WAJIB MILITER DIANTARA ISU INTOLERANSI
WAJIB
MILITER DIANTARA ISU INTOLERANSI
Isu
yang menarik dalam minggu-minggu ini, adalah makin kenjangnya pembahasan
megenai Rancangan Undang-Undang Wajib Militer yang sedang dibahas DPR bersama
Pemerintah. Pro dan kontra terhadap pembahasan RUU ini tidak dapat hindari,
dalam kajinan dan beberapa alasan yang telah disampaikan oleh beberapa pakar.
Ada yang mengatakan wajib militer bentuk
tanggung jawab Negara untuk mempersiapkan segala hal yang meyangkut ketentraman
Negara akibat adanya agresi dari luar, dan hal itu sangat wajib dipersiapkan.
Gunanya untuk menjaga ketentraman wilayah bangsa dan negara.
Pembahasan RUU Wajib Militer adalah
bagian program legislasi Nasional dalam pencapaian yang diinginkan oleh DPR
bersama Pemerintah untuk mempersiapkan kondifikasi yang mengatur secara
menyeluruh bela Negara sebagaimana tertuang pada RUU tersebut. Ini menjadi
sesuatu yang harus dipikirkan langkah-langka ideal, tentang cara dan
pelaksanaannya.
Untuk itu, penulis sebelum memulai
tulisan ini sempat berpikir, apakah memang bangsa ini membutuhkan UU wajib
Militer sebagaimana yang telah diterapkan oleh bangsa-bangsa lain? Atau hanya
sebatas gagah-gagahan untuk
memperlihatkan kepada Negara luar, bahwa bangsa Indonesia akan mewewajibkan setiap warga Negaranya ikut
serta melaksanakan bela Negara. Hal yang ideal memang patut diapresasi. Namun
yang terpenting adalah bagaimana bangsa ini dapat menyelesaikan secara tuntas
isu-isu lokal yang akan menimbulkan permasalahan kesatuan dan persatuan bangsa,
yang sampai saat ini belum terselesaikan.
Isu
intoleransi yang menyangkut agama, tindakan intoleransi terhadap
kelompok-kelompok minoritas, dan lainnya. Menurut penulis juga merupakan acaman
yang sangat serius. Jika tidak berakibat timbulnya perpecahan persatuan dam
kesatuan yang telah lama kita pertahankan.
Isu intoleransi tersebut membuat
Negara ini menjadi gamang, dan lupa cara
untuk menyelesaikan secara tuntas, setiap yang menyangkut kekerasaan atas nama
agama atau kelompok. Negara menjadi pasif dan mati rasa. Pertanyaannya adalah dimana
peran Negara pada saat itu ? Untuk
melindungki kelompok-kelompok tertentu yang menjadi korban tindak
kekerasan dari kolompok lain. Semua diserahkan dengan cara penyelesaian instan
dan tidak menyentuh akar permasalahan. Tidak harus menyebut satu persatu kasus
yang timbul. Kasus Ahmadiyah, kasus Sampang, kasus Poso dan lainnya. Merupakan
potret buram yang berhubungan dengan masalah intoleransi. Kasus yang timbul
didaerah akan selalu menjadi potensi konflik didaerah yang lain. Inilah yang
seharusnya penjadi pekerjaan rumah pemerintah yang sedang berkuasa. Pemerintah
jangan dikatakan alpa dan tidak bisa
berbuat apa-apa.
Ketika
SBY dinobatkan sebagai salah satu tokoh dunia yang berhasil mengatasi
permasalahan intolerasni di Negara ini
dengan penghargaan yang di dapat berasal dari The Appeal of Conscience
Foundation di New York, Amerika Serikat, berupa penghargaan World
Statesman. Jelas sebagai Kepada Negara patut diapresiasi. Namun menjadi
hal yang sangat ironi jika melihat permasalahan
intoleransi negara ini yang semakin meluas, Namun eskalasi permasalahan
intoleransi yang semakin meningkat, seolah-olah kita melupakan kebhinnekaan
yang ada.
Wajib militer memang sesuatu cara yang
dilakukan oleh Negara dengan melibatkan
semua warga Negara untuk turut serta melakukan bela Negara. Namun akan menjadi
sangat ideal, pelaksanaan bela negara tidak pada konteks militeristik,
sebagaimana pada cara-cara wajib militer yang kita kenal. Seperti pemakaian
senjata, penggunaan baju militer, pemberian pelatihan berbulan-bulan.
Akan
sangat ideal pelaksanaan bela Negara menggunakan cara-cara yang lebih non
militeristik, berupa pemberian pemahaman terhadap pentingnya peran warga nagara
untuk melakukan bela Negara pada saat Negara membutuhkannya. Salah satunya
adalah dengan mengaktifkan kembali pelaksanaan Pedoman Penghayatan Pengamalan
Pancasila (P4). Sebagaimana tergambarkan pada 36 butir-butir Pancasila dan 45
butir-butir P4. Inilah yang membedakan bangsa kita dengan bangsa lain dalam
memahami pentingnya bela Negara. Cara yang kita gunakan sangat menggambarkan ke
Indonesiaan suatu bangsa yang besar, yang terdiri dari beberapa suku bangsa,
bahasa, dan agama dalam wilayah hamparan persatuan Indonesia.
Menata Ulang Fungsi Pacasila
Saat gerbong reformasi ini berjalan
dengan meninggalkan gerbong pemerintahan Orde Baru. Pada saat segala atribut yang berasal dari
Pemerintahan Orde Baru mulai kita hilangkan. Salah satunya adalah
pelaksanaan dari Pedoman Penghayatan
Pengamalan Pancasila (P4) adalah sesuatu menjadi kewajiban yang harus dikenal
seluruh lapisan masyarakat terpelajar pada saat itu, yang mewajiban ikut serta
melaksanakan pendidikannya baik ditingkat dasar dan lanjut.
Setelah reformasi pada 1998, apresiasi
terhadap Pancasila memang terlihat menurun. Apalagi terhadap P4. P4 yang
populer dengan sebutan “Ekaprasetia
Pancakarsa” dituding sebagai ajaran Orde Baru. yang secara harfiah diartikan
“tunggal”, “prasetia” berarti janji atau tekad, “panca” berarti lima dan
“karsa” berarti kehendak yang kuat. Dengan demikian “Ekaprasetia Pancakarsa” berarti tekad yang tunggal untuk
melaksanakan lima kehendak kelima Sila Pancasila. Yang memiliki nilai-nilai
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Menjadi bangsa yang
bermartabat merupakan pengharapan yang diinginkan semua masyarakat. Untuk itu
polanya harus bersendikan pada nilai-nilai Pancasila yang menjadikan warga
negara Indonesia menjadi manusia Pancasila melalui penerapan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila). Secara filosofis P4 merupakan
kehendak pendiri negara, yaitu ingin menjadikan rakyat Indonesia sebagai
manusia Pancasila, namun secara praksis pelaksanaan pendidikannya berupa
penataran pada saat itu dilakukan dengan metodologi yang tidak tepat karena
menggunakan cara-cara indoktrinasi dan tanpa keteladanan yang baik dari para
penyelenggara negara sebagai prasyarat keberhasilan pendidikan P-4 tersebut. Sehingga bisa dipahami jika pada
akhirnya pendidikan P-4 ini mengalami
kegagalan, meskipun telah diubah pendekatannya dengan menggunakan pendekatan
kontektual.
Kita
tidak mau disebut sebagai bangsa yang kerdil atau bangsa yang tidak memiliki karakter. Pada hal nilai-nilai karakter sebuah bangsa
sangat dibutuhkan untuk menjadikan dirinya sebagai
bangsa yang bermartabat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain.
BAMBANG SYAMSUZAR
OYONG
Notaris-PPAT
Kota Banjarmasin
Komentar
Posting Komentar