PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK DALAM MENGHINDARI PERGESERAN TUJUAN IDIIL YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM



PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK DALAM MENGHINDARI PERGESERAN TUJUAN IDIIL YAYASAN
SEBAGAI BADAN HUKUM
(Bambang Syamsuzar Oyong, SH.MH)

1.           LATAR BELAKANG MASALAH
Pertanyaan yang sangat mendasar mengenai kontribusi perangkat perundang-undangan dalam perekayasaan mencapai masyarakat adil dan makmur, menjadi sangat relevan untuk dikemukakan manakala melihat hukum dan perundang-undangan sebagai “etalase” dan tidak juga sebagai norma yang berada diruang kosong; tapi melihat hukum itu sebagai sesuatu yang selalu ada dan berinteraksi ditengah dinamika kehidupan masyarakat. Tunggakan sejarah yang belum lunas dibayar oleh bangsa kita hingga saat ini, adalah penggantian undang-undang yang beretos kolonial feodalistis dengan perundang-undangan yang beretos egaliter demokratis sesuai dengan status bangsa yang merdeka dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.[1] Untuk itu, berbicara mengenai peranan hukum dalam pembangunan ekonomi dan modernisasi masih saja terus diperdebatkan, khususnya peranan hukum di dalam kehidupan masyarakat.
Lembaga Hukum adalah salah satu di antara lembaga atau pranata-pranata sosial, seperti halnya keluarga, agama, ekonomi dan lainnya. Maka tantangan terbesar dalam menciptakan pembagunan hukum yang ideal yang bercirikan ke Indonesia tidak lain memberi makna dengan melakukan pembaharuan hukum terhadap hukum yang telah ada. Maka Pembangunan hukum dapat pula bermakna sebagai pencipta hukum-hukum baru, menuju hukum peralihan (transitory period and law) .[2]
Secara prinsipiil, masa dan hukum peralihan memuat beberapa masalah. Pertama; dalam kenyataan, Indonesia yang merdeka masih berada dalam pengaruh sistem hukum kolonial yang tidak selalu berpihak kepada kepentingan rakyat atau bangsa Indonesia.  Kedua; untuk memenuhi kebutuhan hukum baru, acap kali didasarkan pada beleid atau diskresi yang berorientasi pada prinsip manfaaat (doelmatigheid) sesaat dan parsial yang menimbulkan gangguan terhadap susunan integral sistem hukum. Selain itu, beleid sangat dipengaruhi oleh berbagai kecenderungan politik atau unsur-unsur dominan dengan berbagai kepentingan subjektif. Dalam susunan seperti itu, pembaharuan hukum tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat tetapi kebutuhan politik atau sesuatu kepentingan subjektif tertentu, seperti kepentingan kaum kapital. Ketiga; hukum belum dapat menjadi sarana yang supreme bahkan bila perlu dikesampingkan, atas nama masa kedaruratan dan hukum peralihan.[3]
Untuk menuju pembangunan hukum yang ideal sebagai mana yang diharapkan dibutuhkan penyedian perangkat hukum yang memenuhi segala kebutuhan hukum yang memberi kepastian bagi segala aspek kehidupan masyarakat atau individu, berupa politik, ekonomi, sosial dan budaya yang memiliki keselarasan dalam proses pembangunan hukum, dengan tantangan berupa [4]:
1.           Politik dan tujuan hukum;
2.           Pembentukan hukum;
3.           Penegakan hukum; dan
4.           Pelayanan hukum.
Proses menuju hukum peralihan (transitory period and law) tersebut terasa sekali dalam pengaturan hukum dibidang badan hukum khususnya mengenai Yayasan. Badan hukum yang dikenal dengan nama recht persoon, legal persons atau persona moralis adalah subjek hukum. Pertanyaan yang sangat mendasar untuk mengetahui secara menyeluruh mengenai badan hukum dimulai dengan suatu pertanyaan  yaitu apa dan siapa badan hukum itu ? Maka untuk menemukan jawaban tersebut dimulai dengan menemukan teori badan hukum dan persoalan hukum positif mengenai perihal pengaturan hukum yang berlaku pada suatu negara tertentu.
Untuk menemukan jawaban, pengertian mengenai badan hukum selalu dimulai dari pemahaman dan pendapat para sarjana hukum. Pendapat Maijers yang membatasi bahwa badan hukum itu sesuatu yang menjadi pendukung hak dan kewajiban. Sedangkan Logemann memberikan pemahaman yang menyebutkan bahwa badan hukum adalah suatu personifikatie (personifikasi) sebagai bestendigheid (perwujudan atau penjelmaan) hak dan kewajiban. R. Rochmad Soemitro, mengemukakan  bahwa badan hukum (rechtspersoon) suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi. Menurut J.J Dormeier mengenai istilah badan hukum diartikan sebagai Persekutuan orang-orang  yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku seorang saja. Hal ini terlihat pada Yayasan.[5]
Pendapat para serjana tersebut mengenai definisi badan hukum dapat diklasifikasi pada beberapa kriteria sebagai pembatas berupa :
1.          Perkumpulan orang (organisasi) ;
2.          Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking);
3.          Mempunyai harta kekayaan tersendiri.
4.          Mempunyai Pengurus.
5.          Dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan. 
Sehubungan dengan pertanyaan selanjutnya siapa badan hukum ? Maka jawabannya bertitik tolak dari jawaban siapa subjek hukum menurut hukum positif yang berlaku pada suatu negara tertentu. Contohnya adalah Yayasan sebagai badan hukum diatur yang mendekati sama dengan dengan pemahaman Yayasan sebagai badan hukum menurut ketentuan Pasal 365 BW.
Kehadiran Yayasan sebagai badan hukum dalam prakteknya memang sudah cukup lama dikenal. Namun politik hukum Indonesia yang mengatur Yayasan secara khusus melalui kondifikasi hukum, baru terlaksana pada saat Pemerintah bersama perlemen dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat membahas secara lengkap keberadaan  Yayasan sebagai lembaga, yang memang harus di atur secara jelas baik keberadaan dan kedudukannya.  Maka pada tanggal 6 Agustus 2001 diundangkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan,  Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132, untuk selanjutnya disebut UU Yayasan.  Diundangkannya UU Yayasan pada tanggal 6 Agustus 2016 tidak berarti UU Yayasan tersebut berlaku pada saat itu juga. Menurut ketentuan Pasal 73, Undang-undang ini mulai diberlakukan terhitung satu tahun sejak tanggal diundangkan, gunanya agar UU ini dapat diterapkan secara efektif dalam rangka sosialisasi kepada para pendiri Yayasan untuk melakukan proses perubahan dan penyesuaian.     
Yayasan sebagai badan hukum dibentuk dan pendiriannya untuk menempatkan suatu keinginan masyarakat diluar sesuatu untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, dengan menempatkan prinsip-prinsip idiil, yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat banyak, diluar konsep komersial yang selama ini berjalan.
Keinginan tersebut memberikan suatu hasil besar kepada masyarakat untuk menempatkan nilai-nilai kebersamaan pada diri manusia, dengan batasan sebagai makluk sosial, dan kemasyarakatan menjadi suatu norma dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, lembaga Yayasan menjelma dalam bentuk pemikiran sebagaimana dimungkinkan penerapan keseimbangan dalam proses interaksi yang berkesinambungan yang memberikan pemahaman, pemikiran, bahwa disamping bertujuan berkelompok dalam suatu entitas mencari keuntungan, manusia sebagai makluk tidak lepas pada nilai-nilai sosial, kemanusian dan kemasyarakatan.  Itulah  menjadi landasan gerak dari Yayasan sebagai badan atau lembaga.
Penempatan Yayasan  sebagai lembaga, tidak terlepas dari eksitensi dalam menempatkan nilai-nilai idiil sebagai pijakan utama, yang membedakan dengan lembaga lain. Dimana lembaga lain diluar Yayasan, selalu berorientasi mencari keuntungan. Dimana keuntungan adalah bagian pencapaian prestasi utama. Sedangkan keuntungan bagi Yayasan bukanlah yang  utama, melainkan bagaimana keuntungan yang didapat selalu berpijak pada kepentingan nilai-nilai yang lebih besar,  baik pada nilai-nilai kemanusiaan, sosial dan kemasyarakatan. Itulah yang membedakannya.
Perkembangan Yayasan yang ada saat ini, memang tidak terlepas dari sejarah keberadaan Yayasan. Yayasan  merupakan bagian dari kebijakan politik hukum yang  dikarenakan akibat  ketidak puas memandang lembaga lain. Di mana Yayasan sebagai lembaga yang selalu ditentukan dari kebiasan-kebiasaan yang berkembang ditengah masyarakat. Saat itu hanya  diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau yang lebih dikenal dengan sebutan Burgerlijk Wetboek (BW). Hal ini terlihat dari ketentuan   Pasal 365, 899, 900, dan 1680 BW.
Pasal 365 BW, berbunyi :
Dalam segala hal bila mana Hakim harus mengangkat seorang wali, maka perwakilan itu boleh diperintahkan pada suatu perhimpunan berbadan hokum yang bertempat kedudukan di Indonesia, kepada suatu Yayasan atau lembaga amala yang bertenpat kedududkan disini pula, yang mana menurut anggaran dasarnya, akta-akta pendiriannya tau reglemen-reglemennya berusaha memelihara anak-anak belum dewasa untuk waktu yang lama.

Pasal 899 BW, berbunyi :

Dengan mengindahkan akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang ini untuk dapat menikmati sesuatu dari suatu surat wasiat, seseorang harus  telah ada, tatkala si yang mewariskan meninggal dunia.
Ketentuan ini berlaku bagi mereka yang menerima hak untuk menikmati sestau dari lembaga-lembaga

Pasal 900 BW, berbunyi :

Tiap-tiap pemberian hibah dengan surat wasiat untuk keuntungan badan-badan amal, lembaga-lembaga keagamaan, gereja-gereja atau rumah-rumah sakit, tak akan mempunyai akibatnya, melainkan sekedar pengurus badan-badan tersebut, oleh Presiden atau oleh suatu penguasa yang ditunjuk oleh Presiden, telah diberi kekuasaan untuk menerimanya.

Pasal 1680 BW, berbunyi :

Pengihahan-penghibahan kepada lembaga-lembaga umum atau lembaga keagamaan, tidak mempunyai akibat selain sekedar oleh Presiden atau penguasa-penguasa yang ditunjuk olehnya telah diberikan kekuasaan kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut, untuk menerima pemberian-pemberian itu.

Ketentuan-ketentuan tersebut walaupun tidak menerangkan keberadaan Yayasan sebagai lembaga, lebih menekankan pada sebuah lembaga yang tidak memakai nama. Yang mana pengertian lembaga sebagaimana yang dimaksud bukanlah Yayasan. Melainkan lembaga yang mendekati atau yang diperumpamaan seperti “Yayasan”, yang disamakan  dengan  wakaf, dan lembaga sosial lainnya.
 Lembaga-lembaga tersebut tetap eksis, dan berkembang dengan pesat dengan tidak mengidentikkan sebagai lembaga profit. Lembaga-lembaga yang tidak ada nama sebagaimana yang tercantum pada BW, menjadi akar perumpamaan sebagai Yayasan yang memiliki perbedaan dengan lembaga profit yang memang sudah dikenal sebelumnya, baik Perseroan Terbatas bernama naamloze vennootschap[6]. Juga adanya bernama Indonesische Maatshappij op Aandelen, disingkat  I.M.A ialah suatu lembaga yang diminta oleh pemerintah pada saat itu  diperuntukkan bagi orang-orang Bumiputera untuk mendirikan badan-badan hukum yang berlaku bagi hukum adat setempat sebagai tempat kedudukan. Hal ini terlihat dari ketentuan Staatsblad 39 No. 571 jo.717,  tentang penyelesaian badan-badan hukum Indonesia di muka Pengadilan. Hal lain dikenal adanya Perseroan Firma yaitu lembaga atau badan yang didirikan oleh lebih satu orang dalam suatu perjanjian dengan memasukkan sesuatu (barang atau uang) dengan maksud untuk melakukan perusahaan di bawah satu nama, dan membagi keuntungan yang didapatnya. Disamping itu ada lembaga dengan nama Perseroan Komanditer. Juga diartika sebagai lembaga kombinasi antara firma dengan naamloze vennootschap.[7]
  Akibat dari ketidak jelasan pengaturan sebuah lembaga pada saat itu, yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat yang berkonsepkan bukan untuk mencari keutungan dan menjadi  bagian cita-cita masyarakat yang hidup untuk kepentingan bersama pada tingkat kebersamaan, yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, dengan tidak memakai nama. Walaupun penggunaan istilah Yayasan sebenarnya juga bagian warisan pemerintahan Hindia Belanda dengan memakai sebutan (stichtingen) pada saat itu sudah menyatakan bahwa Yayasan sebagai badan hukum. Ini terlihat pada ketentuan Wet op Stichtingen van,  tertanggal 31 Mei 1956, mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1957. Ketentuan stichtingen ini juga telah di atur dalam ketentuan Het Nieuw Burgelijke wet Boek (NBW Nederland)[8].
Jika kita lihat perbandingannya bahwa sesuatu yang berbadan hukum yang lain dari ketentuan untuk mencari keuntungan, dalam sebuah kelembagaan yang menyerupai seperti Yayasan memang telah di atur secara kondifikasi sebagaimana terlihat di Inggris, yang telah mengenal Yayasan sejak tahun 1601 dalam ketentuan pengaturan Charitable Uses Acts of 1601. Sedangkan di Amerika Serikat  kelembagaan dari sebuah organisasi nirlaba diatur pada ketentuan Nonprofit Corporation Act. Dalam Revised nodel Nonprofit Corporation Act 1987, sebagai pengganti dari The old Model Act (Old Act) 1964.[9]
Ketentuan yang menjadi pertimbangan dari beberapa negara terhadap organisai nilaba, juga menjadi seuatu yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Walaupun pengaturannya tidak secara jelas disebutkan dalam ketentuan UU Hukum Perdata yang berlaku.
Perkembangan Yayasan yang begitu pesat pada saat itu, dibutuhkan payung aturan untuk menempatan sebuah fungsi pengaturan menjadi jelas terhadap organisasi nirlaba. Maka diundangkanlah  Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,  pada tanggal 6 Agustus 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001, Nomor 112 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132, yang diberlakukan satu tahun kemudian pada saat UU ini disahkan, untuk selanjutnya disebut UU Yayasan. Untuk itu, pemahaman mengenai Yayasan dimulai dari pengertian Yayasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 UU Yayasan.
Pasal 1 angka 1 UU Yayasan menyebutkan bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Dari definisi Yayasan tersebut terdapat empat karakteristik yang membedakan Yayasan dengan badan hukum lainnya berupa :[10]
a.    Yayasan sebagai badan hukum.
b.   Mempunyai harta kekayaan tersendiri yang berasal dari pendiri untuk mencapai tujuan Yayasan.
c.    Tujuan Yayasan dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
d.   Tidak mempunyai anggota.
Penegasan mengenai definisi Yayasan, yang dipersamakan dengan Foundation bisa disimak menurut pendapat Bruce R. Hopkins, Jody Blazek[11] dalam sebuah pertanyaan yang sangat sederhana What is Private Foundation  ?
Foundation is there is no affirmative definition of the term private foundation. The statutory definition basically the a private foundation is a charitable organization this is not a public cahrity. Genercally,  a private foundation has four charcteristics :

a.   It is a charitable organization;
b.   It is initially foundation a from one source (usually an individual, a married cauple, a family, on a business);
c.    Its on going income derives from investment (in the nature of an endowment fund);
d.   It make grants to other charitable organization rather than operate its own program.

Pendapat Bruce R. Hopkins, Jody Blazek sebagaimana tersebut memiliki persamaan menurut Herline Budiono dengan Yayasan sebagai badan hukum di mana telah dipisahkan suatu harta kekayaan pribadi seseorang yang dipergunakan untuk sesuatu tujuan idiil dan pengurusnya diserahkan kepada suatu badan pengurus untuk dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab. Pada awalnya apabila seseorang berkeinginan untuk memisahkan harta kekayaan untuk tujuan idiil tersebut, jalan yang ditempuh adalah seseorang harus melakukan penghibahan dengan memakai beban (schenken onder een last).[12]
Hal yang sangat utama dalam pendirian Yayasan sebagai badan hukum yaitu dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal dengan tujuan mencapai prinsip idiil Yayasan  dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
 Perbuatan hukum memisahkan sebagian harta kekayaan tersebut menurut Prof. Sogar[13] mengadung makna adanya kesukarelaan dari para pendiri untuk melepaskan suatu kekayaan tersebut. Dengan memisahkan sebagian harta kekayaan, maka para pendiri maupun ahli warisnya tidak lagi berhak atas harta kekayaan yang dipisahkan, sebagaimana yang disyaratkan untuk menjadikan Yayasan sebagai badan hukum. Dengan demikian tidak ada orang atau badan  yang mengklaim dan berstatus pemilik atas suatu Yayasan yang didirikan. Hal inilah yang menjadi pijakan dalam penelitian ini.
Konflik ditubuh Yayasan selalu dimulai dari ketidak tahuan para pendiri maupun orang-orang pada organ Yayasan tentang pijakan moral dalam pendirian Yayasan. Karena dari segi karakteristik hal ini berbeda pada pendirian badan hukum profit lainnya. Memandang ketentuan-ketentuan yang tercantum pada UU Yayasan memberi fungsi, hak, dan kewajiban masing-masing pihak dengan menempatkan badan hukum Yayasan bergerak pada langkah-langkah idiil sebagaimana pada maksud dasar dan tujuan didirikan Yayasan yang bergerak dalam bidang sosial, keagamaan, dan kemanusian. Namun pada sisi yang lain Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya akan disesuikan dengan maksud dan tujuan. Perkataan Yayasan dapat mendirikan badan usaha dengan penyertaan modal 25 % dari seluruh nilai kekayaan Yayasan, akan menjadi permasalahan norma yang tidak tepat jika ditinjau pendirian Yayasan lebih menekankan pada prinsip-prinsip idiil. Walaupun penekanannya adalah pendirian badan usaha oleh Yayasan yang akan memberikan keuntungan pada Yayasan bukanlah sesuatu yang utama. Dimana keuntungan hanya diperuntukan bagi pengembangan dan terlaksananya prinsip idiil tersebut. Namun hal ini menunjukan ketidak konsitennya (in-konsistensi) jika di ditinjau dari prinsip dasar pendirian Yayasan.
Konsistensi sebuah peraturan menjadi hal yang sangat mendasar  dari penerapan peraturan tersebut sebagai media tegaknya sebuah aturan yang dijalankan. Hal ini bisa menjadi pijakan sebagaimana yang diungkapkan M. Isnaeni,  dikutip dari buku Herowati Poesoko, [14] yang menyebutkan bahwa aturan perundang-undangan yang tidak dialiri arus konsistensi, berarti citranya sendiri sudah tidak pernah pasti, maka sulit sekali untuk mengharapkan lahirnya kepastian hukum sebagai salah satu sendi utama dari aturan perundang-undangan tersebut.
Ketidak konsistenya UU Yayasan juga dapat terlihat dari penerapan Pasal 71 UU Yayasan yang menyangkut kewajiban bagi pendiri Yayasan yang telah ada sebelum diundangkan Yayasan untuk melakukan penyesuaian ke dalam UU Yayasan baik menyangkut Yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, atau Yayasan yang telah mempunyai ijin, maka Yayasan tersebut tetap diakui sebagai badan hukum. Dengan ketentuan syaratnya harus segera disesuiakan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya UU Yayasan ini, yang kemudian dirubah dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun pada saat diundangkannya UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115. Dari lewatnya jangka tersebut maka terhadap Yayasan yang belum menyesuaikan Anggaran Dasar Yayasan ke dalam UU Nomor 16 Tahun 2001 jo UU Nomor 28 tahun 2004, maka tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” didepan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat 4 UU Yayasan, dan Yayasan tersebut harus melikuidasi kekayaaan serta menyerahkan sisa hasil likuidasi kekayaan Yayasan tersebut kepada negara, sebagaimana dimaksud Pasal 39 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan. Ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 39 PP Nomor 63 Tahun 2008 tersebut dirubah melalui  Pasal 37 A,  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan, yang menyebutkan asal saja Yayasan tersebut paling sedikit dalam jangka waktu 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuian Anggaran Dasar (AD) masih melakukan kegiatan sesuai Anggara Dasar, dan disamping Yayasan itu belum pernah dibubarkan. Jika melihat ketentuan tersebut di atas terdapat ketidak konsistenya dalam penerapan UU Yayasan dalam proses penegakan hukum Yayasan.
Diberlakukannya  UU Yayasan tidak lain memberikan jaminan adanya kepastian dan ketertiban hukum agar Yayasan dapat berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan berdasarkan prinsip-prinsip pengaturan tata kelola yang baik yang termuat dalam konsep Good Corporate Governance, bagi suatu badan atau lembaga baik yang akan bersifat memberi nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder.[15] 
Prinsip-prinsip tata kelola yang baik sebagaimana yang dimaksud dalam konsep Good Corporate Governance dapat diterapkan kepada Yayasan sebagai lembaga yang berbadan hukum. Penempatan prinsip-prinsip tersebut gunanya untuk menghindari penyimpangan tujuan idiil Yayasan selama ini dan juga mengindari konflik di internal organ Yayasan. Karena pendirian Yayasan oleh pendiri selalu dilandasi pada nilai-nilai sosial yang hidup dimasyarakat dengan menempatkan kebersamaan bagi pendirian Yayasan, disaat ketidak konsistennya aturan yang termuat pada UU Yayasan.
Penempatan prinsip tata kelola yang baik pada Yayasan yang harus perlu diperhatikan  demi terselenggaranya praktek Good Corporate Governance berupa keadilan (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), dan resposibilitas (responsibility). Dimana prinsip-prinsip tersebut bersifat mengikat dan memberikan pedoman kepada para stakeholders Yayasan untuk kedepannya demi menghindari timbulnya konflik ditubuh Yayasan.
 Namun segala yang menjadi utama  pendirian Yayasan dengan menempatkan prinsip tata kelola yang baik, bukan tidak mungkin adanya penyimpangan-penyimpangan pada fungsi keberadaan dan pendirian Yayasan.  Penyimpangan tersebut terlihat pada motivasi pendirian Yayasan, dengan melepaskan fungsi filosofi pendirian Yayasan sebagai badan hukum nirlaba, yang berbeda fungsi dan keberadaannya dengan badan-badan hukum lainnya.
Jika dikatakan pendirian Yayasan yang menempatkan bidang sosial, kemanusiaan dan keagamaan dalam tujuan yang bersifat idiil, tidak mencari keuntungan atau sebagai lembaga non komersil, bukan tidak mungkin pendirian Yayasan yang ada merupakan motivasi atau keinginan bagi pendiri untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Penekanan keuntungan dan atau keinginan komersial akan mengarahkan Yayasan tersebut pada badan-badan lainnya yang menyerupai pada badan-badan usaha yang ada, yang    pertentangan pada aturan-aturan hukum yang berlaku.
Untuk menghindari penyimpangan dari tujuan idiil Yayasan tersebut, disamping menghindari konflik ditubuh Yayasan, baik kepada pihak ketiga, perorangan, badan, dan organ Yayasan. Karena itu penempatan kepentingan dalam penerapan prinsip tata kelola yang baik sebagaimana yang tercantum dalam Good Corporate Governance, dapat menjadi pilihan penyelesaian permasalahan yang selalu timbul ditubuh Yayasan.
Konflik di tubuh Yayasan selalu dilatar belakangi oleh permasalahan-permasalahan dibidang kepentingan dari organ  Yayasan, baik itu pendiri, Pembina, pengurus dan pengawas. Disamping adanya konflik menyangkut kepentingan atas harta kekayaan Yayasan.  Maka penerapan dan pelaksanaan prinsip Good Corporate Governance menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan segala permasalahan yang timbul di Yayasan, gunanya untuk memastikan bahwa organ Yayasan menjalankan tugasnya dengan semata-mata untuk mencapai tujuan Yayasan, dan bukan pada tujuan lainnya. Selain itu penerapan prinsip tersebut bisa memberikan kepastian bahwa organ Yayasan tidak melakukan pelanggaran hukum atau lalai dalam menjalankan jabatannya. Disamping pengaturan Yayasan sebagai mana telah disebutkan terdapat adanya ketidak singronnya pelaksanaannya, baik yang diatur dalam UU maupun pada aturan pelaksanaan dari Yayasan.

2.           RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik legal issues  sebagai permasalahan pada penelitian ini adalah :
1.   Implementasi prinsip tata kelola yang baik sebagai    keseimbangan dalam menghindari konflik ditubuh Yayasan.
2.   Penanganan konflik ditubuh Yayasan akibat adanya penyimpangan tujuan  Yayasan.

3.              TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan pada pokok permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:
1.   Menggali dan menganalisis  prinsip tata kelola yang baik pada Yayasan sebagai badan hukum.
2.   Menggali dan menganalisis timbulnya konflik dan mencari penanganan dari akibat adanya pembiaran penyimpangan tujuan idiil Yayasan.

4.               MANFAAT PENELITIAN
Secara teoritik, penelitian disertasi ini akan memberikan manfaat sebesar-besarnya berupa :
a.    Memberikan kontribusi keilmuan kepada perkembangan Ilmu Hukum tentang Yayasan sebagai badan hukum dan segala aspek hukum yang terjadi dalam hal menggali dan menganalisis terhadap prinsip tata kelola dengan menerapkan nilai-nilai keadilan (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), dan resposibilitas (responsibility yang memang sangat dibutuhkan pada Yayasan sebagai lembaga nonprofit.
b.   Memberikan pemahaman begitu penting keberadaan Yayasan sebagai badan hukum penyandang hak dak kewajiban terhadap segala aspek hukum baik untuk kepentingan pendiri, Pengurus, Pengawas dan kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan Yayasan. Untuk menghidari konflik ditubuh Yayasan yang selalu terjadi dikarenakan mulai hilangnya pemahaman tujuan adiil Yayasan selama ini.
Sedangkan untuk kepentingan praktis, penelitian ini, akan memberikan manfaat :
a.    Terhadap sumbangan pemikiran dalam pengkaryaan keilmuan dibidang Yayasan, baik dari segi aturan dan penerapan aturannya.
b.   Sebagai masukan dalam pembaharuan UU Yayasan maupun peraturan pelaksanaannya.

5.    ORINSINALITAS PENELITIAN
Penulisan disertasi ini harus memiliki nilai orisinalitas jika ditinjau dari beberapa karya tulis para sarjana yang membahas dalam kajian Yayasan sebagai badan hukum dengan beberapa tinjauan yang berbeda sebagai acuan. Hal ini terlihat dari beberapa tulisan para sarjana dengan aspek permasalah yaitu :
-      Prof. Dr. Anwar Borahima, SH., M. Hum dengan judul : Kedudukan Yayasan di Indonesia, Eksistensi, Tujuan dan Tanggung Jawab Yayasan. Tulisan ini dengan mengangkat masalah mengenai eksistensi Yayasan yang telah ada sebelum diberlakukannya UU Yayasan, dan mengenai tanggung jawab Yayasan dan organ Yayasan apabila timbul tuntutan hukum sehubungan dengan Operasional Yayasan.
-      Dr. H. P Panggabean, SH., MS, dengan judul : Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan Termasuk Aset Keagamaan Dan Upaya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa. Tulisan ini mengangkat masalah mengenai memaparkan praktik peradilan dalam penanganan kasus yang berkaitan dengan aspek materiil dan atau aspek formiil pendirian suatu Yayasan yang berjalan sebelum adanya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
-      Dr. Suharto, SH., MM, dengan judul : Membedah Konfli Yayasan Menuju Kontruksi Hukum Bermartabat. Tulisan ini mengangkat masalah mengenai persoalan kepastian dan ketertiban hukum Yayasan dan mengenai konflik kepentingan atas harta kekayaan Yayasan.
 Dari beberapa tulisan para sarjana tersebut yang tertuang dari hasil karya disertasi yang telah dipublikasikan. Jika dibanding penelitian  penulis pada disertasi yang ada saat ini yaitu ada perbedaan dari sudut pandang permasalahan dalam penyelesaian konflik ditubuh Yayasan yaitu dengan menerapkan prinsip tata kelola yang baik sebagai keseimbangan dalam menghindari konflik ditubuh Yayasan dan Penanganan konflik ditubuh Yayasan akibat adanya penyimpangan tujuan  Yayasan dengan menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance sebaga azas keseimbangan pada nilai-nilai nilai-nilai kesataraan dan keadilan (fairness), keterbukaan (transparency), pemberian pertanggung jawaban (accountability) dan tanggung jawab (responsibility).



6.           KERANGKA TEORI
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan pada tanggal 6 Agustus 2001, melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001, Nomor 112 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132. Menjadi pijakan besar mengenai perkembangan hukum di bidang Yayasan. Dimana UU Yayasan  memposisikan sebagai aturan yang mengatur secara khusus ketentuan badan hukum Yayasan. Hal ini terlihat dalam konsiderans menimbang pada uruf c menyebutkan bahwa dengan adanya UU Yayasan memberi jaminan kepastian dan ketertiban hukum agar Yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan dan akutabilitas kepada masyarakat.
Keberadaan UU Yayasan dalam gerak dan pelaksanaannya  tidak selalu berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dimana ada beberapa pasal pada UU Yayasan yang memiliki penafsiran yang keliru dari beberapa pihak tentang UU ini. Ini tergambarkan pada pejelasan UU Yayasan yang menyebutkan :[16]
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang diundangkan pada tanggal 16 Agustus 2001, sejak diberlaku pada tanggal 16 Agustus 2002 dalam perkembangannya ternyata belum menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat.

Disamping itu, terdapat beberapa substansi Undang-undang Yayasan dalam masyarakat masih terdapat berbagai penafsiran sehingga dapat menimbulkan ketidakpatian dan ketertiban hukum.

Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta memberikan pemahaman yang benar pada masyarakat mengenai Yayasan, sehingga dapat mengembalikan fungsi Yayasan sebagai peranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu dibindang sosial, keagamaanm dan kemanusiaan.

 Namun perkembangannya UU ini belum menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum pada masyarakat terhadap fungsi keberadaan Yayasan, serta terdapat beberapa susbtansi yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran. Maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,  pada tanggal 6 Oktober 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115, yang diberlakukan secara efektif satu tahun sejak tanggal diundangkan.
Yayasan sebagai salah satu badan hukum  memiliki aturan dalam perundang-undangan yang mengatur baik menyangkut proses pendirian, pengesahan, semuanya diatur pada UU Yayasan. Yayasan sebagaimana dimaksud pada UU tersebut adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan  untuk mencapai maksud tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota, sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 ayat 1. Dari definisi  Yayasan tersebut,  jelas menyebutkan bahwa Yayasan sebagai badan hukum memiliki tujuan tertentu yang berbeda dengan badan hukum lainnya.
Penekanan maksud dan tujuan Yayasan memiliki tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusian, menempatkan  Yayasan sebagai badan hukum yang bersifat nonprofit atau badan hukum yang tidak mencari keuntungan dengan menempatkan bidang-bidang tersebut pada nilai-nilai sosial, keagamaan dan kemanusian. Walaupun kenyataannya banyak Yayasan juga bergerak dibidang bisnis  sebagai sumber mata pencarian untuk mendatangan keuntungan. Dengan kata lain bisnis bagi Yayasan bukan merupakan tujuan, melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Walaupun diakui selama ini bahwa Yayasan  sebagai badan hukum, sangat berbeda dari Perseroan Terbatas (PT), terutama dari segi tujuan.
Keberadaan UU Yayasan  dapat diartikan sebagai tonggak atau dasar bahwa Yayasan sebagai badan hukum telah ditempatkan sebagai lembaga yang pengaturannya telah diperjalas pada fungsi dan kedudukan ditengah masyarakat yang membutuhkannya.  Walaupun masyarakat telah mengenal lembaga ini cukup lama. Karena pendirian Yayasan pada saat itu hanya didasarkan hukum kebiasaan masyarakat yang berkembang.
Pada KUH Perdata atau Burgerlijk Wetboek (BW) telah mengatur beberapa ketentuan yang mendekati pengaturan mengenai Yayasan, baik pada  Pasal 365, 899, 900, 1680, dan Pasal 365 BW, kemudian pada Pasal 6 ayat 3 Pasal 236 Rv.  Pasal-pasal tersebut tidak satupun memberikan rumusan tentang pengertian Yayasan [17].
 Pengertian Yayasan pada dasarnya hanya merupakan pendapat para ahli dalam merumuskannya sebagaimana yang pernah diikemukakan oleh Paul Scholten, bukunya Ali Rido “ Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf”   mendefinisikan Yayasan adalah badan hukum yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak.  Pernyataan itu harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk tujuan tertentu, dengan penunjukkan, bagaimana kekayaan itu diurus dan digunakan. Untuk itu  Paul Scholten merumuskan Yayasan dengan ketentuan :[18]
1.   Mempunyai harta kekayaan sendiri, yang berasal dari suatu perbuatan pemisahan.
2.   Mempunyai tujuan sendiri (tertentu)
3.   Mempunyai alat perlengkapan (organisasi).
Yayasan yang didirikan  dalam pergaulan hukum diakui mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban sendiri, sebagai salah satu pihak dalam hubungan hukum dengan subyek hukum. Adanya kekayaan yang terpisah oleh pendiri Yayasan gunanya untuk mencapai tujuan dan merupakan sumber dari segala hubungan hukum.
Pendirian Yayasan secara aturan hukum sebagaimana yang di amanahkan  selalu berkaitan dengan arahan yang terdapat pada Garis-Garis Besar Haluan Negara khususnya pada tahun 1999 – 2004[19]. Dimana pembangunan hukum harus mewujutkan sistem Hukum Nasional yang menjamin tegaknya supermasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran.
Dengan diberlakukannya UU Yayasan telah mencantumkan secara jelas syarat  pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud  Pasal 9  ayat 1, 2, 3,  yang berbunyi :
(1)  Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal.
(2)  Pendiri Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan akta Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.
(3)  Yayasan dapat didirikan berdasarkan surat wasiat.
Namun yang menjadi kendala saat ini, saat dikeluarkannya UU Yayasan adalah minimnya pemahaman dari para pendiri Yayasan terhadap arti pentingnya Yayasan sebagai badan hukum. Apalagi sebagian besar Yayasan yang didirikan  belumlah berbadan hukum, baik Yayasan yang bergerak dibidang sosial, keagamaan dan kemasyarakatan. Belum berbadan hukumnya Yayasan maka keberadaan Yayasan tersebut belum sempurna dimata hukum.
Nilai dasar dari hukum yang ideal adalah memberikan kepastian hukum. Karena kepastian hukum tidak hanya persoalan masalah legalitas saja, melainkan bagaimana menempatkan kepastihan hukum itu pada tatanan kepatutan dan keadilan, untuk menemukan keseimbangan dalam penerapannya.



 A. Teori Badan Hukum
Kehadiran badan hukum dalam pergaulan hukum dimasyarakat, terlihat sejak abad 19 yang lalu sampai  sekarang, telah menarik perhatian para ahli-ahli hukum. Berbagai tokoh dan pendukung dari aliran mazhab ilmu hukum telah mengemukakan pendapat mengenai eksistensi badan hukum  sebagai subyek hukum disamping manusia. Sejauh ini persoalan badan hukum menjadi penelaahan filsafat hukum. Hal ini menjadi tugas filsafat hukum  untuk mengetahui hakikat dari apa yang disebut badan hukum. Hasil pemikiran tentang hakikat badan hukum melalui filsafat hukum dirumuskan dalam bentuk asas, nilai atau teori-teori. Untuk itu, bentuk sumbangan yang berharga dari filsafat hukum bagi pemecahan masalah terhadap badan hukum tersebut adanya teori-teori tentang badan hukum.
Teori-teori badan hukum yang ada, sebenarnya dapat dihimpun pada dua golongan  atau pandangan yaitu :[20]
1.   Yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud yang nyata,  yang selalu diidentikan dengan manusia.
2.   Yang menganggap, bahwa badan hukum itu tidak sebagai wujud  yang nyata, tetapi badan hukum hanya merupakan  manusia yang berdiri di belakang badan hukum tersebut, artinya jika badan hukum tersebut melakukan kesalahan, hak itu hanyalah kesalahan manusia-manusia yang berdiri dibelakang badan hukum tersebut secara bersama-sama
Mengenai perwujutan dari badan hukum sudah lama menjadi persoalan. Ali Ridho mengatakan, bahwa selama belum dapat diketemukan suatu pandangan yang tepat dan benar di dalam metode dari bentuk-bentuk pengertian  dan tafsiran peraturan perundang-undangan khususnya mengenai badan hukum, maka selama itu  tetap menjadi silang pendapat oleh para ahli. Karena itu, yang mendorong terbentuknya suatu pengertian badan hukum adalah, bahwa manusia dalam hubungan hukum privat tidak hanya berhubungan terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap persekutuan perdata tesebut.[21]
Dalam sejarah perkembangan badan hukum dewasa ini, ada beberapa teori tentang badan hukum yang dipergunakan dalam ilmu hukum dan perundang-undangan, yurisprudensi serta doktrin. Karena itu untuk mencari dasar-dasar dari badan hukum, dapat dilihat dari beberapa teori :
a.    Teori Fiksi
b.    Teori Organ,
c.     Teori Harta Kekayaan.
d.    Teori Propriete celeective dari Planio,

B. Keseimbangan Yayasan
Undang-undang Yayasan sebagaimana diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2001,  kemudian dirubah melalui UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 Tentang Yayasan, Lembaran Negara Republik Idonesia Tahun 2004 Nomor 115, Dan juga dikeluarkannya  Peraturan Pemerintah Nomot 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan, dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4894. Maupun  Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan. Sedangkan yang terbaru dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan.
Diberlakukannya UU Yayasan saat ini dapat memberikan kepastian dan ketertiban, agar Yayasan tersebut dapat berfungsi dalam menjalankan maksud dan tujuannya dengan menempatkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.
 Penempatan prinsip-prinsip transparansi dan akutabilitas sesuatu yang sangat diharapkan agar terwujut adanya prinsip Good Corporate Governance yang diperuntukkan pada perusahaan-perusahaan. Pertanyaan yang sangat mendasar adalah apakah prinsip Good Corporate Governance ini dapat diterapkan pada Yayasan ?  Karena pada dasarnya prinsip Good Corporate Governance terdapat nilai-nilai kesataraan dan keadilan (fairness), keterbukaan (transparency), pemberian pertanggung jawaban (accountability) dan tanggung jawab (responsibility).
Secara definitif penerapan Good Corporate Governance untuk selanjutnya disinkat GCG merupakan suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptkan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Penerapan prinsip GCG di Indonesia dapat diartikan sebagai konsep pengelolaan perusahaan yang baik. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini. Pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar atau akurat dan tepan pada waktunya. Kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclousure) secara akurat, tepat waktu dan tranparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder.
Penerapan prinsip GCG dalam dunia usaha saat ini merupakan suatu tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut dapat tetap eksis dalam persaingan global. Dimana penerapan GCG memiliki suatu tujuan-tujuan strategis berupa :
1.   Untuk dapat mengembangan dan meningkatkan nilai perusahaan;
2.   Untuk dapat mengelola sumber daya dan resiko lebih efektif dan efisien;
3.   Untuk dapat meningkatkan disiplin dan tanggung jawab dari organ perusahaan demi menjaga kepentingan para stakeholder perusahaan.
4.   Meningkatkan kontribusi perusahaan khususnya perusahaan-perusahaan terhadap perekonomian nasional;
5.   Meningkatkan investasi; dan
6.   Mensukseskan program privatisasi perusahaan-perusahaan pemerintah.
 Dari berbagai ketentuan tersebut, walaupun adanya penekanan dimana penerapan GCG hanya diperuntukan pada perusahaan profit oriated, menjadi lain jika diterapkan prinsip tersebut pada Yayasan sebagai lembaga yang berbadan hukum.
 Penempatan prinsip-prinsip tersebut, merupakan suatu mekanisme pengaturan tentang tatacara pengelolaan perusahaan atau badan berdasarkan rules yang benar, dengan menjalankan fungsi-fungsi anggaran dasar (articles of association), serta aturan-aturan pada Undang-Undang maupun pada aturan peralihannya. Memberikan hubungan kesinambungan mengenai organ-organ yang ada pada Yayasan, baik Pembina, Pengurus dan Pengawas. Pada prinsipnya pemakaian istilah good corporate governance yaitu penerapan prinsip manajemen badan atau perusahaan untuk mengelola perusahaan atau badan secara baik, benar dan penuh integritas.[22]
Penerapan tata kelola yang baik sebagaimana tergambarkan pada prinsip good corporate governance, tidak hanya diperuntukkan pada badan hukum Perseroan Terbatas,  namun hal ini juga dapat diterapkan pada Yayasan sebagai badan hukum. Satu cara yang bisa memberikan masuknya prinsip tata kelola yang baik pada badan hukum adalah memberikan nilai-nilai keseimbangan bagi setiap organ Yayasan dengan selalu menekankan pentingnya penempatan nilai-nilai adiil pada Yayasan. Karena pendirian Yayasan sebagaimana yang diamanahkan oleh UU sangat berbeda dengan badan hukum lainnya yang memang diorientasikan pada mencarian keuntungan yang sebesar-besarnya.
Good Corporate Governance sebagai tata kelola marupakan tema yang tepat untuk pengendalian (control)  dan pengaturan (regulate) sehingga mampu menjelaskan proses yang terjadi didalamnya[23]. Pada hal ketentuan tata kelola badan-badan hukum yang harus memenuhi nilai-nilai pengendalian dan pengaturan untuk memberikan keseimbangan pada badan-badan hukum tersebut.  Sehingga akan mengurangi timbulnya konflik ditubuh Yayasan selama ini yang sering terjadi. Karena konsep good coporate governance, sebagaimana yang pernah dikemukaan Daniri[24], pada badan hukum Perseroan Terbatas, tata kelola perseroan yang baik merupakan :
1.   Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran-peran Dewan Komisaris, Direksi, Rapat Umum Pemegang Saham denganstakeholder lainnya.
2.   Suatu sistem check and balance yang mencakup perimbangan kewenanangan atas pengendalian perseroan yang dapat membatasi munculnya dua peluang, yaitu pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan asset perseroan.
3.   Suatu proses yang tranparan atas penentuan tujuan perseroan, pencapaian dan pengukuran kinerjanya.
Penerapan konsep good corporate governance yang pada mulanya diperuntukan pada Perseroan Terbatas, hal ini dapat juga diterapkan pada Yayasan dalam melaksanakan tata kelola badan sesuai dengan standars yang ditetapkan oleh anggaran dasar Yayasan dan UU Yayasan maupun peraturan pelaksanaanya.
Karena timbulnya konflik di Yayasan selalu dikarenakan adanya  ketidak seimbangan peran oleh masing-masing organ, baik antara pendiri, Pembina, Pengurus dan Pengawas berakibat konflik di Yayasan selalu dilatarbelakangi oleh kebijakan-kebijakan Yayasan saling bertentangan. Apalagi konflik ini mengarah hubungannya kepada pihak ketiga, yaitu orang-orang yang ditugaskan sebagai pelaksana kegiatan pengurus, yang juga merasa berkepentingan terhadap Yayasan.
Disatu sisi, bahwa penempatan prinsip-prinsip keseimbangan pada Yayasan  mulai saat pendirian Yayasan, peran-peran organ Yayasan, dan juga penerapan hubungan Yayasan terhadap pihak-pihak, dalam menghidari konflik yang selama ini sering terjadi di antara pihak-pihak didalamnya, maupun penempatan beban tanggung jawab pada saat Yayasan belum berbadan hukum maupun pada saat Yayasan sudah berbadan hukum.
Penempatan beban tanggung jawab ini sudah terlihat pada saat mulai adanya pemisahan harta pribadi dari pendiri Yayasan untuk kepentingan pendirian Yayasan, yang gunanya untuk menentukan mana milik pribadi dan yang bukan milik pribadi pada saat Yayasan dijalankan.
Proses tanggung jawab ini pada Yayasan dapat juga melakukan pengkajian dengan melaksanakan transplantasi melalui doktrin-doktrin moderen dalam hukum perusahaan sebagai bagian penyelesaian sengketa Yayasan dengan menempatkan pada fungsi keseimbangan proses tanggung jawab melalui prinsip doktrin Piercing the Corporate Veil atau yang diistilahkan juga Lifting the Corporate Veil. Menurut Munir Fuadi[25] agar suatu Piercing the Corporate Veil, secara hukum di jalankan dengan memenuhi ketentuan :
1.   Terjadinya penipuan.
2.   Didapat suatu ketidakadilan.
3.   Terjadinya suatu penindasan (oppression)
4.   Tidak memenuhi unsure hukum(illegality).
5.   Adanya dominsi pemegang saham yang berlebihan.
6.   Perusahaan merupakan alter ego  dari pemegang saham mayoritasnya. 
Disamping itu juga, harus mengkaji apakah penerapan doktrin-doktrin moderen lainnya dapat disesuaikan pada konsep Yayasan ?  Melalui doktrin-doktrin perseroan berupa, Ultravires, Fiduciary Duty, liability Promotors, Busines Judgement, Corporate opportunity, Minorty Shareholders Protection. Dan  Self Dealing.[26]
 Penerapan prinsip-prinsip keseimbangan pada  Yayasan sebagai badan hukum, dalam telaah penyelesaian konflik ditubuh Yayasan dalam penerapan prinsip idiil Yayasan. Bisa menjadikan proteksi Yayasan dari unsur-unsur kejahatan seperti, money laundering, cyber crime dari berbagai jenis kejahatan canggih lainnya yang tidak mungkin terjadi tanpa adanya bantuan dari mereka yang memiliki profesionalisme.  
Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Muladi [27] pada Kongres PBB V tentang Pencegahan Kejajatan dan Pembinaan Pelanggaran Hukum (The Prevention of Crime and Treatment of Offender) tahun 1975, yang kemudian dipertegas kembali dalam kongres PBB VII tahun 1985, menunjukkan bahwa terdapat kejahatan bentuk baru yang dilakukan oleh korporasi yang digerakkan oleh pengusaha yang membawa dampak negative pada perekonomian Negara yang bersangkutan.
Kejahatan yang dilakukan korporasi dengan mengatas namakan lembaga dapat saja terjadi jika nilai-nilai keseimbangan pada lembaga tersebut tidak dapat berjalan. Untuk itu dibutuhkan peraturan yang secara khusus mengatur tentang pentingnya tranparansi dan akuntabilitas sebagai medianya[28].
Selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan Yayasan. Pengelolaan Yayasan tidak saja mencakup tindakan pengurusan oleh organ pengurus, tetapi juga segenap tindakan yang dilakukan organ lain yakni pembina dan pengawas. Sekalipun tiga organ Yayasan mempunyai kewenangan dan tanggung jawab berbeda namun semua tindakan yang dilakukan adalah untuk kepentingan Yayasan. Prinsip transparansi dan akuntabilitas wajib dijalankan oleh ketiga organ pada Yayasan.
Urgensi tranparansi dan akuntabilitas diperlukan untuk memastikan bahwa organ Yayasan dalam menjalankan tuganya semata-mata untuk mencapai tujuan Yayasan, dan bukan tujuan lain. Sebagai bagian  dari pilar good governance,  transparansi dan akuntabilitas tidak saja perlu diterapkan oleh organ publik, tetapi juga pada organ privat. Sekalipun Yayasan adalah organ privat, terdapat tuntutan oleh stakeholder agar kekayaan Yayasan tidak digunakan untuk tujuan lain oleh organ  Yayasan selain dari pada tujuan sebagaimana dituangkan dalam anggaran dasar Yayasan.
Sekalipun dalam organ Yayasan terdapat pengawas, dimana ketiadaan transparansi  potensial mengakibatkan pemanfaatan kekayaan Yayasan yang tidak akuntabel. Bukan tidak mungkin terjadi persekongkolan oleh ketiga organ yang merugikan Yayasan. Transparansi dan akuntabilitas sebagaimana tersebut adalah sebagai alat kontrol oleh publik atas kinerja yang dilakukan oleh organ Yayasan dan sekaligus untuk melindungi kekayaan Yayasan tidak disalah gunakan.
Transparansi dalam pengelolaan Yayasan setidaknya mencakup dua hal sebagaimana yang pernah diungkapkan Oleh Prof. Sogar [29]yaitu adanya pengumuman dalam Tambahan Berita Negara atas Anggaran Dasar, dan penguman laporan tahunan oleh Yayasan. Yang pertama adalah adanya konsekuensi bahwa Yayasan sebagai badan hukum. Dengan adanya pengumuman dalam Tambahan Berita Negara, maka publi dapat mengakses informasi atas suatu pendirian Yayasan, apa Yayasan tersebut telah terdaftar dalam daftar Yayasan berbadan hukum oleh Kantor Kementrian Hukum dan HAM RI. Sedangkan terkait pengumunan laporan tahunan, masyarakat atau publik dapat memperoleh informasi yang berhubungan dengan keadaan dan kegiatan Yayasan.
Apalagi UU Yayasan dalam penjelasannya telah memperhitungkan kemungkinan yang terjadi dari bahwa kecendrungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk berlindung di balik status badan hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah pengembangan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus dan pengawas. Sejalan dengan kecendrungan tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang berkaitan dengan kegiayan Yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang tercantum pada Anggaran Dasar Yayasan, sengketa antar pengurus dengan pendiri atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa Yayasan digunakan untuk menampung kekayaan yang berasal dari perbuatan melawan hukum.[30]

7.           METODE PENELITIAN
a.        Type Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Dimana penelitian hukum normatif lazim dilakukan dalam kegiatan pengembangan Ilmu Hukum, dengan istilah lain disebut Dogmatika Hukum (Rechtsdogmatiek) ialah suatu ilmu yang mencakup kegiatan menginvetarisasi, memaparkan dan menginterprestasi, mensistematisasi dan juga mengevaluasi keseluruhan hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat dan negara tertentu dengan bersarankan konsep-konsep, pengertian-pengertian, teori-teori, klasifikasi-klasifikasi yang dibentuk dan dikembangkan khusus untuk melakukan semua kegiatan tersebut.
Yang menjadi masalah inti dari dalam Ilmu Hukum adalah menentukan apa yang menjadi hukumnya bagi situasi konkret. Untuk itu diperlukan proses penalaran hukum (legal reasoning), yaitu metode berpikir yuridik untuk mengindentifikasi, berdasarkan  tatanan hukum yang berlaku.[31] Semakin menjadi benar sebagaimana yang disampaikan oleh Peter Mahmud Marzuki berdasarkan keilmuan ilmu hukum tersebut menguktip dari pendapat Jan Gijssels dan Mark van Hoecke dalam bukunya membagi ilmu hukum menjadi tiga lapisan yaitu, rechtsdogmatiek (Dokmatig Hukum), rechtteorie (Teori Hukum)dan rechtsfilosie (filsafat Hukum). Yang pada kenyataannya, bahwa ilmu hukum mempunyai dua aspek yaitu aspek praktis dan aspek teoritis. Mengingat hal tersebut, dalam penelitian ilmu hukum dibedakan menjadi penelitian untuk keperluan praktis dan penelitian untuk kajian akademis. Penelitian untuk tujuan praktis  dilakukan bagi kepentingan klien dan sesama praktisi hukum. Sedangkan untuk kajian akademis, penelitian dilakukan bagi dunia akademis dan pembuat undang-undang. Hasil dari penelitian untuk keperluan aspek praktis berupa adanya pendapat hukum. Sedangkan hasil penelitian untuk kajian akademis berupa karya akademis baik dalam bentuk tesis, disertasi, artikel dan jurnal hukum dan naska akademis dalam proses menyusunan rancangan undang-undang.[32] Maka hasil akhir dari penelitan tersebut dapat menjawab makna apakah dapat ditemukannya teori hukum baru, atau menemukan konsep baru terhadap hal-hal yang dipandang telah mapan dalam ilmu hukum.
b.        Pendekatan Masalah
        Penelitian hukum ini memadukan tiga pendekatan utama (Approach) yaitu pendekatan perundang-undangan(statute approach),  pendekatan Konseptual (conceptual approach), maupun pendekatan perbandingan (comparative approach) dan akan dikembangkan pada pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan “statute” diawali dari suatu konstitusi dan aspek-aspek hukum serta konsep-konsep hukum terhadap undang-undang ikutannya, baik dalam bentuk Undang-Undang maupun Peraturan Pelaksanaanya, berupa : Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang  Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan, Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang  Tentang Yayasan, dan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan.
Sedangkan pada pendekatan konseptual yaitu untuk membatu menemukan asas-asas hukum dan konsep-konsep hukum yang lebih cocok yang melandasi suatu norma-norma hukum tersebut yang ada saat ini jika dihubungkan pengaturan Yayasan sebelum diberlakukannya UU Yayasan, yang pada mulanya Yayasan dalam pendirian hanya didasari kebiasan-kebiasan yang berlaku pada saat itu, dengan menempatkan Yayasan sebagai badan hukum yang memiliki perbedaan jika dibandingkan pada badan hukum lainnya baik itu, Perseroan Terbatas, Koperasi dan Perkumpulan. Pada pendekatan konseptual yang memiliki banyak pengertian pada ilmu hukum  khususnya dalam menempatakan keberadaan Yayasan sebagai badan hokum dalam prosesnya apakah  secara konsesi dalam Undang-undang, campuran atau melalui Yurisprudensi, yang semuanya akan diperjelas kedudukannya.
Pada pendekatan perbandingan, mengkaji lebih dalam dan membandingkan dari segi diberlakukannya peraturan Yayasan atau dengan sebutan lain sebagai lembaga non profit dengan istilah Foundation dari suatu Negara tertentu secara mikro atau  hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu lainnya.
Sedangkan pada pendekatan kasus, selalu dimulai dengan mengkaji dan menganalisis berbagai putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, atau mengikat (inkrach van gewijsde)  sebagai yurisprudence yaitu dengan mengkaji apa yang menjadi alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusan yang dikenal sebagai ratio decidendi.[33]
c.        Langkah Penelitian
  Langkah penelitan ini dimulai adanya isu hukum terhadap diberlakukannya UU Yayasan yang ada saat ini. Saat diundangkannya UU No. 16 tahun 2001 dan dirubah melalui UU No. 28 tahun 2004, dan juga beberapa peraturan pelaksanaannya dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2013. Namun kenyataannya Yayasan sebagai badan yang bercirikan dan nonprofit, dimana tujuan keuntungan bukanlah sebagai utama, melainkan penempatan Yayasan sebagai wadah perjuangan dalam penempatan nilai-nilai sosial, kemasyarakatan dan keagamaman. Oleh karena itu karena berdasarkan definisi Yayasan sebagai badan hukum yang terdiri dari atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Bahwa penekanan pendirian Yayasan pada bidang sosial, keagamaan dan kemanusian, menjadi ciri utama pendirian Yayasan jika dibandingkan pada badan hukum lainnya. Namun disatu sisi UU Yayasan memberi kemungkinan pada Yayasan untuk membuka usaha yang sejenis dengan maksud dan tujuan Yayasan. Batasan dan yang memungkinkan Yayasan untuk membuka badan usaha yang sejenis, nantinya akan melanggar norma pendirian Yayasan dengan menempatkan prinsip-prinsip idiil pada Yayasan. Maka untuk itu  dibutuhkan nilai  transparansi dan akuntabilitas pada Yayasan. Penerapan nilai-nilai transparansi dan akuntabilitas terdapat pada prinsip tata kelola aturan yang baik pada badan hukum Good Corporate covernance  yang khususnya ditujukan pada badan hukum profit dan singkronkan pada badan hukum non profit apakah hal ini dapat dijalankan dalam proses menuju keseimbangan terhadap pelaksanaan organ Yayasan yang terdiri, pembina, pengurus dan pengawas dan samping  untuk menghindari timbulnya konflik baik antar organ Yayasan, pihak ketiga dan konflik kepada lembaga yang sejenis lainnya.

d.        Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer yang dimaksud adalah peraturan-peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sedangkan bahan hukum sekunder meliputi bahan-bahan yang mendukung bahan hukum primer, seperti buku-buku teks, artikel dalam berbagai majalah ilmuah atau jurnal hukum, makalah-makalah, dan literature pendapat para sarjana (doktrin).
Bahan-bahan hukum itu didapat melalui lembaga-lembaga penerbitan baik pemerintah atau swasta, baik di dalam maupun diluar negeri, melalui internet, pertemuan ilmiah, seminar, lokakarya, dan lainnya.

8.           SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan disertasi ini terbagi dari empat Bab, yang mana dua Bab membahas segala permasalahan dari disertasi ini yang menekankan pentingnya penerapan prinsip transparansi dan akuntabillitas dalam pengelolaan Yayasan yang harus disesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku khususnya UU Yayasan dan peraturan pelaksanaannya. Yang mana Yayasan sebagai badan hukum tidak terlepas timbulnya permasalahan konflik, yang didasari pada saat  pendirian Yayasan maupun pada saat Yayasan sedang berjalan. Fakta menunjukan kecendrungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk berlindung di balik status badan hukum Yayasan, yang mana tidak hanya digunakan sebagai wadah pengembangan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusian, melainkan juga bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas. Maupun permasalahan lainnya.
Bab 1 (satu) merupakan pendahuluan sebagai arah apa yang akan ditulis pada disertasi ini, pada saat merumuskan permasalahan yang ada, dimana bab ini sebagai batasan penulisan pada disertasi ini, yang membedakan antara penulis dengan penulis yang lain yang berbicara tenyang Yayasan sebagai badan hukum. Begitu juga tentang tujuan dan manfaat pada penulisan disertasi. Yang jelas tujuan pada disertasi ini, yaitu menggali dan menganalisi setiap yang terdapat pada rumusan masalah  prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan Yayasan maupun mencari formulasi dalam penanganan konflik ditubuh Yayasan dikarenakan adanya pengingkaran pada prinsip idiil dari Yayasan tersebut. Sedangkan pada manfaat penulisan disertasi yaitu ikut serta memberikontribusi pengembangan keilmuan dibidang Yayasan sebagai badan hukum.
Sedangkan pada Bab II (dua) yaitu pembahasan pada penerapan prinsip tata kelola yang baik pada Yayasan, sedangkan pada Bab III membahas masalah penerapan hukum dalam penanganan dalam penanganan konflik ditubuh Yayasan karena adanya penyimpangan dari tujuan idiil Yayasan.
Pada Bab IV, berupa kesimpulan dan saran dari pembahasan pada Bab II dan Bab III, apa yang menjadi kesimpulan dan saran pada penulisan disertasi ini.
9.    RENCANA DAFTAR ISI
PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK DALAM MENGHINDARI PERGESERAN TUJUAN IDIIL YAYASAN
 SEBAGAI BADAN HUKUM

BAB I. PENDAHULUAN

BAB II. MAKNA DAN FUNGSI YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM

A.   SEJARAH PENDIRIAN YAYASAN
1.   Yayasan Sebagai lembaga
2.   Pengaturan Yayasan Sebelum dan Sesudah di Berlakukannya UU Yayasan.
3.   Status Badan Hukum  Yayasan
4.   Membandingkan Yayasan Dengan Badan Hukum lainnya

B.   YAYASAN SEBAGAI LEMBAGA YANG BERBADAN HUKUM
1.   Teori Badan Hukum
2.   Landasan Terbentuknya Yayasan Selaku Berbadan Hukum
3.   Manfaat Yayasan Berbadan Hukum
4.   Membandingkan Yayasan Indonesia dengan Yayasan Negara Lain
C.   TUJUAN PENDIRIAN YAYASAN
1.   Yayasan Untuk Kepentingan Bersama
2.   Maksud Dan Tujuan Yayasan
D.  TANGGUNG JAWAB DAN TANGGUNG GUGAT ORGAN YAYASAN
1.   Peran Pendiri Yayasan
2.   Keberadaan Pembina
3.   Tanggung Jawab Penggurus
4.   Keberadaan Pengawas Yayasan
5.   Tanggung Gugat Organ Yayasan
BAB III. IMPLEMENTASI PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK SEBAGAI KESIMBANGAN PADA YAYASAN
A.   DASAR HUKUM DAN PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK (Good Corporate Governance)
1.   Dasar Hukum Prinsip Tata Kelola Yang Baik
2.   Landasan Terbentuknya Prinsip Tata Kelola Yang Baik
3.   Penerapan Prinsip Tata Kelola Yang Baik
B.   MANFAAT DAN TUJUAN PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK
1.   Manfaat Prinsip Tata Kelola Yang Baik
2.   Tujuan Prinsip Tata Kelola Yang Baik
C.   PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK PADA YAYASAN
1.   Penerapan Nilai-Nilai dari Prinsip Tata Kelola Yang Baik
2.   Hubungan Prinsip Tata Kelola Yang Baik dengan Coporate Social Responsibility (CSR)
D.  HUBUNGAN ORGAN YAYASAN DALAM KESIMBANGAN
1.   Antar Organ Yayasan dalam Penerapan Prinsip Tata Kelola Yang Baik
2.   Yayasan Sebagai Lembaga dan Penerapan Prinsip Tata Kelola Yang Baik
E.   PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK PADA YAYASAN
1.   Keadilan (Fairness)
2.   Tranparansi (Transparency)
3.   Akuntabilitas (Accountability)
4.   Responsibilitas (Responsibilty)
F.   PENERAPAN KESEIMBANGAN DALAM PENGGUNAAN PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK YAYASAN
1.   Langkah-langka Timbulnya Ketidak Seimbangan Pada Pendirian Yayasan
2.   Organ dan Keseimbangan pada Prinsip Tata Kelola Yang Baik
G.  TUJUAN UTAMA PENERAPAN PRINSIP YAYASAN
1.   Menghindari Konflik
2.   Peran Yayasan untuk Pembangunan
3.   Keberadaan Yayasan sebagai lembaga
BAB IV. PENANGANAN KONFLIK PADA YAYASAN
A.   KONFLIK PADA YAYASAN
B.   LEMAHNYA KONTROL ANTAR LEMBAGA
C.   PERATURAN PERUNDANG-UNDAGAN
D.  PENANGAN KONFLIK
E.   YAYASAN DAN HARTA KEKAYAAN










































DAFTAR PUSTAKA

Adjie, Habib, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Bandung: Refika Aditama.

---------, 2008 Status Badan Hukum Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial,  Bandung:  Mandar Maju

---------, 2009, Yayasan Yang Menyelenggarakan Pendidikan Formal, Dan Mempunyai Izin, Penyelenggaraan Pendidikan Formal Yang Masih Berlaku Tapi Tidak Berbadan Hukum Untuk Melanjutkan satuan Pendidikan Formalnya Harus Mendirikan Badan hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM), Disampakan Dalam Acara Pembekalan Dan Penyegaran Dalam Rangka  Rapat Pleno Yang Diperluas Pengurus Ikatan Noatris Indonesia, Denpasar: 30 Desember.

---------, 2010, Relasi Dan Solusi Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, Dengan Pendirian Yayasan (Baru) Paska Putusan MKRI Penyelenggara Pendidikan Formal Oleh Swasta Kembali Ke Yayasan, Disampaikan Acara Pembekalan Dan Penyegaran Pengetahuan Ikatan Notaris Indonesia, Batam: 2-3 Juli

Ali, Chidir, 1987, Badan Hukum, Bandung: Alumni.

Bahari, Adib, 2010, Prosedur Pendirian Yayasan, Jakarta, Pustaka Yustisia.

Borahima, Anwar, 2010, Kedudukan Yayasan di Indonesia, Eksistensi, Tujuan, dan Tangggung Jawab Yayasan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group

Budiono, Herlien, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, ,     Bandung: Citra Aditya.
Budiyano, Tri, 2011,Hukum Perusahaan Telaah Yuridis terhadap Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Salatiga, Griya Media

Chatamarrasjid, 2006, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, Bandung:, Citra Aditya Bakti

Fuady,Munir, 2005, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer,  Bandung: Citra Adtya Bakti.

-----------, 1994, Hukum Bisnis, Dalam Teori dan Praktek (buku kesatu), Bandung; Citra Aditya Bakti
----------,  2010, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti,

Hernoko, Agus Yudha 2008,  Hukum Perjanjian, Azas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta: LaksBang Mediatama.

Gautama, Sudargo, 1995, Komentar Atas Undang-Undang Perseroan Terbatas (Baru) Tahun 1995 No. 1 Perbandingan dengan Peraturan Lama, Bandung; Citra Aditya Bakti

Gunadi, Ariawan, Pasca Pembatalan UU BHP dan Akibat Hukum yang ditimbulkannya, Opini, Jakarta: Harian Ekonomi Neraca. 

Kansil, C.S.T, 1995, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum dalam Ekonomi), Jakarta; Pradnya Parmita.

Kansil, C.S.T dan  Christine S.T Kansil, 2009, Seluk Beluk Perseroan Terbatas, Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, Jakarta: Rineka Cipta.

Kohar, A 1984, Notaris Berkomunikasi, Bandung: Alumni.

-----------,  1983, Notaris, DalamPeraktek Hukum, Bandung: Alumni

Machsun, Miftachul,2009 Penyelenggara Pendidikan Formal Berikut Problem Yang Dihadapi Serta Solusinya, Disampakan Dalam Acara Pembekalan Dan Penyegaran Dalam Rangka  Rapat Pleno Yang Diperluas Pengurus Ikatan Noatris Indonesia, Denpasar:  30 Desember

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media.

-------------, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana Prenata Media.

Mertokusumo, Sudikno, 2007 Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty.

------------,  2007, Mengenal Hukum,, Yogyakarta: Liberty,

-----------, 2012, Teori Hukum, Yogyakarta, cahaya Atma Pustaka
Muladi, Dwidja Priyatno, 2012, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi,  Jakarta, Kencana Prenada Media Group.

Nasution, Bahdar Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju.

Notodisoerjo, Soegondo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Panggabean H.P, 2012, Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan Termasuk Aset Keagamaan Dan Upya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian sengketa,Jakarta,  Permata.

Panggabean, Henry Pandapotan, 2008, Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan Hukum Perikatan, Bandung: Alumni
Prasetya, Rudi, 2012, Yayasan dalam Teori Dan Praktek, Jakata, Sinar Grafika.

Pramono, Nindyo, 2013, Hukum PT. Go Publik Dan Pasar Modal, Yogyakarta, Andi.

Purwasutjipto, 1992, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Bentuk Perusahaan, Jakarta: Djembatan.

Rasjidi, Lili, 1993, Filsafat Hukum, Apakah Hukum itu ?, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, 2007,  Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, , Bandung: Citra Aditya Bakti.

Rido, R. Ali Dkk, 1986, Hukum Dagang, tentang Aspek-aspek Hukum dalam Asuransi Udara, Asuransi Jiwa dan Perkembangan Perseroan Terbatas, Bandung: Remadja Karya.

-----------, 1988, Hukum Dagang, tentang Surat Berharga, Perseroan Firma, Perseroan Komanditer, Keseimbangan Kekuasaan dalam PT dan Penswastaan BUMN, Bandung: Remadja Karya.

-----------, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung; Almuni.

Raharjo, Satjipto, 2006,  Ilmu Hukum,  Bandung: Citra Aditya Bakti.

Suharto, 2009, Membedah Konflik Yayasan, Menuju Konstruksi Bermartabat, Yogyakarta, Cakrawala Media.

Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung; Refika Aditama

Sukardono, R, 1991, Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.

Sidharta, Arif, 1982, Hukum Dan Logika, Bandung; Alumni.

Sembiring, Sentosa, 2006, Hukum Perusahaan,, Bandung: Nuansa Aulia.

Salim, dan Budi Sutrisno, 2008, Hukum Investasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Suharnoko, 2004,  Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Prenada Media,

Sjahdeini, Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang, Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Lredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.    

Syahrani, Riduan, 2009, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum,, Bandung: Alumni.

Sianturi, Purnama Tioria, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak, Bandung: Mandar Maju.

Simamora, Yohanes Sogar, 2012, Hukum Kontrak, Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia, Surabaya, Leksbang Justitia Surabaya.

--------Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas dalam Kontrak Pemerintah di Indonesia (pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar, 2008, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga.

---------Karakteristik, Pengelolaan dan Pemeriksaan Badan Hukum Yayasan di Indonesia (Jurnal Rechts Vinding, Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012.

Sutiyoso, Bambang, 2007, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujutkan Hukum yang Pasti dan Berkadilan, Yogyakarta: UII Press

Untung, Budi, 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris., Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Usman, Rachmadi, 2003,  Perkembangan Hukum Perdata Dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia,  2003, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tanya, Bernard L., Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2007, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: CV. Kita.


Peraturan Perundang-Undangan

UUD 1945.
KUH Perdata.
KUH Dagang.
Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi.
Undang-Undang RI Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang  RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2004 tentang  Perubahan Atas Undang-Undang  RI Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (telah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, pada tanggal 31 Maret 2010)

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan hukum

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2009 tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan Yang Menyelenggarakan Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah Sebagai Badan Hukum Pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara Atau Perguruan Tinggi, Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Sebagai Badan Hukum Pendidikan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009. tertanggal 31 Maret 2010




 








[1] Artidjo Alkostar, M. Sholeh Amin (editor), Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1986, h. IX
[2] Bagir Manan, Tantangan Pembangunan Hukum Di Indonesia (artikel) Majalah Varia Peradilan, No. 344 Juli 2014, Jakarta .h. 5
[3] Ibid., h. 6
[4] Ibid. h. 9
[5] Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni Bandung, Bandung, 1987, h. 21
[6]     Rochmat Soemitro,  Penuntun Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang, Pajak Perseroan, Eresco, Jakarta, 1983., hlm. 1
[7] Ibid., hlm. 5
[8] Anwar Borahima, Kedududukan Yayasan Di Indonesia, Eksistensi, Tujuan, dan Tanggung Jawab Yayasan,Kencana, 2010, hal. 2
[9] Ibid., hlm. 3
[10] Habib Adjie, Muhammad Hafidh, Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Yayasan, Pustaka Zaman, 2013., h. 12
[11] Bruce r. Hopkins, Jody Blazek, The Legal Answer Book For Private foundation, Simultaneously in Canada, 2002, h. 1
[12] Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Keperdataan di Bindang Kenotariatan, Citra aditya Bakti, 2007, h. 61.
[13] Y. Sogar Simamora, Karakteristik, Pengelolaan Dan Pemeriksaan Badan Hukum Yayasan di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Media Pembina Hukum Nasional, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012, h. 177
[14] Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang,
[15] Ridwan Khairani dan Camelia Malik, Good Corporate Governance,  Perkembangan Pemikiran dan Impementasi di Indonesia dalam Perspektif Hukum. Total Media, Jakarta, 2007., hal. 2
[16]. Habib Adjie., op.cit.,  h. 6
[17]      Ibid., hlm. 1
[18] Ali Rido,  Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, wakaf,  Alumni, Bandung,1986 hlm 112
[19] Sebagaimana Visi Reformasi dibidang Hukum GBHN 1999-2004
[20] Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, 1987,  hlm29
[21] Ibid.,

[22] Ibid, hlm  99
[23]Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, Telaah Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,  Salatiga, Graha Media 2011,hlm 128
[24] Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance, Konsep dan Penerapan dalam Konteks Indonesia, Jakarta, PT. Ray Indonesia, 2006 hlm 8
[25] Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2010, Citra Aditya Bakti 2010., hal.9
[26] Tri Budiyanto, op.cit, hal 21
[27] Muladi, Dwidja Priyatno, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,2012, hlm. 3
[28] Yohanes Sogar Simamora, Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas dalam Kontrak Pemerintah di Indonesia (Pada saat pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Unair)., hlm 6
[29]Y. Sogar Simamora, op. cit., h. 184
[30] Penjelasan UU Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan
[31] Bernard Arif Sidarta, Penelitian Hukum Normatif Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal (tulisan) buku Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor, Jakarta., h. 142-143
[32] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kecana Prenada Media, Jakarta, 2008, h. 26
[33] Peter Mahmud, op.cit, h. 119


PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK DALAM MENGHINDARI PERGESERAN TUJUAN IDIIL YAYASAN
SEBAGAI BADAN HUKUM
1.           LATAR BELAKANG MASALAH
Pertanyaan yang sangat mendasar mengenai kontribusi perangkat perundang-undangan dalam perekayasaan mencapai masyarakat adil dan makmur, menjadi sangat relevan untuk dikemukakan manakala melihat hukum dan perundang-undangan sebagai “etalase” dan tidak juga sebagai norma yang berada diruang kosong; tapi melihat hukum itu sebagai sesuatu yang selalu ada dan berinteraksi ditengah dinamika kehidupan masyarakat. Tunggakan sejarah yang belum lunas dibayar oleh bangsa kita hingga saat ini, adalah penggantian undang-undang yang beretos kolonial feodalistis dengan perundang-undangan yang beretos egaliter demokratis sesuai dengan status bangsa yang merdeka dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.[1] Untuk itu, berbicara mengenai peranan hukum dalam pembangunan ekonomi dan modernisasi masih saja terus diperdebatkan, khususnya peranan hukum di dalam kehidupan masyarakat.
Lembaga Hukum adalah salah satu di antara lembaga atau pranata-pranata sosial, seperti halnya keluarga, agama, ekonomi dan lainnya. Maka tantangan terbesar dalam menciptakan pembagunan hukum yang ideal yang bercirikan ke Indonesia tidak lain memberi makna dengan melakukan pembaharuan hukum terhadap hukum yang telah ada. Maka Pembangunan hukum dapat pula bermakna sebagai pencipta hukum-hukum baru, menuju hukum peralihan (transitory period and law) .[2]
Secara prinsipiil, masa dan hukum peralihan memuat beberapa masalah. Pertama; dalam kenyataan, Indonesia yang merdeka masih berada dalam pengaruh sistem hukum kolonial yang tidak selalu berpihak kepada kepentingan rakyat atau bangsa Indonesia.  Kedua; untuk memenuhi kebutuhan hukum baru, acap kali didasarkan pada beleid atau diskresi yang berorientasi pada prinsip manfaaat (doelmatigheid) sesaat dan parsial yang menimbulkan gangguan terhadap susunan integral sistem hukum. Selain itu, beleid sangat dipengaruhi oleh berbagai kecenderungan politik atau unsur-unsur dominan dengan berbagai kepentingan subjektif. Dalam susunan seperti itu, pembaharuan hukum tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat tetapi kebutuhan politik atau sesuatu kepentingan subjektif tertentu, seperti kepentingan kaum kapital. Ketiga; hukum belum dapat menjadi sarana yang supreme bahkan bila perlu dikesampingkan, atas nama masa kedaruratan dan hukum peralihan.[3]
Untuk menuju pembangunan hukum yang ideal sebagai mana yang diharapkan dibutuhkan penyedian perangkat hukum yang memenuhi segala kebutuhan hukum yang memberi kepastian bagi segala aspek kehidupan masyarakat atau individu, berupa politik, ekonomi, sosial dan budaya yang memiliki keselarasan dalam proses pembangunan hukum, dengan tantangan berupa [4]:
1.           Politik dan tujuan hukum;
2.           Pembentukan hukum;
3.           Penegakan hukum; dan
4.           Pelayanan hukum.
Proses menuju hukum peralihan (transitory period and law) tersebut terasa sekali dalam pengaturan hukum dibidang badan hukum khususnya mengenai Yayasan. Badan hukum yang dikenal dengan nama recht persoon, legal persons atau persona moralis adalah subjek hukum. Pertanyaan yang sangat mendasar untuk mengetahui secara menyeluruh mengenai badan hukum dimulai dengan suatu pertanyaan  yaitu apa dan siapa badan hukum itu ? Maka untuk menemukan jawaban tersebut dimulai dengan menemukan teori badan hukum dan persoalan hukum positif mengenai perihal pengaturan hukum yang berlaku pada suatu negara tertentu.
Untuk menemukan jawaban, pengertian mengenai badan hukum selalu dimulai dari pemahaman dan pendapat para sarjana hukum. Pendapat Maijers yang membatasi bahwa badan hukum itu sesuatu yang menjadi pendukung hak dan kewajiban. Sedangkan Logemann memberikan pemahaman yang menyebutkan bahwa badan hukum adalah suatu personifikatie (personifikasi) sebagai bestendigheid (perwujudan atau penjelmaan) hak dan kewajiban. R. Rochmad Soemitro, mengemukakan  bahwa badan hukum (rechtspersoon) suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi. Menurut J.J Dormeier mengenai istilah badan hukum diartikan sebagai Persekutuan orang-orang  yang di dalam pergaulan hukum bertindak selaku seorang saja. Hal ini terlihat pada Yayasan.[5]
Pendapat para serjana tersebut mengenai definisi badan hukum dapat diklasifikasi pada beberapa kriteria sebagai pembatas berupa :
1.          Perkumpulan orang (organisasi) ;
2.          Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking);
3.          Mempunyai harta kekayaan tersendiri.
4.          Mempunyai Pengurus.
5.          Dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan. 
Sehubungan dengan pertanyaan selanjutnya siapa badan hukum ? Maka jawabannya bertitik tolak dari jawaban siapa subjek hukum menurut hukum positif yang berlaku pada suatu negara tertentu. Contohnya adalah Yayasan sebagai badan hukum diatur yang mendekati sama dengan dengan pemahaman Yayasan sebagai badan hukum menurut ketentuan Pasal 365 BW.
Kehadiran Yayasan sebagai badan hukum dalam prakteknya memang sudah cukup lama dikenal. Namun politik hukum Indonesia yang mengatur Yayasan secara khusus melalui kondifikasi hukum, baru terlaksana pada saat Pemerintah bersama perlemen dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat membahas secara lengkap keberadaan  Yayasan sebagai lembaga, yang memang harus di atur secara jelas baik keberadaan dan kedudukannya.  Maka pada tanggal 6 Agustus 2001 diundangkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan,  Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132, untuk selanjutnya disebut UU Yayasan.  Diundangkannya UU Yayasan pada tanggal 6 Agustus 2016 tidak berarti UU Yayasan tersebut berlaku pada saat itu juga. Menurut ketentuan Pasal 73, Undang-undang ini mulai diberlakukan terhitung satu tahun sejak tanggal diundangkan, gunanya agar UU ini dapat diterapkan secara efektif dalam rangka sosialisasi kepada para pendiri Yayasan untuk melakukan proses perubahan dan penyesuaian.     
Yayasan sebagai badan hukum dibentuk dan pendiriannya untuk menempatkan suatu keinginan masyarakat diluar sesuatu untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, dengan menempatkan prinsip-prinsip idiil, yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat banyak, diluar konsep komersial yang selama ini berjalan.
Keinginan tersebut memberikan suatu hasil besar kepada masyarakat untuk menempatkan nilai-nilai kebersamaan pada diri manusia, dengan batasan sebagai makluk sosial, dan kemasyarakatan menjadi suatu norma dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu, lembaga Yayasan menjelma dalam bentuk pemikiran sebagaimana dimungkinkan penerapan keseimbangan dalam proses interaksi yang berkesinambungan yang memberikan pemahaman, pemikiran, bahwa disamping bertujuan berkelompok dalam suatu entitas mencari keuntungan, manusia sebagai makluk tidak lepas pada nilai-nilai sosial, kemanusian dan kemasyarakatan.  Itulah  menjadi landasan gerak dari Yayasan sebagai badan atau lembaga.
Penempatan Yayasan  sebagai lembaga, tidak terlepas dari eksitensi dalam menempatkan nilai-nilai idiil sebagai pijakan utama, yang membedakan dengan lembaga lain. Dimana lembaga lain diluar Yayasan, selalu berorientasi mencari keuntungan. Dimana keuntungan adalah bagian pencapaian prestasi utama. Sedangkan keuntungan bagi Yayasan bukanlah yang  utama, melainkan bagaimana keuntungan yang didapat selalu berpijak pada kepentingan nilai-nilai yang lebih besar,  baik pada nilai-nilai kemanusiaan, sosial dan kemasyarakatan. Itulah yang membedakannya.
Perkembangan Yayasan yang ada saat ini, memang tidak terlepas dari sejarah keberadaan Yayasan. Yayasan  merupakan bagian dari kebijakan politik hukum yang  dikarenakan akibat  ketidak puas memandang lembaga lain. Di mana Yayasan sebagai lembaga yang selalu ditentukan dari kebiasan-kebiasaan yang berkembang ditengah masyarakat. Saat itu hanya  diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau yang lebih dikenal dengan sebutan Burgerlijk Wetboek (BW). Hal ini terlihat dari ketentuan   Pasal 365, 899, 900, dan 1680 BW.
Pasal 365 BW, berbunyi :
Dalam segala hal bila mana Hakim harus mengangkat seorang wali, maka perwakilan itu boleh diperintahkan pada suatu perhimpunan berbadan hokum yang bertempat kedudukan di Indonesia, kepada suatu Yayasan atau lembaga amala yang bertenpat kedududkan disini pula, yang mana menurut anggaran dasarnya, akta-akta pendiriannya tau reglemen-reglemennya berusaha memelihara anak-anak belum dewasa untuk waktu yang lama.

Pasal 899 BW, berbunyi :

Dengan mengindahkan akan ketentuan dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang ini untuk dapat menikmati sesuatu dari suatu surat wasiat, seseorang harus  telah ada, tatkala si yang mewariskan meninggal dunia.
Ketentuan ini berlaku bagi mereka yang menerima hak untuk menikmati sestau dari lembaga-lembaga

Pasal 900 BW, berbunyi :

Tiap-tiap pemberian hibah dengan surat wasiat untuk keuntungan badan-badan amal, lembaga-lembaga keagamaan, gereja-gereja atau rumah-rumah sakit, tak akan mempunyai akibatnya, melainkan sekedar pengurus badan-badan tersebut, oleh Presiden atau oleh suatu penguasa yang ditunjuk oleh Presiden, telah diberi kekuasaan untuk menerimanya.

Pasal 1680 BW, berbunyi :

Pengihahan-penghibahan kepada lembaga-lembaga umum atau lembaga keagamaan, tidak mempunyai akibat selain sekedar oleh Presiden atau penguasa-penguasa yang ditunjuk olehnya telah diberikan kekuasaan kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut, untuk menerima pemberian-pemberian itu.

Ketentuan-ketentuan tersebut walaupun tidak menerangkan keberadaan Yayasan sebagai lembaga, lebih menekankan pada sebuah lembaga yang tidak memakai nama. Yang mana pengertian lembaga sebagaimana yang dimaksud bukanlah Yayasan. Melainkan lembaga yang mendekati atau yang diperumpamaan seperti “Yayasan”, yang disamakan  dengan  wakaf, dan lembaga sosial lainnya.
 Lembaga-lembaga tersebut tetap eksis, dan berkembang dengan pesat dengan tidak mengidentikkan sebagai lembaga profit. Lembaga-lembaga yang tidak ada nama sebagaimana yang tercantum pada BW, menjadi akar perumpamaan sebagai Yayasan yang memiliki perbedaan dengan lembaga profit yang memang sudah dikenal sebelumnya, baik Perseroan Terbatas bernama naamloze vennootschap[6]. Juga adanya bernama Indonesische Maatshappij op Aandelen, disingkat  I.M.A ialah suatu lembaga yang diminta oleh pemerintah pada saat itu  diperuntukkan bagi orang-orang Bumiputera untuk mendirikan badan-badan hukum yang berlaku bagi hukum adat setempat sebagai tempat kedudukan. Hal ini terlihat dari ketentuan Staatsblad 39 No. 571 jo.717,  tentang penyelesaian badan-badan hukum Indonesia di muka Pengadilan. Hal lain dikenal adanya Perseroan Firma yaitu lembaga atau badan yang didirikan oleh lebih satu orang dalam suatu perjanjian dengan memasukkan sesuatu (barang atau uang) dengan maksud untuk melakukan perusahaan di bawah satu nama, dan membagi keuntungan yang didapatnya. Disamping itu ada lembaga dengan nama Perseroan Komanditer. Juga diartika sebagai lembaga kombinasi antara firma dengan naamloze vennootschap.[7]
  Akibat dari ketidak jelasan pengaturan sebuah lembaga pada saat itu, yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat yang berkonsepkan bukan untuk mencari keutungan dan menjadi  bagian cita-cita masyarakat yang hidup untuk kepentingan bersama pada tingkat kebersamaan, yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, dengan tidak memakai nama. Walaupun penggunaan istilah Yayasan sebenarnya juga bagian warisan pemerintahan Hindia Belanda dengan memakai sebutan (stichtingen) pada saat itu sudah menyatakan bahwa Yayasan sebagai badan hukum. Ini terlihat pada ketentuan Wet op Stichtingen van,  tertanggal 31 Mei 1956, mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1957. Ketentuan stichtingen ini juga telah di atur dalam ketentuan Het Nieuw Burgelijke wet Boek (NBW Nederland)[8].
Jika kita lihat perbandingannya bahwa sesuatu yang berbadan hukum yang lain dari ketentuan untuk mencari keuntungan, dalam sebuah kelembagaan yang menyerupai seperti Yayasan memang telah di atur secara kondifikasi sebagaimana terlihat di Inggris, yang telah mengenal Yayasan sejak tahun 1601 dalam ketentuan pengaturan Charitable Uses Acts of 1601. Sedangkan di Amerika Serikat  kelembagaan dari sebuah organisasi nirlaba diatur pada ketentuan Nonprofit Corporation Act. Dalam Revised nodel Nonprofit Corporation Act 1987, sebagai pengganti dari The old Model Act (Old Act) 1964.[9]
Ketentuan yang menjadi pertimbangan dari beberapa negara terhadap organisai nilaba, juga menjadi seuatu yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Walaupun pengaturannya tidak secara jelas disebutkan dalam ketentuan UU Hukum Perdata yang berlaku.
Perkembangan Yayasan yang begitu pesat pada saat itu, dibutuhkan payung aturan untuk menempatan sebuah fungsi pengaturan menjadi jelas terhadap organisasi nirlaba. Maka diundangkanlah  Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,  pada tanggal 6 Agustus 2001, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001, Nomor 112 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132, yang diberlakukan satu tahun kemudian pada saat UU ini disahkan, untuk selanjutnya disebut UU Yayasan. Untuk itu, pemahaman mengenai Yayasan dimulai dari pengertian Yayasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 UU Yayasan.
Pasal 1 angka 1 UU Yayasan menyebutkan bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Dari definisi Yayasan tersebut terdapat empat karakteristik yang membedakan Yayasan dengan badan hukum lainnya berupa :[10]
a.    Yayasan sebagai badan hukum.
b.   Mempunyai harta kekayaan tersendiri yang berasal dari pendiri untuk mencapai tujuan Yayasan.
c.    Tujuan Yayasan dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
d.   Tidak mempunyai anggota.
Penegasan mengenai definisi Yayasan, yang dipersamakan dengan Foundation bisa disimak menurut pendapat Bruce R. Hopkins, Jody Blazek[11] dalam sebuah pertanyaan yang sangat sederhana What is Private Foundation  ?
Foundation is there is no affirmative definition of the term private foundation. The statutory definition basically the a private foundation is a charitable organization this is not a public cahrity. Genercally,  a private foundation has four charcteristics :

a.   It is a charitable organization;
b.   It is initially foundation a from one source (usually an individual, a married cauple, a family, on a business);
c.    Its on going income derives from investment (in the nature of an endowment fund);
d.   It make grants to other charitable organization rather than operate its own program.

Pendapat Bruce R. Hopkins, Jody Blazek sebagaimana tersebut memiliki persamaan menurut Herline Budiono dengan Yayasan sebagai badan hukum di mana telah dipisahkan suatu harta kekayaan pribadi seseorang yang dipergunakan untuk sesuatu tujuan idiil dan pengurusnya diserahkan kepada suatu badan pengurus untuk dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab. Pada awalnya apabila seseorang berkeinginan untuk memisahkan harta kekayaan untuk tujuan idiil tersebut, jalan yang ditempuh adalah seseorang harus melakukan penghibahan dengan memakai beban (schenken onder een last).[12]
Hal yang sangat utama dalam pendirian Yayasan sebagai badan hukum yaitu dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal dengan tujuan mencapai prinsip idiil Yayasan  dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
 Perbuatan hukum memisahkan sebagian harta kekayaan tersebut menurut Prof. Sogar[13] mengadung makna adanya kesukarelaan dari para pendiri untuk melepaskan suatu kekayaan tersebut. Dengan memisahkan sebagian harta kekayaan, maka para pendiri maupun ahli warisnya tidak lagi berhak atas harta kekayaan yang dipisahkan, sebagaimana yang disyaratkan untuk menjadikan Yayasan sebagai badan hukum. Dengan demikian tidak ada orang atau badan  yang mengklaim dan berstatus pemilik atas suatu Yayasan yang didirikan. Hal inilah yang menjadi pijakan dalam penelitian ini.
Konflik ditubuh Yayasan selalu dimulai dari ketidak tahuan para pendiri maupun orang-orang pada organ Yayasan tentang pijakan moral dalam pendirian Yayasan. Karena dari segi karakteristik hal ini berbeda pada pendirian badan hukum profit lainnya. Memandang ketentuan-ketentuan yang tercantum pada UU Yayasan memberi fungsi, hak, dan kewajiban masing-masing pihak dengan menempatkan badan hukum Yayasan bergerak pada langkah-langkah idiil sebagaimana pada maksud dasar dan tujuan didirikan Yayasan yang bergerak dalam bidang sosial, keagamaan, dan kemanusian. Namun pada sisi yang lain Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya akan disesuikan dengan maksud dan tujuan. Perkataan Yayasan dapat mendirikan badan usaha dengan penyertaan modal 25 % dari seluruh nilai kekayaan Yayasan, akan menjadi permasalahan norma yang tidak tepat jika ditinjau pendirian Yayasan lebih menekankan pada prinsip-prinsip idiil. Walaupun penekanannya adalah pendirian badan usaha oleh Yayasan yang akan memberikan keuntungan pada Yayasan bukanlah sesuatu yang utama. Dimana keuntungan hanya diperuntukan bagi pengembangan dan terlaksananya prinsip idiil tersebut. Namun hal ini menunjukan ketidak konsitennya (in-konsistensi) jika di ditinjau dari prinsip dasar pendirian Yayasan.
Konsistensi sebuah peraturan menjadi hal yang sangat mendasar  dari penerapan peraturan tersebut sebagai media tegaknya sebuah aturan yang dijalankan. Hal ini bisa menjadi pijakan sebagaimana yang diungkapkan M. Isnaeni,  dikutip dari buku Herowati Poesoko, [14] yang menyebutkan bahwa aturan perundang-undangan yang tidak dialiri arus konsistensi, berarti citranya sendiri sudah tidak pernah pasti, maka sulit sekali untuk mengharapkan lahirnya kepastian hukum sebagai salah satu sendi utama dari aturan perundang-undangan tersebut.
Ketidak konsistenya UU Yayasan juga dapat terlihat dari penerapan Pasal 71 UU Yayasan yang menyangkut kewajiban bagi pendiri Yayasan yang telah ada sebelum diundangkan Yayasan untuk melakukan penyesuaian ke dalam UU Yayasan baik menyangkut Yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, atau Yayasan yang telah mempunyai ijin, maka Yayasan tersebut tetap diakui sebagai badan hukum. Dengan ketentuan syaratnya harus segera disesuiakan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya UU Yayasan ini, yang kemudian dirubah dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun pada saat diundangkannya UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115. Dari lewatnya jangka tersebut maka terhadap Yayasan yang belum menyesuaikan Anggaran Dasar Yayasan ke dalam UU Nomor 16 Tahun 2001 jo UU Nomor 28 tahun 2004, maka tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” didepan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat 4 UU Yayasan, dan Yayasan tersebut harus melikuidasi kekayaaan serta menyerahkan sisa hasil likuidasi kekayaan Yayasan tersebut kepada negara, sebagaimana dimaksud Pasal 39 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan. Ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 39 PP Nomor 63 Tahun 2008 tersebut dirubah melalui  Pasal 37 A,  Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan, yang menyebutkan asal saja Yayasan tersebut paling sedikit dalam jangka waktu 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuian Anggaran Dasar (AD) masih melakukan kegiatan sesuai Anggara Dasar, dan disamping Yayasan itu belum pernah dibubarkan. Jika melihat ketentuan tersebut di atas terdapat ketidak konsistenya dalam penerapan UU Yayasan dalam proses penegakan hukum Yayasan.
Diberlakukannya  UU Yayasan tidak lain memberikan jaminan adanya kepastian dan ketertiban hukum agar Yayasan dapat berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan berdasarkan prinsip-prinsip pengaturan tata kelola yang baik yang termuat dalam konsep Good Corporate Governance, bagi suatu badan atau lembaga baik yang akan bersifat memberi nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder.[15] 
Prinsip-prinsip tata kelola yang baik sebagaimana yang dimaksud dalam konsep Good Corporate Governance dapat diterapkan kepada Yayasan sebagai lembaga yang berbadan hukum. Penempatan prinsip-prinsip tersebut gunanya untuk menghindari penyimpangan tujuan idiil Yayasan selama ini dan juga mengindari konflik di internal organ Yayasan. Karena pendirian Yayasan oleh pendiri selalu dilandasi pada nilai-nilai sosial yang hidup dimasyarakat dengan menempatkan kebersamaan bagi pendirian Yayasan, disaat ketidak konsistennya aturan yang termuat pada UU Yayasan.
Penempatan prinsip tata kelola yang baik pada Yayasan yang harus perlu diperhatikan  demi terselenggaranya praktek Good Corporate Governance berupa keadilan (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), dan resposibilitas (responsibility). Dimana prinsip-prinsip tersebut bersifat mengikat dan memberikan pedoman kepada para stakeholders Yayasan untuk kedepannya demi menghindari timbulnya konflik ditubuh Yayasan.
 Namun segala yang menjadi utama  pendirian Yayasan dengan menempatkan prinsip tata kelola yang baik, bukan tidak mungkin adanya penyimpangan-penyimpangan pada fungsi keberadaan dan pendirian Yayasan.  Penyimpangan tersebut terlihat pada motivasi pendirian Yayasan, dengan melepaskan fungsi filosofi pendirian Yayasan sebagai badan hukum nirlaba, yang berbeda fungsi dan keberadaannya dengan badan-badan hukum lainnya.
Jika dikatakan pendirian Yayasan yang menempatkan bidang sosial, kemanusiaan dan keagamaan dalam tujuan yang bersifat idiil, tidak mencari keuntungan atau sebagai lembaga non komersil, bukan tidak mungkin pendirian Yayasan yang ada merupakan motivasi atau keinginan bagi pendiri untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Penekanan keuntungan dan atau keinginan komersial akan mengarahkan Yayasan tersebut pada badan-badan lainnya yang menyerupai pada badan-badan usaha yang ada, yang    pertentangan pada aturan-aturan hukum yang berlaku.
Untuk menghindari penyimpangan dari tujuan idiil Yayasan tersebut, disamping menghindari konflik ditubuh Yayasan, baik kepada pihak ketiga, perorangan, badan, dan organ Yayasan. Karena itu penempatan kepentingan dalam penerapan prinsip tata kelola yang baik sebagaimana yang tercantum dalam Good Corporate Governance, dapat menjadi pilihan penyelesaian permasalahan yang selalu timbul ditubuh Yayasan.
Konflik di tubuh Yayasan selalu dilatar belakangi oleh permasalahan-permasalahan dibidang kepentingan dari organ  Yayasan, baik itu pendiri, Pembina, pengurus dan pengawas. Disamping adanya konflik menyangkut kepentingan atas harta kekayaan Yayasan.  Maka penerapan dan pelaksanaan prinsip Good Corporate Governance menjadi pilihan utama dalam menyelesaikan segala permasalahan yang timbul di Yayasan, gunanya untuk memastikan bahwa organ Yayasan menjalankan tugasnya dengan semata-mata untuk mencapai tujuan Yayasan, dan bukan pada tujuan lainnya. Selain itu penerapan prinsip tersebut bisa memberikan kepastian bahwa organ Yayasan tidak melakukan pelanggaran hukum atau lalai dalam menjalankan jabatannya. Disamping pengaturan Yayasan sebagai mana telah disebutkan terdapat adanya ketidak singronnya pelaksanaannya, baik yang diatur dalam UU maupun pada aturan pelaksanaan dari Yayasan.

2.           RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik legal issues  sebagai permasalahan pada penelitian ini adalah :
1.   Implementasi prinsip tata kelola yang baik sebagai    keseimbangan dalam menghindari konflik ditubuh Yayasan.
2.   Penanganan konflik ditubuh Yayasan akibat adanya penyimpangan tujuan  Yayasan.

3.              TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan pada pokok permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:
1.   Menggali dan menganalisis  prinsip tata kelola yang baik pada Yayasan sebagai badan hukum.
2.   Menggali dan menganalisis timbulnya konflik dan mencari penanganan dari akibat adanya pembiaran penyimpangan tujuan idiil Yayasan.

4.               MANFAAT PENELITIAN
Secara teoritik, penelitian disertasi ini akan memberikan manfaat sebesar-besarnya berupa :
a.    Memberikan kontribusi keilmuan kepada perkembangan Ilmu Hukum tentang Yayasan sebagai badan hukum dan segala aspek hukum yang terjadi dalam hal menggali dan menganalisis terhadap prinsip tata kelola dengan menerapkan nilai-nilai keadilan (fairness), transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), dan resposibilitas (responsibility yang memang sangat dibutuhkan pada Yayasan sebagai lembaga nonprofit.
b.   Memberikan pemahaman begitu penting keberadaan Yayasan sebagai badan hukum penyandang hak dak kewajiban terhadap segala aspek hukum baik untuk kepentingan pendiri, Pengurus, Pengawas dan kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan Yayasan. Untuk menghidari konflik ditubuh Yayasan yang selalu terjadi dikarenakan mulai hilangnya pemahaman tujuan adiil Yayasan selama ini.
Sedangkan untuk kepentingan praktis, penelitian ini, akan memberikan manfaat :
a.    Terhadap sumbangan pemikiran dalam pengkaryaan keilmuan dibidang Yayasan, baik dari segi aturan dan penerapan aturannya.
b.   Sebagai masukan dalam pembaharuan UU Yayasan maupun peraturan pelaksanaannya.

5.    ORINSINALITAS PENELITIAN
Penulisan disertasi ini harus memiliki nilai orisinalitas jika ditinjau dari beberapa karya tulis para sarjana yang membahas dalam kajian Yayasan sebagai badan hukum dengan beberapa tinjauan yang berbeda sebagai acuan. Hal ini terlihat dari beberapa tulisan para sarjana dengan aspek permasalah yaitu :
-      Prof. Dr. Anwar Borahima, SH., M. Hum dengan judul : Kedudukan Yayasan di Indonesia, Eksistensi, Tujuan dan Tanggung Jawab Yayasan. Tulisan ini dengan mengangkat masalah mengenai eksistensi Yayasan yang telah ada sebelum diberlakukannya UU Yayasan, dan mengenai tanggung jawab Yayasan dan organ Yayasan apabila timbul tuntutan hukum sehubungan dengan Operasional Yayasan.
-      Dr. H. P Panggabean, SH., MS, dengan judul : Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan Termasuk Aset Keagamaan Dan Upaya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa. Tulisan ini mengangkat masalah mengenai memaparkan praktik peradilan dalam penanganan kasus yang berkaitan dengan aspek materiil dan atau aspek formiil pendirian suatu Yayasan yang berjalan sebelum adanya UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
-      Dr. Suharto, SH., MM, dengan judul : Membedah Konfli Yayasan Menuju Kontruksi Hukum Bermartabat. Tulisan ini mengangkat masalah mengenai persoalan kepastian dan ketertiban hukum Yayasan dan mengenai konflik kepentingan atas harta kekayaan Yayasan.
 Dari beberapa tulisan para sarjana tersebut yang tertuang dari hasil karya disertasi yang telah dipublikasikan. Jika dibanding penelitian  penulis pada disertasi yang ada saat ini yaitu ada perbedaan dari sudut pandang permasalahan dalam penyelesaian konflik ditubuh Yayasan yaitu dengan menerapkan prinsip tata kelola yang baik sebagai keseimbangan dalam menghindari konflik ditubuh Yayasan dan Penanganan konflik ditubuh Yayasan akibat adanya penyimpangan tujuan  Yayasan dengan menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance sebaga azas keseimbangan pada nilai-nilai nilai-nilai kesataraan dan keadilan (fairness), keterbukaan (transparency), pemberian pertanggung jawaban (accountability) dan tanggung jawab (responsibility).



6.           KERANGKA TEORI
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan pada tanggal 6 Agustus 2001, melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001, Nomor 112 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132. Menjadi pijakan besar mengenai perkembangan hukum di bidang Yayasan. Dimana UU Yayasan  memposisikan sebagai aturan yang mengatur secara khusus ketentuan badan hukum Yayasan. Hal ini terlihat dalam konsiderans menimbang pada uruf c menyebutkan bahwa dengan adanya UU Yayasan memberi jaminan kepastian dan ketertiban hukum agar Yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan dan akutabilitas kepada masyarakat.
Keberadaan UU Yayasan dalam gerak dan pelaksanaannya  tidak selalu berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dimana ada beberapa pasal pada UU Yayasan yang memiliki penafsiran yang keliru dari beberapa pihak tentang UU ini. Ini tergambarkan pada pejelasan UU Yayasan yang menyebutkan :[16]
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang diundangkan pada tanggal 16 Agustus 2001, sejak diberlaku pada tanggal 16 Agustus 2002 dalam perkembangannya ternyata belum menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat.

Disamping itu, terdapat beberapa substansi Undang-undang Yayasan dalam masyarakat masih terdapat berbagai penafsiran sehingga dapat menimbulkan ketidakpatian dan ketertiban hukum.

Perubahan atas Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta memberikan pemahaman yang benar pada masyarakat mengenai Yayasan, sehingga dapat mengembalikan fungsi Yayasan sebagai peranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu dibindang sosial, keagamaanm dan kemanusiaan.

 Namun perkembangannya UU ini belum menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum pada masyarakat terhadap fungsi keberadaan Yayasan, serta terdapat beberapa susbtansi yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran. Maka dipandang perlu untuk dilakukan perubahan, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,  pada tanggal 6 Oktober 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115, yang diberlakukan secara efektif satu tahun sejak tanggal diundangkan.
Yayasan sebagai salah satu badan hukum  memiliki aturan dalam perundang-undangan yang mengatur baik menyangkut proses pendirian, pengesahan, semuanya diatur pada UU Yayasan. Yayasan sebagaimana dimaksud pada UU tersebut adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan  untuk mencapai maksud tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota, sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 ayat 1. Dari definisi  Yayasan tersebut,  jelas menyebutkan bahwa Yayasan sebagai badan hukum memiliki tujuan tertentu yang berbeda dengan badan hukum lainnya.
Penekanan maksud dan tujuan Yayasan memiliki tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusian, menempatkan  Yayasan sebagai badan hukum yang bersifat nonprofit atau badan hukum yang tidak mencari keuntungan dengan menempatkan bidang-bidang tersebut pada nilai-nilai sosial, keagamaan dan kemanusian. Walaupun kenyataannya banyak Yayasan juga bergerak dibidang bisnis  sebagai sumber mata pencarian untuk mendatangan keuntungan. Dengan kata lain bisnis bagi Yayasan bukan merupakan tujuan, melainkan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Walaupun diakui selama ini bahwa Yayasan  sebagai badan hukum, sangat berbeda dari Perseroan Terbatas (PT), terutama dari segi tujuan.
Keberadaan UU Yayasan  dapat diartikan sebagai tonggak atau dasar bahwa Yayasan sebagai badan hukum telah ditempatkan sebagai lembaga yang pengaturannya telah diperjalas pada fungsi dan kedudukan ditengah masyarakat yang membutuhkannya.  Walaupun masyarakat telah mengenal lembaga ini cukup lama. Karena pendirian Yayasan pada saat itu hanya didasarkan hukum kebiasaan masyarakat yang berkembang.
Pada KUH Perdata atau Burgerlijk Wetboek (BW) telah mengatur beberapa ketentuan yang mendekati pengaturan mengenai Yayasan, baik pada  Pasal 365, 899, 900, 1680, dan Pasal 365 BW, kemudian pada Pasal 6 ayat 3 Pasal 236 Rv.  Pasal-pasal tersebut tidak satupun memberikan rumusan tentang pengertian Yayasan [17].
 Pengertian Yayasan pada dasarnya hanya merupakan pendapat para ahli dalam merumuskannya sebagaimana yang pernah diikemukakan oleh Paul Scholten, bukunya Ali Rido “ Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf”   mendefinisikan Yayasan adalah badan hukum yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak.  Pernyataan itu harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk tujuan tertentu, dengan penunjukkan, bagaimana kekayaan itu diurus dan digunakan. Untuk itu  Paul Scholten merumuskan Yayasan dengan ketentuan :[18]
1.   Mempunyai harta kekayaan sendiri, yang berasal dari suatu perbuatan pemisahan.
2.   Mempunyai tujuan sendiri (tertentu)
3.   Mempunyai alat perlengkapan (organisasi).
Yayasan yang didirikan  dalam pergaulan hukum diakui mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban sendiri, sebagai salah satu pihak dalam hubungan hukum dengan subyek hukum. Adanya kekayaan yang terpisah oleh pendiri Yayasan gunanya untuk mencapai tujuan dan merupakan sumber dari segala hubungan hukum.
Pendirian Yayasan secara aturan hukum sebagaimana yang di amanahkan  selalu berkaitan dengan arahan yang terdapat pada Garis-Garis Besar Haluan Negara khususnya pada tahun 1999 – 2004[19]. Dimana pembangunan hukum harus mewujutkan sistem Hukum Nasional yang menjamin tegaknya supermasi hukum dan hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran.
Dengan diberlakukannya UU Yayasan telah mencantumkan secara jelas syarat  pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud  Pasal 9  ayat 1, 2, 3,  yang berbunyi :
(1)  Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal.
(2)  Pendiri Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan akta Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.
(3)  Yayasan dapat didirikan berdasarkan surat wasiat.
Namun yang menjadi kendala saat ini, saat dikeluarkannya UU Yayasan adalah minimnya pemahaman dari para pendiri Yayasan terhadap arti pentingnya Yayasan sebagai badan hukum. Apalagi sebagian besar Yayasan yang didirikan  belumlah berbadan hukum, baik Yayasan yang bergerak dibidang sosial, keagamaan dan kemasyarakatan. Belum berbadan hukumnya Yayasan maka keberadaan Yayasan tersebut belum sempurna dimata hukum.
Nilai dasar dari hukum yang ideal adalah memberikan kepastian hukum. Karena kepastian hukum tidak hanya persoalan masalah legalitas saja, melainkan bagaimana menempatkan kepastihan hukum itu pada tatanan kepatutan dan keadilan, untuk menemukan keseimbangan dalam penerapannya.



 A. Teori Badan Hukum
Kehadiran badan hukum dalam pergaulan hukum dimasyarakat, terlihat sejak abad 19 yang lalu sampai  sekarang, telah menarik perhatian para ahli-ahli hukum. Berbagai tokoh dan pendukung dari aliran mazhab ilmu hukum telah mengemukakan pendapat mengenai eksistensi badan hukum  sebagai subyek hukum disamping manusia. Sejauh ini persoalan badan hukum menjadi penelaahan filsafat hukum. Hal ini menjadi tugas filsafat hukum  untuk mengetahui hakikat dari apa yang disebut badan hukum. Hasil pemikiran tentang hakikat badan hukum melalui filsafat hukum dirumuskan dalam bentuk asas, nilai atau teori-teori. Untuk itu, bentuk sumbangan yang berharga dari filsafat hukum bagi pemecahan masalah terhadap badan hukum tersebut adanya teori-teori tentang badan hukum.
Teori-teori badan hukum yang ada, sebenarnya dapat dihimpun pada dua golongan  atau pandangan yaitu :[20]
1.   Yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud yang nyata,  yang selalu diidentikan dengan manusia.
2.   Yang menganggap, bahwa badan hukum itu tidak sebagai wujud  yang nyata, tetapi badan hukum hanya merupakan  manusia yang berdiri di belakang badan hukum tersebut, artinya jika badan hukum tersebut melakukan kesalahan, hak itu hanyalah kesalahan manusia-manusia yang berdiri dibelakang badan hukum tersebut secara bersama-sama
Mengenai perwujutan dari badan hukum sudah lama menjadi persoalan. Ali Ridho mengatakan, bahwa selama belum dapat diketemukan suatu pandangan yang tepat dan benar di dalam metode dari bentuk-bentuk pengertian  dan tafsiran peraturan perundang-undangan khususnya mengenai badan hukum, maka selama itu  tetap menjadi silang pendapat oleh para ahli. Karena itu, yang mendorong terbentuknya suatu pengertian badan hukum adalah, bahwa manusia dalam hubungan hukum privat tidak hanya berhubungan terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap persekutuan perdata tesebut.[21]
Dalam sejarah perkembangan badan hukum dewasa ini, ada beberapa teori tentang badan hukum yang dipergunakan dalam ilmu hukum dan perundang-undangan, yurisprudensi serta doktrin. Karena itu untuk mencari dasar-dasar dari badan hukum, dapat dilihat dari beberapa teori :
a.    Teori Fiksi
b.    Teori Organ,
c.     Teori Harta Kekayaan.
d.    Teori Propriete celeective dari Planio,

B. Keseimbangan Yayasan
Undang-undang Yayasan sebagaimana diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2001,  kemudian dirubah melalui UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 Tentang Yayasan, Lembaran Negara Republik Idonesia Tahun 2004 Nomor 115, Dan juga dikeluarkannya  Peraturan Pemerintah Nomot 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan, dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4894. Maupun  Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan. Sedangkan yang terbaru dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan.
Diberlakukannya UU Yayasan saat ini dapat memberikan kepastian dan ketertiban, agar Yayasan tersebut dapat berfungsi dalam menjalankan maksud dan tujuannya dengan menempatkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.
 Penempatan prinsip-prinsip transparansi dan akutabilitas sesuatu yang sangat diharapkan agar terwujut adanya prinsip Good Corporate Governance yang diperuntukkan pada perusahaan-perusahaan. Pertanyaan yang sangat mendasar adalah apakah prinsip Good Corporate Governance ini dapat diterapkan pada Yayasan ?  Karena pada dasarnya prinsip Good Corporate Governance terdapat nilai-nilai kesataraan dan keadilan (fairness), keterbukaan (transparency), pemberian pertanggung jawaban (accountability) dan tanggung jawab (responsibility).
Secara definitif penerapan Good Corporate Governance untuk selanjutnya disinkat GCG merupakan suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptkan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Penerapan prinsip GCG di Indonesia dapat diartikan sebagai konsep pengelolaan perusahaan yang baik. Ada dua hal yang ditekankan dalam konsep ini. Pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar atau akurat dan tepan pada waktunya. Kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclousure) secara akurat, tepat waktu dan tranparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder.
Penerapan prinsip GCG dalam dunia usaha saat ini merupakan suatu tuntutan agar perusahaan-perusahaan tersebut dapat tetap eksis dalam persaingan global. Dimana penerapan GCG memiliki suatu tujuan-tujuan strategis berupa :
1.   Untuk dapat mengembangan dan meningkatkan nilai perusahaan;
2.   Untuk dapat mengelola sumber daya dan resiko lebih efektif dan efisien;
3.   Untuk dapat meningkatkan disiplin dan tanggung jawab dari organ perusahaan demi menjaga kepentingan para stakeholder perusahaan.
4.   Meningkatkan kontribusi perusahaan khususnya perusahaan-perusahaan terhadap perekonomian nasional;
5.   Meningkatkan investasi; dan
6.   Mensukseskan program privatisasi perusahaan-perusahaan pemerintah.
 Dari berbagai ketentuan tersebut, walaupun adanya penekanan dimana penerapan GCG hanya diperuntukan pada perusahaan profit oriated, menjadi lain jika diterapkan prinsip tersebut pada Yayasan sebagai lembaga yang berbadan hukum.
 Penempatan prinsip-prinsip tersebut, merupakan suatu mekanisme pengaturan tentang tatacara pengelolaan perusahaan atau badan berdasarkan rules yang benar, dengan menjalankan fungsi-fungsi anggaran dasar (articles of association), serta aturan-aturan pada Undang-Undang maupun pada aturan peralihannya. Memberikan hubungan kesinambungan mengenai organ-organ yang ada pada Yayasan, baik Pembina, Pengurus dan Pengawas. Pada prinsipnya pemakaian istilah good corporate governance yaitu penerapan prinsip manajemen badan atau perusahaan untuk mengelola perusahaan atau badan secara baik, benar dan penuh integritas.[22]
Penerapan tata kelola yang baik sebagaimana tergambarkan pada prinsip good corporate governance, tidak hanya diperuntukkan pada badan hukum Perseroan Terbatas,  namun hal ini juga dapat diterapkan pada Yayasan sebagai badan hukum. Satu cara yang bisa memberikan masuknya prinsip tata kelola yang baik pada badan hukum adalah memberikan nilai-nilai keseimbangan bagi setiap organ Yayasan dengan selalu menekankan pentingnya penempatan nilai-nilai adiil pada Yayasan. Karena pendirian Yayasan sebagaimana yang diamanahkan oleh UU sangat berbeda dengan badan hukum lainnya yang memang diorientasikan pada mencarian keuntungan yang sebesar-besarnya.
Good Corporate Governance sebagai tata kelola marupakan tema yang tepat untuk pengendalian (control)  dan pengaturan (regulate) sehingga mampu menjelaskan proses yang terjadi didalamnya[23]. Pada hal ketentuan tata kelola badan-badan hukum yang harus memenuhi nilai-nilai pengendalian dan pengaturan untuk memberikan keseimbangan pada badan-badan hukum tersebut.  Sehingga akan mengurangi timbulnya konflik ditubuh Yayasan selama ini yang sering terjadi. Karena konsep good coporate governance, sebagaimana yang pernah dikemukaan Daniri[24], pada badan hukum Perseroan Terbatas, tata kelola perseroan yang baik merupakan :
1.   Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran-peran Dewan Komisaris, Direksi, Rapat Umum Pemegang Saham denganstakeholder lainnya.
2.   Suatu sistem check and balance yang mencakup perimbangan kewenanangan atas pengendalian perseroan yang dapat membatasi munculnya dua peluang, yaitu pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan asset perseroan.
3.   Suatu proses yang tranparan atas penentuan tujuan perseroan, pencapaian dan pengukuran kinerjanya.
Penerapan konsep good corporate governance yang pada mulanya diperuntukan pada Perseroan Terbatas, hal ini dapat juga diterapkan pada Yayasan dalam melaksanakan tata kelola badan sesuai dengan standars yang ditetapkan oleh anggaran dasar Yayasan dan UU Yayasan maupun peraturan pelaksanaanya.
Karena timbulnya konflik di Yayasan selalu dikarenakan adanya  ketidak seimbangan peran oleh masing-masing organ, baik antara pendiri, Pembina, Pengurus dan Pengawas berakibat konflik di Yayasan selalu dilatarbelakangi oleh kebijakan-kebijakan Yayasan saling bertentangan. Apalagi konflik ini mengarah hubungannya kepada pihak ketiga, yaitu orang-orang yang ditugaskan sebagai pelaksana kegiatan pengurus, yang juga merasa berkepentingan terhadap Yayasan.
Disatu sisi, bahwa penempatan prinsip-prinsip keseimbangan pada Yayasan  mulai saat pendirian Yayasan, peran-peran organ Yayasan, dan juga penerapan hubungan Yayasan terhadap pihak-pihak, dalam menghidari konflik yang selama ini sering terjadi di antara pihak-pihak didalamnya, maupun penempatan beban tanggung jawab pada saat Yayasan belum berbadan hukum maupun pada saat Yayasan sudah berbadan hukum.
Penempatan beban tanggung jawab ini sudah terlihat pada saat mulai adanya pemisahan harta pribadi dari pendiri Yayasan untuk kepentingan pendirian Yayasan, yang gunanya untuk menentukan mana milik pribadi dan yang bukan milik pribadi pada saat Yayasan dijalankan.
Proses tanggung jawab ini pada Yayasan dapat juga melakukan pengkajian dengan melaksanakan transplantasi melalui doktrin-doktrin moderen dalam hukum perusahaan sebagai bagian penyelesaian sengketa Yayasan dengan menempatkan pada fungsi keseimbangan proses tanggung jawab melalui prinsip doktrin Piercing the Corporate Veil atau yang diistilahkan juga Lifting the Corporate Veil. Menurut Munir Fuadi[25] agar suatu Piercing the Corporate Veil, secara hukum di jalankan dengan memenuhi ketentuan :
1.   Terjadinya penipuan.
2.   Didapat suatu ketidakadilan.
3.   Terjadinya suatu penindasan (oppression)
4.   Tidak memenuhi unsure hukum(illegality).
5.   Adanya dominsi pemegang saham yang berlebihan.
6.   Perusahaan merupakan alter ego  dari pemegang saham mayoritasnya. 
Disamping itu juga, harus mengkaji apakah penerapan doktrin-doktrin moderen lainnya dapat disesuaikan pada konsep Yayasan ?  Melalui doktrin-doktrin perseroan berupa, Ultravires, Fiduciary Duty, liability Promotors, Busines Judgement, Corporate opportunity, Minorty Shareholders Protection. Dan  Self Dealing.[26]
 Penerapan prinsip-prinsip keseimbangan pada  Yayasan sebagai badan hukum, dalam telaah penyelesaian konflik ditubuh Yayasan dalam penerapan prinsip idiil Yayasan. Bisa menjadikan proteksi Yayasan dari unsur-unsur kejahatan seperti, money laundering, cyber crime dari berbagai jenis kejahatan canggih lainnya yang tidak mungkin terjadi tanpa adanya bantuan dari mereka yang memiliki profesionalisme.  
Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Muladi [27] pada Kongres PBB V tentang Pencegahan Kejajatan dan Pembinaan Pelanggaran Hukum (The Prevention of Crime and Treatment of Offender) tahun 1975, yang kemudian dipertegas kembali dalam kongres PBB VII tahun 1985, menunjukkan bahwa terdapat kejahatan bentuk baru yang dilakukan oleh korporasi yang digerakkan oleh pengusaha yang membawa dampak negative pada perekonomian Negara yang bersangkutan.
Kejahatan yang dilakukan korporasi dengan mengatas namakan lembaga dapat saja terjadi jika nilai-nilai keseimbangan pada lembaga tersebut tidak dapat berjalan. Untuk itu dibutuhkan peraturan yang secara khusus mengatur tentang pentingnya tranparansi dan akuntabilitas sebagai medianya[28].
Selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan Yayasan. Pengelolaan Yayasan tidak saja mencakup tindakan pengurusan oleh organ pengurus, tetapi juga segenap tindakan yang dilakukan organ lain yakni pembina dan pengawas. Sekalipun tiga organ Yayasan mempunyai kewenangan dan tanggung jawab berbeda namun semua tindakan yang dilakukan adalah untuk kepentingan Yayasan. Prinsip transparansi dan akuntabilitas wajib dijalankan oleh ketiga organ pada Yayasan.
Urgensi tranparansi dan akuntabilitas diperlukan untuk memastikan bahwa organ Yayasan dalam menjalankan tuganya semata-mata untuk mencapai tujuan Yayasan, dan bukan tujuan lain. Sebagai bagian  dari pilar good governance,  transparansi dan akuntabilitas tidak saja perlu diterapkan oleh organ publik, tetapi juga pada organ privat. Sekalipun Yayasan adalah organ privat, terdapat tuntutan oleh stakeholder agar kekayaan Yayasan tidak digunakan untuk tujuan lain oleh organ  Yayasan selain dari pada tujuan sebagaimana dituangkan dalam anggaran dasar Yayasan.
Sekalipun dalam organ Yayasan terdapat pengawas, dimana ketiadaan transparansi  potensial mengakibatkan pemanfaatan kekayaan Yayasan yang tidak akuntabel. Bukan tidak mungkin terjadi persekongkolan oleh ketiga organ yang merugikan Yayasan. Transparansi dan akuntabilitas sebagaimana tersebut adalah sebagai alat kontrol oleh publik atas kinerja yang dilakukan oleh organ Yayasan dan sekaligus untuk melindungi kekayaan Yayasan tidak disalah gunakan.
Transparansi dalam pengelolaan Yayasan setidaknya mencakup dua hal sebagaimana yang pernah diungkapkan Oleh Prof. Sogar [29]yaitu adanya pengumuman dalam Tambahan Berita Negara atas Anggaran Dasar, dan penguman laporan tahunan oleh Yayasan. Yang pertama adalah adanya konsekuensi bahwa Yayasan sebagai badan hukum. Dengan adanya pengumuman dalam Tambahan Berita Negara, maka publi dapat mengakses informasi atas suatu pendirian Yayasan, apa Yayasan tersebut telah terdaftar dalam daftar Yayasan berbadan hukum oleh Kantor Kementrian Hukum dan HAM RI. Sedangkan terkait pengumunan laporan tahunan, masyarakat atau publik dapat memperoleh informasi yang berhubungan dengan keadaan dan kegiatan Yayasan.
Apalagi UU Yayasan dalam penjelasannya telah memperhitungkan kemungkinan yang terjadi dari bahwa kecendrungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk berlindung di balik status badan hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah pengembangan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus dan pengawas. Sejalan dengan kecendrungan tersebut timbul pula berbagai masalah, baik masalah yang berkaitan dengan kegiayan Yayasan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan yang tercantum pada Anggaran Dasar Yayasan, sengketa antar pengurus dengan pendiri atau pihak lain, maupun adanya dugaan bahwa Yayasan digunakan untuk menampung kekayaan yang berasal dari perbuatan melawan hukum.[30]

7.           METODE PENELITIAN
a.        Type Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Dimana penelitian hukum normatif lazim dilakukan dalam kegiatan pengembangan Ilmu Hukum, dengan istilah lain disebut Dogmatika Hukum (Rechtsdogmatiek) ialah suatu ilmu yang mencakup kegiatan menginvetarisasi, memaparkan dan menginterprestasi, mensistematisasi dan juga mengevaluasi keseluruhan hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat dan negara tertentu dengan bersarankan konsep-konsep, pengertian-pengertian, teori-teori, klasifikasi-klasifikasi yang dibentuk dan dikembangkan khusus untuk melakukan semua kegiatan tersebut.
Yang menjadi masalah inti dari dalam Ilmu Hukum adalah menentukan apa yang menjadi hukumnya bagi situasi konkret. Untuk itu diperlukan proses penalaran hukum (legal reasoning), yaitu metode berpikir yuridik untuk mengindentifikasi, berdasarkan  tatanan hukum yang berlaku.[31] Semakin menjadi benar sebagaimana yang disampaikan oleh Peter Mahmud Marzuki berdasarkan keilmuan ilmu hukum tersebut menguktip dari pendapat Jan Gijssels dan Mark van Hoecke dalam bukunya membagi ilmu hukum menjadi tiga lapisan yaitu, rechtsdogmatiek (Dokmatig Hukum), rechtteorie (Teori Hukum)dan rechtsfilosie (filsafat Hukum). Yang pada kenyataannya, bahwa ilmu hukum mempunyai dua aspek yaitu aspek praktis dan aspek teoritis. Mengingat hal tersebut, dalam penelitian ilmu hukum dibedakan menjadi penelitian untuk keperluan praktis dan penelitian untuk kajian akademis. Penelitian untuk tujuan praktis  dilakukan bagi kepentingan klien dan sesama praktisi hukum. Sedangkan untuk kajian akademis, penelitian dilakukan bagi dunia akademis dan pembuat undang-undang. Hasil dari penelitian untuk keperluan aspek praktis berupa adanya pendapat hukum. Sedangkan hasil penelitian untuk kajian akademis berupa karya akademis baik dalam bentuk tesis, disertasi, artikel dan jurnal hukum dan naska akademis dalam proses menyusunan rancangan undang-undang.[32] Maka hasil akhir dari penelitan tersebut dapat menjawab makna apakah dapat ditemukannya teori hukum baru, atau menemukan konsep baru terhadap hal-hal yang dipandang telah mapan dalam ilmu hukum.
b.        Pendekatan Masalah
        Penelitian hukum ini memadukan tiga pendekatan utama (Approach) yaitu pendekatan perundang-undangan(statute approach),  pendekatan Konseptual (conceptual approach), maupun pendekatan perbandingan (comparative approach) dan akan dikembangkan pada pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan “statute” diawali dari suatu konstitusi dan aspek-aspek hukum serta konsep-konsep hukum terhadap undang-undang ikutannya, baik dalam bentuk Undang-Undang maupun Peraturan Pelaksanaanya, berupa : Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang  Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan, Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang  Tentang Yayasan, dan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan.
Sedangkan pada pendekatan konseptual yaitu untuk membatu menemukan asas-asas hukum dan konsep-konsep hukum yang lebih cocok yang melandasi suatu norma-norma hukum tersebut yang ada saat ini jika dihubungkan pengaturan Yayasan sebelum diberlakukannya UU Yayasan, yang pada mulanya Yayasan dalam pendirian hanya didasari kebiasan-kebiasan yang berlaku pada saat itu, dengan menempatkan Yayasan sebagai badan hukum yang memiliki perbedaan jika dibandingkan pada badan hukum lainnya baik itu, Perseroan Terbatas, Koperasi dan Perkumpulan. Pada pendekatan konseptual yang memiliki banyak pengertian pada ilmu hukum  khususnya dalam menempatakan keberadaan Yayasan sebagai badan hokum dalam prosesnya apakah  secara konsesi dalam Undang-undang, campuran atau melalui Yurisprudensi, yang semuanya akan diperjelas kedudukannya.
Pada pendekatan perbandingan, mengkaji lebih dalam dan membandingkan dari segi diberlakukannya peraturan Yayasan atau dengan sebutan lain sebagai lembaga non profit dengan istilah Foundation dari suatu Negara tertentu secara mikro atau  hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu lainnya.
Sedangkan pada pendekatan kasus, selalu dimulai dengan mengkaji dan menganalisis berbagai putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, atau mengikat (inkrach van gewijsde)  sebagai yurisprudence yaitu dengan mengkaji apa yang menjadi alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusan yang dikenal sebagai ratio decidendi.[33]
c.        Langkah Penelitian
  Langkah penelitan ini dimulai adanya isu hukum terhadap diberlakukannya UU Yayasan yang ada saat ini. Saat diundangkannya UU No. 16 tahun 2001 dan dirubah melalui UU No. 28 tahun 2004, dan juga beberapa peraturan pelaksanaannya dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2013. Namun kenyataannya Yayasan sebagai badan yang bercirikan dan nonprofit, dimana tujuan keuntungan bukanlah sebagai utama, melainkan penempatan Yayasan sebagai wadah perjuangan dalam penempatan nilai-nilai sosial, kemasyarakatan dan keagamaman. Oleh karena itu karena berdasarkan definisi Yayasan sebagai badan hukum yang terdiri dari atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Bahwa penekanan pendirian Yayasan pada bidang sosial, keagamaan dan kemanusian, menjadi ciri utama pendirian Yayasan jika dibandingkan pada badan hukum lainnya. Namun disatu sisi UU Yayasan memberi kemungkinan pada Yayasan untuk membuka usaha yang sejenis dengan maksud dan tujuan Yayasan. Batasan dan yang memungkinkan Yayasan untuk membuka badan usaha yang sejenis, nantinya akan melanggar norma pendirian Yayasan dengan menempatkan prinsip-prinsip idiil pada Yayasan. Maka untuk itu  dibutuhkan nilai  transparansi dan akuntabilitas pada Yayasan. Penerapan nilai-nilai transparansi dan akuntabilitas terdapat pada prinsip tata kelola aturan yang baik pada badan hukum Good Corporate covernance  yang khususnya ditujukan pada badan hukum profit dan singkronkan pada badan hukum non profit apakah hal ini dapat dijalankan dalam proses menuju keseimbangan terhadap pelaksanaan organ Yayasan yang terdiri, pembina, pengurus dan pengawas dan samping  untuk menghindari timbulnya konflik baik antar organ Yayasan, pihak ketiga dan konflik kepada lembaga yang sejenis lainnya.

d.        Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer yang dimaksud adalah peraturan-peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sedangkan bahan hukum sekunder meliputi bahan-bahan yang mendukung bahan hukum primer, seperti buku-buku teks, artikel dalam berbagai majalah ilmuah atau jurnal hukum, makalah-makalah, dan literature pendapat para sarjana (doktrin).
Bahan-bahan hukum itu didapat melalui lembaga-lembaga penerbitan baik pemerintah atau swasta, baik di dalam maupun diluar negeri, melalui internet, pertemuan ilmiah, seminar, lokakarya, dan lainnya.

8.           SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan disertasi ini terbagi dari empat Bab, yang mana dua Bab membahas segala permasalahan dari disertasi ini yang menekankan pentingnya penerapan prinsip transparansi dan akuntabillitas dalam pengelolaan Yayasan yang harus disesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku khususnya UU Yayasan dan peraturan pelaksanaannya. Yang mana Yayasan sebagai badan hukum tidak terlepas timbulnya permasalahan konflik, yang didasari pada saat  pendirian Yayasan maupun pada saat Yayasan sedang berjalan. Fakta menunjukan kecendrungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk berlindung di balik status badan hukum Yayasan, yang mana tidak hanya digunakan sebagai wadah pengembangan kegiatan sosial, keagamaan, kemanusian, melainkan juga bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pengurus, dan pengawas. Maupun permasalahan lainnya.
Bab 1 (satu) merupakan pendahuluan sebagai arah apa yang akan ditulis pada disertasi ini, pada saat merumuskan permasalahan yang ada, dimana bab ini sebagai batasan penulisan pada disertasi ini, yang membedakan antara penulis dengan penulis yang lain yang berbicara tenyang Yayasan sebagai badan hukum. Begitu juga tentang tujuan dan manfaat pada penulisan disertasi. Yang jelas tujuan pada disertasi ini, yaitu menggali dan menganalisi setiap yang terdapat pada rumusan masalah  prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan Yayasan maupun mencari formulasi dalam penanganan konflik ditubuh Yayasan dikarenakan adanya pengingkaran pada prinsip idiil dari Yayasan tersebut. Sedangkan pada manfaat penulisan disertasi yaitu ikut serta memberikontribusi pengembangan keilmuan dibidang Yayasan sebagai badan hukum.
Sedangkan pada Bab II (dua) yaitu pembahasan pada penerapan prinsip tata kelola yang baik pada Yayasan, sedangkan pada Bab III membahas masalah penerapan hukum dalam penanganan dalam penanganan konflik ditubuh Yayasan karena adanya penyimpangan dari tujuan idiil Yayasan.
Pada Bab IV, berupa kesimpulan dan saran dari pembahasan pada Bab II dan Bab III, apa yang menjadi kesimpulan dan saran pada penulisan disertasi ini.
9.    RENCANA DAFTAR ISI
PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK DALAM MENGHINDARI PERGESERAN TUJUAN IDIIL YAYASAN
 SEBAGAI BADAN HUKUM

BAB I. PENDAHULUAN

BAB II. MAKNA DAN FUNGSI YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM

A.   SEJARAH PENDIRIAN YAYASAN
1.   Yayasan Sebagai lembaga
2.   Pengaturan Yayasan Sebelum dan Sesudah di Berlakukannya UU Yayasan.
3.   Status Badan Hukum  Yayasan
4.   Membandingkan Yayasan Dengan Badan Hukum lainnya

B.   YAYASAN SEBAGAI LEMBAGA YANG BERBADAN HUKUM
1.   Teori Badan Hukum
2.   Landasan Terbentuknya Yayasan Selaku Berbadan Hukum
3.   Manfaat Yayasan Berbadan Hukum
4.   Membandingkan Yayasan Indonesia dengan Yayasan Negara Lain
C.   TUJUAN PENDIRIAN YAYASAN
1.   Yayasan Untuk Kepentingan Bersama
2.   Maksud Dan Tujuan Yayasan
D.  TANGGUNG JAWAB DAN TANGGUNG GUGAT ORGAN YAYASAN
1.   Peran Pendiri Yayasan
2.   Keberadaan Pembina
3.   Tanggung Jawab Penggurus
4.   Keberadaan Pengawas Yayasan
5.   Tanggung Gugat Organ Yayasan
BAB III. IMPLEMENTASI PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK SEBAGAI KESIMBANGAN PADA YAYASAN
A.   DASAR HUKUM DAN PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK (Good Corporate Governance)
1.   Dasar Hukum Prinsip Tata Kelola Yang Baik
2.   Landasan Terbentuknya Prinsip Tata Kelola Yang Baik
3.   Penerapan Prinsip Tata Kelola Yang Baik
B.   MANFAAT DAN TUJUAN PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK
1.   Manfaat Prinsip Tata Kelola Yang Baik
2.   Tujuan Prinsip Tata Kelola Yang Baik
C.   PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK PADA YAYASAN
1.   Penerapan Nilai-Nilai dari Prinsip Tata Kelola Yang Baik
2.   Hubungan Prinsip Tata Kelola Yang Baik dengan Coporate Social Responsibility (CSR)
D.  HUBUNGAN ORGAN YAYASAN DALAM KESIMBANGAN
1.   Antar Organ Yayasan dalam Penerapan Prinsip Tata Kelola Yang Baik
2.   Yayasan Sebagai Lembaga dan Penerapan Prinsip Tata Kelola Yang Baik
E.   PENERAPAN PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK PADA YAYASAN
1.   Keadilan (Fairness)
2.   Tranparansi (Transparency)
3.   Akuntabilitas (Accountability)
4.   Responsibilitas (Responsibilty)
F.   PENERAPAN KESEIMBANGAN DALAM PENGGUNAAN PRINSIP TATA KELOLA YANG BAIK YAYASAN
1.   Langkah-langka Timbulnya Ketidak Seimbangan Pada Pendirian Yayasan
2.   Organ dan Keseimbangan pada Prinsip Tata Kelola Yang Baik
G.  TUJUAN UTAMA PENERAPAN PRINSIP YAYASAN
1.   Menghindari Konflik
2.   Peran Yayasan untuk Pembangunan
3.   Keberadaan Yayasan sebagai lembaga
BAB IV. PENANGANAN KONFLIK PADA YAYASAN
A.   KONFLIK PADA YAYASAN
B.   LEMAHNYA KONTROL ANTAR LEMBAGA
C.   PERATURAN PERUNDANG-UNDAGAN
D.  PENANGAN KONFLIK
E.   YAYASAN DAN HARTA KEKAYAAN










































DAFTAR PUSTAKA

Adjie, Habib, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Bandung: Refika Aditama.

---------, 2008 Status Badan Hukum Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial,  Bandung:  Mandar Maju

---------, 2009, Yayasan Yang Menyelenggarakan Pendidikan Formal, Dan Mempunyai Izin, Penyelenggaraan Pendidikan Formal Yang Masih Berlaku Tapi Tidak Berbadan Hukum Untuk Melanjutkan satuan Pendidikan Formalnya Harus Mendirikan Badan hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM), Disampakan Dalam Acara Pembekalan Dan Penyegaran Dalam Rangka  Rapat Pleno Yang Diperluas Pengurus Ikatan Noatris Indonesia, Denpasar: 30 Desember.

---------, 2010, Relasi Dan Solusi Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008, Dengan Pendirian Yayasan (Baru) Paska Putusan MKRI Penyelenggara Pendidikan Formal Oleh Swasta Kembali Ke Yayasan, Disampaikan Acara Pembekalan Dan Penyegaran Pengetahuan Ikatan Notaris Indonesia, Batam: 2-3 Juli

Ali, Chidir, 1987, Badan Hukum, Bandung: Alumni.

Bahari, Adib, 2010, Prosedur Pendirian Yayasan, Jakarta, Pustaka Yustisia.

Borahima, Anwar, 2010, Kedudukan Yayasan di Indonesia, Eksistensi, Tujuan, dan Tangggung Jawab Yayasan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group

Budiono, Herlien, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, ,     Bandung: Citra Aditya.
Budiyano, Tri, 2011,Hukum Perusahaan Telaah Yuridis terhadap Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Salatiga, Griya Media

Chatamarrasjid, 2006, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, Bandung:, Citra Aditya Bakti

Fuady,Munir, 2005, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer,  Bandung: Citra Adtya Bakti.

-----------, 1994, Hukum Bisnis, Dalam Teori dan Praktek (buku kesatu), Bandung; Citra Aditya Bakti
----------,  2010, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti,

Hernoko, Agus Yudha 2008,  Hukum Perjanjian, Azas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta: LaksBang Mediatama.

Gautama, Sudargo, 1995, Komentar Atas Undang-Undang Perseroan Terbatas (Baru) Tahun 1995 No. 1 Perbandingan dengan Peraturan Lama, Bandung; Citra Aditya Bakti

Gunadi, Ariawan, Pasca Pembatalan UU BHP dan Akibat Hukum yang ditimbulkannya, Opini, Jakarta: Harian Ekonomi Neraca. 

Kansil, C.S.T, 1995, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum dalam Ekonomi), Jakarta; Pradnya Parmita.

Kansil, C.S.T dan  Christine S.T Kansil, 2009, Seluk Beluk Perseroan Terbatas, Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, Jakarta: Rineka Cipta.

Kohar, A 1984, Notaris Berkomunikasi, Bandung: Alumni.

-----------,  1983, Notaris, DalamPeraktek Hukum, Bandung: Alumni

Machsun, Miftachul,2009 Penyelenggara Pendidikan Formal Berikut Problem Yang Dihadapi Serta Solusinya, Disampakan Dalam Acara Pembekalan Dan Penyegaran Dalam Rangka  Rapat Pleno Yang Diperluas Pengurus Ikatan Noatris Indonesia, Denpasar:  30 Desember

Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media.

-------------, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana Prenata Media.

Mertokusumo, Sudikno, 2007 Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty.

------------,  2007, Mengenal Hukum,, Yogyakarta: Liberty,

-----------, 2012, Teori Hukum, Yogyakarta, cahaya Atma Pustaka
Muladi, Dwidja Priyatno, 2012, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi,  Jakarta, Kencana Prenada Media Group.

Nasution, Bahdar Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju.

Notodisoerjo, Soegondo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Panggabean H.P, 2012, Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan Termasuk Aset Keagamaan Dan Upya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian sengketa,Jakarta,  Permata.

Panggabean, Henry Pandapotan, 2008, Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan Hukum Perikatan, Bandung: Alumni
Prasetya, Rudi, 2012, Yayasan dalam Teori Dan Praktek, Jakata, Sinar Grafika.

Pramono, Nindyo, 2013, Hukum PT. Go Publik Dan Pasar Modal, Yogyakarta, Andi.

Purwasutjipto, 1992, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Bentuk Perusahaan, Jakarta: Djembatan.

Rasjidi, Lili, 1993, Filsafat Hukum, Apakah Hukum itu ?, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, 2007,  Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, , Bandung: Citra Aditya Bakti.

Rido, R. Ali Dkk, 1986, Hukum Dagang, tentang Aspek-aspek Hukum dalam Asuransi Udara, Asuransi Jiwa dan Perkembangan Perseroan Terbatas, Bandung: Remadja Karya.

-----------, 1988, Hukum Dagang, tentang Surat Berharga, Perseroan Firma, Perseroan Komanditer, Keseimbangan Kekuasaan dalam PT dan Penswastaan BUMN, Bandung: Remadja Karya.

-----------, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung; Almuni.

Raharjo, Satjipto, 2006,  Ilmu Hukum,  Bandung: Citra Aditya Bakti.

Suharto, 2009, Membedah Konflik Yayasan, Menuju Konstruksi Bermartabat, Yogyakarta, Cakrawala Media.

Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung; Refika Aditama

Sukardono, R, 1991, Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.

Sidharta, Arif, 1982, Hukum Dan Logika, Bandung; Alumni.

Sembiring, Sentosa, 2006, Hukum Perusahaan,, Bandung: Nuansa Aulia.

Salim, dan Budi Sutrisno, 2008, Hukum Investasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Suharnoko, 2004,  Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Prenada Media,

Sjahdeini, Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang, Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Lredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.    

Syahrani, Riduan, 2009, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum,, Bandung: Alumni.

Sianturi, Purnama Tioria, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak, Bandung: Mandar Maju.

Simamora, Yohanes Sogar, 2012, Hukum Kontrak, Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia, Surabaya, Leksbang Justitia Surabaya.

--------Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas dalam Kontrak Pemerintah di Indonesia (pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar, 2008, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga.

---------Karakteristik, Pengelolaan dan Pemeriksaan Badan Hukum Yayasan di Indonesia (Jurnal Rechts Vinding, Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012.

Sutiyoso, Bambang, 2007, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujutkan Hukum yang Pasti dan Berkadilan, Yogyakarta: UII Press

Untung, Budi, 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris., Yogyakarta: Andi Yogyakarta.

Usman, Rachmadi, 2003,  Perkembangan Hukum Perdata Dalam Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia,  2003, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tanya, Bernard L., Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2007, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: CV. Kita.


Peraturan Perundang-Undangan

UUD 1945.
KUH Perdata.
KUH Dagang.
Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi.
Undang-Undang RI Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang  RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2004 tentang  Perubahan Atas Undang-Undang  RI Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (telah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, pada tanggal 31 Maret 2010)

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan hukum

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2009 tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan Yang Menyelenggarakan Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah Sebagai Badan Hukum Pendidikan.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Mekanisme Pendirian Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara Atau Perguruan Tinggi, Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Sebagai Badan Hukum Pendidikan.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009. tertanggal 31 Maret 2010




 








[1] Artidjo Alkostar, M. Sholeh Amin (editor), Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1986, h. IX
[2] Bagir Manan, Tantangan Pembangunan Hukum Di Indonesia (artikel) Majalah Varia Peradilan, No. 344 Juli 2014, Jakarta .h. 5
[3] Ibid., h. 6
[4] Ibid. h. 9
[5] Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni Bandung, Bandung, 1987, h. 21
[6]     Rochmat Soemitro,  Penuntun Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang, Pajak Perseroan, Eresco, Jakarta, 1983., hlm. 1
[7] Ibid., hlm. 5
[8] Anwar Borahima, Kedududukan Yayasan Di Indonesia, Eksistensi, Tujuan, dan Tanggung Jawab Yayasan,Kencana, 2010, hal. 2
[9] Ibid., hlm. 3
[10] Habib Adjie, Muhammad Hafidh, Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Yayasan, Pustaka Zaman, 2013., h. 12
[11] Bruce r. Hopkins, Jody Blazek, The Legal Answer Book For Private foundation, Simultaneously in Canada, 2002, h. 1
[12] Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Keperdataan di Bindang Kenotariatan, Citra aditya Bakti, 2007, h. 61.
[13] Y. Sogar Simamora, Karakteristik, Pengelolaan Dan Pemeriksaan Badan Hukum Yayasan di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding, Media Pembina Hukum Nasional, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012, h. 177
[14] Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), LaksBang,
[15] Ridwan Khairani dan Camelia Malik, Good Corporate Governance,  Perkembangan Pemikiran dan Impementasi di Indonesia dalam Perspektif Hukum. Total Media, Jakarta, 2007., hal. 2
[16]. Habib Adjie., op.cit.,  h. 6
[17]      Ibid., hlm. 1
[18] Ali Rido,  Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, wakaf,  Alumni, Bandung,1986 hlm 112
[19] Sebagaimana Visi Reformasi dibidang Hukum GBHN 1999-2004
[20] Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, 1987,  hlm29
[21] Ibid.,

[22] Ibid, hlm  99
[23]Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, Telaah Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,  Salatiga, Graha Media 2011,hlm 128
[24] Mas Ahmad Daniri, Good Corporate Governance, Konsep dan Penerapan dalam Konteks Indonesia, Jakarta, PT. Ray Indonesia, 2006 hlm 8
[25] Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Moderen dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2010, Citra Aditya Bakti 2010., hal.9
[26] Tri Budiyanto, op.cit, hal 21
[27] Muladi, Dwidja Priyatno, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,2012, hlm. 3
[28] Yohanes Sogar Simamora, Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas dalam Kontrak Pemerintah di Indonesia (Pada saat pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Unair)., hlm 6
[29]Y. Sogar Simamora, op. cit., h. 184
[30] Penjelasan UU Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan
[31] Bernard Arif Sidarta, Penelitian Hukum Normatif Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal (tulisan) buku Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor, Jakarta., h. 142-143
[32] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kecana Prenada Media, Jakarta, 2008, h. 26
[33] Peter Mahmud, op.cit, h. 119

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS