan kekayaan yang dimasukkan ke dalam stichting untuk mencapai tujuan tersebut.
b.      Apabila akte pendirian stichting memberikan kepada satu atau lebih orang kewenangan untuk mengisi kepengurusan stichting maka berdasarkan hal ini stichting tidak dapat memiliki anggota .
c.       Tujuan stichting tidak boleh termasuk memberikan keuntungan/pendapatan atau mendistribusikan pendapatan kepada pendirinya atau mereka yang berpartisipasi sebagai organ atau kepada pihak lain, kecuali, dalam hal pemberi dalam hal pemberian tersebut dilakukan dalam kegiatan amal atau sosial.

8.2 Karakteristik Hukum Stichting Belanda
a.     Badan hukum. Berdasarkan hukum Belanda, stichting adalah suatu badan hukum. Seperti halnya badan hukum lainnya, PT misalnya, stichting dapat memiliki aset atas namanya sendiri. Namun demikian, stichting tidak dapat memberikan atau mendistribusikan [keuntungan] kepada pendiri atau anggotanya. Stichting dapat memberikan [keuntungan] kepada kegiatan amal atau pemberian yang merupakan bagian dari kegiatan stichting tersebut [dengan kata lain apabila skema pendapatan (pensiun) adalah kegiatan stichting].
b.     Tujuannya. Pada awalnya, stichting digunakan untuk tujuan non-profit dan amal. Namun beberapa dekade terakhir, stichting semakin banyak digunakan untuk kepentingan komersial. Tidak seperti di beberapa Negara, tidak terdapat pembatasan jenis kegiatan-kegiatan komersial yang dapat dilakukan oleh suatu stichting. Stichting dapat memiliki tujuan atau maksud yang luas dan dapat mendirikan usaha, seperti toko, atau usaha konsultasi. Dalam hal tersebut, orang-orang yang terlibat disitu tidak ingin menumpuk kekayaan dan hanya menerima gaji sebagai pembayaran. Keuntungan diakumulasikan dalam stichting untuk digunakan sesuai dengan tujuannya.
c.     Keanggotaan. Kriteria hukum lainnya dari stichting adalah tidak memiliki anggota atau pemegang saham seperti Perkumpulan (Association / Vereningen), Perseroan Terbatas (NV atau BV). Namun stichting dapat menerbitkan bukti-penyimpanan (depository receipts atau certificaten) yang memberikan manfaat hak atas kekayaan yang dimiliki oleh stichting. Stichting yang telah menerbitkan bukti-penyimpanan disebut sebagai suatu “STAK” (stichting administratitiekantoor). Dengan menerbitkan bukti-penyimpanan, hak suara dan hak ekonomis atas kekayaan, biasanya dalam bentuk saham, dipisahkan.
d.    Kewajiban Finansial. Tidak ada kewajiban untuk memberikan uang (ekuitas) ke dalam stichting. Modalnya harus digunakan sesuai dengan tujuannya dan tidak dapat digunakan untuk membayar penerima manfaat tertentu.
e.     Kepengurusan (Manajemen). Dewan [pengurus] stichting adalah satu-satunya organ yang mewakili stichting. Stichting memiliki minimal satu orang direktur/ pengurus yang dapat seorang direktur suatu perseroan terbatas.
f.      Pertanggungjawaban. Pertanggung jawaban terbatas bagi anggota pengurus stichting.
g.     Pendirian. Stichting didirikan dengan akta notarial. Mengingat hanya terdapat beberapa persyaratan formal, stichting dapat didirikan dan beroperasi dalam waktu 2 (dua) hari. Menurut hukum perusahaan Belanda, dimungkinkan untuk mengubah suatu PT seperti NV atau BV menjadi stichting, dan sebaliknya. Selain itu, dimungkinkan pula untuk menggabungkan atau memisahkan stichting. Sebagaimana dijelaskan, bahwa stichting harus didirikan dengan akta notaris oleh seorang pendiri, namun pendiri ini tidak lagi terlibat setelah stichting berdiri namun dapat diangkat atau tunjuk sebagai pengurus. Sebagai akibat bahwa biaya pendirian stichting amal di Belanda murah, banyak stichting dalam bentuk amal di beberapa Negara di Eropa berpindah ke atau didaftarkan menurut instansi pajak Belanda. [100]

9.Perbandingan Yayasan di Amerika Serikat
“Foundation” (Yayasan) di Amerika Serikat didefinisikan sebagai suatu organisasi/badan non-pemerintah, not for-profit yang memiliki kekayaan sendiri, dikelola oleh trustee atau direktur dan didirikan untuk membantu kepentingan sosial, pendidikan, amal, keagamaan, atau kegiatan-kegiatan lain dengan tujuan melayani kesejahteraan umum/bersama. Namun demikian, Internal Revenue Code (UU Pajak Amerika Serikat) membedakan antara private foundation, yang biasanya didanai oleh perseorangan, keluarga atau perusahaan dan public charities (community foundation dan badan-badan not-for-profit lain yang mengumpulkan uang dari masyarakat umum). Private foundation memiliki ketentuan yang lebih mengikat dan tidak mendapatkan manfaat pajak yang terlalu banyak dibandingkan dengan badan amal publik seperti yayasan masyarakat (community foundation). [101]
            Di Amerika Serikat, terdapat dua (2) donatur (filantropis) terkenal pada masa Gilded Age yang menjadi pelopor kegiatan amal secara perseorangan (private) yang dikelola secara modern dalam bentuk yayasan, yaitu: John D Rockefeller and Andrew Carnegie. Kedua pengusaha tersebut mengakumulasikan kekayaan pribadinya dalam jumlah tertentu dari keuntungan yang diterimanya, dan keduanya pada tahun-tahun berikutnya memutuskan untuk menyumbangkannya.Carnegie, misalnya, menyumbangkan sebagian dari kekayaannya untuk membangun perpustakaan dan museum sebelum menginvestasikan hampir seluruh sisa harta kekayaannya ke dalam Yayasan Carnegie (Carnegie Foundation) dan the Carnegie Corporation of New York. Begitu pula Rockefeller, yang membangunUniversity of Chicago dan menyumbangkan hampir sebagian kekayaannya untuk mendirikan Rockefeller Foundation. Selain itu, pada tahun 1914, Fedrick Goff, seorang bankir terkenal Cleveland Trust Company, menghendaki penghapusan organisasi amal yang menurutnya “dead hand” dan mendirikan yayasan masyarakat/publik pertama di Cleveland. Dia mendirikan struktur yayasan yang berbadan hukum yang dapat mendayagunakan pemberian atau sumbangan masyarakat yang lebih tanggap dan sesuai dengan kebutuhan.Ini adalah bentuk pengawasan dan pengurusan dalam “live hand” masyarakat sebagai lawan dari “dead hand” yang terdapat pada para pendiri yayasan perdata/privat. [102]

9.1.  Bentuk Foundation di Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, suatu entitas atau badan dengan nama “foundation” secara umum akan dianggap sebagai “charitable foundation”. Namun demikian, suatu organisasi atau badan dapat menggunakan kata “foundation” tetapi bukan suatu lembaga amal atau charitable foundation.Undang-undang negara bagian dapat menerapkan pembatasan-pembatasan. Sebagai contoh, Negara Bagian Michigan memperbolehkan penggunaan yayasan hanya untuk non-profit dengan “tujuan menerima dan mengelola dana untuk mengingat seseorang, melestarikan benda sejarah atau kepentingan alam, pendidikan, amal, atau tujuan keagamaan, atau kesejahteraan masyarakat”. Disinilah terletak perbedaan utama antara charitable organization (organisasi atau lembaga amal) dannot-for-profit organization (organisasi non-profit).
IRS menentukan berbagai jenis organisasi non-profit yang tidak terkena pajak penghasilan.Namun, hanya organisasi atau lembaga/badan amal saja yang dapat menerima pengurangan pajak dan dapat tidak terkena pajak properti dan penjualan.55 Sebagai contoh, seorang donatur akan mendapatkan pengurangan pajak untuk uang yang diberikannya ke toko sup ayam di daerahnya apabila organisasi atau badan/lembaga tersebut termasuk dalam klasifikasi sebagai organisasi atau badan/lembaga menurut Ketentuan 501(c)(3); namun seorang donatur tidak mendapatkan pengurangan pajak ketika ia menyumbangkan dana untuk National Football League (NFL), walaupun NFL adalah perkumpulan non-profit berdasarkan 501(c)(6). Selain itu, badan amal publik (public charity) dan foundation tidak dapat memberikan sumbangan atau terlibat dalam aktivitas politik, kecuali lembaga-lembaga ini melepaskan statusnya sebagai lembaga yang tidak terkena pajak dan tidak melakukan permohonan pengurangan pajak bagi donatur/penyumbang.
Organisasi amal yang tidak terkena pajak (tax-exempt charitable organization) terbagi dalam dua bentuk:[103]
1.      badan amal publik (public charities), yaitu community foundation (yayasan masyarakat), merupakan badan amal publik yang diatur dalam The US Tax Code 26 USCA 501(c)(3)
2.       Yayasan privat (private foundations) yang diatur dalam The US Tax Code in 26 USCA 509


9.2 Yayasan Masyarakat (Community Foundation)
Yayasan masyarakat adalah instrumen masyarakat yang dibentuk untuk mengumpulkan sumbangan ke dalam suatu fasilitas investasi dan hibah (grant) yang diperuntukkan terutama bagi peningkatan sosial di suatu tempat.58 Dengan kata lain, suatu yayasan masyarakat adalah seperti yayasan publik. Bentuk yayasan ini mewajibkan perwakilan masyarakat di dalam Dewan Pengurus dan hibah atau donasi diberikan untuk meningkatkan masyarakat. Kerapkali terdapat suatu kota yang memiliki suatu yayasan masyarakat yang Dewan Pengurusnya terdiri dari pemimpin-pemimpin yang mewakili kepentingan usaha, agama dan lokal. Hibah atau donasi yang nantikan diberikan oleh yayasan masyarakat tersebut harus lah bertujuan memberikan manfaat bagi masyarakat atau warga di kota tersebut. Terdapatnya keterlibatan dan pengawasan dari masyarakat inilah yang menyebabkan yayasan masyarakat lebih tepat diklasifikasikan sebagai badan amal publik daripada yayasan perdata/privat.

9.3 Yayasan Perdata/Privat (Private Foundation)
Yayasan Perdata/Privat karakteristiknya memiliki satu donator utama (biasanya hibah dari satu keluarga atau perusahaan daripada dana dari banyak sumber/donatur) dan sebagian besar kegiatannya adalah menyalurkan uang/dana tersebut kepada organisasi amal dan perorangan lainnya, daripada melakukan sendiri kegiatan atau program amal.Anggota yayasan biasanya berasal dari anggota keluarga atau pengurus perusahaan yang mendirikan yayasan tersebut.Hal ini membatasi kontrol masyarakat (publik) terhadap yayasan perdata/privat yang menyebabkannya mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan yayasan kemasyarakatan (community foundation). Perbedaan perlakuan bagi yayasan privat dibandingkan dengan badan amal publik termasuk yayasan kemasyarakat adalah sebagai berikut:
1.      yayasan wajib membayar 5% atas kekayaannya setiap tahun sedangkan badan amal tidak .
2.      donatur donatur badan amal mendapatkan pengurangan pajak yang lebih besar daripada donatur yayasan
3.      bada badan amal wajib mengumpulkan minimal 10% dari pengeluaran tahunan dari masyarakat agar tetap mendapatkan pengecualian pajak sedangkan yayasan tidak.

9.4 Yayasan Operating dan Non-Operating
Selain itu, untuk tujuan pajak, terdapat beberapa bentuk yayasan privat/perdata. Perbedaan utamanya adalah antara apa yang masuk kategori “operating” foundation dan “grant-making” foundation (yayasan pemberi hibah).Yayasan “operating” menggunakan dananya untuk mencapai tujuannya secara langsung. Yayasan “grant-making” menggunakan dananya untuk disumbangkan kepada organisasi lain yang secara tidak langsung melaksanakan tujuan yayasan. Yayasan “operating” memiliki perlakuan pajak yang menguntungkan di beberapa sektor, termasuk mengizinkan penyandang dana individu menyumbangkan lebih banyak pendapatannya dan mengizinkan yayasan “grant-making” mengurangi sampai 5% kewajiban minimum pembagian.
Sebagaimana telah didefinisikan di atas maka suatu yayasan adalah suatu lembaga/ badan/entitas non-pemerintah yang didirikan atau dibentuk sebagai perusahaan non-profit atau lembaga amal, dengan tujuan utama memberikan bantuan kepada organisasi yang tidak serupa, institusi, atau individu untuk kepentingan ilmiah, pendidikan, budaya, agama, atau tujuan amal lainnya. Definisi yang luas ini mencakup dua jenis yayasan: yayasan privat/perdata dan badan-badan pemberi hibah publik (grant-making). Yayasan perdata/privat mendapatkan uangnya dari keluarga, individu atau suatu perusahaan.Contoh yayasan perdata/privat adalah Yayasan Ford (Ford Foundation).Sedangkan badan amal pemberi hibah (kerap disebut pula dengan “yayasan publik”) mendapatkan bantuan dari berbagai sumber seperti yayasan, individu, lembaga pemerintah.Contohnya Yayasan untuk Perempuan (Foundation for Women).Sebagaian besar yayasan kemasyarakatan (community foundation) adalah juga badan amal grant-makingpublik (badan amal pemberi hibah publik). [104]






BAB V
PENUTUP
1.      Kesimpulan
a.         Pada prinsipnya yayasan sebagai badan hukum terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pribadi para pendiri diperuntukan untuk mencapai maksud dan  tujuan pendirian yayasan. Maksud dan tujuan pendirian yayasan di bidang sosial, keagamaan dan kemanusia merupakan landasan utama pendirian yayasan sebagai badan hukum. Pendirian yayasan tidak boleh keluar dari prinsip idiil tersebut, karena prinsip idiil pendirian yayasan yang membedakan yayasan dengan badan hukum lainnya, maka yayasan harus berjalan pada koridor prinsip-prinsip idiil tersebut. Fakta menunjukan bahwa pendirian yayasan oleh para pendiri sangat dimungkinkan untuk berlindung dibalik status badan hukum yayasan yang tidak hanya sebagai wadah mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusia, melainkan juga bertujuan untuk memperkaya diri pada pendiri, pengurus dan pengawas. Segala sesuatu yang memotivasi yang bertentangan pada prinsip idiil yayasan harus diperkuat dengan peraturan yang mengatur.
b.         Penerapan prinsip tata kelola yayasan dengan menempatkan prinsip  transparency, accountability, responsibility, independency dan fairness, merupakan prinsip dasar  untuk melindungi hak dan kepentingan pihak-pihak pada yayasan, meningkatkan kemampuan yayasan dalam menjalankan fungsi pendirian yayasan sebagai badan hukum non profit, meningkatkan efisiensi dan efektifitas para organ yayasan dari pembina, pengurus, dan pengawas. Serta meningkatkan mutu hubungan para pihak pada yayasan demi terselenggaranya maksud dan tujuan yayasan.  Tata kelola yayasan sebagai etika (ethical driven) akan efektif dengan didukung pada aturan hukum yang jelas.
c.         Pendirian badan usaha yayasan juga harus mengedepankan untuk tercapainya maksud dan tujuan  yayasan dan pedirian badan usaha yayasan yang memberikan keuntungan pada yayasan, yang mana keuntungan tersebut sebagai penunjang maksud dan tujuan yayasan, bukan merupakan tujuan utama pendirian yayasan.
2.    Saran
a.       Sudah seharusnya aturan yang berhubungan dengan yayasan sebagai mana yang termuat pada UU Yayasan menempatkan prinsip tata kelola yang baik dengan menempatkan prinsip prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, idenpendensi dan keadilan, maka dibutuhkan perubahan pada UU Yayasan bisa menjawab semua permasalahan yang ada pada yayasan.
b.      Kedudukan organ pengawas yayasan yang termuat pada anggaran dasar yayasan  tidak dapat berjalan secara efektif selama ini, karena masih dominannya kedudukan organ pembina yayasan yang bisa suatu saat memberhentikan kedudukan pengawas pada yayasan akibat tidak sejalankan antara keinginan pembina dan pengawas.  Oleh karena itu sudah sewajarnya membentuk lembaga pengawas eksternal untuk kepentingan yayasan.
c.       Sudah saatnya pemerintah membentuk lembaga penyelesaian sengketa yayasan  dengan sebutan Badan Penyelesaian Sengketa Yayasan yang bertugas menyelesaikan sengketa yayasan diluar tindak pidana, dengan cara-cara non litigasi mengedepankan prinsip Alternative Despute Resulutian (ADR) yaitu penyelesaian konflik atau sengketa pada yayasan melalui musyawarah mufakat dengan menghormati hak dan kepentingan pada pihak-pihak yang bersengketa.

DAFTAR BACAAN
1.                  Buku
Abbas, Anwar,  Bung Hatta dan Ekonomi Islam, Kerja sama Multi Pressindo, LP3M STIE Ahmad Dahlan, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta,  Jakarta, 2008
Adjie, Habib,  Status Badan Hukum Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, Mandar Maju, Bandung, 2008.
Adjie, Habib, dan Muhammad Hafid, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Yayasan, Pustaka Zaman, Semarang, 2013.
---------------, Yayasan, Memahami Pendirian, Perubahan, pembubaran Yayasan Sebelum dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2016
Ais, Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004
Atmasasmita, Romli, Hukum Kejahatan Bisnis Teori dan Praktik di era Globalisasi, Prenada Media, Jakarta, 2014.
---------------, Globalisasi Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta, 2010
Ali, Rido,  Hukum Dagang Tentang Aspek-Aspek Hukum dalam Asuransi Udara, Asuransi Jiwa dan Perkembangan Perseroan Terbatas, Karya Remadja, Bandung, 1986.
Apeldoorn, Van L.J, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paraminta, Jakarta, 1976
------------, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, wakaf, Alumni, Bandung, 1986.
Asshiddiqie, Jumly, Gagasan Konstitusi Sosial, LP3ES (Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerapan Ekonomi dan Sosial), Jakarta, 2015.
----------------, Perihal Undang-Undang, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 20
Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Kencana Prenada Media, Jakarta, 2010.
Ariman, Rasyid  dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Setara Press, Malang, 2015.
Ali, Zainuddun,  Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Bahari, Adib, Prosedur Pendirian Yayasan, Suka Buku, Yogyakarta, 2010
Azheri, Busyra, Corporate Social Responsibility Dari Voluntary Menjadi Mandatory, Raja Grafindo Persada, Jakarta,  2012.
Bakir, Herman,  Filsafat Hukum, desain dan Arsitektur Kesejahterahan, Refika Aditama, Bandung, 2009
Badriyah, Siti Malikhatun, Sistem Penemuan Hukum dalam Masyarakat Prismatik, Sinar Grafika, Jakarta, 2016.
Bedjaoui, Muhammed, Menuju Tata Ekonomi Dunia Baru, Gunug Agung, Jakarta, 1985
Budiarto, Agus, Kedudukan Hukum Tanggung Jawab Pendiri Peseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, 2002.
Budianto, Agus, Delik Suap Korporasi di Indonesia, Karya Putra Darwati, Bandung, 2012.
Budiono, Herlien, Ajaran umum Hukum Perjanjian dan Penerapan di Bidang Kenotariatan,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011.
--------------, Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014.
--------------,Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Buku Pertama,  Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007
--------------, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010
---------------, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006
Budiyono, Tri, Hukum Perusahaan, Telaah Yuridis Terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Griya Media, Salatiga, 2011.
Borahima, Anwar, Kedudukan Yayasan di Indonesia Eksistensi, tujuan dan Tanggung Jawan Yayasan,  Kencana Prenada Media, Jakarta, 2010
Bruggink J.J. H, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke II, 1999
Bogdan, Michael, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Nusa Media, Bandung, 2010
Crump, David,  How to Reason About The Law An Interdisciplinary Approach To The Foundations Of Public Policy, Lexis Nexis, 2002.
Davies, L Paul, and Gower, Principles of modern Company Law, Sweet Maxwell, London, 1997
Dicey A.V, Comparative Costitutionalisme, Oxford University Press, United Kingdom, 2013
Erawati, Elly, dan Bayu Seto Harjowahono, dan Ida Susanti (Editor), Liber Amicorum untuk Prof. Dr. CFG. Susnaryati Hartono, Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia, Citra Adiya Bakti, Bandung, 2011.
Ernawan, Erni R,  Organizational Culture Budaya Organisasi dalm Perspektif Ekonomi dan Bisnis, Alfa Beta, Bandung, 2011.
Fukuyama, Francis, The Great Disruption, Hakikat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2002.
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Fauzan M, Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum Perdata, Prenadamedia, Jakarta, 2014.
Fadjar, Mukthie, Teori-Teori Hukum Kontemporer, Setara Press Malang, Malang. 2013
Friedman, Lawrence M,  Sistem hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System A Social Science Perpective), Nusa Media, Bandung, 2011.
Fuady, Munir,  Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2010.
--------------- Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
--------------- Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinyadalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010.
--------------- Hukum Tentang Akuisisi, Take Over dan LBO,  Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014.
----------------, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2013.
Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nusa Media, Bandung, 2010.
Gunawan, Yopi dan Krisrian, Perkembangan Konsep Negara Hukum dan Negara Pancasila, Rafika Aditama, Bandung, 2015
Giddens, Anthony, Kapitalisme dan Teori Sosial Moderen, Suatu analisi karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, UIPress, Jakarta, 2009
Garner, Bryan A, (Editor In Chief),  Black’s Law Dictionary, Ninth Edition (One),  A. Thomson Reuters Business, 2009.
Hartono, C.F.G Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.
Hadjon, Philipus M dan Tatiek Sri Djarmiati, Argumentasi Hukum, Gadja Mada University Press, Yogyakarta, 2011.
Hadjon, Philipus M, Dkk,  Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Introduction to the Indonesian Administrative Law, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2008.
---------------, Hukum Administrasi dan Good Governance, Universitas Trisakti, Jakarta, 2012
Harris, Freddy, Teddy Anggoro, Hukum Perseroan Terbatas Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010
Hamdani, Good Corporate Governance, Tinjauan Etika dalam Praktek Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2016
Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfi, Civic Education, Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010.
Hart, H.L.A, Consept Law, Cintya Press, Jakarta, 2011.
Hutauruk, Rufinus Hotmaulana, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013
Hoesein, Zainal Arifin, Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, Imperium, Yogyakarta, 2013
Ibrahim, Johannes, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan Hukum, Refika aditama, Bandung, 2006.
Ikhwansyah Isis, Sonny Dewi  Judiasih, Rani Suryani Pustikasari, Hukum Kepailitan Analisis Hukum Perselisihan dan Hukum Keluarga Serta Harta Benda Perkawinan, Keni Media, Bandung, 2012
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum, Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakrta, 2009.
Islamy, M. Irfan, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2007
Indrati S, Maria Farida,  Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2007.
---------------, Ilmu Perundang-Undangan, Proses dan Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007.
Jufri, Muhammad, dan Muhammad Sjaiful, Nomenklatur Sisten Hukum Indonesia, Komunika, Kendari, 2015.
Kencana, Ulya, Hukum Wakaf Indonesia Sejarah, Landasan hukum dan Perbandingan Antara  Huku Barat, Adat dan Islam, Setara Press. Malang, 2017
Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni, Alih Bahasa Somardi, Rimdi Press, Jakrta, 1995.
----------------, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusa Media, Bandung, 2011.
----------------, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2012.
Kristian, Hukum Korpo,rasi Ditinjau Dalam The United Nations Global Compact (Suatu Pengantar), Nuansa Aulia, Bandung , 2014
----------------, Sistem Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi  di Tinjau Dari Berbagai Konvensi Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2017
----------------, Sistem Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di Berbagai Negara, Refika Aditama, Bandung, 2016
----------------, Kejahatan Korporasi di Era Moderen dan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Refika Aditama, Bandung, 2016
Khairandy, Ridwan, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia,  FH. UII Press, Yogyakarta, 2013.
Khairandy, Ridwan, Perseroan Terbatas, Doktrin Peraturan Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Total Media, Yogyakarta, 2009.
Khairandy, Ridwan, dan Camelia Malik, Good Corporate Covernance, Perkembangan Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam Perspektif hukum, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007.
Kagramanto, Budi, L, Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha),  Surabaya, 2008.
Kaplan, Morton A dan Nicholas deb Katzenbach,  The Political Foundations of International Law, Jhon Wiley dan  Sons, Inc, 1961.
Kusumohamidjojo, Budiono, Teori Hukum Dilema Antara Hukum dan Kekuasaan,  Yrama Widya, Bandung, 2016.
Kairupan, David,  Aspek Penanaman Modal Asing di Indonesia, Kencana Prenadamedia, Jakarta, 2014.
Koesnoe, Mohammad, Dasar dan Metode Ilmu Hukum Positif, Airlangga University Press, Surabaya, 2010.
Lapanda, Yusran, Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD, Cakrawala, Yogyakarta, 2016
Lev, Daniel S, Lembaga Pengadilan dan Budaya Hukum, dalam Daniel S. Lev  Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1990.
Lubis, Irwansyah, Menggali Potensi Pajak Perusahaan dan Bisnis dengan Pelaksanaan Hukum, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2010.
Lubis, T. Mulya dan Richard M. Buxbaum, Peranan Hukum Dalam Perekonomian Di Negara Berkembang,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986.
Leyh, Gregory, Hermeneutika Hukum, Nusa Media, Bandung, 2011.
Lelono, Guntur Purwanto Joko, Perananan Pengadilan Negeri dalam Mengatasi Kemactan Penyelenggaraan Rapat Umu Pemegang Saham, Penerbit Guntur, Yogyakarta, 2004.
Leback, Karen, Teori-Teori Keadilan, Six Theories of Justice, Suplemen : Konsep Keadilan dalam Kristen, oleh Hans Kelsen.Nusamedia, Bandung, 2015
Marbun S.F,  Peradilan Administrasi Negara dan upaya Administrasi di Indonesia, FH. UII Press, Yogyakarta,  2011.
Mahfud MD, dkk,  Dekonstruksi Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Konsorsium Hukum Progresif Universitas Diponegoro, Thafa Media,  Yogyakarta,  2013.
Mahfud MD, Moh, Politik Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.
----------------, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010
Mc Laughlin, Andrew C With an Introduction by Hendry Steele Commager,  Foundations Of American Constitutionalism, The principles and philosophies which inspires the architects of the American Constitution,  New York University, 1932
Marzuki, Peter Mahmud, An Intoduction to Indonesian Law, Setara Press, Malang, 2012
-------------, Pengantar Ilmu Hukum,  Cetakan ke 4, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2012.
-------------, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008
Manan, Bagir, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind-Hillco, Jakarta, (tanpa tahun)
Madjid, Nurcholish,  Indonesia Kita, Gramedia, Jakarta, 2003.
Mas’oed, Mohtar, Negara, Kapital dan Demokrasi,Pustaka Pelajar,Yogyakarta, 1998
Meuwissen, Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Huku. Dan Filsafat Hukum, Penerjemah Arief Sidharta, Refika Aditama, Bandung, 2009.
Margono, Suyud, Badan Hukum Yayasan Dinamika Praktek, Efektivitas dan Regulasi di Indonesia, Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2015.
Mardikanto, Totok, Corporate Social Responsibility (Tanggung Jawab Sosial Korporasi), Alfabeta, Bandung, 2014
Menski, Warner, Perbandingan Hukum Dalam Konteks Global Sistem Eropa, Asia dan Afrika, Comparative Law In A global Context,  Nusa Media, Bandung, 2012.
Mertokusumo, Sudikno dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti Bekerjasama dengan Konsorsoium ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan The Asis Foundation, Bandung, 1993
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,  2007.
-------------, Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2012.
-------------, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2007
Mulyoto, Kriminalisasi Notaris dalam Pembuatan Akta Perseroan Terbatas, Cakrawala Media, Yogyakarta, 2010
Mulyoto dan Subekti, Yayasan Sebelum dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Yayasan dan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2008, Cakrawala Media, Yogyakarta, 2011
Murad, Rusmadi, Administrasi Pertanahan Pelaksanaan Hukum Pertanahan dalam Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2013.
Muladi, dan Dwidja Priyatno, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2012.
Muhjad, H.M. Hadin, dan Nunuk Nuswardani, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, Genta Publishing, Yogyakrta, 2012.
Mostar, Hermann, Peradilan Yang Sesat, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1987
Naja, Daeng H.R, Good Corporate Governance Pada Lembaha Perbankan, Media Presssido dan bank BPD Kaltim, Jakarta, 2007
Nainggolan, Jogi, Energi Hukum, Sebagai Faktor Pendorong Efektivitas Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2015.
Nasdia, Fredian Tonny, Pengembangan Masyarakat, Kerja Sama Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia PBB dengan Yayasan Obor Indonesia,  Jakarta, 2015,
Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008.
Nonet, Philippe dan Philip Slznick, Hukum Responsif, Nusa Media, 2010.
Notodisoerjo, R. Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1982.
Oktoberina, Sri Rahayu, dan Niken Savitri (Penyunting),  Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum, memperingati 70 tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, Refika Aditama, Bandung, 2008
Prasetyo, Rudhi, Yayasan dalam Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
------------, Teori dan Praktek Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
-----------, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Disertasi Dengan Ulasan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, Kerja Sama Jajasan Perbitan Franklin Djakarta New York, 1953
Prasetyo, Teguh, Pembaharuan Hukum Perspektif Teori Keadilan Bermartabat, Setara Press, Malang, 2017
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012.
Patriro, Yopie Morya Immanuel,  Diskresi Pejabat Publik Dan Tindak Pidana Korupsi,  Keni Media, Bandung, 2012.
Prawirohamidjojo, Mr. R. Soetojo, Dkk., Perkembangan Dan Dinamika Hukum Perdata Indonesia (Dalam rangka peringatan Ulang Tahun ke 80 Prof. Dr. R. Soeojo Prawirohamidjojo,Lutfansah Mediatama, Surabaya, 2009.
Putra Kurnia, Hahendra, dan Adi Kusumaningrum, I Made Budi Arsika, (Editor),Ketika Hukum Berhadapan Dengan Globalisasi, Memperingati HUT ke 54 fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Universitas Brawijaya Press (UB Press), Malang, 2011.
Panggabean, H.P, Praktek Peradilan Mengani Kasus Aset Yayasan (Termasuk Aset Keagamaan) Dan Upaya Penanganan Sengketa Melalui Alternatrif Peneye lesaian Sengketa, Jala Permata, Jakarta, 2012.
---------------, Penegakan Hukum Menangani Aset Yayasan, Jala Permata, Jakarta, 2017
Poesoko, Herowati, Parate Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang,Yogyakarta, 2007
Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Pustaka Grafika, Bandung,  1999.
Puwosutjipto, H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta,  1992.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perkumpulan, Perseroan dan Koperasi di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1969
Pramono, Nindyo, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Don’t Put All Eggs in One Basket, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
-------------, Hukum Perseroan Terbatas Go Public dan Pasar Modal, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2013.
Putro, Widodo Dwi,  Kritik Terhadap Paradigma Positivisme hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011.
Plano, Jack C, Robert E, Riggs dan Helena S. Robin, Kamus Analisa Politik, Rajawali, Jakarta, 1985.
Posner, Richard A, Reflections on Judging,  Harvard University Press, 2013.
Rido, Ali dan Achmad Gozali,  Himpunan Peraturan Perundangan Hukum Dagang Dalam Perkembangannya, Tentang Perusahaan, Bentuk Badan Usaha, Hak Milik Perindustrian, Karya Remadja, Bandung, 1984
Rahardjo, M. Dawam, (Editor), Kapitalisme, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta, 1987.
Riff, Michael A (editor), Kamus Ideologi Politik Moderen, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.
Rahayu, Muji Kartika, Sengketa Mazhab Hukum, Sistesis Berbagai Mazhab dalam Pemikiran Hukum, Kompas, Jakarta, 2018.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
------------, Hukum dan Perilaku Hidup Baik Adalah Dasar Hukum Yang Baik, Kompas, Jakarta, 2009
Ridwan HR,  Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.
Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas Dua Teori Filsafat Politik Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
Ricoeur, Paul, Teori Interprestasi, Memahami Teks, Penafsiran dan Metodologinya, Ircisod, Yogyakarta, 2012.
Rasjidi, H. Lili dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suati Sistem,  Mandar Maju, Bandung, 2003.
Rasjidi, H. Lili dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teoro Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Rasjidi, Lili,  Filsafat Hukum, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.
Rahardjo, Satjipto, Membedah Hukum Progresif,  Kompas, Jakarta, 2008.
Riedel, Eibe, Gilles Ciacca, and Christophe Golay (Edited),  Economic, Social, and Cultural Rights In International Law, Contemporary Issues and Challenges, Oxford University Press, 2014.
Saidi, Muhammad Djafar, Hukum Keuangan Negara, Raja Grafindo Persada, jakarta, 2008.
Sitompul, Manaham MP,  Hukum Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan di Dalam dan di Luar Proses Pengadilan, Setara Press, Malang, 2017
Sembiring, Sentosa, Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas, Nuansa Aulia, Bandung, 2012.
Sukardi, Akhmad, Participatory Governance, Laks bang Pressindo, Yogyakarta, 2009,
Shidarta, (Editor)  Dkk (Kontributor), Mochtar Kusuma Atmadja, dan Teori Hukum Pembangunan, Epsitema Institute, Jakarta, 2012.
Sidharta, Bernard Arif, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penellitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keiilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2009.
Sjawie, Hasbullah F, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, Citra Aditya bakti, Bandung, 2013,
Salman, Otje, dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2013.
Seers, Dudley, Arti Pembangunan, Buku Amir Efenddu Siregar..ed, Arus Pemikiran Politik, Esai-Esai Terpilih, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992
Siahaan, Pataniari, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Konpress, Jakarta, 2012.
Surya, Indra dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance, Mengesampingkan  Hak-Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha,Kerja sama dengan Lembaga Kajian Pasar Modak dan Keuangan (LKPMK) Fakltas Hukum Universitas Indonesia dengan Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008.
Sedarmayanti, Good Governance Kepermerintahan Yang Baik dan Good Corpotate Governance, Bagian Ketiga Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2012.
Sugianto, Fajar, Economic Analysis Of Law, Seri Analisis Ke Ekonomian Tentang Hukum, Seri I Pengantar, Editor Ahli Yahman, Kencana Prenata Media, Jakrta, 2013.
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007.
Sandjaja, Bernardus, Pengantar Membangun Teori Penelitian Merajut Kesangsian Menggapai Kebenaran, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2015.
Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2010.
Syamsudin, M, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Syaukani, Imam, A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Suharto, Membedah Konflik Yayasan Menuju Konstruksi Hukum Bermartabat, Cakrawala Media, Yogyakarta, 2009.
Supramono, Gatot, Hukum Yayasan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.
Susanto, AB, Dkk, Reformasi Yayasan Perspektif Hukum dan Manajemen, Andi Offset, Yogyakarta, 2002.
Sibuea, Hotma P, Asas Negara Hukum Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Erlangga, Jakarta,  2010.
Simanjuntak, Cornelius,  Hukum Merger Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Simanjuntak, Cornelius dan Natalie Mulia, Organ Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Simanjuntak, Cornelius dan Natalia Mulia, Merger Perusahaan Publik, Suatu Kajian Hukum Korporasi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
Sopandi, Eddi, Beberapa Hal dan Catatan Berupa Tanya Jawab Hukum Bisnis, Refika Aditama, Bandung, 2003.
Salim, Hukum Investasi di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2008
Shofia, Yusuf, Tanggung Jawab Pidana Korporasi Dalam hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011.
Syahrani, H. Riduan, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2009.
Sugianto, Fajar, Economic Analysis Of Law, Kencana Prenada Media, Jakrta,  2014
Soenarko, Public Policy, Pengertian Pokok Untuk Memahami Dan Analisa Kebijakasanaan Pemerintah, Airlangga Iniversity Press, Surabaya, 2005.
Salim HS, dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta,  2013.
Saul, Daniel Lev
Syamsuddin, Aziz H, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
Sugianto, Fajar, Economica Approach to Law, Kencan Prenada Media, Jakarta, 2013.
Sutiyoso, Bambang,  Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakrta, 2007.
Soenarko, Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Prinip-Prinsip Good Financial Governance, Airlangga University Press, Surabaya, 2005
Susilo, J Leo dan Karlen Simarmata, Good Corporate Governance pada Bank, Hikayat Dunia, Bandung, 2007
Sumantoro, Hukum Ekonomi, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986.
Santoso, H.M Agus, Hukum, Moral dan Keadilan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2012.
Soemitro, Rochmad, Penuntun Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang, Pajak Perseroan, Eresco, Jakarta.
Soekardono R, Hukum Dagang Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,  1961
Turner, Bryan S, Teori Sosial Dari Klasik Sampai Pastmodern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012.
Thoha, Mifta, Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Raja Grafindo Perssada, Jakarta,  2012.
Tanya, Bernard, Yoa N. Simanjuntak, markus Y. Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2007.
Tumbuan, Fred BG, Himpunan Kajian Mengenai Beberapa Produk Legislasi dan Masalah Hukum di Bidang Hukum Perdata, Gramedia, Jakarta, 2017
Tutik, Titik Triwulan, Pengantar Ilmu Hukum, Perestasi Pustaka, Jakarta, 2006.
Tobing, GHS. Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Erlanga, Jakarta, 1983
Wahyono, Boedi L, dan Suyud Margono, Hukum Yayasan Antara Fungsi Kariatif atau Fungsi Sosial, Novindo Pustaka, Jakarta, 2001
Winardi, Teori Organisasi Pengorganisasian, Raja Grafindo Perssada, Jakarta,  2014.
Wisnubroto, AL, Quo Vadis Tatanan Hukum Indonesia, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010.
Widagdo, Setiawan, Kamus Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2012.
Wijoyo, Suparto, Laku Lika-Liku Ilmu Hukum, Airlangga Universsity Press, Surabaya, 2005
Widjaja, Gunawan, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma, dan Persekutuan Komaditer, Prenada Media, Jakarta, 2006.
Widjaja, I.G. Rai Widjaja, Hukum Perudahaan Perseroan Terbatas, Khsusu Pemahaman Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, Megapoin, Jakarta, 1996.
Untung, Budi, Hukum Koperasi dan Peran Notaris Indonesia, Andi Yogyakarta, Yogyakarta,  2005.
Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggung Jawababan Pidana Korupsi Berikut Studi Kasus, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012.
Zweigert, Konrad and Hein Kotz, Intoduction to Comparative Law, Clarendon Press Oxford, 1998.
                              
2.                  Artikel, Jurnal,  Makalah
Ahmad Mubariq, Gerakan Ornop Lingkungan di Indonesia, Jentera, Edisi 13 Tahun III Juli-September 2006
Anugerah, Dian Purnama dan Yuniarti, Implementasi Prinsip Transparansi dalam Good Corporate Governance melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan  Negara Diperoleh dari Industri Ekstraktif, Yuridika, Volume 25, No. 1, Januari –April 2010
Boatright,  R. John, Shareholder Fiduciary Dutues and Management Relation, Or, What, s so Special About Shareholders, Business Ethics Quarterly, Volume 4 Issue, 1994
Dewi, Yetty Komalasari, Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Tentang Yayasan, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Kementrian Hukum dan HAM RI, 2013
Fauzan, Filsafat Hermeneutika Sebagai Metode Penemuan Hukum Yurisprudensi, Varia Peradilan No. 290 Januari 2010, Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta
Haris, Freddy, Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Efektifitas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Sebagaimana di Ubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dalam Mewujudkan Fungsi Sosial, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI, 2012
Hadjo,  Philipus M, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 dan 6, tahun XII, September-Desember 1997
-----------, Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsip Penangganan oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, M2Prins, Surabaya, 2007
Manan, Bagir, Tantangan Pembangunan Hukum Di Indonesia , Varia Peradilan, No. 344 Juli 2014, Ikatan Hakim Indonesia,  Jakarta
Partogi, Potak, Questioning the Rule of NGOs and Donor Countries, Jentera, Edisi 13, Tahun III, Juli – Sepetember 2006
Simamora, Yohanes Sogar, Karakteristik, Pengelolaan dan Pemeriksaan Badan Hukum Yayasan di Indonesia,  Rechtsvinding, Volume 1, Nomor 2, Agustus 2012.
------------, Prinsip Transparansi Dan Akuntabilitas dalam Kontrak Pemerintah di Indonesia, Pidato Guru Besar, Universitas Airlangga, Surabaya, 2008.
Subiharta, Ultra Vires dan Godd Coporate Governance dalam Perspektif  UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Varia Peradilan, No.294 Mei 2010.
Syawie, Hasbula F, Aspek-aspek Hukum Mengenai Yayasan di Indonesia, Varia Peradilan, Tahun IX, No. 98 November 1993
Syakhroza, Akhmad, Corporate Governance Sejarah dan perkembangan Teori, Model, dan Sistem Governance serta Aplikasinya pada Perusahaan BUMN, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Pada Tanggal 5 Maret 2005, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Depok, 2005
--------------, Model Komisaris Untuk Effektivitas GCG di Indonesia, Majalah Usahawan Indonesia, No. 05, Vol XXXIII, 2003
--------------, Mekanisme Pengendalian Internal dam Melakukan Asssessment terhadap Pelaksanaan Good Corporate Governance, Majalah Usahawan Indonesia, No. 08, Vol XXXI, 2002
Santoso, Mas Achamd, Lembaga Donor Perlu Mendengar Keluhan NGO, Jentera, Edisi 13 Tahun III Juli - September 2006
Toha, Suherman, Penelitian Hukum Tentang Perbandingan Tujuan dan Pola Kerja Yayasan di Beberapa Negara dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementrian Hukum dan HAM RI, 2012
Wignjosoebroto, Soetandyo, Tentang Teori, dan Paradigma dalam Kajian Tentang Manusia, Masyarakat dan Hukum  (Tulisan tanggal dan tahun tidak ditemukan)
Zainal Fanani, Ahmad, Hermeneutika Hukum Sebagai Metode Penemuan Hukum dalam Putusan Hakim, Varia Peradilan No. 297 Agustus 2010, Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta

3.                  Laman Internet

Tempo.com, tanggal 17  Maret 2017
https://seword.com/umum/sejarah-kongkalikong-soeharto-dan-yayasan-supersemar-Penyelewengan-uang-negara-rp-44-t-melebihi-mega-korupsi-ektp-BJOdclZ9G
https://www.viva.co.id/berita/nasional/660744-sejarah-yayasan-supersemar-dan-kasusnya
http://memeymonica.blogspot.com/2017/04/organisasi-non-profit-di-barat-dan_27.html
http://www.apb-group.com/rujukan-gcg-dan-prinsip-tarif
http://www.markijar.com/2015/05/sejarah-lengkap-organisasi-budi-utomo.html

http://www.sarisejarah.com/2014/03/sejarah-pergerakan-nasional-sejarah_12.html
https://www.stiftungen.org/en/association-of-german-foundations.html
https://uwiiii.wordpress.com/2009/11/14/kasus-enron-dan-kap-arthur-andersen

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f39a969cc3ef/direksi-bank-mutiara-jadi-tersangka-kasus-century

https://uwiiii.wordpress.com/2009/11/14/kasus-enron-dan-kap-arthur-andersen

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f39a969cc3ef/direksi-bank-mutiara-jadi-tersangka-kasus-century

http://www.artikelsiana.com/2015/09/voc-pengertian-sejarah-hak-istimewa.html

https://tyosetiadilaw.wordpress.com/tag/teori-pengakuan
https://m,detik.com.>finance>moneter
https://m. Detik.com, tanggal 2 November 2017, 23.24  Wib
https://www.viva.co.id/berita/nasional/660744-sejarah-yayasan-supersemar-dan-kasusnya
https://seword.com/umum/sejarah-kongkalikong-soeharto-dan-yayasan-supersemar-penyelewengan-uang-negara-rp-44-t-melebihi-mega-korupsi-ektp-BJOdclZ9G


















[1]Artidjo Alkostar, M. Sholeh Amin, Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1986, h. IX
[2]Muji Kartika Rahayu, Sengketa Mazbab Hukum, Kompas, Jakarta, h. 17
[3]Habib Adjie, Muhammad Hafidh, Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Yayasan, Pustaka Zaman, 2013., h. 12
[4]Bruce r. Hopkins, Jody Blazek, The Legal Answer Book For Private foundation, Simultaneously in Canada, 2002, h. 1
[5]Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Keperdataan di Bindang Kenotariatan, Citra aditya Bakti, 2007, h. 61.
[6]Yohanes Sogar Simamora, Karakteristik, Pengelolaan Dan Pemeriksaan Badan Hukum Yayasan di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Media Pembina Hukum Nasional, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012, h. 177
[7]Bagir Manan, Judul tulisan Kembali ke Politik Pembangunan Hukum Nasional, dimuat pada Liber Amicorum untuk CFG. Sunaryati Hartono, Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, h.  107
[8]Tristam P. Moeliono, Judul tulisan Perlukah Kita Mempertanyakan Kembali Gagasan Unifikasi Hukum Nasional,  dimuat pada Liber Amicorum untuk CFG. Sunaryati Hartono, Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, h.  127
[9] Ibid, h. 128
[10]Munir Fuady, Teori-Teori (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana, Jakarta, 2013, h. 245
[11] Chidir Ali, Op. Cit.h. 30

[12]Akhmad Syakhroza, Corporate Governance, Sejarah dan Perkembangan Teori, Model dan sistem Governance serta Aplikasinya pada Perusahaan BUMN (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi Iniversitas Indonesia), Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, h. 17
[13]Akhmad Syakroza, Mengkaji Tiga Pillar Good Corporate Covernance, Koran Bisnis Indonesia, 11 Juli 2002, h. 5
[14]Akhamd Syakroza,  Corporate Governance, Sejarah dan Perkembangan Teori, Model dan sistem Governance serta Aplikasinya pada Perusahaan BUMN, Op. Cit, h.18
[15] http://www.apb-group.com/rujukan-gcg-dan-prinsip-tarif/
[16]Akhamd Syakroza, Corporate Governance, Sejarah dan Perkembangan Teori, Model dan sistem Governance, Op. Cit, h. 98
[17]Akhamd Syakroza,  Corporate Governance, Sejarah dan Perkembangan Teori, Model dan sistem Governance, Op. Cit.  h.  99
[18] Bernard Arif Sidarta, Penelitian Hukum Normatif Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal (tulisan) buku Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor, Jakarta., h. 142-143
[19]Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kecana Prenada Media, Jakarta, 2008, h. 26ara
[20]Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h. 119
[21]A. Hamid S. Attamimi, Judul : Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia, , disunting oleh Oetojo Sesman dan Alfian dimuat pada buku Pancasila Sebagai Ideologi Dalam  Berbagai Bidang, Bp.7, Jakarta, 1992, h. 63
[22]Ibid, h. 145
[23]A. Hamid S. Attamimi,  Op. Cit., h. 68
[24] Ibid, h.8
[25] Ibid., h. 9
[26] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Konstitusi Sosial, LP3ES, Jakarta, 2015., h. 1
[27] Ibid. h. 139
[28]Ibid  h. 27
[29]Suyud Margono, Badan Hukum Yayasan Dinamika Praktek, Efektivitas dan Regulasi Di Indonesia, Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2015., h. 1-2.
[30]  Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2007., h. 5
[31] Soetandyo Wignjosoebroto, Mochtar Kusuma Atmadja: Manusia yang Pernah Saya Kenal dan Pemeikirannya (sebuah pengantar)  buku  Mochtar Kusuma Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan, Eksstensi dan implikasi, Epstemas Institute, 2012, h.XVIII
[32]Ibid., 128
[33]Philipus M. Hadjon, Perlindungan Bagi Rakyat di Indoensia, Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsip, Penangganan oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, M2Print, 2007, Surabaya.,  h. 2
[34]Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, YURIDIKA, No. 5 & 6, Tahun XII, September – Desember, 1997, h. 1
[35]Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Rajawali Press, 2006, h. 100.
[36] Rudhi Prasetya, Yayasan Dalam Teori dan Praktek,Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 10
[37] H.P Panggabean, Praktek Peradilan Menangani Kasus Aset Yayaasan (Termasuk Aset Keagamaan) Dan Upaya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa, Edisi Revisi 4, Permata Aksara, Jakarta, 2012, h. 4
[38] Ibid., h. 5
[39] Ibid., h. 63
[40] Ibid, h. 92
[41] Erni R. Ernawan, Organization Culture, Budaya Organisasi dalam Perspektif Ekonomi dan Bisnis, AlfaBeta, Bandung, 2011,  h. 16.
[42] Ibid, h. 17
[43] Mifta Thoha, Loc.Cit.
[44] Mifta Thoha, Op. Cit, h. 80
[45] Miftha Thoha, Op.Cit, h. 81
[46] Mifta Thoha, Op.Cit, h. 83
[47] Erni R. Ernawan, Op. Cit, h. 29
[48] J. Winardi, Op.Cit, h. 9
[49]Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Haga, Op. Cit, h. 54
[50] Chidir Ali, Op. Cit., h.  19
[51] Ibid, h. 19
[52]Tri Budiyono, Op. Cit., h 1-3
[53]Ibid, h. 3
[54]Yetty Komalasari Dewi (Ketua Kelompok Kerja) Analisis dan evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Tentang Yayasan, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementriaan Hukum Dan HAM RI, 2013, h-34-35
[55]Pasal 1 angka 1 UU Yayasan
[56]Martin Roestamy, Asas-asas Hukum Badan Usaha Bukan Badan Hukum (Tulisan tidak ada tanggalnya)
[57] Habib Adjie dan Muhammad Hafidh, Op. Cit., h. 33
[58] Habib Adjie, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, Mandar Maju, Bandung, 2008, h.  9
[59] Rudi Prasetyo, Op.Cit  h. 39
[60]Ibid, h. 12
[61] Ibie. h. 10
[62] Ali Rido Op.Cit., h. 34
[63]Agus Budiarto Op.Cit., h. 43
[64] Agus Budiarto, Op. Cit, h. 29
[65] Suyud Margono, Op.Cit. h. 35
[66] Suyud Margono, Op.Cit h. 37
[67] Bryan A. Garner (Editor in Chief), Blacks Law Dictionary, Ninths edition, A Thomson Reuters Business,  2009
[68] Rudi Prasetyo, Op. Cit. h. 61
[69] Sri Redjeki Hartono, Kata Pengantar pada buku Dasar-Dasar Good Corporate Governance, karangan Muhammad Shidqon Prabowo, UII Press, Yogyakata, 2018., h. v
[70] Ibid., h. 3
[71]  Ibid, h. 4
[72] H.R, Daeng Naja, Good Coporate Governance Pada Lembaga Perbannkan, MedPress, Yogyakarta, 2007, h.  22
[73] Hamdani, Good Corporate Covernance , Di Tinjau Etika dalam Praktek, Mitra Wacana  Media, Jakarta, 2016, h. 1-5
[74] Muhammad Shidqon Prabowo, Op. Cit, h. 20-21
[75]Hamdi, Op.Cit, h. 74
[76] Chidir Ali, Op. Cit., h. 86
[77] Anwar Borahima,Op.Cit., h. 199
[78] Freddy Haris, Teddy Anggoro, Hukum Perseroan Terbatas Kewajiban Pemberian oleh Direksi, Ghalia Indonesia, Jakarta,  2010, h. 37
[79] Rudhi Prasetya, Op. Cit.,  h.12
[80] Suyud Margono, Op. Cit., h. 72
[81] Pasal 3  ayat 1 UU  Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
[82] Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
[83]Anton Poniman Cs, Indonesia Negara Merdeka yang Terjajah, Founding Fathers House, Jakarta, 2015, h. 61
[84] Tempo.com, tanggal 17  Maret 2017
[85]Anton Poniman Cs Op.Cit,  h. 77
[86] Pejelasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
[87] Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2001
[88] Suharto, Op. Cit., h. 75
[89] Suharto, Op. Cit., h. 78
[90]Suharto, Op.Cit, h. 79
[91] Ibid, h. 7
[92] Romli Atamasmita, Globalisasi Kejahatan Bisnis, Kenjana Prenada Media, Jakarta, 2010, h. 26
[93] Ibid, h. 16
[94]https://seword.com/umum/sejarah-kongkalikong-soeharto-dan-yayasan-supersemar-penyelewengan-uang-negara-rp-44-t-melebihi-mega-korupsi-ektp-BJOdclZ9G

[95] https://www.slideshare.net/KartikaNindriaPertiw/analaisis-universitas-trisakti-dengan-yayasan-trisakti-thoby-mutis
[96] Daniel S. Lev, Lembaga Pengadilan dan Budaya Hukum, dalam Daniel S. Lev  Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1990, h. 161
[97]  Yetty Komalasari (Ketua Kelompok Kerja) Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Tentang Yayasan, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Kementrian Hukum Dan HAM RI, Jakarta, 2013, h. 59
[98] Ibid, h. 60-61
[99] Ibid, h. 63
[100] Ibid, h. 64-66
[101] Seherman Toha, Penelitian Hukum Tentang Perbandingan Tujuan Dan Pola Kerja Yayasan di Beberapa Negara dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementrian Hukum Dan HAM RI, Jakarta, h.4
[102] Yetty Komalasari Dewi, Op.Cit, h. 79
[103] Ibid, h. 80
[104] Suherman Toha, Op.Cit, h. 53-54

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum