KRIMINALISASI DUNIA MEDIK
KRIMINALISASI
DUNIA MEDIK
(Berkaca
Pada Kasus dr. Ayu dkk.)
Putusan
Mahkmah Agung nomor 635 K/Pid/2012, yang telah diputuskan dalam rapat
musyawarah Majelis Hakim Kasasi pada tanggal 18 September 2012 yang lalu. Menyatakan para terdakwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani selaku (terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak selaku (terdakwa II)
dan dr. Hendy Siagian selaku (terdakwa
III) terbukti secara sah meyakinkan
barsalah melakukan tindakan pidana “perbuatan
yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”. Disamping itu juga,
menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa I, II dan III dengan pidana penjara
masing-masing 10 bulan.
Kasus
ini semakin menarik dikala Jaksa selaku eksekutor melakukan penangkapan kepada masing-masing
terdakwa. Mulailah pemberitaan mengarah
pada tindakkan kriminialisasi terjadap jabatan “yang sangat mulia “ seorang
dokter. Timbul polemik dari kasus tersebut telah terjadi “kriminalisasi
dokter”. Dimana seorang dokter tidak pantas diperlakukan seperti seorang penjahat.
Pada
dasarnya tidak ada maksud penulis ingin berlebihan untuk menilai pada kasus ini,
sama seperti kasus-kasus lainnya terhadap jabatan yang diemban masing-masing
pihak, harus memiliki nilai dan tanggung jawab dalam pekerjaan. Manakala
kelalaian telah terjadi dan menjadi tanggung jawab dari akibat kelalain
tersebut, itulah yang harus dijalani sebagai resiko pekerjaan. Sepertinya jika
kita tanya pada seseorang yang berprofesi sama dengan terdakwa jawabannya akan
sama, dimana, sangat tidak dibenarkan seorang dokter yang sedang menjalankan
tugasnya dapat dipersalahkan, apalagi dipidana. Untuk itu, istilah
kriminalisasi dokter akan mengarah pada profesi untuk dinilai akan kemampuan
dan kapabilitasnya.
Profesi
dokter yang kita kenal adalah orang-orang yang memiliki kompetensi ilmu
pengetahuan, cakap, dan juga memiliki integritas yang tinggi. Karena ditangan
dokterlah akan menentukan cara pemulihan seorang pasien yang sedang meminta
bantuannya. Selaku pasien akan memberikan kuasa sepenuhnya kepada seorang
dokter untuk menentukan cara-cara pemulihan atau memberikan masukan cara mengobati, yang
dimulai dari komunikasi medik sampai pada tindakan medik.
Landasan
utama bagi seorang dokter untuk melakukan tindakan medik terhadap orang lain
adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimiliki, baik yang diperoleh melalui pendidikan selama
jenjang perkulian, praktek kerja maupun pendidikan spesialisasi yang dibutuhkan
disamping adanya pelatihan, seminar dan segala hal yang berhubungan dengan
peningkatan kemampuan seorang dokter. Dimana pengetahuan yang dimilki seorang
dokter harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan tekonologi yang berkembanga pada dunia
kedokteraan saat ini. Oleh karena itu, profesi ini sering disebut sebagai profesi berkarakteristik. Maksud dari
profesi berkarakteristik ini terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum
dengan maksud diperkenankan untuk melakukan tindakan medik terhadap tubuh
manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan bagi pasien.
Untuk itu jelas, adanya hubungan hukum
antara dokter dengan pasien.
Dalam
hubungan hukum antara dokter dan pasien yang dikenal dengan istilah transaksi terapeutik akan menghasilkan apa yang
dinamakan dengan pelayanan medik atau tindakan medik. Pada transaksi terapeutik seorang dokter harus selalu menekankan
pada nilai-nilai yang telah menjadi asas hukum yang dipatuhi selama ini, baik
dalam rangka memberikan pelayanan medik dan tindakan medik berupa penerapan
asas legalitas, asas kesimbangan, asas tepat waktu, asas etikat baik, asas
kejujuran, asas kehati-hatian dan asas keterbukaan. Asas-asas tersebut menjadi
prinsip utama dalam hubungan hukum antara dokter dengan pasien. Prinsip
tersebut akan menjadi sebuah tanggung jawab pada diri seorang dokter. Dimana
tanggung jawab tersebut sudah mencul jauh hari sebelum dokter dalam menjalankan
profesi dalam rangka melaksanakan upaya kesehatan perorangan kepada pasien. Atau
yang lebih dikenal sebagai aplikasi kaidah-kaidah etik. Penerapan ini terlihat pada acuan yang menjadi pegangan oleh seorang
dokter dalam tata aturan yang termuat dalam pengaturan Mejelis Kehormatan
Displin Kedokteran Indonesia (MKDKI), maupun yang bersumber pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEK). Tata aturan
etik seorang dokter tidak hanya diatur dalam UU Praktek Kedokteran, melainkan
juga pada fakwa etis IDI (Ikatan Dokter Indonesia). Seperti pada Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia No. 221/PB/A.4/04/2002 yang membahas tentang Penerapan Kode
Etik Kodokteran Indonesia, maupun segala hal yang termuat dalam Pedoman
Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Kasus
dr. Ayu dkk., maupun kasus dr. Fransiska Muktar yang disiram kopi oleh pendamping
pasien baru-baru ini, atau kasus-kasus lainnya, yang mengarah pada posisi
dokter yang persalahkan mungkin dikarenakan penerapan prinsip-prinsip yang
selama ini menjadi pegangan yang harus dijalankan oleh seorang dokter tidak
berjalan sebagaimana mestinya, baik menyangkut penerapan prinsip responsibility (tanggung jawab), accountability (akuntabilitas) yang
dijadikan sebagai dimensi etik sosial terhadap pelayanan kesehatan perorangan maupun
masyarakat. Inti permasalahannya adalah lemahnya penerapan disiplin profesi,
lembaga profesi dalam hal ini IDI tidak berani untuk menegur para anggotanya
sebagai upaya akuntabilitas profesi
“yang mulia” , semuanya telah termuat dalam Konsel Kodokteran Indonesia (KKI),
sebagai jembatan penghubung komunikasi intens antara klien, calon pasien dan
kepada pasien sendiri.
Penerapan
prinsip akuntabilitas (accountability) yang di pandukan dengan tanggung jawab (responsibility) akan menjadi sempurna
jika mau mengambil tanggung jawab hukum (liability) kepada
pihak ketiga setelah diputuskan bersalah oleh pengadilan dalam perkara
sengketa medik, baik dalam hal pembayaran, kompensasi atau pelaksanaan musyawarah
secara mediasi dengan mencari cara-cara penyelesain yang etis. Disamping
bertanggung jawan secara hukum akibat kelalian yang telah diperbuat dalam
menjalankan jabatan tersebut.
Jika
melihat paparan tersebut, timbul pertanyaan mengapa Mahkamah Agung dalam
putusan perkara nomor 635 K/Pid/2012, memutus dan menyatakan para terdakwa dr.
Dewa Ayu Sasiary Prawani selaku (terdakwa I), dr. Hendrry Simanjuntak selaku
(terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian selaku (terdakwa III) dinyatakan terbukti secara sah meyakinkan
barsalah melakukan tindakan pidana “perbuatan yang karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain”. Disamping itu juga menjatuhkan pidana terhadap
para terdakwa I, II dan III dengan pidana penjara masing-masing 10 bulan.
Kasus
ini bermula dari penanganan medik terhadap pasien yang bernama Siska Makatai diruang
operasi Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D Kandau Malayang Kota Manado yang akan
melahirkan dengan cara operasi Cito Secsio Sesaria. Oleh majelis yang memutus,
berdasarkan keterangan ahli (dari para dokter sendiri) menyebutkan adanya
kelalaian yang dilakukan para dokter tersebut, akibat tidak pernah menyampaikan
kepada pihak keluarga korban tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk termasuk
kematian yang dapat terjadi terhadap diri korban jika operasi Cito Secsio Sesaria tersebut
dilakukan terhadap diri korban. Para terdakwa sebagai dokter yang melaksanakan
operasi Cito Secsio Sesaria terhadap diri korban tidak
melakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada
dan pemeriksaan penunjang lainnya. Sangat disayangkan putusan Majelis lebih
mengarah pada tindak pidana kelalaian yang mengakibatkan kematian seseorang
(lihat Pasal 359 KUHP Jo. Pasal 55 KUHP).
Ketentuan Pasal 359 KUHP
menyebutkan “ Barang siapa karena
salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun
atau kurungan selama-lamanya satu tahun”
. Penerapan pasal ini lebih diarahkan pada “ketidak hati-hatinya terdakwa
atau lalainya terdakwa yang dikenal sebagai culpa
yang mengakibatkan kematian seseorang (pasien), walaupun “kematian” tersebut
tidak diinginkan. Jika kematian itu diinginkan oleh terdakwa maka deliknya
berubah menjadi pembunuhan (lihat Pasal 338 atau Pasal 340 KUHP).
Memang sangat dilematis,
UU Praktek Kedokteran pada ketentuan pidana, baik pada Pasal 75 sampai Pasal 80, tidak mengatur secara jelas tindak pidana yang
mengarah pada tindak kelalaian seorang dokter dalam menjalankan profesi.
Ketentuan Pasal 75 sampai Pasal 80, mengatur pada hal-hal yang tidak mengarah
pada perbuatan medik, seperti pelaksanaan praktek kedokteran yang dilakukan
seseorang tanpa memiliki surat ijin praktek yang dikeluarkan pejabat terkait.
Pasal-pasal tersebut lebih mengarah pada tindakan administrasi. Seharusnya pada
UU Peraktek Kedokteran harus menyebutkan apa yang menjadi batasan kelalaian
seorang dokter dalam menjalankan pekerjaan. Karena tidak diatur secara jelas
maka penerapan kelalaian dalam menjalankan profesi seorang dokter mengarah pada
tindak pidana yang diatur dalam KUHP.
Memang disadari oleh semua
pihak, bahwa dokter juga seorang manusia bisa salah dan juga bisa lalai. Dia
bukan seorang malikat. Sehingga ketentuan yang menjadi protap/SOP (Standar
Operasional Pekerjaan) bisa saja terlupakan dan tidak dijalankan dengan
sebenarnya. Sehingga efek yang terjadi
diluar jangkau pikiran seorang dokter, saat timbulnya kejadian barulah
terpikirkan hal-hal yang menjadi ketentuan yang berlaku.
Kasus-kasus yang terjadi
saat ini, menjadi perhatian bagi seorang dokter dalam menjalankan “profesi”.
Karena tidak semua pasien memilih “diam”
apabila pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya maupun keluarganya terutama
bila salah satu anggotanya keluarganya ada yang mengalami cacat atau kematian
setelah prosedur pengobatan yang dilakukan oleh seorang dokter tidak sesuai
sebagai mana yang ada.
Bambang Syamsuzar Oyong
Notaris PPAT Kota Banjarmasin
Komentar
Posting Komentar