DAPATKAH HENDARMAN SUPANDJI MEMBENAHI AGRARIA KEARAH REFORMASI PERTANAHAN


DAPATKAH HENDARMAN SUPANDJI MEMBENAHI AGRARIA
KEARAH REFORMASI PERTANAHAN

          Berlebihan sekali rasanya jika dilihat dari judul tersebut di atas, bahwa pengangkatan Hendarman Supandji selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional baru-baru ini ditunjuk oleh Bapak Presiden untuk menggantikan posisi Bapak Joyo Winoto, yang telah menjalankan jabatan selaku Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk jangka waktu sudah cukup lama.
          Yang  membuat kaget penulis ketika membaca beberapa media on line disaat belum diumumkannya oleh Bapak Presiden perihal pengangkatan beberapa pejabat terkait, baik Menteri Kesehan, Wakil Menteri dan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Terdapat beberapa isu yang menarik saat disebutkan calan Kepala Badan Pertanahan Nasional yang akan dijabat oleh mantan Jaksa Agung Bapak Hendarman Supandji. Ada sesuatu kebingungan ada dalam benak penulis,  apa yang mendasari Bapak Presiden untuk menunjuk mantan Jaksa Agung sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional. Jika dihubungan pada keinginan Pemerintah melaksanakan reformasi agraria, oleh sebagian kalangan pengamat mengatakan, bahwa pencapaian reformasi yang ada saat ini belum menyentuh dibidang pertanahan. Apakah beliau akan mampu membawa perubahan dalam tubuh institusi pertanahan. Inilah yang mendasari penulis untuk menulis artikel ini.
          Berbicara masalah sumber daya agraria khususnya tanah, sejak memasuki reformasi menjadi sangat dinamis khususnya sejak munculnya gaung “otonomi daerah” yang mencapai klimaknya pada saat diterbitkannya Ketetapan MPR RI No. XI/MPR/2001 pada tanggal 9 Nopember 2001 tentang adanya Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumbet Daya Alam, kemudia ditindak lanjuti dengan ditetapkannya Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan di Bidang Pertanahan. Namun kenyataan klimak dari ketetapan MPR itu tidak sejalan pada saat di Undangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah kemudia direvisi pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun tidak banyak menyentuh permasalahan dibidang pertanahan. Hanya terdapat pada satu pasal dengan menyebutkan bahwa pelayanan pertanahan diserahkan kepada daerah tanpa adanya kejelasan batasan dari pelayanan pertanahan tersebut.
Walaupun UU Otonomi Daerah tidak banyak menyentuh permasalahan dibidang pertanahan, namun tidak dapat dipungkiri keberadaan otonomi daerah telah menjadi pijakan oleh daerah untuk menyusun segala permasalahan-permasalahan menyangkut dibidang pertanahan. Walaupun tetap saja segala ketentuan tersebut tetap tersentralisasi pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Pusat, walaupun didaerah terdapat Kantor Wilayah Pertanahan di tingkat Propinsi, dan Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten.
Permasalahan dibidang pertanahan saat ini memang sangat komplek sekali, baik menyangkut pada kebijakan yang harus lebih terarah dan terpadu berkesinambungan, disamping pada pemberian pelayanan kepada masyarakat pengguna. Namun kenyataannya antara kebijakan yang populis tidak menjadi nyata pada saat kenyataan dilapangan. Telah banyak peraturan yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional gunanya pemberian kemudaan dalam pelayanan kepada masyarakat, namun kenyataannya tetap saja institusi pertanahan belum maksimal dalam penerapan. Keluhan masyarakat yang menyatakan Kantor Pertanahan lamban dalam pemberian pelayanan tetap saja alasan selalu sama. Misalnya pada sumber daya manusia yang terbatas, dan lambannya penerapan entri data pertanahan baik secara administrasi dan kecepatan dalam penggambilan kebijakan. Disamping tidak transparansinya mengenai pembiayaan pengurusan, dan jangka waktu untuk penyelesaiannya. Jika hal ini memang telah diketahui sebelumnya mengapa tidak segera diantisipasi. Kejadian ini tetap saja terulang terus-menerus dan begitu juga keluhan-keluhan yang tidak segera ditindak lanjuti. Akhirnya masyarakat sebagai penerima pelayanan selalu menyesuaikan apa yang diinginkan pada Kantor Pertanahan setempat.  Wajar pada akhirnya, masyarakat menilai tidak adanya reformasi kebijakan ditubuh Badan Pertanahan Nasional.
Namun tidak dapat dipungkiri, saat ini Badan Pertanahan Nasional mulai membenahi segala hal-hal yang menghambat pada pencapaian reformasi agraria yang diinginkan. Hal ini tentunya terlihat pada saat dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) untuk tahun 2010 sampai dengan 2014. Adanya RPJM itu menjadi pemacu oleh Badan Pertanahan Nasional untuk membuat program kebijakan agraria nasional dalam rule maps untuk kepentingan rakyat sebagaimana tercantum dalam suatu dokumen Rencana Strategis (Restra) Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk tahun 2010 sampai dengan 2014, oleh BPN dikatakan second wave reform atau reformasi gelombang kedua BPN RI.  Rencana Strategis ini oleh BPN sebagai instrument dalam rangka melanjutkan, meningkatkan, dan mengembangkan pembangunan pertanahan yang telah dilaksanakan pada periode sebelumnya. Disamping itu Restra merupakan pedoman dan kendali sebagai acuan dan koordinasi maupun rencana aksi bagi setiap unit-unit kerja pada semua tingkatan organisasi Badan Pertanahan Nasional.
Jika dilihat pada konsepnya, rencana strategis BPN tersebut, sangat ideal sekali, baik menyangkut visi, misi, tujuan pembangunan sebagai arah kebijakan strategis, disamping itu juga, telah memetakan segala potensi permasalahan dibidang pertanahan sebagaimana yang menjadi pijakkan, ke arah pencapaian reformasi dibidang pertanahan. Jika hal tersebut sudah terkonsepkan secara jelas sebagai rencana strategis, maka Badan Pertanahan Nasional, harus segera mengambil langkah-langkah  guna untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Yang kita ketahui saat ini masih tingginya tingkat kemiskinan pada masyarakat baik diperkotaan dan pedesaan, yang didasari dari tidak adanya akses kepemilikan tanah yang memadai sebagai bagian penilaian ekonomi kemampuan masyarakat.
Oleh karena itu, pengangkatan Bapak Hendarman Supandji sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional yang baru, yang bersangkutan harus memiliki visi dan misi atau tanggung jawab yang jelas kerah terpenuhinya reformasi agraria. Kepala Badan Pertanahan Nasional, akan menjadi tokoh sentral apakah yang bersangkutan itu cukup tahu dan mengerti segala permasalahan pertanahan yang selalu menjadi keluhan masyarakat saat ini. Penempatan selaku pejabat tinggi dilingkup pertanahan, baik dipusat, propini dan daerah, akan dituntut tanggung jawabnya, mau dibawa ke mana politik pertanahan nasional saat ini. Sehingga akan memperkecil timbulnya sengketa-sengketa pertanahan yang ada.

SENGKETA TANAH

Satu hal yang menjadi pekerjaan rumah oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional, yaitu masih tingginya sengketa tanah yang terjadi saat ini. Fenomena sengketa tanah yang muncul dipermukaan, baik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat, masyarakat dengan investor, pemerintah dengan pemerintah, dan masyarakat dengan masyarakat semakin intensif. Kasus Masuji di Lampung misalnya, dapat dijadikan potret buram penyelesaian dibidang pertanahan yang gagal. Yang mana sebagian besar muncul dari akibat pembebasan tanah untuk kepentingan pembangunan infrastruktur, industri, perumahan, pariwisata maupun perkebunan skala besar.
Diluar Jawa sengketa tanah sebagian besar terjadi antara masyarakat adat yang mempertahankan pengusahaan hutan, pertambangan, termasuk  minyak dan gas, disamping pengembangan agribisnis dengan pola PIR (Perkubunan Inti Rakyat). Sengketa ini terjadi dari kebijakan politik pertanahan kita yang masih jalan ditempat. Dari tahun  ketahun dari masa Orde Baru ke masa reformasi saat ini, terasa sekali penyelesaian  sengketa pertanahan selalu meninggalkan permasalahan yang tak terselesaikan. Munculnya kasus pertanahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kebijakan Pemerintah yang banyak bersifat adhock, inkonsisten, dan ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain. Disamping struktur hukum pertanahan masih tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA No. 5 Tahun 1960) misalnya, sebagai peraturan yang tertinggi dibidang pertanahan, menjadi tidak berfungsi dan secara substansial jika dihubungkan dengan UU Pokok Kehutanan, UU Pokok Pertambangan, dan peraturan-peraturan lainnya. Pada akhirnya menimbulkan benturan peraturan, baik dari segi penafsiran dan penerapannya.
Peta permasalahan yang menimbulkan sengketa dibidang pertanahan ini menjadi pekerjaan rumah oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional yang baru. Untuk menemukan formula penyelesaian sengketa yang lebih efektif, tidak lama dan tidak berbelit-belit. Disamping adanya ketegasan penerapan aturan hukum terhadap pihak-pihak yang memang dengan sengaja mencari titik lemah dari permasalahan dibidang pertanahan yang ada.
Ketegasan Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional, sesuatu sangat diharapkan untuk memperkecil timbulnya sengketa pertanahan yang ada. Oleh karena itu apa yang telah disusun pada buku rencana strategi pertanahan dapat dijalankan dengan sebenar-benarnya, tidak hanya menjadi menara gading, atau hanya sampai pada take book  minim penerapan dan aplikasinya. Oleh karena itu penunjukkan Bapak Hendarman Supandji sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional dan juga sebagai mantan Jaksa Agung dianggap orang yang cukup mampu untuk ditempatkan sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional.  Tidak dikesankan sebagai bagian politik praktis untuk melindungi para mafia-mafia pertanahan.


Bambang Syamsuzar Oyong, SH. MH
Notaris – PPAT Kota Banjarmasin

Tulisan ini telah dimuat pada Harian Banjarmasin Post pada tanggal 21 Juni 2012

Komentar

  1. Salam kenal bapak Bambang :)
    Saya seorang anak kelas 2 SMA dengan jurusan IPA.
    Namun saya ingin melanjutkan studi di kuliah di bidang hukum dan melanjutkan di bidang kenotariatan
    Mohon penjelasannya apa itu notaris dan bagaimana pekerjaan nya serta kekurangan serta kelebihannya :')
    terima kasih ..
    email : pqcentral@yahoo.co.id/rockstar.fuxio@gmail.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS