Lembaga Praperadilan yang di Perluas
Lembaga Praperadilan yang di Perluas
(Pasca
Putusan MK)
Mahkamah Konstitusi dalam perkara
Nomor : 21/PUU-XII/2014, pada tanggal 27 April yang lalu telah memutus perihal
mengabulkan sebagaian permohonan pemohon terhadap beberapa ketentuan pada KUHAP
(Kitab Undang Hukum Pidana), khususnya yang berkaitan dengan hak konstitusional
pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual sebagaimana dimaksud pada
ketentuan Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka
14, pasal 17, Pasal 21 ayat 1, Pasal 77 huruf (a), dan Pasal 156 ayat 2 KUHAP yang
berhubungan mengenai praperadilan. Kajian ini berhubungan perihal ketentuan
Pasal 28 D ayat 1 dan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, mengenai pemberian jaminan dan
perlinduangan dalam menempatkan
kepastian hukum yang adil terhadap hak-hak konstitusional.
Putusan
MK tersebut, jelas dari segi perkembangan hukum acara pidana sangat
mempengaruhi dalam pengambilan keputusan terhadap segala ketentuan yang
berhubungan dengan proses penyidikan, bagi aparat penegak hukum. Tidak hanya
perihal penangkapan, penahanan penghentian penyidikan dan penghentian
penututan. Melainkan juga memberi makna perluasan fungsi praperadilan terhadap
segala tindak aparat yang berhubungan dengan penyitaan, pengledahan dan
penetapan status tersangka sesorang. Putusan ini jelas memberi ruang gerak
lebih kepada seseorang yang merasa dirugikan akibat proses perkara. Bagi aparat
penegak hukum harus lebih cermat,
prosedural dan lebih memperhatikan hak-hak individu masyarakat.
Putusan
MK yang ada mereduksi makna yang tercantum pada Pasal 1 angka 10 jungkto Pasal
77 KUHAP, yang selama ini sebagai pintu masuk bagi masyarakat yang merasa tidak
puasa proses projustitia dari proses penagkapan, penahanan dan penhentian
penyidikan dan penuntuan yang dilakukan aprarat penegak hukum selaku penyidik
dan penuntut umum dianggap tidak berpegang pada norma hak-hak individu
masyarakat yang selalu terabaikan. Perluasan makna praperadilan juga sebagai
momentum reformasi ketentuan hukum pidana dan hukum acara yang ada saat ini
yang memang sudah seharusnya direvisi disesuaikan dengan trakta hukum pidana
internasional dan hukum acara yang saat ini lebih menekankan hak-hak individu
masyarakat untuk ditempatkan pada proses keseimbangan kedudukan antara aparat
penegak hukum dan individu masyarakat dalam proses pemeriksaan.
Lembaga praperadilan sebagaimana yang kita
kenal saat ini adalah suatu amanah yang dicantumkan oleh KUHAP terhadap
diberikannya kesempatan pengadilan untuk melakukan pemeriksaan dan memutus
terhadap segala ketentuan yang berhubungan dengan sah atau tidaknya suatau
penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarga atau
pihak lain muapun kuasa hukum tersankga, disamping sah atau tidaknya
penghentian penyidikan atau pengehntian penututan atas permintaan demi tegaknya
hukum dan keadilan. Ketentuan inilah menjadi pemahaman awam mengenai
praperadilan yang ada saat ini.
Namun
pembahasan mengenai lembaga praperadilan menjadi hangat ketika Komjen Budi
Gunawan (BG) mengajukan permohonan praperadilan terhadap ditetapkannya yang
bersangkutan sebagai tersangka oleh KPK dalam tindak pidana gratifikasi. Ditetapkan
seseorang pejabat sebagai tersangka oleh KPK, biasanya selalu menjadi
pemberitaan oleh media cetak dan elektronik. Karena media akan menunggu-nunggu
tindakan apa lagi yang akan dilakukan KPK terhadap si tersangka yang
bersangkutan ? Karena KPK tidak mengenal perintah penghentian penyidikan.
Keputusan KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka dengan latar belakang
prosedural sebagaimana dikatakan, memang harus diuji secara materiilnya, untuk
menemukan apakan segala ketentuan memang telah dijalankan sebagaimana menurut
KUHAP juncto UU Tindak Pidana Korupsi. Bagi BG tindakan KPK yang menetapkan
bersangkutan berstatus tersangka disaat yang bersangkutan ditetapkan Presiden
sebagai calon tunggal Kapolri pengganti Sutarman, menimbulkan polemik di media.
Pro dan kontra menyelimuti pemberitaan media Nasional. Saat media cetak dan
elektronik menjadikan sebagai trading topik, berakibat adanya gesekan dua
intitusi penegak hukum antara Kepolisian dan KPK, dengan masing-masing
menunjukan kekuatannya. Lembaga Kepolisian menetapkan anggota komisiner KPK
sebagai tersangka untuk kasus Bambang Widjoyanto dan Abraham Samad.
Praperadilan yang diajukan BG terhadap
keputusan KPK tersebut, memang selalu disalah artikan oleh sebagian kalangan
masyarakat maupun pengamat dengan segala argumentasi yang disampaikan. Padahal
lembaga praperadilan merupakan amanah UU dan hal tersebut memang dimungkinkan
disaat yang bersangkuta merasa tidak puas
saat ditetapkannya yang berangkutan sebagai tersangka. Walaupun secara
frase redaksional ketentuan Pasal 1 angka 10 dalam pengertian tidak menunjukan
penetapan tersangka sebagai media praperadilan. Pasal 1 angka 10 membahas
perihal sah tidaknya penangkapan atau penahan dan juga sah atau tidaknya
penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, disamping permintaan ganti
rugi atau reabilitasi oleh tersangka terhadap perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan. Karena ditetapkannya
seseorang untuk ditahan juga selalu berhubungan dengan penetapan status
tersangka yang bersangkutan. Tidak mungkin seseorang ditahan tanpa tidak
ditetapkan berstatus tersangka. Pintu masuk dilembaga praperadilan sebagai
media atau tempat untuk menguji benar tidaknya penyidik telah menerapkan aturan
norma yang tercantum pada KUHAP sebagai peraturan generalis terhadap UU lainnya
? Cara subjektifitas hakim dalam memutus
juga dengan pertimbangan hukumnya juga harus diapresiasi.
Bambang Syamsuzar Oyong, SH., MH
Notaris PPAT Kota Banjarmasin
Komentar
Posting Komentar