KEDUDUKAN LEMBAGA ATAU BADAN PENERIMA BANTUAN SOSIAL YANG BERBADAN HUKUM
KEDUDUKAN LEMBAGA ATAU BADAN
PENERIMA BANTUAN SOSIAL YANG BERBADAN HUKUM
Membicarakan
bantuan sosial yang diberikan pemerintah kepada badan, lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, merupakan amanah undang-undang. Pemberian bantuan adalah bentuk
andil yang dilakukan pemerintah kepada
lembaga atau badan untuk ikut serta dalam program pembangunan yang dijalankan
saat ini. Namun permasalahannya pemberian bantuan tersebut selalu saja menimbulan
permasalahan hukum, tidak hanya bagi pemberi bantuan juga kepada penerima
bantuan. Hampir setiap saat kita membaca dimedia sosial dan cetak banyak
pejabat setingkat menteri, kepala daerah dan pejabat lainnya terlibat
penyalahgunaan dana bantuan sosial tersebut. Dengan berbagai modus maupun tidak tepat sasaran yang mengakibatkan dana yang
berasal dari APBN dan APBD hanya diperuntukan bagi kelompok dan golongan. Tulisan
ini ingin memberikan pemahaman untuk lebih berhati-hati dalam melaksanakan
pemberian bantuan sosial. Kehati-hatian tidak lain untuk menghindari timbulnya
permasalahan hukum dikemudian hari.
Diawali
dari banyaknya kasus yang melibatkan para pejabat yang tersangkut permasalahan
dana bantuan sosial yang tidak tepat sasaran, saat dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) maupun BPKP. Indikasi penyalahgunaan wewenang dalam penyaluran
dan pemberian bantuan sosial yang tidak tepat sasaran cukup besar dari tahun
ketahun. Oleh BPK dan BPKPsegera
menindak lanjuti dengan menyerahkan laporan tersebut kepada Kejaksaan maupun
kepada Kepolisian untuk ditindak lanjuti dalam proses penyelidikan dan
penyidikan, akibat ada indikasi tindak pidana korupsi.
Kehati-hatian
adalah kata kunci utama untuk menghindari permasalahan hukum. Untuk itu, setiap
pemangku kebijakan harus memahami
aturan-aturan yang berlaku, baik dari Undang-Undang yang mengatur dan peraturan
lain yang melengkapi.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah jelas mengatur apa yang dinamakan dengan belanja daerah dan
belanja hibah. Penekanan pada penggunaan belanja hibah untuk pemberian bantuan
sosial sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 298 ayat 4, menyebutkan bahwa
belanja hibah adalah belanja yang dianggarkan oleh APBD sesuai dengan kemampuan
keuangan Daerah setelah memprioritaskan pemenuhan belanja Urusan Pemerintahan
Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang megatur. Karena itu, belanja hibah selalu
diidentikan untuk pemberian bantuan sosial kepada penerima bantuan baik kepada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Daerah,
maupun badan, lembaga dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum
Indonesia.
Sedangkan
belanja hibah merupakan belanja pemerintah pusat dalam bentuk transfer uang
atau barang kepada pemerintah atau kepada negara lain, organisasi
internasional, BUMN/BUMD, dan pemerintah daerah yang bersifat sukarela, tidak
wajib, tidak mengikat, dan tidak perlu dibayar kembali serta tidak terus
menerus dan dilakukan dengan naskah perjanjian antara pemberi hibah dan
penerima hibah dengan pengalihan hak dalam bentuk uang, barang, atau jasa.
Belanja hibah sebagaimana dimaksud Pasal 298 tersebut adalah bentuk pemberian cuma-cuma
kepada penerima yang membutuhkan untuk melaksanakan program pembangunan yang
dijalankan pemerintah baik pusat dan daerah. Untuk itu baik pemberi bantuan dan
penerima bantuan harus taat asas. Karena bantuan yang diberikan pemerintah
jelas harus dapat dipertanggung jawabkan secara jelas. Bentuk pertanggung
jawaban tersebut dimulai pada saat pengajukan permohonan untuk mendapatkan
bantuan dan penggunaan bantuan. Sedangkan dari pemerintah selaku pemegang kuasa
anggaran harus lah memamahi segala aturan yang berlaku kepada siapa anggaran
dan bantuan itu diberikan. Tidak tepat sasaran dan timbulnya penyalahgunaan
aturan sebagaimana yang ditetapkan akan menimbulkan permasalahan hukum.Untuk
menghindari permasalahan itu pemerintah harus memahami segala peraturan yang
berlaku dan menyampaikan peraturan tersebut kepada pemohon penerima bantuan
terhadap segala persyaratan yang dibutuhkan. Karena sangat dimungkinkan
pemberian bantuan tersebut disalah gunakan.
Pasal
298 ayat 5 telah menyebutkan bahwa penerima bantuan yang berasal dari belanja
hibah dapat diberikan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik
Negara dan Daerah, disamping adanya badan, lembaga dan organisasi
kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia. Badan, lembaga dan organisasi
kemasyarakatan yang berbadan hukum itu harus diperjelas dari ketentuan aturan main
yang berlaku. Untuk menelaah semua itu maka harus dipahami apa yang dimaksud
dengan badan hukum.
Selama
ini tidak ada suatu definisi yang pasti mengenai badan hukum. Penelaan mengenai
badan hukum lebih mengarah pada pedapat beberapa pakar dalam memberikan
definisi badan hukum. Yang jelas badan hukum adalah badan yang diumpamakan sama
dengan manusia sebagai subjek hukum menyandang hak dan kewajiban.Untuk itu
definisi yang disampaikan Prof Soebekti bisa menjadi patokan dan pemaham bahwa
yang dimaksud badan hukum itu adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat
memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta
memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.
Pendapat Prof Soebekti tersebut memiliki persamaan sebagaimana yang dikatakan
oleh Prof. Rochmad Soemitro yang menyebutkan bahwa badan hukum ialah suatu
badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi.
Maka dapat ditarik beberapa unsur yaitu adanya harta kekayaan yang terpisah
dari kekayaan subjek hukum yang lain, mempunyai tujuan ideal tertentu yang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, mempunyai kepentingan
sendiri dalam lalu lintas hukum yang ada, dan memiliki organisaisi kepengurusan
yang bersifat teratur menurut peraturan perundangan yang berlaku. Dari
ketentuan yang ada dibedakan adanya badan hukum publik dan badan hukum privat.
Badan
hukum publik sebagaimana yang dikenal merupakan
badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum publik atau yang menyangkut
kepentingan publik atau orang banyak atau negara pada umumnya. Badan hukum
publik merupakan badan-badan negara dan memiliki kekuasaan wilayah atau
merupakan lembaga yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan
perundang-perundangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif atau
pemerintah atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu. Sedangkan badan
hukum privat adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau
perdata yang menyangkut kepentingan pribadi orang di dalam badan hukum itu.
Badan hukum semacam ini merupakan badan swasta yang didirikan oleh pribadi
orang tersebut untuk tujuan tertentu yaitu mencari keuntungan, dan tidak
mencari keuntungan dengan tujuan sosial, kemasyarakatan, keagamaan, disamping
bergerak pada bidang-bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, politik, kebudayaan,
kesenian, olahraga dan lain-lain.
Badan hukum privat ada
yang berorientasi pada keuntungan seperti Perseroan Terbatas (PT), maupun Koperasi,
dan ada yang menekankan pada prinsip ideal dimana keuntungan bukan sesuatu yang
utama atau bersifat non profit, yaitu Yayasan dan Perkumpulan. Semua badan hukum privat telah diatur pada ketentuan
hukum yang mengatur. Yayasan sebagaimana diatur menurut ketentuan UU Nomor
16 Tahun 2001 jo UU Nomor 28 Tahun 2004 disamping beberapa peraturan
pelaksanaan lainnya. Sedangkan Perkumpulan diatur pada Staatsblad 1870 No. 64 (“Stb. 1870-64”) dan
KUHPerdata (KUHPer) Buku III Bab IX. Untuk pendiriannya, didirikan oeh dua
orang atau lebih dapat mendirikan suatu perkumpulan.
Karena itu apa yang
diatur pada ketentuan Pasal 298 ayat 5 dari UU Nomor 23 Tahun 2014 tersebut
menjadi jelas bahwa belanja hibah hanya dapat diberikan kepada badan,
lembaga dan organisasi kemasyarakatan
yang berbadan hukum Indonesia yang berbentuk Yayasan atau Perkumpulan, bukan
diluar itu. Sedangkan badan atau lembaga dan ormas yang didaftarkan sebagaimana
dimaksud pada UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan bukanlah
diidentikan sebagai yang berbadan hukum. Karena badan, lembaga dan ormas
tersebut belum memenuhi syarat menjadi badan hukum, dibuktikan dengan
dikeluarkannya Surat Keputusan Pengesahan badan hukum oleh Kantor Kementrian
Hukum dan HAM RI, sebagai
syarat yang diutamakan. Karena tidak akan mungkin badan atau lembaga dan ormas
dapat disahkan menjadi badan hukum dalam kedudukannya jika tidak menempatkan
dirinya sebagai Yayasan atau Perkumpulan.
Apalagi ketentuan
Pasal 298 ayat 5 dari UU Nomor 23 Tahun 2014telah dipertegas melalui Surat
Edaran Menteri Dalam Negeri RI Nomor 900/4627/Sj, tertanggal 18 Agustus 2015,
perihal penajaman ketentuan Pasal 298 ayat 5 UU Nomor 23 Tahun 2014, yang
menyebutkan bahwa organisasi kemasyarakatan harus berbentuk Yayasan atau
Perkumpulan.
Ketentuan ini harus
menjadi pemahaman bagi kita semua, khususnya kepada pemangku kebijakan harus
lebih berhati-hati dan memahami segala ketentuan yang mengatur, terhadap segala
yang berhubungan dengan belanja hibah untuk bantuan sosial yaitu dengan meminta
kepada calon penerima bantuan untuk mempersiapkan segala ketentuan yang ada
dengan membentuk Yayasan atau Perkumpulan dalam suatu akta pendirian. Kemudian
dilanjutkan pada proses pengesahan badan hukum melalui Kantor Kementrian Hukum
dan HAM RI. Bukan dengan menjadikan badan atau lembaga dalam suatu akta
pendirian tersendiri secara notariil. Karena pada dasarnya ketentuan itu tidak
memiliki landasan aturan hukum yang jelas.
Penempatan Yayasan
atau Perkumpulan sebagai badan hukum non profit tidak lain adanya pertanggung
jawaban yang jelas dari setiap badan hukum itu sendiri.
Bambang Syamsuzar
Oyong
Notaris – PPAT Kota
Banjarmasin
Komentar
Posting Komentar