MK Melalui Perppu
WAJAH MK MELALUI PERPPU
Tertanggapnya Akil Mochtar sebagai
Ketua MK melalui proses tertangkap tangan oleh KPK, menimbulkan polemik yang sangat kuat, saat
Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil langkah-langkah yang sangat
strategis untuk menyelamatkan wajah MK, yang saat ini, sudah dipandang tidak
kredibel di mata masyarakat. Memang, akan menimbulkan pro dan kontra saat
pemerintah mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang).
Namun, cara inilah yang dipandang oleh SBY lebih efektif untuk menyelamatkan MK
untuk segera lebih kredibel sebagai lembaga yang berfungsi menjaga nilai-nilai
tegaknya hukum dapat berjalan dengan baik.
Dikeluarkanya Perppu mengenai MK ini
melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Perubahan Kedua atas UU Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi atau lebih dikenal sebagai Perppu MK. Wajar
akan mendapatkan apresiasi pro dan kontra dikalangan pemerhati hukum, dengan
pertanyaan yang sangat mendasar apakah Perppu ini akan menjadi cara yang sangat
efektif untuk mengembalikan keredibel MK ? Ada tiga hal utama yang menjadi perubahan
sebagai mana yang ada pada UU MK sebelumnya. Yaitu melalui mekanisem yang ada dengan
adanya penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi, memperjelas
mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi, serta melakukan
pengawasan hakim konstitusi. Dari ketiga hal tersebut, terdapat beberapa poin penting
yaitu adanya persyaratan hakim konstitusi, disebutkan bahwa tidak menjadi anggota partai politik dalam
jangka waktu paling singkat 7 tahun.
Sedangkan pada proses penjaringan dan pemilihan disebutkan bahwa Komisi
Yudisial (KY) membentuk panel ahli yang
mengatur tata cara dan uji kelayakan hakim konstitusi, disamping panel ahli
tidak boleh menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 5
tahun. Untuk pengawasan terhadap MK sendiri disebutkan bahwa MK bersama KY akan
membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat tetap, dimana
keanggotaan Majelis Kehormatan tersebut yang
diisi dari orang-orang yang memilki kemampuan dan kecakapan baik yang berasal
dari satu hakim konstitusi, satu orang praktisi hukum, dua orang akademisi yang
memilki latar belakang bidang hukum dan satu orang tokoh masyarakat. Dimana
proses mekanisme tersebut Majelis Kehormatan MK melaksanakan proses sidang
secara terbuka yang memilki keputusan bersifat final dan mengikat. Walaupun
sebagian pengamat juga memiliki pandangan berlainan terhadap Perppu ini.
Pembentukan Perppu ini merupakan salah
satu cara untuk menyelamatkan lembaga MK pasca tertangkapnya Ketua MK. Dimana
MK sebagai lembaga mempunyai kewenangan sangat strategis untuk menjaga konstitusi
negara, pengawal demokrasi, dan menegakan pilar negara hukum.
Pembentukan Perppu sebagaimana yang
ada selalu dilatar belakangi adanya permasalahan pada UU yang mengatur,
misalnya MK diatur melalui UU Nomor 24 Tahun 2003. Dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945,
disebutkan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Pasal 22 ayat
1 ini, memang disebutkan bahwa Perpu dikeluarkan dalam keadaan “ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana
terbaca. Pemahaman terhadap kegentingan yang memaksa tersebut memang berada
pada ranah otoritatif pemerintah melalui Presiden untuk menilainya, karena pemerintah punya pemahaman untuk itu.
Diskusi tentang tafsir dan pemahaman yang ada perihal “kegentingan dan situasi
yang memaksa”, selalu diapresiasi berbeda, dengan sudut pandang juga berbeda.
Maka diskusi ini tidak akan selesai sesaat.
Yang jelas Perppu ini telah
dikeluarkan yang nantinya akan diminta persertujuannya melalui lembaga
legislatif atau DPR. Jika Perppu ini pada akhirnya tidak mendapatkan
persetujuan DPR, maka Perpu harus dicabut sebagaimana dimaksud pada Pasal 22
UUD 1945.
KEKUASAAN
KEHAKIMAN
Kekuasaan kekahakiman melalui
pandangan kekuasaan Mahkamah Konstitusi harus selalu difungsikan sebagai justice dispenser, idepedence dan accountability, sehingga lembaga
kekuasan Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga yang berwibawa dan mandiri. Karena salah satu ciri negara hukum adalah
adanya lembaga peradilan sebagai perwujudan dan kekuasaan kehakiman yang bebas
dan tidak memihak. Dimana kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
secara normative telah diatur dalam konstitusi sebelumnya. Pada UU 1945 di atur pada Pasal 24
ayat (1), Konstitusi RIS diatur dalam Pasal 145 ayat (1) dan UUD Sementara 1950
diatur dalam Pasal 103. Dalam perspektif substantive, keempat konstitusi
tersebut menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman itu harus bebas dan tidak
memihak, Dimana perwujudan kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
selalu bertautan dengan kemauan politik dalam menempatkan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini berarti hukum dan kekuasaan
senantiasa memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi.
Hal ini dapat dipahami bahwa disatu
pihak hukum dalam suatu negara hukum adalah sebagai landasan kekuasaan dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, tetapi dilain pihak
hukum juga merupakan prodak kekuasaan. Pemahaman terhadap hukum sebagai
landasan kekuasan, berarti segala kekuasaan negara yang lahir diatur oleh hukum
dan dijalankan berdasarkan atas hukum. Sehingga hukum ditempatkan pada posisi lebih
tinggi (supremacy of law). Disisi
lain, hukum juga merupakan prodak kekuasaan, berarti setiap prodak hukum
merupakan hasil dari interaksi politik yang memerlukan adanya komitmen politik.
Sebagaimana yang pernah diungkapkan Prof, Moh. Mahfud, menyebutkan adanya kecendrungan bahwa prodak
hukum selalu bergantung pada format politik atau Konfigurasi poliitk.
Apakah prodak Perppu yang dikeluarkan
Presiden terhadap MK ini, merupakan konfigurasi perkembangan politik saat ini ?
Atau mamang murni pada pijakan tertinggi
dari pemerintah untuk memandang secara cepat permasalahan di tubuh MK harus
segera dituntaskan. Karena selama ini lemahnya penegakan hukum tercermin dari
hasil prodak hukum yang dikeluarkan,
tidak terkecuali mutu putusan yang dikeluarkan MK karena lemahnya kekuasaan
kehakiman dalam hal ini MK dalam menjalankan fungsinya sebagai institusi
penegak hukum yang menjunjung tinggi sebagai supermasi hukum itu sendiri. Jika
ini memang tertatam pada pungawa dari hakim-hakim MK atau para hakim lainnya, tidak
mungkin kasus-kasus yang melecehkan wibawa penegakan hukum negara akan terjadi.
Kasus
Akil Mochtar ini, dapat dijadikan pembelajaran bagi kita semuanya. Ibarat
bangunan hukum yang telah didirikan bertahun-tahun runtuh sesaat tiupan angin.
Akil Mochtar tidak memikirkan, bahwa gagasan pembentukan lembaga Mahkmah
Konstitusi tidak lain merupakan dorongan dalam penyelenggraan kekuasaan dan
sistem ketatanegaraan Indonesia agar lebih baik lagi. Ada empat hal yang melatar
belakangi dan menjadi pijakan dalam pembentuk lemabaga MK itu sebagaimana yang
pernah disampaikan Fakturohman, et al
dalam buku Memahami keberadaan Mahkmah
konstitusio di Indonesia, yaitu
sebagai implikasi dari pemahaman konstitusi, mekasnisme check and balance, pelenggaraaan Negara
yanmg bersih dan penerapan prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap hak
asasi manusia.
Namun
kembali pada tafsir konstitusi, Presiden sebagai penanggung jawab tertinggi
kekuasaan pemerintahan telah mengambil langkah-langkah taktis walupun tidak
memenuhi keinginan semua pihak terhadap
diterbitkannya Perppu mengenai MK. Rasa puas dan tidak puas hanya
menjadi bagian sejarah kebangsaan yang ada saat ini. Semoga MK segera membenah
dirinya dengan kekuasaan yang dia
miliki, bukan bagian politik kekuasaan untuk kepentingan sesaat.
Bambang Syamsuzar
Oyong
Notaris-PPAT
Banjarmasin
Komentar
Posting Komentar