PERAN PEJABAT LELANG KELAS II TERHADAP PENGEMBANGAN LELANG NON EKSEKUSI SUKARALA DI INDONESIA
PERAN PEJABAT LELANG KELAS II TERHADAP
PENGEMBANGAN LELANG NON EKSEKUSI
SUKARALA DI INDONESIA
Oleh Bambang Syamsuzar Oyong, SH. MH
(Notaris PPAT Kota Banjarmasin)
I.
Pendahuluan
Pada prinsipnya kerangka utama
strategi politik mengenai pembangunan hukum nasional selama tiga dasarwarsa
selalu mempunyai konsep dasar yang sama yaitu Undang-Undang Dasar 1945
selanjutnya disingkat UUD 1945, Landasan Ideal yaitu Pancasila, dan Landasarn Politis
operasional yakni adanya tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD
1945 dengan menempatkan sistem pemerintahan Presidensial.
Persolan terbesar pada pembangunan
hukum nasional saat ini yakni adanya kesenjangan antara UUD 1945, yang jelas-jelas
menurut teks dan jiwanya adalah dengan memberi semangat dalam penempatan asas
keadilan sosial dengan konsep kemakmuran rakyat. Paradikma kerakyatan ini
adalah sesuatu bagian dengan menempatkan peran rakyat yang sebesar-besarnya dalam
proses pembangunan hukum nasional yang ada saat ini
Penempatan rakyat dalam pembangunan
hukum, selalu dimulai dari konsep teori pembangunan hukum yang dikemukaan oleh
Mochtar Kusmumaatmadja dari pengembangan teori hukum Roscoe Pound “Law as a tool social engineering.” Teori
Pembangunan Hukum yang dikemukaan Mochtar Kusumaatmadja, menekankan pada pola
kerja sama dengan melibatkan keseluruhan stake
horlders yang ada pada komunitas tersebut dalam mencapai pembangungan hukum
yang diinginkan yang mengubah hukum pada pengertian hukum sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk pembangunan
masyarakat. Pokok-pokok pikiran ini yang melandasi, bahwa ketertiban dan
ketaraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan hukum memang sangat mutlak
diperlukan. Bahwa hukum dalam arti norma diharapkan dapat mengarahkan kegiatan
manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan yang ada.
Karena itu diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang jelas.
Di Indonesia peran perundang-undangan
dalam proese pembaharuan hukum lebih menonjol, jika dibandingkan dengan di
negara Amerika Serikat yang menempatkan yurisprudensi (khususnya putusan The Supreme Court, pada tempat yang
lebih penting. Sedangkan konsep hukum sebagai alat akan mengakibatkan hasil
yang tidak jauh berbeda dengan penerapan “legisme’”
sebagaimana pernah diadakan pada zaman Hindia Belada dan di Indonesia, ada
sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerpan konsep,
sebagaimana yang dikutip menurut pedapat Wicipto Setiadi[1], pada
Liber Amicorum untuk Prof Dr. CFG. Sunaryati Hartono, SH., dari apa yang
dijabarkan pada konsep teori pembangunan hukum
oleh Mochtar Kusumaarmadja.
Dalam melaksanakan pembangunan hukum, satu hal yang penting yang
harus diperhatikan adalah bahwa hukum
harus dapat dipahami dan dikembangan sebagai satu kesatuan sistem dalam negara
hukum. Dalam pendekatan kesisteman, permasalahan dalam pembangunan hukum, dapat
dirangkum pada tiga hal :
a.
Dalam
bidang substansi hukum yaitu peraturan perundang-undangan, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah masih banyak tumpang tindih, inkonsistensi, dan
bertentangan, baik peraturan yang sederajat, maupun peraturan yang rendah dengan
peraturan yang lain di atasnya.
b.
Dalam
bidang struktur hukum yaitu kurangnnya indepedensi dan akuntabilitas
kelembagaan hukum menjadi permasalahan di bidang hukum. Selain itu, kualitas
sumber daya manusia di bidang hukum juga perlu ditingkatkan.
c.
Dalam
bidang budaya hukum yaitu timbulnya degradasi budaya hukum yang ditandai dengan
meningkatnya apatisme dan menurunnya apresiasi masyarakat terhadap subtansi
hukum dan struktur hukuk menjadi permasalahan serius yang harus segera
dibenahi.
Oleh
karena itu pembangunan hukum di Indonesia
harus dilakukan melalui pendekatan
kesisteman, baik dalam sustansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum
sebagaimana tersebut. Salah satunya adalah membicarakan perlindungan hukum
proses pembelian barang melalui lelang yang sebelumnya telah lama di atur melalui
Vendu Reglement (peraturan Lelang Stbl. 1908
Nomor 189) dan Vendu
Instructie
(Intruksi LelangStbl. 1908 Nomor 190) yang sampai saat ini masih berlaku,
berdasarkan Pasal
II dari Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945.[2]
II.
Pembahasan
a. Pejabat Lelang Pada Pelaksanaan Lelang
Lembaga lelang
melalui system hukum dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sertidaknya terdapat tiga tujuan. Pertama,
untuk memenuhi kebutuhan penjualan lelang yang diatur dalam beberapa aturan
perundang-undangan. Kedua, untuk
memenuhi atau melaksanakan putusan peradilan atau lembaga penyelesaian sengketa
berdasarkan berdasarkan undang-undang dalam rangka penegakan keadilan (law enforcement). Ketiga, untuk memenuhi
kebutuhan dunia usaha pada umumnya, produsen atau pemilik barang pribadi
dimungkinkan melakukan penjualan lelang.[3]
Mengenai
peraturan-Peraturan lelang sendiri selalu mengacu pada ketentuan yang telah ada
yaitu Vendu Reglement. Walaupun
ketentuan Vendu Reglement yang
terdiri dari 49 pasal, ternyata 27 pasal yang masih berlaku secara efektif.
Sedangkan ada 13 pasal tidak efektif dan 9 pasal yang ketentuannya dicabut.[4] Hal
ini menandakan bahwa
peraturan yang termuat pada VR selalu mengikuti perkembangan yang ada saat ini,
baik dengan dikeluarkannya peraturan Manteri
atau dalam bentuk Keputusan Menteri.
Selain itu
juga,
pengaturan lelang dan tatacara penyelesaian pelaksanaan lelang mengacu pada
ketentuan Peraturan Menteri Keuangan dalam membuat regulasi tentang lelang sebagai lembaga yang
prodaknya
harus menekankan pada kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum.
Inilah yang akan dilakukan dalam penerapan regulasi megenai lelang sebagai
lembaga yang dibentuk pemerintah atau swasta, untuk menfasilitasi adanya
keinginan para penjual barang lelang dan pihak-pihak lainnya demi kelancaran proses
yang berjalan. Pada
tataran konsep jual beli seperti biasa adanya penjual atau pembeli pada kebijakan
lainnya melalui cara lelang baik terhadap benda atau barang lelang yang berasal
dari sitaan, atau barang melalui eksekusi yang berasal dari adanya putusan
pengadilan yang berkekuatan tetap dan putusan lainnya yang sejenis. Yang tidak
tertutup kemungkinan terhadap barang
lelang yang non eksekusi yang merupakan atas keinginan atau inisiatif penjual
barang lelang swasta atau pemerintah, semuanya dihadapan pejabat lelang atau
juru lelang. Hal yang harus diperhatikan juga mengenai arah kebijakan dalam
politik hukum nasional mengenai peraturan
lelang yang selama ini masih mengadopsi dari peraturan-peraturan peninggalan colonial. Sudah
seharunya dilakukan revisi secara menyeluruh dengan kondifikasi aturan lelang
secara tertulis dalam bentuk Undang-undang.
Karena jika
ditinjau dari pelaksanaan lelang di Indonesia, peran pejabat lelang sesuatu
yang sangat penting. Karena dalam setiap pelaksanaan lelang selalu berhubungan
dengan pejabat lelang. Dalam ketentuan aturannya, lelang diartikan penjualan
barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara lisan atau
tertulis yang semakin meningkat atau menurun untuk mecapai harga tertinggi yang
didahuli dengan pengumuman lelang.
Dari definsi
tersebut dapat ditarik beberapa unsur yaitu :
1. Lelang
adalah penjualan barang yang dilaksanakan secara terbuka untuk umum.
2. Adanya
penawaran harga secara lisan atau
tertulis dengan kedudukannya harga yang semakin meningkat atau menurun untuk
mencapai harga yang tertinggi.
3. Dilalui
adamnya proses penguman lelang.
Namun
dari defini tersebut, pelaksanaan lelang baru bisa dilaksanakan jika dilakukan
dihadapan pejabat lelang yang ditunjuk. Pejabat lelang sebagai mana yang ada
dapat diartikan orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberi
wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang.
Menurut
ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang, disebutkan bahwa pejabat lelang dalam pelaksanaan lelang
dapat melalui Pejabat Lelang kelas I dan Pejabat Lelang Kelas II. Ketentuan yang menyangkut peraturan
mengenai Pejabat Lelang dapat dijumpai pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor
305/KMK.01/2002 tentang Pejabat Lelang sebagaimana telah dirubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 451/KMK.01/2002. Pada Pasal 3 dari Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 305/KMK.01/2002 dan diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 451/KMK.01/2002, ditegaskan bahwa Pejabat Lelang dibedakan dalam
dua tingkat yaitu Pejabat Lelang Kelas I dan Pejabat Lelang Kelas II yang
berkedudukan di Kantor Bali Lelang. Ketentuan ini menjadi langkah utama
memposisikan peran utama keberadaan Pejabat Lelang tersebut. Pada Ketentuan
Pasal 8 dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 sebagaimana telah
dirubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 yang menegakan
bahwa Pejabat Lelang terdiri Pejabat lelang Kelas I yang berwenang melaksanakan
lelang untuk semua jenis lelang atas permohonan Penjual atau Pemilik Barang dan
Pejabat Lelang Kelas II yang berwenang melaksanakan lelang Non Eksekusi
Sukarela atas permohonan Balai Lelang atau Penjual atau Pemilik Barang.[5]
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 sebagaimana diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 dalan dalam rangka pengembangan
profesi pejabat lelang serta meningkatkan pelayanan lelang yang lebih
efisiensi, efektif, trasnparan, akuntabilitas, adil dan menjamin kepastian
hukum, maka dilakukan penyempurnaan ketentuan mengenai Pejabat Lelang Kelas I
sebagaimana diatur pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 174/PMK.06/2010
tentang Pejabat lelang Kelas I, saat ini ketentuan ini disempurnahkan lagi
melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.06/2013.[6]
Sedangkan mengenai Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 175/PMK.06/2010 tentang Pejabat lelang Kelas II, yang
menggantikan dan menyempurnakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
119/PMK.07/2005. Ketentuan Pejabat Lelang Kelas II telah disempurnahkan melalui
Peraturan Menteri nKeuangan Nomor 159/PMK.06/2013.[7]
Pejabat Lelang Kelas I adalah pejabat lelang
yang berasal dari pegawai dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang
berwenang melaksanakan lelang eksekusi, lelang non eksekusi wajib, dan lelang
non eksekusi sukarela. Sedangkan Pejabat Lelang Kelas II adalah pejabat lelang
swasta yang berwenang melaksanakan lelang non eksekusi secara sukarela.
Kedudukan pejabat lelang sangat utama dalam pelaksanaan lelang, namun terhadap
barang-barang tertentu lelang dapat tidak dilaksanakan dihadapan pejabat
lelang.
Dari
definisnya lelang adalah suatu perjanjian bernama (nominaaf), menurut ketentuan
Pasal 1457 KUH Perdata yang menyebtukan “jual
beli adalah suatu persetjuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk
menyerahkan suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harganya yang
diperjanjiakan “
Dari
rumusan tersebut dapat ditarik beberapa unsur dari jual beli, memiliki karakter
sama dengan lelang yaitu
1. Adanya
subjek hukum yaitu anta penjual dan pembeli.
2. Adanya
kesepakatan antara penjual dan pembeli.
3. Adanya
objek yang diperjanjikan berupa barang
4. Adanya
harga dari barang yang diperjual belikan.
5. Adanya
hak dan kewajiban masing-masing pihak
Apalagi hal yang tercantum pada
unsur
tersebut menjadi satu kesatuan
dari ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yang dikanal sebagai syarat
sahnya perikatan yang selama ini dikenal.
Lelang sebagai
suatu perjanjian dalam pelalaksanaannya
tunduk pada klausula-klausula pada risalah lelang. Klausula risalah
lelang tersebut selalu ditetapkan secara
sepihak oleh Kantor Lelang baik melalui Kantor KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan
Negara dan Lelang) setempat atau pada Kantor Balai Lelang Swasta. Karena
itu wajar pada akhirnya pembeli lelang yang
telah ditetapkan selaku pemenang
lelang, bahwa yang bersangkutan harus
mematuhi apa yang menjadi kewajibannya,
jika tidak, maka pembeli lelang ditetapkan selaku pihak yang wanprestasi. Jika
ditetapkannya selaku pihak wanprestasi sangat dimungkinkan yang bersangkutan
akan dikenakan sanksi
baik berupa sanksi tidak dibenarkan ikut
selaku peserta lelang.
Ada
beberapa pihak yang terlibat dalam pelaksanaan lelang yaitu adanya pembeli yang
memang benar-benar termotivasi untuk membeli objek lelang. Adanya pihak penjual
berupa orang, badan hukum atau badan usaha yang memenuhi syarat untuk itu
berdasarkan peraturan perundang-undnagan atau perjanjian berwenang untuk
menjual barang secara lelang. Disamping adanya penjual dan pembeli, pelaksanaan
lelang juga melibatkan pejabat lelang (juru lelang) orang yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan
penjualan barang secara lelang. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Pejabat
lelang yang dimaksud dapat berupa Pejabat Lelang Kelas I, dan Pejabat Lelang
Kelas II. Pejabat Lelang Kelas I, pejabat
yang berasal dari pegawai Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN)
yang berwenang melaksanakan Lelang Eksekusi, Lelang Non Eksekusi, dan Lelang
Noneksekusi. Pejabat Lelang Kelas I, memang memiliki wewenang lebih sebagaimana
disebutkan tersebut, jika dibandingkan pada peran yang dimiliki oleh Pejabat
Lelang II, yang hanya melaksanakan lelang terhadap barang non eksekusi secara suka rela. Namun peran
pejabat lelang kelas II tetap memiliki peran utama demi pelaksanaan lelang dan
memperkenalan lembaga lelang kepada masyarakat luas. Pelaksanaan lelang juga
membutuhkan Lembaga Pegawas Lelang atau (Superintenden) seseorang yang diangkat
dala pejabat yang diberi wewenang oleh Menteri untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan kepada Pejabat Lelang.
Peran
pejabat lelang dalam pelaksanaan lelang sesauatu yang sangat utama karena
berhasilnya suatu lelang selalu berada ditangan pejabat lelang karena pejabat
lelang dalam setiap pelaksanaan lelang dikatakan sebagai wakilnya pemerintah,
sebagai wakilnya penjual dan juga sebagai
wakil pembeli. Diartikan sebagai wakilnya pemerintah, pejabat lelang
berperan menyampaikan segala hal untuk kepentingan pemerintah yang berhubungan
dengan kepentingan-kepentingan pemerintah terhadap yang menyangkut bea lelang,
pajak, dan pungutan lainnya. Sedangkan disebutkan sebagai wakil penjual atau
disebut last gever dan last
heber/agency, agent yaitu memberi perintah dan menerima perintah, karena
pejabat lelang menawarkan barangnya dan menerimakan uangnya untuk kepentintan
penjual. Pejabat lelang sebagai wakil pembeli diartikan bahwa pejabat lelang
bertindak sebagai penerima uang dari pembeli atau pemenang lelang dan
menyerahkannya kepada penjual.[8]
Untuk
menegaskan kembali posisi pejabat lelang, dapat diambil dari definisi yang
tercantum pada ketentuan Pasal 1 angka 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
93/PMK.06/2010, sebagaimana telah diubah pada ketentuan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013, menyebutkan bahwa pejabat lelang adalah “ orang yang berdasarkan peraturan
perundang-undang diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang
secara lelang”. Artinya “pejabat lelang” atau juru lelang adalah orang yang
diberi wewenang untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang berdasarkan
peraturan perundang-undangan.Ketentuan ini dipertegas lagi pada Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, pada
Pasal 2 “Setiap pelaksanaan lelang harus
dilakukan oleh dan/atau dihadapan Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh
Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah”.
Adanya
pejabat lelang pada setiap pelaksanaan lelang mungkin dimulai dari pemikiran
bahwa tidak setiap orang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pejabat
lelang. Dalam ketentuannya pejabat lelang selalu berhubungan dengan kemampuan
dan keahlian, yang diartikan orang yang diberi lisensi untuk mengadakan
penjualan melalui lelang umum dan bertanggung jawab atas lelang pada tiap-tiap
wilayah yang ditetapkan. Pemberian lisensi kepada pajabat lelang untuk
menempatkan segala tugas, kewenangan dan kewajiban terhadap pejabat lelang yang
dimaksud.
Pengaturan
mengenai pejabat lelang, dimulai dari saat dikenalnya lembaga lelang yang
diatur melalui Vendu Reglement (Peraturan Lelang Stb 1908 Nomor 189) dan
Vendu Instructie (Instruksi Lelang Stbl. 1908 Nomor 190) yang hingga sekarang
masih berlaku. Ketentuan ini sebagai dasar pokok masuknya pengaturan lelang
pada sistem hukum keperdataan di Indonesia. Untuk itu, peran pemerintah untuk
mulai memikirkan dengan mengeluarkan peraturan dalam bentuk UU Lelang untuk
mengganti peraturan lama sebagai warisan pemerintahan kolonial, walaupun secara
materi masih dapat digunakan. Penggantian hukum warisan pemerintahan kolonial
menjadi salah satu isu kebijakan politik hukum dalam memajukan sistem hukum
nasional Indonesia yang ada saat ini. Pengaturan yang dibuat dalam bentuk UU
Lelang misalnya memberikan kedudukan lebih kuat, sebagai pengganti Vendu
Reglement (Peraturan Lelang Stb 1908
Nomor 189) dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang Stbl. 1908 Nomor 190) dan
peraturan lelang lainnya yang masih mengadopsi tata cara lelang peninggalan
pemerintahan Hinda Belanda, jika kita melihat sejarah perkembangan lelang di
Indonesia.
Karena
pada sistem perundang-undangan di Indonesia, lelang digolongkan sebagai suatu
cara penjualan khusus yang prosedurnya berbeda dengan jual-beli pada umumnya
yang bersifat Lex Spesialis.
Kekhususan lelang ini tampak antara lain pada sifatnya yang transpran dengan
pembentukan harga yang kompetitif dan adanya ketentuan yang mengharuskan
pelaksanaan lelang itu dipimpin oleh serorang Pejabat Umum yaitu Pejabat Lelang
yang mandiri.
Peran lembaga lelang dalam sistem
perundang-undangan, tampak masih relevan. Hal ini masih terbukti dengan
difungsikannya lelang untuk mendukung upaya
Law Enforcement dalam hukum
perdata, hukum pidana, hukum pajak, hukum administrasi negara, dan hukum
pengelolaan kekayaan negara. Perkembangan hukum lelang yang ada saat ini juga
dipengaruhi dari beberapa peraturan lainnya yang berhubungan pada fungsi lelang
baik sebagai fungsi privat dan fungsi Publik.
Fungsi privat, tercermin pada saat digunakan lembaga lelang oleh
masyarakat untuk menjual barang miliknya
secara leleng untuk memperoleh harga yang optimal. Sedangkan fungsi publik,
tercermin pada saat digunakannya proses lelang ini dalam rangka penegakan hukum
dan melaksanakan dari amanah undang-undang yang berlaku, antara lain
Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Acara Pidana dan Perdata, Undang-Undang
Hak Tanggungan, Undang-Undang Fidusia dan Undang-Undang Kepailitan. Selain itu
lembaga lelang digunakan juga oleh aparatur negara dalam rangka pengelolaan
Barang-Barang Milik Negara dan Daerah dan Kekayaan Negara yang dipisahkan
sesuai ketentuan yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Instruksi Presiden Nomor 9
Tahun 1970 tentang Pe jualan dan atau Pemindatanganan Barang-Barang yang
dimiliki dan Dikuasa Negara sekaligus untuk pengumpulan penerimaan Negara.
Karena itu berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang masih berlaku hingga saat ini dari pengertian lelang
harus selalu memenuhi unsur :
1. Dilakukan pada suatu saat dan tempat
yang telah ditentukan.
2. Dilakukan dengan cara mengumumkannya
terlebih dahulu untuk mengumpulkan peminat atau peserta lelang.
3. Dilakukan dengan cara penawaran atau
pembentukan harga yang khusus yaitu dengan cara penawaran harga secara lisan
atau tertulis yang bersifat kompetitif.
4. Peserta yang mengajukan penawaran
tertinggi akan dinyatakan sebagai pemenang lelang atau selaku pembeli.
5. Pelaksanaan lelang dilakukan dengan
campur tangan dihadapan/didepan Pejabat
Lelang.
6. Setiap pelaksanaan lelang harus
dibuat Risalah Lelang oleh Pejabat
Lelang yang melaksanakan lelang.
Dari ketentuan tersebut dari setiap
pelaksanaan lelang harus selalu mengandung asas keterbukaan, asas keadilan,
asas kepastian hukum, asas efisiensi dan asas akuntabilitas. Asas-asas tersebut
menjadi cakupan utama untuk menempatkan proses lelang sebagai media memberi
kepastian hukum dan kemanfaatan. Asas
keterbukaan menghendakai agar seluruh lapisan masyarakat mengetahui adanya
rencana lelang dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti lelang
sepanjang tidak dilarang oleh
Undang-Undang. Oleh karena itu setiap pelaksanaan lelang harus dilalui dengan
pengumuman lelang. Asas ini juga untuk mencegah terjadinya praktek persaingan
usaha yang tidak sehat dan tidak memberikan kesempatan adanya praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme. Asas keadilan mengandung pengertian bahwa dalam proses
pelaksanaan lelang harus dapat memenuhi rasa keadilan secara profesional bagi
setiap pihak yang berkepentingan. Asas ini untuk mencegah terjadinya
keberpihakan pejabat lelang kepada peserta lelang atau kepada pihak lain.
Khusus pada pelaksanaan lelang eksekusi
penjual tidak boleh menentukan nilai limit secara sewenang-wewenang yang
berakibat merugikan pihak tereksekusi. Asas kepastian hukum, menghendakai agar
lelang yang telah dilaksanakan menjamin adanya perlindungan hukum bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dalam melaksanakan lelang. Setiap pelaksanaan
lelang dibuat risalah lelang untuk digunakan penjual atau pemilik barang,
pembeli dan Pejabat Lelang untuk mempertahankan dan melaksanakan hak dan
kewajibannya. Asas efisiensi akan menjamin pelaksanaan lelang dilakukan dengan
cepat dan dengan biaya relatif murah karena lelang dilakukan pada tempat dan
waktu yang telah ditentukan, dan pembeli disahkan pada saat dinyatakan sebagai
pemenang lelang. Sedangkan asas akutabilitas, menghendakai agar lelang yang
dilaksanakan oleh pejabat lelang dapat dipertanggung jawabkan kepada semua
pihak yang berkepentingan. Pertanggung jawaban pejabat lelang meliputi
adminsitrasi lelang dan pengelolaan uang lelang.
b.
Peran pejabat Lelang Kelas II dalam
Modernisasi Lelang
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27 /PMK.06/2016
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, yang ditetapkan pada tanggal 19 Februari
2016, diundangkan pada tanggal 22 Februari 2016, dan diumumkan pada Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2016,
Nomor 270. Adalah pengganti dari peraturan yang berhubungan dengan
Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang sebelumnya di atur pada Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013. Peraturan
yang ada saat ini merupakan pembaharuan prosedur pelaksanaan lelang dengan
memfasilitasi pelaksanaan lelang dengan mengunakan teknologi internet. Teknologi ini diciptakan
akibat dari seiring dengna kebutuhan manusia untuk memudahkan hidup dari yang
sebelumnya. Kegiatan teknologi informasi
yang berkembang saat ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk saling
berkomunikasi, disamping dimanfaatkan untuk memberi pelayanan kepada masyarakat
dengan lebih mudah dan lebih praktis.
Bahwa perkembangan teknologi informasi
telah mengubah cara-cara bertransaksi dan membuka peluang-peluang baru dalam
melakukan transaksi bisnis. Disamping itu, perkembangan teknologi informasi
telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless)
dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan berlangsung demikian
cepat. Yang mulai berkembang saat ini
adalah perkembangan transaksi secara e-commerce.
Teknologi e-commerce tidak terlepas
dari laju pertumbuhan internet karena e-commerce
berjalan melalui jaringan internet. Hal ini membuat internet menjadi salah satu
media yang efektif bagi pelaku usaha untuk mempermudah pelaksanaan bisnis
mereka tidak hanya sebatas membeli, melainkan juga untuk menjual atau
memperkenalkan produk yang mereka miliki. Apalagi mengirim secara fisik atau
nyata kepada pelanggan lainnya cukup mengirim gambar transaksi dapat berjalan.
Pada transaksi e-commerce diciptakan transaksi bisnis yang lebih praktis tanpa
kertas (paperless) dan dalam
transaksi e-commerce dapat tidak
bertemu secara langsng (face to face)
para pihak yang melakukan transaksi, sehingga dapat dikatakan e-commerce
menjadi penggerak ekonomi baru dalam bidang teknologi. Namun hal ini juga tetap
diantisifasi aspek-aspek negatif lainnya misalnya yang akan merugikan konsumen.
Apalagi kita sudah mempunyai UU Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang diundangkan pada
tanggal 21 April 2008. Salah satu unsur menimbang menyebutkan bahwa pemanfaatan
Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan
perekonomian untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Disamping itu juga UU
ITE ini selalu dihubungkan juga dengan UU Nomor 8 Tahun 2008 tentang
Perlindungan Konsumen yang diundangkan pada tanggal 20 April 1999. Pada ketentuan menimbang dari
UU Konsemun menyebutkan bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsemun
perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap
perilaku usaha yang bertanggung jawab.
Masalah hukum yang berhubungan dengan
perlindungan konsumen harus tetap terjadi saat sistem ini telah diberlakukan.
Maka pengaturan perlindungan hukum bagi konsumen dilakukan dengan cara :[9]
1. Menciptakan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung akses dan informasi serta menjamin kepastian hukum,
2. Melindungi kepentingan konsumen pada
khususnya dan kepentingan pelaku usaha.
3. Meningkatkan kualitas barang dan
pelayanan jasa.
4. Memberikan perlindungan hukum kepada
konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan.
5. Memadukan penyelenggaraan,
pengembangan, dan pengaturan perlindungan hukum bagi konsumen dengan
bidang-bidang perlindungan pada bidang-biang lainnya.
Apa yang tercantum tersebut juga
bisa menjadi sesuatu yang harus selalu diperhatikan dalam hal hubungan dengan pelaksanaan
lelang. Walaupun pengaturan dalam ketentuan Petunjuk Palaksanaan Lelang menurut
Peraturan Menteri Keuangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27 /PMK.06/2016
yang terdiri dari 99 pasal dengan sepuluh Bab. Bahwa pengaturan tersebut
memberikan kemungkinan lelang yang dilaksanakan dengan penawaran melalui
internet dan lelang yang dilaksanakan dengan penawaran melalui surat elektronik
(email). Namun ketentuan tersebut tidak membahas secara menyeluruh mengenai
tata cara apakah pelaksanaan lelang yang penawarannya melalalui internet atau
surat elektronik sama dengan pelaksana lelang pada umumnya, yang menitik berat
kepada kehadiran peserta lelang, dihadapan pejabat lelang.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 1a Vendu Reglement jo
Pasal 25 ayat 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 304/KMK.01/2002, ditentukan
bahwa setiap penjualan di muka umum harus diadakan di hadapan Pejabat Lelang.
Ketentuan ini menjadi dasar dari kompetensi absolut untuk melaksanakan lelang
dihadapan Pejabat Lelang. Namun ketentuan ini dikecualikan dalam hal
sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1a ayat 2 dari RV yang mengatakan dengan
Peraturan Pemerintah dapat dilakukan penjualan umum dibebaskan dari campur
tangan Pejabat Lelang. Begitu juga berdasarkan Pasal 49 VR, mengatur mengenai
pelelangan yang boleh dilakukan tidak dihadapan pejabat lelang, yaitu :
1.
Lelang
barang gadai.
2.
Lelang
Ikan segar di TPI.
3.
Lelang
kayu kecil dan hasi hutan pemerintah.
4.
Lelang
hasil tanah dan perkebunan yang ditanam atas biaya penduduk Indonesia.
5.
Lelang
harta peninggalan tentara, kelas Indonesia dari Angkatan Laut Pemerintah.
6.
Lelang
senjata api, obat bius dan keperluan perang.
Jika
dilihat dari ketentuan yang ada, sangat dimungkinkan penawaran lelang dapat
dilakukan baik secara internet maupun melalui surat elektronik, sebagaimana
yang dimaksud pada ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27 /PMK.06/2016.
Dimungkinnya penawaran lelang secara on line untuk mempermudah pihak-pihak
peserta lelang tidak harus hadir ditempat saat dilaksanakanya lelang, walaupun
ketentuan ini masih sangat dimungkinkan menimbulkan permasalahan hukum. Karena
ketentuan PMK yang ada saat ini belum dimasukan pada prosedur aturan yang
jelas.
Untuk itu
segala prosedur yang berhubungan pelaksanaan Lelang dengan penawaran tanpa
kehadiran melallui internet pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
maupun prosedur juga yang ditetapkan oleh Balai Lelang juga menjadi sesuatu
yang harus dipahami oleh Pejabat Lelang atau Juru Lelang. Karena hal ini bentuk
dari perkembangan teknologi yang makin mempermudah pihak-pihak melakukan
transaksi, atau sangat dimungkinkan juga lelang melakukan teleconference.
Mensikapai
ketentuan yang ada Kementrian Keuangan Republik Indonesia melalui Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara telah membuat
syarat dan ketentuan pelaksanaan lelang dengan penawaran tanpa kehadiran
melalui internet pada kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, sebagai
berikut :
1. Penjualan lelang ini dilakukan menurut
Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908
Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Staatsblad 1941:3) jis.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tanggal 23 April 2010 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013 tanggal 6 Agustus 2013, untuk
dirubah selanjutnya pada Ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
27/PMK.06/2016.
2. Peserta Lelang setuju bahwa transaksi
yang dilakukan melalui aplikasi ini tidak boleh melanggar peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
3. Peserta Lelang wajib tunduk dan taat
pada semua peraturan yang berlaku di Indonesia yang berhubungan dengan
penggunaan jaringan dan komunikasi data baik di wilayah Indonesia maupun dari
dan keluar wilayah Indonesia.
4. Orang atau badan hukum/badan usaha
yang masuk dalam daftar pihak yang dikenakan sanksi tidak diperbolehkan
mengikuti lelang (blacklist)
tidak disahkan keikutsertaannya menjadi Peserta Lelang.
5. Waktu yang digunakan adalah waktu
sistem berdasarkan zona waktu Indonesia bagian barat (WIB).
6. Peserta Lelang dengan penawaran
tertinggi yang telah mencapai atau melampaui Nilai Limit disahkan oleh Pejabat
Lelang sebagai Pembeli. Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih Peserta Lelang
dengan penawaran tertinggi, Peserta Lelang yang melakukan penawaran terlebih
dahulu disahkan sebagai Pembeli.
7. Bea Lelang dalam pelaksanaan lelang ini
dipungut sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada
Kementerian Keuangan.
8. Pelunasan kewajiban pembayaran lelang
oleh Pembeli dilakukan secara tunai paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
pelaksanaan lelang.
9. Pembayaran dengan cek/giro hanya dapat
diterima dan dianggap sah sebagai pelunasan kewajiban pembayaran lelang oleh
Pembeli, jika cek/giro tersebut dikeluarkan oleh bank anggota kliring, dananya
mencukupi dan dapat diuangkan.
10. Peserta Lelang yang telah disahkan
sebagai Pembeli bertanggung jawab sepenuhnya dalam pelunasan kewajiban
pembayaran lelang dan biaya-biaya resmi lainnya berdasarkan peraturan
perundang-undangan pada lelang ini walaupun dalam penawarannya itu ia bertindak
selaku kuasa dari seseorang, perusahaan atau badan hukum.
11. Pembeli yang tidak melunasi kewajiban
pembayaran lelang sesuai ketentuan (Pembeli Wanprestasi), maka pada hari kerja
berikutnya pengesahannya sebagai Pembeli dibatalkan secara tertulis oleh
Pejabat Lelang, tanpa mengindahkan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan dapat dituntut ganti
rugi oleh Penjual.
12. Pembeli tidak diperkenankan
mengambil/menguasai barang yang dibelinya sebelum memenuhi kewajiban pembayaran
lelang. Apabila Pembeli melanggar ketentuan ini, maka dianggap telah melakukan
suatu tindak kejahatan yang dapat dituntut oleh pihak yang berwajib.
13. Barang yang telah terjual pada lelang
ini menjadi hak dan tanggungan Pembeli dan harus dengan segera mengurus Barang tersebut.
14. Pembeli akan diberikan Kutipan Risalah
Lelang untuk kepentingan balik nama setelah menunjukkan kuitansi pelunasan
pembayaran lelang. Apabila yang dilelang berupa tanah dan/atau bangunan
harus disertai dengan menunjukkan asli Surat Setoran BPHTB.
15. Kutipan Risalah Lelang diambil secara
langsung oleh Pembeli atau kuasanya di KPKNL yang menyelenggarakan lelang.
16. Bagi Peserta Lelang yang tidak
disahkan sebagai Pembeli, uang jaminan penawaran lelang yang telah disetorkan
akan dikembalikan seluruhnya tanpa potongan. Apabila bank yang digunakan
Peserta Lelang berbeda dengan bank yang dipakai KPKNL, Peserta Lelang dapat
dikenakan biaya sesuai ketentuan yang berlaku pada tiap bank.
17. Dalam hal
pada hari dan waktu pelaksanaan lelang (penetapan pemenang lelang) terjadi
kahar atau gangguan teknis terkait pelaksanaan lelang dengan penawaran melalui
surat elektronik di KPKNL berupa daya listrik, gangguan jaringan, dan/atau
gangguan aplikasi/sistem, pelaksanaan lelang (penetapan pemenang lelang) akan:
a. ditunda
waktunya, tetapi tetap pada hari yang sama;
b. dijadwalkan
kembali, apabila kondisi kahar belum pulih pada hari tersebut.
18. Dalam hal terjadi pembatalan lelang
akibat kondisi kahar, Peserta Lelang tidak berhak menuntut ganti rugi.
19. Pejabat Lelang/KPKNL tidak menanggung
atas kebenaran keterangan-keterangan tentang keadaan sesungguhnya dan keadaan
hukum atas Barang yang dilelang tersebut, seperti luasnya, batas-batasnya,
perjanjian sewa menyewa dan menjadi resiko Pembeli.
20. Penawar/Pembeli dianggap
sungguh-sungguh telah mengetahui apa yang telah ditawar olehnya. Apabila
terdapat kekurangan/ kerusakan baik yang terlihat ataupun yang tidak terlihat,
maka penawar/Pembeli tidak berhak untuk menolak atau menarik diri kembali
setelah pembelian disahkan dan melepaskan segala hak untuk meminta
kerugian atas sesuatu apapun juga.
21. Peserta Lelang bertanggung jawab penuh
atas isi transaksi elektronik yang dilakukan dengan menggunakan aplikasi ini.
22. Peserta Lelang dianggap melakukan
penawaran secara sadar tanpa paksaan dari pihak mana pun.
23. Peserta Lelang wajib menjaga
kerahasiaan User ID
dan password masing-masing.
24. KPKNL tidak bertanggung jawab atas
segala akibat penyalahgunaan akun Peserta Lelang.
25. KPKNL tidak bertanggung jawab atas
segala kerugian yang dialami oleh Peserta Lelang akibat tindakan pihak lain
yang mengatasnamakan KPKNL/DJKN.
26. Peserta Lelang dilarang saling
mengganggu proses transaksi dan/atau layanan lain yang dilakukan dalam aplikasi
ini.
27. Peserta Lelang setuju bahwa usaha
untuk memanipulasi data, mengacaukan sistem elektronik dan jaringannya adalah
tindakan melanggar hukum.
28. Semua informasi yang sah terkait
dengan transaksi keuangan hanya dapat diperoleh dengan mengakses aplikasi
e-Auction DJKN.
29. Untuk segala hal yang berhubungan
dengan atau diakibatkan oleh pembelian dalam lelang ini, para Pembeli dianggap
telah memilih tempat kedudukan umum yang tetap dan tidak dapat diubah pada
KPKNL yang menyelenggarakan lelang.
30. Khusus
untuk pembelian dalam lelang ini, maka penawar/Pembeli tunduk pada hukum
perdata dan hukum dagang yang berlaku di Indonesia.
Kementrian Keuangan RI melalui Direktorta Jenderal Kekayaan Negara, bahwa juga memberikan petunjuk mengenai tata
cara lelang internet dengan ketentuan, harus telah memenuhi tata cara umum
dimana disebutkan, bahwa lelang yang dilaksanakan dengan penawaran secara
tertulis tanpa kehadiran peserta lelang dnegna melalui Aplikasi Lelang Email (ALE), Kantor Direktorat jenderal Kekayaan
Negara telah memiilki lamat domain https://www.lelangdjkn.kemenkeu.go.id/,
dengan tata cata sebabagi berikut :
1.
Peserta
lelang harus sign-in (bagi yang sudah pernah mendaftar) atau sign-up (bagi yang
belum pernah mendaftar) pada alamat domain di atas untuk mendaftarkan username
dan password masing-masing. Ada beberapa isian yang harus dilengkapi dalam
proses registrasi ini. Pastikan agar alamat email yang didaftarkan ke ALE valid.
2.
Peserta
lelang akan memperoleh kode aktivasi yang dikirim ke alamat email
masing-masing. Kode aktivasi digunakan untuk mengaktifkan username.
3.
Setelah
aktif, peserta lelang memilih obyek lelang pada katalog yang tersedia.
4.
Setelah
memastikan obyek lelang yang dipilihnya, peserta lelang diwajibkan untuk :
a.
Mendaftarkan
nomor identitas/KTP dan NPWP serta dan mengunggah softcopy KTP dan NPWP.
b.
Mendaftarakan
nomor rekening bank atas nama peserta lelang, guna kepentingan pengembalian
uang jaminan bagi peserta lelang tidak ditunjuk sebagai pemenang lelang.
5.
Peserta
lelang akan memperoleh nomor Virtual
Account (VA) yang digunakan sebagai tujuan penyetoran uang jaminan lelang.
Nomor VA dapat dilihat dalam menu “Status Lelang” pada ALE (sesuai username
masing-masing pada ALE).
6.
Setelah
uang jaminan diterima di rekening penampungan KPKNL sesuai ketentuan, dan
peserta lelang dinyatakan bersih dari daftar pihak yang dikenakan sanksi tidak
diperbolehkan mengikuti lelang sesuai ketentuan, maka peserta lelang akan
memperoleh kode token yang digunakan untuk menawar obyek lelang. Kode token
dikirimkan ke alamat email masing-masing peserta lelang.
7.
Penawaran
diajukan dengan cara menekan tombol “Tawar (Bid)” dalam menu “Status Lelang”
pada ALE. Sebelum mengajukan penawaran, peserta lelang harus membaca dan
menyetujui Syarat dan Ketentuan Lelang dengan cara mencentang frasa “Saya
berkehendak untuk mengikuti lelang serta telah membaca dan menyetujui Syarat
dan Ketentuan Lelang ini”.
8.
Penawaran
dapat diajukan berkali-kali sampai batas akhir penawaran lelang ditutup
(closing time). Dalam mengajukan penawaran berkali-kali, penawaran berikutnya
harus lebih tinggi daripada penawaran sebelumnya.
9.
Setelah
batas waktu penawaran lelang berakhir, seluruh penawaran lelang direkapitulasi
oleh ALE sesuai nominal/angka penawaran dan waktu penerimaan penawaran lelang.
Rekapitulasi seluruh penawaran lelang dapat dilihat pada ALE (sesuai username
masing-masing pada ALE). Rekapitulasi seluruh penawaran lelang juga dikirimkan
ke alamat email masing-masing peserta lelang.
10. Seluruh peserta lelang (baik pemenang
lelang maupun peserta lelang) juga akan mendapatkan informasi melalui alamat
email masing-masing mengenai hak dan kewajibannya.
11. Setiap proses yang dilakukan peserta
lelang dan memerlukan tindak lanjut/respon dari petugas (Pejabat Lelang maupun
Bendahara Penerimaan) KPKNL dari ALE, dilakukan pada hari dan jam kerja KPKNL.
Pelaksanaan lelang secara internet ini juga meminta kepada peserta lelang untuk
menempatkan uang jaminan penawaran lelang dnegna ketentuan bahwa jumlah nominal
yang disetor harus sama dengan uang jaminan yang disyaratkan penjual dalam
pengumuman lelang yang disetor sekali gus tanpa dicicil. Setoran uang jamian harus
sudah efektif diterima oleh kantor KPKNL selamat-lambatnya sati hari kerja
sebelum pelalsanaan lelang. Penyetoran uang jaminan lelang ditujukan ke akntor
VA masing-masing peserta lelang. Yang mana nomor VA akan dibagikan secara
otomatis dari ALE kepada masing-masing pserta lelang setelah mengikuti proses
pendaftaran. Penyetoran uang jaminan lelang dapat dilakukan melalui jalur yaitu
ATM, SMS banking, I-Banking dan Teller bank. Diaman pserta lelang harus
memasukan nomor VA masing-masing dalam peyetoran uang jaminan melalui jalur
apapupun. Disamping itu juga setiap penyetoran dan pengembalian uang jaminan
dari dan kepeserta lelang lelang dari bank yang sama dengan bank mitra KPKNL.
Yang mana penyelenggara lelang tidak dikenai biaya apapun. Sedangkan setiap peyetoran
dan atau pengembalian uang jaminan dari bank yang berbeda dengan bank mitra
KPKNL peyelenggara lelang dikenai biaya transaksi perbankan bervarisi sesuai
dengan ketentuan bank masing-masing dan ditanggung oleh peserta lelang.
Dari beberapa ketentuan yang ada, peran pelaksanaan lelang secara
internet juga merupakan bagian dari kemudahan pelaksanaan lelang yang ada saat
ini, untuk memudahkan pihak-pihak bertransaksi tidak harus ditempat terhadap
obyek lelang yang juga harus memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada
semua pihak dalam pelaksanaan lelang.
III.
Kesimpulan
Pemberian perlindungan
hukum dan adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan lelang yang sebelumnya
berbasis dunia nyata menjadi transaksi dunia maya, sesuatu keharusan yang ada
saat ini. Maka sudah saatnya pelaku
dan setiap masyarakat mengetahui segala prosedur yang telah ditetapkan gunanya
memberikan kemudahan kepada setiap peserta lelang.
Kemudahan ini bagian
dari perkembangan teknologi yang selalu meningkat, menjadi hal yang harus
diketahui dan dipahami, dimana khususnya para Pejabat Lelang Kelas II untuk
selalu meningkatkan sumber daya yang
dimiliki.
[1]
Liber Amicorum untuk Prof. Dr. CFG. Sunaryati Hartono, Beberapa Pemikiran Tentang Pembangunan Sistem Hkum Nasioal, Citra
Aditya Bakti, Jakarta, 2011, Hal. 36
[2]Pasal II
AturanperalihanUndang-UndangDasar 1945, “Segala badannegaradanperatauran yang
adamasihlangsungberlaku, selamabelumdiadakan yang
barumenurutUndang-UnangDasarini.
[3]
Purnama Tiori Sianturi, Perlindungan Terhadap Pembeli Barang
Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang, Mandar Maju, Jakarta, 2008, Hal. 1
[4]
Ibid., Hal. 2
[5]
Rachmadi Usman, Hukum Lelang, Sinar
Grafika, jakarta, 2016., Hal. 37
[6]
Ibid
[7]
Ibid
[8]
Ibid., Hal 36
[9]
Abdul Halim Barkatullah, Perlindungan
Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce Lintas Negara Di Indonesia,
FH. UII Press, Yogyakarta, 2009, Hal, 6
Komentar
Posting Komentar