PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK DALAM MENGHINDARI PERGESERAN TUJUAN IDIIL YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM
PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK DALAM MENGHINDARI PERGESERAN TUJUAN IDIIL YAYASAN
SEBAGAI
BADAN HUKUM
(Bambang Syamsuzar Oyong, SH.MH)
1.
LATAR BELAKANG
MASALAH
Pertanyaan yang sangat mendasar mengenai kontribusi perangkat
perundang-undangan dalam perekayasaan mencapai masyarakat adil dan makmur,
menjadi sangat relevan untuk dikemukakan manakala melihat hukum dan
perundang-undangan sebagai “etalase” dan tidak juga sebagai norma yang berada
diruang kosong; tapi melihat hukum itu sebagai sesuatu yang selalu ada dan
berinteraksi ditengah dinamika kehidupan masyarakat. Tunggakan sejarah yang
belum lunas dibayar oleh bangsa kita hingga saat ini, adalah penggantian
undang-undang yang beretos kolonial feodalistis dengan perundang-undangan yang
beretos egaliter demokratis sesuai dengan status bangsa yang merdeka dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.[1]
Untuk itu, berbicara mengenai peranan hukum dalam pembangunan ekonomi dan
modernisasi masih saja terus diperdebatkan, khususnya peranan hukum di dalam
kehidupan masyarakat.
Lembaga Hukum adalah salah satu di antara lembaga atau pranata-pranata
sosial, seperti halnya keluarga, agama, ekonomi dan lainnya. Maka tantangan
terbesar dalam menciptakan pembagunan hukum yang ideal yang bercirikan ke
Indonesia tidak lain memberi makna dengan melakukan pembaharuan hukum terhadap
hukum yang telah ada. Maka Pembangunan hukum dapat pula bermakna sebagai
pencipta hukum-hukum baru, menuju hukum peralihan (transitory period and law) .[2]
Secara prinsipiil, masa dan hukum peralihan memuat beberapa masalah. Pertama; dalam kenyataan, Indonesia yang
merdeka masih berada dalam pengaruh sistem hukum kolonial yang tidak selalu
berpihak kepada kepentingan rakyat atau bangsa Indonesia. Kedua; untuk memenuhi
kebutuhan hukum baru, acap kali didasarkan pada beleid atau diskresi yang berorientasi pada prinsip manfaaat (doelmatigheid) sesaat dan parsial yang
menimbulkan gangguan terhadap susunan integral sistem hukum. Selain itu, beleid sangat dipengaruhi oleh berbagai
kecenderungan politik atau unsur-unsur dominan dengan berbagai kepentingan
subjektif. Dalam susunan seperti itu, pembaharuan hukum tidak didasarkan pada
kebutuhan masyarakat tetapi kebutuhan politik atau sesuatu kepentingan
subjektif tertentu, seperti kepentingan kaum kapital. Ketiga; hukum belum dapat menjadi sarana yang supreme bahkan bila perlu dikesampingkan, atas nama masa
kedaruratan dan hukum peralihan.[3]
Untuk menuju pembangunan hukum yang ideal sebagai mana yang diharapkan
dibutuhkan penyedian perangkat hukum yang memenuhi segala kebutuhan hukum yang
memberi kepastian bagi segala aspek kehidupan masyarakat atau individu, berupa
politik, ekonomi, sosial dan budaya yang memiliki keselarasan dalam proses
pembangunan hukum, dengan tantangan berupa [4]:
1.
Politik dan tujuan hukum;
2.
Pembentukan hukum;
3.
Penegakan hukum; dan
4.
Pelayanan hukum.
Proses menuju hukum peralihan (transitory
period and law) tersebut terasa sekali dalam pengaturan hukum dibidang
badan hukum khususnya mengenai Yayasan. Badan hukum yang dikenal dengan nama recht persoon, legal persons atau persona moralis adalah subjek hukum.
Pertanyaan yang sangat mendasar untuk mengetahui secara menyeluruh mengenai
badan hukum dimulai dengan suatu pertanyaan
yaitu apa dan siapa badan hukum itu ? Maka untuk menemukan jawaban
tersebut dimulai dengan menemukan teori badan hukum dan persoalan hukum positif
mengenai perihal pengaturan hukum yang berlaku pada suatu negara tertentu.
Untuk menemukan jawaban, pengertian mengenai badan hukum selalu dimulai
dari pemahaman dan pendapat para sarjana hukum. Pendapat Maijers yang membatasi bahwa badan hukum itu sesuatu yang menjadi
pendukung hak dan kewajiban. Sedangkan Logemann
memberikan pemahaman yang menyebutkan bahwa badan hukum adalah suatu personifikatie (personifikasi) sebagai bestendigheid (perwujudan atau
penjelmaan) hak dan kewajiban. R. Rochmad
Soemitro, mengemukakan bahwa badan
hukum (rechtspersoon) suatu badan
yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi. Menurut J.J Dormeier mengenai istilah badan
hukum diartikan sebagai Persekutuan orang-orang
yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku seorang saja. Hal ini
terlihat pada Yayasan.[5]
Pendapat para serjana tersebut mengenai definisi badan hukum dapat
diklasifikasi pada beberapa kriteria sebagai pembatas berupa :
1.
Perkumpulan orang (organisasi) ;
2.
Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking);
3.
Mempunyai harta kekayaan tersendiri.
4.
Mempunyai Pengurus.
5.
Dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan.
Sehubungan dengan pertanyaan selanjutnya siapa badan hukum ? Maka
jawabannya bertitik tolak dari jawaban siapa subjek hukum menurut hukum positif
yang berlaku pada suatu negara tertentu. Contohnya adalah Yayasan sebagai badan
hukum diatur yang mendekati sama dengan dengan pemahaman Yayasan sebagai badan
hukum menurut ketentuan Pasal 365 BW.
Kehadiran
Yayasan sebagai badan hukum dalam prakteknya memang sudah cukup lama dikenal.
Namun politik hukum Indonesia yang mengatur Yayasan secara khusus melalui
kondifikasi hukum, baru terlaksana pada saat Pemerintah bersama perlemen dalam
hal ini Dewan Perwakilan Rakyat membahas secara lengkap keberadaan Yayasan sebagai lembaga, yang memang harus di
atur secara jelas baik keberadaan
dan kedudukannya. Maka pada tanggal 6
Agustus 2001 diundangkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang
Yayasan, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4132, untuk selanjutnya disebut UU Yayasan. Diundangkannya UU Yayasan pada tanggal 6
Agustus 2016 tidak berarti UU Yayasan tersebut berlaku pada saat itu juga.
Menurut ketentuan Pasal 73, Undang-undang ini mulai diberlakukan terhitung satu
tahun sejak tanggal diundangkan, gunanya agar UU ini dapat diterapkan secara
efektif dalam rangka sosialisasi kepada para pendiri Yayasan untuk melakukan
proses perubahan dan penyesuaian.
Yayasan
sebagai badan hukum dibentuk dan pendiriannya untuk menempatkan suatu keinginan
masyarakat diluar sesuatu untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, dengan
menempatkan prinsip-prinsip idiil, yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat
banyak, diluar konsep komersial yang selama ini berjalan.
Keinginan
tersebut memberikan suatu hasil besar kepada masyarakat untuk menempatkan
nilai-nilai kebersamaan pada diri manusia, dengan batasan sebagai makluk
sosial, dan kemasyarakatan menjadi suatu norma dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk itu, lembaga Yayasan menjelma dalam bentuk pemikiran sebagaimana dimungkinkan penerapan
keseimbangan dalam proses interaksi yang berkesinambungan yang memberikan
pemahaman, pemikiran, bahwa disamping bertujuan berkelompok dalam suatu entitas
mencari keuntungan, manusia sebagai makluk tidak lepas pada nilai-nilai sosial,
kemanusian dan kemasyarakatan. Itulah menjadi landasan gerak dari Yayasan sebagai
badan atau lembaga.
Penempatan
Yayasan sebagai lembaga, tidak terlepas
dari eksitensi dalam menempatkan nilai-nilai idiil sebagai pijakan utama, yang
membedakan dengan lembaga lain. Dimana lembaga lain diluar Yayasan, selalu
berorientasi mencari keuntungan. Dimana keuntungan adalah bagian pencapaian
prestasi utama. Sedangkan keuntungan bagi Yayasan bukanlah yang utama, melainkan bagaimana keuntungan yang
didapat selalu berpijak pada kepentingan nilai-nilai yang lebih besar, baik pada nilai-nilai kemanusiaan, sosial dan
kemasyarakatan. Itulah yang membedakannya.
Perkembangan
Yayasan yang ada saat ini, memang tidak terlepas dari sejarah keberadaan Yayasan. Yayasan merupakan bagian dari kebijakan politik hukum
yang dikarenakan akibat ketidak puas memandang lembaga lain. Di mana
Yayasan sebagai lembaga yang selalu
ditentukan dari kebiasan-kebiasaan yang berkembang ditengah masyarakat. Saat
itu hanya diatur dalam ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata atau yang lebih dikenal dengan sebutan Burgerlijk Wetboek (BW). Hal ini
terlihat dari ketentuan Pasal 365, 899,
900, dan 1680 BW.
Pasal
365 BW, berbunyi :
Dalam
segala hal bila mana Hakim harus mengangkat seorang wali, maka perwakilan itu
boleh diperintahkan pada suatu perhimpunan berbadan hokum yang bertempat kedudukan
di Indonesia, kepada suatu Yayasan atau lembaga amala yang bertenpat kedududkan
disini pula, yang mana menurut anggaran dasarnya, akta-akta pendiriannya tau
reglemen-reglemennya berusaha memelihara anak-anak belum dewasa untuk waktu
yang lama.
Pasal
899 BW, berbunyi :
Dengan
mengindahkan akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang ini untuk dapat
menikmati sesuatu dari suatu surat wasiat, seseorang harus telah ada, tatkala si yang mewariskan
meninggal dunia.
Ketentuan
ini berlaku bagi mereka yang menerima hak untuk menikmati sestau dari
lembaga-lembaga
Pasal
900 BW, berbunyi :
Tiap-tiap
pemberian hibah dengan surat wasiat untuk keuntungan badan-badan amal,
lembaga-lembaga keagamaan, gereja-gereja atau rumah-rumah sakit, tak akan
mempunyai akibatnya, melainkan sekedar pengurus badan-badan tersebut, oleh
Presiden atau oleh suatu penguasa yang ditunjuk oleh Presiden, telah diberi
kekuasaan untuk menerimanya.
Pasal
1680 BW, berbunyi :
Pengihahan-penghibahan
kepada lembaga-lembaga umum atau lembaga keagamaan, tidak mempunyai akibat
selain sekedar oleh Presiden atau penguasa-penguasa yang ditunjuk olehnya telah
diberikan kekuasaan kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut, untuk
menerima pemberian-pemberian itu.
Ketentuan-ketentuan
tersebut walaupun tidak menerangkan keberadaan Yayasan sebagai lembaga, lebih
menekankan pada sebuah lembaga yang tidak memakai nama. Yang mana pengertian
lembaga sebagaimana yang dimaksud bukanlah Yayasan. Melainkan lembaga yang mendekati
atau yang diperumpamaan seperti “Yayasan”, yang disamakan dengan
wakaf, dan lembaga sosial lainnya.
Lembaga-lembaga tersebut tetap eksis, dan
berkembang dengan pesat dengan tidak mengidentikkan sebagai lembaga profit.
Lembaga-lembaga yang tidak ada nama sebagaimana yang tercantum pada BW, menjadi
akar perumpamaan sebagai Yayasan yang memiliki perbedaan dengan lembaga profit
yang memang sudah dikenal sebelumnya, baik Perseroan Terbatas bernama naamloze vennootschap[6].
Juga adanya bernama Indonesische Maatshappij
op Aandelen, disingkat I.M.A ialah
suatu lembaga yang diminta oleh pemerintah pada saat itu diperuntukkan bagi orang-orang Bumiputera
untuk mendirikan badan-badan hukum yang berlaku bagi hukum adat setempat
sebagai tempat kedudukan. Hal ini terlihat dari ketentuan Staatsblad 39 No. 571 jo.717, tentang
penyelesaian badan-badan hukum Indonesia di muka Pengadilan. Hal lain dikenal
adanya Perseroan Firma yaitu lembaga atau badan yang didirikan oleh lebih satu
orang dalam suatu perjanjian dengan memasukkan sesuatu (barang atau uang)
dengan maksud untuk melakukan perusahaan di bawah satu nama, dan membagi
keuntungan yang didapatnya. Disamping itu ada lembaga dengan nama Perseroan
Komanditer. Juga diartika sebagai lembaga kombinasi antara firma dengan naamloze vennootschap.[7]
Akibat dari ketidak jelasan pengaturan sebuah
lembaga pada saat itu, yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat yang
berkonsepkan bukan untuk mencari keutungan dan menjadi bagian cita-cita masyarakat yang hidup untuk
kepentingan bersama pada tingkat kebersamaan, yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, dengan tidak memakai nama. Walaupun penggunaan istilah Yayasan
sebenarnya juga bagian warisan pemerintahan Hindia Belanda dengan memakai
sebutan (stichtingen) pada saat itu
sudah menyatakan bahwa Yayasan sebagai badan hukum. Ini terlihat pada ketentuan
Wet op Stichtingen van, tertanggal 31 Mei 1956, mulai diberlakukan
pada tanggal 1 Januari 1957. Ketentuan stichtingen
ini juga telah di atur dalam ketentuan Het
Nieuw Burgelijke wet Boek (NBW Nederland)[8].
Jika
kita lihat perbandingannya bahwa sesuatu yang berbadan hukum yang lain dari
ketentuan untuk mencari keuntungan, dalam sebuah kelembagaan yang menyerupai
seperti Yayasan memang telah di atur secara kondifikasi sebagaimana terlihat di
Inggris, yang telah mengenal Yayasan sejak tahun 1601 dalam ketentuan
pengaturan Charitable Uses Acts of 1601.
Sedangkan di Amerika Serikat kelembagaan
dari sebuah organisasi nirlaba diatur pada ketentuan Nonprofit Corporation Act. Dalam Revised nodel Nonprofit Corporation Act 1987, sebagai pengganti
dari The old Model Act (Old Act) 1964.[9]
Ketentuan
yang menjadi pertimbangan dari beberapa negara terhadap organisai nilaba, juga
menjadi seuatu yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Walaupun pengaturannya
tidak secara jelas disebutkan dalam ketentuan UU Hukum Perdata yang berlaku.
Perkembangan
Yayasan yang begitu pesat pada saat itu, dibutuhkan payung aturan untuk
menempatan sebuah fungsi pengaturan menjadi jelas terhadap organisasi nirlaba.
Maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2001 tentang Yayasan, pada
tanggal 6 Agustus 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001, Nomor
112 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132, yang
diberlakukan satu tahun kemudian pada saat UU ini disahkan, untuk selanjutnya
disebut UU Yayasan. Untuk itu, pemahaman mengenai Yayasan dimulai dari
pengertian Yayasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 UU Yayasan.
Pasal 1 angka 1 UU Yayasan menyebutkan bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan
dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan,
dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Dari definisi Yayasan
tersebut terdapat empat karakteristik yang membedakan Yayasan dengan badan
hukum lainnya berupa :[10]
a.
Yayasan sebagai badan hukum.
b.
Mempunyai harta kekayaan tersendiri yang berasal dari
pendiri untuk mencapai tujuan Yayasan.
c.
Tujuan Yayasan dibidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan.
d.
Tidak mempunyai anggota.
Penegasan mengenai definisi Yayasan, yang dipersamakan dengan Foundation bisa disimak menurut pendapat
Bruce R. Hopkins, Jody Blazek[11]
dalam sebuah pertanyaan yang sangat sederhana What is Private Foundation ?
Foundation is there is no affirmative definition of the
term private foundation. The statutory definition basically the a private
foundation is a charitable organization this is not a public cahrity.
Genercally, a private foundation has
four charcteristics :
a.
It is a
charitable organization;
b.
It is
initially foundation a from one source (usually an individual, a married cauple,
a family, on a business);
c.
Its on
going income derives from investment (in the nature of an endowment fund);
d.
It make
grants to other charitable organization rather than operate its own program.
Pendapat Bruce R. Hopkins, Jody Blazek sebagaimana tersebut memiliki
persamaan menurut Herline Budiono dengan Yayasan sebagai badan hukum di mana
telah dipisahkan suatu harta kekayaan pribadi seseorang yang dipergunakan untuk
sesuatu tujuan idiil dan pengurusnya diserahkan kepada suatu badan pengurus
untuk dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab. Pada awalnya apabila
seseorang berkeinginan untuk memisahkan harta kekayaan untuk tujuan idiil
tersebut, jalan yang ditempuh adalah seseorang harus melakukan penghibahan
dengan memakai beban (schenken onder een last).[12]
Hal yang sangat utama dalam pendirian Yayasan sebagai badan hukum yaitu
dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal
dengan tujuan mencapai prinsip idiil Yayasan
dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
Perbuatan hukum memisahkan sebagian
harta kekayaan tersebut menurut Prof. Sogar[13]
mengadung makna adanya kesukarelaan dari para pendiri untuk melepaskan suatu
kekayaan tersebut. Dengan memisahkan sebagian harta kekayaan, maka para pendiri
maupun ahli warisnya tidak lagi berhak atas harta kekayaan yang dipisahkan,
sebagaimana yang disyaratkan untuk menjadikan Yayasan sebagai badan hukum.
Dengan demikian tidak ada orang atau badan
yang mengklaim dan berstatus pemilik atas suatu Yayasan yang didirikan.
Hal inilah yang menjadi pijakan dalam penelitian ini.
Konflik ditubuh Yayasan selalu dimulai dari ketidak tahuan para pendiri
maupun orang-orang pada organ Yayasan tentang pijakan moral dalam pendirian
Yayasan. Karena dari segi karakteristik hal ini berbeda pada pendirian badan
hukum profit lainnya. Memandang ketentuan-ketentuan yang tercantum pada UU
Yayasan memberi fungsi, hak, dan kewajiban masing-masing pihak dengan
menempatkan badan hukum Yayasan bergerak pada langkah-langkah idiil sebagaimana
pada maksud dasar dan tujuan didirikan Yayasan yang bergerak dalam bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusian. Namun pada sisi yang lain Yayasan dapat
mendirikan badan usaha yang kegiatannya akan disesuikan dengan maksud dan
tujuan. Perkataan Yayasan dapat mendirikan badan usaha dengan penyertaan modal
25 % dari seluruh nilai kekayaan Yayasan, akan menjadi permasalahan norma yang
tidak tepat jika ditinjau pendirian Yayasan lebih menekankan pada
prinsip-prinsip idiil. Walaupun penekanannya adalah pendirian badan usaha oleh Yayasan
yang akan memberikan keuntungan pada Yayasan bukanlah sesuatu yang utama.
Dimana keuntungan hanya diperuntukan bagi pengembangan dan terlaksananya
prinsip idiil tersebut. Namun hal ini menunjukan ketidak konsitennya
(in-konsistensi) jika di ditinjau dari prinsip dasar pendirian Yayasan.
Konsistensi sebuah peraturan menjadi hal yang sangat mendasar dari penerapan peraturan tersebut sebagai
media tegaknya sebuah aturan yang dijalankan. Hal ini bisa menjadi pijakan
sebagaimana yang diungkapkan M. Isnaeni, dikutip dari buku Herowati Poesoko, [14]
yang menyebutkan bahwa aturan perundang-undangan yang tidak dialiri arus
konsistensi, berarti citranya sendiri sudah tidak pernah pasti, maka sulit
sekali untuk mengharapkan lahirnya kepastian hukum sebagai salah satu sendi
utama dari aturan perundang-undangan tersebut.
Ketidak konsistenya UU Yayasan juga dapat terlihat dari penerapan Pasal 71
UU Yayasan yang menyangkut kewajiban bagi pendiri Yayasan yang telah ada
sebelum diundangkan Yayasan untuk melakukan penyesuaian ke dalam UU Yayasan
baik menyangkut Yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan
diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, atau Yayasan yang
telah mempunyai ijin, maka Yayasan tersebut tetap diakui sebagai badan hukum.
Dengan ketentuan syaratnya harus segera disesuiakan untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun sejak diberlakukannya UU Yayasan ini, yang kemudian dirubah dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun pada saat diundangkannya UU No. 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115. Dari lewatnya jangka tersebut
maka terhadap Yayasan yang belum menyesuaikan Anggaran Dasar Yayasan ke dalam
UU Nomor 16 Tahun 2001 jo UU Nomor 28 tahun 2004, maka tidak dapat menggunakan
kata “Yayasan” didepan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat 4 UU
Yayasan, dan Yayasan tersebut harus melikuidasi kekayaaan serta menyerahkan
sisa hasil likuidasi kekayaan Yayasan tersebut kepada negara, sebagaimana
dimaksud Pasal 39 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan. Ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal
39 PP Nomor 63 Tahun 2008 tersebut dirubah melalui Pasal 37 A,
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Tentang Yayasan, yang menyebutkan asal saja Yayasan tersebut paling sedikit
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuian Anggaran
Dasar (AD) masih melakukan kegiatan sesuai Anggara Dasar, dan disamping Yayasan
itu belum pernah dibubarkan. Jika melihat ketentuan tersebut di atas terdapat
ketidak konsistenya dalam penerapan UU Yayasan dalam proses penegakan hukum
Yayasan.
Diberlakukannya UU Yayasan tidak lain memberikan jaminan
adanya kepastian dan ketertiban hukum agar Yayasan dapat berfungsi sesuai
dengan maksud dan tujuan berdasarkan prinsip-prinsip pengaturan tata kelola
yang baik yang termuat dalam konsep Good
Corporate Governance, bagi suatu badan atau lembaga baik yang akan bersifat memberi nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder.[15]
Prinsip-prinsip
tata kelola yang baik sebagaimana yang dimaksud dalam konsep Good Corporate Governance dapat
diterapkan kepada Yayasan sebagai lembaga yang berbadan hukum. Penempatan
prinsip-prinsip tersebut gunanya untuk menghindari penyimpangan tujuan idiil
Yayasan selama ini dan juga mengindari konflik di internal organ Yayasan. Karena pendirian
Yayasan oleh pendiri selalu dilandasi pada nilai-nilai sosial yang hidup
dimasyarakat dengan menempatkan kebersamaan bagi pendirian Yayasan, disaat
ketidak konsistennya aturan yang termuat pada UU Yayasan.
Penempatan
prinsip tata kelola yang baik pada Yayasan yang harus perlu diperhatikan demi
terselenggaranya praktek Good Corporate
Governance berupa
keadilan (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), dan resposibilitas (responsibility). Dimana prinsip-prinsip
tersebut bersifat mengikat dan memberikan pedoman kepada para stakeholders Yayasan untuk kedepannya demi
menghindari timbulnya konflik ditubuh Yayasan.
Namun segala yang menjadi utama pendirian Yayasan dengan menempatkan prinsip
tata kelola yang baik, bukan tidak mungkin adanya penyimpangan-penyimpangan pada
fungsi keberadaan dan pendirian Yayasan.
Penyimpangan tersebut terlihat pada motivasi pendirian Yayasan, dengan
melepaskan fungsi filosofi pendirian Yayasan sebagai badan hukum nirlaba, yang
berbeda fungsi dan keberadaannya dengan badan-badan hukum lainnya.
Jika
dikatakan pendirian Yayasan yang menempatkan bidang sosial, kemanusiaan dan
keagamaan dalam tujuan yang bersifat idiil, tidak mencari keuntungan atau
sebagai lembaga non komersil, bukan tidak mungkin pendirian Yayasan yang ada
merupakan motivasi atau keinginan bagi pendiri untuk mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya. Penekanan keuntungan dan atau keinginan komersial akan mengarahkan
Yayasan tersebut pada badan-badan lainnya yang menyerupai pada badan-badan
usaha yang ada, yang pertentangan pada
aturan-aturan hukum yang berlaku.
Untuk
menghindari penyimpangan dari tujuan idiil Yayasan tersebut, disamping
menghindari konflik ditubuh Yayasan, baik kepada pihak ketiga, perorangan,
badan,
dan organ Yayasan. Karena itu penempatan kepentingan dalam penerapan prinsip
tata kelola yang baik sebagaimana yang tercantum dalam Good Corporate Governance, dapat menjadi pilihan penyelesaian
permasalahan yang selalu timbul ditubuh Yayasan.
Konflik
di tubuh Yayasan selalu dilatar belakangi oleh permasalahan-permasalahan
dibidang kepentingan dari organ Yayasan,
baik itu pendiri, Pembina, pengurus dan pengawas. Disamping adanya konflik
menyangkut kepentingan atas harta kekayaan Yayasan. Maka penerapan dan pelaksanaan prinsip Good
Corporate Governance menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan segala
permasalahan yang timbul di Yayasan, gunanya untuk memastikan bahwa organ
Yayasan menjalankan tugasnya dengan semata-mata untuk mencapai tujuan Yayasan,
dan bukan pada tujuan lainnya. Selain itu penerapan prinsip tersebut bisa
memberikan kepastian bahwa organ Yayasan tidak melakukan pelanggaran hukum atau
lalai dalam menjalankan jabatannya. Disamping pengaturan Yayasan sebagai mana
telah disebutkan terdapat adanya ketidak singronnya pelaksanaannya, baik yang
diatur dalam UU maupun pada aturan pelaksanaan dari Yayasan.
2.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
uraian di atas, dapat ditarik legal
issues sebagai permasalahan pada
penelitian ini adalah :
1.
Implementasi prinsip tata kelola yang baik sebagai keseimbangan dalam menghindari konflik
ditubuh Yayasan.
2.
Penanganan
konflik ditubuh Yayasan akibat
adanya penyimpangan tujuan Yayasan.
3.
TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan
pada pokok permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:
1.
Menggali
dan menganalisis prinsip tata kelola
yang baik pada Yayasan sebagai badan hukum.
2.
Menggali
dan menganalisis timbulnya konflik dan mencari penanganan dari akibat adanya
pembiaran penyimpangan tujuan idiil Yayasan.
4.
MANFAAT PENELITIAN
Secara
teoritik, penelitian disertasi ini akan memberikan manfaat sebesar-besarnya
berupa :
a.
Memberikan
kontribusi keilmuan kepada perkembangan Ilmu Hukum tentang Yayasan sebagai
badan hukum dan segala aspek hukum yang terjadi dalam hal menggali dan
menganalisis terhadap prinsip tata kelola dengan menerapkan nilai-nilai keadilan (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), dan resposibilitas (responsibility yang memang sangat
dibutuhkan pada Yayasan sebagai lembaga nonprofit.
b.
Memberikan
pemahaman begitu penting keberadaan Yayasan sebagai badan hukum penyandang hak
dak kewajiban terhadap segala aspek hukum baik untuk kepentingan pendiri,
Pengurus, Pengawas dan kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan Yayasan.
Untuk menghidari konflik ditubuh Yayasan yang selalu terjadi dikarenakan mulai
hilangnya pemahaman tujuan adiil Yayasan selama ini.
Sedangkan untuk
kepentingan praktis, penelitian ini, akan memberikan manfaat :
a.
Terhadap
sumbangan pemikiran dalam pengkaryaan keilmuan dibidang Yayasan, baik dari segi
aturan dan penerapan aturannya.
b.
Sebagai
masukan dalam pembaharuan UU Yayasan maupun peraturan pelaksanaannya.
5.
ORINSINALITAS
PENELITIAN
Penulisan disertasi ini harus memiliki nilai orisinalitas jika ditinjau
dari beberapa karya tulis para sarjana yang membahas dalam kajian Yayasan
sebagai badan hukum dengan beberapa tinjauan yang berbeda sebagai acuan. Hal
ini terlihat dari beberapa tulisan para sarjana dengan aspek permasalah yaitu :
-
Prof. Dr. Anwar Borahima, SH., M. Hum dengan judul :
Kedudukan Yayasan di Indonesia, Eksistensi, Tujuan dan Tanggung Jawab Yayasan.
Tulisan ini dengan mengangkat masalah mengenai eksistensi Yayasan yang telah
ada sebelum diberlakukannya UU Yayasan, dan mengenai tanggung jawab Yayasan dan
organ Yayasan apabila timbul tuntutan hukum sehubungan dengan Operasional
Yayasan.
-
Dr. H. P Panggabean, SH., MS, dengan judul : Praktik
Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan Termasuk Aset Keagamaan Dan Upaya
Penanganan Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa. Tulisan ini
mengangkat masalah mengenai memaparkan praktik peradilan dalam penanganan kasus
yang berkaitan dengan aspek materiil dan atau aspek formiil pendirian suatu
Yayasan yang berjalan sebelum adanya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
-
Dr. Suharto, SH., MM, dengan judul : Membedah Konfli
Yayasan Menuju Kontruksi Hukum Bermartabat. Tulisan ini mengangkat masalah
mengenai persoalan kepastian dan ketertiban hukum Yayasan dan mengenai konflik
kepentingan atas harta kekayaan Yayasan.
Dari beberapa tulisan para sarjana
tersebut yang tertuang dari hasil karya disertasi yang telah dipublikasikan. Jika
dibanding penelitian penulis pada
disertasi yang ada saat ini yaitu ada perbedaan dari sudut pandang permasalahan
dalam penyelesaian konflik ditubuh Yayasan yaitu dengan menerapkan prinsip tata kelola
yang baik sebagai keseimbangan dalam menghindari konflik ditubuh Yayasan dan Penanganan konflik
ditubuh Yayasan akibat
adanya penyimpangan tujuan Yayasan dengan
menerapkan prinsip-prinsip good corporate
governance sebaga azas keseimbangan pada nilai-nilai nilai-nilai kesataraan dan keadilan (fairness), keterbukaan (transparency),
pemberian pertanggung jawaban (accountability)
dan tanggung jawab (responsibility).
6.
KERANGKA TEORI
Diundangkannya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan pada tanggal 6 Agustus 2001,
melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001, Nomor 112 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132. Menjadi pijakan besar
mengenai perkembangan hukum di bidang Yayasan. Dimana UU Yayasan memposisikan sebagai aturan yang mengatur
secara khusus ketentuan badan hukum Yayasan. Hal ini terlihat dalam konsiderans
menimbang pada uruf c menyebutkan bahwa dengan adanya UU Yayasan memberi
jaminan kepastian dan ketertiban hukum agar Yayasan berfungsi sesuai dengan
maksud dan tujuan berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan dan akutabilitas
kepada masyarakat.
Keberadaan UU Yayasan dalam gerak dan pelaksanaannya tidak selalu berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Dimana ada beberapa pasal pada UU Yayasan yang memiliki penafsiran
yang keliru dari beberapa pihak tentang UU ini. Ini tergambarkan pada pejelasan
UU Yayasan yang menyebutkan :[16]
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang diundangkan pada
tanggal 16 Agustus 2001, sejak diberlaku pada tanggal 16 Agustus 2002 dalam
perkembangannya ternyata belum menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan
hukum dalam masyarakat.
Disamping itu, terdapat beberapa substansi Undang-undang Yayasan dalam
masyarakat masih terdapat berbagai penafsiran sehingga dapat menimbulkan
ketidakpatian dan ketertiban hukum.
Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta
memberikan pemahaman yang benar pada masyarakat mengenai Yayasan, sehingga
dapat mengembalikan fungsi Yayasan sebagai peranata hukum dalam rangka mencapai
tujuan tertentu dibindang sosial, keagamaanm dan kemanusiaan.
Namun perkembangannya UU ini belum menampung
seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum pada masyarakat terhadap fungsi
keberadaan Yayasan, serta terdapat beberapa susbtansi yang dapat menimbulkan
berbagai penafsiran. Maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan, yaitu
melalui Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,
pada tanggal 6 Oktober 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 115, yang diberlakukan secara efektif satu tahun sejak tanggal
diundangkan.
Yayasan
sebagai salah satu badan hukum memiliki
aturan dalam perundang-undangan yang mengatur baik menyangkut proses pendirian,
pengesahan, semuanya diatur pada UU Yayasan. Yayasan sebagaimana dimaksud pada
UU tersebut adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan
diperuntukkan untuk mencapai maksud
tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak
mempunyai anggota, sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 ayat 1. Dari definisi Yayasan tersebut, jelas menyebutkan bahwa Yayasan sebagai badan
hukum memiliki tujuan tertentu yang berbeda dengan badan hukum lainnya.
Penekanan
maksud dan tujuan Yayasan memiliki tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan
dan kemanusian, menempatkan Yayasan
sebagai badan hukum yang bersifat nonprofit atau badan hukum yang tidak mencari
keuntungan dengan menempatkan bidang-bidang tersebut pada nilai-nilai sosial,
keagamaan dan kemanusian. Walaupun kenyataannya banyak Yayasan juga bergerak
dibidang bisnis sebagai sumber mata
pencarian untuk mendatangan keuntungan. Dengan kata lain bisnis bagi Yayasan
bukan merupakan tujuan, melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Walaupun
diakui selama ini bahwa Yayasan sebagai
badan hukum, sangat berbeda dari Perseroan Terbatas (PT), terutama dari segi
tujuan.
Keberadaan
UU Yayasan dapat diartikan sebagai
tonggak atau dasar bahwa Yayasan sebagai badan hukum telah ditempatkan sebagai
lembaga yang pengaturannya telah diperjalas pada fungsi dan kedudukan ditengah
masyarakat yang membutuhkannya. Walaupun
masyarakat telah mengenal lembaga ini cukup lama. Karena pendirian Yayasan pada
saat itu hanya didasarkan hukum kebiasaan masyarakat yang berkembang.
Pada KUH
Perdata atau Burgerlijk Wetboek (BW)
telah mengatur beberapa ketentuan yang mendekati pengaturan mengenai Yayasan,
baik pada Pasal 365, 899, 900, 1680, dan
Pasal 365 BW, kemudian pada Pasal 6 ayat 3 Pasal 236 Rv. Pasal-pasal tersebut tidak satupun memberikan
rumusan tentang pengertian Yayasan [17].
Pengertian Yayasan
pada dasarnya hanya merupakan pendapat para ahli dalam merumuskannya
sebagaimana yang pernah diikemukakan oleh Paul Scholten, bukunya Ali Rido “ Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum
Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf” mendefinisikan Yayasan adalah badan hukum
yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak.
Pernyataan itu harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk tujuan
tertentu, dengan penunjukkan, bagaimana kekayaan itu diurus dan digunakan.
Untuk itu Paul Scholten merumuskan
Yayasan dengan ketentuan :[18]
1.
Mempunyai
harta kekayaan sendiri, yang berasal dari suatu perbuatan pemisahan.
2.
Mempunyai
tujuan sendiri (tertentu)
3.
Mempunyai
alat perlengkapan (organisasi).
Yayasan
yang didirikan dalam pergaulan hukum
diakui mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban sendiri, sebagai salah satu pihak
dalam hubungan hukum dengan subyek hukum. Adanya kekayaan yang terpisah oleh
pendiri Yayasan gunanya untuk mencapai tujuan dan merupakan sumber dari segala
hubungan hukum.
Pendirian
Yayasan secara aturan hukum sebagaimana yang di amanahkan selalu berkaitan dengan arahan yang terdapat
pada Garis-Garis Besar Haluan Negara khususnya pada tahun 1999 – 2004[19].
Dimana pembangunan hukum harus mewujutkan sistem Hukum Nasional yang menjamin
tegaknya supermasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan
kebenaran.
Dengan
diberlakukannya UU Yayasan telah mencantumkan secara jelas syarat pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud Pasal 9
ayat 1, 2, 3, yang berbunyi :
(1) Yayasan didirikan
oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan
pendirinya, sebagai kekayaan awal.
(2) Pendiri Yayasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan akta Notaris dan dibuat
dalam bahasa Indonesia.
(3) Yayasan dapat
didirikan berdasarkan surat wasiat.
Namun
yang menjadi kendala saat ini, saat dikeluarkannya UU Yayasan adalah minimnya
pemahaman dari para pendiri Yayasan terhadap arti pentingnya Yayasan sebagai
badan hukum. Apalagi sebagian besar Yayasan yang didirikan belumlah berbadan hukum, baik Yayasan yang
bergerak dibidang sosial, keagamaan dan kemasyarakatan. Belum berbadan hukumnya
Yayasan maka keberadaan Yayasan tersebut belum sempurna dimata hukum.
Nilai
dasar dari hukum yang ideal adalah memberikan kepastian hukum. Karena kepastian
hukum tidak hanya persoalan masalah legalitas saja, melainkan bagaimana
menempatkan kepastihan hukum itu pada tatanan kepatutan dan keadilan, untuk
menemukan keseimbangan dalam penerapannya.
A. Teori Badan Hukum
Kehadiran badan hukum dalam
pergaulan hukum dimasyarakat, terlihat sejak abad 19 yang lalu sampai sekarang, telah menarik perhatian para
ahli-ahli hukum. Berbagai tokoh dan pendukung dari aliran mazhab ilmu hukum telah
mengemukakan pendapat mengenai eksistensi badan hukum sebagai subyek hukum disamping manusia.
Sejauh ini persoalan badan hukum menjadi penelaahan filsafat hukum. Hal ini
menjadi tugas filsafat hukum untuk
mengetahui hakikat dari apa yang disebut badan hukum. Hasil pemikiran tentang
hakikat badan hukum melalui filsafat hukum dirumuskan dalam bentuk asas, nilai
atau teori-teori. Untuk itu, bentuk sumbangan yang berharga dari filsafat hukum
bagi pemecahan masalah terhadap badan hukum tersebut adanya teori-teori tentang
badan hukum.
Teori-teori badan hukum yang ada,
sebenarnya dapat dihimpun pada dua golongan
atau pandangan yaitu :[20]
1.
Yang menganggap bahwa badan hukum
itu sebagai wujud yang nyata, yang
selalu diidentikan dengan manusia.
2.
Yang menganggap, bahwa badan hukum
itu tidak sebagai wujud yang nyata,
tetapi badan hukum hanya merupakan
manusia yang berdiri di belakang badan hukum tersebut, artinya jika
badan hukum tersebut melakukan kesalahan, hak itu hanyalah kesalahan
manusia-manusia yang berdiri dibelakang badan hukum tersebut secara bersama-sama
Mengenai perwujutan dari badan hukum
sudah lama menjadi persoalan. Ali Ridho mengatakan, bahwa selama belum dapat
diketemukan suatu pandangan yang tepat dan benar di dalam metode dari
bentuk-bentuk pengertian dan tafsiran
peraturan perundang-undangan khususnya mengenai badan hukum, maka selama
itu tetap menjadi silang pendapat oleh
para ahli. Karena itu, yang mendorong terbentuknya suatu pengertian badan hukum
adalah, bahwa manusia dalam hubungan hukum privat tidak hanya berhubungan
terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap persekutuan perdata tesebut.[21]
Dalam sejarah perkembangan badan
hukum dewasa ini, ada beberapa teori tentang badan hukum yang dipergunakan
dalam ilmu hukum dan perundang-undangan, yurisprudensi serta doktrin. Karena
itu untuk mencari dasar-dasar dari badan hukum, dapat dilihat dari beberapa
teori :
a.
Teori Fiksi
b.
Teori Organ,
c.
Teori Harta Kekayaan.
d.
Teori Propriete celeective dari
Planio,
B. Keseimbangan Yayasan
Undang-undang Yayasan sebagaimana
diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2001,
kemudian dirubah melalui UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 Tentang Yayasan, Lembaran Negara Republik
Idonesia Tahun 2004 Nomor 115, Dan juga dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomot 63 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan, dengan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4894.
Maupun Peraturan Pemerintah Nomor 2
tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2008
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan. Sedangkan
yang terbaru dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan.
Diberlakukannya UU Yayasan saat ini
dapat memberikan kepastian dan ketertiban, agar Yayasan tersebut dapat berfungsi
dalam menjalankan maksud dan tujuannya dengan menempatkan prinsip-prinsip
transparansi dan akuntabilitas.
Penempatan prinsip-prinsip transparansi dan
akutabilitas sesuatu yang sangat diharapkan agar terwujut adanya prinsip Good Corporate Governance yang
diperuntukkan pada perusahaan-perusahaan. Pertanyaan yang sangat mendasar
adalah apakah prinsip Good Corporate
Governance ini dapat diterapkan pada Yayasan ? Karena pada dasarnya prinsip Good Corporate Governance terdapat
nilai-nilai kesataraan dan keadilan (fairness),
keterbukaan (transparency),
pemberian pertanggung jawaban (accountability)
dan tanggung jawab (responsibility).
Secara definitif penerapan Good Corporate Governance untuk selanjutnya disinkat GCG merupakan suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan
untuk menciptkan nilai tambah (value
added) untuk semua stakeholder. Penerapan
prinsip GCG di Indonesia dapat diartikan sebagai konsep pengelolaan perusahaan
yang baik. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini. Pertama, pentingnya
hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar atau akurat dan
tepan pada waktunya. Kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclousure) secara akurat, tepat waktu
dan tranparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder.
Penerapan prinsip GCG dalam dunia usaha
saat ini merupakan suatu tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut dapat
tetap eksis dalam persaingan global. Dimana penerapan GCG memiliki suatu
tujuan-tujuan strategis berupa :
1.
Untuk dapat
mengembangan dan meningkatkan nilai perusahaan;
2.
Untuk dapat
mengelola sumber daya dan resiko lebih efektif dan efisien;
3.
Untuk dapat
meningkatkan disiplin dan tanggung jawab dari organ perusahaan demi menjaga
kepentingan para stakeholder perusahaan.
4.
Meningkatkan
kontribusi perusahaan khususnya perusahaan-perusahaan terhadap perekonomian
nasional;
5.
Meningkatkan
investasi; dan
6.
Mensukseskan
program privatisasi perusahaan-perusahaan pemerintah.
Dari berbagai
ketentuan tersebut, walaupun adanya penekanan dimana penerapan GCG hanya
diperuntukan pada perusahaan profit oriated, menjadi lain jika diterapkan
prinsip tersebut pada Yayasan sebagai lembaga yang berbadan hukum.
Penempatan prinsip-prinsip tersebut, merupakan
suatu mekanisme pengaturan tentang tatacara pengelolaan perusahaan atau badan
berdasarkan rules yang benar, dengan
menjalankan fungsi-fungsi anggaran dasar (articles
of association), serta aturan-aturan pada Undang-Undang maupun pada aturan
peralihannya. Memberikan hubungan kesinambungan mengenai organ-organ yang ada
pada Yayasan, baik Pembina, Pengurus dan Pengawas. Pada prinsipnya pemakaian
istilah good corporate governance yaitu
penerapan prinsip manajemen badan atau perusahaan untuk mengelola perusahaan
atau badan secara baik, benar dan penuh integritas.[22]
Penerapan tata kelola yang baik
sebagaimana tergambarkan pada prinsip good
corporate governance, tidak hanya diperuntukkan pada badan hukum Perseroan
Terbatas, namun hal ini juga dapat
diterapkan pada Yayasan sebagai badan hukum. Satu cara yang bisa memberikan
masuknya prinsip tata kelola yang baik pada badan hukum adalah memberikan nilai-nilai keseimbangan bagi
setiap organ Yayasan dengan selalu menekankan pentingnya penempatan nilai-nilai
adiil pada Yayasan. Karena pendirian Yayasan sebagaimana yang diamanahkan oleh
UU sangat berbeda dengan badan hukum lainnya yang memang diorientasikan pada
mencarian keuntungan yang sebesar-besarnya.
Good
Corporate Governance sebagai tata kelola marupakan tema
yang tepat untuk pengendalian (control)
dan pengaturan (regulate) sehingga mampu menjelaskan proses yang terjadi didalamnya[23].
Pada hal ketentuan tata kelola badan-badan hukum yang harus memenuhi
nilai-nilai pengendalian dan pengaturan untuk memberikan keseimbangan pada
badan-badan hukum tersebut. Sehingga
akan mengurangi timbulnya konflik ditubuh Yayasan selama ini yang sering
terjadi. Karena konsep good coporate
governance, sebagaimana yang pernah dikemukaan Daniri[24],
pada badan hukum Perseroan Terbatas, tata kelola perseroan yang baik merupakan
:
1.
Suatu struktur yang mengatur pola
hubungan harmonis tentang peran-peran Dewan Komisaris, Direksi, Rapat Umum
Pemegang Saham denganstakeholder
lainnya.
2.
Suatu sistem check and balance yang
mencakup perimbangan kewenanangan atas pengendalian perseroan yang dapat
membatasi munculnya dua peluang, yaitu pengelolaan yang salah dan
penyalahgunaan asset perseroan.
3.
Suatu proses yang tranparan atas
penentuan tujuan perseroan, pencapaian dan pengukuran kinerjanya.
Penerapan konsep good corporate governance yang pada
mulanya diperuntukan pada Perseroan Terbatas, hal ini dapat juga diterapkan
pada Yayasan dalam melaksanakan tata kelola badan sesuai dengan standars yang
ditetapkan oleh anggaran dasar Yayasan dan UU Yayasan maupun peraturan
pelaksanaanya.
Karena timbulnya konflik di Yayasan
selalu dikarenakan adanya ketidak
seimbangan peran oleh masing-masing organ, baik antara pendiri, Pembina, Pengurus
dan Pengawas berakibat konflik di Yayasan selalu dilatarbelakangi oleh
kebijakan-kebijakan Yayasan saling bertentangan. Apalagi konflik ini mengarah
hubungannya kepada pihak ketiga, yaitu orang-orang yang ditugaskan sebagai
pelaksana kegiatan pengurus, yang juga merasa berkepentingan terhadap Yayasan.
Disatu sisi, bahwa penempatan
prinsip-prinsip keseimbangan pada Yayasan
mulai saat pendirian Yayasan, peran-peran organ Yayasan, dan juga
penerapan hubungan Yayasan terhadap pihak-pihak, dalam menghidari konflik yang
selama ini sering terjadi di antara pihak-pihak didalamnya, maupun penempatan
beban tanggung jawab pada saat Yayasan belum berbadan hukum maupun pada saat
Yayasan sudah berbadan hukum.
Penempatan beban tanggung jawab ini
sudah terlihat pada saat mulai adanya pemisahan harta pribadi dari pendiri
Yayasan untuk kepentingan pendirian Yayasan, yang gunanya untuk menentukan mana
milik pribadi dan yang bukan milik pribadi pada saat Yayasan dijalankan.
Proses tanggung jawab ini pada
Yayasan dapat juga melakukan pengkajian dengan melaksanakan transplantasi
melalui doktrin-doktrin moderen dalam hukum perusahaan sebagai bagian
penyelesaian sengketa Yayasan dengan menempatkan pada fungsi keseimbangan
proses tanggung jawab melalui prinsip doktrin Piercing the Corporate Veil atau yang diistilahkan juga Lifting the Corporate Veil. Menurut
Munir Fuadi[25]
agar suatu Piercing the Corporate Veil, secara
hukum
di jalankan dengan memenuhi ketentuan :
1.
Terjadinya penipuan.
2.
Didapat suatu ketidakadilan.
3.
Terjadinya suatu penindasan (oppression)
4.
Tidak memenuhi unsure hukum(illegality).
5.
Adanya dominsi pemegang saham yang
berlebihan.
6.
Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya.
Disamping itu juga, harus mengkaji
apakah penerapan doktrin-doktrin moderen lainnya dapat disesuaikan pada konsep
Yayasan ? Melalui doktrin-doktrin
perseroan berupa, Ultravires, Fiduciary
Duty, liability Promotors, Busines Judgement, Corporate opportunity, Minorty
Shareholders Protection. Dan Self Dealing.[26]
Penerapan prinsip-prinsip keseimbangan
pada Yayasan sebagai badan hukum, dalam
telaah penyelesaian konflik ditubuh Yayasan dalam penerapan prinsip idiil
Yayasan. Bisa menjadikan proteksi Yayasan dari unsur-unsur kejahatan seperti, money laundering, cyber crime dari
berbagai jenis kejahatan canggih lainnya yang tidak mungkin terjadi tanpa
adanya bantuan dari mereka yang memiliki profesionalisme.
Sebagaimana yang pernah diungkapkan
oleh Muladi [27]
pada Kongres PBB V tentang Pencegahan Kejajatan dan Pembinaan Pelanggaran Hukum
(The Prevention of Crime and Treatment of
Offender) tahun 1975, yang kemudian dipertegas kembali dalam kongres PBB
VII tahun 1985, menunjukkan bahwa terdapat kejahatan bentuk baru yang dilakukan
oleh korporasi yang digerakkan oleh pengusaha yang membawa dampak negative pada
perekonomian Negara yang bersangkutan.
Kejahatan yang dilakukan korporasi
dengan mengatas namakan lembaga dapat saja terjadi jika nilai-nilai
keseimbangan pada lembaga tersebut tidak dapat berjalan. Untuk itu dibutuhkan
peraturan yang secara khusus mengatur tentang pentingnya tranparansi dan
akuntabilitas sebagai medianya[28].
Selanjutnya yang perlu mendapat
perhatian adalah penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan Yayasan. Pengelolaan Yayasan tidak saja mencakup tindakan
pengurusan oleh organ pengurus, tetapi juga segenap tindakan yang dilakukan
organ lain yakni pembina dan pengawas. Sekalipun tiga organ Yayasan mempunyai
kewenangan dan tanggung jawab berbeda namun semua tindakan yang dilakukan
adalah untuk kepentingan Yayasan. Prinsip transparansi dan akuntabilitas wajib
dijalankan oleh ketiga organ pada Yayasan.
Urgensi tranparansi dan akuntabilitas
diperlukan untuk memastikan bahwa organ Yayasan dalam menjalankan tuganya
semata-mata untuk mencapai tujuan Yayasan, dan bukan tujuan lain. Sebagai
bagian dari pilar good governance,
transparansi dan akuntabilitas tidak saja perlu diterapkan oleh organ
publik, tetapi juga pada organ privat. Sekalipun Yayasan adalah organ privat,
terdapat tuntutan oleh stakeholder
agar kekayaan Yayasan tidak digunakan untuk tujuan lain oleh organ Yayasan selain dari pada tujuan sebagaimana
dituangkan dalam anggaran dasar Yayasan.
Sekalipun dalam organ Yayasan terdapat
pengawas, dimana ketiadaan transparansi
potensial mengakibatkan pemanfaatan kekayaan Yayasan yang tidak
akuntabel. Bukan tidak mungkin terjadi persekongkolan oleh ketiga organ yang
merugikan Yayasan. Transparansi dan akuntabilitas sebagaimana tersebut adalah
sebagai alat kontrol oleh publik atas kinerja yang dilakukan oleh organ Yayasan
dan sekaligus untuk melindungi kekayaan Yayasan tidak disalah gunakan.
Transparansi dalam pengelolaan Yayasan
setidaknya mencakup dua hal sebagaimana yang pernah diungkapkan Oleh Prof.
Sogar [29]yaitu
adanya pengumuman dalam Tambahan Berita Negara atas Anggaran Dasar, dan
penguman laporan tahunan oleh Yayasan. Yang pertama adalah adanya konsekuensi
bahwa Yayasan sebagai badan hukum. Dengan adanya pengumuman dalam Tambahan
Berita Negara, maka publi dapat mengakses informasi atas suatu pendirian
Yayasan, apa Yayasan tersebut telah terdaftar dalam daftar Yayasan berbadan
hukum oleh Kantor Kementrian Hukum dan HAM RI. Sedangkan terkait pengumunan
laporan tahunan, masyarakat atau publik dapat memperoleh informasi yang
berhubungan dengan keadaan dan kegiatan Yayasan.
Apalagi UU Yayasan dalam penjelasannya
telah memperhitungkan kemungkinan yang terjadi dari bahwa kecendrungan
masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk berlindung di balik status
badan hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah pengembangan
kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan
untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus dan pengawas. Sejalan dengan
kecendrungan tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang berkaitan
dengan kegiayan Yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang
tercantum pada Anggaran Dasar Yayasan, sengketa antar pengurus dengan pendiri
atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa Yayasan digunakan untuk menampung
kekayaan yang berasal dari perbuatan melawan hukum.[30]
7.
METODE PENELITIAN
a.
Type Penelitian
Penelitian
ini menggunakan penelitian hukum normatif. Dimana penelitian hukum normatif
lazim dilakukan dalam kegiatan pengembangan Ilmu Hukum, dengan istilah lain
disebut Dogmatika Hukum (Rechtsdogmatiek)
ialah suatu ilmu yang mencakup kegiatan menginvetarisasi, memaparkan dan
menginterprestasi, mensistematisasi dan juga mengevaluasi keseluruhan hukum
positif yang berlaku dalam suatu masyarakat dan negara tertentu dengan
bersarankan konsep-konsep, pengertian-pengertian,
teori-teori, klasifikasi-klasifikasi yang dibentuk dan dikembangkan khusus
untuk melakukan semua kegiatan tersebut.
Yang
menjadi masalah inti dari dalam Ilmu Hukum adalah menentukan apa yang menjadi
hukumnya bagi situasi konkret.
Untuk
itu diperlukan proses penalaran hukum (legal
reasoning), yaitu metode berpikir yuridik untuk mengindentifikasi,
berdasarkan tatanan hukum yang berlaku.[31] Semakin
menjadi benar sebagaimana yang disampaikan oleh Peter Mahmud Marzuki
berdasarkan keilmuan ilmu hukum tersebut menguktip dari pendapat Jan Gijssels dan Mark van Hoecke dalam
bukunya membagi ilmu hukum menjadi tiga lapisan yaitu, rechtsdogmatiek (Dokmatig Hukum),
rechtteorie (Teori Hukum)dan
rechtsfilosie (filsafat Hukum). Yang pada kenyataannya, bahwa ilmu hukum
mempunyai dua aspek yaitu aspek praktis dan aspek teoritis. Mengingat hal
tersebut, dalam penelitian ilmu hukum dibedakan menjadi penelitian untuk
keperluan praktis dan penelitian untuk kajian akademis. Penelitian untuk tujuan
praktis dilakukan bagi kepentingan klien
dan sesama praktisi hukum. Sedangkan untuk kajian akademis, penelitian
dilakukan bagi dunia akademis dan pembuat undang-undang. Hasil dari penelitian
untuk keperluan aspek praktis berupa adanya pendapat hukum. Sedangkan hasil
penelitian untuk kajian akademis berupa karya akademis baik dalam bentuk tesis,
disertasi, artikel dan jurnal hukum dan naska akademis dalam proses menyusunan
rancangan undang-undang.[32]
Maka hasil akhir dari penelitan tersebut dapat menjawab makna apakah dapat
ditemukannya teori hukum baru, atau menemukan konsep baru terhadap hal-hal yang
dipandang telah mapan dalam ilmu hukum.
b.
Pendekatan Masalah
Penelitian hukum ini memadukan tiga pendekatan utama (Approach) yaitu pendekatan
perundang-undangan(statute approach), pendekatan Konseptual (conceptual approach), maupun pendekatan perbandingan (comparative approach) dan akan
dikembangkan pada pendekatan kasus (case
approach). Pendekatan
perundang-undangan “statute” diawali dari suatu konstitusi dan aspek-aspek
hukum serta konsep-konsep hukum terhadap undang-undang ikutannya, baik dalam
bentuk Undang-Undang maupun Peraturan Pelaksanaanya, berupa : Undang-Undang
Dasar, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang
Yayasan, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan,
Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 63 tahun 2008 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Tentang
Yayasan, dan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Tentang Yayasan.
Sedangkan
pada pendekatan konseptual yaitu untuk membatu menemukan asas-asas hukum dan
konsep-konsep hukum yang lebih cocok yang melandasi suatu norma-norma hukum
tersebut yang ada saat ini jika dihubungkan pengaturan Yayasan sebelum
diberlakukannya UU Yayasan, yang pada mulanya Yayasan dalam pendirian hanya
didasari kebiasan-kebiasan yang berlaku pada saat itu, dengan menempatkan
Yayasan sebagai badan hukum yang memiliki perbedaan jika dibandingkan pada
badan hukum lainnya baik itu, Perseroan Terbatas, Koperasi dan Perkumpulan.
Pada pendekatan konseptual yang memiliki banyak pengertian pada ilmu hukum khususnya dalam menempatakan keberadaan
Yayasan sebagai badan hokum dalam prosesnya apakah secara konsesi dalam Undang-undang, campuran
atau melalui Yurisprudensi, yang semuanya akan diperjelas kedudukannya.
Pada
pendekatan perbandingan, mengkaji lebih dalam dan membandingkan dari segi
diberlakukannya peraturan Yayasan atau dengan sebutan lain sebagai lembaga non profit
dengan istilah Foundation dari suatu Negara tertentu secara
mikro
atau hukum dari suatu waktu tertentu
dengan hukum dari waktu lainnya.
Sedangkan pada pendekatan kasus, selalu dimulai dengan
mengkaji dan menganalisis berbagai putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, atau mengikat (inkrach
van gewijsde) sebagai yurisprudence
yaitu dengan mengkaji apa yang menjadi alasan-alasan hukum yang digunakan oleh
hakim untuk sampai kepada putusan yang dikenal sebagai ratio decidendi.[33]
c.
Langkah Penelitian
Langkah
penelitan ini dimulai adanya isu hukum terhadap diberlakukannya UU Yayasan yang
ada saat ini. Saat diundangkannya UU No. 16 tahun 2001 dan dirubah melalui UU
No. 28 tahun 2004, dan juga beberapa peraturan pelaksanaannya dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah
No. 2 tahun 2013. Namun kenyataannya Yayasan sebagai badan yang bercirikan dan
nonprofit, dimana tujuan keuntungan bukanlah sebagai utama, melainkan
penempatan Yayasan sebagai wadah perjuangan dalam penempatan nilai-nilai
sosial, kemasyarakatan dan keagamaman. Oleh karena itu karena berdasarkan
definisi Yayasan sebagai badan hukum yang terdiri dari atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial,
keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Bahwa penekanan
pendirian Yayasan pada bidang sosial, keagamaan dan kemanusian, menjadi ciri
utama pendirian Yayasan jika dibandingkan pada badan hukum lainnya. Namun
disatu sisi UU Yayasan memberi kemungkinan pada Yayasan untuk membuka usaha
yang sejenis dengan maksud dan tujuan Yayasan. Batasan dan yang memungkinkan
Yayasan untuk membuka badan usaha yang sejenis, nantinya akan melanggar norma
pendirian Yayasan dengan menempatkan prinsip-prinsip idiil pada Yayasan. Maka untuk itu
dibutuhkan nilai transparansi dan akuntabilitas pada Yayasan. Penerapan
nilai-nilai transparansi dan akuntabilitas terdapat pada prinsip tata kelola
aturan yang baik pada badan hukum Good
Corporate covernance yang khususnya
ditujukan pada badan hukum profit dan singkronkan pada badan hukum non profit
apakah hal ini dapat dijalankan dalam proses menuju keseimbangan terhadap
pelaksanaan organ Yayasan yang terdiri, pembina, pengurus dan pengawas dan
samping untuk menghindari timbulnya
konflik baik antar organ Yayasan, pihak ketiga dan konflik kepada lembaga yang
sejenis lainnya.
d.
Sumber
Bahan Hukum
Penelitian
hukum ini menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer yang
dimaksud adalah peraturan-peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Sedangkan bahan hukum sekunder meliputi bahan-bahan
yang mendukung bahan hukum primer, seperti buku-buku teks, artikel dalam
berbagai majalah ilmuah atau jurnal hukum, makalah-makalah, dan literature
pendapat para sarjana (doktrin).
Bahan-bahan
hukum itu didapat melalui lembaga-lembaga penerbitan baik pemerintah atau
swasta, baik di dalam maupun diluar negeri, melalui internet, pertemuan ilmiah,
seminar, lokakarya, dan lainnya.
8.
SISTEMATIKA
PENULISAN
Penulisan
disertasi ini terbagi dari empat Bab, yang mana dua Bab membahas segala
permasalahan dari disertasi ini yang menekankan pentingnya penerapan prinsip
transparansi dan akuntabillitas dalam pengelolaan Yayasan yang harus disesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku khususnya UU Yayasan dan peraturan
pelaksanaannya. Yang mana Yayasan sebagai badan hukum tidak terlepas timbulnya
permasalahan konflik, yang didasari pada saat
pendirian Yayasan maupun pada saat Yayasan sedang berjalan. Fakta
menunjukan kecendrungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk
berlindung di balik status badan hukum Yayasan, yang mana tidak hanya digunakan
sebagai wadah pengembangan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusian, melainkan
juga bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas.
Maupun permasalahan lainnya.
Bab
1 (satu) merupakan pendahuluan sebagai arah apa yang akan ditulis pada
disertasi ini, pada saat merumuskan permasalahan yang ada, dimana bab ini
sebagai batasan penulisan pada disertasi ini, yang membedakan antara penulis
dengan penulis yang lain yang berbicara tenyang Yayasan sebagai badan hukum.
Begitu juga
tentang tujuan dan manfaat pada penulisan disertasi. Yang jelas tujuan pada
disertasi ini, yaitu menggali dan menganalisi setiap yang terdapat pada rumusan
masalah prinsip transparansi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan Yayasan maupun mencari formulasi dalam
penanganan konflik ditubuh Yayasan dikarenakan adanya pengingkaran pada prinsip
idiil dari Yayasan tersebut. Sedangkan pada manfaat penulisan disertasi yaitu
ikut serta memberikontribusi pengembangan keilmuan dibidang Yayasan sebagai
badan hukum.
Sedangkan
pada Bab II (dua) yaitu pembahasan pada penerapan prinsip tata kelola yang baik pada Yayasan, sedangkan pada
Bab III membahas masalah penerapan hukum dalam penanganan dalam penanganan
konflik ditubuh Yayasan karena adanya penyimpangan dari tujuan idiil Yayasan.
Pada
Bab IV, berupa kesimpulan dan saran dari pembahasan pada Bab II dan Bab III,
apa yang menjadi kesimpulan dan saran pada penulisan disertasi ini.
9.
RENCANA
DAFTAR ISI
PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK
DALAM MENGHINDARI PERGESERAN TUJUAN IDIIL YAYASAN
SEBAGAI BADAN HUKUM
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II. MAKNA DAN FUNGSI YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM
A.
SEJARAH PENDIRIAN YAYASAN
1.
Yayasan Sebagai lembaga
2.
Pengaturan Yayasan Sebelum dan Sesudah di Berlakukannya
UU Yayasan.
3.
Status Badan Hukum
Yayasan
4.
Membandingkan Yayasan Dengan Badan Hukum lainnya
B.
YAYASAN SEBAGAI LEMBAGA YANG BERBADAN HUKUM
1.
Teori Badan Hukum
2.
Landasan Terbentuknya Yayasan Selaku Berbadan Hukum
3.
Manfaat Yayasan Berbadan Hukum
4.
Membandingkan Yayasan Indonesia dengan Yayasan Negara
Lain
C.
TUJUAN PENDIRIAN YAYASAN
1.
Yayasan Untuk Kepentingan Bersama
2.
Maksud Dan Tujuan Yayasan
D. TANGGUNG
JAWAB DAN TANGGUNG GUGAT ORGAN YAYASAN
1.
Peran Pendiri Yayasan
2.
Keberadaan Pembina
3.
Tanggung Jawab Penggurus
4.
Keberadaan Pengawas Yayasan
5.
Tanggung Gugat Organ Yayasan
BAB III. IMPLEMENTASI PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK
SEBAGAI KESIMBANGAN PADA YAYASAN
A.
DASAR HUKUM DAN PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK
(Good Corporate Governance)
1.
Dasar Hukum Prinsip Tata Kelola Yang Baik
2.
Landasan Terbentuknya Prinsip Tata Kelola Yang Baik
3.
Penerapan Prinsip Tata Kelola Yang Baik
B.
MANFAAT DAN TUJUAN PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK
1.
Manfaat Prinsip Tata Kelola Yang Baik
2.
Tujuan Prinsip Tata Kelola Yang Baik
C.
PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK PADA YAYASAN
1.
Penerapan Nilai-Nilai dari Prinsip Tata Kelola Yang Baik
2.
Hubungan Prinsip Tata Kelola Yang Baik dengan Coporate
Social Responsibility (CSR)
D. HUBUNGAN
ORGAN YAYASAN DALAM KESIMBANGAN
1.
Antar Organ Yayasan dalam Penerapan Prinsip Tata Kelola
Yang Baik
2.
Yayasan Sebagai Lembaga dan Penerapan Prinsip Tata Kelola
Yang Baik
E.
PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK PADA YAYASAN
1.
Keadilan (Fairness)
2.
Tranparansi (Transparency)
3.
Akuntabilitas (Accountability)
4.
Responsibilitas (Responsibilty)
F.
PENERAPAN KESEIMBANGAN DALAM PENGGUNAAN PRINSIP TATA
KELOLA YANG BAIK YAYASAN
1.
Langkah-langka Timbulnya Ketidak Seimbangan Pada
Pendirian Yayasan
2.
Organ dan Keseimbangan pada Prinsip Tata Kelola Yang Baik
G. TUJUAN
UTAMA PENERAPAN PRINSIP YAYASAN
1.
Menghindari Konflik
2.
Peran Yayasan untuk Pembangunan
3.
Keberadaan Yayasan sebagai lembaga
BAB IV. PENANGANAN KONFLIK PADA YAYASAN
A.
KONFLIK PADA YAYASAN
B.
LEMAHNYA KONTROL ANTAR LEMBAGA
C.
PERATURAN PERUNDANG-UNDAGAN
D. PENANGAN
KONFLIK
E.
YAYASAN DAN HARTA KEKAYAAN
DAFTAR PUSTAKA
Adjie, Habib, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik
Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Bandung:
Refika Aditama.
---------, 2008 Status Badan Hukum Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial, Bandung:
Mandar Maju
---------, 2009, Yayasan Yang Menyelenggarakan Pendidikan
Formal, Dan Mempunyai Izin, Penyelenggaraan Pendidikan Formal Yang Masih
Berlaku Tapi Tidak Berbadan Hukum Untuk Melanjutkan satuan Pendidikan Formalnya
Harus Mendirikan Badan hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM), Disampakan Dalam
Acara Pembekalan Dan Penyegaran Dalam Rangka
Rapat Pleno Yang Diperluas Pengurus Ikatan Noatris Indonesia, Denpasar:
30 Desember.
---------, 2010, Relasi Dan Solusi Pasal 39 Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, Dengan Pendirian Yayasan (Baru) Paska Putusan
MKRI Penyelenggara Pendidikan Formal Oleh Swasta Kembali Ke Yayasan, Disampaikan
Acara Pembekalan Dan Penyegaran Pengetahuan Ikatan Notaris Indonesia, Batam:
2-3 Juli
Ali, Chidir, 1987, Badan Hukum, Bandung: Alumni.
Bahari, Adib, 2010, Prosedur Pendirian Yayasan, Jakarta,
Pustaka Yustisia.
Borahima, Anwar, 2010, Kedudukan Yayasan di Indonesia, Eksistensi,
Tujuan, dan Tangggung Jawab Yayasan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Budiono, Herlien, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, , Bandung: Citra
Aditya.
Budiyano, Tri, 2011,Hukum Perusahaan Telaah Yuridis terhadap
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Salatiga, Griya
Media
Chatamarrasjid, 2006, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha
Bertujuan Laba, Bandung:, Citra Aditya Bakti
Fuady,Munir, 2005, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan
Kontemporer, Bandung: Citra Adtya
Bakti.
-----------, 1994, Hukum Bisnis, Dalam Teori dan Praktek (buku
kesatu), Bandung;
Citra Aditya Bakti
----------, 2010, Doktrin-Doktrin
Moderen dalam Corporate law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Bandung,
Citra Aditya Bakti,
Hernoko, Agus Yudha 2008, Hukum
Perjanjian, Azas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta: LaksBang Mediatama.
Gautama, Sudargo, 1995, Komentar Atas Undang-Undang Perseroan
Terbatas (Baru) Tahun 1995 No. 1 Perbandingan dengan Peraturan Lama, Bandung;
Citra Aditya Bakti
Gunadi, Ariawan, Pasca Pembatalan UU BHP dan Akibat Hukum
yang ditimbulkannya, Opini, Jakarta:
Harian Ekonomi Neraca.
Kansil, C.S.T, 1995, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum
dalam Ekonomi), Jakarta; Pradnya Parmita.
Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil, 2009, Seluk Beluk Perseroan Terbatas, Menurut
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, Jakarta: Rineka Cipta.
Kohar, A 1984, Notaris Berkomunikasi, Bandung:
Alumni.
-----------, 1983, Notaris,
DalamPeraktek Hukum, Bandung: Alumni
Machsun, Miftachul,2009 Penyelenggara Pendidikan Formal Berikut
Problem Yang Dihadapi Serta Solusinya, Disampakan Dalam Acara Pembekalan
Dan Penyegaran Dalam Rangka Rapat Pleno
Yang Diperluas Pengurus Ikatan Noatris Indonesia, Denpasar: 30 Desember
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana
Prenada Media.
-------------, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana
Prenata Media.
Mertokusumo, Sudikno, 2007 Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty.
------------, 2007, Mengenal
Hukum,, Yogyakarta: Liberty,
-----------, 2012, Teori Hukum, Yogyakarta, cahaya Atma
Pustaka
Muladi, Dwidja Priyatno, 2012, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.
Nasution, Bahdar Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung:
Mandar Maju.
Notodisoerjo, Soegondo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Panggabean H.P, 2012, Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset
Yayasan Termasuk Aset Keagamaan Dan Upya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif
Penyelesaian sengketa,Jakarta,
Permata.
Panggabean, Henry Pandapotan, 2008, Peranan Mahkamah Agung Melalui
Putusan-Putusan Hukum Perikatan, Bandung: Alumni
Prasetya, Rudi, 2012, Yayasan dalam Teori Dan Praktek, Jakata,
Sinar Grafika.
Pramono, Nindyo, 2013, Hukum PT. Go Publik Dan Pasar Modal, Yogyakarta,
Andi.
Purwasutjipto, 1992, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,
Bentuk Perusahaan, Jakarta: Djembatan.
Rasjidi, Lili, 1993, Filsafat Hukum, Apakah Hukum itu ?, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania
Rasjidi, 2007, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, , Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Rido, R. Ali Dkk, 1986, Hukum Dagang, tentang Aspek-aspek Hukum
dalam Asuransi Udara, Asuransi Jiwa dan Perkembangan Perseroan Terbatas, Bandung:
Remadja Karya.
-----------, 1988, Hukum Dagang, tentang Surat Berharga,
Perseroan Firma, Perseroan Komanditer, Keseimbangan Kekuasaan dalam PT dan
Penswastaan BUMN, Bandung: Remadja Karya.
-----------, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum
Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung; Almuni.
Raharjo, Satjipto, 2006, Ilmu
Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Suharto, 2009, Membedah Konflik Yayasan, Menuju Konstruksi Bermartabat, Yogyakarta,
Cakrawala Media.
Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung;
Refika Aditama
Sukardono, R, 1991, Hukum Dagang Indonesia,
Jakarta:
Rajawali Pers.
Sidharta, Arif, 1982, Hukum Dan Logika, Bandung; Alumni.
Sembiring, Sentosa, 2006, Hukum Perusahaan,, Bandung: Nuansa
Aulia.
Salim, dan Budi Sutrisno, 2008, Hukum Investasi, Jakarta, Raja Grafindo
Persada.
Suharnoko, 2004, Hukum
Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta:
Prenada Media,
Sjahdeini, Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang
Seimbang, Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Lredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.
Syahrani, Riduan, 2009, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum,,
Bandung:
Alumni.
Sianturi, Purnama Tioria, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang
Jaminan Tidak Bergerak, Bandung:
Mandar Maju.
Simamora, Yohanes Sogar, 2012, Hukum Kontrak, Kontrak Pengadaan Barang dan
Jasa Pemerintah di Indonesia, Surabaya, Leksbang Justitia Surabaya.
--------Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas dalam Kontrak Pemerintah di
Indonesia (pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar, 2008, Fakultas Hukum,
Universitas Airlangga.
---------Karakteristik,
Pengelolaan dan Pemeriksaan Badan Hukum Yayasan di Indonesia (Jurnal Rechts Vinding, Media Pembinaan Hukum Nasional,
Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012.
Sutiyoso, Bambang, 2007, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujutkan
Hukum yang Pasti dan Berkadilan, Yogyakarta: UII Press
Untung, Budi, 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris., Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Usman, Rachmadi, 2003, Perkembangan Hukum Perdata Dalam Dimensi
Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia, 2003, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Tanya, Bernard L., Yoan N.
Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2007, Teori
Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: CV.
Kita.
Peraturan
Perundang-Undangan
UUD 1945.
KUH Perdata.
KUH Dagang.
Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi.
Undang-Undang RI Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Undang-Undang RI
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 2009
tentang Badan Hukum Pendidikan (telah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, pada tanggal 31 Maret 2010)
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan hukum
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
2000 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun
2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63
Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan.
Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2009 tentang Mekanisme Pendirian
Badan Hukum Pendidikan Yang Menyelenggarakan Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah
Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah Sebagai Badan
Hukum Pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Mekanisme Pendirian
Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara Atau Perguruan
Tinggi, Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Sebagai Badan Hukum Pendidikan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009. tertanggal 31 Maret 2010
[1] Artidjo Alkostar, M.
Sholeh Amin (editor), Pembangunan Hukum
Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1986, h.
IX
[2] Bagir Manan, Tantangan Pembangunan Hukum Di Indonesia (artikel)
Majalah Varia Peradilan, No. 344 Juli 2014, Jakarta .h. 5
[6]
Rochmat Soemitro, Penuntun
Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang, Pajak Perseroan, Eresco, Jakarta, 1983., hlm. 1
[7] Ibid., hlm. 5
[8] Anwar Borahima, Kedududukan
Yayasan Di Indonesia, Eksistensi, Tujuan, dan Tanggung Jawab Yayasan,Kencana,
2010, hal. 2
[9] Ibid., hlm. 3
[10] Habib Adjie, Muhammad
Hafidh, Kompilasi Peraturan
Perundang-undangan Yayasan, Pustaka Zaman, 2013., h. 12
[11] Bruce r. Hopkins, Jody
Blazek, The Legal Answer Book For Private
foundation, Simultaneously in Canada, 2002, h. 1
[12] Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Keperdataan di
Bindang Kenotariatan, Citra aditya Bakti, 2007, h. 61.
[13] Y. Sogar Simamora, Karakteristik, Pengelolaan Dan Pemeriksaan
Badan Hukum Yayasan di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Media Pembina Hukum
Nasional, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012, h. 177
[14] Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan
(Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang,
[15] Ridwan Khairani dan Camelia Malik, Good Corporate Governance, Perkembangan Pemikiran dan Impementasi di
Indonesia dalam Perspektif Hukum. Total Media, Jakarta, 2007., hal. 2
[16]. Habib Adjie., op.cit., h. 6
[18] Ali
Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan
Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, wakaf, Alumni, Bandung,1986 hlm 112
[21] Ibid.,
[22] Ibid, hlm 99
[23]Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, Telaah Yuridis
Terhadap Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Salatiga, Graha Media 2011,hlm 128
[24] Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance,
Konsep dan Penerapan dalam Konteks Indonesia, Jakarta, PT. Ray Indonesia, 2006 hlm 8
[25] Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Moderen dalam
Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2010, Citra Aditya Bakti 2010., hal.9
[26] Tri Budiyanto, op.cit, hal 21
[27] Muladi, Dwidja
Priyatno, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana Prenada
Media Group,2012, hlm. 3
[28] Yohanes Sogar Simamora, Prinsip
Transparansi dan Akuntabilitas dalam Kontrak Pemerintah di Indonesia (Pada
saat pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Unair)., hlm 6
[29]Y. Sogar Simamora, op. cit., h. 184
[31] Bernard Arif Sidarta, Penelitian
Hukum Normatif Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal (tulisan)
buku Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor, Jakarta.,
h. 142-143
PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK DALAM MENGHINDARI PERGESERAN TUJUAN IDIIL YAYASAN
SEBAGAI
BADAN HUKUM
1.
LATAR BELAKANG
MASALAH
Pertanyaan yang sangat mendasar mengenai kontribusi perangkat
perundang-undangan dalam perekayasaan mencapai masyarakat adil dan makmur,
menjadi sangat relevan untuk dikemukakan manakala melihat hukum dan
perundang-undangan sebagai “etalase” dan tidak juga sebagai norma yang berada
diruang kosong; tapi melihat hukum itu sebagai sesuatu yang selalu ada dan
berinteraksi ditengah dinamika kehidupan masyarakat. Tunggakan sejarah yang
belum lunas dibayar oleh bangsa kita hingga saat ini, adalah penggantian
undang-undang yang beretos kolonial feodalistis dengan perundang-undangan yang
beretos egaliter demokratis sesuai dengan status bangsa yang merdeka dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.[1]
Untuk itu, berbicara mengenai peranan hukum dalam pembangunan ekonomi dan
modernisasi masih saja terus diperdebatkan, khususnya peranan hukum di dalam
kehidupan masyarakat.
Lembaga Hukum adalah salah satu di antara lembaga atau pranata-pranata
sosial, seperti halnya keluarga, agama, ekonomi dan lainnya. Maka tantangan
terbesar dalam menciptakan pembagunan hukum yang ideal yang bercirikan ke
Indonesia tidak lain memberi makna dengan melakukan pembaharuan hukum terhadap
hukum yang telah ada. Maka Pembangunan hukum dapat pula bermakna sebagai
pencipta hukum-hukum baru, menuju hukum peralihan (transitory period and law) .[2]
Secara prinsipiil, masa dan hukum peralihan memuat beberapa masalah. Pertama; dalam kenyataan, Indonesia yang
merdeka masih berada dalam pengaruh sistem hukum kolonial yang tidak selalu
berpihak kepada kepentingan rakyat atau bangsa Indonesia. Kedua; untuk memenuhi
kebutuhan hukum baru, acap kali didasarkan pada beleid atau diskresi yang berorientasi pada prinsip manfaaat (doelmatigheid) sesaat dan parsial yang
menimbulkan gangguan terhadap susunan integral sistem hukum. Selain itu, beleid sangat dipengaruhi oleh berbagai
kecenderungan politik atau unsur-unsur dominan dengan berbagai kepentingan
subjektif. Dalam susunan seperti itu, pembaharuan hukum tidak didasarkan pada
kebutuhan masyarakat tetapi kebutuhan politik atau sesuatu kepentingan
subjektif tertentu, seperti kepentingan kaum kapital. Ketiga; hukum belum dapat menjadi sarana yang supreme bahkan bila perlu dikesampingkan, atas nama masa
kedaruratan dan hukum peralihan.[3]
Untuk menuju pembangunan hukum yang ideal sebagai mana yang diharapkan
dibutuhkan penyedian perangkat hukum yang memenuhi segala kebutuhan hukum yang
memberi kepastian bagi segala aspek kehidupan masyarakat atau individu, berupa
politik, ekonomi, sosial dan budaya yang memiliki keselarasan dalam proses
pembangunan hukum, dengan tantangan berupa [4]:
1.
Politik dan tujuan hukum;
2.
Pembentukan hukum;
3.
Penegakan hukum; dan
4.
Pelayanan hukum.
Proses menuju hukum peralihan (transitory
period and law) tersebut terasa sekali dalam pengaturan hukum dibidang
badan hukum khususnya mengenai Yayasan. Badan hukum yang dikenal dengan nama recht persoon, legal persons atau persona moralis adalah subjek hukum.
Pertanyaan yang sangat mendasar untuk mengetahui secara menyeluruh mengenai
badan hukum dimulai dengan suatu pertanyaan
yaitu apa dan siapa badan hukum itu ? Maka untuk menemukan jawaban
tersebut dimulai dengan menemukan teori badan hukum dan persoalan hukum positif
mengenai perihal pengaturan hukum yang berlaku pada suatu negara tertentu.
Untuk menemukan jawaban, pengertian mengenai badan hukum selalu dimulai
dari pemahaman dan pendapat para sarjana hukum. Pendapat Maijers yang membatasi bahwa badan hukum itu sesuatu yang menjadi
pendukung hak dan kewajiban. Sedangkan Logemann
memberikan pemahaman yang menyebutkan bahwa badan hukum adalah suatu personifikatie (personifikasi) sebagai bestendigheid (perwujudan atau
penjelmaan) hak dan kewajiban. R. Rochmad
Soemitro, mengemukakan bahwa badan
hukum (rechtspersoon) suatu badan
yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi. Menurut J.J Dormeier mengenai istilah badan
hukum diartikan sebagai Persekutuan orang-orang
yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku seorang saja. Hal ini
terlihat pada Yayasan.[5]
Pendapat para serjana tersebut mengenai definisi badan hukum dapat
diklasifikasi pada beberapa kriteria sebagai pembatas berupa :
1.
Perkumpulan orang (organisasi) ;
2.
Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking);
3.
Mempunyai harta kekayaan tersendiri.
4.
Mempunyai Pengurus.
5.
Dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan.
Sehubungan dengan pertanyaan selanjutnya siapa badan hukum ? Maka
jawabannya bertitik tolak dari jawaban siapa subjek hukum menurut hukum positif
yang berlaku pada suatu negara tertentu. Contohnya adalah Yayasan sebagai badan
hukum diatur yang mendekati sama dengan dengan pemahaman Yayasan sebagai badan
hukum menurut ketentuan Pasal 365 BW.
Kehadiran
Yayasan sebagai badan hukum dalam prakteknya memang sudah cukup lama dikenal.
Namun politik hukum Indonesia yang mengatur Yayasan secara khusus melalui
kondifikasi hukum, baru terlaksana pada saat Pemerintah bersama perlemen dalam
hal ini Dewan Perwakilan Rakyat membahas secara lengkap keberadaan Yayasan sebagai lembaga, yang memang harus di
atur secara jelas baik keberadaan
dan kedudukannya. Maka pada tanggal 6
Agustus 2001 diundangkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang
Yayasan, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4132, untuk selanjutnya disebut UU Yayasan. Diundangkannya UU Yayasan pada tanggal 6
Agustus 2016 tidak berarti UU Yayasan tersebut berlaku pada saat itu juga.
Menurut ketentuan Pasal 73, Undang-undang ini mulai diberlakukan terhitung satu
tahun sejak tanggal diundangkan, gunanya agar UU ini dapat diterapkan secara
efektif dalam rangka sosialisasi kepada para pendiri Yayasan untuk melakukan
proses perubahan dan penyesuaian.
Yayasan
sebagai badan hukum dibentuk dan pendiriannya untuk menempatkan suatu keinginan
masyarakat diluar sesuatu untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, dengan
menempatkan prinsip-prinsip idiil, yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat
banyak, diluar konsep komersial yang selama ini berjalan.
Keinginan
tersebut memberikan suatu hasil besar kepada masyarakat untuk menempatkan
nilai-nilai kebersamaan pada diri manusia, dengan batasan sebagai makluk
sosial, dan kemasyarakatan menjadi suatu norma dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk itu, lembaga Yayasan menjelma dalam bentuk pemikiran sebagaimana dimungkinkan penerapan
keseimbangan dalam proses interaksi yang berkesinambungan yang memberikan
pemahaman, pemikiran, bahwa disamping bertujuan berkelompok dalam suatu entitas
mencari keuntungan, manusia sebagai makluk tidak lepas pada nilai-nilai sosial,
kemanusian dan kemasyarakatan. Itulah menjadi landasan gerak dari Yayasan sebagai
badan atau lembaga.
Penempatan
Yayasan sebagai lembaga, tidak terlepas
dari eksitensi dalam menempatkan nilai-nilai idiil sebagai pijakan utama, yang
membedakan dengan lembaga lain. Dimana lembaga lain diluar Yayasan, selalu
berorientasi mencari keuntungan. Dimana keuntungan adalah bagian pencapaian
prestasi utama. Sedangkan keuntungan bagi Yayasan bukanlah yang utama, melainkan bagaimana keuntungan yang
didapat selalu berpijak pada kepentingan nilai-nilai yang lebih besar, baik pada nilai-nilai kemanusiaan, sosial dan
kemasyarakatan. Itulah yang membedakannya.
Perkembangan
Yayasan yang ada saat ini, memang tidak terlepas dari sejarah keberadaan Yayasan. Yayasan merupakan bagian dari kebijakan politik hukum
yang dikarenakan akibat ketidak puas memandang lembaga lain. Di mana
Yayasan sebagai lembaga yang selalu
ditentukan dari kebiasan-kebiasaan yang berkembang ditengah masyarakat. Saat
itu hanya diatur dalam ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata atau yang lebih dikenal dengan sebutan Burgerlijk Wetboek (BW). Hal ini
terlihat dari ketentuan Pasal 365, 899,
900, dan 1680 BW.
Pasal
365 BW, berbunyi :
Dalam
segala hal bila mana Hakim harus mengangkat seorang wali, maka perwakilan itu
boleh diperintahkan pada suatu perhimpunan berbadan hokum yang bertempat kedudukan
di Indonesia, kepada suatu Yayasan atau lembaga amala yang bertenpat kedududkan
disini pula, yang mana menurut anggaran dasarnya, akta-akta pendiriannya tau
reglemen-reglemennya berusaha memelihara anak-anak belum dewasa untuk waktu
yang lama.
Pasal
899 BW, berbunyi :
Dengan
mengindahkan akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang ini untuk dapat
menikmati sesuatu dari suatu surat wasiat, seseorang harus telah ada, tatkala si yang mewariskan
meninggal dunia.
Ketentuan
ini berlaku bagi mereka yang menerima hak untuk menikmati sestau dari
lembaga-lembaga
Pasal
900 BW, berbunyi :
Tiap-tiap
pemberian hibah dengan surat wasiat untuk keuntungan badan-badan amal,
lembaga-lembaga keagamaan, gereja-gereja atau rumah-rumah sakit, tak akan
mempunyai akibatnya, melainkan sekedar pengurus badan-badan tersebut, oleh
Presiden atau oleh suatu penguasa yang ditunjuk oleh Presiden, telah diberi
kekuasaan untuk menerimanya.
Pasal
1680 BW, berbunyi :
Pengihahan-penghibahan
kepada lembaga-lembaga umum atau lembaga keagamaan, tidak mempunyai akibat
selain sekedar oleh Presiden atau penguasa-penguasa yang ditunjuk olehnya telah
diberikan kekuasaan kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut, untuk
menerima pemberian-pemberian itu.
Ketentuan-ketentuan
tersebut walaupun tidak menerangkan keberadaan Yayasan sebagai lembaga, lebih
menekankan pada sebuah lembaga yang tidak memakai nama. Yang mana pengertian
lembaga sebagaimana yang dimaksud bukanlah Yayasan. Melainkan lembaga yang mendekati
atau yang diperumpamaan seperti “Yayasan”, yang disamakan dengan
wakaf, dan lembaga sosial lainnya.
Lembaga-lembaga tersebut tetap eksis, dan
berkembang dengan pesat dengan tidak mengidentikkan sebagai lembaga profit.
Lembaga-lembaga yang tidak ada nama sebagaimana yang tercantum pada BW, menjadi
akar perumpamaan sebagai Yayasan yang memiliki perbedaan dengan lembaga profit
yang memang sudah dikenal sebelumnya, baik Perseroan Terbatas bernama naamloze vennootschap[6].
Juga adanya bernama Indonesische Maatshappij
op Aandelen, disingkat I.M.A ialah
suatu lembaga yang diminta oleh pemerintah pada saat itu diperuntukkan bagi orang-orang Bumiputera
untuk mendirikan badan-badan hukum yang berlaku bagi hukum adat setempat
sebagai tempat kedudukan. Hal ini terlihat dari ketentuan Staatsblad 39 No. 571 jo.717, tentang
penyelesaian badan-badan hukum Indonesia di muka Pengadilan. Hal lain dikenal
adanya Perseroan Firma yaitu lembaga atau badan yang didirikan oleh lebih satu
orang dalam suatu perjanjian dengan memasukkan sesuatu (barang atau uang)
dengan maksud untuk melakukan perusahaan di bawah satu nama, dan membagi
keuntungan yang didapatnya. Disamping itu ada lembaga dengan nama Perseroan
Komanditer. Juga diartika sebagai lembaga kombinasi antara firma dengan naamloze vennootschap.[7]
Akibat dari ketidak jelasan pengaturan sebuah
lembaga pada saat itu, yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat yang
berkonsepkan bukan untuk mencari keutungan dan menjadi bagian cita-cita masyarakat yang hidup untuk
kepentingan bersama pada tingkat kebersamaan, yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, dengan tidak memakai nama. Walaupun penggunaan istilah Yayasan
sebenarnya juga bagian warisan pemerintahan Hindia Belanda dengan memakai
sebutan (stichtingen) pada saat itu
sudah menyatakan bahwa Yayasan sebagai badan hukum. Ini terlihat pada ketentuan
Wet op Stichtingen van, tertanggal 31 Mei 1956, mulai diberlakukan
pada tanggal 1 Januari 1957. Ketentuan stichtingen
ini juga telah di atur dalam ketentuan Het
Nieuw Burgelijke wet Boek (NBW Nederland)[8].
Jika
kita lihat perbandingannya bahwa sesuatu yang berbadan hukum yang lain dari
ketentuan untuk mencari keuntungan, dalam sebuah kelembagaan yang menyerupai
seperti Yayasan memang telah di atur secara kondifikasi sebagaimana terlihat di
Inggris, yang telah mengenal Yayasan sejak tahun 1601 dalam ketentuan
pengaturan Charitable Uses Acts of 1601.
Sedangkan di Amerika Serikat kelembagaan
dari sebuah organisasi nirlaba diatur pada ketentuan Nonprofit Corporation Act. Dalam Revised nodel Nonprofit Corporation Act 1987, sebagai pengganti
dari The old Model Act (Old Act) 1964.[9]
Ketentuan
yang menjadi pertimbangan dari beberapa negara terhadap organisai nilaba, juga
menjadi seuatu yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Walaupun pengaturannya
tidak secara jelas disebutkan dalam ketentuan UU Hukum Perdata yang berlaku.
Perkembangan
Yayasan yang begitu pesat pada saat itu, dibutuhkan payung aturan untuk
menempatan sebuah fungsi pengaturan menjadi jelas terhadap organisasi nirlaba.
Maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2001 tentang Yayasan, pada
tanggal 6 Agustus 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001, Nomor
112 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132, yang
diberlakukan satu tahun kemudian pada saat UU ini disahkan, untuk selanjutnya
disebut UU Yayasan. Untuk itu, pemahaman mengenai Yayasan dimulai dari
pengertian Yayasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 UU Yayasan.
Pasal 1 angka 1 UU Yayasan menyebutkan bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan
dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan,
dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Dari definisi Yayasan
tersebut terdapat empat karakteristik yang membedakan Yayasan dengan badan
hukum lainnya berupa :[10]
a.
Yayasan sebagai badan hukum.
b.
Mempunyai harta kekayaan tersendiri yang berasal dari
pendiri untuk mencapai tujuan Yayasan.
c.
Tujuan Yayasan dibidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan.
d.
Tidak mempunyai anggota.
Penegasan mengenai definisi Yayasan, yang dipersamakan dengan Foundation bisa disimak menurut pendapat
Bruce R. Hopkins, Jody Blazek[11]
dalam sebuah pertanyaan yang sangat sederhana What is Private Foundation ?
Foundation is there is no affirmative definition of the
term private foundation. The statutory definition basically the a private
foundation is a charitable organization this is not a public cahrity.
Genercally, a private foundation has
four charcteristics :
a.
It is a
charitable organization;
b.
It is
initially foundation a from one source (usually an individual, a married cauple,
a family, on a business);
c.
Its on
going income derives from investment (in the nature of an endowment fund);
d.
It make
grants to other charitable organization rather than operate its own program.
Pendapat Bruce R. Hopkins, Jody Blazek sebagaimana tersebut memiliki
persamaan menurut Herline Budiono dengan Yayasan sebagai badan hukum di mana
telah dipisahkan suatu harta kekayaan pribadi seseorang yang dipergunakan untuk
sesuatu tujuan idiil dan pengurusnya diserahkan kepada suatu badan pengurus
untuk dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab. Pada awalnya apabila
seseorang berkeinginan untuk memisahkan harta kekayaan untuk tujuan idiil
tersebut, jalan yang ditempuh adalah seseorang harus melakukan penghibahan
dengan memakai beban (schenken onder een last).[12]
Hal yang sangat utama dalam pendirian Yayasan sebagai badan hukum yaitu
dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal
dengan tujuan mencapai prinsip idiil Yayasan
dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
Perbuatan hukum memisahkan sebagian
harta kekayaan tersebut menurut Prof. Sogar[13]
mengadung makna adanya kesukarelaan dari para pendiri untuk melepaskan suatu
kekayaan tersebut. Dengan memisahkan sebagian harta kekayaan, maka para pendiri
maupun ahli warisnya tidak lagi berhak atas harta kekayaan yang dipisahkan,
sebagaimana yang disyaratkan untuk menjadikan Yayasan sebagai badan hukum.
Dengan demikian tidak ada orang atau badan
yang mengklaim dan berstatus pemilik atas suatu Yayasan yang didirikan.
Hal inilah yang menjadi pijakan dalam penelitian ini.
Konflik ditubuh Yayasan selalu dimulai dari ketidak tahuan para pendiri
maupun orang-orang pada organ Yayasan tentang pijakan moral dalam pendirian
Yayasan. Karena dari segi karakteristik hal ini berbeda pada pendirian badan
hukum profit lainnya. Memandang ketentuan-ketentuan yang tercantum pada UU
Yayasan memberi fungsi, hak, dan kewajiban masing-masing pihak dengan
menempatkan badan hukum Yayasan bergerak pada langkah-langkah idiil sebagaimana
pada maksud dasar dan tujuan didirikan Yayasan yang bergerak dalam bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusian. Namun pada sisi yang lain Yayasan dapat
mendirikan badan usaha yang kegiatannya akan disesuikan dengan maksud dan
tujuan. Perkataan Yayasan dapat mendirikan badan usaha dengan penyertaan modal
25 % dari seluruh nilai kekayaan Yayasan, akan menjadi permasalahan norma yang
tidak tepat jika ditinjau pendirian Yayasan lebih menekankan pada
prinsip-prinsip idiil. Walaupun penekanannya adalah pendirian badan usaha oleh Yayasan
yang akan memberikan keuntungan pada Yayasan bukanlah sesuatu yang utama.
Dimana keuntungan hanya diperuntukan bagi pengembangan dan terlaksananya
prinsip idiil tersebut. Namun hal ini menunjukan ketidak konsitennya
(in-konsistensi) jika di ditinjau dari prinsip dasar pendirian Yayasan.
Konsistensi sebuah peraturan menjadi hal yang sangat mendasar dari penerapan peraturan tersebut sebagai
media tegaknya sebuah aturan yang dijalankan. Hal ini bisa menjadi pijakan
sebagaimana yang diungkapkan M. Isnaeni, dikutip dari buku Herowati Poesoko, [14]
yang menyebutkan bahwa aturan perundang-undangan yang tidak dialiri arus
konsistensi, berarti citranya sendiri sudah tidak pernah pasti, maka sulit
sekali untuk mengharapkan lahirnya kepastian hukum sebagai salah satu sendi
utama dari aturan perundang-undangan tersebut.
Ketidak konsistenya UU Yayasan juga dapat terlihat dari penerapan Pasal 71
UU Yayasan yang menyangkut kewajiban bagi pendiri Yayasan yang telah ada
sebelum diundangkan Yayasan untuk melakukan penyesuaian ke dalam UU Yayasan
baik menyangkut Yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan
diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, atau Yayasan yang
telah mempunyai ijin, maka Yayasan tersebut tetap diakui sebagai badan hukum.
Dengan ketentuan syaratnya harus segera disesuiakan untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun sejak diberlakukannya UU Yayasan ini, yang kemudian dirubah dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun pada saat diundangkannya UU No. 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115. Dari lewatnya jangka tersebut
maka terhadap Yayasan yang belum menyesuaikan Anggaran Dasar Yayasan ke dalam
UU Nomor 16 Tahun 2001 jo UU Nomor 28 tahun 2004, maka tidak dapat menggunakan
kata “Yayasan” didepan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat 4 UU
Yayasan, dan Yayasan tersebut harus melikuidasi kekayaaan serta menyerahkan
sisa hasil likuidasi kekayaan Yayasan tersebut kepada negara, sebagaimana
dimaksud Pasal 39 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan. Ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal
39 PP Nomor 63 Tahun 2008 tersebut dirubah melalui Pasal 37 A,
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Tentang Yayasan, yang menyebutkan asal saja Yayasan tersebut paling sedikit
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuian Anggaran
Dasar (AD) masih melakukan kegiatan sesuai Anggara Dasar, dan disamping Yayasan
itu belum pernah dibubarkan. Jika melihat ketentuan tersebut di atas terdapat
ketidak konsistenya dalam penerapan UU Yayasan dalam proses penegakan hukum
Yayasan.
Diberlakukannya UU Yayasan tidak lain memberikan jaminan
adanya kepastian dan ketertiban hukum agar Yayasan dapat berfungsi sesuai
dengan maksud dan tujuan berdasarkan prinsip-prinsip pengaturan tata kelola
yang baik yang termuat dalam konsep Good
Corporate Governance, bagi suatu badan atau lembaga baik yang akan bersifat memberi nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder.[15]
Prinsip-prinsip
tata kelola yang baik sebagaimana yang dimaksud dalam konsep Good Corporate Governance dapat
diterapkan kepada Yayasan sebagai lembaga yang berbadan hukum. Penempatan
prinsip-prinsip tersebut gunanya untuk menghindari penyimpangan tujuan idiil
Yayasan selama ini dan juga mengindari konflik di internal organ Yayasan. Karena pendirian
Yayasan oleh pendiri selalu dilandasi pada nilai-nilai sosial yang hidup
dimasyarakat dengan menempatkan kebersamaan bagi pendirian Yayasan, disaat
ketidak konsistennya aturan yang termuat pada UU Yayasan.
Penempatan
prinsip tata kelola yang baik pada Yayasan yang harus perlu diperhatikan demi
terselenggaranya praktek Good Corporate
Governance berupa
keadilan (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), dan resposibilitas (responsibility). Dimana prinsip-prinsip
tersebut bersifat mengikat dan memberikan pedoman kepada para stakeholders Yayasan untuk kedepannya demi
menghindari timbulnya konflik ditubuh Yayasan.
Namun segala yang menjadi utama pendirian Yayasan dengan menempatkan prinsip
tata kelola yang baik, bukan tidak mungkin adanya penyimpangan-penyimpangan pada
fungsi keberadaan dan pendirian Yayasan.
Penyimpangan tersebut terlihat pada motivasi pendirian Yayasan, dengan
melepaskan fungsi filosofi pendirian Yayasan sebagai badan hukum nirlaba, yang
berbeda fungsi dan keberadaannya dengan badan-badan hukum lainnya.
Jika
dikatakan pendirian Yayasan yang menempatkan bidang sosial, kemanusiaan dan
keagamaan dalam tujuan yang bersifat idiil, tidak mencari keuntungan atau
sebagai lembaga non komersil, bukan tidak mungkin pendirian Yayasan yang ada
merupakan motivasi atau keinginan bagi pendiri untuk mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya. Penekanan keuntungan dan atau keinginan komersial akan mengarahkan
Yayasan tersebut pada badan-badan lainnya yang menyerupai pada badan-badan
usaha yang ada, yang pertentangan pada
aturan-aturan hukum yang berlaku.
Untuk
menghindari penyimpangan dari tujuan idiil Yayasan tersebut, disamping
menghindari konflik ditubuh Yayasan, baik kepada pihak ketiga, perorangan,
badan,
dan organ Yayasan. Karena itu penempatan kepentingan dalam penerapan prinsip
tata kelola yang baik sebagaimana yang tercantum dalam Good Corporate Governance, dapat menjadi pilihan penyelesaian
permasalahan yang selalu timbul ditubuh Yayasan.
Konflik
di tubuh Yayasan selalu dilatar belakangi oleh permasalahan-permasalahan
dibidang kepentingan dari organ Yayasan,
baik itu pendiri, Pembina, pengurus dan pengawas. Disamping adanya konflik
menyangkut kepentingan atas harta kekayaan Yayasan. Maka penerapan dan pelaksanaan prinsip Good
Corporate Governance menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan segala
permasalahan yang timbul di Yayasan, gunanya untuk memastikan bahwa organ
Yayasan menjalankan tugasnya dengan semata-mata untuk mencapai tujuan Yayasan,
dan bukan pada tujuan lainnya. Selain itu penerapan prinsip tersebut bisa
memberikan kepastian bahwa organ Yayasan tidak melakukan pelanggaran hukum atau
lalai dalam menjalankan jabatannya. Disamping pengaturan Yayasan sebagai mana
telah disebutkan terdapat adanya ketidak singronnya pelaksanaannya, baik yang
diatur dalam UU maupun pada aturan pelaksanaan dari Yayasan.
2.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
uraian di atas, dapat ditarik legal
issues sebagai permasalahan pada
penelitian ini adalah :
1.
Implementasi prinsip tata kelola yang baik sebagai keseimbangan dalam menghindari konflik
ditubuh Yayasan.
2.
Penanganan
konflik ditubuh Yayasan akibat
adanya penyimpangan tujuan Yayasan.
3.
TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan
pada pokok permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:
1.
Menggali
dan menganalisis prinsip tata kelola
yang baik pada Yayasan sebagai badan hukum.
2.
Menggali
dan menganalisis timbulnya konflik dan mencari penanganan dari akibat adanya
pembiaran penyimpangan tujuan idiil Yayasan.
4.
MANFAAT PENELITIAN
Secara
teoritik, penelitian disertasi ini akan memberikan manfaat sebesar-besarnya
berupa :
a.
Memberikan
kontribusi keilmuan kepada perkembangan Ilmu Hukum tentang Yayasan sebagai
badan hukum dan segala aspek hukum yang terjadi dalam hal menggali dan
menganalisis terhadap prinsip tata kelola dengan menerapkan nilai-nilai keadilan (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), dan resposibilitas (responsibility yang memang sangat
dibutuhkan pada Yayasan sebagai lembaga nonprofit.
b.
Memberikan
pemahaman begitu penting keberadaan Yayasan sebagai badan hukum penyandang hak
dak kewajiban terhadap segala aspek hukum baik untuk kepentingan pendiri,
Pengurus, Pengawas dan kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan Yayasan.
Untuk menghidari konflik ditubuh Yayasan yang selalu terjadi dikarenakan mulai
hilangnya pemahaman tujuan adiil Yayasan selama ini.
Sedangkan untuk
kepentingan praktis, penelitian ini, akan memberikan manfaat :
a.
Terhadap
sumbangan pemikiran dalam pengkaryaan keilmuan dibidang Yayasan, baik dari segi
aturan dan penerapan aturannya.
b.
Sebagai
masukan dalam pembaharuan UU Yayasan maupun peraturan pelaksanaannya.
5.
ORINSINALITAS
PENELITIAN
Penulisan disertasi ini harus memiliki nilai orisinalitas jika ditinjau
dari beberapa karya tulis para sarjana yang membahas dalam kajian Yayasan
sebagai badan hukum dengan beberapa tinjauan yang berbeda sebagai acuan. Hal
ini terlihat dari beberapa tulisan para sarjana dengan aspek permasalah yaitu :
-
Prof. Dr. Anwar Borahima, SH., M. Hum dengan judul :
Kedudukan Yayasan di Indonesia, Eksistensi, Tujuan dan Tanggung Jawab Yayasan.
Tulisan ini dengan mengangkat masalah mengenai eksistensi Yayasan yang telah
ada sebelum diberlakukannya UU Yayasan, dan mengenai tanggung jawab Yayasan dan
organ Yayasan apabila timbul tuntutan hukum sehubungan dengan Operasional
Yayasan.
-
Dr. H. P Panggabean, SH., MS, dengan judul : Praktik
Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan Termasuk Aset Keagamaan Dan Upaya
Penanganan Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa. Tulisan ini
mengangkat masalah mengenai memaparkan praktik peradilan dalam penanganan kasus
yang berkaitan dengan aspek materiil dan atau aspek formiil pendirian suatu
Yayasan yang berjalan sebelum adanya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
-
Dr. Suharto, SH., MM, dengan judul : Membedah Konfli
Yayasan Menuju Kontruksi Hukum Bermartabat. Tulisan ini mengangkat masalah
mengenai persoalan kepastian dan ketertiban hukum Yayasan dan mengenai konflik
kepentingan atas harta kekayaan Yayasan.
Dari beberapa tulisan para sarjana
tersebut yang tertuang dari hasil karya disertasi yang telah dipublikasikan. Jika
dibanding penelitian penulis pada
disertasi yang ada saat ini yaitu ada perbedaan dari sudut pandang permasalahan
dalam penyelesaian konflik ditubuh Yayasan yaitu dengan menerapkan prinsip tata kelola
yang baik sebagai keseimbangan dalam menghindari konflik ditubuh Yayasan dan Penanganan konflik
ditubuh Yayasan akibat
adanya penyimpangan tujuan Yayasan dengan
menerapkan prinsip-prinsip good corporate
governance sebaga azas keseimbangan pada nilai-nilai nilai-nilai kesataraan dan keadilan (fairness), keterbukaan (transparency),
pemberian pertanggung jawaban (accountability)
dan tanggung jawab (responsibility).
6.
KERANGKA TEORI
Diundangkannya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan pada tanggal 6 Agustus 2001,
melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001, Nomor 112 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132. Menjadi pijakan besar
mengenai perkembangan hukum di bidang Yayasan. Dimana UU Yayasan memposisikan sebagai aturan yang mengatur
secara khusus ketentuan badan hukum Yayasan. Hal ini terlihat dalam konsiderans
menimbang pada uruf c menyebutkan bahwa dengan adanya UU Yayasan memberi
jaminan kepastian dan ketertiban hukum agar Yayasan berfungsi sesuai dengan
maksud dan tujuan berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan dan akutabilitas
kepada masyarakat.
Keberadaan UU Yayasan dalam gerak dan pelaksanaannya tidak selalu berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Dimana ada beberapa pasal pada UU Yayasan yang memiliki penafsiran
yang keliru dari beberapa pihak tentang UU ini. Ini tergambarkan pada pejelasan
UU Yayasan yang menyebutkan :[16]
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang diundangkan pada
tanggal 16 Agustus 2001, sejak diberlaku pada tanggal 16 Agustus 2002 dalam
perkembangannya ternyata belum menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan
hukum dalam masyarakat.
Disamping itu, terdapat beberapa substansi Undang-undang Yayasan dalam
masyarakat masih terdapat berbagai penafsiran sehingga dapat menimbulkan
ketidakpatian dan ketertiban hukum.
Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta
memberikan pemahaman yang benar pada masyarakat mengenai Yayasan, sehingga
dapat mengembalikan fungsi Yayasan sebagai peranata hukum dalam rangka mencapai
tujuan tertentu dibindang sosial, keagamaanm dan kemanusiaan.
Namun perkembangannya UU ini belum menampung
seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum pada masyarakat terhadap fungsi
keberadaan Yayasan, serta terdapat beberapa susbtansi yang dapat menimbulkan
berbagai penafsiran. Maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan, yaitu
melalui Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,
pada tanggal 6 Oktober 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 115, yang diberlakukan secara efektif satu tahun sejak tanggal
diundangkan.
Yayasan
sebagai salah satu badan hukum memiliki
aturan dalam perundang-undangan yang mengatur baik menyangkut proses pendirian,
pengesahan, semuanya diatur pada UU Yayasan. Yayasan sebagaimana dimaksud pada
UU tersebut adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan
diperuntukkan untuk mencapai maksud
tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak
mempunyai anggota, sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 ayat 1. Dari definisi Yayasan tersebut, jelas menyebutkan bahwa Yayasan sebagai badan
hukum memiliki tujuan tertentu yang berbeda dengan badan hukum lainnya.
Penekanan
maksud dan tujuan Yayasan memiliki tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan
dan kemanusian, menempatkan Yayasan
sebagai badan hukum yang bersifat nonprofit atau badan hukum yang tidak mencari
keuntungan dengan menempatkan bidang-bidang tersebut pada nilai-nilai sosial,
keagamaan dan kemanusian. Walaupun kenyataannya banyak Yayasan juga bergerak
dibidang bisnis sebagai sumber mata
pencarian untuk mendatangan keuntungan. Dengan kata lain bisnis bagi Yayasan
bukan merupakan tujuan, melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Walaupun
diakui selama ini bahwa Yayasan sebagai
badan hukum, sangat berbeda dari Perseroan Terbatas (PT), terutama dari segi
tujuan.
Keberadaan
UU Yayasan dapat diartikan sebagai
tonggak atau dasar bahwa Yayasan sebagai badan hukum telah ditempatkan sebagai
lembaga yang pengaturannya telah diperjalas pada fungsi dan kedudukan ditengah
masyarakat yang membutuhkannya. Walaupun
masyarakat telah mengenal lembaga ini cukup lama. Karena pendirian Yayasan pada
saat itu hanya didasarkan hukum kebiasaan masyarakat yang berkembang.
Pada KUH
Perdata atau Burgerlijk Wetboek (BW)
telah mengatur beberapa ketentuan yang mendekati pengaturan mengenai Yayasan,
baik pada Pasal 365, 899, 900, 1680, dan
Pasal 365 BW, kemudian pada Pasal 6 ayat 3 Pasal 236 Rv. Pasal-pasal tersebut tidak satupun memberikan
rumusan tentang pengertian Yayasan [17].
Pengertian Yayasan
pada dasarnya hanya merupakan pendapat para ahli dalam merumuskannya
sebagaimana yang pernah diikemukakan oleh Paul Scholten, bukunya Ali Rido “ Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum
Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf” mendefinisikan Yayasan adalah badan hukum
yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak.
Pernyataan itu harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk tujuan
tertentu, dengan penunjukkan, bagaimana kekayaan itu diurus dan digunakan.
Untuk itu Paul Scholten merumuskan
Yayasan dengan ketentuan :[18]
1.
Mempunyai
harta kekayaan sendiri, yang berasal dari suatu perbuatan pemisahan.
2.
Mempunyai
tujuan sendiri (tertentu)
3.
Mempunyai
alat perlengkapan (organisasi).
Yayasan
yang didirikan dalam pergaulan hukum
diakui mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban sendiri, sebagai salah satu pihak
dalam hubungan hukum dengan subyek hukum. Adanya kekayaan yang terpisah oleh
pendiri Yayasan gunanya untuk mencapai tujuan dan merupakan sumber dari segala
hubungan hukum.
Pendirian
Yayasan secara aturan hukum sebagaimana yang di amanahkan selalu berkaitan dengan arahan yang terdapat
pada Garis-Garis Besar Haluan Negara khususnya pada tahun 1999 – 2004[19].
Dimana pembangunan hukum harus mewujutkan sistem Hukum Nasional yang menjamin
tegaknya supermasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan
kebenaran.
Dengan
diberlakukannya UU Yayasan telah mencantumkan secara jelas syarat pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud Pasal 9
ayat 1, 2, 3, yang berbunyi :
(1) Yayasan didirikan
oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan
pendirinya, sebagai kekayaan awal.
(2) Pendiri Yayasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan akta Notaris dan dibuat
dalam bahasa Indonesia.
(3) Yayasan dapat
didirikan berdasarkan surat wasiat.
Namun
yang menjadi kendala saat ini, saat dikeluarkannya UU Yayasan adalah minimnya
pemahaman dari para pendiri Yayasan terhadap arti pentingnya Yayasan sebagai
badan hukum. Apalagi sebagian besar Yayasan yang didirikan belumlah berbadan hukum, baik Yayasan yang
bergerak dibidang sosial, keagamaan dan kemasyarakatan. Belum berbadan hukumnya
Yayasan maka keberadaan Yayasan tersebut belum sempurna dimata hukum.
Nilai
dasar dari hukum yang ideal adalah memberikan kepastian hukum. Karena kepastian
hukum tidak hanya persoalan masalah legalitas saja, melainkan bagaimana
menempatkan kepastihan hukum itu pada tatanan kepatutan dan keadilan, untuk
menemukan keseimbangan dalam penerapannya.
A. Teori Badan Hukum
Kehadiran badan hukum dalam
pergaulan hukum dimasyarakat, terlihat sejak abad 19 yang lalu sampai sekarang, telah menarik perhatian para
ahli-ahli hukum. Berbagai tokoh dan pendukung dari aliran mazhab ilmu hukum telah
mengemukakan pendapat mengenai eksistensi badan hukum sebagai subyek hukum disamping manusia.
Sejauh ini persoalan badan hukum menjadi penelaahan filsafat hukum. Hal ini
menjadi tugas filsafat hukum untuk
mengetahui hakikat dari apa yang disebut badan hukum. Hasil pemikiran tentang
hakikat badan hukum melalui filsafat hukum dirumuskan dalam bentuk asas, nilai
atau teori-teori. Untuk itu, bentuk sumbangan yang berharga dari filsafat hukum
bagi pemecahan masalah terhadap badan hukum tersebut adanya teori-teori tentang
badan hukum.
Teori-teori badan hukum yang ada,
sebenarnya dapat dihimpun pada dua golongan
atau pandangan yaitu :[20]
1.
Yang menganggap bahwa badan hukum
itu sebagai wujud yang nyata, yang
selalu diidentikan dengan manusia.
2.
Yang menganggap, bahwa badan hukum
itu tidak sebagai wujud yang nyata,
tetapi badan hukum hanya merupakan
manusia yang berdiri di belakang badan hukum tersebut, artinya jika
badan hukum tersebut melakukan kesalahan, hak itu hanyalah kesalahan
manusia-manusia yang berdiri dibelakang badan hukum tersebut secara bersama-sama
Mengenai perwujutan dari badan hukum
sudah lama menjadi persoalan. Ali Ridho mengatakan, bahwa selama belum dapat
diketemukan suatu pandangan yang tepat dan benar di dalam metode dari
bentuk-bentuk pengertian dan tafsiran
peraturan perundang-undangan khususnya mengenai badan hukum, maka selama
itu tetap menjadi silang pendapat oleh
para ahli. Karena itu, yang mendorong terbentuknya suatu pengertian badan hukum
adalah, bahwa manusia dalam hubungan hukum privat tidak hanya berhubungan
terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap persekutuan perdata tesebut.[21]
Dalam sejarah perkembangan badan
hukum dewasa ini, ada beberapa teori tentang badan hukum yang dipergunakan
dalam ilmu hukum dan perundang-undangan, yurisprudensi serta doktrin. Karena
itu untuk mencari dasar-dasar dari badan hukum, dapat dilihat dari beberapa
teori :
a.
Teori Fiksi
b.
Teori Organ,
c.
Teori Harta Kekayaan.
d.
Teori Propriete celeective dari
Planio,
B. Keseimbangan Yayasan
Undang-undang Yayasan sebagaimana
diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2001,
kemudian dirubah melalui UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 Tentang Yayasan, Lembaran Negara Republik
Idonesia Tahun 2004 Nomor 115, Dan juga dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomot 63 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan, dengan Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4894.
Maupun Peraturan Pemerintah Nomor 2
tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2008
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan. Sedangkan
yang terbaru dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Pemerintah
Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan.
Diberlakukannya UU Yayasan saat ini
dapat memberikan kepastian dan ketertiban, agar Yayasan tersebut dapat berfungsi
dalam menjalankan maksud dan tujuannya dengan menempatkan prinsip-prinsip
transparansi dan akuntabilitas.
Penempatan prinsip-prinsip transparansi dan
akutabilitas sesuatu yang sangat diharapkan agar terwujut adanya prinsip Good Corporate Governance yang
diperuntukkan pada perusahaan-perusahaan. Pertanyaan yang sangat mendasar
adalah apakah prinsip Good Corporate
Governance ini dapat diterapkan pada Yayasan ? Karena pada dasarnya prinsip Good Corporate Governance terdapat
nilai-nilai kesataraan dan keadilan (fairness),
keterbukaan (transparency),
pemberian pertanggung jawaban (accountability)
dan tanggung jawab (responsibility).
Secara definitif penerapan Good Corporate Governance untuk selanjutnya disinkat GCG merupakan suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan
untuk menciptkan nilai tambah (value
added) untuk semua stakeholder. Penerapan
prinsip GCG di Indonesia dapat diartikan sebagai konsep pengelolaan perusahaan
yang baik. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini. Pertama, pentingnya
hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar atau akurat dan
tepan pada waktunya. Kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclousure) secara akurat, tepat waktu
dan tranparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder.
Penerapan prinsip GCG dalam dunia usaha
saat ini merupakan suatu tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut dapat
tetap eksis dalam persaingan global. Dimana penerapan GCG memiliki suatu
tujuan-tujuan strategis berupa :
1.
Untuk dapat
mengembangan dan meningkatkan nilai perusahaan;
2.
Untuk dapat
mengelola sumber daya dan resiko lebih efektif dan efisien;
3.
Untuk dapat
meningkatkan disiplin dan tanggung jawab dari organ perusahaan demi menjaga
kepentingan para stakeholder perusahaan.
4.
Meningkatkan
kontribusi perusahaan khususnya perusahaan-perusahaan terhadap perekonomian
nasional;
5.
Meningkatkan
investasi; dan
6.
Mensukseskan
program privatisasi perusahaan-perusahaan pemerintah.
Dari berbagai
ketentuan tersebut, walaupun adanya penekanan dimana penerapan GCG hanya
diperuntukan pada perusahaan profit oriated, menjadi lain jika diterapkan
prinsip tersebut pada Yayasan sebagai lembaga yang berbadan hukum.
Penempatan prinsip-prinsip tersebut, merupakan
suatu mekanisme pengaturan tentang tatacara pengelolaan perusahaan atau badan
berdasarkan rules yang benar, dengan
menjalankan fungsi-fungsi anggaran dasar (articles
of association), serta aturan-aturan pada Undang-Undang maupun pada aturan
peralihannya. Memberikan hubungan kesinambungan mengenai organ-organ yang ada
pada Yayasan, baik Pembina, Pengurus dan Pengawas. Pada prinsipnya pemakaian
istilah good corporate governance yaitu
penerapan prinsip manajemen badan atau perusahaan untuk mengelola perusahaan
atau badan secara baik, benar dan penuh integritas.[22]
Penerapan tata kelola yang baik
sebagaimana tergambarkan pada prinsip good
corporate governance, tidak hanya diperuntukkan pada badan hukum Perseroan
Terbatas, namun hal ini juga dapat
diterapkan pada Yayasan sebagai badan hukum. Satu cara yang bisa memberikan
masuknya prinsip tata kelola yang baik pada badan hukum adalah memberikan nilai-nilai keseimbangan bagi
setiap organ Yayasan dengan selalu menekankan pentingnya penempatan nilai-nilai
adiil pada Yayasan. Karena pendirian Yayasan sebagaimana yang diamanahkan oleh
UU sangat berbeda dengan badan hukum lainnya yang memang diorientasikan pada
mencarian keuntungan yang sebesar-besarnya.
Good
Corporate Governance sebagai tata kelola marupakan tema
yang tepat untuk pengendalian (control)
dan pengaturan (regulate) sehingga mampu menjelaskan proses yang terjadi didalamnya[23].
Pada hal ketentuan tata kelola badan-badan hukum yang harus memenuhi
nilai-nilai pengendalian dan pengaturan untuk memberikan keseimbangan pada
badan-badan hukum tersebut. Sehingga
akan mengurangi timbulnya konflik ditubuh Yayasan selama ini yang sering
terjadi. Karena konsep good coporate
governance, sebagaimana yang pernah dikemukaan Daniri[24],
pada badan hukum Perseroan Terbatas, tata kelola perseroan yang baik merupakan
:
1.
Suatu struktur yang mengatur pola
hubungan harmonis tentang peran-peran Dewan Komisaris, Direksi, Rapat Umum
Pemegang Saham denganstakeholder
lainnya.
2.
Suatu sistem check and balance yang
mencakup perimbangan kewenanangan atas pengendalian perseroan yang dapat
membatasi munculnya dua peluang, yaitu pengelolaan yang salah dan
penyalahgunaan asset perseroan.
3.
Suatu proses yang tranparan atas
penentuan tujuan perseroan, pencapaian dan pengukuran kinerjanya.
Penerapan konsep good corporate governance yang pada
mulanya diperuntukan pada Perseroan Terbatas, hal ini dapat juga diterapkan
pada Yayasan dalam melaksanakan tata kelola badan sesuai dengan standars yang
ditetapkan oleh anggaran dasar Yayasan dan UU Yayasan maupun peraturan
pelaksanaanya.
Karena timbulnya konflik di Yayasan
selalu dikarenakan adanya ketidak
seimbangan peran oleh masing-masing organ, baik antara pendiri, Pembina, Pengurus
dan Pengawas berakibat konflik di Yayasan selalu dilatarbelakangi oleh
kebijakan-kebijakan Yayasan saling bertentangan. Apalagi konflik ini mengarah
hubungannya kepada pihak ketiga, yaitu orang-orang yang ditugaskan sebagai
pelaksana kegiatan pengurus, yang juga merasa berkepentingan terhadap Yayasan.
Disatu sisi, bahwa penempatan
prinsip-prinsip keseimbangan pada Yayasan
mulai saat pendirian Yayasan, peran-peran organ Yayasan, dan juga
penerapan hubungan Yayasan terhadap pihak-pihak, dalam menghidari konflik yang
selama ini sering terjadi di antara pihak-pihak didalamnya, maupun penempatan
beban tanggung jawab pada saat Yayasan belum berbadan hukum maupun pada saat
Yayasan sudah berbadan hukum.
Penempatan beban tanggung jawab ini
sudah terlihat pada saat mulai adanya pemisahan harta pribadi dari pendiri
Yayasan untuk kepentingan pendirian Yayasan, yang gunanya untuk menentukan mana
milik pribadi dan yang bukan milik pribadi pada saat Yayasan dijalankan.
Proses tanggung jawab ini pada
Yayasan dapat juga melakukan pengkajian dengan melaksanakan transplantasi
melalui doktrin-doktrin moderen dalam hukum perusahaan sebagai bagian
penyelesaian sengketa Yayasan dengan menempatkan pada fungsi keseimbangan
proses tanggung jawab melalui prinsip doktrin Piercing the Corporate Veil atau yang diistilahkan juga Lifting the Corporate Veil. Menurut
Munir Fuadi[25]
agar suatu Piercing the Corporate Veil, secara
hukum
di jalankan dengan memenuhi ketentuan :
1.
Terjadinya penipuan.
2.
Didapat suatu ketidakadilan.
3.
Terjadinya suatu penindasan (oppression)
4.
Tidak memenuhi unsure hukum(illegality).
5.
Adanya dominsi pemegang saham yang
berlebihan.
6.
Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya.
Disamping itu juga, harus mengkaji
apakah penerapan doktrin-doktrin moderen lainnya dapat disesuaikan pada konsep
Yayasan ? Melalui doktrin-doktrin
perseroan berupa, Ultravires, Fiduciary
Duty, liability Promotors, Busines Judgement, Corporate opportunity, Minorty
Shareholders Protection. Dan Self Dealing.[26]
Penerapan prinsip-prinsip keseimbangan
pada Yayasan sebagai badan hukum, dalam
telaah penyelesaian konflik ditubuh Yayasan dalam penerapan prinsip idiil
Yayasan. Bisa menjadikan proteksi Yayasan dari unsur-unsur kejahatan seperti, money laundering, cyber crime dari
berbagai jenis kejahatan canggih lainnya yang tidak mungkin terjadi tanpa
adanya bantuan dari mereka yang memiliki profesionalisme.
Sebagaimana yang pernah diungkapkan
oleh Muladi [27]
pada Kongres PBB V tentang Pencegahan Kejajatan dan Pembinaan Pelanggaran Hukum
(The Prevention of Crime and Treatment of
Offender) tahun 1975, yang kemudian dipertegas kembali dalam kongres PBB
VII tahun 1985, menunjukkan bahwa terdapat kejahatan bentuk baru yang dilakukan
oleh korporasi yang digerakkan oleh pengusaha yang membawa dampak negative pada
perekonomian Negara yang bersangkutan.
Kejahatan yang dilakukan korporasi
dengan mengatas namakan lembaga dapat saja terjadi jika nilai-nilai
keseimbangan pada lembaga tersebut tidak dapat berjalan. Untuk itu dibutuhkan
peraturan yang secara khusus mengatur tentang pentingnya tranparansi dan
akuntabilitas sebagai medianya[28].
Selanjutnya yang perlu mendapat
perhatian adalah penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan Yayasan. Pengelolaan Yayasan tidak saja mencakup tindakan
pengurusan oleh organ pengurus, tetapi juga segenap tindakan yang dilakukan
organ lain yakni pembina dan pengawas. Sekalipun tiga organ Yayasan mempunyai
kewenangan dan tanggung jawab berbeda namun semua tindakan yang dilakukan
adalah untuk kepentingan Yayasan. Prinsip transparansi dan akuntabilitas wajib
dijalankan oleh ketiga organ pada Yayasan.
Urgensi tranparansi dan akuntabilitas
diperlukan untuk memastikan bahwa organ Yayasan dalam menjalankan tuganya
semata-mata untuk mencapai tujuan Yayasan, dan bukan tujuan lain. Sebagai
bagian dari pilar good governance,
transparansi dan akuntabilitas tidak saja perlu diterapkan oleh organ
publik, tetapi juga pada organ privat. Sekalipun Yayasan adalah organ privat,
terdapat tuntutan oleh stakeholder
agar kekayaan Yayasan tidak digunakan untuk tujuan lain oleh organ Yayasan selain dari pada tujuan sebagaimana
dituangkan dalam anggaran dasar Yayasan.
Sekalipun dalam organ Yayasan terdapat
pengawas, dimana ketiadaan transparansi
potensial mengakibatkan pemanfaatan kekayaan Yayasan yang tidak
akuntabel. Bukan tidak mungkin terjadi persekongkolan oleh ketiga organ yang
merugikan Yayasan. Transparansi dan akuntabilitas sebagaimana tersebut adalah
sebagai alat kontrol oleh publik atas kinerja yang dilakukan oleh organ Yayasan
dan sekaligus untuk melindungi kekayaan Yayasan tidak disalah gunakan.
Transparansi dalam pengelolaan Yayasan
setidaknya mencakup dua hal sebagaimana yang pernah diungkapkan Oleh Prof.
Sogar [29]yaitu
adanya pengumuman dalam Tambahan Berita Negara atas Anggaran Dasar, dan
penguman laporan tahunan oleh Yayasan. Yang pertama adalah adanya konsekuensi
bahwa Yayasan sebagai badan hukum. Dengan adanya pengumuman dalam Tambahan
Berita Negara, maka publi dapat mengakses informasi atas suatu pendirian
Yayasan, apa Yayasan tersebut telah terdaftar dalam daftar Yayasan berbadan
hukum oleh Kantor Kementrian Hukum dan HAM RI. Sedangkan terkait pengumunan
laporan tahunan, masyarakat atau publik dapat memperoleh informasi yang
berhubungan dengan keadaan dan kegiatan Yayasan.
Apalagi UU Yayasan dalam penjelasannya
telah memperhitungkan kemungkinan yang terjadi dari bahwa kecendrungan
masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk berlindung di balik status
badan hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah pengembangan
kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan
untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus dan pengawas. Sejalan dengan
kecendrungan tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang berkaitan
dengan kegiayan Yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang
tercantum pada Anggaran Dasar Yayasan, sengketa antar pengurus dengan pendiri
atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa Yayasan digunakan untuk menampung
kekayaan yang berasal dari perbuatan melawan hukum.[30]
7.
METODE PENELITIAN
a.
Type Penelitian
Penelitian
ini menggunakan penelitian hukum normatif. Dimana penelitian hukum normatif
lazim dilakukan dalam kegiatan pengembangan Ilmu Hukum, dengan istilah lain
disebut Dogmatika Hukum (Rechtsdogmatiek)
ialah suatu ilmu yang mencakup kegiatan menginvetarisasi, memaparkan dan
menginterprestasi, mensistematisasi dan juga mengevaluasi keseluruhan hukum
positif yang berlaku dalam suatu masyarakat dan negara tertentu dengan
bersarankan konsep-konsep, pengertian-pengertian,
teori-teori, klasifikasi-klasifikasi yang dibentuk dan dikembangkan khusus
untuk melakukan semua kegiatan tersebut.
Yang
menjadi masalah inti dari dalam Ilmu Hukum adalah menentukan apa yang menjadi
hukumnya bagi situasi konkret.
Untuk
itu diperlukan proses penalaran hukum (legal
reasoning), yaitu metode berpikir yuridik untuk mengindentifikasi,
berdasarkan tatanan hukum yang berlaku.[31] Semakin
menjadi benar sebagaimana yang disampaikan oleh Peter Mahmud Marzuki
berdasarkan keilmuan ilmu hukum tersebut menguktip dari pendapat Jan Gijssels dan Mark van Hoecke dalam
bukunya membagi ilmu hukum menjadi tiga lapisan yaitu, rechtsdogmatiek (Dokmatig Hukum),
rechtteorie (Teori Hukum)dan
rechtsfilosie (filsafat Hukum). Yang pada kenyataannya, bahwa ilmu hukum
mempunyai dua aspek yaitu aspek praktis dan aspek teoritis. Mengingat hal
tersebut, dalam penelitian ilmu hukum dibedakan menjadi penelitian untuk
keperluan praktis dan penelitian untuk kajian akademis. Penelitian untuk tujuan
praktis dilakukan bagi kepentingan klien
dan sesama praktisi hukum. Sedangkan untuk kajian akademis, penelitian
dilakukan bagi dunia akademis dan pembuat undang-undang. Hasil dari penelitian
untuk keperluan aspek praktis berupa adanya pendapat hukum. Sedangkan hasil
penelitian untuk kajian akademis berupa karya akademis baik dalam bentuk tesis,
disertasi, artikel dan jurnal hukum dan naska akademis dalam proses menyusunan
rancangan undang-undang.[32]
Maka hasil akhir dari penelitan tersebut dapat menjawab makna apakah dapat
ditemukannya teori hukum baru, atau menemukan konsep baru terhadap hal-hal yang
dipandang telah mapan dalam ilmu hukum.
b.
Pendekatan Masalah
Penelitian hukum ini memadukan tiga pendekatan utama (Approach) yaitu pendekatan
perundang-undangan(statute approach), pendekatan Konseptual (conceptual approach), maupun pendekatan perbandingan (comparative approach) dan akan
dikembangkan pada pendekatan kasus (case
approach). Pendekatan
perundang-undangan “statute” diawali dari suatu konstitusi dan aspek-aspek
hukum serta konsep-konsep hukum terhadap undang-undang ikutannya, baik dalam
bentuk Undang-Undang maupun Peraturan Pelaksanaanya, berupa : Undang-Undang
Dasar, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang
Yayasan, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan,
Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 63 tahun 2008 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Tentang
Yayasan, dan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Tentang Yayasan.
Sedangkan
pada pendekatan konseptual yaitu untuk membatu menemukan asas-asas hukum dan
konsep-konsep hukum yang lebih cocok yang melandasi suatu norma-norma hukum
tersebut yang ada saat ini jika dihubungkan pengaturan Yayasan sebelum
diberlakukannya UU Yayasan, yang pada mulanya Yayasan dalam pendirian hanya
didasari kebiasan-kebiasan yang berlaku pada saat itu, dengan menempatkan
Yayasan sebagai badan hukum yang memiliki perbedaan jika dibandingkan pada
badan hukum lainnya baik itu, Perseroan Terbatas, Koperasi dan Perkumpulan.
Pada pendekatan konseptual yang memiliki banyak pengertian pada ilmu hukum khususnya dalam menempatakan keberadaan
Yayasan sebagai badan hokum dalam prosesnya apakah secara konsesi dalam Undang-undang, campuran
atau melalui Yurisprudensi, yang semuanya akan diperjelas kedudukannya.
Pada
pendekatan perbandingan, mengkaji lebih dalam dan membandingkan dari segi
diberlakukannya peraturan Yayasan atau dengan sebutan lain sebagai lembaga non profit
dengan istilah Foundation dari suatu Negara tertentu secara
mikro
atau hukum dari suatu waktu tertentu
dengan hukum dari waktu lainnya.
Sedangkan pada pendekatan kasus, selalu dimulai dengan
mengkaji dan menganalisis berbagai putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, atau mengikat (inkrach
van gewijsde) sebagai yurisprudence
yaitu dengan mengkaji apa yang menjadi alasan-alasan hukum yang digunakan oleh
hakim untuk sampai kepada putusan yang dikenal sebagai ratio decidendi.[33]
c.
Langkah Penelitian
Langkah
penelitan ini dimulai adanya isu hukum terhadap diberlakukannya UU Yayasan yang
ada saat ini. Saat diundangkannya UU No. 16 tahun 2001 dan dirubah melalui UU
No. 28 tahun 2004, dan juga beberapa peraturan pelaksanaannya dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah
No. 2 tahun 2013. Namun kenyataannya Yayasan sebagai badan yang bercirikan dan
nonprofit, dimana tujuan keuntungan bukanlah sebagai utama, melainkan
penempatan Yayasan sebagai wadah perjuangan dalam penempatan nilai-nilai
sosial, kemasyarakatan dan keagamaman. Oleh karena itu karena berdasarkan
definisi Yayasan sebagai badan hukum yang terdiri dari atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial,
keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Bahwa penekanan
pendirian Yayasan pada bidang sosial, keagamaan dan kemanusian, menjadi ciri
utama pendirian Yayasan jika dibandingkan pada badan hukum lainnya. Namun
disatu sisi UU Yayasan memberi kemungkinan pada Yayasan untuk membuka usaha
yang sejenis dengan maksud dan tujuan Yayasan. Batasan dan yang memungkinkan
Yayasan untuk membuka badan usaha yang sejenis, nantinya akan melanggar norma
pendirian Yayasan dengan menempatkan prinsip-prinsip idiil pada Yayasan. Maka untuk itu
dibutuhkan nilai transparansi dan akuntabilitas pada Yayasan. Penerapan
nilai-nilai transparansi dan akuntabilitas terdapat pada prinsip tata kelola
aturan yang baik pada badan hukum Good
Corporate covernance yang khususnya
ditujukan pada badan hukum profit dan singkronkan pada badan hukum non profit
apakah hal ini dapat dijalankan dalam proses menuju keseimbangan terhadap
pelaksanaan organ Yayasan yang terdiri, pembina, pengurus dan pengawas dan
samping untuk menghindari timbulnya
konflik baik antar organ Yayasan, pihak ketiga dan konflik kepada lembaga yang
sejenis lainnya.
d.
Sumber
Bahan Hukum
Penelitian
hukum ini menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer yang
dimaksud adalah peraturan-peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Sedangkan bahan hukum sekunder meliputi bahan-bahan
yang mendukung bahan hukum primer, seperti buku-buku teks, artikel dalam
berbagai majalah ilmuah atau jurnal hukum, makalah-makalah, dan literature
pendapat para sarjana (doktrin).
Bahan-bahan
hukum itu didapat melalui lembaga-lembaga penerbitan baik pemerintah atau
swasta, baik di dalam maupun diluar negeri, melalui internet, pertemuan ilmiah,
seminar, lokakarya, dan lainnya.
8.
SISTEMATIKA
PENULISAN
Penulisan
disertasi ini terbagi dari empat Bab, yang mana dua Bab membahas segala
permasalahan dari disertasi ini yang menekankan pentingnya penerapan prinsip
transparansi dan akuntabillitas dalam pengelolaan Yayasan yang harus disesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku khususnya UU Yayasan dan peraturan
pelaksanaannya. Yang mana Yayasan sebagai badan hukum tidak terlepas timbulnya
permasalahan konflik, yang didasari pada saat
pendirian Yayasan maupun pada saat Yayasan sedang berjalan. Fakta
menunjukan kecendrungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk
berlindung di balik status badan hukum Yayasan, yang mana tidak hanya digunakan
sebagai wadah pengembangan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusian, melainkan
juga bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas.
Maupun permasalahan lainnya.
Bab
1 (satu) merupakan pendahuluan sebagai arah apa yang akan ditulis pada
disertasi ini, pada saat merumuskan permasalahan yang ada, dimana bab ini
sebagai batasan penulisan pada disertasi ini, yang membedakan antara penulis
dengan penulis yang lain yang berbicara tenyang Yayasan sebagai badan hukum.
Begitu juga
tentang tujuan dan manfaat pada penulisan disertasi. Yang jelas tujuan pada
disertasi ini, yaitu menggali dan menganalisi setiap yang terdapat pada rumusan
masalah prinsip transparansi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan Yayasan maupun mencari formulasi dalam
penanganan konflik ditubuh Yayasan dikarenakan adanya pengingkaran pada prinsip
idiil dari Yayasan tersebut. Sedangkan pada manfaat penulisan disertasi yaitu
ikut serta memberikontribusi pengembangan keilmuan dibidang Yayasan sebagai
badan hukum.
Sedangkan
pada Bab II (dua) yaitu pembahasan pada penerapan prinsip tata kelola yang baik pada Yayasan, sedangkan pada
Bab III membahas masalah penerapan hukum dalam penanganan dalam penanganan
konflik ditubuh Yayasan karena adanya penyimpangan dari tujuan idiil Yayasan.
Pada
Bab IV, berupa kesimpulan dan saran dari pembahasan pada Bab II dan Bab III,
apa yang menjadi kesimpulan dan saran pada penulisan disertasi ini.
9.
RENCANA
DAFTAR ISI
PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK
DALAM MENGHINDARI PERGESERAN TUJUAN IDIIL YAYASAN
SEBAGAI BADAN HUKUM
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II. MAKNA DAN FUNGSI YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM
A.
SEJARAH PENDIRIAN YAYASAN
1.
Yayasan Sebagai lembaga
2.
Pengaturan Yayasan Sebelum dan Sesudah di Berlakukannya
UU Yayasan.
3.
Status Badan Hukum
Yayasan
4.
Membandingkan Yayasan Dengan Badan Hukum lainnya
B.
YAYASAN SEBAGAI LEMBAGA YANG BERBADAN HUKUM
1.
Teori Badan Hukum
2.
Landasan Terbentuknya Yayasan Selaku Berbadan Hukum
3.
Manfaat Yayasan Berbadan Hukum
4.
Membandingkan Yayasan Indonesia dengan Yayasan Negara
Lain
C.
TUJUAN PENDIRIAN YAYASAN
1.
Yayasan Untuk Kepentingan Bersama
2.
Maksud Dan Tujuan Yayasan
D. TANGGUNG
JAWAB DAN TANGGUNG GUGAT ORGAN YAYASAN
1.
Peran Pendiri Yayasan
2.
Keberadaan Pembina
3.
Tanggung Jawab Penggurus
4.
Keberadaan Pengawas Yayasan
5.
Tanggung Gugat Organ Yayasan
BAB III. IMPLEMENTASI PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK
SEBAGAI KESIMBANGAN PADA YAYASAN
A.
DASAR HUKUM DAN PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK
(Good Corporate Governance)
1.
Dasar Hukum Prinsip Tata Kelola Yang Baik
2.
Landasan Terbentuknya Prinsip Tata Kelola Yang Baik
3.
Penerapan Prinsip Tata Kelola Yang Baik
B.
MANFAAT DAN TUJUAN PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK
1.
Manfaat Prinsip Tata Kelola Yang Baik
2.
Tujuan Prinsip Tata Kelola Yang Baik
C.
PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK PADA YAYASAN
1.
Penerapan Nilai-Nilai dari Prinsip Tata Kelola Yang Baik
2.
Hubungan Prinsip Tata Kelola Yang Baik dengan Coporate
Social Responsibility (CSR)
D. HUBUNGAN
ORGAN YAYASAN DALAM KESIMBANGAN
1.
Antar Organ Yayasan dalam Penerapan Prinsip Tata Kelola
Yang Baik
2.
Yayasan Sebagai Lembaga dan Penerapan Prinsip Tata Kelola
Yang Baik
E.
PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK PADA YAYASAN
1.
Keadilan (Fairness)
2.
Tranparansi (Transparency)
3.
Akuntabilitas (Accountability)
4.
Responsibilitas (Responsibilty)
F.
PENERAPAN KESEIMBANGAN DALAM PENGGUNAAN PRINSIP TATA
KELOLA YANG BAIK YAYASAN
1.
Langkah-langka Timbulnya Ketidak Seimbangan Pada
Pendirian Yayasan
2.
Organ dan Keseimbangan pada Prinsip Tata Kelola Yang Baik
G. TUJUAN
UTAMA PENERAPAN PRINSIP YAYASAN
1.
Menghindari Konflik
2.
Peran Yayasan untuk Pembangunan
3.
Keberadaan Yayasan sebagai lembaga
BAB IV. PENANGANAN KONFLIK PADA YAYASAN
A.
KONFLIK PADA YAYASAN
B.
LEMAHNYA KONTROL ANTAR LEMBAGA
C.
PERATURAN PERUNDANG-UNDAGAN
D. PENANGAN
KONFLIK
E.
YAYASAN DAN HARTA KEKAYAAN
DAFTAR PUSTAKA
Adjie, Habib, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik
Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Bandung:
Refika Aditama.
---------, 2008 Status Badan Hukum Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial, Bandung:
Mandar Maju
---------, 2009, Yayasan Yang Menyelenggarakan Pendidikan
Formal, Dan Mempunyai Izin, Penyelenggaraan Pendidikan Formal Yang Masih
Berlaku Tapi Tidak Berbadan Hukum Untuk Melanjutkan satuan Pendidikan Formalnya
Harus Mendirikan Badan hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM), Disampakan Dalam
Acara Pembekalan Dan Penyegaran Dalam Rangka
Rapat Pleno Yang Diperluas Pengurus Ikatan Noatris Indonesia, Denpasar:
30 Desember.
---------, 2010, Relasi Dan Solusi Pasal 39 Peraturan
Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, Dengan Pendirian Yayasan (Baru) Paska Putusan
MKRI Penyelenggara Pendidikan Formal Oleh Swasta Kembali Ke Yayasan, Disampaikan
Acara Pembekalan Dan Penyegaran Pengetahuan Ikatan Notaris Indonesia, Batam:
2-3 Juli
Ali, Chidir, 1987, Badan Hukum, Bandung: Alumni.
Bahari, Adib, 2010, Prosedur Pendirian Yayasan, Jakarta,
Pustaka Yustisia.
Borahima, Anwar, 2010, Kedudukan Yayasan di Indonesia, Eksistensi,
Tujuan, dan Tangggung Jawab Yayasan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Budiono, Herlien, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, , Bandung: Citra
Aditya.
Budiyano, Tri, 2011,Hukum Perusahaan Telaah Yuridis terhadap
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Salatiga, Griya
Media
Chatamarrasjid, 2006, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha
Bertujuan Laba, Bandung:, Citra Aditya Bakti
Fuady,Munir, 2005, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan
Kontemporer, Bandung: Citra Adtya
Bakti.
-----------, 1994, Hukum Bisnis, Dalam Teori dan Praktek (buku
kesatu), Bandung;
Citra Aditya Bakti
----------, 2010, Doktrin-Doktrin
Moderen dalam Corporate law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Bandung,
Citra Aditya Bakti,
Hernoko, Agus Yudha 2008, Hukum
Perjanjian, Azas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta: LaksBang Mediatama.
Gautama, Sudargo, 1995, Komentar Atas Undang-Undang Perseroan
Terbatas (Baru) Tahun 1995 No. 1 Perbandingan dengan Peraturan Lama, Bandung;
Citra Aditya Bakti
Gunadi, Ariawan, Pasca Pembatalan UU BHP dan Akibat Hukum
yang ditimbulkannya, Opini, Jakarta:
Harian Ekonomi Neraca.
Kansil, C.S.T, 1995, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum
dalam Ekonomi), Jakarta; Pradnya Parmita.
Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil, 2009, Seluk Beluk Perseroan Terbatas, Menurut
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, Jakarta: Rineka Cipta.
Kohar, A 1984, Notaris Berkomunikasi, Bandung:
Alumni.
-----------, 1983, Notaris,
DalamPeraktek Hukum, Bandung: Alumni
Machsun, Miftachul,2009 Penyelenggara Pendidikan Formal Berikut
Problem Yang Dihadapi Serta Solusinya, Disampakan Dalam Acara Pembekalan
Dan Penyegaran Dalam Rangka Rapat Pleno
Yang Diperluas Pengurus Ikatan Noatris Indonesia, Denpasar: 30 Desember
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana
Prenada Media.
-------------, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana
Prenata Media.
Mertokusumo, Sudikno, 2007 Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty.
------------, 2007, Mengenal
Hukum,, Yogyakarta: Liberty,
-----------, 2012, Teori Hukum, Yogyakarta, cahaya Atma
Pustaka
Muladi, Dwidja Priyatno, 2012, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.
Nasution, Bahdar Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung:
Mandar Maju.
Notodisoerjo, Soegondo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Panggabean H.P, 2012, Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset
Yayasan Termasuk Aset Keagamaan Dan Upya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif
Penyelesaian sengketa,Jakarta,
Permata.
Panggabean, Henry Pandapotan, 2008, Peranan Mahkamah Agung Melalui
Putusan-Putusan Hukum Perikatan, Bandung: Alumni
Prasetya, Rudi, 2012, Yayasan dalam Teori Dan Praktek, Jakata,
Sinar Grafika.
Pramono, Nindyo, 2013, Hukum PT. Go Publik Dan Pasar Modal, Yogyakarta,
Andi.
Purwasutjipto, 1992, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,
Bentuk Perusahaan, Jakarta: Djembatan.
Rasjidi, Lili, 1993, Filsafat Hukum, Apakah Hukum itu ?, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania
Rasjidi, 2007, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, , Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Rido, R. Ali Dkk, 1986, Hukum Dagang, tentang Aspek-aspek Hukum
dalam Asuransi Udara, Asuransi Jiwa dan Perkembangan Perseroan Terbatas, Bandung:
Remadja Karya.
-----------, 1988, Hukum Dagang, tentang Surat Berharga,
Perseroan Firma, Perseroan Komanditer, Keseimbangan Kekuasaan dalam PT dan
Penswastaan BUMN, Bandung: Remadja Karya.
-----------, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum
Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung; Almuni.
Raharjo, Satjipto, 2006, Ilmu
Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Suharto, 2009, Membedah Konflik Yayasan, Menuju Konstruksi Bermartabat, Yogyakarta,
Cakrawala Media.
Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung;
Refika Aditama
Sukardono, R, 1991, Hukum Dagang Indonesia,
Jakarta:
Rajawali Pers.
Sidharta, Arif, 1982, Hukum Dan Logika, Bandung; Alumni.
Sembiring, Sentosa, 2006, Hukum Perusahaan,, Bandung: Nuansa
Aulia.
Salim, dan Budi Sutrisno, 2008, Hukum Investasi, Jakarta, Raja Grafindo
Persada.
Suharnoko, 2004, Hukum
Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta:
Prenada Media,
Sjahdeini, Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang
Seimbang, Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Lredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.
Syahrani, Riduan, 2009, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum,,
Bandung:
Alumni.
Sianturi, Purnama Tioria, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang
Jaminan Tidak Bergerak, Bandung:
Mandar Maju.
Simamora, Yohanes Sogar, 2012, Hukum Kontrak, Kontrak Pengadaan Barang dan
Jasa Pemerintah di Indonesia, Surabaya, Leksbang Justitia Surabaya.
--------Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas dalam Kontrak Pemerintah di
Indonesia (pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar, 2008, Fakultas Hukum,
Universitas Airlangga.
---------Karakteristik,
Pengelolaan dan Pemeriksaan Badan Hukum Yayasan di Indonesia (Jurnal Rechts Vinding, Media Pembinaan Hukum Nasional,
Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012.
Sutiyoso, Bambang, 2007, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujutkan
Hukum yang Pasti dan Berkadilan, Yogyakarta: UII Press
Untung, Budi, 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris., Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Usman, Rachmadi, 2003, Perkembangan Hukum Perdata Dalam Dimensi
Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia, 2003, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Tanya, Bernard L., Yoan N.
Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2007, Teori
Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: CV.
Kita.
Peraturan
Perundang-Undangan
UUD 1945.
KUH Perdata.
KUH Dagang.
Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi.
Undang-Undang RI Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Undang-Undang RI
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 2009
tentang Badan Hukum Pendidikan (telah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, pada tanggal 31 Maret 2010)
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun
1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan hukum
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
2000 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun
2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63
Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan.
Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2009 tentang Mekanisme Pendirian
Badan Hukum Pendidikan Yang Menyelenggarakan Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah
Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah Sebagai Badan
Hukum Pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Mekanisme Pendirian
Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara Atau Perguruan
Tinggi, Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Sebagai Badan Hukum Pendidikan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009. tertanggal 31 Maret 2010
[1] Artidjo Alkostar, M.
Sholeh Amin (editor), Pembangunan Hukum
Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1986, h.
IX
[2] Bagir Manan, Tantangan Pembangunan Hukum Di Indonesia (artikel)
Majalah Varia Peradilan, No. 344 Juli 2014, Jakarta .h. 5
[6]
Rochmat Soemitro, Penuntun
Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang, Pajak Perseroan, Eresco, Jakarta, 1983., hlm. 1
[7] Ibid., hlm. 5
[8] Anwar Borahima, Kedududukan
Yayasan Di Indonesia, Eksistensi, Tujuan, dan Tanggung Jawab Yayasan,Kencana,
2010, hal. 2
[9] Ibid., hlm. 3
[10] Habib Adjie, Muhammad
Hafidh, Kompilasi Peraturan
Perundang-undangan Yayasan, Pustaka Zaman, 2013., h. 12
[11] Bruce r. Hopkins, Jody
Blazek, The Legal Answer Book For Private
foundation, Simultaneously in Canada, 2002, h. 1
[12] Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Keperdataan di
Bindang Kenotariatan, Citra aditya Bakti, 2007, h. 61.
[13] Y. Sogar Simamora, Karakteristik, Pengelolaan Dan Pemeriksaan
Badan Hukum Yayasan di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Media Pembina Hukum
Nasional, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012, h. 177
[14] Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan
(Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang,
[15] Ridwan Khairani dan Camelia Malik, Good Corporate Governance, Perkembangan Pemikiran dan Impementasi di
Indonesia dalam Perspektif Hukum. Total Media, Jakarta, 2007., hal. 2
[16]. Habib Adjie., op.cit., h. 6
[18] Ali
Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan
Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, wakaf, Alumni, Bandung,1986 hlm 112
[21] Ibid.,
[22] Ibid, hlm 99
[23]Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, Telaah Yuridis
Terhadap Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Salatiga, Graha Media 2011,hlm 128
[24] Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance,
Konsep dan Penerapan dalam Konteks Indonesia, Jakarta, PT. Ray Indonesia, 2006 hlm 8
[25] Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Moderen dalam
Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2010, Citra Aditya Bakti 2010., hal.9
[26] Tri Budiyanto, op.cit, hal 21
[27] Muladi, Dwidja
Priyatno, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana Prenada
Media Group,2012, hlm. 3
[28] Yohanes Sogar Simamora, Prinsip
Transparansi dan Akuntabilitas dalam Kontrak Pemerintah di Indonesia (Pada
saat pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Unair)., hlm 6
[29]Y. Sogar Simamora, op. cit., h. 184
[31] Bernard Arif Sidarta, Penelitian
Hukum Normatif Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal (tulisan)
buku Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor, Jakarta.,
h. 142-143
Komentar
Posting Komentar