TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS
TATA KELOLA YAYASAN
SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS
Oleh :
Dr. Bambang Syamsuzar Oyong, SH.MH
Untuk dimuat Untuk Jurnal
Lambung Mangkurat Law Joumal
(LamlaJ)
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin
BAB I
P E N D A H U L U A N
1. Latar Belakang Masalah
Pertanyaan
yang sangat mendasar mengenai kontribusi perangkat perundang-undangan dalam
perekayasaan mencapai masyarakat adil dan makmur, menjadi sangat relevan untuk
dikemukakan manakala melihat hukum dan perundang-undangan “etalase” dan tidak juga sebagai norma yang berada diruang kosong;
tapi melihat hukum itu sebagai sesuatu yang selalu ada dan berinteraksi
ditengah dinamika kehidupan masyarakat. Tunggakan sejarah yang belum lunas
dibayar oleh bangsa Indonesia hingga saat ini, adalah penggantian undang-undang
yang beretos kolonial feodalistis dengan perundang-undangan yang beretos
egaliter demokratis sesuai dengan status bangsa yang merdeka dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan.[1]
Untuk itu, berbicara mengenai peranan hukum dalam pembangunan ekonomi dan
modernisasi masih saja terus diperdebatkan, khususnya peranan hukum di dalam
kehidupan masyarakat. Hukum merupakan tatanan dan aturan yang menjadi pegangan
oleh manusia. Tidak semua aturan adalah hukum, tapi semua hukum adalah aturan
yang ada.[2]
Pasal 1
angka 1 UU Yayasan menyebutkan bahwa Yayasan
adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan
untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan
yang tidak mempunyai anggota. Definisi yayasan tersebut terdapat empat
karakteristik yang membedakan yayasan dengan badan hukum lainnya berupa :[3]
a.
Yayasan sebagai badan hukum.
b.
Mempunyai harta kekayaan tersendiri yang berasal dari
pendiri untuk mencapai tujuan yayasan.
c.
Tujuan yayasan dibidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan.
d.
Tidak mempunyai anggota.
Penegasan
mengenai definisi yayasan yang dipersamakan dengan Foundation bisa disimak menurut pendapat Bruce R. Hopkins, Jody Blazek[4]
dalam sebuah pertanyaan yang sangat sederhana What is Private Foundation ? Foundation is there is no affirmative
definition of the term private foundation. The statutory definition basically
the a private foundation is a charitable organization this is not a public
cahrity. Genercally, a private
foundation has four charcteristics :
a.
It is a
charitable organization;
b.
It is
initially foundation a from one source (usually an individual, a married
cauple, a family, on a business);
c.
Its on going
income derives from investment (in the nature of an endowment fund);
d.
It make
grants to other charitable organization rather than operate its own program.
Pendapat Bruce R. Hopkins, Jody Blazek tersebut
memiliki persamaan menurut Herline Budiono dengan yayasan sebagai badan hukum,
yaitu dipisahkan suatu harta kekayaan pribadi seseorang yang dipergunakan untuk
sesuatu tujuan idiil dan pengurusnya diserahkan kepada suatu badan pengurus
untuk dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab.[5]
Perbuatan hukum memisahkan sebagian harta
kekayaan tersebut menurut Yohanes Sogar
Simamora[6]
mengadung makna adanya kesukarelaan dari para pendiri untuk melepaskan suatu
kekayaan tersebut. Memisahkan sebagian harta kekayaan, maka para pendiri maupun
ahli warisnya tidak lagi berhak atas harta kekayaan yang dipisahkan,
sebagaimana yang disyaratkan untuk menjadikan yayasan sebagai badan hukum.
Harta kekayaan yang dipisahkan tersebut dapat berbentuk uang atau barang,
disamping harta kekayaan yayasan yang diperoleh dari sumbangan atau bantuan
yang tidak mengikat, yang berasal dari wakaf, hibah, hibah wasiat dan segala
perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan atau
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, tidak ada orang
atau badan yang mengklaim status pemilik
atas suatu yayasan yang didirikan.
Konflik di tubuh yayasan selalu dilatar
belakangi oleh permasalahan-permasalahan di bidang kepentingan
dari organ yayasan,
baik pendiri, pembina,
pengurus dan pengawas. Di samping
adanya konflik menyangkut kepentingan atas harta kekayaan yayasan, maka penerapan dan pelaksanaan prinsip tata
kelola yang baik, menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan segala permasalahan
yang timbul di yayasan, gunanya untuk memastikan bahwa organ yayasan dalam
menjalankan tugasnya semata-mata untuk mencapai tujuan yayasan, dan bukan pada
tujuan lainnya. Selain itu penerapan prinsip tersebut bisa memberikan kepastian
bahwa organ yayasan tidak melakukan pelanggaran hukum atau lalai dalam
menjalankan jabatannya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di
atas, dapat ditarik legal issues sebagai permasalahan pada penelitian ini
adalah :
a.
Prinsip idiil pendirian yayasan yang berbadan hukum.
b.
Prinsip tata kelola
yang baik pada yayasan.
c.
Prinsip tata kelola badan usaha yayasan yang tidak
bertentangan dengan prinsip idiil yayasan.
3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pokok
permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:
a.
Untuk menganalisis dan menemukan hakikat konsep idiil
yayasan sebagaimana yang dimaksud pada pendirian yayasan. Konsep idiil ini
tergambarkan pada asas-asas dan prinsip-prinsip. Bahwa yayasan sebagai badan
hukum memiliki karakter dan konsep
pendirian dan tujuan bukan bermotif
mencari keuntungan.
b.
Untuk menemukan konsep tata kelola yayasan yang baik,
dengan menjalankan prinsip-prinsip transparansi (transparency),
akuntabilitas (accountability), resposibilitas
(responsibility), idependensi (Independency), dan kesetaraan (fairness) pada yayasan.
c.
Menganalisis
dan menemukan konsep dan model pengawasan yayasan secara internal dan
eksternal dan juga menemukan konsep dan model penyelesaian sengketa yayasan
dengan cara penyelesaian non litigasi dengan menekankan prinsip penyelesaian
secara Alternative Despute Resulutian
(ADR) yaitu penyelesaian konflik melalui musyawarah mufakat dengan
menghormati hak dan kepentingan pada pihak yang bersengketa, baik terhadap
pendirian yayasan maupun pendirian badan usaha yayasan.
4. Kerangka Teoritik
Dimulai dari
suatu gagasan menggunakan hukum sebagai sarana pembaruan dimasyarakat yang
dilontarkan untuk pertama kali dalam khazanah hukum Indonesia oleh Mochtar
Kusumaatmadja diawal tahun 1970 [7]
sebagaimana pengembangan
dari pandangan Roscoe Pound, law as tool
for social engineering. Ada dua hal yang harus menjadi perhatian. Pertama
adalah pengertian law dalam pandangan
Pound tidak serta-merta sama dan
sebangun dengan gagasan hukum dalam konteks Indonesia. Pada pemikiran Roscoe Pound yang tumbuh dalam tradisi
sistem hukum Anglo-Saxon, dapat
diduga bahwa law yang dimaksud adalah
hukum yang bersumber pada putusan-putusan US
Supreme Court (case law). Kedua,
pengertian social engineering,
perekayasaan masyarakat. Pound,
sendiri mengungkapkan bahwa law tidak
niscaya harus mencerminkan nilai-nilai dan keyakinan yang hidup dalam
masyarakat, tetapi harus mampu mengarahkan dinamika bahkan mengubah tata nilai
masyarakat yang berlaku pada saat tertentu.[8]
Ketentuan itu membuat Pound
meninggalkan jauh pandangan Savigny
yang menyatakan bahwa hukum adalah cerminan atau pengejewantahan jiwa bangsa (volkgeist), dalam pandangan dari Brian Z.Tamanaha :[9]
“Positive law need not necessarily mirror the society’s
custom or moral values; it need not even be derived from that society (...)
Legal positivism contains the seed of subversin of the mirror thesis it within
it precisely because it holds that, at root, positive law is indeed a system of
power”.
Konsep law sebagaimana menurut Mochtar,
merupakan sarana yang dimiliki negara untuk mencampuri, mengarahkan dan
merekayasa sebagai pemegang kedaulatan.
a.
Teori Hukum
Merekayasa Masyarakat (Social Engineering)
Hukum dan masyarakat tidak dapat
dipisahkan sebagaimana adanya, dan selalu diartikan bahwa hukum dapat digunakan
sebagai alat untuk mendorong perubahan pada masyarakat. Teori fungsi hukum
dalam masyarakat yang sudah maju, dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi
pertama di mana kemajuan masyarakat dalam berbagai bidang membutuhkan aturan hukum untuk mengaturnya. Sehingga
hukumpun turut ditarik oleh perkembangan masyarakat tersebut. Sedangkan pada
sisi yang kedua, hukum dapat mengembangkan masyarakat atau mengarahkan
perkembangan masyarakat tersebut.[10]
b. Teori Badan
Hukum
Diundangkannya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan pada tanggal 6 Agustus 2001,
melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001, Nomor 112 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132, selanjutnya disebut UU
Yayasan. Sebagai
pijakan besar mengenai perkembangan hukum di bidang Yayasan. UU Yayasan
memposisikan sebagai aturan yang mengatur secara khusus ketentuan badan hukum
yayasan. Ini terlihat pada konsideran menimbang pada huruf c menyebutkan, bahwa
dengan adanya UU Yayasan memberi jaminan kepastian dan ketertiban hukum agar
yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan berdasarkan prinsip-prinsip
keterbukaan dan akuntabilitas
kepada masyarakat.
Teori-teori badan hukum yang ada, sebenarnya dapat dihimpun
pada 2 (dua) golongan atau pandangan
yaitu :[11]
1.
Badan hukum itu sebagai wujud yang nyata, yang selalu diidentikan dengan manusia.
2.
Badan hukum itu tidak sebagai wujud yang nyata, tetapi badan hukum hanya
merupakan manusia yang berdiri dibelakang badan hukum tersebut, artinya jika
badan hukum tersebut melakukan kesalahan, hak itu hanyalah kesalahan
manusia-manusia yang berdiri dibelakang badan hukum tersebut secara
bersama-sama.
c. Teori Governance
Di
dalam perjalanan dan perkembangan teori, yang didefinisikan sebagai suatu penjelasan
umum (general explanation)
sebagaimana yang diungkapkan oleh Akhmad Syakhroza [12]
dari suatu fenomena governance. Bahwa
aplikasi dan kebutuhan terhadap governance
lebih dibutuhkan oleh sektor usaha swasta (korporasi),
maka perkembangannya mengikuti dinamika dunia usaha.
Sejak
dimulainya perdebatan yang mengarah pada pentingnya governance dalam era korporasi yang modern. Perkembangan teori governance sangat berpengaruh dalam
munculnya beberapa model yang dapat di adopsi oleh berbagai perusahaan. Dengan demikian, pembahasan di dalam teori
governance tepat dilakukan dengan
memperhatikan berbagai “perspektif”, agar
model yang dihasilkan dapat bersifat lebih aplikatif.
Secara
umum, perspektif di dalam memahami corporate
governance dapat dikategorikan menjadi dua paradigma yang memiliki
perbedaan secara prinsipal, pertama
dilihat dari prespektif pemegang saham (shareholding)
sedangkan yang kedua prespektif dari
pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholding).[13]
Perbedaan paradigma ini pada dasarnya berhubungan dengan pemahaman konsepsional
mengenai tujuan didirikannya suatu korporasi serta struktur korporasi yang pada
akhirnya mempengaruhi berbagai perangkat governance
yang dibutuhkan.
d. Sistem
Governance
Sudah
menjadi rahasia umum bahwa konsep corporate
governance dan berbagai aturan pada dasarnya hasil adopsi dari
negara-negara barat, antara sistem Anglo
Saxon dengan Continental European[14].
Lebih lanjut jika dihubungkan dengan sistem yang akan digunakan di dalam
menjalankan konsep corporate governance.
Sistem governance dapat
diklasifikasikan menjadi sistem yang berdasarkan pada dominasi pasar (market dominated) dan sistem yang
berdasarkan dominasi bank (bank dominated).
Sistem
yang bercirikan dominasi pasar biasanya ditemukan pada negara-negara yang
mengadopsi model Anglo Saxon dan di
dalam sistem ini pasar modal memegang peranan penting dalam perekonomiannya.
Pada negara yang menganut sistem ini mekanisme pengendalian oleh kekuatan pasar
bertindak sebagai pusat dari sistem pengendalian atau adanya kontrol terhadap
korporasi yang mereka anut. Kontrol tersebut dapat berasal dari internal dan
eksternal. Sementara untuk negara-negarar yang menganut model kontinental Eropa
secara umum dikategorikan sebagai penganut sistem governance yang didominasi perbankan. Pada sistem ini, tidak
menyandarkan pada mekanisme pasar sebagai alat kontrol dalam mekanisme
pengendalian. Sebab peran pemerintah dalam memberikan arahan dan kontrol sangat
dominan. Hubungan yang kuat antara pemerintah dan pelaku industri adalah untuk
bertujuan jangka panjang dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang ada.
E.
Konsep
Keseimbangan Yayasan
UU Yayasan sebagaimana diundangkan pada tanggal 6 Oktober
2001, kemudian dirubah melalui UU Nomor
28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 Tentang
Yayasan, Lembaran Negara Republik Idonesia Tahun 2004 Nomor 115. UU Yayasan sendiri telah melahirkan beberapa peraturan
pemerintah yaitu
Peraturan Pemerintah Nomot 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Yayasan, dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4894, dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2008 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan.
Penempatan prinsip-prinsip tata kelola yayasan yang baik sebagaimana pada
prinsip Good Corporate Governance, menjadi hal yang sangat prinsip diterapkan. Prinsip-prinisp itu dikenal sebagai prinsip utama pada tata kelola yang baik pada badan
hukum dan badan usaha dengan beberapa ketentuan dari adanya beberapa prinsip[15].
Dimulai dari prinsip transparansi (Transparency)
yaitu nilai yang memuat dan menjaga obyektifitas dalam menjalankan perusahaan
atau korporasi harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan
dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif unuk
mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan
perundang-undangan, tetapi juga hal penting untuk pengambilan keputusan oleh
pemegang saham, kreditor dan pemangku kepentingan lainnya. Akuntabilitas (Accountability) yaitu perusahaan sebagai
badan hukum harus mempertanggung jawab kinerja secara transparan dan wajar. Oleh
karena itu, perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan
kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham
dan pemangku kepentingan lainnya. Akuntabilitas dapat juga sebagai persyaratan
yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. Responsibilitas (Responsibility) diartikan bahwa
perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara
dan kesinambungan usaha dalam jangka panjang. Independensi (Independency)
diartikan bahwa perusahaan harus dapat dikelola secara independen, sehingga
masing-masing organ pada perusahaan tersebut tidak saling mendominasi dan tidak
dapat diintervensi dari pihak lainnya. Sedangkan kesetaraan
atau kewajaran (Fairness), bahwa
perusahaan sebagai korporate dalam melaksanakan kegiatannya, maka perusahaan
harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
Secara definitif penerapan Good Corporate Governance untuk selanjutnya
merupakan suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk
menciptkan nilai tambah (value added) untuk
semua stakeholder. Penerapan prinsip Good Corporate Governance di Indonesia dapat diartikan sebagai konsep pengelolaan
perusahaan yang baik. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini. Pertama, pentingnya hak pemegang saham
untuk memperoleh informasi dengan benar atau akurat. Kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclousure) secara akurat, tepat waktu
dan transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder.[16]
Penerapan prinsip Good Corporate Governance dalam dunia usaha
saat ini merupakan suatu tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut dapat
tetap eksis dalam persaingan global, yang memiliki tujuan strategis berupa :
1.
Untuk dapat
mengembangan dan meningkatkan nilai perusahaan;
2.
Untuk dapat
mengelola sumber daya dan resiko lebih efektif dan efisien;
3.
Untuk dapat
meningkatkan disiplin dan tanggung jawab dari organ perusahaan demi menjaga
kepentingan para stakeholder perusahaan.
4.
Meningkatkan
kontribusi perusahaan khususnya perusahaan-perusahaan terhadap perekonomian
nasional;
5.
Meningkatkan
investasi; dan
6.
Mensukseskan
program privatisasi perusahaan-perusahaan pemerintah.
Dari berbagai ketentuan tersebut, walaupun
adanya penekanan, penerapan Good Corporate Governance hanya diperuntukan pada perusahaan profit oriented, menjadi lain jika diterapkan prinsip tersebut pada
yayasan sebagai lembaga yang berbadan hukum.
Penempatan
prinsip-prinsip tersebut, merupakan suatu mekanisme pengaturan tentang tata
cara pengelolaan perusahaan atau badan berdasarkan rules yang benar, dengan menjalankan fungsi-fungsi anggaran dasar (articles of association) pada badan hukum tersebut,
serta aturan-aturan pada undang-undang maupun pada aturan peralihannya. Memberikan hubungan
keseimbangan mengenai organ-organ yang ada pada yayasan, baik pembina, pengurus dan pengawas. Pada prinsipnya, pemakaian istilah Good Corporate Governance yaitu penerapan prinsip manajemen badan atau perusahaan
untuk mengelola perusahaan atau badan secara baik, benar dan penuh integritas.[17]
5. Metode Penelitian
5.1
Type Penelitian
Penelitian ini
menggunakan penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif lazim dilakukan dalam kegiatan pengembangan Ilmu Hukum, yang
mencakup kegiatan menginventarisasi, memaparkan dan menginterprestasi,
mensistematisasi dan juga mengevaluasi keseluruhan hukum positif yang berlaku
dalam suatu masyarakat dan negara tertentu,
dengan
konsep-konsep, pengertian-pengertian,
teori-teori, klasifikasi-klasifikasi yang dibentuk dan dikembangkan khusus
untuk melakukan semua kegiatan tersebut.
Masalah inti dari dalam
Ilmu Hukum adalah menentukan apa yang menjadi hukumnya bagi situasi konkret, maka diperlukan proses
penalaran hukum (legal reasoning),
yaitu metode berpikir yuridis
untuk mengindentifikasi, berdasarkan tatanan hukum yang berlaku.[18] Semakin
menjadi benar sebagaimana yang disampaikan oleh Peter Mahmud Marzuki
berdasarkan keilmuan ilmu hukum tersebut menguktip dari pendapat Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, membagi ilmu hukum menjadi tiga lapisan
yaitu, rechtsdogmatiek (Dokmatig
Hukum), rechtteorie (Teori Hukum) dan rechtsfilosie (filsafat Hukum). Pada kenyataannya, bahwa ilmu
hukum mempunyai dua aspek yaitu aspek praktis dan aspek teoritis. Mengingat hal
tersebut, dalam penelitian ilmu hukum dibedakan menjadi penelitian untuk
keperluan praktis dan penelitian untuk kajian akademis. Penelitian untuk tujuan
praktis dilakukan bagi kepentingan klien
dan sesama praktisi hukum. Sedangkan untuk kajian akademis, penelitian
dilakukan bagi dunia akademis dan pembuat undang-undang. Hasil dari penelitian
untuk keperluan aspek praktis berupa adanya pendapat hukum. Sedangkan hasil
penelitian untuk kajian akademis berupa karya akademis baik dalam bentuk tesis,
disertasi, artikel dan jurnal hukum dan naskah akademis dalam proses penyusunan
rancangan undang-undang.[19]
Maka hasil akhir dari penelitan tersebut dapat menjawab makna apakah dapat
ditemukannya teori hukum baru, atau menemukan konsep baru terhadap hal-hal yang
dipandang telah mapan dalam ilmu hukum.
5.2 Pendekatan
Masalah
Untuk memperoleh kebenaran ilmiah atas jawaban isu hukum
yang dikaji, maka dalam penelitian
hukum ini memadukan beberapa
pendekatan (Approach) yaitu
pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan Konseptual (conceptual approach), pendekatan
perbandingan (comparative approach), dan
pendekatan kasus (case approach).
a.
Pendekatan
perundang-undangan (statute approach).
Pendekatan ini menganalisa semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan
dengan permasalahan dalam penelitian ini dalam lingkup prinsip tata kelola
yayasan yang baik, yaitu diawali
dari suatu konstitusi dan aspek-aspek hukum serta konsep-konsep hukum terhadap
undang-undang serta ikutannya, baik dalam bentuk Undang-Undang
maupun Peraturan Pelaksanaanya.
b.
Pendekatan
konseptual (conceptual
approach), pendekatan ini berawal dari adanya pemikiran-pemikiran dan
doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Keberadaan pendekatan ini
akan digunakan sebagai usaha dan keinginan untuk menemukan ide atau gagasan
yang akan menghasilkan sebuah konsep dan argumentasi hukum yang berkaitan
dengan yayasan sebagai badan hukum dalam penerapan prinsip tata kelola yang
baik dengan istilah Good Corporate
Covernance (GCG) dengan memuat prinsip Transparency
(Transparansi), Accountability
(Akuntabilitas), Responsibility
(Responsibilitas), Independency
(Independensi) dan Fairness
(Kewajaran dan Kesetaraan), apakah hal ini cukup ideal diterapkan pada yayasan
? Penerapan prinsip tata kelola yang baik ini, sangat dimungkinkan adanya
proses pengawasan pada lembaga yayasan sebagai badan hukum. Lembaga pengawasan
dalam kedudukannya menempatkan sebagai pihak pengendali dari keberadaan
yayasan. Lembaga pengawasan ini bentuk dari hadirnya negara atau pemerintah
menempatkan keistimewaan yayasan ini sebagai organisasi nirlaba dengan
penekanan nilai-nilai sosial, keagamaan dan kemanusiaan sebagai penempatan
prinsip idiil pendirian yayasan. Oleh karena itu, yayasan sebagaimana yang
dimaksud yang membedakan yayasan dengan
badan hukum lainnya. Lembaga pengawasan untuk yayasan ini, digunakan untuk
menghindari penempatan yayasan sebagai wadah yang tidak berjalan pada tatanan
prinsip idiil. Hal ini sangat mungkin terjadi disaat yayasan dalam
keberadaannya, sebagaimana dimaksud
Pasal 26 ayat 2 UU Yayasan, kekayaan yayasan berasal dari sejumlah
kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang sebagai dasar pendirian
yayasan. Kekayaan yayasan juga diperoeh dari sumbangan atau bantuan yang tidak
mengikat. Bantuan tersebut bisa perorangan atau melalui badan privat atau badan
publik. Kekayaan yayasan juga berasal dari harta wakaf yang digunakan untuk
kepentingan keagamaan dan sosial. Kekayaan yayasan juga diperoleh dari harta
yang bersumber dari hibah yaitu adanya pemberian cuma-cuma untuk yayasan dan
dikelola untuk kepentingan agama, sosial dan kemanusiaan. Kekayaan yayasan juga
dapat berasal dari hibah wasiat, dan kekayaan yayasan diperoleh dari hasil yang
tidak bertentangan dengan anggaran dasar yayasan atau peraturan
perundang-undangan. Pada konteks ini, maka untuk menempatkan yayasan berjalan
sebagaimana mestinya dibutuhkan lembaga pengawas yang kedudukannya bersifat
independen. Lembaga ini bentuk wujud hadirnya pemerintah atau negara pada
yayasan. Pada beberapa negara di Eropa telah mengenal bentuk pengawasan
terhadap yayasan. Di Inggris sejak tahun 1853 telah membentuk suatu badan
pengawas yang bersifat tetap dengan nama Board of Charity Commissioners.
Badan pengawas ini berwenang memberikan nasehat, mempengaruhi, menginvestigasi
dan mengecek penyalahgunaan, serta mengefektifkan kerja badan amal. Disamping
itu juga lembaga ini dapat melakukan penelitian dan atas laporan-laporan yang
berkembang dari adanya laporan masyarakat dengan membuka dokumen-dokumen atas
tugas yang diberikan melindungi harta benda amal yang dibawah naungan lembaga.
Komisioner yang ada pada lembaga pengawas mempunyai kekuasaan berupa :
a.
Menghentikan suatu trustee
atau orang lain yang berhubungan dengan badan amal dari penggunaan kantor
atau pekerjaannya.
b.
Menunjuk trustee
tambahan,
c.
Membatasi transaksi yang mungkin dimasukan dalam badan
amal tanpa persetujuan komisioner.
c.
Pendekatan
perbandingan (comparative approach). Pendekatan ini
berusaha untuk membandingkan hukum yayasan pada satu negara baik dari proses
pendirian sampai keberadaan yayasan tersebut dengan peraturan yayasan yang ada
di Indonesia. Sebab yayasan
di Indonesia, sebelum
diberlakukannya UU Yayasan yang ada,
pendirian yayasan
hanya didasari dari kebiasan-kebiasan
yang berlaku pada saat itu, dengan menempatkan yayasan sebagai badan hukum. Pada pendekatan perbandingan,
mengkaji lebih dalam dan membandingkan dari segi diberlakukannya peraturan yayasan atau dengan
sebutan lain sebagai lembaga non profit dengan istilah Foundation
dari suatu Negara tertentu secara mikro atau hukum dari suatu waktu
tertentu dengan hukum dari waktu lainnya.
d.
Pendekatan
kasus (case approach). Pendekatan ini
akan dilakukan dengan menelusuri beberapa kasus mengenai yayasan. Sedangkan
pada pendekatan kasus, selalu dimulai dengan mengkaji dan menganalisis berbagai
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, atau mengikat (inkrach van gewijsde)
sebagai yurisprudence yaitu dengan mengkaji apa yang menjadi alasan-alasan
hukum yang digunakan oleh hakim sampai kepada putusan yang dikenal sebagai ratio decidendi.[20]
Pada pendekatan kasus menelaan beberapa putusan yang yang telah berkekuatan
hukum tetap.
6.
Sumber
Bahan Hukum
a.
Bahan hukum primer berupa peraturan-peraturan hukum, putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap
b.
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
sebagai pendukung bahan hukum primer seperti publikasi-publikasi tentang hukum
yang meliputi doktrin sebagai pendapat para ahli, textbooks, jurnal, majalah
ilmiah baik cetak maupun on-line, kamus hukum, putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum, serta sumber-sumber lain yang berkaitan dengan hukum
yayasan.
7. Pengelolahan dan analisa bahan hukum.
Pada
pengelolaan dan analisa bahan hukum merupakan proses pengumpulan bahan hukum
melalui menginventarisasi guna melakukan pengelolaan dan analisis bahan hukum
yang ada. Seluruh sumber bahan hukum yang terkumpul pada penelitian ini, baik
berupa sumber hukum primer dan sekunder, dilakukan pengelolaan sesuai dengan
karakter penelitian hukum normatif. Sumber bahan hukum primer dilakukan dengan
cara melakukan inventarisasi dari ketentuan hukum positif dilihat dari
peraturan-peraturan perundang-undangan dan seluruh peraturan-peraturan lainnya
yang ada hubungannya dengan penelitian ini. Pada sisi yang lain sumber hukum
sekunder dilakukan dengan cara penelusuran bahan-bahan hukum berasal dari
perpustakaan (studi pustaka) yang ada kaitan dengan penelitian ini. Seluruh
langkah-langkah
tersebut untuk menjawab semua permasalahan pada penelitian ini yang
berkaitan dengan penerapan prinsip tata kelola yang baik pada yayasan, dengan
suatu pertanyaan apakah prinsip tersebut dapat digunakan pada yayasan ? Prinsip
tata kelola yang baik sebagaimana yang
dikenal dengan penyebutan Good Corporate
Governance (GCG) memuat pada prinsip prinsip Transparency (Transparansi), Accountability
(Akuntabilitas), Responsibility
(Responsibilitas), Independency
(Independensi) dan Fairness
(Kewajaran dan Kesetaraan) yang disingkat dengan TARIF. Namun prinsip yang
termuat pada Good Corporate
Governance yang diselaraskan pada prinsip idiil yayasan. Oleh karena itu, berdasarkan definisi yayasan sebagai badan
hukum yang terdiri dari atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk
mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak
mempunyai anggota. Penekanan
pendirian yayasan
pada bidang sosial, keagamaan dan kemanusian, menjadi ciri utama pendirian yayasan jika
dibandingkan pada badan hukum lainnya. Namun disatu sisi, UU Yayasan memberi kemungkinan pada
yayasan untuk mendirikan badan usaha yayasan dengan maksud sebagai penunjang
pencapaian maksud dan tujuan yayasan. Batasan yang memungkinkan pendirian badan
usaha yayasan tidak boleh melanggar pada norma pendirian yayasan, yang selalu mengacu pada prinsip-prinsip
idiil yayasan.
Pada penelitian ini menggunakan analisi dengan metode
induktif dan deduktif. Pada metode induktif yakni memahami fakta-fakta atau
gejala-gejala kemudian diabstarksi dengan mencari prinsip-prinsip, teori-teori,
yang berhubungan dengan isu hukum yang ada. Sedangkan metode deduktif berpijak
pada peraturan yang bersifat umum untuk dijadikan pisau analisis yaitu seluruh
sumber hukum baik primer dan sekunder diparalelkan untuk dianalisa atau
dilakukan interprestasi untuk dapat memecahkan isu-isu hukum pada penelitian
ini.
BAB II
PRINSIP IDIIL PENDIRIAN YAYASAN YANG BERBADAN HUKUM
1. Pancasila Sebagai Ideologi
Pancasila
sebagai ideologi memiliki makna yang ideal, satu hal yang sangat utama bahwa
Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum, sebagaimana tercantum pada
pada Lampiran Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor :
XX/MPRS/1966. Notonegoro (almarhum)
dalam pidato Dies Netalis Universitas Airlangga pada tanggal 10 November 1955,
menyatakan bahwa Pancasila adalah pokok Kaidah Fundamental Negara atau Staatsfundamenalnorm.[21]
Sebagai fundamental negara sebagaimana yang diungkapkan oleh Notonegoro,
dalam kedudukannya bahwa Pancasila adalah bagian cita-cita hukum dalam
menggantikan keberadaan pancasila sebagai ideologi dalam kaitannya Pancasila dengan kehidupan
hukum bangsa Indonesia, sebagaimana yang dikatakan oleh A. Hamid S. Attamimi,
bahwa kehidupan hukum dalam lingkup yang lebih terbatas yaitu kehidupan hukum
tertulis, kehidupan perundang-undangan, baik perundang-undangan dalam arti
prodak yang berupa peraturan-peraturan perundang-undangan (wetgevingsregels) ataupun peraturan-peraturan kebijakan (beleidsregels).
Rudolf Stammler, seorang ahli filsafat
hukum yang beraliran neo-Kantien, berpendapat bahwa cita hukum ialah konstruksi
pikir yang merupakan keharusan bagi mengarahkan hukum kepada cita-cita yang
diinginkan masyarakat. Cita hukum berfungsi
sebagai bintang pemandu (leitstern)
bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Meski merupakan titik akhir yang tidak
mungkin tercapai, namun hukum memberi manfaat karena ia mengandung dua sisi
yaitu bahwa dengan cita hukum dapat menguji hukum positif yang berlaku, dan
kepada cita hukum dapat mengarahkan hukum positif sebagai usaha dengan sanksi
pemaksa menuju sesuatu yang adil (zwangversuch
zum Richtigen). Karena
itu menurut Stammler, keadilan ialah
usaha atau tindakan mengarahkan hukum positif kepada cita hukum. Dengan
demikian,
maka hukum yang adil (richtiges Recht)
ialah hukum positif yang memiliki sifat yang diarahkan oleh cita hukum untuk
mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Stammler sendiri
mengatakan mengenai tentang hukum merupakan bagian kehendak manusia dalam
kehidupan sosial yaitu hidup bersama yang teratur.[22]
Sedangkan
Gustav Radbruch, menegaskan bahwa cita hukum tidak hanya berfungsi
sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif yaitu yang menguji apakah suatu
hukum positif adil atau tidak ? Melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar
yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum maka
akan kehilangan maknanya sebagai hukum. Sebagaimana diketahui, Radbruch termasuk ke dalam mazhab yang
berusaha menjembatani dualisme das Sein
dan das Sollen, dengan mengintruksikan
lingkup ketiga yaitu kebudayaan (kultur).[23]
Apa yang
tergambarkan tersebut dalam posisi yayasan sebagai penampung dari harta-harta
ilegal, jelas akan mengancam stabilitas perekonomian
dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tindakan tersebut yang
dikenal dengan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, diundangkan pada tanggal 22 Oktober 2010, diumumkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010, Nomor 122, atau disebutkan juga UU TPPU. Pada
Pasal 1 angka 5 UU TPPU menyebutkan
bahwa transaksi keuangan yang mencurigakan tersebut dapat berupa :
a.
Transaksi
keuangan yang menyimpang dari profil karakteristik, atau kebiasaan pola
transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan.
b.
Transaksi
keuangan oleh pengguna jasa patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghidari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh
pihak pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
c.
Transaksi
keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan
yang diduga berasal dari hasil tindak pidana, atau
d.
Transaksi
keuangan yang diminta PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena
melibatkan harta kekayaan, diduga hasil tindak berasal dari hasil tindak
pidana.
Transaksi keuangan
yang mencurigai tersebut sangat memungkinkan akan digunakan oleh para pendiri yayasan dan para pihak
yang terlibat dan masuk dalam struktur organ yayasan atau pihak-pihak yang
terafiliasi dengan yayasan.
Oleh karena itu, sangat dimungkinkan akan menjadi tempat dan
keberadaan uang-uang haram dari transaksi yang mencurigakan itu akan digunakan
oleh para pendiri dan para pihak dalam organ untuk kepentingannya secara
pribadi dan kepentingan sesaat, saat UU
Yayasan belum mengatur secara menyeluruh. Jika
yayasan
dan prodak aturan yang mengaturnya baik dalam bentuk UU dan Peraturan
Pemerintah yang ada saat ini tidak diperkuat, maka ini menjadi tempat dan
wahana terhadap pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Walaupun begitu, umumnya pelaku tindak
pidana yang berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang merupakan
hasil dari tindak pidana yang susah ditelusuri oleh aparat penegak hukum
sehingga dengan leluasa memanfaatkan harta
kekayaan
tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Karena itu tindakan
tersebut dikategorikan pada tindakan yang bisa mengancam stabilitas dan
integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan tetapi juga dapat
membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Keberadaan yayasan dalam struktur
dan kedudukannya dimasyarakat dimulai dari adanya pemikiran dari sebagian
kelompok masyarakat untuk berserikat, berkumpul membentuk organisasi. Karena
keterlibatan manusia diorganisasi merupakan hal yang sepatutnya dalam kehidupan
sehari-hari, dari
organisasi yang terkecil dalam lingkup masyarakat sampai organisasi besar yang
melingkupi antar negara. Sebab
masyarakat atau kelompok individu beranggapan organisasi pada dasarnya bagian
dari menyelenggarakan, mengurus, mengusahakan, mengorganisir dan mengelola.
Beberapa pendapat beberapa
ahli, menerangkan bahwa orang-orang dalam sebuah organisasi mempunyai suatu
keterikatan yang terus menerus. Rasa keterikatan ini berkaitan dengan
partisipasi para anggota secara sadar teratur di dalam organisasi. Akhirnya,
organisasi itu ada untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Oleh karena itu, kata “sesuatu” adalah
tujuan dan tujuan itu biasanya tidak dapat dicapai oleh individu-individu yang
bekerja sendiri, atau jika mungkin, hal tersebut dicapai secara lebih efisien
melalui usaha-usaha kelompok. Tidak perlu semua anggota mendukung tujuan
organisasi secara penuh, namun adanya kesepakatan umum mengenai misi
organisasi.
Peran dan rekam jejak Ormas yang telah berjuang secara
ikhlas dan sukarela tersebut mengandung nilai sejarah dan merupakan aset bangsa
yang sangat penting bagi perjalanan bangsa dan negara yang ada saat ini. Oleh
karena itu,
peningkatan peran dan fungsi ormas dalam pembangunan memberi fungsi dan
konsekuensi pentingnya membangun sistem pengelolaan ormas yang memenuhi kaidah
Ormas yang sehat sebagai organisasi nirlaba yang demokratis, profesional, mandiri,
transparan dan akuntabel. Inilah yang selalu diharapkan dengan adanya
nilai-nilai sosial.
Undang-Undang Ormas yang ada saat ini, ingin menempatkan ormas sebagai
organisasi yang memiliki jiwa dan roh sebagai lembaga yang memiliki tanggung
jawab sosial kepada masyarakat. Para mater ini juga sudah mulai diterapkan pada
lembaga atau badan hukum yang memang beorientasi profit (profit orientate).
Berpijak dari persoalan tersebut,
Pemerintah sebagai regulator telah memasukan klausula tanggung jawab sosial bagi
badan hukum ke dalam beberapa peraturan
yang ada. Dimulai dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal (selanjutnya disingkat UU Penanaman Modal) sebagai pengganti dari UU Nomor 1 Tahun 1967 dan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya
disebut UU Perseroan Terbatas) sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995.
Ketentuan ini akan menjadi pijakan bagi pemerintah bersama Dewan Perwakilan
Rakyat dalam membuat aturan untuk kepentingan sosial masyarakat.
Pada UU Penanaman Modal terdapat tiga pasal yang mengatur
tentang tanggung jawab sosial bagi perusahaan yang dikenal dengan istilah Corporate Social Resposibilty yaitu :
a.
Pasal 15 huruf b UU Penanaman Modal, menyatakan bahwa “setiap penanaman
modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.’
b.
Pasal 16 UU Penanaman Modal yaitu :
1.
Huruf d menyatakan bahwa “setiap
penanaman modal bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan hidup”.
2.
Huruf e menyatakan bahwa “setiap
penanaman modal bertanggung jawab untuk menciptakan keselamatan, kesehatan,
kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja”
c.
Pasal 17 UU Penanaman Modal, menyatakan bahwa “penanaman modal yang mengusahakan sumber daya alam
yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan
lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup yang pelaksanaannya
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Sedangkan menurut Pasal 74 UU Perseroan Terbatas menyatakan sebagai bahwa :
1)
Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
tanggung
jawab
sosial
dan lingkungan.
2)
Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya perseroan yang melaksanakannya dilakukan dengan memperhatikan
kepatutan dan kewajaran.
3)
Perseroan yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan di atur dengan Peraturan
Pemerintah.[24]
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 huruf e UU BUMN dan Pasal 4 ayat (2)
PP Persero, Kementerian BUMN
menindaklanjuti dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor
Kep-236/MBU/2003 yang mengharuskan setiap BUMN untuk menyelenggarakan Program
Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (selanjutnya disingkat PKBL). Surat
Keputusan tersebut dijabarkan dalam bentuk dikeluarkannya Surat Edaran Menteri
BUMN Nomor SE-433/MBU/2003 yang menegaskan setiap BUMN membentuk unit
tersendiri yang bertugas secara khusus mengenai PKBL. Ketentuan mengenai PKBL
telah diatur dalam bentuk Peraturan Menteri BUMN Nomor PER 05/MBU/2007 tentang
Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan sebagai pengganti Keputusan Menteri Negara BUMN Nomor
Kep-236/MBU/2003.[25]
Paradikma
yang mendekatkan peraturan
dengan kepentingan dan kehidupan masyarakat, baik dalam bentuk undang-undang
dan peraturan pelaksanan lainnya oleh Jimly Asshiddiqie dikatakan sebagai
gagasan konstitusi social (Social
Constitution). Konstitusi sosial merupakan konstitusi masyarakat madani
yang terkait dengan fenomena institusionalisasi dan konstitusionalisasi
kehidupan sosial. Konstitusi sosial ini merupakan seperangkat nilai-nilai (social values) dan kaidah-kaidah hukum
(legal norms), tetapi juga
kaidah-kaidah etika (ethical norms)
dalam perikehidupan bersama. Konstitusi sosial itu berisi norma-norma hukum
konstitusi (constitution ethics). Konstitusi tersebut
hendaknya menjadi pegangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip-prinsip nilai
dan ide-ide yang terkandung dalam UUD 1945 harus tercermin dalam berbagai
naskah konstitusi atau anggaran dasar setiap organisasi masyarakat madani, dari
semua jenis organisasi baik di luar struktur formal, organisasi pemerintah
negara, organisasi usaha dan unit-unit keluarga atau rumah tangga.[26]
Secara
umum pengertian civiel society dalam
ditelaah menurut pendapat Bruce Sievers,
sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie [27] terdapat 7 ciri yaitu :
1)
Non-profit and
voluntary institutions;
2)
Mengutamakan
dan mengagungkan prinsip “individual
right”;
3)
The Common goods;
4) The
Rule of Law;
5) Philanthropy;
6) Free
Expression;
7) Tolerance
2. Prinsip Idiil Organisasi Non Profit
Sebagaimana
yang telah dijelaskan pada ketentuan tersebut, yayasan
juga bagian cermin dari konsep gagasan konstitusi sosial. Suatu pengertian dari
konsep konstitusi merupakan suatu pengertian tentang seperangkat
prinsip-prinsip nilai dan norma dasar yang mengatur mengenai apa dan bagaimana
suatu sistem kekuasaan dilembagakan dan dijalankan untuk mencapai tujuan
bersama dalam wadah organisasi. Karena itu, Briam
Thompson sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshidiqie, menyatakan “…a constitution is a document which contains
the rules for the operation of an organization[28]. Dalam pengertian
demikian, konstitusi dapat dipakai oleh berbagai macam dan jenis organisasi,
mulai dari organisasi negara yang berdaulat, organisasi-organisasi
internasional, sampai ke organisasi-organisasi perusahaan dan asosiasi-asosiasi
berbadan hukum ataupun
organisasi-organisasi profesi, dan organisasi sosial dan kemasyarakatan
pada umumnya. Semuanya dapat memiliki dokumen konstitusi, yang dikenal dengan
anggaran dasar, atau disebut By-Law .
Di
Indonesia dalam prakteknya yayasan
merupakan suatu lembaga yang pokok fungsinya berperan sebagai wujud kepedulian
sosial masyarakat, karena program kerja kegiatannya bergerak di bidang sosial
keagamaan dan kemanusiaan.[29] Sebuah gejala sosial
menurut Theodor Geiger, dimulai dari
suatu aturan hukum yang ia katakan bukan terutama aturan formal dalam wujud
undang-undang. Ia merupakan norma yang hidup dalam hati orang-orang. Oleh karena itu, Geiger membedakan dua macam norma yaitu
norma yang sebenarnya dan norma yang tidak sebenarnya. Norma yang sebenarnya
menunjukan pada norma-norma yang belum masuk pada aturan-aturan
perundang-undangan negara. Ia merupakan norma-norma yang habitual. Sedangkan norma yang tidak sebenarnya adalah normasatz, yaitu norma yang dirumuskan
dalam aturan perundang-undangan negara.[30]
Namun
jika kita melihat teori Theodor Geiger,
hukum dan gejala sosial. Segala sesuatunya akan menjadi seimbang dalam
memandang teori Roscoe Pound dengan hukum
keseimbangan dan kepentingan. Pijakan
Pound selalu menghindar segala
kontruksi-konstruksi teori yang terlampau abstrak seperti umumnya teori-teori
yang muncul di Eropa. Bagi Pound,
seorang filsup dengan gagasan-gagasan dimuat dalam Sporious Interpretation (1907), Outlines of Lectures on Jurisprudence,
The Spirit of the Common Law, Law and Moral, Criminal justice in America dan
Social Control Through Law. Menurut Pound
dimulai dengan ketentuan ada tiga macam etik sosial yang bisa diperbedakan
menurut tujuannya, yaitu demi kepentingan individu, demi kepentingan publik dan
demi kepentingan sosial. Tujuan yang ketiga ini menurut Pound diakatakan “to guide the court in applying the law,”
bukan “those of individual or public
interst ”.[31]
Menurut J.H.P Bellefroid dalam bukunya Inleiding tot de Rechtsweten schop in
Nederland, yang dikutip
oleh Titik Triwulan Tutik menyebutkan, hukum kebiasaan meliputi suatu peraturan-peraturan yang
walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat,
karena mereka yakin bahwa peraturan itu berlaku sebagai hukum. Untuk timbulnya
hukum kebiasaan diperlukan syarat-syarat, yaitu adanya perbuatan yang dilakukan
berulang-ulang (tetap) dalam lingkungan masyarakat tertentu (bersifat
materiil), adanya keyakinan hukum dari masyarakat (opinion juris seu necessitates) yang bersangkutan bahwa perbuatan
itu merupakan sesuatunya dilakukan, dan adanya akibat hukum apabila kebiasaan
itu dilanggar.[32]
Melihat perkembangan
yang ada saat ini, tidak tertutup kemungkinan banyaknya permasalahan hukum yang
berhubungan dengan yayasan
dimulai dari tumpang tindihnya hubungan antar masing-masing organ yayasan, disamping
tidak adanya keterbukaan yang berhubungan mengenai harta kekayaan yayasan atau
hasil-hasil dari pendapatan
yayasan
disaat yayasan
menjalankan aktifitas dalam pendirian bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
Permasalahan lain yang selalu timbul akibat adanya hubungan ketidak harmonis
diantara ketua
pengurus
yayasan
dengan ketua pelaksana pekerjaan yayasan.
Permasalahan ini dikarenakan masih banyaknya yang belum memahami makna apa yang
terkandung pada UU Yayasan. UU Yayasan pada prinsipnya telah
mengatur secara jelas dan nyata mengenai kedudukan masing-masing organ yang memiliki
tugas dan tanggung jawab. Inilah yang membedakan yayasan dengan badan hukum dan
badan usaha lainnya.
Yayasan dan peran
serta dalam pembagunan tidak dapat dipisahkan. Banyak yang telah diperbuat yayasan dalam
pembangunan, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan dan pemberian bantuan
sosial lainnya. Oleh karena itu,
yayasan
yang didirikan sebagai organisasi yang menaungi segala kegiatan yang
berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan, keagamaan dan kemasyarakatan, yang tercermin pada maksud
dan tujuan pendirian yayasan.
Setiap pendirian yayasan
sebagaimana termuat pada anggaran dasar yayasan selalu mencantumkan bidang yang
menjadi tujuan yayasan
didirikan yaitu bidang sosial, bidang keagamaan dan bidang kemanusiaan,
sebagaimana termuat pada Pasal 1 angka 1 UU Yayasan. Ketiga
bidang maksud dan tujuan dijabarkan menjadi beberapa kegiatan Yayasan yang
tidak terlepas dari maksud tujuan Yayasan didirikan, berupa :Sosial,
-
Lembaga
formal dan non formal.
-
Panti
asuhan, panti jompo, dan panti werda.
-
Rumah
sakit, Poliklinik, dan laboratorium.
-
Pembinaan
olahraga.
-
Penelitian
dibidang ilmu pengetahuan.
-
Studi
banding.
a.
Keagamaan,
-
Mendirikan
sarana ibadah.
-
Menyelenggarakan
pondok pesantren dan madrasah.
-
Meningkatkan
pemahaman keagamaan.
-
Melaksanakan
syiar agama.
-
Studi
banding, keagamaan.
b.
Kemanusiaan,
-
Memberikan
bantuan kepada korban bencana alam.
-
Memberikan
bantuan kepada pengungsi akibat perang.
-
Memberikan
bantuan kepada tunawisma, fakir miskin dan gelandangan.
-
Mendirikan
dan menyelenggarakan rumah singgah dan rumah duka.
-
Memberikan
perlindungan konsumen.
-
Melestarikan
lingkungan hidup.
Kegiatan-kegiatan
sebagaimana tersebut bagian maksud dan tujuan pendirian yayasan. Namun yayasan dapat juga
mendirikan badan usaha yayasan. Kegiatan mendirikan badan usaha yayasan tidak lain untuk
menunjukkan eksistensi yayasan.
Inilah bagian peran serta yayasan
dalam pembangunan berbangsa dan bernegara. Peran serta yayasan dalam
pembangunan berbangsa dan negara cukup terasa.
Keikutsertaan yayasan
dalam pembangunan haruslah tetap terjaga. Banyak hal-hal yang telah diperbuat yayasan sebagai
badan hukum khususnya
dibidang pendidikan, kesehatan,
keagamaan dan bidang-bidang
lainnya.
Keberadaan yayasan berbadan hukum
sesuatu yang sangat penting jika dihubungkan dengan tanggung jawab, baik
tanggung jawab yang berhubungan dengan badan hukum yayasan, tanggung jawab para
organ yayasan, serta tanggung jawab dari maksud dan tujuan pendirian yayasan. Yayasan memperoleh
status badan hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat 1 UU Yayasan, saat yayasan memperoleh pengesahan badan hukum dari Menteri terkait
dalam hal ini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Kewenangan Menteri
dalam memberikan
pengesahan itu tidak lain adalah amanah undang-undang yang mengatur. Menteri
sebagaimana dimaksud adalah wakil pemerintah selaku pemberi kewenangan. Pengertian
“pemerintah” dikaitkan dengan istilah atau terminology bahasa Belanda adalah “bestuur”. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia diistilahkan “bestuur” maupun “regering”, diterjemahkan dengan pemerintah. Sehingga untuk
membedakan antara ‘bestuur” dengan “regering”, dengan memposisikan bahwa “bestuur” diartikan pemerintah dalam arti
sempit, sedangkan ‘regering”
pemerintah dalam arti luas. [33]
Menurut Philipus M.
Hadjon [34], menyebutkan wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan sebagai
kekuasaan hukum (rechmacht). Jadi
dalam konsep hukum publik,
wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Sedangkan F.P.C.L. Toner ,dalam
Ridwan AR[35],
berpendapat “Overheidsbevoegheid wordt n
dit verband opgevad als het vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen
tussen burger onderling en tussen overhead en te scheppen”. Kewenangan pemerintah
dalam kaitan ini,
harus dianggap
sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat
diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.
Secara yuridis,
pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan perundang-undangan untuk
memenuhi atau menimbulkan akibat-akibat
hukum. Ketentuan tersebut dapat terlihat dari UU Yayasan, khususnya pada Pasal
71 UU Yayasan mengenai penyesuaian yayasan
ke dalam UU Yayasan, yang memberikan
jangka waktu untuk penyesuaian selama 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya UU
Yayasan, maka
dengan diundangkannya UU Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang yayasan, dimungkinkan untuk
menyesuaikan yayasan lama ke dalam UU Yayasan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. Konsekuensinya, jika tidak
dilaksanakan, tidak diperkenankan menggunakan kata “Yayasan” didepan nama yayasan
tersebut. Di samping dimungkinkan
yayasan dibubarkan
berdasarkan adanya putusan Pengadilan atas adanya permohoan dari Kejaksaan atau
pihak-pihak yang berkepentingan.
Sejak diundangkannya
UU Yayasan, pembahasan
menyangkut peraturan
pelaksanaan sebagaimana yang diamanahkan oleh UU Yayasan berupa Peraturan Pemerintah, baru
dilaksanakan dan dikeluarkan sejak tahun 2008, melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2008. PP ini memuat
segala sesuatu yang berhubungan dengan pemakaian nama yayasan, kekayaan awal yayasan, pendirian yayasan berdasarkan surat wasiat, syarat dan tata
cara pendirian yayasan
oleh orang asing, tata cara pengajuan permohonan pengesahan akta pendirian dan
persetujuan,
akta perubahan anggaran dasar yayasan,
tata cara pembentukan perubahan anggaran dasar dan Perubahan data yayasan, syarat dan
tata cara pemberian bantuan negara kepada yayasan,
syarat dan tata cara yayasan
asing melakukan kegiatan di Indonesia dan tata cara penggabungan yayasan.
Dibatasinya tujuan yayasan tersebut
sebagaimana termuat pada anggaran
dasar
yayasan,
menurut Rudhi Prasetya, tidak lain agar yayasan
didirikan tidak disalahgunakan untuk kepentingan yang tidak mencerminkan pada
pendirian yayasan
yang lebih menekankan pada prinsip idiil.[36] Ini sangat dimungkinkan
terjadi, pendirian yayasan
menghilangkan akar dari prinsip utama yayasan
itu sendiri. Kemungkinan pendirian yayasan
disalahgunakan oleh para pendiri dengan maksud yang tidak sesuai pada prinsip
pendiriannya.
Hal ini dikarenakan masih lemahnya pengaturan yayasan itu sendiri
sejak diundangkannya UU Yayasan, sampai dengan perubahannya maupun pengaturan
yang mendukung.
Namun tidak
dapat dipungkiri, bahwa tingginya
sengketa yayasan
yang ada saat, dimulai pada saat yayasan didirikan. Sampai saat yayasan mulai eksis, adanya
benturan antar organ yayasan,
maupun sengketa antara yayasan
sebagai badan hukum dengan lembaga atau badan yang didirikan oleh badan hukum yayasan sebagai maksud
dari pendirian yayasan
yang ada. Tingginya sengketa yayasan
tersebut, dikarenakan belum pahamnya pelaku yayasan dari beberapa peraturan
mengenai yayasan
yang pada dasarnya telah diatur dan memuat cara penyelesaiannya. Sengketa yayasan sebagaimana yang ada secara garis besarnya
dapat disimpulkan pada 3 (tiga) hal utama yaitu :
a.
Tentang
status dari akta
pendirian
yayasan
atau hal yang dimuat pada anggaran
dasar
yayasan
maupun pada perubahan dari anggaran
dasar
yayasan
sebagaimana adanya.
b.
Tentang
penggantian organ yayasan
yang dilakukan oleh pembina
tanpa batasan yang jelas, seolah-olah Pembina
dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya.
c.
Status
aset yayasan,
dalam pemikiran para pendiri yayasan,
dan organ yayasan,
pembina,
pengurus
dan pengawas,
yang sering terlibat pada motivasi penguasaan aset yayasan.[37]
Sedangkan dari 3
(tiga) kalisifikasi tersebut isu sengketa yang sering timbul pada yayasan, menurut
pendapat H.P Panggabean, [38] bahwa timbul sengketa
yayasan dimulai dari
adanya keinginan pendiri
yayasan
untuk membelokan makna pendirian yayasan
bukan pada prinsip idiil,
melainkan penempatan pendirian yayasan
untuk kepentingan keuntungan dengan mencari celah-celah terhadap lemahnya aturan yang
mengatur mengenai yayasan..
Oleh sebab itu,
proses pengawasan dapat dijadikan pijakan pada 3 (tiga) prinsip fiduciary pengurus dan pengawas yang harus di
perhatikan oleh badan hukum yayasan
dalam memberikan makna terhadap kelangsungan yayasan berupa :
a.
The conflict rule, dalam arti bahwa pengurus atau pengawas tidak boleh
menjalankan tugas untuk kepentingannya atau untuk kepentingan pihak lain
sebelum disetujui oleh yayasan.
b.
The Profit rule, dalam arti pengurus atau pengawas tidak boleh
menggunakan kedudukannya untuk mendapatkan keuntungan baik untuk keuntungan
pribadi maupun untuk keuntungan pihak lain atau pihak ketiga tanpa persetujuan yayasan.
c.
The misappropriation
rule,
yakni pengurus
atau pengawas
dilarang memakai atau menyalahgunakan segala milik yayasan untuk
kepentingan pribadi atau kepentingan pihak lain atau pihak ketiga.[39]
Batasan tersebut menyebutkan bahwa proses pengawasan terhadap organ pengurus dan pengawas pada yayasan sesuatu
yang utama, disamping The conflict rule, The Profit rule dan The misappropriation rule, sebagai bentuk untuk menghindari adanya
konflik pada yayasan.
Batasan-batasan
tersebut sebagai rule yang harus
dimengerti, yang dapat diperuntukan juga pada pembina yayasan, gunanya untuk
meminimalkan adanya konflik pada yayasan.
Adanya prinsip Fiduciary ini sangat penting untuk
diaplikasikan pada setiap organ yayasan
selalu menekankan pada prinsip
itikad baik sebagaimana yang dimaksud pada ketentuan Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 42 pada UU
Yayasan.
Pasal 35 ayat 2 , bahwa :
“Setiap Pengurus menjalankan tugas
dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan yayasan”
Pasal 42, bahwa :
“pengawas wajib dengan itikad baik
dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan yayasan”
3. Pola
Kerja Sama Organisasi Yayasan
Organisasi dalam
sebuah perusahaan merupakan komponen yang sangat menunjang untuk tercapainya
visi dan misi suatu perusahaan dalam menghadapi dan mengantisipasi berbagai
persaingan, baik ditingkat lokal maupun global. Organisasi dalam suatu
perusahaan mempunyai batasan yang relatif dapat diidentifikasi. Batasan ini
dapat berubah dalam kurun waktu tertentu. Namun sebuah batasan harus diberikan
secara nyata agar dapat membedakannya. Perkembangan organisaisi dalam sebuah
perusahaan memberikan batasan bagi individu-individu dalam organisasi tersebut
untuk senantiasa dikembangkan agar sebuah organisasi mempunyai sesuatu
keterikatan yang terus menerus. Rasa keterikatan ini berkaitan dengan
partisipasi para anggota untuk mencapai sesuatu. Sesuatu itu adalah tujuan, dan
tujuan itu biasanya tidak akan tercapai oleh individu-individu yang bekerja
sendiri, sesuatunya berdasarkan misi dari organisasi tersebut.
Melihat dari keberadaannya
yayasan
sebagai badan hukum tidak lepas dari kemitraan antara satu badan hukum dan
badan hukum lainnya maupun kepada badan usaha. Kemitraan sebagaimana adanya
merupakan salah satu bentuk kegiatan bisnis dan non bisnis yang dapat didirikan
baik dengan modal, keahlian, kemampuan atau keinginan motivasi bersama yang
bermitra sebagai bentuk pola kegiatan interaksi satu dengan yang lainnya.
Bentuk kemitraan tersebut berkembang bagi negara-negara Common Law maupun Civil Law.
Bagaimaa
dengan koperasi sebagai badan hukum. Koperasi
memiliki organ berupa rapat
anggota, pengurus
dan pengawas
yang memiliki tugas dan tanggung jawab berbeda antara satu dan lainnya. Jika membadingkan organ yang lain pada yayasan. Pada
yayasan memliki organ tertinggi dengan sebutan pembina yang tugas dan tanggung jawabnya tidak dapat
diserahkan pada pengurus
atau pengawas
yayasan, berupa :
a.
Keputusan
mengenai Perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
b.
Pengangkatan
dan pemberhentian anggota pengurus
dan anggota pengawas;
c.
Penetapan
kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan;
d.
Pengesahan
program kerja dan rancangan anggaran tahunan yayasan, dan
e.
Penetapan
keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran yayasan.
Pengurus pada yayasan
adalah organ
yang melaksanakan kepengurusan yayasan.
pengurus
adalah orang yang cakap dimata hukum untuk melakukan kepengurusan yayasan. Namun untuk
hal-hal tertentu pengurus
tidak berwenang mewakili yayasan,
apabila :
a.
Terjadi
perkara di depan pengadilan antara yayasan
dengan anggota pengurus
yang bersangkutan;
b.
Anggota
pengurus
yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan yayasan.
Weber seorang ahli
sosiologi kebangsaan Jerman, mengatakan, makin formal suatu organisasi
sehubungan dengan dispesifikasi tugas-tugas pekerjaan, titik koordinasi, teknik
pengawasan dan rencana-rencana, makin efisien organisasi tersebut dalam hal
mencapai tujuan. Karena itu,
ada 6 (enam) hal yang menjadi karakteristik organisasi besar, berupa [40]:
1.
Aktifitas-aktifitas spesifikasi dan
tugas-tugas dispesifikasi, bersama-sama dengan alat-alat untuk melaksanakannya.
2.
Sebuah
rantai komando (hierarki otoritas)
dibentuk guna melancarkan arus informasi dan arus keputusan di dalam organisasi
yang berangkutan, guna melaksanakan kewajiban-kewajiban.
3.
Kepemilikan
kekayaan private sang manajer harus
dipisahkan dengan kekayaan organisasi. Hal ini dititik beratkan pada
badan-badan pemerintah, yaitu seorang pejabat tidak boleh memiliki kepentingan
apapun pada perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan unit pemerintah
tersebut.
4.
Manajemen
merupakan hal yang khusus dibandingkan dengan tipe-tipe aktifitas lain. Pelatihan
manajerial serta keterampilan adalah esensial untuk meraih keberhasilan.
5.
Manajemen
merupakan sebuah kegiatan penuh waktu yang menuntut tanggung jawab untuk mencapai tujuan-tujuan bagi organisasi.
6.
Para
manajer mengikuti peraturan–peraturan spesifik, yang diterapkan secara seragam
dan tanpa emosi, guna mengatur setiap
kasus secara fair.
Jika ditelaah lebih
dalam dengan tingkat analisis terhadap organisasi, maka terdapat beberapa
karakteristik organisasi berdasarkan tingkatannya, yaitu :[41]
Komunitas dan
lingkungan :
a.
Organisasi
secara keseluruhan.
b.
Bagian
dari organisasi.
c.
Kumpulan
individu (kelompok atau group)
Sedangkan menurut
dimensi karakteristik organisasi dapat dijelaskan berupa :
1)
Dimensi
struktural,
menggambarkan tingkat penggunaan dokumen tertulis dalam organisasi, yang
menggambarkan perilaku serta kegiatan organisasi, yang dapat meliputi
a)
Formalisasi,
menunjuk tingkat penggunaan dokumen tertulis dalam organisasi yang
menggambarkan perilaku serta kegiatan organisasi.
b)
Spesialisasi,
menunjukan derajat pembagian pekerjaan dalam organisasi.
c)
Standarlisasi,
menggambarkan derajat kesamaan dalam pelaksanaan kerja.
d)
Sentralisasi,
menunjuk pembagian kekuasaan menurut tingkatan (hiraki) dalam organisasi antara lain ditunjukkan dengan jenis dan
jumlah keputusan yang boleh ditetapkan pada setiap tingkatan.
e)
Hirarki
kekuasaan (oritas), menggambarkan
pola pembagian kekuasaan serta rentang kendali secara umum.
f)
Kompleksitas,
menunjuk banyak kegiatan (sub sitem) dalam organisasi, dan terdiri dari :
1)
Kompleksitas
Vertikal, menunjukkan jumlah tingkatan yang ada dalam organisasi.
2)
Kompleksitas
Horizontal, menunjuk pembagian secara horizontal yaitu menjadi bagian-bagian yang
secara vertikal berada pada tingkatan yang sama.
g)
Profesionalisme,
menunjukkan tingkat pendidikan formal atau tingkat formal rata-rata yang
dimiliki oleh anggota organisasi.
h)
Konfigurasi,
menunjukan bentuk pembagian anggota organisasi ke dalam bagian-bagian, baik
secara vertikal maupun horizontal.
2)
Dimensi
Kontekstual, menggambarkan karakteristik keseluruhan suatu organisasi yang
mencakup lingkungan berupa :
a)
Ukuran
organisasi, menunjukan jumlah anggota (personil) organisasi.
b)
Teknologi
organisasi, menunjukan jenis dan tingkat teknologi dari sistem produksi suatu
organisasi.
c)
Lingkungan,
menggambarkan keadaan semua elemen lingkungan yang terdapat di luar batas-batas
organisasi, terutama elemen-elemen lingkungan yang berpengaruh terhadap
organisasi.
Oleh karena itu, konsep budaya
perusahaan atau lembaga dapat dilihat berdasarkan kepada beberapa elemen dasar,
nilai, norma dan artifak yang diintegrasikan bersama oleh anggota sesuatu
organisasi. Berdasarkan pendapat Cumming
dan Worley sebagaimana dikutip oleh
Erni R. Ernawan, [42] bahwa budaya korporat itu
adalah
‘….is the pattern of basic assumption
volues, norm and artifacts sharred by organization members. It represents the
taken for granted and shared assumption that people make about how work is to
be done and evaluated an how employees
relate to one another and to significant others, such as suppliers customers,
and government agencies”
Makanya, konsep budaya
korporat sebenarnya adalah dimanifestasikan melalui bagaimana sesuatu kerja
dalam sebuah organisasi itu dilaksanakan dan dinilai. Disamping itu juga
melibatkan jalinan hubungan para pekerja diperingkat ke dalam (internal) dan juga diperingkat di luaran
(eksternal) pada sebuah organisasi.
Oleh karena itu,
konsep budaya korporat adalah juga
dilihat melalui bentuk hubungan sesama pekerja dalam sebuah organisasi serta
hubungan dengan pihak lain yang berkaitan seperti klien, pelanggan, atau agensi
kerja lainnya.
4. Pembentukan
Yayasan
Jika apa yang disebut
dengan adanya esensi dari budaya organisasi. Maka sebuah organisasi tidak dapat
terlepas dengan apa yang dinamakan dengan perilaku organisasi. Untuk itu
sebelum sampai pada pemahaman perilaku organisasi, harus mengerti dulu
dengan adanya keinginan manusaia untuk berkelompok untuk membentuk
suatu wadah, sebagai tempat berkumpul, bercengrama dari bagian hidup manusia
yang berkeinginan untuk bermasyarakat. Bermasyarakat tersebut senantiasa ditandai adanya keinginan keterlibatan pada
sebuah organisasi tertentu, dengan istilah “masyarakat
kita adalah masyarakat yang berorganisasi”. Masyarakat hidup dan dilahirkan
dalam
organisasi, dididik oleh organisasi, dan hampir semua manusia mempergunakan
waktunya bekerja untuk organisasi. Dari ungkapan ini jelaslah bahwa manusia dan
organisasi sudah menyatu terhadap dua komponen pendukung yang dinamakan dengan
perilaku organisaisi (organizational
behavior).
Perilaku organisasi
adalah suatu studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah laku manusia suatu
organisasi atau suatu kelompok tertentu. Ia meliputi aspek yang ditimbulkan
dari pengaruh organisasi terhadap manusia demikian pula aspek yang ditimbulkan
dari pengaruh manusia terhadap organisasi. Tujuan praktis dari penelaan studi
ini adalah untuk mendeterminasi bagaimanakah perilaku manusia itu mempengaruhi
usaha pencapaian tujuan-tujuan organisasi.[43]
Perilaku
organsiasi ini pada dasarnya juga bagian dari perilaku kelompok, yang dimulai
dari adanya kesamaan, dan kesenangan bersama, yang menimbulkan kedekatan satu
sama lainnya, yang melahirkan kehidupan berkelompok dalam organisasi. Teori
pembentukan kelompok itu sendiri yang dipelopori oleh George Homans, [44] bahwa pembentukan
kelompok itu sendiri dimulai adanya aktivitas-aktivitas, interaksi-interaksi,
dan sentimen-sentimen (perasaan atau
emosi). Ketiga hal yang saling berhubungan :
1.
Semakin
banyak aktivitas-aktivitas seseorang dilakukan dengan orang lain (shared), semakin beraneka
interaksi-interaksinya, dan juga semakin kuat tumbuhnya sentimen-sentimen
mereka.
2.
Semakin
banyak interaksi-interkasi di antara orang-orang maka semakin banyak
kemungkinan aktivitas-aktivitas dan sentimen yang ditularkan (shared) pada orang lain.
3.
Semakin
banyak aktivitas dan sentimen yang ditularkan pada orang lain, dan semakin
banyak sentimen seseorang dipahami oleh orang lain, maka semakin banyak kemungkinan
ditularkannya aktivitas dan interaksi-interaksi.
Banyak teori lain lain
yang berusaha untuk menjelaskan tentang pembentukan kelompok. Pada umumnya
teori-teori tersebut saling melengkapi, karena teori yang satu melengkapai
teori yang lain.
Salah satu teori
pembentukan kelompok yang agak
menyeluruh (comprehensive) ialah
teori keseimbangan (a balance theory of
group formation) yang dikembangkan oleh Theodore
Newcomb, sebagaimana yang dikuti oleh Miftah Thoha[45]. Teori ini menyatakan
bahwa seseorang tertarik kepada orang lain yang didasarkan atas kesamaan sikap
di dalam menanggai suatu tujuan yang relevan satu sama lain. Teori keseimbangan
ini dimulai dari interaksi antara individu A akan berinteraksi dan membentuk
suatu hubungan (kelompok) dengan individu B, lantaran adanya sikap dan nilai
yang sama dalam rangka mencapai tujuan X. Hubungan tersebut terbentuk dengan
didasari nilai atau keinginan untuk mencapai dan menjaga hubungan dan memberi
keseimbangan yang simetris diantara sikap-sikap yang menarik dan bersama. Jika ketidak seimbangan terjadi
ada suatu usaha untuk memperbaiki keseimbangan tersebut. Jika keseimbangan
tidak bisa diperbaiki, maka hubungan tersebut akan pecah.
Teori lain yang
sekarang ini sedang mendapatkan
perhatian dari pembentukan kelompok adalah teori yang didasarkan pada
alasan-alasan praktis (practicalities of
groupformation). Teori ini dilandasi pada keinginan anggota pada suatu
organisasi pada pembentukan kelompok disebabkan karena alasan-alasan
ekonomi, keamanan, atau alasan-alasan sosial. Maka pembentukan kelompok berdasarkan
alasan-alasan praktis, yaitu adanya kecendrungan memberikan kepuasan terhadap
kebutuhan-kebutuhan
sosial yang mendasar dari orang-orang yang mengelompok tersebut. Para pekerja
dalam hal ini pada umumnya mempunyai keinginan yang kuat untuk berafiliasi
dengan pihak lain. Keinginan ini dapat diketemukan dalam suatu kelompok. Suatu
penelitian yang dilakukan oleh Hawthorne,
membuktikan bahwa motif afiliasi ini mempunyai pengaruh yang besar
terhadap perilaku manusia dalam organisasi.[46]
Dari pemahaman
beberapa teori pembentukan kelompok seperti yang diuraikan di atas, oleh Reits, dijadikan beberapa unsur yang
menonjol, antara lain :
1.
Adanya
dua orang atau lebih.
2.
Berinteraksi
satu sama lainnya.
3.
Yang
saling membagi beberapa tujuan.
4.
Melihat
dirinya suatu kelompok.
Kajian-kajian tentang
organisasi tidak hanya pada perkumpulan orang-orang, aktivitas-aktivitas mereka
dan tujuan yang akan dicapai, tapi juga semua aspek yang mempengaruhi
eksistensi, perkembangan dan efektivitas organisasi tersebut, antara lain
adanya rincian dan susunan tugas barang dan mesin, teknologi, informasi dan
sumber-sumber lain yang digunakan serta
saling berpengaruh dan keterpaduannya dalam suatu sistem.Organisasi adalah
entitas sosial yang secara sadar dikoordinasikan dengan batasan-batasan yang relatif dapat diidentifikasikan dengan
terus menerus bekerja sama untuk mencapai tujuan-tujuan umum.
Robbins dan Jugje,[47] juga mengemukakan bahwa
organisasi adalah kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan
sebuah batasan yang relatif dapat diindetifikasi, yang bekerja atas dasar yang
relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau seklompok
tujuan. Adanya perkataan “dikoordinasikan”dengan sadar pada dasarnya mengandung
pengertian
manajeman. Kesatuan sosial itu diartikan bahwa unit terdiri dari orang-orang
atau kelompok yang berinteraksi satu sama lain. Pola interaksi yang dikuti
orang di dalam sebuah organisasi tidak begitu saja timbul, melainkan telah
dipikirkan terlebih dahulu. Oleh karena itu organisasi sosial merupakan
kesatuan sosial, maka pola interaksi para anggotanya harus diseimbangkan dan
diselaraskan untuk meminimalkan kelebihan (redundancy),
namun juga memastikan bahwa tugas-tugas yang dikritis telah diselasikan.
Organisasi
itu sendiri dapat dikelompokkan menjadi organisasi formal dan organisasi
informal. Adanya pembagian tersebut tergantung pada tingkat atau derajat. Tidak
mungkin kita menjumpai organisasi formal sempurna atau organisasi informal
sempurna. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Herbert
G. Hicks dikutip oleh J. Winardi[48], menyebutkan bahwa
organisasi formal memiliki suatu struktur yang terumuskan dengan baik, juga
adanya struktur yang menerangkan hubungan-hubungan otoritas, kekuasaan,
akuntabilitas dan tanggung jawab. Pada organisasi formal; menunjukan
tugas-tugas terspesifikasi bagi masing-masing anggota, disamping adanya
organisai formal yang bertahan lama dan terencana, mengingat ditekankannya
suatu keteraturan. Contoh dari organisasi formal itu adalah
perusahaan-perusahaan, badan-badan hukum dan
badan-badan pemerintah.
5. Yayasan
di Indonesia
Terbentuknya yayasan di Indonesia
sebagai organisasi yang berbadan hukum dilihat dari konteks yang dirumuskan di
atas, maka yayasan
sebagai badan hukum adalah corak pengorganisasi kegiatan bersama dalam
masyarakat Indonesia.
Dapat dikatakan agak berbeda dari pengalaman sejarah di negara-negara barat,
terutama di Eropa. Dalam ilmu sosial sebenarnya, berorganisasi itu adalah watak
alamiah manusia yang bermasyarakat. Jika Aristoteles[49]berkata bahwa dimana ada masyarakat di sana ada
hukum, kemudian diperjelas lagi oleh Cicerio, maka dalam ilmu sosial sudah sejak lama
menjadi adagium bahwa dimana orang
berkumpul disana pasti ada organisasi.
Masyarakat Indonesia
yang beraneka ragam dari Sabang sampai Merauke, pada tahun 1945 telah
mengadakan kesepakatan bersama untuk menandatangani yang dinamakan dengan nama Piagam Jakarta, pada tanggal 22 Juni 1945. Naskah Piagam Jakarta inilah
kemudian diadopsi, dengan mengurangkan 7 kata, menjadi Prembule atau Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada
tanggal 18 Agustus sehari setelah
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Artinya,
organisasi negara dan pemerintahan justru dibentuk dan dibangun oleh masyarakat
madani Indonesia dengan kesadaran bahwa instrumen organisasi negara dan
pemerintahan menjamin kemerdekaan bagi seluruh warga negara. Sebagaimana
dirumuskan dalam Alinea ke IV Pembukaan UUD 1945, Pemerintahan negara Indonesia
diperlukan oleh warga masyarakat madani Indonesia berupa untuk memberikan
perlindungan bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteran umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Selama ini tidak ada suatu definisi yang pasti mengenai badan
hukum. Penelaan mengenai badan hukum lebih mengarah pada pendapat beberapa
pakar dalam memberikan definisi badan hukum.
Badan
hukum adalah badan yang diumpamakan sama dengan manusia sebagai subjek hukum
menyandang hak dan kewajiban. Untuk itu definisi yang disampaikan Soebekti bisa
menjadi patokan dan pemaham bahwa yang dimaksud badan hukum itu adalah suatu
badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan
seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau
menggugat di depan hakim[50].
Pendapat Soebekti tersebut memiliki
persamaan sebagaimana yang dikatakan oleh Rochmad
Soemitro yang menyebutkan bahwa badan hukum ialah suatu badan yang dapat
mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi[51].
Maka dapat ditarik beberapa unsur yaitu adanya harta kekayaan yang terpisah
dari kekayaan subyek hukum yang lain, mempunyai tujuan ideal tertentu yang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, mempunyai kepentingan
sendiri dalam lalu lintas hukum yang ada, dan memiliki organisaisi kepengurusan
yang bersifat teratur menurut peraturan perundangan yang berlaku. Dari
ketentuan yang ada dibedakan adanya badan hukum publik dan badan hukum privat.
Badan hukum publik sebagaimana yang dikenal merupakan badan
hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau yang menyangkut kepentingan
publik atau orang banyak atau negara pada umumnya. Badan hukum publik merupakan
badan-badan negara dan memiliki kekuasaan wilayah atau merupakan lembaga yang
dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-perundangan yang dijalankan
secara fungsional oleh eksekutif atau pemerintah atau badan pengurus yang
diberikan tugas untuk itu. Sedangkan badan hukum privat adalah badan hukum yang
didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan
pribadi orang di dalam badan hukum itu. Badan hukum semacam ini merupakan badan
swasta yang didirikan oleh pribadi orang tersebut untuk tujuan tertentu yaitu
mencari keuntungan, dan tidak mencari keuntungan dengan tujuan sosial,
kemasyarakatan, keagamaan, disamping bergerak pada bidang-bidang pendidikan,
ilmu pengetahuan, politik, kebudayaan, kesenian, olahraga dan lain-lain.
Badan hukum privat ada yang berorientasi pada keuntungan
seperti Perseroan Terbatas (PT), maupun Koperasi, dan ada yang menekankan pada
prinsip idiil
dimana keuntungan bukan sesuatu yang utama atau bersifat non profit, yaitu Yayasan dan Perkumpulan. Semua badan
hukum privat telah diatur pada ketentuan hukum yang mengatur mengenai yayasan. Sedangkan pda perkumpulan diatur pada Staatsblad
1870 No. 64 (Stb. 1870-64) dan KUHPerdata (KUHPer) Buku III Bab IX. Untuk
pendiriannya, didirikan oeh dua orang atau lebih dapat mendirikan suatu
perkumpulan.
Ketidakpastian
hukum mengenai yayasan sering
digunakan untuk menampung kekayaan para pendiri atau pihak lain. Bahkan yayasan
sering dijadikan tempat untuk memperkaya para pengelola yayasan. Sehingga,
yayasan tidak lagi bersifat nirlaba, sebab digunakan untuk usaha-usaha bisnis
dan komersial dengan segala aspeknya. Tidak
adanya kepastian hukum ini, maka semakin berkembang dan bertumbuhlah
yayasan-yayasan di Indonesia dengan cepat, namun pertumbuhan yayasan tidak
diimbangi dengan adanya peraturan perundang-undangan yayasan yang memadai, sehingga
masing-masing pihak yang berkepentingan menafsirkan sendiri peraturan-peraturan
yang ada sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka. Sejalan dengan hal tersebut, timbul pula berbagai
masalah, baik masalah yang berkaitan dengan kegiatan yayasan yang tidak
sesuai dengan maksud dan tujuan yang tercantum dalam Anggaran Dasar, sengketa
antara pengurus
dengan pendiri
atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa yayasan digunakan untuk menampung
kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain yang diperoleh dengan
cara melawan hukum.
BAB III
PRINSIP
TATA KELOLA YAYASAN
1. Pembentukan Korporasi Sebagai Badan Hukum
Istilah korporasi sejatinya menunjukan pada subyek hukum
buatan yang diciptakan oleh Negara untuk menjalankan kegiatan suatu perusahaan[52]. Dengan demikian yang menjadi perhatian utama
dalam korporasi adalah aspek subyek hukum dan menjalankan perusahaan. Korporasi
sebagai subyek hukum tidak dapat diindera (invisible)
dan tidak berwujud (intangible) yang
bersifat terpisah dari para pemiliknya. Korporasi dalam menjalankan
aktivitasnya dapat bertindak membuat perjanjian (kontrak), membeli atau
menjual, sama diartikan memiliki aktivitas yang diakui keberadaanya semi
sebagai manusia makluk yang beryawa, segala aktivitas korporasi ini bermuara
dengan pertanggung jawaban yang dijalankan pihak-pihak yang mewakili untuk dan
atas nama korporasi sebagai subyek penyandang hak dan kewajiban.
Berdasarkan ketentuan yang ada secara teoritis, korporasi
memiliki cakupan yang sangat luas berdasarkan jenis dan bidang usaha yang
dijalankan. Melihat jenis dan bidang usaha korporasi, maka korporasi dapat
dipilah [53]:
1.
Dilihat dari pemiliknya, korporasi dapat dibedakan
menjadi :
a.
Korporasi Milik Negara (State Corporation)
b.
Korporasi Milik Swasta (Private Corporation)
c.
Korporasi Campuran, dimana modalnya berasal dari unsur
negara dan swasta.
d.
Dilihat dari orientasi usahanya, korporasi dapat
dibedakan menjadi :
-
Korporasi yang berorientasi pada keuntungan (profit oriented)
-
Korporasi yang tidak berorientasi pada keuntungan (non
profit oriented)
2.
Dilihat dari kepemilikan, korporasi dapat dibedakan
menjadi :
a.
Korporasi terbuka
b.
Korporasi tertutup
3.
Berdasarkan jaringan usaha yang dikembangkan, korporasi
dapat dibedakan menjadi :
a.
Korporasi nasional (local)
b.
Korporasi Multinasional (transnasional)
Menurut
Utrecht [54]yang
dimaksud dengan korporasi ialah suatu gabungan orang dalam pergaulan hukum
bertindak bersama-sama sebagai suatu subyek hukum sendiri. Korporasi adalah
badan hukum yang beranggotakan tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang
terpisah dari hak dan kewajiban anggotanya masing-masing. Sedangkan yang
dimaksud yayasan ialah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan
dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.[55]
Dari penjelasan yang ada yang membedakan antara korporasi dan yayasan, dilihat
dari kedudukannya yang sama-sama berbadan hukum penyandang hak dan
kewajiban. Korporasi berbasis anggota
sedangkan yayasan bukan berbasis anggota.
Menjawab semua itu pembentukan korporasi
selelu menekankan pada asas-asas perjanjian, kepribadian, tanggung jawab
sosial, kesimbangan, gotong royong, fiduciary duty, fiduciary
skilland care, dan asas publisitas.[56]
Adapun yang menjadi penjelasan pada asas-asas itu berupa :
a.
Asas-asas
Hukum Perjanjian.
Asas-asas
hukum perjanjian yang disebutkan di atas yang meliputi antara lain : asas
konsensualisme, asas
kebebasasn berkontrak, asas kepastian hukum (facta sunt servanda), asas
itikad baik, asas keseimbangan, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas moral
menjadi prinsip yang mendasar dalam pembentukan sustu badan korporasi mengingat pembentukannya dilakukan oleh dua orang
atau lebih. Saat penyusunan
anggaran dasar tersebut pembatasan-pembatasan yang telah ditentukan oleh
undang-undang, termasuk oleh kepatutan dan
kebiasaan hatus dijadikan pegangan dalam menyusunan syarat dan
isi perjanjian yang diwujudkan dalam anggaran dasar. Kecuali dalam hal badan usaha mikro yang selama ini
berbentuk Usaha Dagang (UD) atau Perusahaan Dagang (PD) yang dibentuk oleh satu
orang saja, maka tanggung jawab melekat pada setiap aktifitas baik untung maupun rugi tanpa melibatkan
pihak lain, sehingga terhadap bentuk kegiatan berlaku
asas-asas dalam hukum keluarga dan hukum perkawinan.
b. Asas
Kepribadian.
Perlu diperhatikan bahwa korporasi yang berbadan hukum adalah subjek hukum, artinya semua
tindakan yang disesuai
dan diamanahkan melekat pada tanaggung jawab badan hukum. Hal ini berbeda pada
saat tanggung jawab yang diberikan tersebut keluar pada sisi koridor anggaran
dasar ataupun peraturan yang mengatur, maka menjadi tanggung jawan secara
pribadi untuk keseluruhannya. Asas
kepribadian menunjukkan adanya keterkaitan langsung antara harta yang dimiliki
serta tanggung jawab penuh para sekutu dalam persekutuan perdata, Firma dan
Persekutuan Komanditer. Asas
kepribadian dapat dipakai dalam bentuk tanggung renteng bagi pengurus.
c. Asas
Tanggung Jawab Sosial & Lingkungan Corporate Social Responsibility.
Sebagaimana
yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sebagai badan hukum tidak dapat
terlepas dari keharusan guna menerapkan asas CSR. Hal ini merupakan amanah pada UU Perseroan
Terbatas. UU Perseroan Terbatas menyebutkan setiap perseroan yang melakukan
usaha di bidang dan atau terkait dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dianggarkan dan diperhitungkan
sebagai biaya perseroan yang memperhatikan kepatutan dan kewajaran dalam
pelaksanaannya. Hal ini
penting demi terjalinnya hubungan pelaku usaha (perusahaan) yang serasi,
seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat.
d. Asas
Keseimbangan.
Asas
keseimbangan memberikan hak dan kedudukan yang sama bagi para pihak di depan
hukum. Dalam asas hukum yang berlaku umum (generale principle of law),
sesuai dengan asasinya, maka dituntut adanya persamaan hak dan kedudukan
orang-perorang di depan hukum (equality before the law). Salah satu
unsur keseimbangan dapat dilihat dari Pasal 1320 ayat (1) jo. Pasal 1321
BW yang menjamin
unsur kesepakatan yang bebas dari kehilafan, paksaan dan penipuan dengan
ancaman kebatalan. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1323 s.d Pasal 1326 BW, mengingat adanya tanggung jawab
yang seimbang secara renteng serta tanggung jawab yang terbagi sesuai dengan
tenaga, dan uang yang dilepaskan dalam persekutuan. Pancasila, pada Sila ke-2,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, perlindungan hak-hak perorangan diatur
secara tegas bersama dengan itu pula dalam Sila ke-5 diatur tentang asas-asas
keadilan, untuk memberikan kedudukan yang seimbang bagi masyarakat tanpa
membedakan suku, agama, ras dan antar golongan.
e. Asas Gotong Royong dan Asas Kekeluargaan
Asas gotong
royong dan asas kekeluargaan diambil dari butir-butir Sila ke-3 Pancasila
:”Persatuan Indonesia”, makna yang terkandung tersebut merupakan cikal bakal
pembentukan kerjasama yang dijabarkan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang di
dalamnya mengandung asas kekeluargaan, dalam melaksanakan usaha bersama, baik
dalam bentuk koperasi guna mendapatkan manfaat bersama seperti usaha.
f. Asas Fiduciary Duty.
Asas ini
dikenal dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
yang memberikan kedudukan dan tanggung jawab seimbang Direksi perseroan sebagai
pengurus dan pengelola perusahaan. Asas ini diambil dari hukum adat. Dimana
Direksi selaku kepala keluarga bertanggung jawab sepenuhnya atas kelangsungan
hidup keluarga sebagai bapak rumah yang baik. Ini juga berlaku kepada pengurus
badan usaha badan hukum.
g. Asas Fiduciary Skill & Care.
Sebagai bentuk
dari tanggung jawab hukum pengurus dan pengelola perusahaan kepada pihak
ketiga, dituntut juga keahlian dan kepedulian serta kehati-hatian sekutu, pengurus
dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan kepada pihak ketiga sekaligus kontrol terhadap perilaku menyimpang
yang merugikan yang dilakukan oleh pengurus dan/atau sekutu dalam persekutuan.
h. Asas Publisitas.
Sejalan dengan
tuntutan yang diatur oleh Undang-undang Wajib Daftar Perusahaan, dalam rangka
tertib administrasi, maka setiap pendirian badan hukum wajibkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris. Pendaftaran dilakukan di tempat
domisili badan usaha bukan badan hukum, dimaksudkan agar Pemerintah mudah
melakukan pembinaan dan pengawasan. Di samping itu, asas publisitas dapat juga
memberikan akses publik untuk mengetahui keberadaan badan usaha tersebut. Asas
publisitas hendaknya disinergikan dengan asas domisili yang ada.
Apa yang
terbaca pada asas-asas tersebut, jika dihubungkan dengan pendirian yayasan,
hanya dibedakan pada ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Yayasan. Yayasan didirikan
oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan
pendiriannya sebagai kekayaan awal. Yayasan pada pendiriannya bisa dilakukan
oleh satu orang atau lebih. Sangat dimungkinkan pendirian yayasan hanya satu
orang maka proses pendiriannya tidak dapat dikategorikan sebagai bagian pada
perjanjian.
2.
Yayasan Lembaga Berbadan Hukum
Salah satu ciri penting suatu organisai berbadan hukum adalah adanya
naskah yang disebut konstitusi.
Pengertian tentang hal ini dalam kebiasaan di Indonesia sejak dahulu sampai
sekarang disebut sebagai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Ketentuan anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga sesuatu yang wajib dan utama dalam konteks organisasi yang selalu ada
yang berbadan hukum, tidak hanya terbatas organisasi yang berbadan hukum privat
dan non privat. Dalam bahasa Inggris, anggaran dasar itu sebut “constitution”, sedangkan pada anggaran rumah tangga dapat disebut dengan istilah “By-Law”. Anggaran rumah tangga selalu berisi penjabaran lebih teknis dari materi ketentuan
konstitusi, terutama yang berkenaan dengan mekanisme kerja internal organisasi.
Istilah yang dipakai
adalah anggaran rumah tangga,
yaitu terkait dengan urusan-urusan rumah tangga. Namun pada dasarnya anggaran rumah tangga diatur secara internal dari masing-masing
organisasi yang berbadan hukum yang tidak bertentangan dengan AD yang ada.
Pada ketentuan Pasal 9
ayat 2 menyebutkan bahwa pendirian yayasan
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan dengan akta Notaris dan dibuat dalam
bahasa Indonesia. Ketentuan pembuatan akta pendirian yayasan dengan
menggunakan akta Notaris sesuatu hal yang diwajibkan oleh UU. Karena akta
pendirian pada yayasan
didalam memuat anggaran
dasar
yayasan
adalah suatu rangkaian untuk menempatkan yayasan
sebagai badan hukum.
Pendirian Yayasan
dengan akta Notaris merupakan syarat wajib karena diperintahkan oleh UU
Yayasan. Fungsi akta notaris dalam pendirian yayasan merupakan syarat mutlak
untuk adanya yayasan.
Tanpa adanya akta yayasan
yang dibuat dihadapan Notaris, maka pendirian
yayasan tersebut dianggap tidak pernah ada. Dengan
kata lain, akta akan menjadi bukti yang
sempurna telah didirikannya yayasan.[57]
Karena itu, Habib Adjie mengatakan
keberadaan akta pendirian yayasan
yang dibuat oleh Notaris, di dalamnya memuat anggaran dasar merupakan aturan
main untuk organ-organ dengan segala kewenangan, tugas, dan tanggung jawab,
serta pengaturan hubungan antar organ yayasan satu dengan
lainnya. Selain itu akta tersebut juga mengatur secara eksternal yang mengatur yayasan dalam hubungan
dengan pihak lain khususnya pihak diluar yayasan.
Akta yayasan
yang dibuat oleh Notaris adalah bersifat mandatori, sedangkan pendirian yayasan itu bersifat
imperatif. Karena itu sifat akta pendirian Yayasan sebagai badan hukum berupa
akta Notaris yang mandatori dan akta
Notaris yang voluteari. Akta Notaris mandatori yaitu suatu perintah yang
mewajibkan agar tindakan hukum yang
bersangkutan wajib dituangkan dalam bentuk akta Notaris.
Definis Yayasan
tersebut menjadi jelas pilihan pendirian yayasan
dengan maksud dan tujuan bidang sosial,
keagamaan
dan kemanusiaan,
untuk memberi ciri yang berbeda dengan badan hukum profit lainnya seperti perseroan terbatas maupun koperasi. Maksud dan
tujuan pada pendirian yayasan di bidang sosial,
keagamaan
dan kemanusiaan
dalam penjabarannya
sebagaimana yang ada menempatkan yayasan
yang dirikan benar-benar diarahkan untuk kepentingan sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang menekankan adanya
hubungan kemanusiaan antar sesama manusia sebagai makluk sosial.
Ditempatkannya yayasan sebagai lembaga
nirlaba yang berkarakter sosial, keagamaan dan kemanusiaan, maka kedudukan yayasan bukanlah sebuah
perusahaan sebagaiamana yang dikenal.
Perusahaan sebagai entitas lembaga mencari keuntungan memang berbeda dengan yayasan. Sedangkan pendirian perusahaan pada perseroan terbatas biasanya
dilalui dengan adanya perjanjian, sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 yang
menyebutkan bahwa Perseroan Terbatas adalah suatu badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal yang seluruhnya terbagi dalam saham-saham dan memenuhi persyaratan
yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta
peraturan pelaksanaan. Pendirian perseroan
terbatas
yang dilalui oleh adanya perjanjian pendirian oleh para pendiri merupakan suatu
yang utama karena adanya kesepakatan para pihak yang berkeinginan untuk
mendirikan perseroan
terbatas.
Pasal 15 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) disebutkan bahwa jelas segala jenis perseroan
yang ada dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang dikuasai oleh adanya persetujuan atau perjanjian pihak-pihak yang
bersangkutan. Isi pasal ini mengharuskan perseroan-perseroan yang diatur dalam
KUHD seperti perseroan
komanditer,
firma
dan perseroan
terbatas, lahir dari adanya persetujuan atau
perjanjian diantara para pihak yang bersangkutan.[58]
Rudi Prasetyo[59], mengatakan di Belanda
pada mulanya menganut pandangan bahwa setiap perbuatan pendirian badan hukum
merupakan suatu perbuatan perjanjian, yang perlu dilakukan oleh dua orang atau
lebih. Namun pandangan tersebut sudah ditinggalkan karena tidak relevan lagi. Maka di Belanda sudah mulai menerapkan bahwa
setiap perbuatan pendirian badan hukum tidak harus dipandang sebagai
perjanjian, tetapi didasarkan pada ketentuan institusional (institutionele opvatting). Karena itu, pendirian badan hukum
tidak perlu dilakukan oleh dua orang atau lebih, tetapi cukup dilakukan oleh satu orang. Apa yang dirumuskan
dalam ketentuan Pasal 9 ayat 1 UU Yayasan, bahwa setiap pendirian Yayasan dapat
dilakukan oleh satu orang saja.
Hal yang lain untuk menjawab pertanyaan
tersebut mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat 2 UU Yayasan, pendirian yayasan dapat pula
dilakukan berdasarkan adanya “Surat
Wasiat”. Jadi dimungkinkan seseorang semasa hidupnya sudah bertekat atau
berkeinginan untuk memisahkan sebagian
harta kekayaannya untuk dijadikan harta kekayaan suatu yayasan yang akan
didirikannya. Tetapi pemisahan harta kekayaan itu dan pendirian yayasan itu tidak
dikehendaki terjadi semasa hidupnya. Pendirian yayasan itu baru bisa terlaksana
pada saat yang bersangkutan pemberi wasiat itu meninggal dunia. Sedangkan pihak yang bertindak saat pemberi
wasiat meninggal dunia adalah si penerima wasita bertindak untuk mewakili pemberi wasiat.
Kalangan praktisi sering membedakan antara yurisprudensi
tetap dan yurisprudensi belum tetap. Memang sampai saat ini belum ada
kesepakatan definisi tentang apa yang dimaksud dengan yurisprudensi tetap
maupun yurisprudensi belum tetap. Namun beberapa pendapat dan pendirian Hakim
Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, menyebutkan bahwa yurisprudensi
tetap adalah putusan-putusan hakim tingkat pertama, dan putusan hakim tingkat
banding yang telah berkekuatan hukum tetap, atau putusan Mahkamah Agung sendiri
yang telah berkekuatan tetap, atas perkara atau kasus yang belum jelas aturan
hukumnya yang memiliki muatan keadilan dan kebenaran objektif yang telah
diikuti berulang kali oleh hakim berikutnya dalam memutus perkara yang sama.
Karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa putusan hakim dapat disebut
yurisprudensi apabila putusan itu memiliki unsur-unsur sebagai berikut [60]:
a.
Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas
pengaturan perundang-undangannya.
b.
Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
c.
Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara
yang sama.
d.
Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan, dan
e.
Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung
Beberapa unsur tersebut menjadi ladasan pijakan bagaimana
suatu putusan memiliki nilai menjadi yurisprudensi. Ambil contoh Putusan
Mahkamah Agung Nomor 63 K/Pdt/1987 “Dalam hak Tergugat membayar harga barang
yang dibelinya dengan Giro Bilyet yang ternyata kosong, maka dapat diartikan
bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi dan mempunyai utang atau pinjaman
kepada Penggugat sebesar harga barang tersebut dan tentang ganti rugi karena
pembeli terlambat membayar, maka ganti rugi tesrebut adalah ganti rugi atas
dasar bunga yang tidak diperjanjikan, yaitu 6 % setahun“
Sedangkan yurisprudensi tidak tetap adalah putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap namun belum melalui uji eksaminasi dan notasi tim
Mahkamah Agung dan belum ada rekomendasi untuk menjadi yurisprudensi tetap. Walaupun kedudukan
hukum yurisprudensi tidak mengikat bagi hakim,
namun dalam praktek peradilan ternyata memori bading, memori kasasi,
bahkan memori Peninjauan Kembali (PK), serta kontranya selalu mencantumkan
kaidah hukum yurisprudensi sebagai salah satu argumentasi pertimbangan yang
dianggap penting.
Pasal 22 A.B, terkandung pengertian bahwa “Hakim yang menolak untuk menyelesaikan
suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk
dihukum karena menolak mengadili.”Hakim
mempunyai kewenangan untuk menciptakan hukum (judge Made Law), terutama terhadap kasus-kasus yang sama sekali
belum ada hukumnya, tetapi telah masuk di pengadilan. Dalam menciptkan hukum
atas kasus-kasus perkara yang belum ada aturan hukum tersebut, hakim wajib
menggali nilai-nilai hukum yang hidup dan dipelihara baik ditengah-tengah
masyarakat. Nilai-nilai hukum yang hidup itu antara lain : nilai-nilai ajaran
agama, nilai-nilai adat istiadat yang masih terpelihara baik, keadaan sosial
dan lainnya.
Montesquieu mengajarkan, badan
peradilan (judiciary) sebagai salah
satu unsur trias politica, menjalankan kekuasaan atau berfungsi mengawasi
pelaksanaan hukum. Dalam perkembangannya, bukan lagi mengawasi pelaksanaan
hukum yang dikedapankan, melainkan sebagai penegak hukum atau mempertahankan
hukum (law enforcement, handhaving van het recht) terhadap pelanggaran hukum
(wederrechtelijk) atau perbuatan
melawan hukum (onrechmatigedaad). Fungsi
peradilan tidak hanya mengawasi pelasanaan
hukum dan menegakan hukum, melainkan sebagai pencipta hukum atau pembentuk
hukum (law creator. Rechtschepper).
Ada berbagai faktor pendorong perkembangan itu
sendiri yaitu ajaran hakim sebagai pembentuk
hukum atau dikenal dengan sebutan ‘hukum yang dibuat oleh hakim (judge made law), ajaran ini dikenal pada
sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System. Pembentukan dan
sumber utama kaidah hukum dalam sistem Common
Law adalah putusan hakim. Sedangkan ajaran yang lain yaitu peraturan
perundang-undangan adalah sumber kedua setelah hukum dibentuk oleh hakim.
Karena itu peran hakim sebagai pencipta hukum sangat
dominan pada kedudukan yang diemban dalam menjalankan kekuasaan peradilan
sebagai hukum yang dibuat hakim (judge
made law) atau hakim sebagai pembentuk hukum itu sendiri.
Putusan-putusan hakim yang berisi suatu
pertimbangan-pertimbangan hukum berdasarkan ketentuan Pasal 22 A.B, kemudian
menjadi dasar putusan hakim lain untuk mengadili perkara yang memiliki
unsur-unsur sama, selanjutnya putusan hakim tersebut menjadi sumber hukum di pengadilan yang menjadi
hukum yurispruednsi. Pengembangan hukum yurisprudensi bertujuan untuk
menghindari kesimpangsiuran putusan-putusan hakim dalam menilai dan memutus
pada perkara yang sama.
Putusan hakim tersebut, kemudian dibaca dan dimengerti
oleh praktisi hukum lain, berproses menjadi putusan yang dinilai realisitis, rasional, adil dan sesuai
dengan rasa hukum yang hidup dalam masyarakat, maka putusan
hakim tersebut akan menjelma menjadi
yurisprudensi tetap. Boleh jadi hukum yurisprudensi tersebut bertentangan
dengan norma hukum tertulis yang jelas maknanya, tetapi disimpangi oleh hakim dengan
pertimbangan social justice, dan moral justice.
Kata yurisprudensi beradal dari “iuris prudential” (Latin), “jurisprusentie” (Belanda), “jurisprudence” (Prancis) yang berarti
“ilmu hukum” (Black’s Law Dictionary,
edisi II, 1979). Pada sistem common law, yurisprudensi diterjemahkan
sebagai “suatu ilmu pengetahuan hukum positif dalam hubungan dengan hukum lain”. Sedangkan dalam sistem
hukum statuta law, diterjemahkan
“putusan-putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti
oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang
sama. Putusan-putusan hakim yang lebih
tinggi tingkatnya dan diikuti secara tetap sehingga menjadi bagian dari
ilmu pengetahuan, maka disebut hukum kasus “case
law”. Berdasarkan definisi tersebut, putusan hakim ditingkat pertama maupun
putusan hakim ditingkat banding sebagai pengadilan judex factie yang telah berkekuatan hukum tetap, putusan mana
ternyata diikuti oleh hakim-hakim kemudian dalam memutus perkara yang sama,
maka putusan hakim yang diikuti tersebut menjelma menjadi hukum yurisprudensi
sebagai kaidah hukum baru dalam mengisi
kekosangan hukum.[61]
Untuk memahami apa yang
dimaksud dengan badan hukum, kiranya perlu dibicarakan dulu megenai
subjek hukum karena badan hukum merupakan salah satu dari subjek hukum. Subyek hukum adalah
sesuatu yang dapat dibebani hak dan kewajiban.
Pernyataan pada Pasal
1 angka 1 UUY, menegaskan bahwa Yayasan adalah badan hukum. Badan
hukum Yayasan
terjadi karena undang-undang. Karena UU menyatakan dengan tegas. Sampai saat ini tidak
ada batasan apa yang dimaksud dengan
badan hukum tersebut.Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli
mengenai badan hukum menurut
Ali Rido :[62]
a.
Teori Fictie dari van Savigny
berpendapat, bahwa badan hukum itu semata-amata buatan negara saja. Sebetulnya,
menurut hukum alam hanya manusia sajalah sebagai subjek hukum, dan badan hukum
itu hanya suatu fictie saja, yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang
menciptakan dalam bayangannya suatu pelaku hukum (badan hukum) yang sebagai
subjek hukum diperhitungkan sama denga manusia,
b.
Teori
harta kekayaan dari Brinz. Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat
menjadi subjek hukum. Namun tidak dapat dibantah adanya hak-hak atas suatu
kekayaan, sedangkan tiada manusia pun yang menjadi pendukung hak-hak. Apa yang
dinamakan hak-hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak yang tidak
ada yang mempunyai dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang
terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan kepunyaan suatu tujuan.
c.
Teori organ dari Otto van Gierke,
menerangkan badan hukum itu adalah suatu realitas sesungguhnya sama seperti
sifat kepribadian alam manusia ada di dalam pergaulan hukum. Tidak hanya suatu
pribadi yang sesungguhnya, tetapi badan hukum itu juga mempunyai kehendak atau
kemauan sendiri yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapannya (pengurus,
pembida pengawas jiak itu pada Yayasan dan Direktur, Komisaris, jika itu pada
Perseroan Terbatas). Apa yang mereka putuskan
adalah kehendak atau kemauan dari badan hukum. Teori ini menggambarkan
badan hukum sebagai suatu yang tidak berbeda dengan manusia.
d.
Teori Propriete
cellective
dari Palniol, menurut teori ini, hak dan kewajiban badan hukum itu pada
hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Disamping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan
itu merupakan harta kekayaan bersama. Anggota-anggota tidak hanya dapat
memiliki masing-masing untuk bagian yang tidak dapat dibagi, tetapi juga
sebagai pemilik bersama-sama untuk keseluruhan. Dapat dikatakan bahwa
orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk
suatu pribadi yang dinamakan badan
hukum. Maka badan hukum adalah suatu kontraksi yuridis.
Teori-teori
mengenai badan hukum tersebut mencoba untuk menerangkan suatu gejala hukum,
yaitu adanya suatu organisasi yang mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana
subjek hukum orang. Di satu pihak, hanya oranglah yang dapat menyatakan
kehendaknya, tetapi di lain pihak dibutuhkan suatu bentuk kerja sama yang
mempunyai hak dan kewajiban seperti
dimiliki oleh orang.Dengan demikian,
dari berbagai teori badan hukum tersebut dibagi menjadi dua kelompok teori
yaitu :[63]
a.
Pertama, mereka yag
menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud yang nyata, dianggap mempunyai
“panca indera” sendiri seperti manusia, akibatnya badan hukum itu disamakan
dengan manusia.
b.
Kedua, mereka yang
menganggap badan hukum itu tidak sebagai wujud yang nyata. Bahwa dibelakang
badan hukum itu sebenarnya berdiri manusia. Akibatnya, apabila badan hukum itu
membuat kesalahan maka kesalahan itu adalah kesalahan manusia yang berdiri
dibelakang badan hukum itu secara bersama-sama.
Menurut doktrin atau
ajaran umum (de heersende leer)
pengertian tentang badan hukum haruslah memenuhi unsur-unsur :[64]
a.
Mempunyai
harta kekayaan yang terpisah.
b.
Mempunyai
tujuan tertentu
c.
Mempunyai
kepentingan sendiri.
d.
Mempunyai
organisasi teratur
Secara teoritik, baik
dinegara common law maupun civil law dikenal beberapa ajaran atau
doktrin yang menjadi landasan teoritik keberadaan badan hukum. Ada beberapa
konsep tentang personalitas badan hukum (legal
personality).
a. Legal
Personality as Legal Person
Menurut
konsep ini badan hukum adalah ciptaan atau rakayasa manusia, badan merupakan
hasil atau fiksi manusia. Kapasitas
hukum badan ini didasarkan pada hukum positif. Oleh karena personalitas badan
hukum ini didasarkan pada hukum positif, maka negara mengakui dan menjamin
personalitas hukum badan tersebut. Badan hukum yang memiliki hak dan kewajiban
tersebut diperlakukan sama dengan manusia “real
Person”
b. Corporate
Realism
Menurut
konsep ini personalitas hukum suatu badan hukum berasal dari suatu kenyataan
dan tidak diciptakan oleh proses inkorporasi, yakni pendirian badan hukum yang
didasarkan pada peraturan perundang-udangan. Suatu badan hukum tidak memiliki
personalitas sendiri yang diakui negara. Personalitas hukum ini tidak
didasarkan pada fiksi, tetapi didasarkan pada kenyataan alamiah layaknya manusia.
Di
dalam pendekatan yang demikian, ada kesulitan untuk menjelaskan mangapa
beberapa badan hukum seperti persekutuan perdata dan perkumpulan yang tidak berbadan hukum (unincorporates assosiation) yang juga ada realitas, di sejumlah negara
tidak diakui sebagai badan hukum.
c. Theory
of Zweckvermogen
Menurut
konsep ini suatu badan hukum terdiri atas sejumlah kekayaan yang digunakanan
untuk tujuan tertentu. Teori ini dapat ditelusuri ke dalam sistem yang menentukan seperti hukum
yang ada di Jerman, bahwa institusi badan hukum publik (Anstalten) dan endowment dalam hukum
perdata (Stftungen) adalah badan
hukum yang ditentukan oleh individual anggotanya.
d. Aggregation
Theory
Teori
aggregasi ini disebut juga sebagai teori symbolist atau teori bracker dan dalam
versi moderen dikenal sebagai corporate
nomonalism, secara teoritik berhubungan dengan teori fiksi. Pandangan
individualistik yang berhubungan
dengan teori fiksi. Pandangan individualistik ini menyatakan bahwa makluk (human being) dapat menjadi subjek atau
penyandang hak dan kewajiban timbul atau
lahir dari hubungan hukum dan oleh karenanya benar-benar menjadi badan hukum.
Menurut konsep personalitas korporasi, badan hukum ini adalah semata-mata suatu
nama bersama (collective name) suatu
simbol bagi para anggota korporasi.
e. Modern
Views on Legal Personality
Hukum
nasional moderen dewasa ini menggabungkan antara realist and fictionist theory dalam pengatur hubungan bisnis
domestik dan internasional, di satu sisi mengakui realitas sosial yang ada di
belakang personalitas hukum, dan sisi lain memperlakukan badan hukum dalam
sejumlah aspek sebagai suatui fiksi.
Menurut
Blacks Law Distionary, sebagaimana dikutip oleh Suyud Maargono, [65]Yayasan adalah :
“Permanent fund
established and maintained by contribution for charitable, educational,
religious, research or other benevolent purposes. In institution or association
given to rendering financial aid tocollagers, school, hospital, and charities
and generally supported by gifts for such purposes. The founding or building of
a college or hospital. The incorporation or endowment of a college or hospital
is the foundation; and he who endows it with land or other property is the
founder”
Diartikan
pula bahwa Yayasan adalah istitusi legal non-profit yang didirikan untuk tujuan
karitatif (charitable purposes)
“A Foundation (also a
charitable faoundation) is a legal categorization of nonprofit organization
that will typically either donate funds and support to other organizations, or
provide the source of funding for its own charitable purposes”
Beberapa
pakar hukum juga memberikan definisi tentang yayasan diantaranya menurut Utrecht,
yang dimaksud dengan yayasan ialah segala tiap-tiap kekayaan yang tidak
merupakan kekayaan orang atau kekayaan badan yang diberikan tujuan tertentu.
Sedangkan Yayasan menurut F. Emerson Andrews[66], yang dimaksud pada
Yayasan adalah “A non governmental non
profit organization having a principal fund of its’s own, managed by it’s
trunders or director and established to maintain or aid social, educationnal,
charitable, religius or other activities serving the common welfare.
Dari
beberapa pengertian yang ada terlihat bahwa yayasan
adanya batasan yang jelas dan diharapkan masyarakat dapat memahami bentuk dan
tujuan pendirian yayasan,
sehingga dengan demikian meluruskan persepsi tentang yayasan dan tujuan
didirikannya yayasan
yang pada tujuan pokoknya bergerak pada bidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan sehingga pendirian yayasan
tidak digunakan untuk mencari keuntungan.
Beberapa
upaya dilakukan untuk memberikan definisi tujuan sosial dan kemanusiaan pada yayasan, hal ini
seringkali dikaitkan dengan pengertian charity
yang diartikan pada Kamus The
Contemporary English Indonesia Dictionary , kegiatan derma dan kegiatan
amal dan disatu sisi diartikan juga Yayasan atau organisasi untuk membantu bagi
orang-orang miskin.
Sedangkan
pada pengertian Private Foundation pada
Blacks Law Dictionary[67] “ A charitable organization that is funded by
single source, derivers its income from investments rather than contributions,
and makes rants to other charitable organizations”.
Namun
ada pertanyaan yang sangat mendasar sebagaimana yang disampaikan Rudhi Prasetyo[68], sampai seberapa jauh intensitas
tujuan sosial tersebut menjadi nilai utama pada pendirian yayasan ? Hal ini
pernah menjadi polemik di Belanda saat akan menyusun Wet opStichtingen. Pada saat ini pada pembentukannya ada yang
sangat keras bahwa stichting harus
murni nirlaba. Disamping yayasan
dimungkinkan mendirikan badan usaha untuk menunjang pelaksanaan maksud dan
tujuan yayasan. Yayasan dapat juga
melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif
dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25 % (dua puluh lima
persen) dari seluruh nilai kekayaan pada yayasan.
Penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif yang dimaksud pada UUY dengan menempatkan yayasan selaku peserta
pada bentuk usaha profit selaku pemegang saham pada perseroan terbatas yang tidak
melebihi dari ketentuan yang ditetapkan oleh anggaran dasar yayasan, dimana yayasan mengambil
saham dari perseroan terbatas, maka
keuntungan atau deviden merupakan hak dari pemegang saham untuk dapat mengintensitaskan tujuan dari yayasan bidang sosial,
keagamaan dan kemanusian dapat tercapai.
3. Prinsip Dasar Good Corporate Governance
Prinsip
tata kelola badan hukum selalu dimulai dari istilah yang memang sudah cukup
lama dikenal dengan menggunakan istilah moderen dengan sebutan Good Corporate Governance. Prinsip
tata kelola ini mengedepankan prinsip-prinsip
transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan keadilan.
Penerapan Good Corporate Governance, mendorong dari dua
sisi yang sebagai landasan utama berupa
etika dan peraturan. Dorongan etika (ethical
driven) datang dari kesadaran para pelaku bisnis untuk menjalankan praktik
bisnis yang mengutamakan kelangsungan hidup perusahaan, adanya kepentingan stakeholders, dan
menghindari cara-cara menciptakan keuntungan sesaat. Sedangkan doroangan dari
peraturan (regulatory driven) adalah
bersifat memaksa perusahaan untuk patuh terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sebab itu, penerapan etika secara berkesinambungan akan dapat mendukung terciptanya budaya governance. Etika pada Good Corporate Governance menjadi satu kesatuan
yang tidak terpisahkan sebagai sebuah mata rantai. Dalam arti, pada penerapan Good Corporate Governance merupakan perangkat
kerasnya sedangkan etika menjadi perangkat lunak yang dapat menggerakan
organisasi. Namun hal ini selalu
memiliki kelemahan dan kekuatan. Namun
masing-masing kelemahan dan kekuatan tersebut seyogyanya dapat saling
melengkapi untuk menciptakan lingkungan yang seimbang dalam menjalankan roda
kegiatan para pelaku bisnis dalam sebuah organisasi yang berbadan hukum privat
baik yang berorientasi pada keuntungan maupun yang tidak.
Membicarakan persoalan Good Corporate Governance tidak dapat dilepaskan pada persoalan yang menjadikan
corporate governance sebagai isu penting dikalangan para eksekuitf bisnis,
akademis, konsultan korporasi, dan regulator
(pemerintah) diberbagai dunia saat ini. Isu-isu yang berkaitan dengan coporate governance seperi tranparansi, akuntabilitas, idependensi,
responsibilitas, kesetaraan, etika bisnis, tanggung jawab sosial perusahaan
(CSR) dan perlindungan investor menjadi ungkapan-ungkapan yang lazim
diperbincangkan dikalangan para pelaku bisnis.[69]
Perkembangan konsep corporate
covernance sesungguhnya telah dimulai sebelum isu corporate governance
menjadi kosa kata yang paling hangat di kalangan eksekutif bisnis. Bersama
dengan dikembangkannya sistem korporasi di Inggris dan di Amerika Serikat
sekitar satu setengah abad lalu (1840-an), isu corporate governance telah muncul ke permukaan, meskipun baru
berupa saran dan anekdot. Saat berbagai definisi yang disampaikan, misalnya Cadbury Commitee sebagaimana dikutip oleh Muhammad Shidqon Prabowo,
[70]mendefinisikan
corporate governance sebagai
A set of rule that define the ralationship between shareholder, manager,
creditors, the governance, employees and other internal and external
stakeholders in respect to their rights and responsibilities.
Sedangkan The Organization for Economic Corporation and
Development (OECD) mendefinisikan
corporate governance berupa :
Coporate governance is the sistem by which
busines corporation are directed and control. The corporate governance
structure specifies the distribution of right and responsibilities among
different participant in the corporation, such as the board, the managers,
shareholders and other stakeholder, and spells out the rule and procedure for
making decision on corporate affairs. By doing this, it also provides the
structure through which the company objectives are set, and the means of
attaining those objectives and monitoring performance.
Menurut The
Organization for Economic Corporation and Development, menyebutkan bahwa corporate governance adalah sistem yang
dipergunakan untuk mengarahkan dan mengendalikan kegiatan pada perusahaan, yang
mengatur berbagau tugas, hak dan kewajiban terhadap kehidupan perusahaan,
termasuk diperuntukan bagi para pemegang saham, direksi, dewan komisaris, dan
maupun pihak-pihak yang terlibat pada perusahaan.[71]
Prinsip Good
Corporate Governance di Indonesia, menjadi primadona saat mulai diwajibkan
kepada seluruh sistem perbankan menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip
kehati-hatian juga bagian salah satu
prinsip yang termuat pada Good Corporate Governance. Sebab industri perbankan
yang berkembang sangat pesat disertai makin kompleksitasnya kegiatan usaha
perbankan mengakibatkan peningkatan resiko pada bank. Oleh karena itu juga, pelaksanaan Good Corporate Governance pada industri
perbankan harus senantiasa berlandaskan
pada lima prinsip utama. Pertama, prinsip transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam
mengemukakan informasi kepada para pihak khusus kepada para nasabah perbankan
yang menyimpan dananya pada perbankan yang ada, serta keterbukaan dalam
melaksanakan proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi
dan pelaksanaan pertanggung jawaban organ bank sehingga pengelolaan dapat
berjalan secara efektif. Ketiga, pertanggung jawaban (responsibility) yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang
sehat. Keempat, indepedensi (independency),
yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh atau adanya tekanan
dari pihak manapun. Kelima, kewajaran (fairness),
yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian dan peraturan perundaang-undangan yang berlaku. Kelima
prinsip dasar tersebut, bank wajib berpedoman pada berbagai ketentuan-ketentuan
serta pedoman yang berkaitan dengan dengan pelaksanaan Good Coporate Governance.[72]
Dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas
pelaksanaan Good Corporate Governance, bank diwajibkan secara berkala
melakukan self assessement terhadap kecekupan pelaksanaan Good Corporate Governance dengan menyusun laporan pelaksana
kegiatan, sehingga apabila masih terdapat kekurangan-kekurangan, maka dapat
segera dilakukan tindakan-tindakan korektif yang diperlukan. Ini termuat pada
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank-Bank
Umum.
4.
Penerapan
Prinsip Good Corporate Governance Pada Yayasan
Undang-Undang Yayasan sebagaimana yang ada merupakan
aturan dasar bagi yayasan di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan dari proses
pendirian yayasan, perubahan anggaran dasar yayasan, pengumuman, kekayaan,
organ yayasan dengna tugas dan tanggung jawabnya, laporan tahunan, pemeriksaan
terhadap yayasan, proses penggabungan yayasan, permbubaran yayasan,
terbentuknya yayasan asing dan ketentuan-ketentuan pidana.
Yayasan merupakan salah satu organsisai yang berbadan
hukum. Sebagai badan hukum yayasan sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan
kewajiban, maka menjadi
keharusan yang selalu ditekankan jika sebuah organisasi berbadan hukum tetap
eksis dengan memandang pada nilai-nilai universal sebagaimana yang terkandung
pada Good Corporate Governance . Nilai-nilai tersebut
menjadi suatu landasan yang selalu dijaga jika suatu badan atau organisasi yang
berbadan hukum dalam hal ini yayasan
dapat juga menerapan prinsip-prinsip yang terkandung pada Good Corporate
Governance dilihat
besarnya konflik ditubuh yayasan
yang ada saat ini.
Prinsip
Good Corporate Governance itu
bukanlah istilah baru, melainkan konsep lama yang kembali dipopularkan, akibat adanya perkembangan
sosial dari kemajuan pada praktik bisnis yang berkembang saat ini. Ini bisa terlihat pada penerapan Good Corporate Governance, sudah muncul sekitar tahun 1970-an. Dimulai saat munculnya scandal keuangan yang
melibatkan perusahaan besar pada saat itu seperti
Enron, Wordcom, Tyco, London and Commonweald, Poly Peck, Maxwel, dan perusahaan besar lainnya.[73] Kasus kecurangan ini
melibatkan manajemen puncak yang berlangsung cukup lama karena lemahnya corporate boards, yang diartikan juga sebagai
peran lembaga pengawasan pada suatu badan hukum profit.
Kasus-kasus
yang ada tersebut mencerminkan tidak jalannya pelaksanaan prinsip-prinsip Good Corporate Governance. Pada prinisp Good Corporate Governance dalam penerapannya dapat dilakukan dengan
menggunakan dua pendekatan utama, yaitu etika dan peraturan peraturan.
Pendekatan etika (ethical driven)
merupakan kesadaran individu-individu pelaku bisnis untuk menjalankan praktik
bisnis yang mengutamakan kelangsungan hidup perusahaan, kepentingan stakeholder, dan menghindari cara-cara
menciptakan keuntungan sesaat. Sedangkan pendekatan peraturan (regulatory
driven) justru memaksa perusahaan untuk patuh terhadap peraturan-peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kedua pendekatan ini memiliki kekuatan dan
kelemahan dan saling ditutupi.
Jika sebelumnya dasar diterapkannya Good Corporate Governance ini dimulai
dari adanya adanya Keputusan Menteri Negara /Kepala Badan Penanaman Modal dan
Pembinaan Badan Usaha Milik Negara Nomor : KEP-23/M-PM.PBUMN/2000, tertanggal
31 mei 2000 tentang Pengembangan Praktek Good
Corporate Governance dalam Perusahaan Perseroan (Persero), kemudian diubah
dengan adanya Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor :
KEP-117/M-MBU/2002, tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), diberlakukan pada tanggal 31 Juli 2002. Dari keputusan tersebut
adanya penekanan penerapan Good Corporate
Governance dimulai dari prinsip
transparansi, kemandirian dan akuntabilitas dan lainnya.
Prinsip tata kelola yayasan
yang baik sebagaimana yang termuat pada prinsip Good Corporate Governance,
dapat dijalankan oleh yayasan sepanjang prinsip tersebut memuat ketentuan aturan
yang mengatur. Jika dilihat dari UU Yayasan yang ada dan dihubungkan pada
prinsip Good Corporate Governance. Ada lima aspek yang harus dijalankan yayasan
berupa :[74]
a.
Transparancy, dapat
diartikan sebagai keterbukaan infomasi baik dalam proses pengambilan keputusan
maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai
yayasan.Prinsip ini sangat penting bagi para pendiri yayasan yang telah
memisahkan sebagian harta pribadinya untuk kepentingan yayasan. Tidak hanya
penting bagi pendiri yayasan, juga penting bagi organ yayasan yang menekankan
pada keterbukaan informasi dengan mewujutkan pengembangan sistem akuntansi yang
berbasis standar akuntansi dan best practices yang menjamin adanya laporan
keuangan yayasan secara menyeluruh di saat yayasan mengelola pengembangan aset
yang berasal dari sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, aset yayasan
berasal dari benda wakaf, aset yayasan yang berasal dari hibah atau pemberian
cuma-cuma untuk kepentingan maksud dan tujuan yayasan, aset yayasan yang berasal
dari hibah wasiat dan aset yayasan yang diperoleh yang tidak bertentangan
dengan anggaran dasar yayasan.
b.
Accountability, adalah
kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggung-jawaban organ yayasan
sehingga pengelolaan yayasan dapat berjalan secara efektif. Prinsip ini
menegaskan bagiaman pertanggung-jawaban manajemen yayasan untuk disampaikan kepada pembina yayasan atau
kepada pihak ketiga. Prinsip ini diwujudkan dalam bentuk penyiapan laporan
keuangan pda waktu yang tepat dan dengan cara yang cepat, adanya pengembangan
komite audit baik secara internal dan eksternal, dengan menerapkan manajemen
resiko dalam rangka mendukung fungsi pengawasan oleh pengawas yayasan sebagai
organ secara internal dan adanya lembaga pengawas secara eksternal yang dibentuk
oleh pemerintah dari yang membedakan yayasan dengan badan hukum lainnya.
Penegakan hukum salah satu bagain menjalankan prinsip akuntabilitas.
c.
Responsibility, adalah
pertanggung-jawaban yayasan. Prinsip ini menekankan dalam menjalankan yayasan
dengan maksud dan tujuan di bidang sosial, keagaman dan kemanusiaan, harus
selau mengacu pada UU Yayasan, anggaran yayasan yang termuat pada akta
pendirian yayasan. Yayasan harus juga memiliki rasa tanggung jawab sosial baik
kepada masyarakat atau lingkungan, dengan menjunjung tinggi etika.
d.
Independency, adalah
kemadirian yayasan. Kemandirian ini diartikan suatu keadaan yayasan yang
dikelola secara mendiri dan profesional tanpa harus meminta bantuan kepada
pemerintah. Kedudukan yayasan akan eksis dan tidaknya hanya didasari dari niat
baik para pendiri yayasan yang ada.
e.
Fairness (kesetaraan
) yaitu perlakukan yang adil dan setara dalam memenihi hak-hak yang ditetapkan.
Prinsip ini menekankan nilai-nilai kesetaraan baik kepada pembina yayasan,
pengurus yayasan dan pengawas yayasan. Prinsip ini menekankan bahwa semua pihak baik pendiri yayasan dan
para organ yayasan harus diperlakukan
sama dengan berdasarkan kedudukan yang dimiliki. Prinsip kesetaraan ini dapat
diwujudkan dengan membuat peraturan yayasan tidak hanya yang termuat pada
anggaran dasar yayasan atau UU Yayasan. Namun kesetaraan ini tidak boleh keluar
dari tugas dan tanggung jawab yang ada.
f.
Pembentukan
Lembaga Pengawas Sebagai Bagian Akuntabilitas Yayasan
Penerapan akuntabilitas (Accountability) pada yayasan membicarakan bagaimana yayasan sebagai
kelembagaan non profit dapat memepertanggung jawababkan secara transparan dan
wajar prinsip-prinsip pengelolaan yayasan secara benar, terukur dan sesuai
dengan maksud dan tujuan yayasan itu didirikan.[75]
Akuntabilitas merupakan persyaratan yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang
berkesinambungan. Akuntabilitas yang dimaksud adalah jaminan tersedianya mekanisme peran dan
tanggung jawab dari masing-masing organ dalam fungsi dan kedudukannya yang
benar-benar menjalankan sesuai sebagaimana yang diamanahkan oleh UU Yayasan,
anggaran dasar yayasan dan tata aturan yang benar. Semuanya berjalan seusia
dengan profesionalitas atas semua keputusan dan kebijakan yang diambil
sehubungan dengan kegiatan yayasan bergerak pada bidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan.
Penerapan akuntabilitas itu supaya dapat berjalan
sebagaimana mestinya, maka sudah sepantasnya pemerintah memikirkan terbentuknya
lembaga pengawas sebagaimana yang ada di Inggris dengan nama Board of Charity Commissioners. Lembaga
ini memilikii peran pengawasan kepada lembaga-lembaga yayasan. Lembaga pengawas
ini dapat memberikan nasehat dan melaksanakan investigasi terhadap
penyalahgunaan fungsi yayasan sebagai badan hukum terhadap adanya laporan dari
pihak ketiga.. Fungsi lembaga ini sebagai bagian penempatan sistem tata kelola
yang baik pada yayasan dalam proses pengawasan secara eksternal.
UU Yayasan sendiri tidak menempatkan lembaga pengawas
dalam arti mengawasi keberadaan yayasan sebagai badan hukum. Pasal 46 UU
Yayasan, yang menyebutkan keberadaan lembaga kejaksaan yang mewakili
kepentingan umum dalam arti tidak sesuainya pelaksanaan anggaran dasar yayasan
yang dijalankan. Namun lembaga kejaksanaan tidak memiliki kemampuan untuk
melakukan investigasi yang bersifat kelembahaan. Lembaga kejaksaan hanya
sebatas apabila didapati proses
pengangkatan, pemberhentian dan penggantian pengawas yang tidak sesuai dengan
anggaran dasar yayasan.
Namun proses pengawasan sebagaimana yang ada saat
diundangkannya UU Yayasan dalam kedudukannya peran-peran ogran pengawas tidak
dapat berjalan. Kedudukan organ pengawas pada UU Yayasan maupun pada anggaran
dasar yayasan hanya sebatas sebagai alat perlengkapan pada pendirian yayasan.
Pemberian wewenang yang tercantum pada UU Yayasan terhadap organ pengawas hanya
bersifat internal, karena sebagai tugas yang dilakukannya adalah memberikan
nasihat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan yayasan. Namun tidak dapat
dipungkiri organ pengawas pada yayasan bisa saja tidak sejalan dengan pembina
yang setiap saat pembina melakukan pemberhentian dengan alasan apa yang
dijalankan oleh pengawas tidak sesuai dengan anggaran dasar yayasan.
BAB IV
PRINSIP TATA KELOLA
BADAN USAHA YAYASAN
1. Tata
Kelola Badan Usaha Yayasan
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
yayasan didirikan oleh beberapa orang atau dapat juga oleh seorang saja, baik
yang berwarga negara Indonesia maupun pendirian yayasan yang dilakukan oleh
warga negara asing, dengan maksud untuk memisahkan harta pribadi seseorang atau
beberapa orang untuk mendirikan yayasan dengan maksud dan tujuan pendirian
dibidang sosial, kamanusiaan dan keagamaan.
Berdasarkan
pada ketentuan Pasal 9 ayat 1 UU Yayasan disebutkan, bahwa yayasan dapat didirikan
oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan harta kekayaan sebagai pendiri digunakan sebagai kekayaan
awal saat pendirian yayasan. Ketentuan ini menunjukkan bahwa pendirian yayasan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 9 ayat 1 disebutkan yayasan
didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan
pendirinya, sebagai kekayaan awal. Karena itu, pendirian yayasan tidak bisa
disamakan dengan badan hukum lainnya yang berkarakter, dari
adanya
kesepakatan dua orang atau lebih untuk mendirikan suatu badan hukum yang
dimaksud, bisa perseroan
terbatas,
koperasi,
maupun perkumpulan.
Oleh karena itu, pendirian suatu yayasan di dalam hukum
perdata disyaratkan pada dua aspek utama yaitu :
(a)
AspekMaterial,
yaitu aspek yang berhubungan pada pendirian yayasan dimulai dari adanya
pemisahan harta kekayaan pribadi untuk dimasukan ke dalam yayasan sebagai modal gerak pada
kegiatan yayasan.
Disamping itu juga,
pada aspek material berupa pendirian yayasan
harus memiliki tujuan pendirian yayasan.
Tujuan pendirian yayasan
itu bergerak pada bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Maksud dan tujuan
dari pendirian yayasan
sebagaimana tersebut sesuatu yang utama untuk membedakan badan hukum yayasan dengan badan
hukum lainnya. Yayasan suatu badan hukum non profit, maka maksud dan tujuannya
harus memiliki nilai sosial, nilai keagamaan dan nilai kemanusiaannya. Dimana
nilai-nilai tersebut dijabarkan pada gerak dan kegiatan pada yayasan. Begitu juga
pada pendirian yayasan
harus ada sistem organisasi yang
teratur, dimulai dari pemakaian nama yayasan
yang harus didaftarkan melalui kantor Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, dan penyusunan tanggung jawab masing-masing organ dari
pendiri, pembina, pengurus dan pengawas. Walaupun pada anggaran dasar yayasan fungsi
keberadaan pendiri hanya sebatas membawa proses pendirian yang dibuktikan pada
akta pendirian yayasan
dengan memisahkan harta pribadi untuk kepentingan yayasan. Kemudian
pendiri dapat memposisikan dirinya untuk dan kepentingan selaku pembina, pengurus atau pengawas. Namun menurut
ketentuan aturan yang berlaku kedudukan organ tersebut tidak dapat merangkap
dalam jabatan yang telah ada.
(b)
Aspek
Formal, yaitu aspek yang berhubungan dengan pendirian yayasan dibuktikan
dengan adanya akta pendirian yayasan
sebagai akta otentik yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini
Notaris. Pasal 9 ayat 2 menyebutkan setiap pendirian yayasan sebagaimana
dimaksud dilakukan dengan akta Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.
Ketentuan ini mencirikan keberadaan pendirian yayasan di Indonesia menurut
ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.[76]
2. Tanggung
Jawab OrganYayasan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa yayasan sebagai subjek hukum yang bukanlah mahluk hidup
seperti manusia, melainkan sebagai
badan hukum yang mandiri penyandang hak dan kewajiban. Yayasan kehilangan
daya berfikir dan kehendaknya, serta tidak mempunyai centraal bewustzijn, karenanya yayasan tidak dapat melakukan
perbuatan-perbuatan hukum sendiri. Berbeda dengan manusia yang dapat bertindak
sendiri, yayasan
sekalipun sebagai badan hukum merupakan objek hukum mandiri, tetapi pada
dasarnya adalah “orang ciptaan hukum” (artificial
person) yang hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantara manusia
selaku wakilnya. Walaupun yayasan
bertindak harus
melalui perantara orang (natuurlijke
personen), tetapi orang tersebut tidak bertindak untuk dan atas nama
dirinya sendiri,
melainkan untuk dan atas pertanggung jawaban yayasan. Orang-orang yang
bertindak untuk dan atas pertanggung jawaban yayasan disebut organ.
Ketergantungan yayasan
pada wakilnya untuk
melakukan perbuatan hukum menjadi sebab bahwa yayasan
mempunyai organ sebagai alat perlengkapannya.[77]
Jika merujuk pada teori organ yang
dikemukakan oleh Otto von Gierke,
terhadap bentuk usaha mandiri dengan
tanggung jawab terbatas (legal entity)
merupakan realitas hukum yang mempunyai kehendak dan kamauan sendiri yang
dijalankan oleh alat-alat perlengkapannya. Alat perleangkapan ini dapat
diidentikan pada seperti manusia yang mempunyai tangan, kaki, mata, telinga dan
seterusnya. Karena setiap gerakan organ itu tunduk pada kehendak otak manusia.
Maka sejalan dengan itu konsep manusia dan organ tersebut dapat dianalogikan
bahwa setiap gerakan atau aktivitas pengurus,
pembina
dan pengawas
pada yayasan
merupakan kehendak dari badan hukum yayasan
tersebut.Kehendak
badan hukum itu dapat dilihat pada tujuan berdirinya yayasan yang memang
berbeda dari badan hukum lainya yang berbasis profit.[78]
3.
Organ Yayasan
Patut disimak pendapat Rudhi Prasetya, sebagaimana yang disebukan bahwa yayasan tergolong sebagai
subyek
hukum yang diwujudkan pada badan hukum, maka sudah tentu sebagai subyek hukum yang berwujud
badan, maka tidak dapat mengurus dirinya sendiri. Sebagai subyek hukum badan, ia
tidak dapat menjalankan sendiri apa yang harus dilakukan oleh badan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan alat
perlengkapan (yang dinamakan sebagai organ) yang berwujud manusia alamiah untuk mengurus dan
bertindak mewakili badan yang ada. [79]
Sekalipun yayasan
sebagai badan hukum merupakan subjek hukum mandiri, pada dasarnya sebagai orang
ciptaan hukum (artificial person)
yang hanya dapat melakukan perbuatan dengan perantara manusia selaku wakil
(melalui Pengurus). Selanjutnya ketergantungan yayasan pada seorang wakil
(Pengurus) dalam melakukan perbuatan hukum menjadi sebab mengapa yayasan mempuyai organ? Tanpa organ tersebut yayasan tidak berfungsi
atau berjalan dalam mencapai maksud dan tujuan yayasan. Dengan demikian, antara yayasan dan organ yayasan terdapat
hubungan yang saling ketergantungan yang erat satu dengan yang lainnya. Di satu
sisi keberadaan yayasan
bergantung sepenuhnya keberadaan organ, disatu sisi tanpa adanya yayasan, maka organ yayasan tidak pernah
ada. Di samping itu juga,
yayasan
juga bergantung pada organ-organ lainnya tersebut untuk melakukan kegiatan melaksanakan
fungsi dan tujuannya. Sebagai sebuah badan hukum yayasan mempunyai suatu badan yang
membentuk kehendak dengan perantara alat-alat atau organ-organ badan tersebut.
Sebagai suatu organisasi dalam hukum, segala tindakan dari yayasan diwakili oleh organ
pengurus, apa yang diputus oleh organ tersebut adalah keputusan dari yayasan.[80]
3.1 Organ Pembina
Istilah yang digunakan dalam UU Yayasan untuk
lembaga tertinggi pada yayasan
adalah pembina.
Pembina adalah organ yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada
Pengurus atau Pengawas oleh UU Yayasan. Maka yang
dapat diangkat menjadi anggota pembina adalah
orang perseorangan yang merupakan pendiri yayasan
dan atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota pembina dinilai
mempunyai dedikasi
yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Untuk menghindari tumpang
tindih kewenangan dan benturan kepentingan, tugas dan tanggung jawab yang
mungkin dapat merugikan kepentingan yayasan
atau pihak lain, maka
anggota pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota pengurus, anggota
pengawas dan atau pelaksana harian yayasan.
3.2
Organ
Pengurus
Pengurus merupakan organ eksekutif dalam yayasan, karena
pengurus melakukan pengurusan baik di dalam dan diluar yayasan. Pengurus
menjalankan roda yayasan
untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan.
Bahkan ada yang berpendapat bahwa pengurus merupakan organ yang mutlak harus
dimiliki oleh yayasan. Untuk menjadi pengurus seseorang harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
a.
Orang
perorangan (Pasal 30 ayat (2));
b.
Mampu
melakukan perbuatan hukum (Pasal 30 ayat (2));
c.
Bukan
pembina
atau pengawas yayasan
tersebut (Pasal 30 ayat (3));
d.
Tidak
pernah dinyatakan bersalah dalam melakukan pengurusan yayasan yang
menyebabkan kerugian bagi yayasan,
masyarakat, dan Negara berdasarkan putusan pengadilan, dalam jangka waktu 5
tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Pasal 38 ayat (2));
dan
e.
Memenuhi
persyaratan lainya yang diatur didalam anggaran dasar(Pasal 32).
f.
Anggota
pengurus yayasan
yang didirikan oleh orang asing atau orang asing bersama orang Indonesia wajib
bertempat tinggal di Indonesia.
3.3
Organ
Pengawas
Ketentuan yang menyangkut organ pengawas pada yayasan terdapat pada
Pasal 40 UU Yayasan dengan jelas menyebutkan bahwa pengawas adalah organ yayasan yang bertugas
melakukan pengawasan serta memberikan nasihat kepada pengurus dalam
menjalankan kegiatan yayasan.
Karena itu,
setiap pendirian yayasan
harus menempatkan satu orang dengan karakter dan dedikasi yang tinggi dan
kemapuan sebagaimana yang disyaratkan untuk berperan sebagai pengawas yang akan
memberikan nasihat kepada Pengurus.
4. Badan
Usaha Milik Yayasan
Adanya
penegasan tentang status yayasan
sebagai suatu badan hukum tertuang dalam Pasal 1 angka 1 UU No.28 Tahun 2004, menyebutkan
bahwa yayasan
ialah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan
untuk mencapai tujuan di bidang sosial, keagamaan dan kemausiaan yang tidak
mempunyai anggota.
Yayasan
menurut penjelasan di atas mempunyai harta kekayaan.Harta kekayaan yayasan digunakan untuk
mencapai maksud dan tujuan dari yayasan. Oleh karena
itu,
berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat1 UU Yayasan menyebutkan bahwa suatu yayasan dapat melakukan
kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuan dari yayasan, dengan cara
mendirikan badan usaha dan atau ikut serta dalam suatu badan usaha.[81]
Ketentuan
Pasal 7 ayat 2 UU Yayasan yang memberikan batas tentang besarnya penyertaan
modal usaha yang bersifat prosfektif, dengan maksimal seluruh penyertaan
tersebut sebesar 25 % (dua puluh lima prosen) dari seluruh nilai kekayaan yayasan. Pembatasan tersebut dengan makud
agar kekayaan yayasan
jangan sampat digunakan melebihi batasan yang telah ditetapkan yang berakibat pada timbulnya
kerugian bagi yayasan.
Jika yayasan
sebagai pendiri perseroan terbatas, maka yayasan
turut andil sebagai pemegang saham pada perseroan terbatas tersebut. Keberadaan
yayasan
sebagai pemegang saham, diwakili oleh pengurus yayasan dengan terlebih dahulu
telah mendapatkan persetujuan dari pembina untuk mewakili yayasan pada Rapat
Umum Pemegang Saham pada perseroan terbatas. Keberadaan yayasan selaku pemegang
saham pada perseroan terbatas, tidak serta merta pengurus yang mewakili yayasan
pada Rapat Umum Pemegang Saham juga selaku organ pada perseroan terbatas.
Keberadaan yayasan hanyalah selaku pemegang saham saja pada perseroan terbatas
yang ada. Hal ini dikarenakan pada Pasal 7 ayat 3 UU Yayasan yang menyebutkan bahwa pembina, pengurus dan pengawas dari yayasan dilarang
merangkap sebagai anggota direksi atau pengurus dan anggota dewan komisaris atau pengawas dari
badan-badan usaha. Penyertaan harta kekayaan yayasan sebesar maksimal 25 % (dua puluh lima prosen)
pada perseron terbatas selaku pemegang saham yang haknya menerim deviden
(keuntungan) dari perseroan terbatas
yang ada. Begitu juga pada Pasal 3 ayat 2 menyebutkan
bahwa yayasan tidak boleh
membagikan hasil kegiatan usaha kepada pembina,
pengurus
dan pengawas.[82]
Pemberitaan
Tempo.com pada tanggal 17 Maret 2017 membuat berita ada enam yayasan milik
Soeharta yang bermasalah, salah satunya Yayasan Supersemar. Yayasan
ini oleh pemerintah diwajibkan
membayar dan mengembalikan uang kepada negara sebesar Rp. 4.3 T. (empat koma
tiga Triliyun rupiah).[83] Berdasarkan putusan
Mahkamah Agung dalam perkara Nomor :
2003 K/Pdt/2017. Mahkamah Agung dalam
penilaiannya bahwa Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum
dan diharuskan mengembalikan 75 (tujuh puluh lima) persen dana yang telah terkumpul sejak tahun 1974 dengan asuumsi 25 persen dana tersebut telah disalurkan ke
pihak-pihak penerima bantuan beasiswa Supersemar.
Adapun
ke enam Yayasan Soeharta tersebut adalah :[84]
b.
Yayasan
Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab)
Yayasan Dakab didirikan untuk
membantu keluarga besar Golkar. Semenjak tahun 1998 yayasan diubah tujuannya
untuk membantu mengentaskan kemiskinan di beberapa provinsi yang dianggap
rawan. Misalnya Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur. Awalnya Dakab
mencari modal melalui penempatan modal pada Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk
membantu modal kelompok keluarga miskin dengan bunga rendah. Berdasarkan hasil
persidangan sejak turunnya Soeharto, ternyata ditemukan adanya banyak
penyimpangan dalam menyalurkan dana yayasan. Dana yayasan sebesar Rp. 532,5
M (lima ratus tiga puluh dua koma lima
Miliyar rupiah) yang terhimpun dari sejumlah perusahaan atau badan usaha
sebanyak Rp. 17,9 M (tujuhbelas koma
Sembilan miliyar rupiah) dikucurkan ke Perseroan Terbatas Sempati Nusantara
Airlines milik Tommy Soeharto. Kucuran dana juga diterima oleh Perseroan
Terbatas Kiani Sakti, milik Bob Hasan, yang digunakan untuk membangun proyek
pulp.
c.
Yayasan Dharmais
Yayasan Dharmais
mewujudkan bantuannya untuk keperluan biaya makan dan perawatan kesehatan,
paket pakaian, peralatan, prasarana dan alat ketrampilan, modal kerja, beasiswa
anak asuh, kepada panti-panti asuhan. Bantuan untuk panti-panti asuhan itu
dikirimkan setiap tiga bulan. Dana yang
disediakan selama tahun 1999-2000 adalah sebesar Rp. 28.991.825.000 (dua
puluh delapan miliyar sembilan ratus sembilan puluh satu juta delapan ratus dua
puluh lima ribu rupiah) Aktivitas yayasan lainnya adalah membeli dan memiliki
saham-saham di perusahaan-perusahaan besar. Termasuk dana sebesar Rp. 11,2
M (sebelas koma dua miliyar rupiah)
dikucurkan ke Perseroan Terbatas Sempati Nusantara. Nusamba Grup, milik Bob
Hasan juga menerima kucuran dana sebesar Rp. 12,75 M (dua belas koma tujuh
puluh lima miliyar rupiah)
d.
Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila
Yayasan yang berkembang ketika
Sudharmono mejadi Kepala Sekretariat dilibatkan dalam pengelolaan proyek-proyek
bantuan presiden (banpres). Cara mendapatkan dananya yayasan ini mewajibkan
pelaksana proyek banpres meyumbang bagi yayasan. Selain itu dana yayasan
diperoleh dari masyarakat, termasuk pegawai negeri sipil dan tentara. Anggota
Korps Pegawai Negeri Indonesia golongan I bersedekah Rp 50 (lima puluh rupiah),
golongan II Rp 100 (seratus rupiah), golongan III Rp 500 (lima ratus rupiah),
dan golongan IV Rp 1.000 (seribu rupiah).
e.
Yayasan Supersemar
Didirikan Soeharto pada 1974 untuk
memberikan beasiswa bagi pelajar/mahasiswa yang tak mampu. Namun penyaluran
dana dari yayasan ini banyak mengalir ke perusahaan milik Bob Hasan, Nusamba
Grup sebesar Rp. 12,7 M (dua belas koma tujuh Miliyar rupiah). Selain itu, Rp. 10 M (sepuluh miliyar rupiah)
dipakai untuk membeli saham Gedung Kosgoro. Bahkan saat Bank Duta mengalami
kerugian, yayasan ini meyumbang dana sebesar US$ 419.6 (empat ratus sembilan
belas koma enam juta dollar amerika).
f.
Yayasan Dhamandiri
Soeharto sebagai ketua yayasan
pernah menerbitkan Keppres Nomor 90/1995. Isinya mengimbau para wajib pajak,
baik perusahaan maupun pribadi, yang berpenghasilan Rp 100 juta ke atas untuk
menyetorkan dua persen laba mereka ke pundi-pundi Damandiri. Belum puas,
Soeharto melalui Keputusan Nomor 92/1996, dan kata "mengimbau" itu
diganti menjadi "wajib". Hasilnya luar biasa, kejaksaan menemukan
adanya dana yayasan-yayasan Soeharto sejumlah Rp 1,4 T (satu koma empat
triliyun rupiah) yang digunakan di luar tujuan yayasan sebagai badan sosial.
Dana itu digelontorkan ke sejumlah perusahaan milik kerabat Cendana. Antara
lain Soeharto ini pernah memerintahkan kepada bendahara yayasan, Bambang Trihatmojo, anak Soeharto, untuk
menyalurkan dana ke bank milik Bambang yang sedang mengalami kesulitan dana. Bank
Andromeda mendapat bantuan dana sebesar Rp. 112,7 M (seratus dua belas koma
tujuh miliyar rupiah), yang dikucurkan secara bertahap mulai 26 Mei hingga 29
Agustus 1997. Karena bank tersebut akhirnya dilikuidasi, dana tersebut tidak
ada tindak lanjutnya.
g.
Yayasan Trikora
Yayasan yang awalnya bertujuan mulia
membantu anak-anak yatim anggota TNI yang gugur pada peristiwa merebut Irian
Jaya. Tapi oleh kejaksaan dalam surat dakwaan bernomor Reg.
PDS-217/JKTS/Fpk.2/08/2000, yang ditandatangani Ketua Jaksa Penuntut Umum
Muchtar Arifin SH, disebutkan bahwa Soeharto telah merugikan negara sebesar Rp.
7 M (tujuh miliyar rupiah) di yayasan Trikora. Kerugian itu disebabkan
pemberian dana kepada lembaga yang tidak berhubungan dengan kegiatan yayasan.
Hingga 31 Juli 1999, dana yang tersisa dalam rekening yayasan sejumlah Rp. 26,5
M (dua puluh enam koma lima miliyar rupiah)..
Bercermin pada kasus-kasus yang menimpa yayasan milik Soeharto[85]merupakan bentuk tata cara pengelolaan yayasan yang tidak sesuai dengan UU Yayasan maupun pada aturan lainnya.
Ketentuan yang menerangkan bahwa
setiap yayasan
yang didirikan sebelum UU Yayasan ada maupun saat UU Yayasan diundangkan atau diberlakukan, maka segala ketentuannya
harus mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai yayasan dalam hal ini pada ketentuan
Undang-Undang Yayasan yang
ada saat ini. Sebab pada UU Yayasan
dipenjelasan bahwa Undang-undang ini dimaksudkan untuk
memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai yayasan, menjamin kepastian hukum dan
ketertiban hukum, serta mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam
rangka mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusian.[86]
Ketegasan
sebagaimana tergambarkan pada UU Yayasan[87] tidak lain menutup celah dari motivasi pendirian yayasan yang berlindung dari balik
status badan hukum yayasan, yang tidak hanya digunakan
sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan,
melainkan juga ada kalanya bertujuan untuk memperkaya diri pendiri, pengurus dan pengawas dari yayasan. Disamping masih banyaknya
kegiatan yayasan
yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan.
Pada
Pasal 28 ayat 2 huruf e UU Nomor 28 Tahun 2004, pada penjelasan menyebutkan, bahwa kekayaan yang diperoleh yayasan dapat berasal dari hasil usaha yayasan yang ada. Ini menunjukkan bahwa
ditinjau dari kegiatan usahanya, maka jenis kekayaan Yayasan dapat berupa
:
1.
Kekayaan
yang berasal dari hasil usaha yayasan,
misalnya kekayaan yang berasal dari penyertaan saham dari yayasan pada saat badan
usaha yayasan
dirikan, maka yayasan mendapatkan
dividen pada pendirian tersebut;
dan
2.
Kekayaan
yang berasal dari perolehan lain atau di luar dari hasil usaha yayasan, misalnya bunga
tabungan/deposito bank, sewa gedung, serta kelebihan pendapatan yayasan.
Telah
diungkapkan pada bab sebelumnya, memang terdapat pandangan yang mengatakan,
bahwa yang dimaksud perolehan dari hasil usaha yayasan ialah perolehan yang
didapat yayasan
sehubungan dengan kegiatan yayasan
sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan
serta ijin yang dimiliki yayasan
tersebut. Bagi
yayasan
yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan, tentunya para pengguna jasa
kesehatan tersebut memberikan sejumlah pembayaran tertentu yang ditetapkan yayasan. Bagi yayasan yang bergerak
di bidang pendidikan, para siswa dikenakan sejumlah kewajiban
pembayaran tertentu sebagai biaya pendidikan. Yayasan yang demikian ini dianggap
yayasan
yang memiliki kekayaan yang berasal dari hasil usaha yang
dimilikinya.
Adapula
yayasan
yang sama sekali tidak memungut uang jasa kesehatan yang diberikan ataupun
biaya pendidikan yang diberikan sebagai pendapatan yayasan, terlihat
pada yayasan yang membebaskan uang biaya rumah
sakit dan/atau obat-obatan bagi penderita penyakit atau penyakit tertentu atau
pemberian bea siswa atau yayasan
yang bergerak dalam pembangunan sarana peribadatan. Yayasan ini, memperoleh seluruh
atau sebagian pendapatannya berasal dari para pengguna jasa yayasan. Maka sebagian sumber
dana pendapatan yayasan
dapat diperoleh dari para donator dalam bentuk sumbangan atau donasi yang tidak
mengikat.
Yayasan yang demikian ini merupakan yayasan
yang tidak memiliki kekayaan yang berasal dari hasil usahanya.[88]
Bagi yayasan yang sama
sekali tidak memungut pendapatan, maka seluruh dana dan/atau assetnya berasal
dari modal awal para pendiri dan para donator atau sumber kekayaan yayasan lainnya.
Biasanya, penerima jasa yayasan
dari kalangan yang memenuhi kualifikasi tertentu misalnya karena termasuk
golongan tidak mampu, atau karena mencapai
prestasi tertentu dan sebagainya.
Berlakunya
UU No. 28 Tahun 2004, secara tegas telah mengatur bahwa yayasan hanya
diperkenankan untuk melakukan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 3
ayat 1 yaitu menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan
badan usaha dan atau ikut serta dalam suatu badan usaha. UU Yayasan tidak memberikan
kemungkinan bagi yayasan untuk langsung melakukan kegiatan usaha komersial
dalam arti yayasan
langsung mencari pendapatan/keuntungan (berbisnis), oleh karenan yayasan harus memiliki sifat
sosial. Sebab pendirian yayasan
didirikan bukan
untuk tujuan komersial.
Yayasan
merupakan salah satu badan hukum tertentu yang diberi keistimewaan untuk dapat
ditunjuk sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah.
Keistimewaan ini diberikan oleh Undang-Undang Pokok Agraria,
sebagaimana menurut ketentuan
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukkan Badan-Badan Hukum
Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Pemberiaan
keistimewaan ini sebenarnya
merupakan pengecualian dari prinsip umum penerima dan pemegang hak atas tanah
hak milik. Hal ini diperlukan mengingat badan-badan tersebut dalam menjalankan tugas dan usahanya benar-benar
memerlukan tanah dengan status hak
milik. Pembebanan pemberian keistimewaan yang dimaksud bukan tidak terbatas. Peraturan
ini mengatur
bahwa pemilikan tanah dengan hak milik oleh badan-badan tersebut disertai
dengan syarat-syarat mengenai peruntukan, yaitu dipergunakan untuk
keperluan-keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha keagamaan/sosial,
serta mengenai luasnya.[89]
Hal
lain terhadap pendirian yayasan oleh
lembaga-lembaga pemerintah termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) pada umumnya juga memanfaatkan fasilitas lembaga
pemerintah atau BUMN maupun BUMD yang bersangkutan, baik dalam bentuk sarana,
prasarana, ataupun kewenangan-kewenangan publik yang melekat pada lembaga
pemerintah atau BUMN maupun BUMD tersebut. Kedudukan BUMN maupun BUMD sebagai
pendiri yayasan
pada umumnya diwakili oleh pejabat pada lembaga atau BUMN dan BUMD yang
bersangkutan baik ex offisio maupun secara pribadi, namun kewenangan-kewenangan
publik yang melekat pada dirinya sering dimanfaatkan untuk memupuk keuntungan yayasan. Hal ini
disebabkan
dalam kiprahnya yayasan
tersebut tampak seperti penerima kuasa
lembaga pemerintah, baik yang berasal dari BUMN atau BUMD. Ketidak jelasan kedudukan ini menjadi akar masa timbulnya korupsi di Indonesia
diduga berada dibalik pendirian dan pengelolaan yayasan
yang pendiriannya didirikan oleh badan-badan milik pemerintah baik yang
berasal dari Kementrian,
departemen maupun
badan usaha miik Negara, yang tidak sesuai dengan prinsip utama pendirian
yayasan.
Pada
masa pemerintahan Orde Baru hingga Era
Reformasi, saat ini
tercatat lebih
50 (lima puluh) yayasan milik pemerintah yang terafiliasi dengan 22 (dua puluh
dua) departemen, kementerian, dan lembaga pemerintah pusat, 30 (tiga puluh) diantaranya yayasan yang
didirikan oleh pemerintah melalui
departemen, intansi atau pemerintah daerah, yang 80 % (delapan puluh persen) diantaranya
berdiri di masa era pemerintahan Orde Baru. Hanya ada satu di masa
Orde Lama dan lima lainnya berdiri di masa Era Reformasi. Fakta-fakta tersebut, terkait kasus korupsi
sehubungan dengan keberadaan yayasan di departemen
bersangkutan.
Misalnya, kasus korupsi dana Yanatera Bulog tahun 1999 yang merugikan Negara Rp
35 M (tiga puluh miliyar rupiah).[90] Kasus penggelapan dana
Yayasan Kesejahteraan dan Perumahan Prajurit (YKPP) senilai Rp 410 M (empat
ratus sepuluh miliyar rupiah) yang
mencuat pada tahun 2004. Skandal aliran dana yayasan Pengembangan Perbankan
Indonesia (milik Bank Indonesia) ke sejumlah anggota dewan dan penegak hukum
senilai Rp 100 M (seratus miliyar rupiah), dan lainnya. Masalah yang ada menunjukan keberadaan
yayasan pada saat pendiriannya sebelum diberlakukannya UU Yayasan, selalu digunakan untuk
kepentingan pribadi pendiri, lembaga dan lainnya yang pengaturan secara
pengawasan pada saat itu belum berjalan. Oleh karenanya, UU Yayasan selalu mengingatkan
bagi para pendiri yayasan untuk
segera menyesuaikan yayasan yang
ada ke dalam peraturan yayasan yang berlaku saat ini. Guna penyesuaian tersebut
dari sisi pemerintah tidak lain melakukan pendataan pada yayasan dalam register
daftar yayasan pada Kantor Kementrian Hukum Dan Hak Asasi Manusia, dan segi
legalitas keberadaan yayasan tersebut telah disahkan keberadaanya melalui Surat
Keputusan Pengesahan Badan Hukum Yayasan
melalui Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Pengesahan
badan hukum yayasan ini dengan maksud penggunaan nama yayasan yang ada tidak
boleh digunakan oleh pihak lainnya yang tidak berkepentingan atau yayasan itu
secara khusus sudah memiliki identitas dengan pemakaian nama yayasan.
5. Yayasan
Sebagai Badan Hukum Penerima Bantuan Sosial
Saat
ini regulasi pemberian hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari APBD
(Aggaran Pendapatan Belanja Daerah) oleh Pemerintah Daerah baik Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota kepada lembaga-lembaga sosial khususnya kepada penerima
bantuan itu berupa badan hukum yayasan, saat masih terdapat beberapa kendala
pada pemahaman dan pengertian. Walaupun regulasi mengenai ketentuan tersebut
selalu ditafsirkan bermacam-macam.
Regulasi
atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberian hibah dan
bantuan sosial oleh pemerintah daerah adalah Permendagri Nomor 32 Tahun 2011
tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD
yeng ditetapkan pada tanggal 27 Juli 2011 dan diundangkan pada tanggal 28 Juli
2012. Kemudian pada tanggal 21 Mei 2012 ditetapkan juga Permendagri Nomor 39 Tahun 2012 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD yang diundangkan
pada tanggal 22 Mei 2012, serta
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah.
6. Pembubaran Yayasan
Undang-Undang
yayasan
menyebutkan bahwa pembubaran yayasan
terjadi dikarenakan :
a. Jangka waktu
yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir.
b. Tujuan yayasan yang
ditetapkan dalam Anggaran telah tercapai atau tidak tercapai.
c. Putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan :
1) Yayasan
melanggar ketertiban umum dan kesusilaan
2) Tidak mampu
membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau
3) Harta
kekayaan yayasan tidak
cukup untuk melunasi utangnya setelah pernyataan pailit dicabut.
6. Tanggung
Gugat Yayasan
Tingginya
angka tindak pidana korporasi yang terjadi di Amerika Serikat mendorong
pemerintah Amerika Serikat membentuk satuan tugas yang disebut Corporate Fraud Task Force, yaitu suatu
usaha administrasi politis yang sengaja dibuat untuk memberantas kejahatan
korporasi. Disebutkan bahwa dari sejak
pembentukan Gugus Tugas tersebut pada tahun 2002 sampai tanggal 31 Mei 2004,
Jaksa Penuntut Utama telah berhasil melakukan penuntutan terhadap lebih dari
500 (lima ratus) korporasi
yang dianggap telah melakukan penipuan (corporate
fraud) dengan tersangka sebanyak lebih dari 900 (semilan ratus) orang dan
60 (enam ratus) orang diantaranya terdiri dari pejabat korporasi setingkat Chief Excecutive Officer (CEO) dan
direktur dengan tuduhan telah melakukan kehatan penipuan.[91]
Perkembangan
kejahatan korporasi lainnya, juga terjadi di dalam masalah lingkungan hidup,
seperti kasus “Pencemaran Teluk Buyat” dengan tersangka utama adalah Perseroan
Terbatas Newmont Minahasa Raya (PT.
NMR). Perseroan Terbatas NMR yang telah melakukan kegiatan eksplorasi
pertambangan emas di wilayah tersebut selama 20 (dua puluh) tahun telah diduga melakukan pencemaran
lingkungan di Teluk Buyat akibat pembuangan limbah tailing (lumpur sisa penghancuran batu tambang) milik korporasi
tersebut.
Dalam
penyelidikan atas dugaan pencemaran lingkungan tersebut aparat Kepolisian
Republik Indonesia (Polri) selaku penyidik telah memeriksa sejumlah pengurus
korporasi tersebut termasuk Richard Ness selaku presiden direktur korporasi
yang telah ditetapkan sebagai tersangka pencemaran lingkungan yang pada tanggal
24 April 2007, dan kemudian dibebaskan dari segala tuduhan oleh majelis hakim
Pengadilan Negeri Manado dan saat ini pihak kejaksaan selaku penuntut umum
sedang melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung RI.
Walaupun
upaya-upaya hukum untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana korporasi
telah banyak dilakukan oleh berbagai negara, baik melalui pendekatan kerja sama
internasional maupun melalui penegakan hukum di negara masing-masing namun
dapat dikatakan hasilnya belum memuaskan.
Hal tersebut diakibatkan karena di samping sistem hukum (pidana) yang
berbeda-beda dalam setiap negara, juga sistem pemidanaan yang cenderung lebih
menekankan aspek pembalasan untuk memberi efek jera kepada pelaku sedangkan
kepentingan si korban kurang terwakili dan sering terabaikan.
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut maka Indonesia sebagai negara hukum perlu
melakukan perubahan-perubahan khusunya yang berkaitan dengan kebijakan hukum
pidana (criminal law policy). Kebijakan tersebut sangat diperlukan untuk
memberi jalan keluar dalam penyelesaian berbagai kasus kejahatan dengan cara
yang lebih bertanggung jawab, seperti proses penyelesaian kasus tindak pidana
yang dituduhkan kepada H.M. Soeharto (mantan Presiden RI kedua) yang sampai
akhir hayatnya belum dapat diselesaikan secara hukum.
Menurut
pandangan penulis, bahwa terbengkalainya penyelesaian kasus H.M. Soeharto lebih
diakibatkan oleh adanya pengaruh kuat dari aliran klasik yang begitu kuat
tertanam dalam pemikiran para aparatur penegak hukum untuk lebih memilih dan
mengedepankan pendekatan asas primum
remedium tanpa mempertimbangkan sedikitpun asas ultimum remedium yang memberi peluang untuk menyelesaikan
kasus tindak pidana dimaksud melalui pendekatan yang lebih bertanggung jawab
seperti melalui pendekatan pemulihan atau restorative
approach.
Di
Indonesia, upaya penegak hukum terhadap tindak pidana korporasi telah dimulai
sejak tahun 1955. Diaturnya beberapa hal
yang berhubugan dengan tindak pidana korporasi tercantum dalam Undang-undang
tentang Penimbunan Barang yang kemudian dikenal secara lebih luas lagi dalam
Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi serta
beberapa ketentuan perundang-undangan yang baru yang mengatur tentang penegakan
hukum atau pemidanaan terhadap tindak pidana korporasi, seperti Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Pasar Modal,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Pencucian uang.
Pemberlakuan
ketentuan perundang-undangan sejak tahun 1955 tersebut merupakan perwujudan
dari keinginan yang besar pemerintah Republik Indonesia untuk memberantas
tindak pidana korporasi yang sudah dianggap sebagai tindak pidana yang sangat
berpotensi mengancam kehidupan perekonomian negara. Perumusan kebijakan pidana
yang tertuang dalam sistem perundang-undangan yang mengatur tentang
pemberantasan tindak pidana korporasi di Indonesia, pada awalnya lebih
menekankan pendekatan yang bersifat represif dan preventif, namun dalam
perkembangannya terlihat beberapa perubahan, yaitu menggunakan pendekatan
represif, preventif, dan restoratif secara bersama-sama baik terhadap ketentuan
hukum pidana materiil maupun formiil, sebagaimana tercermin pada Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).
Romli
Atmasasmita,[92]
menyebutkan bahwa pendekatan refresif mencerminkan teori pemindanaan yang
mengutamakan penjeraan dan pencegahan khusus; pendekatan preventif, yaitu
merupakan sistem pencegahan kejahatan yang efektif; pendekatan restoratif,
yaitu pengaturan tentang pengembalian aset hasil tindak pidana termasuk
mekanisme dan proses penyitaan yang sangat diperlukan dalam meyelesaikan tindak
pidana korupsi. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa pendekatan restoratif
bertujuan memulihkan keadaan yang bermasalah atau mengalamai ketidakseimbangan
menjadi tidak bermasalah atau mencapai harmoni dalam kehidupan masyarakat
tertentu atau dapat memberi kemaslahatan bagi bangsa dan negara.
Kebijakan
pengaturan dan penyelesaian kasus dalam sistem hukum pidana melalui pendekatan
restoratif dalam perundang-undangan di Indonesia, selain merupakan kebutuhan
hukum nyata yang sesuai dengan karakteristik iklim bisnis global, juga bertumpu
kepada pengembangan korporasi baik domestik maupun joint venture domestik dan asing yang memerlukan perubahan
paradigma dari pandangan yang masih menitik beratkan kepada sifat represif
semata kepada pendekatan yang bersifat restoratif.
Dalam
sistem hukum pidana Indonesia, penerapan pendekatan restoratif merupakan suatu
kebijakan yang relatif baru dan masih bersifat sektoral namun demikian
kebijakan tesebut adalah sesuai dan sejalan dengan deklarasi PBB yang
diselenggarakan pada tahun 2000 yang tertuang dalam Prinsip-Prinsip Pokok
tentang Penggunaan Program-Program Keadilan Restoratif dalam
Permasalahan-Permasalahan Pidana (United
Nations Declaration on the Basic Principles On the Use Of Restorative Justice
Programmes in Criminal Matters). Dalam deklarasi tersebut PBB telah
menganjurkan agar setiap negara mendayagunakan konsep restoratice justice secara lebih luas pada suatu sistem peradilan
pidana masing-masing negara sebagaimana yang kemudian dipertegas dalam
deklarasi Wina (Vienna Declaration on
Crime and Justice. “Meeting the
challenges of the Twenty-first Century”) dalam butir 27 dan butir 28 yang
menyebutkan :
Butir 27 menyebutkan. We decice to introduce, where appropriate,
national, regional and international action plans in support of victims of
crime, such as mechanisms for mediation and restorative justice, and we
establish 2002 as a target date for states to review their relevant practices,
to develop further victim support services and awareness campaigns on the
rights of victims and to consider the establishment of funds of victims, in
addition to developing and implementing witness protection policies.
Butir 28 menyebutkan. We encourage the development of restoratice justice policies,
procedures, and programmers that are respectful of the rights, needs and
interests of victims, offenders, communities and all other parties.
Demikian juga dalam Kongres
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke- 11 tentang Pencegahan Kejahatan dan
Peradilan Pidana (Eleventh United Nations
Congress on Crime Prevention and Criminal Justice) yang diselenggarakan di
Bangkok Tahun 2005, telah di tegaskan kembali pendekatan rsetoratif. Butir 32 Deklarasi Bangkok tersebut dibawah
judul Sinergi dan Tanggapan: Persekutuan Startegis dalam Pencegahan tindak
pidana dan peradilan Pidana (Synergies
and Responses: Startegic Alliances in Crime Prevention an Criminal Justice) menyebutkan
sebagai berikut.[93]
o
promote the interests of victims and the rehabilitation of offenders, we
recognize the importance of further developing restorative justice policies,
procedures and programmers that include alternative to prosecution, thereby
avoiding possible adverse effects of imprisonment, helping to decrease the
overload of criminal court and promoting the incorporation of restoractive
justice approaches into criminal justice system, as appropriate.
Karena
itu pemberian sanksi terhadap korporasi baik profit model dan non profit model,
yang mana pada pemberian saksi terhadap
korporasi yang bersifat represif atau retributif semata-mata ditengarai sering
mengundang berbagai persoalan sosial baru khususnya bagi kedudukan korporasi
tersebut, tidak terbatas kepada pihak ketiga maupun bagi karyawan. Karena itu
menurut Rufinus Hotmaulana Hutauruk, pemberian sanksi pada korporasi yang telah
melakukan tindak pelanggaran dengan cara pendekatan restoratif dan responsif
sebagai alternatif pilihan sanksi yang dapat diterapkan terhadap korporasi agar
penyelesaian tindak pidana dapat direspon dengan lebih baik dan maksimal serta tidak
menimbulkan masalah sosial yang baru.
Pada kasus yang terjadi sebagaimana pada putusan Mahkamah Agung Nomor 140
PK/Pdt/2015 Tahun 2015 yang telah diputus pada tanggal 8 Juli 2015 dalam
perkara yanag menempatkan Negara Republin Indonesia Cq. Presiden Republik
Indonesa sebagai penggugat menggugat
keberadaan Yayasan Supersemar yang amar putusannya menyebutkan :
DALAM
POKOK PERKARA
1.
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2.
Menyatakan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum;
3. Menghukum Tergugat II untuk
membayar kepada Penggugat sejumlah 75 persen x US $ 420.002.910,64 = US $
315.002.183,00 (tiga ratus limabelas juta dua ribu seratus delapan puluh tiga
dolar Amerika Serikat) dan 75persen x Rp.185.918.048.904,75 = Rp.139.438.536.678,56
(seratus tigapuluh sembilan miliar empat ratus tiga puluh delapan juta lima
ratus tiga puluhenam ribu enam ratus tujuh puluh delapan rupiah lima puluh enam
sen);
4.
Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
Menghukum
Termohon Peninjauan Kembali I/Pemohon PeninjauanKembali II untuk membayar biaya
perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam pemeriksaan peninjauan kembali
ini sejumlah Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah).
Kasus Yayasan Supersemar ini dimulai dari pemikiran bahwa
masalah pendidikan meruapakan masalah bersama antara orang tua, masyarakat dan
pemerintah. Banyak anak-anak dengan ekonomi yang terbatas memiliki kemampuan
inteletual, namun kondisi ekonomi orang tua tidak dapat mendukung kelangsungan
pendidikan formal. Sehingga saat itu Presiden Soeharto bermaksud untuk
mendirikan suatu yayasan yang bertujuan untuk membatu anak-anak Indonesia
disektor pendidikan. Maka pada tanggal 16 Mei Tahun 1974, Soeharto mendirikan
Yayasan Supersemar tersebut. Pemakaian nama Supersemar pada pendirian yayasan
bagian pada historis tegaknya masa pelaksanaan pemerintahan Orde Baru.
Pemerintahan Orde Baru melaksanakan
koreksi total terhadap kesalahan di masa lalu dan seterusnya bertekad
melaksanakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen;
yang berarti pula suatu perjuangan yang tidak kecil dalam upaya meningkatkan
kecerdasan rakyat Indonesia.
Presiden
Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1976 pada 23
April 1976 tentang Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.011/1978 tertanggal
30 Agustus 1978. Dalam aturan ini, Soeharto memerintahkan 5 persen dari 50
persen laba bersih bank milik negara disetor ke Yayasan Supersemar. Di mana
Ketua Yayasan Supersemar adalah dirinya sendiri. PP 15/1976 menjadi alat untuk mengucurkan dana
negara ke Yayasan Supersemar. Hingga Soeharto lengser, Yayasan Supersemar
mendapatkan dana USD 420 juta dan Rp 182 mliliar. Setelah dana masuk ke kas Yayasan Supersemar, dana
dibelokkan di luar tujuan pendidikan. Dana itu digunakan untuk investasi kepada
:[94]
a.
Perseroan
Terbatas Bank
Duta USD 125 juta.
b.
Perseroan
Terbatas Bank
Duta juga kembali diberi dana USD 19 juta.
c.
Perseroan
Terbatas Bank
Duta kembali mendapat kucuran dana USD 275 juta.
d.
Sempati Air sebesar Rp 13 miliar kurun 1989 hingga
1997.
e.
Diberikan kepada Perseroan Terbatas
Kiani Lestari sebesar Rp 150 miliar pada 13 November 1995.
f.
Diberikan kepada Perseroan Terbatas
Kalhold Utama, Essam Timber dan Perseroan Terbatas
Tanjung Redep Hutan Tanaman Industri sebesar Rp 12 miliar pada 1982 hingga
1993.
g.
Diberikan kepada kelompok usaha Kosgoro sebesar Rp 10
miliar pada 28 Desember 1993.
Kasus Yayasan Supersemar ini merupakan potret
penyalahgunaan fungsi yayasan dalam pendiriannya. Yayasan sebagai lembaga non
profit tidak dibenarkan dikelola secara perusahaan yang berorientasi
mendatangkan keuntungan. Kasus yayasan yang mengatas namakan mantan Presiden Soeharto sampai saat ini masih menjadi
polemik dalam tataran hukum di Indonesia dari langkah-langka cara
penyelesaiannya.
7.
Penyelesaian
Sengketa Pada Yayasan
Tingginya sengketa yayasan sebagaimana tergambarkan pada
kasus-kasus yayasan yang ada saat ini, dikarenakan cara-cara penyelesaian
sengketa yayasan selalu disamakan penyelesaian sengketa secara litigasi pada
umumnya. Penyelesaian sengketa secara litigasi yang selama ini berjalan terasa
tidak efektif yang masing-masing pihak
bersengketa berusaha memposisikannya paling benar terhadap kasus yang
ada. Bisa terlihat dari kasus Yayasan Trisaksi yang bersengketa dengan
Universitas Trisaksi dibawah kendali Rektor
selama jangka waktu 16 tahun lamanya. Selama 16 tahun baru bisa
terselesaikan kasus tersebut saat dikeluarkan putusan Mahkamah Agung dengan
melalui adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 410 K/PDT/2004 dan diperkuat dengan
putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 575 PK/PDT/2011.
Adapun kronologis
dari kasus Yayasan Trisaksi berupa :[95]
1.
Profil Yayasan Trisakti
Universitas Universitas Trisakti
merupakan satu-satunya perguruan tinggi swasta di Indonesia dan perguruan
tinggi swasta terbesar yang didirikan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada
tanggal 29 November 1965. Universitas Trisakti (Usakti) salah satu perguruan
tinggi yang terletak di pusat kota Jakarta, tepatnya di Jalan Kyai Tapa,
Grogol. Universitas Trisakti pada awal berdirinya diberi nama dengan
Universitas Baperki yang didirikan oleh para petinggi organisasi Baperki pada
tahun 1958. Tidak lama setelah itu, tepatnya pada tahun 1962 nama tersebut
berubah kembali menjadi Universitas Res Publica. Selang beberapa tahun setelah
itu, Indonesia mengalami peristiwa G30S PKI pada tahun 1965, yang mengakibatkan
dibubarkannya Baperki oleh pemerintahan Orde Baru pada tahun 1966. Setelah
dibubarkannya Universitas Res Publica dan pengambilalihan gedung operasional
oleh pemerintah masa Orde Baru, Universitas Trisakti terlahir dengan wujud dan
bentuk yang baru. Pembentukan susunan kepengurusan dan keanggotaan dewan operasional
yang dilakukan dan dipimpin langsung oleh pemerintah. Dari pembentukan tersebut
maka disepakati bahwa universitas akan dipimpin oleh Presidium sementara yang
terdiri dari tiga unsur, yaitu unsur Departemen PTIP, unsur ABRI dan unsur
Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). Berdasarkan konsensus tersebut maka
Universitas Trisakti merupakan unit perguruan tinggi swasta yang pertama dan
satu-satunya, yang didirikan oleh pemerintahan Republik Indonesia. Pada masa
sekarang kampus Universitas Trisakti, juga dikenal karena keterterlibatannya
dalam peristiwa 12 Mei 1998 atau yang lebih dikenal dengan Tragedi Trisakti.
2.
Kronologi Kasus
Kasus ini dimulai antara Yayasan Trisakti dengan Universitas Trisaksi
dibawah naungan Rektor Trisakti pada
saat itu Prof. Thoby
diangkat sebagai rektor di Universitas Trisakti pada 9 September 1998 hingga 9
September 2002, untuk masa jabatan selama empat tahun. Namun, menjelang
berakhirnya masa jabatan, Thoby diduga menggunakan cara-cara melawan hukum
untuk mempertahankan posisinya sebagai rektor. Dengan melawan hukum, jelasnya,
Thoby dan kawan-kawan telah mengganti secara sepihak statuta Yayasan Trisakti
yang sah tahun 2001 dengan statuta karangannya sendiri, yakni statuta 2001 R
tanggal 6 April 2002. Konflik antara Yayasan Trisakti dan Universitas Trisakti
bermula ketika Rektor Usakti Thoby Mutis menyatakan diri sebagai calon tunggal
rektor pada 2002. Padahal, sesuai statuta universitas, calon rektor minimal ada
tiga orang. Sengketa pengelolaan pun bergulir hingga kini. Pengadilan demi
pengadilan dihelat untuk memutuskan sengketa antara Yayasan dan Universitas
Trisakti. Akhirnya, Mahkamah Agung (MA) memenangkan yayasan dan memerintahkan
pengadilan negeri (PN) Jakarta Barat untuk mengeksekusi rektor bersama sembilan
pejabat rektorat lainnya. Menurut yayasan, pada 4 September 2002, Rektor
Universitas Trisakti Thoby Mutis beserta sembilan dosen dan pegawainya telah
mengambil pengelolaan Universitas Trisakti secara paksa. Sengketa semakin
meruncing. Ketiadaan kata sepakat antara pihak Thoby Cs. dengan pihak Yayasan
Trisakti memaksa kedua pihak untuk berhadapan di meja pengadilan. Yayasan
Trisakti sebagai penggugat, sementara Thoby Mutis dan delapan rekannya sebagai
tergugat. Setelah tergugat sempat dimenangkan di Pengadilan Negeri Jakarta
Barat, hakim mengabulkan gugatan dan memenangkan Yayasan Trisakti di tingkat
selanjutnya. Pengadilan Tinggi DKI dan Mahkamah Agung (kasasi dan PK). Namun
putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap tersebut tidak dapat
dieksekusi karena dikatakan hanya bersifat deklaratoir yang menyatakan Thoby
Mutis tidak sah sebagai Rektor.
3.
Perkembangan Kasus I
Yayasan kemudian menggugat ulang
Thoby Mutis cs pada tahun 2007, yang dimenangkan oleh Yayasan Trisakti sejak di
tingkat PN Jakarta Barat hingga Mahkamah Agung. Termaktub dalam Amar Putusan PT
DKI No: 248/PDT/2009 Atas pengeluaran Thoby Mutis dari Kampus dan
pertanggungjawaban keuangan sebagaimana dalam poin 4 disebutkan: menghukum para
tergugat atau siapapun tanpa kecuali yang telah mendapatkan hak dan kewenangan
dengan cara apapun juga dari para tergugat dengan memerintahkan secara paksa
dengan menggunakan alat negara (Kepolisian), Putusan ini kemudian dibelokan
oleh para tergugat dengan mengatakan bahwa implikasi hukumnya seluruh dosen dan
karyawan akan terkena PHK kalau putusan ini dijalankan. Padahal maksud amar
putusan ini adalah untuk mencegah Thoby Mutis cs menunjuk orang lain untuk
menggantikan mereka secara sepihak, tanpa keterlibatan Yayasan Trisakti. Kasasi
yang diajukan ke Mahkamah Agung oleh Thoby Mutis Cs. ditolak oleh Majelis Hakim
Agung dengan putusan nomor 821 K/PDT/2010, sudah berkekuatan hukum tetap
(inkracht) pada tanggal 4 Januari 2011. Majelis Hakim Agung menyatakan Yayasan
Trisakti adalah pemilik, pengelola, pembina, serta penanggung jawab yang sah
secara hukum. Berbekal surat keputusan yang sudah berketetapan hukum (inkracht)
tersebut, pengurus Yayasan Trisakti pun bermaksud mengeksekusi orang-orang yang
dianggap terlibat dalam penguasaan kampus. Tercatat, sudah beberapa kali Yayasan
Trisakti mendatangi Universitas Trisakti untuk menjalankan proses eksekusi.
Meski demikian, upaya eksekusi ini berulang kali berujung pada kegagalan. Empat
belas tahun setelah konflik Universitas Trisakti dan Yayasan Trisakti bermula,
penunjukkan rektor baru diharapkan menjadi awal dari sebuah akhir. Namun, pihak
universitas masih keberatan dengan kebijakan yayasan tersebut. Dalam sebuah
audiensi dengan Senat Universitas Trisakti, Rabu, 19 Juli 2016, Menristekdikti
M Nasir menawarkan sejumlah solusi dalam konflik antara Universitas Trisakti
dengan Yayasan Trisakti tersebut. Salah satunya, jika Universitas Trisakti akan
menjadi negeri, maka biaya kuliah harus disesuaikan dengan biaya kuliah PTN.
Nasir juga menegaskan, Universitas Trisakti pun harus siap diaudit dari
berbagai aspek. Pasalnya, meski berstatus kampus swasta, aset yang digunakan
adalah milik negara. Sekira sebulan setelah mediasi di Kemristekdikti, suasana
tegang menyelimuti
4.
Perkembangan Kasus II
Universitas Trisakti. Rabu, 24
Agustus, dini hari, ratusan preman menduduki kampus di kawasan Grogol, Jakarta
Barat tersebut. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Trisakti lalu duduk
bersama dalam proses mediasi dengan Menristekdikti Mohamad Nasir, rektor
pilihan yayasan, Edy Suandi Hamid, serta Senat Trisakti selama satu jam lebih.
Di antara hasil mediasi adalah, PDPT Usakti akan diselamatkan oleh Dikti
sehingga dekan dan dosen bisa mengaksesnya tanpa harus ke rektorat atau
yayasan. Kemudian, mediasi juga menyepakati perlu segeranya diadakan forum yang
melibatkan kedua belah pihak untuk mencari solusi. Forum ini juga akan dihadiri
wakil Kemristekdikti, Kemenkumham, Komnas HAM, komisi X DPR RI, dan mahasiswa.
Kader menegaskan, penolakan atas pilihan yayasan menunjuk Edy Suandi sebagai
rektor baru bukan karena tak suka dengan sosoknya. "Terkait rektor baru,
Kami menolak mekanismenya bukan orangnya. Itu yang harus ditandai. Prof Edy
tadi juga mengatakan apabila kehadiran beliau justru menambah permasalah,
beliau bilang siap mundur," pungkas Kader. Namun proses mediasi belum
menemukan hasil yang baik, karena pihak tergugat masih akan terus melawan
walaupun melakukan langkah- langkah yang yang akan menerabas batas-batas hukum.
Walaupun Ketua Tim Reposisi dan Penegerian Usakti, Dadan Umar Daihani menyebut,
mengubah status Universitas Trisakti menjadi Perguruan Tinggi Negeri, diyakini
menjadi solusi terbaik dalam menyelesaikan sengketa antara Universitas Trisakti
dengan Yayasan Trisakti terkait dengan pengelolaan dan pembinaan kampus.
Terlebih lagi, sebagian aset Universitas Trisakti dimiliki negara. Pada kasus
ini akhirnya berujung pada pemecatan Thoby Mutis sebagai rektor karena sudah
melanggar aturan yang sudah ditetapkan pihak Universitas maupun Yayasan.
Apa yang tergambarkan pada kasus
Yayasan Trisakti, menunjukan proses penyelesaian sengketa yayasan yang
diselesaikan secara litigasi tidak memberikan cara-cara penyelesaian yang
ideal. Yayasan sebagaimana yang didefinisikan pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU
Yayasan, menyebutkan bahwa Yayasan
adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan
yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Apa yang tertulis pada ketentuan
Pasal 1 angka 1 pada prinsip idiil pendirian yayasan dengan menempatkan prinsip
utama pendirian yayaasan dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
Prnisip-prinsip tersebut tidak berorientasi pada keuntungan sebagaimana pada
pendirian badan hukum profit lainnya, seperti perseroan terbatas dan koperasi
yang didirikan memang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Apalagi pada UU Yayasan tidak menyelaskan
secara detail penyelesaian sengketa pada yayasan.
Cara-cara yang tergambarkan pada
UU Yayasan dalam penanganan sengketa pada yayasan terasa belum efektif, sepanjang para pihak tidak melakukan tindak
pidana. Proses penyelesaian sengketa
yayasan sudah sepantasnya di bawah keranah non litigasi dengan membentuk
Badan Penyelesaian Sengketa Yayasan
(BPSY). Badan Penyelesaian Sengketa Yayasan suatu badan yang dibentuk oleh
pemerintah yang kedudukannya berada didaerah tingkat II. Sebab budaya bangsa
Indonesia yang menekankan pada nilai-nilai musyawarah dalam menyelaikan
perselisihan menjadi akar utama untuk menempatkan penyelesaian sengketa yayasan
diluar pengadilan. Menurut Daniel S. Lev[96]
adanya kecendrungan budaya di Indonesia untuk berkompromi bila timbul
perselisihan pribadi tetap kuat dan sama sekali tidak terbatas pada masyarakat
di desa saja juga dimasyarakat perkotaan. Membawa perselisihan diluar desa berarti menarik perhatian pihak lain.
Lev menilai bahwa konsiliasi yang lazim dilakukan di Indonesia merupakan sifat
budaya hukum Indonesia. Sesudah kemerdekaan Indonesia proses menjalankan
sengketa dengan cara-cara diluar pengadilan sudah mulai diterapkan baik dengan
cara konsiliasi, mediasi dan cara abritrase. Hal ini dilihat dari cara
penyelesaian sengketa yang lebih efisiensi dan cepat baik dari segi waktu dan
biaya. Penerapan penyelesaian sengketa pada yayasan dengan membentuk Badan Penyelesaian
Sengketa yayasan dapat menjadi jalan keluar dalam menyelesaikan sengketa
yayasan yang berlarut-larut. Sudah sepantasnya UU Yayasan yang ada saat ini
untuk dilakukan revisi yang disesuaikan dengan kondisi yang ada saat ini.
8. Perbandingan
Yayasan di Belanda
8. 1 Sejarah Yayasan di Belanda
Yayasan, yang dalam
bahasa Belanda disebut dengan stichting, telah dikenal selama beberapa ratus tahun
dan telah digunakan untuk berbagai tujuan di Belanda. Pada abad ke-17,
orang-orang kaya mendirikan perumahan mewah (housing estates), misalnya Begijhhof
di Amsterdam atau Bruges, rumah yatim piatu untuk anak-anak, gereja,
museum dan sebagainya, semuanya dalam bentuk stichting. Sebagian besar stichting
ini masih ada.Pada awalnya, stichting ini diperuntukkan hanya
semata-mata sebatas untuk kegiatan sosial (liefdadig doel), tetapi
ternyata dalam praktik telah berkembang untuk berbagai tujuan, yang bahkan
berkembang ke gejala negatif yang menimbulkan akses penyalahgunaan stichting.
Banyak stichting didirikan untuk berbagai bidang seperti eksploitasi
persurat-kabaran, bank tabungan, bahkan sampai kepada kegiatan yang seyogyanya
dijalankan dalam bentuk Besloten Vennootschap(BV). Namun dapat
dilihat,
provinsi Utrecht pada waktu itu, untuk penyelenggaraan air minum,
mendirikan Drinkwater-leiding West Utrecht. Hal ini terjadi karena ini
adalah cara yang paling mudah untuk membentuk badan hukum untuk berbagai
tujuan.[97]
Secara yuridis diakuinya yayasan
di Belanda sebagai badan hukum pertama-tama mengacu pada keputusan Hoge Raad
tahun 1882 yang menyatakan bahwa yayasan sebagai badan hukum adalah sah
menurut hukum dan karenanya dapat didirikan dalam kapasitas sebagai badan
hukum. Pendapat Hoge Raad ini diikuti oleh Hooggerechtshof di
Hindia Belanda dalam putusannya dari tahun 1884.35Sebelum adanya putusan dari Hoge
Raad dan Hooggerechtshof yayasan hanya merupakan sebuah organisasi
yang tumbuh dalam masyarakat karena tidak diatur dalam undang-undang.Artinya,
sampai tahun 1956 Belanda tidak memiliki peraturan perundang-undangan tentang stichting
dan hanya diatur oleh hukum tidak tertulis. Mencermati potensi stichting
yang cenderung digunakan sebagai kegiatan usaha, pada tahun 1937 Pemerintah
Belanda menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Stichting. Namun, dalam
prosesnya mengalami kemacetan sehingga baru pada tahun 1956 dapat terlaksana,
yaitu dengan terbentuknya “wet op de
stichting” (disingkat W.S) tertanggal 31 Mei 1956, Staatsblad 327 dan
mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1957.37Pemberlakukan WS tersebut
menguatkan keputusan Hoge Raad yang menyatakan bahwa stichting adalah
sebuah badan hukum.Selanjutnya kaidah-kaidah hukum stichting dari WS ini
diintegrasikan dalam Nieuwe Burgerlijk Wetboek (NBW)). Perihal stichting
diatur dalam Buku II Titel 5 Pasal 285 sampai dengan Pasal 307, diatur
bersamaan dengan rechtspersoonen.NBW mulai diberlakukan pada tahun 1977.
[98]
Suatu stichting adalah
badan hukum dengan tanggung jawab terbatas.Stichting kerap diartikan
juga sebagai suatu “modal yang memiliki tujuan” yang dalam bahasa Belanda
disebut “doelvermogen”, atau sejumlah
uang yang dipisahkan untuk tujuan tertentu yang memiliki kehidupan sendiri. Stichting
tidak memiliki anggota dan memiliki kewajiban untuk melakukan pembayaran
kepada pendiri atau orang lain, dengan beberapa pengecualian yang akan di
diskusikan berikut ini. Stichting masuk dalam buku II Bab 6 NBW dari
Pasal 285 sampai dengan Pasal 307. Pasal 285 ayat 1 NBW. mendefinisikan stichting
sebagai:
“Een Stichting is
een door een rechtshandeling in het leven geroepen rechtspersoon, welke geen
leden kent en beoogt met behulp van een daartoe bestemd vermogen een in de
statuten vermeld doel te verwezenlijken”. ''stichting'' is a legal person formed by
means of a juridical act, that has no members, and that intents to realize an
objective (purpose), mentioned in its articles of incorporation, by using
capital (property) which has been brought in for this purpose.
Kemudian ayat 3 Pasal 285 N.B.W
mengatur mengenai tujuan stichting yaitu hanya bertujuan sosial,
sebagaimana berikut ini:
the objective
(purpose) of a 'stichting' may not include the making of distributions to its
founders (incorporators) or to those who are participating in its bodies or to
others, except, as regards the latter, when these distributions are made for
charitable (philanthropic) or social purposes
Secara khusus, Pasal 285 ayat (2)
NBW, mengatur sebagai berikut: [99]
a. Suatu stichting adalah
suatu badan hukum didirikan oleh suatu perbuatan hukum, tidak memiliki anggota
dan bermaksud untuk menjalankan suatu tujuan yang disebutkan dalam akte
pendiriannya, dengan menggunakan kekayaan yang dimasukkan ke dalam stichting
untuk mencapai tujuan tersebut.
b. Apabila akte pendirian stichting
memberikan kepada satu atau lebih orang kewenangan untuk mengisi
kepengurusan stichting maka berdasarkan hal ini stichting tidak
dapat memiliki anggota .
c. Tujuan stichting tidak
boleh termasuk memberikan keuntungan/pendapatan atau mendistribusikan
pendapatan kepada pendirinya atau mereka yang berpartisipasi sebagai organ atau
kepada pihak lain, kecuali, dalam hal pemberi dalam hal pemberian tersebut
dilakukan dalam kegiatan amal atau sosial.
8.2 Karakteristik Hukum Stichting
Belanda
a. Badan
hukum. Berdasarkan
hukum Belanda, stichting adalah suatu badan hukum. Seperti halnya badan
hukum lainnya, PT misalnya, stichting dapat memiliki aset atas namanya
sendiri. Namun demikian, stichting tidak dapat memberikan atau
mendistribusikan [keuntungan] kepada pendiri atau anggotanya. Stichting dapat
memberikan [keuntungan] kepada kegiatan amal atau pemberian yang merupakan
bagian dari kegiatan stichting tersebut [dengan kata lain apabila skema
pendapatan (pensiun) adalah kegiatan stichting].
b. Tujuannya. Pada awalnya, stichting digunakan
untuk tujuan non-profit dan amal. Namun beberapa dekade terakhir, stichting semakin
banyak digunakan untuk kepentingan komersial. Tidak seperti di beberapa Negara,
tidak terdapat pembatasan jenis kegiatan-kegiatan komersial yang dapat
dilakukan oleh suatu stichting. Stichting dapat memiliki tujuan
atau maksud yang luas dan dapat mendirikan usaha, seperti toko, atau usaha
konsultasi. Dalam hal tersebut, orang-orang yang terlibat disitu tidak ingin
menumpuk kekayaan dan hanya menerima gaji sebagai pembayaran. Keuntungan
diakumulasikan dalam stichting untuk digunakan sesuai dengan tujuannya.
c. Keanggotaan. Kriteria hukum lainnya dari stichting
adalah tidak memiliki anggota atau pemegang saham seperti Perkumpulan (Association
/ Vereningen), Perseroan Terbatas (NV atau BV). Namun stichting dapat
menerbitkan bukti-penyimpanan (depository receipts atau certificaten)
yang memberikan manfaat hak atas kekayaan yang dimiliki oleh stichting. Stichting
yang telah menerbitkan bukti-penyimpanan disebut sebagai suatu “STAK” (stichting
administratitiekantoor). Dengan menerbitkan bukti-penyimpanan, hak suara
dan hak ekonomis atas kekayaan, biasanya dalam bentuk saham, dipisahkan.
d. Kewajiban
Finansial. Tidak ada
kewajiban untuk memberikan uang (ekuitas) ke dalam stichting. Modalnya
harus digunakan sesuai dengan tujuannya dan tidak dapat digunakan untuk
membayar penerima manfaat tertentu.
e. Kepengurusan
(Manajemen). Dewan
[pengurus] stichting adalah satu-satunya organ yang mewakili stichting.
Stichting memiliki minimal satu orang direktur/ pengurus yang dapat
seorang direktur suatu perseroan terbatas.
f. Pertanggungjawaban. Pertanggung jawaban terbatas
bagi anggota pengurus stichting.
g. Pendirian. Stichting didirikan
dengan akta notarial. Mengingat hanya terdapat beberapa persyaratan formal, stichting
dapat didirikan dan beroperasi dalam waktu 2 (dua) hari. Menurut hukum perusahaan
Belanda, dimungkinkan untuk mengubah suatu PT seperti NV atau BV menjadi stichting,
dan sebaliknya. Selain itu, dimungkinkan pula untuk menggabungkan atau
memisahkan stichting. Sebagaimana dijelaskan, bahwa stichting harus
didirikan dengan akta notaris oleh seorang pendiri, namun pendiri ini tidak
lagi terlibat setelah stichting berdiri namun dapat diangkat atau tunjuk
sebagai pengurus. Sebagai akibat bahwa biaya pendirian stichting amal di
Belanda murah, banyak stichting dalam bentuk amal di beberapa Negara di
Eropa berpindah ke atau didaftarkan menurut instansi pajak Belanda. [100]
9.Perbandingan
Yayasan di Amerika Serikat
“Foundation” (Yayasan) di Amerika
Serikat didefinisikan sebagai suatu organisasi/badan non-pemerintah, not
for-profit yang memiliki kekayaan sendiri, dikelola oleh trustee atau
direktur dan didirikan untuk membantu kepentingan sosial, pendidikan, amal,
keagamaan, atau kegiatan-kegiatan lain dengan tujuan melayani kesejahteraan umum/bersama. Namun demikian, Internal
Revenue Code (UU Pajak Amerika Serikat) membedakan antara private
foundation, yang biasanya didanai oleh perseorangan, keluarga atau
perusahaan dan public charities (community foundation dan
badan-badan not-for-profit lain yang mengumpulkan uang dari masyarakat
umum). Private foundation memiliki ketentuan yang lebih mengikat dan
tidak mendapatkan manfaat pajak yang terlalu banyak dibandingkan dengan badan
amal publik seperti yayasan masyarakat (community foundation). [101]
Di
Amerika Serikat, terdapat dua (2) donatur (filantropis) terkenal pada
masa Gilded Age yang menjadi pelopor kegiatan amal secara perseorangan (private)
yang dikelola secara modern dalam bentuk yayasan, yaitu: John D Rockefeller and
Andrew Carnegie. Kedua pengusaha tersebut mengakumulasikan kekayaan pribadinya
dalam jumlah tertentu dari keuntungan yang diterimanya, dan keduanya pada
tahun-tahun berikutnya memutuskan untuk menyumbangkannya.Carnegie,
misalnya, menyumbangkan sebagian dari kekayaannya untuk membangun perpustakaan
dan museum sebelum menginvestasikan hampir seluruh sisa harta kekayaannya ke
dalam Yayasan Carnegie (Carnegie Foundation) dan the Carnegie
Corporation of New York. Begitu pula Rockefeller, yang membangunUniversity
of Chicago dan menyumbangkan hampir sebagian kekayaannya untuk mendirikan Rockefeller
Foundation. Selain itu, pada tahun 1914, Fedrick Goff, seorang bankir
terkenal Cleveland Trust Company, menghendaki penghapusan organisasi
amal yang menurutnya “dead hand” dan mendirikan yayasan masyarakat/publik
pertama di Cleveland. Dia mendirikan struktur yayasan yang berbadan hukum yang
dapat mendayagunakan pemberian atau sumbangan masyarakat yang lebih tanggap dan
sesuai dengan kebutuhan.Ini adalah bentuk pengawasan dan pengurusan dalam “live
hand” masyarakat sebagai lawan dari “dead hand” yang terdapat pada para pendiri
yayasan perdata/privat. [102]
9.1.
Bentuk
Foundation di Amerika Serikat
Di Amerika Serikat,
suatu entitas atau badan dengan nama “foundation” secara umum akan dianggap
sebagai “charitable foundation”. Namun demikian, suatu organisasi atau badan
dapat menggunakan kata “foundation” tetapi bukan suatu lembaga amal atau charitable
foundation.Undang-undang negara bagian dapat menerapkan
pembatasan-pembatasan. Sebagai contoh, Negara Bagian Michigan memperbolehkan
penggunaan yayasan hanya untuk non-profit dengan “tujuan menerima dan
mengelola dana untuk mengingat seseorang, melestarikan benda sejarah atau
kepentingan alam, pendidikan, amal, atau tujuan keagamaan, atau kesejahteraan
masyarakat”. Disinilah terletak perbedaan utama antara charitable
organization (organisasi atau lembaga amal) dannot-for-profit
organization (organisasi non-profit).
IRS menentukan
berbagai jenis organisasi non-profit yang tidak terkena pajak
penghasilan.Namun, hanya organisasi atau lembaga/badan amal saja yang dapat
menerima pengurangan pajak dan dapat tidak terkena pajak properti dan
penjualan.55 Sebagai contoh, seorang donatur akan mendapatkan pengurangan pajak
untuk uang yang diberikannya ke toko sup ayam di daerahnya apabila organisasi
atau badan/lembaga tersebut termasuk dalam klasifikasi sebagai organisasi atau
badan/lembaga menurut Ketentuan 501(c)(3); namun seorang donatur tidak
mendapatkan pengurangan pajak ketika ia menyumbangkan dana untuk National Football
League (NFL), walaupun NFL adalah perkumpulan non-profit berdasarkan
501(c)(6). Selain itu, badan amal publik (public charity) dan foundation
tidak dapat memberikan sumbangan atau terlibat dalam aktivitas politik,
kecuali lembaga-lembaga ini melepaskan statusnya sebagai lembaga yang tidak
terkena pajak dan tidak melakukan permohonan pengurangan pajak bagi
donatur/penyumbang.
Organisasi amal yang tidak
terkena pajak (tax-exempt charitable organization) terbagi dalam dua
bentuk:[103]
1.
badan
amal publik (public charities), yaitu community foundation (yayasan
masyarakat), merupakan badan amal publik yang diatur dalam The US Tax Code
26 USCA 501(c)(3)
2.
Yayasan
privat (private foundations) yang diatur dalam The US Tax Code in 26
USCA 509
9.2
Yayasan Masyarakat (Community Foundation)
Yayasan masyarakat
adalah instrumen masyarakat yang dibentuk untuk mengumpulkan sumbangan ke dalam
suatu fasilitas investasi dan hibah (grant) yang diperuntukkan terutama
bagi peningkatan sosial di suatu tempat.58 Dengan kata lain, suatu yayasan
masyarakat adalah seperti yayasan publik. Bentuk yayasan ini mewajibkan
perwakilan masyarakat di dalam Dewan Pengurus dan hibah atau donasi diberikan
untuk meningkatkan masyarakat. Kerapkali terdapat suatu kota yang memiliki
suatu yayasan masyarakat yang Dewan Pengurusnya terdiri dari pemimpin-pemimpin
yang mewakili kepentingan usaha, agama dan lokal. Hibah atau donasi yang
nantikan diberikan oleh yayasan masyarakat tersebut harus lah bertujuan
memberikan manfaat bagi masyarakat atau warga di kota tersebut. Terdapatnya keterlibatan
dan pengawasan dari masyarakat inilah yang menyebabkan yayasan masyarakat lebih
tepat diklasifikasikan sebagai badan amal publik daripada yayasan
perdata/privat.
9.3
Yayasan Perdata/Privat (Private Foundation)
Yayasan Perdata/Privat karakteristiknya
memiliki satu donator utama (biasanya hibah dari satu keluarga atau perusahaan
daripada dana dari banyak sumber/donatur) dan sebagian besar kegiatannya adalah
menyalurkan uang/dana tersebut kepada organisasi amal dan perorangan lainnya, daripada
melakukan sendiri kegiatan atau program amal.Anggota yayasan biasanya berasal
dari anggota keluarga atau pengurus perusahaan yang mendirikan yayasan
tersebut.Hal ini membatasi kontrol masyarakat (publik) terhadap yayasan
perdata/privat yang menyebabkannya mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan
yayasan kemasyarakatan (community foundation). Perbedaan perlakuan bagi
yayasan privat dibandingkan dengan badan amal publik termasuk yayasan
kemasyarakat adalah sebagai berikut:
1.
yayasan
wajib membayar 5% atas kekayaannya setiap tahun sedangkan badan amal tidak .
2.
donatur
donatur badan amal mendapatkan pengurangan pajak yang lebih besar daripada
donatur yayasan
3.
bada
badan amal wajib mengumpulkan minimal 10% dari pengeluaran tahunan dari
masyarakat agar tetap mendapatkan pengecualian pajak sedangkan yayasan tidak.
9.4
Yayasan Operating dan Non-Operating
Selain itu, untuk tujuan pajak,
terdapat beberapa bentuk yayasan privat/perdata. Perbedaan utamanya adalah
antara apa yang masuk kategori “operating” foundation dan “grant-making” foundation
(yayasan pemberi hibah).Yayasan “operating” menggunakan dananya untuk
mencapai tujuannya secara langsung. Yayasan “grant-making” menggunakan dananya
untuk disumbangkan kepada organisasi lain yang secara tidak langsung
melaksanakan tujuan yayasan. Yayasan “operating” memiliki perlakuan pajak yang
menguntungkan di beberapa sektor, termasuk mengizinkan penyandang dana individu
menyumbangkan lebih banyak pendapatannya dan mengizinkan yayasan “grant-making”
mengurangi sampai 5% kewajiban minimum pembagian.
Sebagaimana telah
didefinisikan di atas maka suatu yayasan adalah suatu lembaga/ badan/entitas
non-pemerintah yang didirikan atau dibentuk sebagai perusahaan non-profit atau
lembaga amal, dengan tujuan utama memberikan bantuan kepada organisasi yang tidak serupa,
institusi, atau individu untuk kepentingan ilmiah, pendidikan, budaya, agama,
atau tujuan amal lainnya. Definisi yang luas ini mencakup dua jenis yayasan:
yayasan privat/perdata dan badan-badan pemberi hibah publik (grant-making).
Yayasan perdata/privat mendapatkan uangnya dari keluarga, individu atau suatu
perusahaan.Contoh yayasan perdata/privat adalah Yayasan Ford (Ford
Foundation).Sedangkan badan amal pemberi hibah (kerap disebut pula dengan
“yayasan publik”) mendapatkan bantuan dari berbagai sumber seperti yayasan,
individu, lembaga pemerintah.Contohnya Yayasan untuk Perempuan (Foundation
for Women).Sebagaian besar yayasan kemasyarakatan (community foundation)
adalah juga badan amal grant-makingpublik (badan amal pemberi hibah
publik). [104]
BAB V
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a.
Pada prinsipnya yayasan sebagai badan hukum terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pribadi para pendiri diperuntukan untuk
mencapai maksud dan tujuan pendirian
yayasan. Maksud dan tujuan pendirian yayasan di bidang sosial, keagamaan dan
kemanusia merupakan landasan utama pendirian yayasan sebagai badan hukum.
Pendirian yayasan tidak boleh keluar dari prinsip idiil tersebut, karena
prinsip idiil pendirian yayasan yang membedakan yayasan dengan badan hukum
lainnya, maka yayasan harus berjalan pada koridor prinsip-prinsip idiil
tersebut. Fakta menunjukan bahwa pendirian yayasan oleh para pendiri sangat
dimungkinkan untuk berlindung dibalik status badan hukum yayasan yang tidak
hanya sebagai wadah mengembangkan kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan
kemanusia, melainkan juga bertujuan untuk memperkaya diri pada pendiri,
pengurus dan pengawas. Segala sesuatu yang memotivasi yang bertentangan pada
prinsip idiil yayasan harus diperkuat dengan peraturan yang mengatur.
b.
Penerapan prinsip tata kelola yayasan dengan menempatkan
prinsip transparency, accountability, responsibility, independency dan
fairness, merupakan prinsip dasar
untuk melindungi hak dan kepentingan pihak-pihak pada yayasan,
meningkatkan kemampuan yayasan dalam menjalankan fungsi pendirian yayasan
sebagai badan hukum non profit, meningkatkan efisiensi dan efektifitas para
organ yayasan dari pembina, pengurus, dan pengawas. Serta meningkatkan mutu
hubungan para pihak pada yayasan demi terselenggaranya maksud dan tujuan
yayasan. Tata kelola yayasan sebagai etika
(ethical driven) akan efektif dengan
didukung pada aturan hukum yang jelas.
c.
Pendirian badan usaha yayasan juga harus mengedepankan
untuk tercapainya maksud dan tujuan
yayasan dan pedirian badan usaha yayasan yang memberikan keuntungan pada
yayasan, yang mana keuntungan tersebut sebagai penunjang maksud dan tujuan
yayasan, bukan merupakan tujuan utama pendirian yayasan.
2.
Saran
a.
Sudah seharusnya aturan yang berhubungan dengan yayasan
sebagai mana yang termuat pada UU Yayasan menempatkan prinsip tata kelola yang
baik dengan menempatkan prinsip prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, idenpendensi dan keadilan, maka dibutuhkan perubahan pada UU
Yayasan bisa menjawab semua permasalahan yang ada pada yayasan.
b.
Kedudukan organ pengawas yayasan yang termuat pada
anggaran dasar yayasan tidak dapat
berjalan secara efektif selama ini, karena masih dominannya kedudukan organ
pembina yayasan yang bisa suatu saat memberhentikan kedudukan pengawas pada
yayasan akibat tidak sejalankan antara keinginan pembina dan pengawas. Oleh karena itu sudah sewajarnya membentuk
lembaga pengawas eksternal untuk kepentingan yayasan.
c.
Sudah saatnya pemerintah membentuk lembaga penyelesaian
sengketa yayasan dengan sebutan Badan
Penyelesaian Sengketa Yayasan yang bertugas menyelesaikan sengketa yayasan
diluar tindak pidana, dengan cara-cara non litigasi mengedepankan prinsip
Alternative Despute Resulutian (ADR) yaitu penyelesaian konflik atau sengketa
pada yayasan melalui musyawarah mufakat dengan menghormati hak dan kepentingan
pada pihak-pihak yang bersengketa.
DAFTAR
BACAAN
1.
Buku
Abbas,
Anwar, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, Kerja sama
Multi Pressindo, LP3M STIE Ahmad Dahlan, Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Jakarta, Jakarta, 2008
Adjie,
Habib, Status Badan Hukum Prinsip-Prinsip dan
Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, Mandar Maju, Bandung, 2008.
Adjie,
Habib, dan Muhammad Hafid, Kompilasi
Peraturan Perundang-Undangan Yayasan, Pustaka Zaman, Semarang, 2013.
---------------,
Yayasan, Memahami Pendirian, Perubahan,
pembubaran Yayasan Sebelum dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 16 tahun
2001 tentang Yayasan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2016
Ais,
Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar
Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004
Atmasasmita,
Romli, Hukum Kejahatan Bisnis Teori dan
Praktik di era Globalisasi, Prenada Media, Jakarta, 2014.
---------------,
Globalisasi Kejahatan Bisnis, Prenada
Media, Jakarta, 2010
Ali,
Rido, Hukum Dagang Tentang Aspek-Aspek Hukum dalam
Asuransi Udara, Asuransi Jiwa dan Perkembangan Perseroan Terbatas, Karya
Remadja, Bandung, 1986.
Apeldoorn,
Van L.J, Pengantar Ilmu Hukum,
Pradnya Paraminta, Jakarta, 1976
------------,
Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi,
Yayasan, wakaf, Alumni, Bandung, 1986.
Asshiddiqie,
Jumly, Gagasan Konstitusi Sosial, LP3ES
(Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerapan Ekonomi dan Sosial), Jakarta,
2015.
----------------,
Perihal Undang-Undang, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 20
Amiruddin,
Zainal Asikin, Pengantar Metode
Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012
Ali,
Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal
Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Kencana Prenada Media,
Jakarta, 2010.
Ariman,
Rasyid dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Setara Press, Malang,
2015.
Ali,
Zainuddun, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
2009
Bahari,
Adib, Prosedur Pendirian Yayasan, Suka
Buku, Yogyakarta, 2010
Azheri,
Busyra, Corporate Social Responsibility
Dari Voluntary Menjadi Mandatory, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012.
Bakir,
Herman, Filsafat Hukum, desain dan Arsitektur
Kesejahterahan, Refika Aditama, Bandung, 2009
Badriyah,
Siti Malikhatun, Sistem Penemuan Hukum
dalam Masyarakat Prismatik, Sinar Grafika, Jakarta, 2016.
Bedjaoui,
Muhammed, Menuju Tata Ekonomi Dunia Baru,
Gunug Agung, Jakarta, 1985
Budiarto,
Agus, Kedudukan Hukum Tanggung Jawab
Pendiri Peseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, 2002.
Budianto,
Agus, Delik Suap Korporasi di Indonesia, Karya
Putra Darwati, Bandung, 2012.
Budiono,
Herlien, Ajaran umum Hukum Perjanjian dan
Penerapan di Bidang Kenotariatan,Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011.
--------------,
Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2014.
--------------,Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, Buku Pertama, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2007
--------------,
Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010
---------------,
Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian
Indonesia, Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006
Budiyono,
Tri, Hukum Perusahaan, Telaah Yuridis
Terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Griya
Media, Salatiga, 2011.
Borahima,
Anwar, Kedudukan Yayasan di Indonesia
Eksistensi, tujuan dan Tanggung Jawan Yayasan,
Kencana Prenada Media, Jakarta, 2010
Bruggink
J.J. H, Refleksi Tentang Hukum, alih
bahasa Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke II, 1999
Bogdan,
Michael, Pengantar Perbandingan Sistem
Hukum, Nusa Media, Bandung, 2010
Crump,
David, How to Reason About The Law An
Interdisciplinary Approach To The Foundations Of Public Policy, Lexis
Nexis, 2002.
Davies,
L Paul, and Gower, Principles of modern
Company Law, Sweet Maxwell, London, 1997
Dicey
A.V, Comparative Costitutionalisme, Oxford
University Press, United Kingdom, 2013
Erawati,
Elly, dan Bayu Seto Harjowahono, dan Ida Susanti (Editor), Liber Amicorum untuk Prof. Dr. CFG. Susnaryati Hartono, Beberapa
Pemikiran Tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia, Citra Adiya
Bakti, Bandung, 2011.
Ernawan,
Erni R, Organizational Culture Budaya Organisasi dalm
Perspektif Ekonomi dan Bisnis, Alfa Beta, Bandung, 2011.
Fukuyama,
Francis, The Great Disruption, Hakikat
Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2002.
Fajar,
Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme
Penelitian Hukum Normatif dan Empris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Fauzan
M, Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi
Bidang Hukum Perdata, Prenadamedia, Jakarta, 2014.
Fadjar,
Mukthie, Teori-Teori Hukum Kontemporer, Setara
Press Malang, Malang. 2013
Friedman,
Lawrence M, Sistem hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal
System A Social Science Perpective), Nusa Media, Bandung, 2011.
Fuady,
Munir, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama,
Bandung, 2010.
--------------- Perbuatan Melawan
Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
---------------
Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate
Law dan Eksistensinyadalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2010.
---------------
Hukum Tentang Akuisisi, Take Over dan
LBO, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2014.
----------------,
Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam
Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2013.
Friedrich,
Carl Joachim, Filsafat Hukum Perspektif
Historis, Nusa Media, Bandung, 2010.
Gunawan,
Yopi dan Krisrian, Perkembangan Konsep
Negara Hukum dan Negara Pancasila, Rafika Aditama, Bandung, 2015
Giddens,
Anthony, Kapitalisme dan Teori Sosial
Moderen, Suatu analisi karya tulis Marx, Durkheim dan Max Weber, UIPress,
Jakarta, 2009
Garner,
Bryan A, (Editor In Chief), Black’s Law Dictionary, Ninth Edition (One), A. Thomson Reuters Business, 2009.
Hartono,
C.F.G Sunaryati, Politik Hukum Menuju
Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.
Hadjon,
Philipus M dan Tatiek Sri Djarmiati, Argumentasi
Hukum, Gadja Mada University Press, Yogyakarta, 2011.
Hadjon,
Philipus M, Dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Introduction to the Indonesian
Administrative Law, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2008.
---------------,
Hukum Administrasi dan Good Governance,
Universitas Trisakti, Jakarta, 2012
Harris,
Freddy, Teddy Anggoro, Hukum Perseroan
Terbatas Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi, Ghalia Indonesia, Bogor,
2010
Hamdani,
Good Corporate Governance, Tinjauan Etika
dalam Praktek Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2016
Hamidi,
Jazim dan Mustafa Lutfi, Civic Education,
Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2010.
Hart,
H.L.A, Consept Law, Cintya Press,
Jakarta, 2011.
Hutauruk,
Rufinus Hotmaulana, Penanggulangan
Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Sinar
Grafika, Jakarta, 2013
Hoesein,
Zainal Arifin, Kekuasaan Kehakiman Di
Indonesia, Imperium, Yogyakarta, 2013
Ibrahim,
Johannes, Hukum Organisasi Perusahaan
Pola Kemitraan dan Badan Hukum, Refika aditama, Bandung, 2006.
Ikhwansyah
Isis, Sonny Dewi Judiasih, Rani Suryani
Pustikasari, Hukum Kepailitan Analisis Hukum
Perselisihan dan Hukum Keluarga Serta Harta Benda Perkawinan, Keni Media,
Bandung, 2012
Irianto,
Sulistyowati dan Shidarta, Metode
Penelitian Hukum, Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia, Jakrta,
2009.
Islamy,
M. Irfan, Prinsip-Prinsip Perumusan
Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2007
Indrati
S, Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, fungsi, dan
Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, 2007.
---------------,
Ilmu Perundang-Undangan, Proses dan
Teknik Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 2007.
Jufri,
Muhammad, dan Muhammad Sjaiful, Nomenklatur
Sisten Hukum Indonesia, Komunika, Kendari, 2015.
Kencana,
Ulya, Hukum Wakaf Indonesia Sejarah,
Landasan hukum dan Perbandingan Antara
Huku Barat, Adat dan Islam, Setara Press. Malang, 2017
Kelsen,
Hans, Teori Hukum Murni, Alih Bahasa
Somardi, Rimdi Press, Jakrta, 1995.
----------------,
Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusa
Media, Bandung, 2011.
----------------,
Pengantar Teori Hukum, Nusa Media,
Bandung, 2012.
Kristian,
Hukum Korpo,rasi Ditinjau Dalam The
United Nations Global Compact (Suatu Pengantar), Nuansa Aulia, Bandung ,
2014
----------------,
Sistem Pertanggung Jawaban Pidana
Korporasi di Tinjau Dari Berbagai
Konvensi Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2017
----------------,
Sistem Pertanggung Jawaban Pidana
Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di Berbagai Negara,
Refika Aditama, Bandung, 2016
----------------,
Kejahatan Korporasi di Era Moderen dan
Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Refika Aditama, Bandung, 2016
Khairandy,
Ridwan, Pokok-Pokok Hukum Dagang
Indonesia, FH. UII Press,
Yogyakarta, 2013.
Khairandy,
Ridwan, Perseroan Terbatas, Doktrin
Peraturan Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Total Media, Yogyakarta,
2009.
Khairandy,
Ridwan, dan Camelia Malik, Good Corporate
Covernance, Perkembangan Pemikiran dan Implementasinya di Indonesia dalam
Perspektif hukum, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007.
Kagramanto,
Budi, L, Larangan Persekongkolan Tender
(Perspektif Hukum Persaingan Usaha), Surabaya, 2008.
Kaplan,
Morton A dan Nicholas deb Katzenbach, The Political Foundations of International
Law, Jhon Wiley dan Sons, Inc, 1961.
Kusumohamidjojo,
Budiono, Teori Hukum Dilema Antara Hukum
dan Kekuasaan, Yrama Widya, Bandung,
2016.
Kairupan,
David, Aspek Penanaman Modal Asing di Indonesia, Kencana
Prenadamedia, Jakarta, 2014.
Koesnoe,
Mohammad, Dasar dan Metode Ilmu Hukum
Positif, Airlangga University Press, Surabaya, 2010.
Lapanda,
Yusran, Hibah dan Bantuan Sosial yang bersumber dari APBD, Cakrawala,
Yogyakarta, 2016
Lev, Daniel
S, Lembaga Pengadilan dan Budaya Hukum,
dalam Daniel S. Lev Hukum dan Politik di
Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1990.
Lubis,
Irwansyah, Menggali Potensi Pajak Perusahaan
dan Bisnis dengan Pelaksanaan Hukum, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2010.
Lubis,
T. Mulya dan Richard M. Buxbaum, Peranan
Hukum Dalam Perekonomian Di Negara Berkembang,Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 1986.
Leyh,
Gregory, Hermeneutika Hukum, Nusa
Media, Bandung, 2011.
Lelono,
Guntur Purwanto Joko, Perananan
Pengadilan Negeri dalam Mengatasi Kemactan Penyelenggaraan Rapat Umu Pemegang
Saham, Penerbit Guntur, Yogyakarta, 2004.
Leback,
Karen, Teori-Teori Keadilan, Six Theories
of Justice, Suplemen : Konsep Keadilan dalam Kristen, oleh Hans Kelsen.Nusamedia,
Bandung, 2015
Marbun
S.F, Peradilan Administrasi Negara dan upaya
Administrasi di Indonesia, FH. UII Press, Yogyakarta, 2011.
Mahfud
MD, dkk, Dekonstruksi Gerakan Pemikiran Hukum
Progresif, Konsorsium Hukum Progresif Universitas Diponegoro, Thafa
Media, Yogyakarta, 2013.
Mahfud
MD, Moh, Politik Hukum di Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2009.
----------------,
Membangun Politik Hukum Menegakan
Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010
Mc
Laughlin, Andrew C With an
Introduction by Hendry Steele Commager, Foundations Of American Constitutionalism, The
principles and philosophies which inspires the architects of the American
Constitution, New York University,
1932
Marzuki,
Peter Mahmud, An Intoduction to
Indonesian Law, Setara Press, Malang, 2012
-------------,
Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan ke 4, Kencana Prenada Media,
Jakarta, 2012.
-------------,
Penelitian Hukum, Kencana Prenada
Media, Jakarta, 2008
Manan,
Bagir, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind-Hillco, Jakarta, (tanpa
tahun)
Madjid,
Nurcholish, Indonesia Kita, Gramedia, Jakarta, 2003.
Mas’oed,
Mohtar, Negara, Kapital dan Demokrasi,Pustaka
Pelajar,Yogyakarta, 1998
Meuwissen,
Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori Huku. Dan Filsafat Hukum, Penerjemah Arief Sidharta, Refika Aditama,
Bandung, 2009.
Margono,
Suyud, Badan Hukum Yayasan Dinamika
Praktek, Efektivitas dan Regulasi di Indonesia, Pustaka Reka Cipta,
Bandung, 2015.
Mardikanto,
Totok, Corporate Social Responsibility
(Tanggung Jawab Sosial Korporasi), Alfabeta, Bandung, 2014
Menski,
Warner, Perbandingan Hukum Dalam Konteks
Global Sistem Eropa, Asia dan Afrika, Comparative Law In A global Context, Nusa Media, Bandung, 2012.
Mertokusumo,
Sudikno dan Pitlo, Bab-Bab Tentang
Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti Bekerjasama dengan Konsorsoium ilmu
Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan The Asis Foundation, Bandung,
1993
Mertokusumo,
Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 2007.
-------------,
Teori Hukum, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2012.
-------------,
Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 2007
Mulyoto,
Kriminalisasi Notaris dalam Pembuatan
Akta Perseroan Terbatas, Cakrawala Media, Yogyakarta, 2010
Mulyoto
dan Subekti, Yayasan Sebelum dan Sesudah
Berlakunya Undang-Undang Yayasan dan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun
2008, Cakrawala Media, Yogyakarta, 2011
Murad,
Rusmadi, Administrasi Pertanahan
Pelaksanaan Hukum Pertanahan dalam Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2013.
Muladi,
dan Dwidja Priyatno, Pertanggung Jawaban
Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2012.
Muhjad,
H.M. Hadin, dan Nunuk Nuswardani, Penelitian
Hukum Indonesia Kontemporer, Genta Publishing, Yogyakrta, 2012.
Mostar,
Hermann, Peradilan Yang Sesat, Pustaka
Utama Grafiti, Jakarta, 1987
Naja,
Daeng H.R, Good Corporate Governance Pada
Lembaha Perbankan, Media Presssido dan bank BPD Kaltim, Jakarta, 2007
Nainggolan,
Jogi, Energi Hukum, Sebagai Faktor
Pendorong Efektivitas Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2015.
Nasdia,
Fredian Tonny, Pengembangan Masyarakat,
Kerja Sama Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas
Ekologi Manusia PBB dengan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2015,
Nasution,
Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu
Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008.
Nonet,
Philippe dan Philip Slznick, Hukum
Responsif, Nusa Media, 2010.
Notodisoerjo,
R. Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1982.
Oktoberina,
Sri Rahayu, dan Niken Savitri (Penyunting), Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum,
memperingati 70 tahun Prof. Dr. B. Arief Sidharta, SH, Refika Aditama,
Bandung, 2008
Prasetyo,
Rudhi, Yayasan dalam Teori dan Praktik, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012.
------------,
Teori dan Praktek Perseroan Terbatas, Sinar
Grafika, Jakarta, 2011.
-----------,
Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas
Disertasi Dengan Ulasan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1995
Pound,
Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, Kerja
Sama Jajasan Perbitan Franklin Djakarta New York, 1953
Prasetyo,
Teguh, Pembaharuan Hukum Perspektif Teori
Keadilan Bermartabat, Setara Press, Malang, 2017
Prasetyo,
Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat,
Teori dan ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012.
Patriro,
Yopie Morya Immanuel, Diskresi Pejabat Publik Dan Tindak Pidana
Korupsi, Keni Media, Bandung, 2012.
Prawirohamidjojo,
Mr. R. Soetojo, Dkk., Perkembangan Dan
Dinamika Hukum Perdata Indonesia (Dalam rangka peringatan Ulang Tahun ke 80
Prof. Dr. R. Soeojo Prawirohamidjojo,Lutfansah Mediatama, Surabaya, 2009.
Putra
Kurnia, Hahendra, dan Adi Kusumaningrum, I Made Budi Arsika, (Editor),Ketika Hukum Berhadapan Dengan Globalisasi,
Memperingati HUT ke 54 fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Universitas
Brawijaya Press (UB Press), Malang, 2011.
Panggabean,
H.P, Praktek Peradilan Mengani Kasus Aset
Yayasan (Termasuk Aset Keagamaan) Dan Upaya Penanganan Sengketa Melalui
Alternatrif Peneye lesaian Sengketa, Jala Permata, Jakarta, 2012.
---------------,
Penegakan Hukum Menangani Aset
Yayasan, Jala Permata, Jakarta, 2017
Poesoko,
Herowati, Parate Parate Executie Obyek
Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam
UUHT), LaksBang,Yogyakarta, 2007
Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan
Praktek, Pustaka Grafika, Bandung,
1999.
Puwosutjipto,
H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang
Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992.
Prodjodikoro,
Wirjono, Hukum Perkumpulan, Perseroan dan
Koperasi di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1969
Pramono,
Nindyo, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual,
Don’t Put All Eggs in One Basket, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
-------------,
Hukum Perseroan Terbatas Go Public dan
Pasar Modal, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2013.
Putro,
Widodo Dwi, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme hukum, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2011.
Plano,
Jack C, Robert E, Riggs dan Helena S. Robin, Kamus Analisa Politik, Rajawali, Jakarta, 1985.
Posner,
Richard A, Reflections on Judging, Harvard University Press, 2013.
Rido,
Ali dan Achmad Gozali, Himpunan Peraturan Perundangan Hukum Dagang
Dalam Perkembangannya, Tentang Perusahaan, Bentuk Badan Usaha, Hak Milik
Perindustrian, Karya Remadja, Bandung, 1984
Rahardjo,
M. Dawam, (Editor), Kapitalisme, Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta,
1987.
Riff,
Michael A (editor), Kamus Ideologi
Politik Moderen, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.
Rahayu,
Muji Kartika, Sengketa Mazhab Hukum,
Sistesis Berbagai Mazhab dalam Pemikiran Hukum, Kompas, Jakarta, 2018.
Raharjo,
Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2006.
------------, Hukum dan Perilaku Hidup Baik Adalah Dasar
Hukum Yang Baik, Kompas, Jakarta, 2009
Ridwan
HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2011.
Rasuanto,
Bur, Keadilan Sosial Pandangan
Deontologis Rawls dan Habermas Dua Teori Filsafat Politik Modern, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2005.
Ricoeur,
Paul, Teori Interprestasi, Memahami Teks,
Penafsiran dan Metodologinya, Ircisod, Yogyakarta, 2012.
Rasjidi,
H. Lili dan I.B Wyasa Putra, Hukum
Sebagai Suati Sistem, Mandar Maju,
Bandung, 2003.
Rasjidi,
H. Lili dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar
Filsafat dan Teoro Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.
Rasjidi,
Lili, Filsafat Hukum, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1993.
Rahardjo,
Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2008.
Riedel,
Eibe, Gilles Ciacca, and Christophe Golay (Edited), Economic, Social, and Cultural
Rights In International Law, Contemporary Issues and Challenges, Oxford University
Press, 2014.
Saidi,
Muhammad Djafar, Hukum Keuangan Negara, Raja
Grafindo Persada, jakarta, 2008.
Sitompul,
Manaham MP, Hukum Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan di Dalam dan di
Luar Proses Pengadilan, Setara Press, Malang, 2017
Sembiring,
Sentosa, Hukum Perusahaan Tentang
Perseroan Terbatas, Nuansa Aulia, Bandung, 2012.
Sukardi,
Akhmad, Participatory Governance, Laks
bang Pressindo, Yogyakarta, 2009,
Shidarta,
(Editor) Dkk (Kontributor), Mochtar Kusuma Atmadja, dan Teori Hukum
Pembangunan, Epsitema Institute, Jakarta, 2012.
Sidharta,
Bernard Arif, Refleksi Tentang Struktur
Ilmu Hukum, Sebuah Penellitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keiilmuan
Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar
Maju, Bandung, 2009.
Sjawie,
Hasbullah F, Direksi Perseroan Terbatas
serta Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, Citra Aditya bakti, Bandung,
2013,
Salman,
Otje, dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum,
Refika Aditama, Bandung, 2013.
Seers,
Dudley, Arti Pembangunan, Buku Amir
Efenddu Siregar..ed, Arus Pemikiran Politik, Esai-Esai Terpilih, Tiara
Wacana, Yogyakarta, 1992
Siahaan,
Pataniari, Politik Hukum Pembentukan
Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945, Konpress, Jakarta, 2012.
Surya,
Indra dan Ivan Yustiavandana, Penerapan
Good Corporate Governance, Mengesampingkan
Hak-Hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha,Kerja sama dengan Lembaga
Kajian Pasar Modak dan Keuangan (LKPMK) Fakltas Hukum Universitas Indonesia
dengan Kencana Prenada Media, Jakarta, 2008.
Sedarmayanti,
Good Governance Kepermerintahan Yang Baik
dan Good Corpotate Governance, Bagian Ketiga Edisi Revisi, Mandar Maju,
Bandung, 2012.
Sugianto,
Fajar, Economic Analysis Of Law, Seri
Analisis Ke Ekonomian Tentang Hukum, Seri I Pengantar, Editor Ahli Yahman,
Kencana Prenata Media, Jakrta, 2013.
Saifullah,
Refleksi Sosiologi Hukum, Refika
Aditama, Bandung, 2007.
Sandjaja,
Bernardus, Pengantar Membangun Teori
Penelitian Merajut Kesangsian Menggapai Kebenaran, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta, 2015.
Sulistiowati,
Aspek Hukum dan Realitas Bisnis
Perusahaan Grup di Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2010.
Syamsudin,
M, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Syaukani,
Imam, A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar
Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Suharto,
Membedah Konflik Yayasan Menuju
Konstruksi Hukum Bermartabat, Cakrawala Media, Yogyakarta, 2009.
Supramono,
Gatot, Hukum Yayasan di Indonesia, Rineka
Cipta, Jakarta, 2008.
Susanto,
AB, Dkk, Reformasi Yayasan Perspektif
Hukum dan Manajemen, Andi Offset, Yogyakarta, 2002.
Sibuea,
Hotma P, Asas Negara Hukum Peraturan
Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Erlangga,
Jakarta, 2010.
Simanjuntak,
Cornelius, Hukum Merger Perseroan Terbatas, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2004.
Simanjuntak,
Cornelius dan Natalie Mulia, Organ
Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Simanjuntak,
Cornelius dan Natalia Mulia, Merger
Perusahaan Publik, Suatu Kajian Hukum Korporasi, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006.
Sopandi,
Eddi, Beberapa Hal dan Catatan Berupa
Tanya Jawab Hukum Bisnis, Refika Aditama, Bandung, 2003.
Salim, Hukum Investasi di Indonesia, Rajawali
Pers, Jakarta, 2008
Shofia,
Yusuf, Tanggung Jawab Pidana Korporasi
Dalam hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2011.
Syahrani,
H. Riduan, Kata-Kata Kunci Mempelajari
Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2009.
Sugianto,
Fajar, Economic Analysis Of Law, Kencana
Prenada Media, Jakrta, 2014
Soenarko,
Public Policy, Pengertian Pokok Untuk
Memahami Dan Analisa Kebijakasanaan Pemerintah, Airlangga Iniversity Press,
Surabaya, 2005.
Salim
HS, dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan
Teori Hukum pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2013.
Saul,
Daniel Lev
Syamsuddin,
Aziz H, Proses dan Teknik Penyusunan
Undang-Undang, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
Sugianto,
Fajar, Economica Approach to Law, Kencan
Prenada Media, Jakarta, 2013.
Sutiyoso,
Bambang, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum
Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakrta, 2007.
Soenarko,
Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah
Berdasarkan Prinip-Prinsip Good Financial Governance, Airlangga University
Press, Surabaya, 2005
Susilo,
J Leo dan Karlen Simarmata, Good Corporate Governance pada Bank, Hikayat Dunia,
Bandung, 2007
Sumantoro,
Hukum Ekonomi, Universitas Indonesia
Press, Jakarta, 1986.
Santoso,
H.M Agus, Hukum, Moral dan Keadilan, Kencana
Prenada Media, Jakarta, 2012.
Soemitro,
Rochmad, Penuntun Perseroan Terbatas
dengan Undang-Undang, Pajak Perseroan, Eresco, Jakarta.
Soekardono
R, Hukum Dagang Indonesia, Rajawali
Pers, Jakarta, 1961
Turner,
Bryan S, Teori Sosial Dari Klasik Sampai
Pastmodern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012.
Thoha,
Mifta, Perilaku Organisasi Konsep Dasar
dan Aplikasinya, Raja Grafindo Perssada, Jakarta, 2012.
Tanya,
Bernard, Yoa N. Simanjuntak, markus Y. Hage, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV.
Kita, Surabaya, 2007.
Tumbuan,
Fred BG, Himpunan Kajian Mengenai
Beberapa Produk Legislasi dan Masalah Hukum di Bidang Hukum Perdata,
Gramedia, Jakarta, 2017
Tutik,
Titik Triwulan, Pengantar Ilmu Hukum, Perestasi
Pustaka, Jakarta, 2006.
Tobing,
GHS. Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Erlanga,
Jakarta, 1983
Wahyono,
Boedi L, dan Suyud Margono, Hukum Yayasan
Antara Fungsi Kariatif atau Fungsi Sosial, Novindo Pustaka, Jakarta, 2001
Winardi,
Teori Organisasi Pengorganisasian, Raja
Grafindo Perssada, Jakarta, 2014.
Wisnubroto,
AL, Quo Vadis Tatanan Hukum Indonesia, Universitas
Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010.
Widagdo,
Setiawan, Kamus Hukum, Prestasi
Pustaka, Jakarta, 2012.
Wijoyo,
Suparto, Laku Lika-Liku Ilmu Hukum, Airlangga
Universsity Press, Surabaya, 2005
Widjaja,
Gunawan, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis,
Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma, dan Persekutuan Komaditer, Prenada Media,
Jakarta, 2006.
Widjaja,
I.G. Rai Widjaja, Hukum Perudahaan
Perseroan Terbatas, Khsusu Pemahaman Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, Megapoin,
Jakarta, 1996.
Untung,
Budi, Hukum Koperasi dan Peran Notaris
Indonesia, Andi Yogyakarta, Yogyakarta,
2005.
Yunara,
Edi, Korupsi dan Pertanggung Jawababan
Pidana Korupsi Berikut Studi Kasus, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012.
Zweigert,
Konrad and Hein Kotz, Intoduction to
Comparative Law, Clarendon Press Oxford, 1998.
2.
Artikel, Jurnal, Makalah
Ahmad
Mubariq, Gerakan Ornop Lingkungan di
Indonesia, Jentera, Edisi 13 Tahun III Juli-September 2006
Anugerah,
Dian Purnama dan Yuniarti, Implementasi
Prinsip Transparansi dalam Good Corporate Governance melalui Peraturan Presiden
(Perpres) No. 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara Diperoleh dari Industri Ekstraktif,
Yuridika, Volume 25, No. 1, Januari –April 2010
Boatright, R. John, Shareholder Fiduciary Dutues and
Management Relation, Or, What, s so Special About Shareholders, Business Ethics
Quarterly, Volume 4 Issue, 1994
Dewi,
Yetty Komalasari, Analisis dan Evaluasi
Peraturan Perundang-Undangan Tentang Yayasan, Pusat Perencanaan Pembangunan
Hukum Nasional, Kementrian Hukum dan HAM RI, 2013
Fauzan,
Filsafat Hermeneutika Sebagai Metode Penemuan
Hukum Yurisprudensi, Varia Peradilan No. 290 Januari 2010, Ikatan Hakim
Indonesia, Jakarta
Haris,
Freddy, Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang Efektifitas Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2001 tentang Yayasan Sebagaimana di Ubah dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan dalam Mewujudkan Fungsi Sosial, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementrian Hukum dan HAM RI, 2012
Hadjo, Philipus M, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 dan 6, tahun XII,
September-Desember 1997
-----------,
Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsip
Penangganan oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan
Peradilan Administrasi, M2Prins, Surabaya, 2007
Manan,
Bagir, Tantangan Pembangunan Hukum Di
Indonesia , Varia Peradilan, No. 344 Juli 2014, Ikatan Hakim
Indonesia, Jakarta
Partogi,
Potak, Questioning the Rule of NGOs and
Donor Countries, Jentera, Edisi 13, Tahun III, Juli – Sepetember 2006
Simamora,
Yohanes Sogar, Karakteristik, Pengelolaan
dan Pemeriksaan Badan Hukum Yayasan di Indonesia, Rechtsvinding, Volume 1, Nomor 2, Agustus
2012.
------------,
Prinsip Transparansi Dan Akuntabilitas
dalam Kontrak Pemerintah di Indonesia, Pidato Guru Besar, Universitas
Airlangga, Surabaya, 2008.
Subiharta,
Ultra Vires dan Godd Coporate Governance dalam Perspektif UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas, Varia Peradilan, No.294 Mei 2010.
Syawie,
Hasbula F, Aspek-aspek Hukum Mengenai
Yayasan di Indonesia, Varia Peradilan, Tahun IX, No. 98 November 1993
Syakhroza,
Akhmad, Corporate Governance Sejarah dan
perkembangan Teori, Model, dan Sistem Governance serta Aplikasinya pada
Perusahaan BUMN, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, Pada Tanggal 5 Maret 2005, Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia. Depok, 2005
--------------,
Model Komisaris Untuk Effektivitas GCG di
Indonesia, Majalah Usahawan Indonesia, No. 05, Vol XXXIII, 2003
--------------,
Mekanisme Pengendalian Internal dam Melakukan
Asssessment terhadap Pelaksanaan Good Corporate Governance, Majalah
Usahawan Indonesia, No. 08, Vol XXXI, 2002
Santoso,
Mas Achamd, Lembaga Donor Perlu Mendengar
Keluhan NGO, Jentera, Edisi 13 Tahun III Juli - September 2006
Toha,
Suherman, Penelitian Hukum Tentang Perbandingan Tujuan dan Pola Kerja Yayasan
di Beberapa Negara dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Kementrian Hukum dan HAM RI, 2012
Wignjosoebroto,
Soetandyo, Tentang Teori, dan Paradigma
dalam Kajian Tentang Manusia, Masyarakat dan Hukum (Tulisan tanggal dan tahun tidak ditemukan)
Zainal
Fanani, Ahmad, Hermeneutika Hukum Sebagai
Metode Penemuan Hukum dalam Putusan Hakim, Varia Peradilan No. 297 Agustus
2010, Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta
3.
Laman Internet
Tempo.com, tanggal
17 Maret 2017
https://seword.com/umum/sejarah-kongkalikong-soeharto-dan-yayasan-supersemar-Penyelewengan-uang-negara-rp-44-t-melebihi-mega-korupsi-ektp-BJOdclZ9G
https://www.viva.co.id/berita/nasional/660744-sejarah-yayasan-supersemar-dan-kasusnya
http://memeymonica.blogspot.com/2017/04/organisasi-non-profit-di-barat-dan_27.html
http://www.apb-group.com/rujukan-gcg-dan-prinsip-tarif
http://www.markijar.com/2015/05/sejarah-lengkap-organisasi-budi-utomo.html
http://www.sarisejarah.com/2014/03/sejarah-pergerakan-nasional-sejarah_12.html
https://www.stiftungen.org/en/association-of-german-foundations.html
https://uwiiii.wordpress.com/2009/11/14/kasus-enron-dan-kap-arthur-andersen
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f39a969cc3ef/direksi-bank-mutiara-jadi-tersangka-kasus-century
https://uwiiii.wordpress.com/2009/11/14/kasus-enron-dan-kap-arthur-andersen
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f39a969cc3ef/direksi-bank-mutiara-jadi-tersangka-kasus-century
http://www.artikelsiana.com/2015/09/voc-pengertian-sejarah-hak-istimewa.html
https://tyosetiadilaw.wordpress.com/tag/teori-pengakuan
https://m,detik.com.>finance>moneter
https://m.
Detik.com, tanggal 2 November 2017, 23.24
Wib
https://www.viva.co.id/berita/nasional/660744-sejarah-yayasan-supersemar-dan-kasusnya
https://seword.com/umum/sejarah-kongkalikong-soeharto-dan-yayasan-supersemar-penyelewengan-uang-negara-rp-44-t-melebihi-mega-korupsi-ektp-BJOdclZ9G
[1]Artidjo
Alkostar, M. Sholeh Amin, Pembangunan
Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Rajawali Pers, Jakarta,
1986, h. IX
[2]Muji Kartika
Rahayu, Sengketa Mazbab Hukum,
Kompas, Jakarta, h. 17
[3]Habib Adjie,
Muhammad Hafidh, Kompilasi Peraturan
Perundang-undangan Yayasan, Pustaka Zaman, 2013., h. 12
[4]Bruce r.
Hopkins, Jody Blazek, The Legal Answer
Book For Private foundation, Simultaneously in Canada, 2002, h. 1
[5]Herlien
Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum
Keperdataan di Bindang Kenotariatan, Citra aditya Bakti, 2007, h. 61.
[6]Yohanes
Sogar Simamora, Karakteristik,
Pengelolaan Dan Pemeriksaan Badan Hukum Yayasan di Indonesia, Jurnal
Rechtsvinding, Media Pembina Hukum Nasional, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012, h.
177
[7]Bagir Manan,
Judul tulisan Kembali ke Politik
Pembangunan Hukum Nasional, dimuat pada Liber Amicorum untuk CFG. Sunaryati
Hartono, Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, h. 107
[8]Tristam P.
Moeliono, Judul tulisan Perlukah Kita
Mempertanyakan Kembali Gagasan Unifikasi Hukum Nasional, dimuat pada Liber Amicorum untuk CFG.
Sunaryati Hartono, Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, h. 127
[10]Munir Fuady,
Teori-Teori (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana,
Jakarta, 2013, h. 245
[12]Akhmad
Syakhroza, Corporate Governance, Sejarah dan Perkembangan Teori, Model dan
sistem Governance serta Aplikasinya pada Perusahaan BUMN (Pidato Pengukuhan
Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi Iniversitas Indonesia), Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, h. 17
[13]Akhmad
Syakroza, Mengkaji Tiga Pillar Good
Corporate Covernance, Koran Bisnis Indonesia, 11 Juli 2002, h. 5
[14]Akhamd
Syakroza, Corporate Governance, Sejarah dan Perkembangan Teori, Model dan sistem
Governance serta Aplikasinya pada Perusahaan BUMN, Op. Cit, h.18
[16]Akhamd
Syakroza, Corporate Governance, Sejarah
dan Perkembangan Teori, Model dan sistem Governance, Op. Cit, h. 98
[17]Akhamd
Syakroza, Corporate Governance, Sejarah dan Perkembangan Teori, Model dan sistem
Governance, Op. Cit. h. 99
[18] Bernard Arif Sidarta, Penelitian Hukum Normatif Analisis
Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal (tulisan) buku Metode Penelitian
Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor, Jakarta., h. 142-143
[19]Peter Mahmud
Marzuki, Penelitian Hukum, Kecana
Prenada Media, Jakarta, 2008, h. 26ara
[20]Peter Mahmud
Marzuki, op.cit, h. 119
[21]A. Hamid S. Attamimi, Judul :
Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia, , disunting oleh
Oetojo Sesman dan Alfian dimuat pada buku Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang, Bp.7, Jakarta, 1992, h. 63
[22]Ibid, h. 145
[29]Suyud Margono, Badan Hukum Yayasan Dinamika Praktek,
Efektivitas dan Regulasi Di Indonesia, Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2015.,
h. 1-2.
[30]
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia
Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2007., h. 5
[31] Soetandyo Wignjosoebroto,
Mochtar Kusuma Atmadja: Manusia yang
Pernah Saya Kenal dan Pemeikirannya (sebuah pengantar) buku
Mochtar Kusuma Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan, Eksstensi dan
implikasi, Epstemas Institute, 2012, h.XVIII
[33]Philipus M. Hadjon, Perlindungan Bagi Rakyat di Indoensia,
Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsip, Penangganan oleh Pengadilan Dalam
Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, M2Print,
2007, Surabaya., h. 2
[34]Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, YURIDIKA, No. 5 &
6, Tahun XII, September – Desember, 1997, h. 1
[35]Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Rajawali Press, 2006, h. 100.
[36] Rudhi Prasetya, Yayasan Dalam Teori dan Praktek,Sinar
Grafika, Jakarta, 2012, h. 10
[37] H.P Panggabean, Praktek Peradilan Menangani Kasus Aset
Yayaasan (Termasuk Aset Keagamaan) Dan Upaya Penanganan Sengketa Melalui
Alternatif Penyelesaian Sengketa, Edisi Revisi 4, Permata Aksara, Jakarta,
2012, h. 4
[39] Ibid., h. 63
[40] Ibid, h. 92
[41] Erni R. Ernawan, Organization Culture, Budaya Organisasi
dalam Perspektif Ekonomi dan Bisnis, AlfaBeta, Bandung, 2011, h. 16.
[42] Ibid, h. 17
[43] Mifta Thoha, Loc.Cit.
[45] Miftha Thoha, Op.Cit, h. 81
[47] Erni R. Ernawan, Op. Cit, h. 29
[48] J. Winardi, Op.Cit, h. 9
[49]Bernard L.
Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Haga, Op.
Cit, h. 54
[51] Ibid, h. 19
[52]Tri
Budiyono, Op. Cit., h 1-3
[54]Yetty
Komalasari Dewi (Ketua Kelompok Kerja) Analisis
dan evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Tentang Yayasan, Pusat
Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementriaan Hukum Dan HAM RI, 2013, h-34-35
[55]Pasal 1 angka 1 UU Yayasan
[56]Martin Roestamy, Asas-asas Hukum Badan Usaha Bukan
Badan Hukum (Tulisan tidak ada tanggalnya)
[57] Habib Adjie dan Muhammad Hafidh,
Op. Cit., h. 33
[58] Habib Adjie, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan
tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, Mandar Maju, Bandung, 2008,
h. 9
[60]Ibid, h. 12
[61] Ibie. h. 10
[62] Ali Rido Op.Cit.,
h. 34
[63]Agus
Budiarto Op.Cit., h. 43
[64] Agus Budiarto, Op. Cit, h. 29
[67] Bryan A. Garner (Editor in
Chief), Blacks Law Dictionary, Ninths
edition, A Thomson Reuters Business,
2009
[68] Rudi Prasetyo, Op. Cit. h. 61
[69] Sri Redjeki Hartono, Kata Pengantar pada buku Dasar-Dasar Good
Corporate Governance, karangan Muhammad Shidqon Prabowo, UII Press,
Yogyakata, 2018., h. v
[72] H.R, Daeng Naja, Good
Coporate Governance Pada Lembaga Perbannkan, MedPress, Yogyakarta, 2007,
h. 22
[73] Hamdani, Good Corporate Covernance , Di Tinjau Etika dalam Praktek, Mitra
Wacana Media, Jakarta, 2016, h. 1-5
[75]Hamdi, Op.Cit, h. 74
[78] Freddy Haris, Teddy Anggoro, Hukum Perseroan Terbatas Kewajiban Pemberian
oleh Direksi, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2010, h. 37
[80] Suyud Margono, Op. Cit., h. 72
[81] Pasal 3 ayat 1 UU
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
[82] Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
[83]Anton Poniman Cs, Indonesia Negara Merdeka yang Terjajah, Founding Fathers House, Jakarta,
2015, h. 61
[84] Tempo.com, tanggal 17 Maret 2017
[85]Anton
Poniman Cs Op.Cit, h. 77
[86] Pejelasan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan
[87] Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2001 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2001
[90]Suharto, Op.Cit,
h. 79
[93] Ibid, h. 16
[94]https://seword.com/umum/sejarah-kongkalikong-soeharto-dan-yayasan-supersemar-penyelewengan-uang-negara-rp-44-t-melebihi-mega-korupsi-ektp-BJOdclZ9G
[95] https://www.slideshare.net/KartikaNindriaPertiw/analaisis-universitas-trisakti-dengan-yayasan-trisakti-thoby-mutis
[96] Daniel S. Lev, Lembaga
Pengadilan dan Budaya Hukum, dalam Daniel S. Lev Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES,
Jakarta, 1990, h. 161
[97] Yetty Komalasari (Ketua Kelompok Kerja) Analisis dan Evaluasi Peraturan
Perundang-Undangan Tentang Yayasan, Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum
Nasional Kementrian Hukum Dan HAM RI, Jakarta, 2013, h. 59
[101] Seherman Toha, Penelitian
Hukum Tentang Perbandingan Tujuan Dan Pola Kerja Yayasan di Beberapa Negara dan
Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Kementrian Hukum Dan HAM RI, Jakarta, h.4
Komentar
Posting Komentar