Berhukum


Tugas
Filsafat Hukum
Oleh Prof. Frans Limahelu
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga Surabaya

KETERATURAN BERHUKUM DALAM KEHIDUPAN SEHARI-SEHARI
Oleh : Bambang Syamsuzar Oyong
NIM 031170148

          Mungkin kita selalu beranggapan bahwa, disaat apa yang sedang kita lakukan saat ini, hal yang sekecil apapun dan sebesar apapun selalu berhubungan dengan ketaraturan. Maksudnya  adalah, bahwa keteraturan dan ketertiban merupakan bagian dari system kehidupan yang selalu dijalankan. Kita tidak mungkin melakukan sesuatu yang kita anggap tidak memberikan manfaat dan memberikan rasa senang, karena kita tahu setiap apa yang bermanfaat selalu menjadi sesuatu pengharapan. Namun kenyataan hal itu tidak semuda yang kita kira. Ketarturan tersebut menjadi sesuatu dalam mencapaian tujuan yang pasti.
          Dikala apa yang kita lakukan, tidak terlepas dari keteraturan yang menjadi sesuatu yang terbiasa. Saat kita bangun dari tidur dan mulai menjalankan segala aktifitas sehari-hari, mungin saat itu juga kita selalu mendapatkan segala perbuatan yang telah menjadi pikiran kita sehari-hari. Begitu juga saat bangun pada pukul 5 pagi, ada sebagian orang akan melaksanakan ibadah pagi dan ada sebagian orang masih pulas dengan tidurnya. Ibadah bagi seseorang adalah proses kontempelasi diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kebesarnnya selama ini. Jika seseorang tersebut menyadarinya, suatu bentuk pengharapan, akan perlindungan yang didapat sebagai bagian dalam  menjalankan segala aktifitas dihari in,i lebih baik lagi. Pertemuan kita sama yang kuasa tidak lepas dari rasa cinta, semoga apa yang kita lakukan menjadi ridhonya. Sasngat tidak mungkin pada saat kita akan ketemu dengan-Nya, kita tidak mengharapkan akan perlindungan. Perlindungan yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa adalah bentuk dari  rasa rendahnya kita dihadapannya. Karena kita tahu dihadapannya kita bukanlah apa-apa. Inilah yang saya namakan persembahan akan kebesarannya.
          Kebesaran rahmad yang diberikan Tuhan kepada seluruh makluk, khususnya manusia sebagai makluk berpikir, berbudaya dan memiliki rasionalitias tinggi, selalu dituntut untuk menemukan kebesarannya tersebut. Salah satunya yang kita tahu adalah bagimana kita selalu mensyukuri atas pemberiannya. Hidup tidak hanya bernapas dan tidak hanya melakukan hubungan biologis, hidup merupakan rasa pertanggung jawaban kita dihadapannya, dengan  mematuhi segala hal yang dilarang, dan memiliki rasa patuh dan hormat. Kita sangat tidak mungkin merasa besar, dan kita sangat tidak mungkin merasa paling atas segala-galanya. Untuk itu Tuhan selalu memberikan pentunjuk berupakan keterikatan dan ketaatan yang didalamnya memuat rasa patuh.  Jika aturan tersebut tidak ditaati akan sanksi yang diberikannya. Karena segala sesuatu itu ada perbuatannya. Perbuatan yang dilarang dan dikerjakan akan diberikan rasa berdosa terhadap-Nya. Pada hal, kita sudah sangat mengerti bahwa perbuatan tersebut akan diberikan sanksi nantinya. Namun tetap saja perbuatan itu selalu dilakukan. Misal, saat seseoarang diberikan amanah dan tanggung jawab, maka pada saat itu juga Tuhan akan memintakan  pertanggung jawab terhadap amanah  tersebut. Disamping itu juga, amanah adalah kepercayaan Tuhan berikan kepada kita, karena Dia cukup mengeri akan kemampuan. Amanah juga berhubungan dnegna masyarakat. Karena penilaian amanah hanya berasal dari masyarakat.
          Rasa pertanggung jawaban kita, sama yang maha kuasa, hanya sebatas kita patuh, dan mengerti bahwa Dia akan selalu mengikuti segala apa-apa yang telah kita perbuat. Pemahaman ini hanya cukup dimengerti oleh setiap orang yang berpikir. Mungkin selagi apa yang kita perbuat dan mengerti terhadap sanksi-sanksi yang diberikan dalam bentuk rasa berdosa, rasa itu lah yang menjadi pemahaman, bahwa tidka mungkiun merasa besar dihdapannya.
Namun kita sebagai manusia yang diberikan rasa, perasaan dan pikiran, maka kita akan memilah terhadap segala perbuatan-perbuatan tersebut. Perbuatan-perbuatan itu akan kita seleksi untuk membentuk kepribadian kita selanjutnya. Baik dan buruknya perbuatan itu pada dasarnya kita memahaminya. Namun dikala kita tahu, maka disaat itu kita mulai menggugat atas kebesarannya. Kita mulai mencoba terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang. Satu perbuatan yang dilarang yang kita anggap akan memberikan rasa nikmat dan berlebihan. Untuk itu, akan kita coba secara terus menerus, sampai kita mulai berpikir bahwa perbuatan tersebut akan membuat penderitaan bagi kita. Setelah mendapat penderitaan dari apa yang telah kita perbuat mulai kita mengerti bahwa kita tiadak akan melakukannya lagi. Untuk selanjutnya sampai pengertian dari perbuatan itu, kita tidak akan mengulanginya. Namun yang dimintakan Tuhan kepada kita tidak hanya sebatas kita melarang dari perbuatan tersebut yang berakibat  kerugian baik secara langsung didunia maupun diakhirat. Yang diinginkan Tuhan tidak lain dalam pemahaman kita dari perbuatan tersebut. Apa bila perbuatan tersebut membuat kita menderita, maka janganlah kita untuk mencoba  mendekatinya. Itulah yang diamanahkan Tuhan kepada kita, jangan mendekatinya, jika kita ingin hidup pada jalan Tuhan Sang Pencipta.
          Teguran Tuhan kepada kita, mungkin akan menjadi pembelajaran untuk lebih baik lagi. Teguran tersebut dapat berupa  kenikmatan yang berlebihan untuk terus kita lakukan, dan melupakan akan kebesarannya, atau  sekali kita melakukannya, disaat itu juga Tuhan menegur dengan kebesaran yang dimiliki, berupa rasa sakit, penderitaan yang diakibatkan dari hubungan social. Disatu sisi timbulnya kehilangan pengharapan kita, dari akibat rasa bersalah, dari akibat kehilangan pengharapan akibat orang-orang yang kita cintai telah melupakan utuk selama-lamanya. Untuk itu, terlihat begitu mudahnya Tuhan akan berbuat terhadap umatnya.
          Pertanyaannya adalah, dapatkah kita mengerti terhadap semua yang kita sampaikan kepada Tuhan Sang Pencipta? Atau memang dengan sengaja kita untuk tidak mengerti, disamping mengetahuinya. Banyak hal-hal yang kita tahu, namun dengan segaja kita lupakan. Jangan kita biarkan diri kita untuk masuk pada penderitaan. Untuk itu Tuhan selalu meminta kita untuk selalu memperbaiki diri dan berubah untuk menuju kebaikan dengan mematuhi segala perintah dan larangan. Tuhan dengan  kebesarannya sudah cukup banyak memberikan rahmad-Nya kepada kita, hanya kita tahu atau tidak. Suatu kehidupan yang teratur dengan tatanan agama  membuat kita akan mendapatkan petunjuk darinya. Pengertiannya tidak lain memberikan kita pemahaman. Bahwa apa yang sedang kita lakukan harus memberikan ketaraturan yang bermanfaat.
          Kehidupan yang sehari-hari yang kita jalankan tidak lepas dari peristiwa-peristiwa yang kita alami saat ini dan akan datang. Dia bagaikan hasil pikir kita, karena hasil pikir kita tersebut akan tercermin dari sikap dan tingkah laku, berupa tingkah baik dan buruk. Jika perbuatan baik yang di jalankan, maka hasilnya berupa kebahagian tersebut, karena tingkah laku baik akan tercermin dari sikap yang baik pula. Bagitu juga jika tingkah laku yang kita jalankan  bertentangan dengan kondisi masyarakat, individu  sendiri, dan-atau negara. Maka apa yang tercermin dari tingkah laku buruk, baik bagi individu, masyarakat dan negara, maka interprestasinya hampir sama. Misal sikap individu ang bertentangan dengan kondisi masyarakat setempat. Pada saat seorang, yang berada pada kota A dengan kebiasaan yang ada, bagi masyarakat setempat dikatakan tidak bertentangan. Hal ini belum tentu bagi masyarakat di kota B. Kondisi  lingkungan masyarakat setempat pada dasarnya dipengaruhi pada budaya atau kebiasaan. Untuk itu, dikala masyarakat setempat menyatakan perbuatan itu bertentangan dengan kebiasaan yang ada, maka sanksi akan selalu menunggu. Sanksi dari masyarakat tidak lepas dari adanya kepatuhan untuk menerima dari adanya kesepakatan, atau yang dikenal dengan sanksi budaya. Dalam budaya terdapat pendekatan dari masyarakat untuk menerima segala sesuatu buruk dan baik. Pendekatan budaya yang selama ini menjadi pijakan dalam penyelesaian sengketa kasus dimasyarakat harus tetap dipertahankan, yang gunanya dalam peneyelesaian sebuah persolan hukum dan sosial dapat menjadi pijakan bersama, yang selama ini terasa dibiarkan tanpa dikembangan.
Akhirnya, persoalan hukum dan sosial masyarakat seharusnya dapat dikembangkan melalui peran-peran budaya pada masyarakat, supaya bisa tetap terjaaga. Namun masuknya konsep hukum moderen dengan segala pendekatan dari peraturan dan perundang-undangan baik secara tertulis belum menjamin, Bahwa penyelesaian sengketa hukum dan sosial tetap terjaga. Karena pada aturan perundang-udangan. Lebih pada itu penjabaran pemberian sanksi yang mengikat, jika dibandingkan dengan pendekatan budaya, hal ini sangat berbeda sekali dalam ketentuannya, misalnya pemberian sanksi pada masyarakat adat setempat lebih menekankan pada nilai-nilai luhur pada tataran masyarakat, seperti kebiasaan untuk menjaga nilai-nilai yang memang sudah terjaga secara adat.
          Konsep pendekatan penyelesaian masalah hukum dan sosial seharusnya memang menjadi pijakan dalam penyelesaian sebuah kasus, jika hal ini memang dibutuhkan. Bagaimana kita lihat ketika Prof. Thamrin Amal Tamagola, pernah diberikan sanksi adat oleh masyarakat Dayak yang pernah mengungkapan dari hasil penelitiannya  yang menyebutkan pada masyarakati Dayak, bersenggama tanpa diikat oleh perkawinan oleh sejumlah masyarakat sana sudah dianggap biasa. Walaupun ini merupakan hasil penelitian secara ilmiah, namun dianggap telah mebuat penilaian terhadap kehidupan masyarakat setempat. Pada akhirnya menimbulkan pertentangan dan penolakan. Letak persoalannya adalah hasil penelitian ilmiah tidak dapat dijadikan pijakan alam penilaian secara keseluruhan terhadap masyarakat setempat., walaupun itu dinyatakan sebagai bentuk pembelajaran. Penyelesaian kasusnya oleh Ketua Adat Dayat setempat, bentuk pertangngung ajwaban kepada masyarlat adat.akibat perkataannya yang mengatakan bahwa pada masyarakat adat dayak membolehkan melakukan hubungan biologis tanpa ada ikatan perkawinan. Perkataan yang terucap itu mungkin dalam kajian ilmu pengetahuan dapat dikaji lebih lanjut, namun hal ini tidak dapat begitu saja diterima oleh sebagian masyarakat dayak setempat. Namun permasalah ini pada akhirnya tidak sampai pada penyelesaian hukum yang rumit, namun dapat diselesaikan secara adat setempat.
Mungkin cara-cara penyelesaian permasalahan hukum dan sosial tersebut, menjadi bagian pengkaryaan dari kondisi masyarakat yang tetap selalu terjaga dengan baik. Hukum yang dikenal saat ini tidah hanya diartikan sebagai peraturan tertulis dan tidak tertulis, melainkan lebih dari pada itu. Bagaimana caranya, maka yang perlu diperhatikan adalah ketika hukum sebagai peraturan juga tidak terlepas dari ketentuan kehidupan dan kondisi sosial masyarakat. Sebagaimana pada ungkapan klasik yang pernah kita kenal  ubi societas ibi ius, yang menyebutkan hukum ada sejak masyarakat ada. Maka pertanyaanya adalah sejak kapan adanya masyarakat tersebut, dan sejak kapan adanya hukum itu.
Jika kita kaji lebih lanjut, bahwa masyarakat baru mengenal hukum pada saat adanya rasa bersama dari masyarakat setempat, untuk selalu mematuhi apa-apa yang telah menjadi kebiasaan pada saat itu.  Dikala individu-individu terhadap keinginannya sudah tidak dapat lagi diakomodasikan, maka pada saat tersebut sekumpulan individu yang memiliki rasa solider berkumpul dan bersama-sama mulai mematuhi sebuah keteraturan yang dikenal sebagai hukum setempat. Untuk itu, jelas sudah, bahwa hukum baru ada pada saat kebersamaan masyarakat mulai menyadari akan keteraturan dan ketertiban. Karena inti dari bermasyarakat adalah keteraturan dan ketertiban secara terus menerus. Misalnya, keteraturan akan hidup aman, teratur dan terjaga. Karena masyarakat sangat mendambahkannya. Hukum berada didepan dalam memberikan keteraturan dan ketertiban tersebut. Tanpa hukum, keteraturan dan ketertiban, pasti tidak akan terjaga. Apa yang diinginkan masyarakat telah menjadi hal yang sangat lumrah dan diinginkan. Sistem keteraturan dan ketertiban pada masyarakat, akan menciptakan nilai-nilai kepatuhan akan aturan hokum.
Apa yang dihubungkan di aturan hukum, maka yang harus dikaji lebih lanjut adalah dengan menempatkan manusia dalam dua aspek utama yaitu aspek fisik dan aspek eksistensi. Aspek fisik lebih selalu merujuk kepada hakikat manusia sebagai makluk yang secara ragawi benar-benar hidup dan berhubugan antara satu dengan lainnya. Hubungan masyarakat secara fisik tidak hanya dilihat pada ragawi yang ada, namun fungsi kemanusiannya sebagai makluk sosial tersebut. Untuk itu pada aspek fisik lebih menekankan pada rasa juang manusia itu sendiri. Bahwa manusia butuh makan, minum, melindungi diri dengan kejamnya alam dan mengendalikannya dengan membuat perlindungan pada dirinya. Aspek fisik lebih menekankan pada kenyataan adanya manusia yang selalu berhubungan dengan lainnya.
Sedangkan pada aspek eksistensi, lebih menekankan kaitan dan keberadaan yang berbeda dengan makluk hidup lainnya. Disamping itu juga untuk mempertahankan aspek eksistensi. manusia tidak hanya membutuhkan aspek fisik semacam yang telah jabarkan. Melainkan dengan menempatkan kemanusiaanya berupa adanya rasa kasih sayang, rasa cinta, pengharapan untuk dihargai dan lainnya. Manusia jika dilihat dari kodratnya sebagai makluk sosial untuk dapat melangsungkan hidup dan eksistensinya sebagai manusia, maka ia akan mengembangkan sarana yang bersifat immaterial sebagai perekat dalam hidup bermasyarakat.
Itulah kodrat sebenarnya pada manusia. karena didalam diri manusia telah terpancar rasa keinginan untuk hidup bermasyarakat, karena bermasyarakat akan memberikan eksistensi nyata kemanusian manusia itu sendiri. Jika kita tinjau lebih jauh, terlihat bahwa aspek eksistensi akan utuh jika aspek fisik manusia itu utuh juga. Karena keinginan manusia untuk hidup bersama dengan sistem bermasyarakat, telah dilandasi adanya pikiran yang menginginkan akan hidup bersama-sama untuk saling menghargai satu dengan lainnya.Saling menghargai dalam keinginan untuk bermasyarakat, yang tidak dapat dilepaskan  dari pada adanya  tuntan moral pada manusia. Oleh karena itu pranata moral pada diri manusia, diibararkan sebuah lampu penerang yang akan menerangi keinginan baik dan patuh dan mentaati dengan sebaik mungkin, jangan sampai ternodai hal yang bersifat negatif. Sedangkan dalam hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam bermasyarakat, perekat utama terciptanya hal itu, slelau berhubungna dengna norma sebagai tatanan
Norma selalu dikaitkan dengan perintah dan larangan. Namun perintah dan larangan tersebut tidak dapat berdiri sendiri jika tidak dijabarkan dalam bentuk aturan-aturan yang mengikat bagi manusia sebagai makluk yang bereksistensi. Aturan-aturan yang mengikat itu dikenal sebagai aturan-aturan hukum. Aturan-aturan hukum itu, nantinya akan membatasi individu dalam pola tingkah laku dan tindakan dalam bermasyarakat. Jika tidak dibatasi, akan mengakibatkan timbulnya pertentangan antara satu dengan lainnya. Karena didalamnya memuat norma akan keinginan bahwa “tidak dibenarkan dalam kehidupan bermasyarakat setiap individu melakukan tindakan yang saling merugikan”  . Norma yang ada pada diri manusia itu menjadi sesuatu jika dijabarkan menjadi norma sosial dan norma hukum. Norma hukum lebih menekankan pada aturan-aturan hukum tertulis dan tidak tertulis yang  menjadi pijakan rasa patuh, jika hal ini dilanggar maka sanksi akan diberikan. Sedangkan pada norma sosial, lebih menekankan hubungan manusia sebagai makluk sosial, antar individu yang bersatu dengan rasa keinginan untuk mentaatinya sebagai bagian keteraturan.
Aturan-aturan hukum yang selama ini dijabarkan sebagai susuatu yang harus dipatuhi, akan selalu menjadi pijakan untuk selanjutnya dalam memasuki wilayah dalam kenegaraan sebagai negara hukum, yang menempatkan hukum sebagai pantulan tertinggi untuk dijadikan pegangan, bahwa aturan hukum dan penerapannya,  membuat segala sesuatu menjadi tertip dan beraturan. Karena pada dasarnya ketertiban dan keteraturan itu tidak akan mungkin didapatkan, jika aturan-aturan hukum yang menjadi pijakan tidak dijalankan dengan sebenarnya. Maka keinginan untuk patuh dan tertib oleh setiap individu.tidak dapat berjalan dengan sebenarnya. Dikarenakan, sebelumnya telah dirasakan oleh manusia sebelum  zaman peradapan, yang mana setiap individu sebagai manusia  dapat melakukan apa saja yang diinginkannya, tanpa merasakan perbuatan itu mengakibatkan penderitaan dan kerugian bagi orang lain.
Apa yang terjadi kemudian, memasuki era peradapan yang lebih baik, mulai menata pranata-pranata pendukung, untuk terciptanya segala sesuatu aturan-aturan yang lebih efektif lagi, baik yang menggambarkan aturan-aturan khusus untuk pribadi yang dikenal peraturan keperdataan dan peraturan yang mengarahkan tindak tanduk kerugian yang berakibat penderitaan dari adanya sikap tersebut, disini peran negara sangat sentral sekali yang lebih dikenal sebagai atuan hukum pidana. Peran aturan-aturan tersebut menunjukan betapa pentingnya dalam memberikan rasa tertib dan aman sebagaimana yang diharapkan setiap individu dkelompok.
Penerapan hukum, jika ditinjau lebih lanjut dari kekinian, maka hukum dan aturan tidak hanya sebatas memberikan keamanan dan ketertiban bagi masyarakat saja, melainkan lebih dari itu. Disinilah menjadi pijakan penerapan  aturan hukum pada masyarakat.
Karena kita mulai tahu, dalam kehidupan sehari-sehari manusia selalu berhadapan dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat, baik peraturan yang berhubungan dengan moral maupun peraturan yang berhubungan dengan hukum. Adanya aturan-aturan tersebut mengandung suatu harapan agar kehidupan dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik dan teratur berdasar atas tuntutan norma-norma yang mengandung nilai-nilai dasar tertentu. Keadaan yang baik dalam masyarakat terjadi karena ada hubungan antar manusia yang ada di dalamnya merupakan hubungan yang tertib yang pada hakikatnya mempunyai sifat dan dasar yang berbeda. Aturan-aturan moral dan aturan-aturan hukum pada dasarnya mempunyai nilai dasar dan tujuan yang berbeda, namun keduanya tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaan yang timbul adalah, Apakah ada kaitan antara teori moral dan hukum ? Bagaimana sifat dan implikasi atau kaitannya ? Apakah bersifat dialektis, aplikatif atau hanya bersinggungan saja ? Apakah ada kesamaan tujuan antara hukum dan moral?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi sesuatu yang harus mendapatkan jawaban, jika dihubungkan antara aturan moral dan aturan hukum.
Konsep hukum mungkin dapat dikatakan mempunyai pengertian yang ambigu, sehingga dapat menimbulkan kekeliruan pengertian baik secara intelektual maupun secara moral. Oleh karena itu jika apa yang dipaparkan tersebut dapat ditarik dua macam hukum yang kita kenal, yaitu hukum deskriptif dan hukum preskriptif. Hukum deskriptif adalah hukum yang menunjukkan sesuatu itu dapat terjadi, misalnya hukum yang berhubungan dengan ilmu kealaman. Disamping itu dapat pula terpikirkan oleh kita mengenai hukum yang telah ditentukan atau hukum  yang memberi petunjuk dalam prespektif yang sebenarnya. Misalnya hukum yang telah ditentukan atau diatur oleh para otoritas, mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan atau dikerjakan. Inilah yang menjadi bahan penelitian hukum itu sendiri. Sedangkan hukum deskriptif itu sendiri menjadi bahan penelitian ilmu hukum.
Untuk itu, apa bila kita berbicara mengenai hukum, maka akan terpikirkan oleh kita suatu proses pengadilan, baik pengadilan formal dan non formal yang diakui akan menjadi tempat penyelesaian proses hukum berlangsung, jika dihubungkan dengan ketentuan prangkatnya, baik pengadilan secara nyata dalam penyelesaian kasus hukum pidana dan perdata, Disamping itu kita juga menghubungkan hukum dengan perangkatnya dalam penyelesaian, yang dikenal adanya hakim, jaksa, penuntut dan pengacara yang semuanya mencoba untuk menyelesaikan suatu perkara agar terpenuhi dan tercipanya keadilan. Yang memang jika kita tinjau tidak semua proses akan mengarah dalam pencapaian pengadilan yang sebenarnya sebagaimana diinginkan. Pengadilan yang ada merupakan tempat sebagai pemutus pemberi keadilan, jika ditinjau dari pengharapan terhadap hukum oleh masyarakat dalam ketertiban. Namun kenyataan hukum bukan hanya didalam pengadilan saja, melainkan hukum itu ada ditengah masyarakat. Untuk melihatnya, akan tergambarkan pada istilah adanya gejala hukum dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan manusia secara individu maupun secara sosial. Gejala hukum itu jika ditinjau cukup banyak, sehingga kadang-kadang tidak kita sadari keberadaannya.
Kita cukup mengerti, bahwa dalam kehidupan ini setiap waktu kita dikuasai oleh hukum, hal ini terlihat sejak manusia itu lahir sampau wafat. Hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam pergaulan sehari-hari, juga tidak terlepas dari  peraturan-peraturan yang menyebabkan adanya kehidupan yang lebih baik dan teratur.
Peraturan-peraturan tersebut merupakan sebagai peraturan yang “megejawantah” dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin ada peraturan yang telah berlaku sebelumnya sejak jaman dahulu, yang masih tetap diberlakukan sampai kapanpun. Atau peraturan baru yang disesuaikan dengan kekiniannya, dengan melihat kondisi keadaan, waktu dan tempat. Yang mana dapat saja peraturan-peraturan tersebut berbeda antara satu dengan lainnya, atau berbeda dengan satu bangsa dengan bangsa lainnya, yang dikatakan sebagai gejala yang bersifat universal, karena diberlakukan dan diterapkan diseluruh kehidupan manusia. Gejala yang bersifat universal ini, lebih menekankan pada kondisi dan keadaan apa adanya dan tidak bisa direkayasa sebelumnya,  dikarenakan kondisi sosial masyarakat yang berkembang baik secara fisik dan mental dan juga perkembangan yang memang sengaja dikondisikan dengan alat pemaksa sebagai bagian ketertiban yang akan dicapai. Dengan kondisi tersebut, dapat dikatakan adanya pengkaryaan terus menerus. Oleh karena itu, gejala hukum sebagaimana tersebut dapat terlihat dari anda peraturan tertulis dan non tertulis. Gejala hukum tersebut memliki sudut pandang ilmu pengetahuan yang merupakan bagian dari kebudayaan.  Karena kebudayaan yang kita kenal  selalu memberikan pencahayaan dan pemahaman. dan tidak monoton dalam pengambilan tujuan. Karena kita tahu hukum pada dasarnya tidak dibuat oleh manusia, tetapi tumbuh dalam masyarakat, yang lahir, berkembang dan lenyap dalam sejarah. Dengan demikian  tidak dapat dipungkiri hukum juga tidak lepas dari peran-peran sejarah, yang mana dalam pembentukan hukum  perlu ada cita-cita dan nilai-nilai yang tumbuh dam berkembang.
Seperti diketahui dalam perjalanan sejarah, bahwa pengertian hokum berkembang dari pengertian yang tradisional dampai pada pengertian hukum yang lebih luas sesuai dengan perubahan jaman. Pada jaman Yunani kuno misalnya, mulai berkembang pemikiran hukum dimulai pada abad  ke 6 Masehi, yang pada saat itu, hukum yang berlaku adalah hukum alam yang dihubungkan pada tataran keadilan. Karena hukum, tidak hanya sebatas aturan melainkan penegakan dari aturan tersebut. Memberikan rasa adil. Karena pada dasarnya apa telah diutarakan sebelumnya oleh seorang filsuf Sokrates yang menyeruhkan agar penegakan hukum harus memperhatikan keadilan.
Disatu sisi Aristoteles dalam bukunya Politika, mengenai negara dan hokum, membagi hokum menjadi dua yaitu hokum alam dan hokum kodrat. Hukum alam dinyatakan yang berlaku secara terus menerus sesuai dengan aturan-aturan dalam alam, dari bentuk kondisi perkembangan alam yang membentuknya. Kehidupan alam yang teratur menjadi pijakan bahwa hokum juga harus memiliki nilai dan norma pada keteraturan. Sedangkan pada hukum kodrat, yaitu hukum yang dibuat oleh manusia dari olah pikir dan perkembangan budaya. Hal ini terus berkembang pada saat mulai runtuhnya kekaisan Roma pada Abad ke-5, yang menjadi era yang dikenal sebagai abad pertengahan yang berlangsung sekitar seribu tahun. Pada abad pertengahan peran-peran agama sangat dominan, agama Kristen di Barat dan agama Islam di Timur Tengah. Jaman ini memberikan pemikiran baru yang tidak menghilangkan sama sekali kebudayaan Yunani dan Romawi pada saat itu.
Diabad pertengan tersebut teori-teori mengenai hukum selalu menekankan kapan mulai datangnya hukum tersebut ? Pertanyaan ini menjadi pijakan pikiran para flsuf pada saat itu, yang sebelumnya telah mendapat jawaban adanya hukum alam dan hukum kodrat yang telah diungkapkan sebelumnya oleh Aristoteles. Disatu sisi juga menyebutkan sebagai hukum abadi yang dimiliki oleh Tuhan sebagai penguasa tunggal atau hukum ini disebut sebagai hukum alam yang mempunyai prinsi “jangan berbuat kepada orang lain, apa yagn engkau tidak perbuat kepadamu “ Hal ini menunjukkan betapa alam dan kehidupan menjadi bagian yang sangat penting dalam perkembangan hukum itu sendiri dan hal ini tidak dapat dilepaskan juga pada pemikiran bahwa Tuhan telah membawa hukum untuk kepentingan umatnya. Hukum Tuhan tersebut menjadi sesuatu yang sangat jelas pada wahyu yang diturunkannya kepada orang-orang pilihannya untuk memyampaikan akan kebaikan.
Dari pemikiran tersebut ada lima macam teori hokum yang berkembang jika dilihat dari pemikiran para filsuf tersebut mengenai hukum yaitu Lex aeterna (hukum abadi) yang merupakan asal mula hokum, Lex divina positivia (hukum ilahi positif) hokum yang terkandung dalam wahyu Tuhan, khususnya mengenai keadilan, Lex naturalis  (hukum alam), hukum Tuhan  yang dapat dilihat pada alam melalui akal budi manusia dan bangsa-bangsa, Lex gentium(hukum positif) dan Lex humana positive, hokum yang ditentukan  oleh yang berkuasa, kemudian menjadi hukum negara.
Namun kenyataannya pandangan tradisional tentang hukum dapat dikatakan tidak memperhatikan hubungan antara hukum dan pemerintah. Peraturan-peraturan hanya dibuat bagi hubungan antar manusia. Oleh akrena itu pada zaman modern, terlihat dari Abad  ke-15 sampai Abad ke- 20, hukum positif mendapat perhatian yang serius, yang akan membawa perubahan pada pemikiran-pemikiran manusia, mengenai hukum. Hukum disini lebih menekankan pada hukum positif meskipun tidak menghilangkan hukum alam sama sekali. Disaat itu lah mulai dipikirkan hokum secara rasional, dimana hukum postif mulai mendapat perhatian yang utama tanpa menghilangkan pengakuan adanya hukum kodrat yang ada pada rasio manusia dan menjadi dasar dari hukum positif tersebut.
Namun kenyataannya tidak cukup sampai disitu saja, pada saat manusia lebih menempatkan rasionalitasnya dalam menentukan apa hukum itu. Maka padangan yang telah menempatkan peran hukum sebagai bagian kehidupan dan rasa untuk tetap selalu terjaga baik kepentingan manusia hidup berkelompok dan penguasa. Dimana penguasa pada saat itu ketika memasuki Abad ke-20 mulai mencoba membentuk hukum nasional yang berlaku di masing-masing negara. Meskipun ada beberapa prinsip yang sama  dalam pembentuk hukum nasional tersebut.  Ada dua pendekatan untuk mendapatkan jawabannya yaitu harus melihat pada aliran sosiologis hukum dan aliran realism hukum. Pada aliran sosiologis, dalam padangannya dalam sistem kehidupan bermasyarakat dan negara, bahwa hukum secara de facto harus ada terlebih dahulu dan harus memiliki hubungan antara masyarakat dalam suatu sistem kehidupan dan  pemerintah.
Oleh karena itu di Abad ke 19 dapat dikatakan mulai hidupnya rasionalitas berpikir tentang hukum, jika dihubungkan hukum untuk keadilan. Dimana keadilan tersebut tidak dapat disamakan antara satu permasalahan hukum dengan lainnya. Dan keadilan tersebut menjadi bagian yang sangat utama. Sangat tidak mungkin penegakan aturan hukum menghilangkan fungsi-fungsi nilai keadilan. Karena keadilan merupakan salah satu dari tiga unsur penegakan hukum, disamping adanya kepastian hukum dan kemanfaatan.
JIka ditinjau lebih lanjut bahwa masyarakat sangat berkepentingan  dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, dimana keadilan harus tetap diperhatikan dengan sebenarnya. Walaupun kita ketahui hukum tidak identik dengan keadilan, dimana hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Oleh karena itu hukum selalu membahasakan, jika seseorang melakukan tindak pidana mencuri dan terbukti maka yang bersangkutan harus dihukum, tanpa membeda-bedakan dan tidak melihat status sosial kedudukan dan lainnya yang akhirnya mempengaruhi dalam mengambil keputusan. Dan hukum selalu memberi ruang kepada setiap orang dalam kedudukannya bahwa tidak setiap orang akan mendapatkan kedudukan keadilan yang sama. Keadilan yang dinginkan tetap sebagaimana yang diharapkan setiap orang.
Pencapaian cita-cita  bangsa yang berhukum dan patuh pada aturan-aturan hukum, adalah suatu pengharapan dalam terciptanya penegakan hukum yang efektif, demi melindungki kepentingan manusia dimasyarakat baik yang yang berhubungan terhadap aspek kehidupan pribadi, dan antara pribadi dimana manusia dalam kehidupan bermasyarakat memerlukan perlindungan kepentingan disaat timbulnya konflik. Perlindungan kepentingan itu tercapai dengan terciptanya pedoman atau peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam bermasyarakat agar tidak merugikan orang-orang dan dirinya sendiri. Pedoman, patokan atau ukuran untuk berprilaku atau bersikap dalam kedupan bersama yang dikenal sebagai norma atau kaidah. Kaedah atau norma dapat digambarkan sebagai perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan. Kita mengenal adanya kaedah sosial biak yang berhubungan pada aspek pribadi semata, terdiri adanya kaedah kepercayaan atau keagamaan, kesusilaan atau yang berhungan dari adanya interaksi antar manusia, di dalamnya memuat kaedah sopan santun dan kaedah hukum. Kaedah-kaedah itu memberikan sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar, walupun kenyaannya sanksi yang diberikan itu belum cukup jelas keberadaaanya.
Untuk itu pemahaman kita terhadap kaedah hukum yang tidak terlepas dari keberadaan kaedah sosal, yaitu untuk mencari dan menemukan apa yang seharusnya dilakukan , dan tidak harus dilakukan. Jika kita beranggapan hal itu bertentangan, maka secara tidak sadar kita cukup mengetahui bahwa perbuatan itu tidak harus dilakukan. Untuk itu kaedah hukum selalu diidentikan pada pandangan tentang bagaimana seharusnya sesorang bertingkah laku  yang bersifat normatife apa yang seyogyanya dilakukan, jika perbuatan itu melanggar hukum, maka ia akan dikenakan sanksi hukum. Karena kita ketahui dalam hukum bukanlah apa yang terjadi, tetapi apa yang seharusnya terjadi. Karena dalam undang-undang tidak dapat dibaca bahwa  siapa yang mencuri sunggu-sunggu dihukum, tetapi siap yang mencuri harus dihukum. Perbuatan mencuri adalah perbuatan nyata dan dikenakan sanksi hokum. Peristiwa konkrit (das sein)  untuk menjadi pristiwa hokum memerlukan das sollen.
Kaedah hokum telah menjadi patokan untuk bertingkah laku berhukum dengan patuh dan taat, begitu juga pada saat menjalankan segala aktifitas hidup, baik yang berhubungan dengan diri sendiri atau berhubungan dengan hidup bersaman dengan makluk social lainnya. Keterikatan pada aturan hokum tidak terlepas dari pada kaedah hokum itu. Saat menjalankan pekerjaan sehari-hari, maka yang dibutuhkan rasa bertanggung jawab atas pekerjaan tersebut. Karena proses bertanggung jawab adalah jawaban utama, bahwa adanya keterikatan yang utuh antara pekerjaan dan hasil yang dicapai. Karena semuanya harus berjalan pada norma-norma sebenarnya.Kapatuhan itu terlihat, bagaimana kita untuk tidak melanggarnya, karena kita tahu dihadapan terbentang sanksi hokum.
 Pekerjaan yang berhubungan dengan hokum sebagai profesi sehari-hari, jelas memberikan pemahaman terhadap sistem hukum yang berlaku saat ini. Dan kita tidak dapat menafikan, bahwa sistem hukum yang berjalan dinegara ini, belumlah seperti yang diharapkan. Namun walupun demikian, tetap menjadi tanggung jawab kita untuk membenahinya supaya apa yang cita-citakan dalam rangka proses tegaknya aturan hukum, tetap memberikan perlindungan hukum berupa kepastian, kemanfaatan dan keadilan.
Adanya keterikatan dalam mematuhi segala peraturan-peraturan yang berlaku juga bentuk pemahaman terhadap betapa petingnya hukum dan aturan. Karena aturan-aturan sebagai prodak hukum membuat petunjuk penerapan hukum dapat berjalan sebagaimana yang diinginkan. Walaupun sama sekali prodak aturan hukum itu terdapat pertentangan antara satu dengan lainnya. Namun aturan hukum tetap memberikan hasil-hasil nyata dalam rangka terpenuhinya penegakkan hukum yang efektif dan berjalan sebagaimana yang inginkan.
Untuk memahami semua itu, yang dibutuhkan adalah pemahaman bahwa hukum diperuntukan untuk manusia. Bahwa kaedah yang berisi perintah, larangan dan larangan selalu ditujukan kepada anggota-anggota masyarakat. Hukum mengatur hubugan antara anggota-anggota masyarakat, antara subjek hukum yang telah memperoleh hak menurut kodratnya saat ia lahir dipermukaan bumi penyandang hak dan kewajiban, walupun manusia bukanlah satu-satunya selaku subjek hak, yang dalam lalu lintas hukum diperlukan suatu hal lainnya yang bukan manusia yang menjadi subjek hukum yang dikenal sebagai badan hukum. Badan hukum itu sendiri yang kita kenal adalah organisasi atau kelompok manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang dapat menyandang hak dan kewajiban. Dimana badan hukum itu bertindak sebagi satu kesatuan dalam lalu lintas hokum seperti orang, dimana hukum menciptakan badan hukum oleh karena adanya pengakuan organisasi atau kelompok manusia sebagai subyek hukum dangan diperlukan karena  bermanfaat bagi lalu lintas hukum itu sendiri.
Adannya subjek hukum iti tidak terlepas dari peran hukum alam, baik untuk manusia dan badan hukum. Namun kenyataannya subjek hukuk yang menyandang hak dan kewajiban tidak selalu berarti dan mampu atau cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya. Walupun setiap orang pada umumnya mempunyai kewanangan hokum, tetapi namun kenyataannya ada golongan orang yang dianggap tidak cakap melaksanakan beberapa hak atau kewajiban.
Jadi subyek hukum orang yang pada dasarnya mempunyai kewenangan hokum, ada yang dianggap  telah cakap bertindak sendiri atas ada juga tidan cakap bentindak sendiri. Ini merupakan anggapan hukum yang tidak memungkinkan, baik dikarenakan belum cukup umur, mereka yang diltekan di abwah pengmapuan atau pengawasan dan istri yangtunduk pada KUH Perdata. Disamping adanya batas umum yang gunanya untuk menentukan tinggkat kedewasaan seseorang, yang didalam KUH Perdata selalu menekankan pada usia 21 tahun yang diistilahkan sebagai orang yang belum cukup umur  dan belum kawin. Ini dalapt dilihat dariketentuan oleh (S. 1931 no. 543 jo. Pasal 330 KUH Perdata). Yang dinyatakan mereka tidak cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajiban. Selama dalam keadaan tidak cakap itu mereka diwakili oleh wakil yang ditentuak oleh undang-undang atau ditunjuk oleh hakim, nya tersebut. selanjutnya akan mengurus kepentingan yang diwakili.
Karena dalam undang-undang telah mensyaratkan, kecakapan bertindak adalah sesuatu syarat untuk menunjukan kepampuan seseorang yang berhubungan kepada pihak ketiga. Hal ini sangat penting sekali, karena setiap adanya perikatan, selalu berhungan dengan pihak lainnya. Jika hal ini tidak diperhatikan dengan seksama, maka perbuatan perikatan yang telah dibuat tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Hal in tidak semuda yang diduga, kecakapan bertindak tersebut adalah sesuatu yang sangat diutamakan,
Subjek hokum sebagaimana penyandang hak dan kewajiban, dalam konteks keperdataan memberikan batasan utama. Dan hokum sebagai perlindungan kepentingan manusia hokum harus mempunyai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai.
 Adapun tujuan pokok hokum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuan tersebut hokum harus membagi hak dan kewajiban antar perorangan didalam masyarakat, dan membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hokum serta memelihara kepastian hokum.
Dalam tujuan hokum, harus dikaji lebih baik, bahwa hukum semata-amata  bertujuab keadilan semata. Dan keadilan itu sendiri adalah penilaian atas suatu perlakuan atau tindakan denga mengkaji dengan suatu norma yang menurut pandangan subyektif  yang melebihi norma-norma lain, terdiri dari dua poihak yang terlibat aytu pihak yang memperlakukan dan pihak yang menerima perlakuan.
Pada umumnya keadilan merupakan penilain yag hanya dilihat dari pihak yang menerima perlakuan saja, sedangkan untuk memberi batasan keadilan tersebut dibedakan pada  dua macam keadilan yaitu keadilan Justitia distributive, yang menuntut bahwa apa yang menjadi haknya. Hal ini tidak dapat disamakan pada setiap orang  tergantung pada kekayaan, kelahiran, pendidikan, kemampuan dan sebagainya.
Sedangkan keadilan Justitia commutative, adalah memberikan kepada setiap orang sama banyaknya, yang dituntu adalah kesamaan. Yaitu adil ialah setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan.  Kalau dikatakan bahwa hokum itu bertujuan mewujutkan keadilan, berarti bahwa hokum  itu identik dengan keadilan.
Keadilan sebagaimana yang di harapkan tersebut, harus benar-benar dijalankan oleh setiap orang, baik yang berhungan dengan para pihak maupun tidak. Keadilan adalah bumbu dan pengaharapan bagi setiap orang yang bermasalah. Keadilan dapat juga dikatakan sebagai sebagai bagian dari pembelajaran. Karena keadilan adalah pengharapan sepenuhnya kepada setiap oramg yamg memberikan pemahaman cara-cara penyelesaiannya.
Oleh karena itu juga kita meninjau sifat pembawaan hokum, bahwa hokum itu menciptakan perauran-perturan yang mengikat setiap orang dan oleh karenannya terlihat dalam ketentuan peraturan yang mengikat sebagaimana tertulis : “ Barang siapa… “ Ini berarti hokum itu bersifat menyamaratakan bahwa setiap orang itu dianggap sama, karena disinilah letak keadilan itu sendiri. Disamping hokum memberikan fungsi keadilan juga menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia,disamping sebagai pengatur hidup pergaulan hidup manusia secara damai.
Dalam hokum positif yang berlaku saat ini, khususnya yang terlihat pada alenia ke 4 pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah menyampaikan pandangannya mengenai tujuan hokum yang tertulis “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi setiap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan perdamaian abadi dan keadilan social….”Apa yang terpaparkan di atas, jelas bahwa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan berhukum tujuan hokum positif dalam penerapannya selalu mencerminkan nilai-nilai luhur sebagaimana yang terkandung pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dari paparan yang ada dapat disebutkan bahwa hokum adalah untuk manusia, maka pelaskanaan penegakan hokum harus member manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, gunanya untuk menghindari timbulnya keresahan di dalam masyarakat, yang bermuara adanya kepastian hokum. Tanpa kepastian hokum orang tidak tahu apa yang harus diperbuat dan akhirnya timbul keresahan. Namun jika menitik beratkan pada kepastian hokum, terlalu ketat berakibat akan menimbulkan rasa tidak adil. Sebagaimana pad ungkapan lex dura, sed tamen scripta, undang-undang itu kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya.
Peran pemerintah memberikan rasa aman kepada masyarakat dalam kebijakannya adalah sesuatu yang utama. Namun kenyataannya apa yang dilakukan pemerintah belum berjalan sebagaimana mestinya. Ini bisa terlihat  saat pemerintah mengeluarkan kebijakannya yang selalu menimbulkan permasalahan, disaat kebijakan tersebut belum dijalankan. Ambil kasus pada saat pemerintah merencanakan menghilangkan subsidi BBM, dimana pemerintah berencana menaikan harga BBM secara keseluruhannya. Namun, yang terjadi kelangkaan BBM ditengah masyarakat. Cara-cara sporadik yang dilakukan pemerintah, belumlah mencerminkan rasa aman kepada masyarakat, karena salah satu pijakan fungsi hokum itu adalah rasa aman demi terciptanya keteraturan itu sendiri ditengah kehidupan.
Pemerintah seharusnya selalu memiliki rasa tanggung jawab terjadap segala kebijakan yang menyangkut arah ketidak nyamanan untuk masyarakat. Sedangkan pada proses penegakan hokum, peran pemerintah harus memiliki visa dan misa yang jelas. Karena penegakan hokum yang tidak maksimal dalam prosesnya akan melahirkan kondisi negara tidak tertib. Karena salah satu ketertiban itu dapat diarahkan pada pencapaian proses penegakan hokum maksimal yang dilakukan melalui kebijakan dan arah sebagai negara hokum. Lemahnya penegakan hokum saat ini, sangat dirasakan oleh masyarakat, karena ungkapan yang mangatakan hokum baru dapat berbicara pada saat proses penegakan hokum itu diperuntukan bagi masyarakat yang tidak memiliki akses kekuasaan dan pengaruh. Sedangkan penegakan hokum tidak akan tersentuh untuk sebagian golongan orang karena memiliki pengaruh dan akses kepada kekuasaan yang kuat. Ungkapan-ungkapan tersebut akan menjadi pembelajaran kepada kita betapa pentingan keteraturan berhukum untuk kepentingan semuanya.
Untuk itu ungkapan yang mengarah pada penilaian dan kondisi negara terhadap penegakan hokum yang belum maksimal menjadi bahan pembelajaran untuk memberikan rasa aman dan tentram kepada masyarakat pada umumnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS