Legal Standing Pemohon dalam Putusan MK mengenai Wamen


PUTUSAN MK TERHADAP WAMEN, 
DALAM KAJIAN LEGAL STANDING PEMOHON

          Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 dalam amar putusannya menyebutkan bahwa penjelasan Pasal 10 dari UU No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementrian Negara dinyatakan bertentangan dengan ketentuan  Undang-Undang Dasar Negara RI 1945. Disamping itu juga, penjelasan  Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Inilah menjadi pro kontra terhadap putusan MK tersebut, sepanjang menyangkut pengangkatan Wamen (Wakil Menteri) oleh Presiden. Pertanyaan yang mendasar jika dikaji lebih lanjut adalah saat pengangkatan Wamen yang dilakukan oleh Presiden seolah-olah bertentangan dengan UUD 1945, karena pengangkatan Wamen tersebut didasari dari ketentuan UU No. 39 Tahun 2008, khususnya pada Pasal 10.
Pada tulisan ini, penulis mencoba memberi penilaian, apakah putusan MK ini memang menggambarkan apa yang sebenarnya dilihat dari tugas dan kewenangan MK,  atau MK hanya sebatas mengaminkan opini yang selalu berkembang di tengah masyarakat terhadap suatu penilaian dari pemerintah atau penguasa saat ini. Jika kita membaca pertimbangan  yang disampaikan oleh MK, ada ketidak konsistenan dalam pertimbangan MK tersebut, lemah pada kajian teori khususnya teori badan hokum untuk melihat kedudukan hokum (legal standing) pemohon.  Seharusnya pada pertimbangan yang disampaikan oleh MK, nilai-nilai konsistensi itu sesuatu yang sangat utama
Putusan MK No. 79/PUU-IX/2011 yang dibacakan pada tanggal 5 Juni 2012 lalu, pada dasarnya telah diprediksikan sebelumnya oleh kalangan dan para pengamat pada umumnya, perihal pengangkatan Wamen yang dilakukan oleh Presiden.
Penempatan MK sebagai lembaga yang diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU No. 24 tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi,  diubah dengan UU No. 8 tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa MK berwenang mangadili pada tingkat pertama dan terakhir dengan putusan bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Putusan yang dikeluarkan oleh MK tersebut didasari adanya permohonan yang disampaikan oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK), diketuai oleh Adi Warman, SH., MH. Karena GN-PK sendiri memandang pengangkatan Wamen oleh Presiden merupakan suatu pemborosan anggaran dan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi kedudukannya. Dimana pengangkatan Wamen tersebut oleh  Presiden telah didasari pada Perpres No 47 Tahun 2009 Jo. Perpres No. 76 Tahun 2011, dan Perpres No. 92 Tahun 2011, saat ini telah diganti dengan dikeluarkannya Perpres No. 60 Tahun 2012 Tentang Wakil Menteri, dinyatakan  menyalahi aturan dan prosedur dan juga bertentangan dengan UUD 1945.
Saat tulisan ini dibuat, Bapak Presiden baru saja mengumumkan penunjukan Wamen dari Kementrian ESDM Bapak Rudi Rubiandini sebagai pengganti  Bapak (alm) Widjajono Partowidagdo. Artinya adalah, saat MK membatalkan Pasal 10 UU No. 39 tahun 2008, sebagai pijakan oleh Presiden sebagai Kepala Negara serta selaku Kepala Pemerintahan yang memiliki hak prerogativ.  Jika kita mengkaji lebih lanjut dari putusan MK tersebut, terdapat ketidak singkronan norma  dalam penerapan hukum. Hal itu terlihat pada saat MK mengkaji kedudukan hokum Pemohon dalam legal standing. Ini sangat penting artinya oleh penulis, untuk melihat kedudukan hokum Pemohon tersebut apakah Pemohon memiliki hak untuk bertindak jika dihubungkan dengan ketentuan Pasal 51 ayat 1 dari UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh diberlakukan Undang-undang, yaitu a. perorangan Warga Negara Indonesia, b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang di atur dalam Undang-Undang, c. badan hukum public atau privat dan d. lembaga negara.
Legal standing  oleh MK terhadap Pemohon yang terdiri dari kedudukan  Pemohon, kerugian yang dialami Pemohon baik berupa kerugian konstitusional maupun kerugian dalam bentuk potensi kerugian konstitusional lainnya,  Kajian Mk terhadap kedudukan pemohon yang menempatkan Pemohon sebagai badan hukum privat (vide Pasal 51 ayat 1)  terdapat kejanggalan norma dan tidak prosedural jika dilihat pada tataran teori badan hukum. MK hanya memandang bahwa Pemohon dalam hal ini GN-PK sebagai badan hukum hanya dilihat dari kedudukan cara mendefinisikan badan hokum secara umum, tanpa melihat apakah prosedur Pemohon sebagai badan hukum telah memenuhi syarat legal sebagai mana yang telah ditetapkan.
MK memandang bahwa GN-PK adalah badan hukum privat sebagaimana yang didefinisikan oleh MK sendiri, bahwa badan hokum private adalah suatu perjanjian antara lebih dari dua orang sebagai tindakan hukum majemuk atau dilakukan lebih daru dua orang, yang menyendirikan sebagian kekayaan untuk disendirikan pada badan yang dibentuk dalam perjanjian. MK juga menyebutkan bahwa Pemohon adalah suatu badan hukum yang berbentuk organisasi kemasyarakatan, telah memiliki anggota hampir diseluruh Indonesia. Inilah yang menjadi pertanyaan oleh penulis, mengapa MK dalam legal standing nya tidak mengkaji lebih lanjut apakah Pemohon telah memenuhi syarat sebagai mana yang ditetapkan sebagai badan hukum ? Jika argument yang dipakai oleh MK tersebut benar, maka ini menjadi penafsiran yang sangat keliru. Begitu mudanya setiap lembaga yang mengatas namakan kepentingan masyarakat  dapat dinyatakan sebagai badan hukum privat oleh MK, dan berhak selaku Pemohon. Seharusnya ketentuan Pasal 51 ayat 1 dari UU No. 24 Tahun 2003 tersebut, untuk memperjelas kedudukan Pemohon tidak hanya perorangan semata sebagai subjek hukum melainkan badan hukum privat atau badan hukum public.
Pada tataran teori badan hokum, secara normative bahwa pengertian badan hokum (rechtpersoon)  dalam batasan-batasannya tidak dinyatakan secara tegas. Namun kenyataanya, penyebutan  “ Badan Hukum”  yang disamakan sebagai subjek hokum selaku penyandang hak dan kewajiban, terdapat pada beberapa peraturan perundang-undangan. Dalam Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum,  begitu pula pada ketentuan Pasal 10 ayat 1 dari UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar  Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Pasal 9 UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Pasal 9 UU No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi, begitu juga pada Pasal 1 angka 1 UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, Pasal 1 angka 1 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, dan Pasal 3 ayat 2 UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, maupun UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Untuk  itu perlu diketahui, apa sebenarnya badan hokum  ? Badan hokum dapat disamakan dengan manusia selaku subjek hokum penyandang hak dan kewajiban artinya adalah kedudukan badan hokum itu sama fungsinya sebagai subjek hokum, dimana badan hukum  sengaja dibuat oleh manusia yang memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari para individunya. Karena bandan hokum itu bukan manusia, maka secara aturan badan hokum itu adalah suatu lembaga (institusi) yang tidak berwujud, yang mana perwujutannya itu hanya terlihat dari tindakan para pengurus atau anggota yang mewakili badan hokum tersebut. Seperti Perseroan Terbatas, Koperasi, Yayasan dan Perkumpulan.  Menurut doktrin yang berlaku unsur dari badan hukum itu berupa : adanya harta kekayaan yang terpisah dari harta kekayaan anggota (individu), mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri dan adanya organisasi teratur.
Jika MK mengatakan bahwa Pemohon dalam hal ini Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) sebagai badan hokum privat dan juga dikatakan sebagai  organisasi kemasyarakat (Ormas), maka ia akan terikat dalam ketentuan UU No. 8 Tahun 1986 tetang Organisasi Kemasyarakatan. Sedangkan dalam ketentuan UU Ormas tidak menyebutkan bahwa  Ormas adalah sebagai badan hokum. Ormas dinyatakan sebagai badan hokum hanya terbaca pada Pasal 8 ayat 3 UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang oleh MK  UU BHP tersebut telah dibatalkan dalam putusannya No. 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, tertanggal 31 Maret 2009. Oleh karena itu dapat dikritisi, jika MK memandang GN-PK tersebut sebagai Ormas yang berbadan hokum, secara ketentuan yang berlaku Ormas tersebut haruslah berbentuk Yayasan atau Perkumpulan. Pertanyaannya adalah apakah Pemohon dalam hal ini GN-PK dalam permohonan uji materiil terhadap putusan Presiden dalam penunjukan Wamen (Wakil Menteri)  berbentuk Yayasan atau Perkumpulan? Inilah yang tidak dijelaskan oleh MK dalam legal standing Pemohon. Bahwa Ormas dapat dikualifikasikan sebagai badan hokum harus memperoleh pengesahan status badan hukuk oleh Kantor Kementrian Hukum Dan HAM RI. Berbeda terhadap Ormas yang hanya terdaftar di Kantor Kementrian Dalam Negeri RI, yang tidak berbentuk Yayasan atau Perkumpulan dan tidak memperoleh pengesahan badan hokum melalui Kantor Kementrian Hukum Dan HAM RI, maka Ormas tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai badan hokum.
Adanya kesalahan penafsiran dalam kedudukan badan hokum itu, jika dihubungkan pada Pasal 51 ayat 1 UU MK, berakibat pada kewenangan bertindak, apakah badan hokum itu memenuhi syarat sebagai badan hokum privat yang diberikan kewenangan untuk selaku Pemohon. Penafsiran yang disampaikan oleh MK tersebut mengenai kedudukan legal standing pemohon sebagai badan hokum privat, tanpa dalam kajian norma hokum dan teori yang berlaku, dikesankan oleh penulis sangat dangkal sekali.  
Putusan MK itu sendiri oleh penulis belum mencerminkan MK sebagai lembaga  the guardian of constitution  sebagai lembaga pelindung konstitusi. Dilihat lemahnya kajian norma hokum dan penerapan teori.  Jangan sampai lembaga MK ini sebagai tempat para politisi bermain dalam kepentingan pribadi dan kelompok. Karena sebagian besar hakim MK berasal dari para politisi.



BAMBANG SYAMSUZAR OYONG, SH., MH
Notaris – PPAT Kota Banjarmasin

                                                                      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS