KETIKA
PEMERINTAH DAERAH
MASUK
WILAYAH PRIVAT MASYARAKAT
PADA
TRANSAKSI BIDANG TANAH
oleh Bambang Syamsuzar Oyong (Notaris PPAT Kota Banjarmasin)
Dimulai dari sebuah cerita, ketika dua
orang datang ke Kantor PPAT (Pejabat
Pembuat Akta Tanah) masing-masing mengatas namakan dirinya selaku Penjual
dan Pembeli, dengan membawa syarat-syarat dalam rangka proses peralihan hak. Dari
syarat identitas diri dengan menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), serta
bukti pembayaran Surat Pemberitahaun Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tahun
terakhir dan data-data lainnya, serta tidak lupa juga melampirkan kwitansi
sebagai bukti telah dilakukan pembayaran dari Pembeli kepada Penjual, tertulis
dengan harga Rp. 120.000.000,- . Artinya mereka telah sepakat baik harga dan
segala ketentuan pembayaran pajak sebagaimana yang disyaratkan.
Pada dasarnya mereka sudah sangat
memahami segala prosedur yang ditetapkan oleh seorang PPAT proses peralihan hak melalui jual beli. Namun
sebelum proses selanjutnya berjalan, seorang PPAT terlebih dahulu meminta ijin
kepada para pihak untuk memvalidasi dengan menyerahkan bukti bayar SPPT
PBB tersebut kepada pejabat terkait dalam
hal ini Dinas Pendapatan Daerah
(Dispenda) setempat, tertulis Nilai Jual Objek Pajak atau yang kita kenal NJOP sebesar Rp.
95.000.000,- yang merupakan penjumlahan permeter bumi (tanah) dan bangunan berdasarkan
luas tanah dan luas bangunan yang ada.
Namun ketika proses validasi, pejabat Dispenda
setempat meminta transaksi tersebut dengan harga sebesa Rp. 200.000.000,-
dengan alasan pasaran harga tanah dan bangunan tersebut setempat saat ini
diduga Rp. 250.000.000. Disinilah mulai
permasalahan timbul, adanya protes dari para pihak, baik penjual dan pembeli.
Protesnya tidak lepas dari makin besarnya beban yang harus mereka bayar untuk
pembayaran Pajak Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB), jika seandainya ditetapkan dengan harga Rp. 200.000.000-.
Pada hal validasi yang kita ketahui selama ini adalah melihat data pada SPPT
PBB baik terhadap subjek orang, objek benda berupa tanah dan bangunan, dan
apakah hal itu telah dibayar oleh pemegang hak SPPT PBB nya, dan lain, bukan
pada menentukan harga transaksi.
Protes ini
pada akhirnya sampai juga kepada PPAT yang mana PPAT harus segera memberi
jawabannya secara aturan yang berlaku. Dispenda setempat tetap kekeh dengan
harga yang mereka tetapkan, jika tidak, proses validasi ini tidak akan di
setujui dan pada akhirnya menghambat proses balik nama pada proses pendaftaran
pada Kantor Pertanahan setempat. Inilah kenyataan yang ada saat ini.
Betapa sulitnya masyarakat jika cara ini tetap
berlangsung. Pertanyaanya adalah apakah ini ada landasan hukumnya atau memang
hanya sebatas keinginan Pemerintah daerah ingin meningkatkan pendapatan daerah
pada sektor pembayaran pajak BPHTB ? Alasan yang diberikan dengan maksud meningkatkan
pendapatan asli daerah dari penerimaan BPHTB tidak dapat dibenarkan tanpa landasan hukum baik berupa UU,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dan lainnya. Jika hal ini terjadi dapat
dikategorikan kesewenangan pemerintah terhadap rakyat di sektor pajak.
Pemerintah Daerah punya peran besar
untuk meningkatkan sektor pendapatan asli daerah baik yang bersumber dari pajak
maupun yang bersumber dari retribusi, dan hal ini sangat dimungkinkan. Walaupun
memiliki pengertian yang berbeda, namun pada dasarnya pajak dan retribusi
selalu bermuara pada peningkatan pendapatan daerah, baik untuk pembangunan
fisik dan sarana maupun untuk pembiayaan bagi daerah, dan apabila terdapat
surplus maka dipergunakann untuk membiayai “publik
invesment” sehingga tujuan yang utama dari pemungutan pajak adalah sebagai
sumber keuangan (budgetair). Oleh
karena itu, pajak hanya dapat dipungut oleh pemerintah baik pusat dan daerah.
Dan Pemerintah baru dapat memungut pajak kalau sudah ada undang-undang yang
mengaturnya.
Bertitik tolak pada definisi pajak menurut pendapat
para ahli, memberi kesan bahwa pemerintah memungut pajak semata-mata untuk
memperoleh uang atau dana untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
Sehingga seakan-akan pajak hanya
mempunyai fungsi sebagai sumber keuangan
negara (budgetair) tetapi pajak
mempunyai fungsi yang lebih luas yaitu fungsi mengatur (regulerend) dalam arti bahwa pajak itu dapat digunakan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan-kebijakan negara.
Untuk tercapai semua itu daerah harus mengoptimalkan
sumber-sumber pendapatan tersebut, dengan cara membuat regulasi (aturan-aturan)
hukum yang mengatur, baik dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan
lainnya. Aturan-aturan itu sebagai payung yang melandasi pemungutan pajak oleh
negara kepada masyarakat. Pemerintah dilarang malakukan pemugutan tanpa ada
aturan yang mengaturnya. Jika hal ini terjadi, pemerintah telah melanggar dari
prinsip perpajakan itu sendiri.
Pajak BPHTB merupakan beban yang harus
tanggung pembeli dalam peralihan hak atas tanah dan bangunan. Karena itu
pengaturan BPHTB sebagai salah satu sektor pajak telah lama diatur dengan cara-cara yang ditetapkan oleh
pemerintah. Pengaturan BPHTB saat ini diatur pada ketentuan UU Nomor 28 tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebelumnya diatur pada UU Nomor
20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah Bangunan. Aturan BPHTB merupakan landasan hukum dalam pengenaan
pajak sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan bangunan yang memuat
segala sesuatu yang berhubungan dengan pemindahan hak dan perolehan hak baru.
Adapun pemindahan hak yang kita kenal selama ini berupa jual beli, tukar
menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum
lain, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan
usaha, pemekaran usaha dan hadiah. Sedangkan dalam bentuk pemberian hak baru
adalah kelanjutan pelepasan hak dan diluar pelepasan hak. Perbuatan hukum
inilah dinamakan sebagai objek BPHTB. Karena merupakan objek BPHTB, maka dasar
pengenaan pajaknya didasarkan pada Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).
Untuk menentukan NPOP tersebut setiap peralihan
hak berbeda-beda, ada yang berdasarkan pada harga transaksi dan ada yang
berdasarkan nilai pasar. Satu-satunya yang berdasarkan pada harga transaksi sebagai
penentuan NPOP adalah perbuatan hukum jual beli pada peralihan hak atas tanah
dan bangunan. bukan berdasarkan pada nilai harga pasar.
Filosofi
ditetapkan harga transaski sebagai patokan NPOP pada jual beli dan bukan dengan
harga pasar, tidak lain pada pertimbangan kemampuan masing-masing pihak penjual
dan pembeli terhadap adanya kesepakatan antara para pihak, walaupun pembebanan
BPHTB terhutang berada di pihak pembeli. Kesepakatan itu sendiri bagian dari
adanya kebebasan berkontrak diantara para pihak tidak hanya menyangkut hal yang
diperjanjikan terhadap objek perjanjian dan tata caranya juga salah satunya
memuat mengenai harganya.
Kebebasan berkontrak yang kita kenal
pada ranah hukum perdata adalah sesuatu yang menjadi kesepakatan diantara pihak
dan ini merupakan undang-undang bagi mereka untuk mematuhinya. Sebagaimana
berdasarkan pada pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Karena itu, pada kebebasan berkontrak selalu dibatasi pada
wilayah ketertiban pada kontrak, dimana para pihak tidak boleh melanggar
syarat-syarat sahnya perjanjian pada ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Inilah
yang melatar belakangi adanya kesepakatan jual beli dengan menggunakan harga
transaksi pada bidang tanah dan bangunan, bukan merupakan harga pasar. Karena
pada dasarnya harga pasar sesuatu yang diduga pada patokan yang belum pasti dan
jelas. Sangat sulit diterapkan pada
peralihan hak dalam proses jual beli. Adanya keinginan dengan mendekati harga
pasar harus berdasarkan para meter yang jelas dengan penilaian kempuan
masyarakat untuk menentukan, juga pengembangan dan pertumbuhan ekonomi pada
wilayah yang bersangkutan.
Undang-Undang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana yang ada sudah menentukan patokan nilai
dari pengembangan dan pertumbuhan harga berdasarkan perubahan pada Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) sepenuhnya wewenang Pemerintah Daerah setempat yang setiap tahun
dapat dilakukan revisi atau perubahan dengan dasar dari adanya pertumbuhan dan
kemampuan ekonomi masyarakat pada setiap satu tahun kuartal pajak. Pemerintah Daerah
mempunyai wewenang untuk menetapkan nilai harga dengan melihat kemampuan bayar
masyarakat setempat. Cara ini dibenarkan oleh UU, gunanya untuk peningkatan
pendapatan daerah disektor pembayaran pajak PBB.
Namun yang terjadi
permasalahan. Sampai saat ini sesuatu yang menjadi ranah privat masyarakat
dalam peralihan hak atas tanah dan bangunan melalui jual beli, saat validasi
oleh Dispenda setempat juga ikut berwenang menentukan harga dengan
alasan mendekati harga pasar. Pada hal ini bukan ranah dan wewenangnya. Pada hal, bisa saja peralihan jual beli ini
didasari dari perbuatan hukum lainnya bisa hutang piutang, penyerahan tanpa
hibah atau pemberian hadiah dengan konsep balik nama melalui jual beli dan
lainnya. Perbuatan ini dimata hukum tetap sah sepanjang proses tersebut tidak
bertentangan dengan norma hukum perjanjian yang berlaku.
Segala sesuatu yang
berhubungan dengan pajak dan retribusi haruslah berdasar aturan hukum yang
mengatur. Jika tidak, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan melanggar pada
sistem norma pemerintahan yang baik. Karena
itu Pengenaan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan harus memperhatikan asas-asas keadilan,
kepastian hukum, legalitas, dan kesederhanaan serta didukung oleh sistem
administrasi perpajakan yang memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakan.
Komentar
Posting Komentar