DAPATKAH AKTA NOTARIS TERDEGRADASI MENJADI AKTA DI BAWAH TANGAN
DAPATKAH AKTA
NOTARIS TERDEGRADASI
MENJADI AKTA DI
BAWAH TANGAN
Dalam suatu tulisan yang pernah saya baca
atau yang pernah saya dengar, dari seseorang pembicara pada seminar mengenai
kedudukan akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dalam
menjalankan jabatannya, selalu terucapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh
Notaris jika tidak sesuai sebagai mana
yang ditetapkan oleh aturan yang berlaku, baik syarat formal dan meteril maka
akta tersebut berubah kedudukannya menjadi akta dibawah tangan atau kalimat
yang sangat sering terucapkan akta tersebut terdegradasi menjadi akta di bawah
tangan.
Seolah kalimat tersebut menjadi pembenar adanya, tanpa
melakukan kajian secara utuh. Bagi saya kalimat ini sangat mengganggu dalam
kedudukan saya dan rekan-rekan sendiri dalam menjalankan jabatan sebagai
seorang Notaris.
Saya akan coba berdikusi dengan rekan-rekan
semua, dengan memberikan pertanyaan apa yang menjadi parameter akta tersebut
turun derajatnya menjadi akta dibawah tangan ? Dapatkan akta tersebut seketika
itu menjadi akta dibawah tangan ? Masih banyak pertanyaan lain sehubungan akta
otentik menjadi akta di bawah tangan.
Saya mengkondiskan bahwa kalimat yang
dipakai oleh rekan-rekan pembicara atau dalam pembicaraan non formal lainnya
dengan menempatkan akta otentik berubah menjadi akta dibawah tangan tidak dalam
kapasitas yang utuh mengkaji atau menilai akta-akta yang dibuat oleh Notaris
seolah-olah akta tersebut seketika itu berubah kedudukannya menjadi akta dibawah
tangan tanpa melakukan kajian yang menurut aturan yang berlaku. Pada hal, yang
dikatakan akta otentik sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1868 BW adalah suatu akta
yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu di tempat akta itu
dibuat.
Ketentuan
Pasal 1868 BW ini telah menjadi defisi umum jika membicarakan apa yang
dinamakan akta otentik. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 165 Het
Herziene Indonesisch Regelemnt (HIR) atau disebut juga sebagai Regelemen
Indonesia yang diperbaharui disingkat RIB, menyebutkan suatu akta
otentik apabila memenuhi 3 (tiga) peryaratan,
yaitu :
1. Dibuat oleh atau
dihadapan pejabat umum;
2. Dibuat dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;
3. Pejabat umum
yang oleh siapa pembuatan akta harus memiliki kewenangan untuk itu ditempat
dimana akta dibuat.
Syara-syarat
tersebut di atas bersifat kumulatif. Oleh karenanya, suatu akta yang dibuat
tanpa memenuhi salah satu dari syarat-syarat tersebut, tidak dapat diakui
sebagai akta otentik, maka akta tersebut otomatis masuk pada kategori akta di
bawah tangan.
Sedangkan yang dimaksud akta di bawah tangan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 1974 ayat (1) BW atau menurut ketentuan Pasal 286 Regelement
tot Regeling Van Het Rechtswezen in de Gewesten Java en madura, atau
dikenal dengan sebutan Reglement Buitengwesten (Rbg),
menyebutkan bahwa akta di bawah tangan yaitu akta yang ditandatangai dan yang
dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum. Namun akta di bawah tangan ini, meskipun
dibuat tanpa perantara pejabat umum, akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan
akta otentik, kecuali kekuatan pembuktian lahiriah atau eksteren sepanjang
tandatangan yang terbubuhkan dalam akta itu diakui oleh orang terhadap siapa
akta itu hendak dipakai (lihat pasal 1875 jo. Pasal 1874 BW).
Namun ditinjau dari UU Jabatan Notaris pada Pasal 41 UUJN
disebutkan mengenai tidak dipenuhinya syarat pada Pasal 39 UUJN dan Pasal 40
UUJN, maka kekuatan pembuktian akta otentik tersebut menjadi akta di bawah
tangan. Ketentuan Pasal 39 UUJN membicarakan syarat penghadap pada akta yang disebutkan pada usia 18 tahun dan cakap
melakukan perbuatan hukum. Sedangkan pada Pasal 40 UUJN, membicarakan kedudukan
dua orang sebagai saksi pada akta otentik dan syarat dan ketentuan lainnya.
Jika memang suatu akta tidak terpenuhi syarat penghadap dari segi usia minimal
18 tahun, atau telah menikah dan cakap, mengakibatkan akta tersebut dapat
dibatalkan dan keberadaan akta tersebut menjadi akta dibahwa tangan.
Dapat dibatalkannya akta atau akta otentik yang menurut
sifat dan kedudukannya menjadi akta dibawah tangan, akan mempengaruhi kekuatan
pembuktian yang ada pada akta tersebut. Oleh karenanya, ketentuan Pasal 41 UUJN
tersebut mengadopsi ketentuan tidak terpenuhinya syarat subjektif untuk sahnya
perjanjian. Apabila tidak terpenuhi syarat tersebut, baik terhadap usia dan
tidak cakap hukum atau karena tidak adanya kehendak bebas, sesungguhnya nasib
perjanjian itu tidaklah pasti dan bergantung pada kesediaan satu pihak untuk
menaatinya. Apabila pihak ini menerima, dan tidak menuntut pembatalan
perjanjian, maka perjanjian itu tetap akan mengikat. Begitu juga akta yang
dibuat oleh Notaris tetap dalam kedudukannya sebagai akta otentik. Sebaliknya,
apabila pihak tersebut menuntut pembatalan perjanjian, maka perjanjian itu
menjadi batal atas pertimbangan yang sangat dimungkinkan oleh hakim.
Kesimpulan dari tulisan ini, sepanjang Notaris
menjalankan jabatannya dalam pembuatan akta otentik dan memenuhi syarat dalam
pembuatan akta, dan terpenuhi syarat formal dan materil, maka akta yang dibuat
oleh Notaris itu menjadi akta otentik. Tidak ada istilah akta otentik turun
derajadnya menjadi akta di bawah tangan.
Kedududkan akta otentik tetap menjadi alat bukti surat
dalam gugatan perdata yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna, karena akta
tersebut dibuat oleh pejabat umum yang berwenang. Oleh karenanya satu-satunya
pihak yang menjadi penilai pembuktian adalah hakim. Hakim di dalam pembuktian
pada proses perkara perdata semata-mata
terikat pada alat bukti yang sah yang diajukan oleh para pihak. Disamping penerapan
asas Actori Incumbit Probatio, jika
seseorang mempunyai hak atau mengemukaka pristiwa, maka yang bersangkutan harus
dapat membuktikan suatu pristiwa tersebut. Atau dengan istilah yang selalu
dipegang oleh para praktisi hukum Judex
Ne Prucendat Ex Offico “ dimana tidak ada yang menggugat, di sana tidak ada
hakim.
-(BSO)-
Komentar
Posting Komentar