Notaris “Openbare Amtbtenaren” Syafran Sofyan
Notaris “Openbare Amtbtenaren”
Syafran Sofyan[1]
Jabatan Notaris sesungguhnya
menjadi bagian penting dari negara Indonesia yang menganut prinsip
Negara hukum (Ps.1 ay.3 UUD NRI Th 1945). Dengan prinsip ini, Negara
menjamin adanya kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum,
melalui alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban
seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Salah satu jaminan atas
kepastian hukum yang memberikan perlindungan hukum adalah alat bukti
yang terkuat dan terpenuh, dan mempunyai peranan penting berupa “akta
otentik”.
Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud UU 30/2004 tentang jabatan notaris.
Ps 1868 BW : suatu akta otentik ialah suatu akta yg dibuat dlm bentuk yg ditentukan UU oleh/dihadapan pejabat umum yg berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
Ps 1870 & 1871 KUHPer : Akta otentik
adl alat pembuktian yg sempurna bagi kedua pihak & AW,sekalian org
yg mendapat haknya dari akta tsb…..memberikan kpd pihak-pihak suatu
pembuktian yg mutlak.
Akta Otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah,formil dan materil:
- Kekuatan pembuktian lahiriah; akta itu sendiri mempunyai kekuatan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik,krn kehadirannya,kelahirannya sesuai /ditentukan dg per-uu-an yg mengaturnya;
- Kekuatan pembuktian formil; apa yg dinyatakan dlm akta tsb adl benar.
- Kekuatan pembuktian materil;memberikan kepastian thd peristiwa,apa yg diterangkan dlm akta itu benar.
Pejabat Umum merupakan suatu jabatan
yang disandang atau diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh
aturan hukum dalam pembuatan akta otentik. Notaris sebagai Pejabat Umum
kepadanya diberikan kewenangan untuk membuat akta otentik. Oleh karena
itu Notaris sudah pasti Pejabat Umum, tapi Pejabat Umum belum tentu
Notaris, karena Pejabat Umum dapat disandang pula oleh Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat Lelang. Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan
bahwa Notaris : de ambtenaar. Jika ketentuan dalam Wet op het
Notarisambt tersebut di atas dijadikan rujukan untuk memberikan
pengertian yang sama terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1 UUJN yang
menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat
akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (2) dan (3) UUJN. Maka Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1
angka 1 UUJN harus dibaca sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai
Pejabat Publik yang berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal 15
ayat (1) UUJN dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (2) dan (3) UUJN dan untuk melayani kepentingan masyarakat,
Profesi Notaris adalah menjalankan sebagian tugas negara, khususnya yang
berkaitan dengan keperdataan, yang dilindungi oleh UU.
Istilah Pejabat Umum merupakan
terjemahan dari istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1
PJN dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW). Pasal 1 Peraturan Jabatan
Notaris menyebutkan bahwa : De Notarissen zijn openbare ambtenaren,
uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle
handelingen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene
verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek
geschrift blijken zal, daarvan de dagtekenig te verzekeren, de akten in
bewaring te houden en daarvan grossen, afschrif akten en uittreksels uit
te geven; alles voorzoover het opmaken dier akten door ene algemene
verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of
voorbehouden is.
Notaris adalah pejabat umum yang
satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan
umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam
suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan
memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan
akta itu oleh suatu peraturan tidak dikecualikan. Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (MKRI) dengan Putusan nomor 009-014/PUU-111/2005,
tanggal 13 September 2005 mengistilahkan Pejabat Umum sebagai Public
Official.
Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam Regelement op het Notaris
Ambt in Indonesia (Ord. Van Jan. 1860) S.1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S.
Lumban Tobing, op.cit., hlm. V. Istilah
Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 BW diterjemahkan
menjadi Pejabat Umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain). Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan : Suatu
akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
undang-undang oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu, di tempat dimana akta itu dibuat.
Pasal 1 angka (1) UUJN menyebutkan :
Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Menurut Kamus Hukum salah satu arti
dari Ambtenaren adalah Pejabat. Dengan demikian Openbare Ambtenaren
adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan
publik, sehingga tepat jika Openbare Ambtenaren diartikan sebagai
Pejabat Publik. Khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang
diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang
diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan
publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris. Aturan
hukum sebagaimana tersebut di atas yang mengatur keberadaan Notaris
tidak memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum, karena
sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya
Notaris saja, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi kualifikasi
sebagai Pejabat Umum, Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai
Pejabat Umum kepada pejabat lain istilah Openbare diterjemahkan
sebagai Umum.
Pemberian kualifikasi Notaris sebagai
Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang Notaris. Menurut Pasal 15 ayat
(1) UUJN bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik, sepanjang
pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi
lain, seperti Kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan
kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai
Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan
hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula
sebagai Pegawai Negeri.
Berdasarkan pengertian di atas, bahwa
Notaris berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para pihak
atau menurut aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik.
Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang
terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian.
Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika Notaris melakukan tindakan di
luar wewenang yang telah ditentukan, maka akta Notaris tersebut tidak
mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable).
Pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di luar
wewenang tersebut, maka Notaris dapat digugat secara perdata ke
Pengadilan Negeri. Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris
sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari
akta Notaris, maka ada 2 (dua) pemahaman, yaitu :
a. Tugas jabatan Notaris adalah
memformulasikan keinginan/tindakan para pihak ke dalam akta otentik,
dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
b. Akta Notaris sebagai akta otentik
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu
dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak
yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka
orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib
membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang
berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini berhubungan dengan sifat
publik dari jabatan Notaris. Sepanjang suatu akta notaris tidak dapat
dibuktikan ketidak benarannya maka akta tersebut merupakan akta otentik
yang memuat keterangan yang sebenarnya dari para pihak dengan didukung
oleh dokumen-dokumen yang sah dan saksi-saksi yang dapat dipertanggung
jawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan konstruksi pemahaman seperti di atas, maka ketentuan Pasal 50
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diterapkan kepada Notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya. Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan
tersebut sesuai dengan tata cara yang sudah ditentukan dalam UUJN, hal
ini sebagai perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya atau merupakan suatu bentuk imunitas terhadap Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya sesuai aturan hukum yang berlaku.
Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia nomor 3199 K/Pdt/1994, tanggal 27 Oktober 1994, menegaskan
bahwa akta otentik menurut ketentuan ex Pasal 165 HIR jo. 285 Rbg jo.
1868 BW merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak dan para
ahli warisnya dan orang yang mendapat hak darinya. Pasal 50
KUHP berbunyi : Tidaklah dapat dihukum, barang siapa melakukan sesuatu
perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan perundang-undangan.
Notaris sebagai pejabat publik, dalam
pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian. Dengan
mengkategorikan Notaris sebagai pejabat publik. Dalam hal ini publik
yang bermakna hukum, bukan publik sebagai khalayak umum. Notaris sebagai
pejabat publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam
ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian.
Akta otentik mempunyai arti yang lebih
penting daripada sebagai alat bukti, bila terjadi sengketa maka akta
otentik dapat digunakan sebagai pedoman bagi para pihak yang
bersengketa. Peran Notaris diperlukan di Indonesia karena dilatar
belakangi oleh Pasal 1866 KUH Perdata yang menyatakan alat-alat bukti
terdiri atas :
1. bukti tulisan;
2. bukti dengan saksi-saksi;
3. persangkaan-persangkaan;
4. pengakuan;
5. sumpah
Pembuktian tertinggi adalah bukti
tulisan. Bukti tertulis ini dapat berupa akta otentik maupun akta di
bawah tangan dan yang berwenang dan yang dapat membuat akta otentik
adalah Notaris. Untuk itulah negara menyediakan lembaga yang bisa
membuat akta otentik. Negara mendelegasikan tugas itu kepada Notaris
seperti tertera pada Pasal 1868 KUH Perdata jo S. 1860/3 mengenai adanya
Pejabat Umum, yaitu pejabat yang diangkat oleh negara untuk membantu
masyarakat dalam pembuatan akta otentik. Dalam hal ini pejabat yang
dimaksud adalah Notaris dan lambang yang digunakan sebagai cap para
Notaris adalah lambang negara. Notaris adalah Pejabat Umum, hal ini
dapat juga dilihat di dalam pasal 1 angka 1 UUJN. Notaris Dalam
Memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat Senantiasa Berpedoman Kepada Kode
Etik Profesiî.
Bagaimana kalau notaris dipanggil sebagai saksi akta?
Dalam kedudukan notaris sebagai saksi
(perkara perdata) notaris dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk
membuat kesaksian karena jabatannya menurut UU diwajibkan untuk
merahasiakannya (Ps 1909 ay 3 BW). Dalam hal ini notaris mempunyai
kewajiban ingkar bukan untuk kepentingan diri notaris tapi untuk
kepentingan para pihak yang telah mempercayakan kepada notaris.
HAK INGKAR dan KEWAJIBAN INGKAR
“DIBEBASKAN DARI KEWAJIBANNYA MEMBERIKAN KESAKSIAN”
↓
(Pasal 1909 Ayat 3 KUHPerdata, Pasal 322 KUHP)
↓
WAJIB MERAHASIAKAN
↓
(Pasal 4, 16, 54 UUJN)
↓
“KECUALI : Undang-Undang Menentukan Lain”
Adanya Hak Ingkar tersebut membuat
Notaris sebagai jabatan kepercayaan wajib untuk menyimpan rahasia
mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan pernyataan para pihak yang
diperoleh dalam pembuatan akta-akta, kecuali undang-undang
memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan/
pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya. Tindakan seperti ini
merupakan suatu kewajiban Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat
(2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN.
Pasal 1909 ayat 3 KUH Perdata
menyebutkan bahwa segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaan
atau jabatannya menurut undang-undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu,
namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya
dipercayahkan kepadanya sebagai demikian.
Pasal 170 ayat (1) KUHAP:
(1). Mereka yang karena pekerjaan,
harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat
minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi,
yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
(2). Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. Ketentuan dalam KUHAP, secara materil dituangkan Pasal
322 ayat 1 KUH Pidana yang menyatakan bahwa Barang siapa dengan
sengaja membuka sesuatu rahasia yang ia wajib menyimpannya oleh karena
jabatan atau pekerjaan baik yang sekarang maupun yang dahulu, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan.
Selanjutnya beberapa pasal
dalam UUJN mengatur mengenai rahasia jabatan Notaris, yaitu: Pasal 4
ayat 2 UU Jabatan Notaris (sumpah jabatan) yang berbunyi: “….Bahwa saya
akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam
pelaksanaan jabatan saya.” Terdapat pula rumusan Pasal 16 ayat 1 huruf
a UU JN menyatakan: Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; dan (e)
merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. Penjelasan
Pasal 16 ayat (1) huruf e ini menerangkan bahwak Kewajiban untuk
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat
lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait
dengan akta tersebut. Dengan demikian, dalam konteks
filosofis, maka rahasia jabatan merupakan bagian dari instrumen
perlindungan hak pribadi para pihak yang terkait dengan akta yang dibuat
oleh notaris, sehingga tidak dapat direduksi menjadi instrumen untuk
semat-mata melindungi notaris.
Pasal 54 UU Jabatan Notaris
berbunyi “Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan atau
memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta
kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris atau
orang yang mempunyai hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan.”
Notaris adalah seorang yang
dalam menjalankan jabatannya tidak tunduk terhadap prinsip equality
before the law, sepanjang dalam melaksanakan jabatannya telah mengikuti
prosedur yang ditentukan oleh Undang-undang ( lihat khususnya pasal 16
dan pasal 17 UU 30/2004 tentang kewajiban dan larangan). Sepanjang telah
dilaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut maka seorang yang
menjalankan jabatan Notaris adalah “kebal hukum”. Artinya
Notaris tidak dapat dihukum oleh karena atau berdasarkan perbuatan yang
dilakukannya menurut UU yaitu melakukan perbuatan mengkonstatir maksud/
kehendak dari pihak-pihak yang menghendaki perbuatan hukum yang mereka
lakukan dapat dibuktikan dengan akte otentik, kecuali kalau Notaris yang
tidak sedang dalam kapasitas sebagai Notaris adalah sama dengan orang
pada umumnya, yang tunduk pada prinsip equality before the law dan
tidak “kebal hukum….”
Untuk melihat akta notaris, notaris
harus dinilai apa adanya, dan setiap orang harus dinilai benar berkata
seperti yang disampaikan yang dituangkan dalam akta tersebut. Notaris
dalam menjalankan jabatannya hanya bersifat formal seperti yang
disebutkan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Putusan MA
No.702K/Sip/1973. Notaris hanya berfungsi mencatatkan/menuliskan
apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap
notaris tersebut. Notaris tidak wajib menyelidiki secara materiil
hal-hal yang dikemukakan para penghadap notaris.
Sepanjang notaris menjalankan
jabatan dan profesinya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, kode etik notaris, dan asas-asas hukum, maka notaris
tersebut tidak dapat dipersalahkan.(Syafran Sofyan). Termasuk
untuk menjadi saksi, karena akta notaris tersebut sendiri merupakan akta
otentik, yakni akta yang mempunyai kebenaran lahir, formil dan materil,
kecuali dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak yang menyangkalnya.
Janganlah belum apa-apa, penyidik dengan gampangnya memanggil notaris,
sementara para pihaknya saja belum dipanggil ?.
Berkaitan dengan masalah rahasia jabatan
notaris, pada intinya berisikan kewajiban notaris merahasiakan isi
akta, GHSL Tobing menyatakan sebagai berikut:
- Bahwa para notaris wajib untuk merahasiakan, tidak hanya apa yang dicantumkan dalam akta-aktanya, akan tetapi juga semua apa yang diberitahukan atau disampaikan kepadanya dalam kedudukannya sebagai notaris, sekalipun itu tidak dicantumkan dalam akta-aktanya;
- Bahwa hak ingkar dari para notaris tidak hanya merupakan hak (verschoningsrecht), akan tetapi merupakan kewajiban (verschoningspicht), notaris wajib untuk tidak bicara. Hal ini tidak didasarkan kepada pasal 1909n sub 3 KUHPerdata, yang hanya memberikan kepadanya hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi, akan tetapi didasarkan kepada pasal 17 dan pasal 40 PJN.
- Bahwa di dalam menentukan sampai seberapa jauh jangkauan hak ingkar dari para notaris, harus bertitik tolak dari kewajiban bagi para notaris untuk tidak bicara mengenai isi akta-aktanya, dalam arti baik mengenai yang tercantum dalam akta-aktanya maupun mengenai yang diberitahukan atau disampaikan kepadanya dalam kedudukannya sebagai notaris, sekalipun dimuka pengadilan, kecuali hal-hal dimana terdapat kepentingan yang lebih tinggi atau dalam hal-hal dimana untuk itu notaris oleh sesuatu peraturan perundang-undangan yang berlaku membebaskannya secara tegas dari sumpah rahasia jabatannya.
Sehubungan dengan penjelasan GHSL Tobing
tersebut maka jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 4, 16 dan 54 UUJN
maka jelas bahwa untuk merahasiakan isi akta beserta hal-hal yang
diberitahukan kepada notaris sehubungan dengan pembuatan akta tersebut
adalah merupakan suatu kewajiban jabatan notaris, sehingga dengan
demikian untuk mengundurkan diri sebagai saksi atau menolak untuk
memeberikan keterangan sebagai saksi bukan hanya merupakan hak tapi juga
merupakan suatu kewajiban bagi notaris. Jadi notaris tidak hanya
mempunyai hak ingkar (verschongsrecht) akan tetapi juga mempunyai
kewajiban ingkar (verschoningssplicht).
[1]
Notaris-PPAT-Pejabat Lelang di Jakarta Selatan, Majelis Pengawas Daerah
Notaris, Dosen : Lemhannas RI, Kementerian Pertahanan, Magister
Kenotariatan (Univ Brawijaya, Jayabaya, Untag), Dosen Pasca/S2 Hukum,
Bareskrim Mabes Polri, Mabes TNI, Diklat Perbankan, Jimly School at Law
and Government ), Nara-sumber Seminar Hukum, Konstitusi, Politik dan
Demokrasi, Saksi Ahli, di Pengadilan dan Polri, Pendiri/Ketua Ikatan
sarjana Hukum Indonesia (ISHI).
Email: syafran.dosen@gmail.com Hp.08111986768.
Komentar
Posting Komentar