Eksekusi dan Lelang dalam Hukum Acara Perdata
EKSEKUSI DAN LELANG
DALAM HUKUM ACARA PERDATA1
------------------------------------------------------------------
Oleh : Prof. Dr. H.
ABDUL MANAN, SH.,SIP.,M.Hum
Hakim Agung, Mahkamah Agung RI
1.
Pengertian Eksekusi
Eksekusi adalah hal menjalankan putusan Pengadilan
yang sudah berkekuatan
hukum tetap. Putusan Pengadilan yang dieksekusi adalah
putusan Pengadilan yang
mengandung perintah kepada salah satu pihak untuk
membayar sejumlah uang, atau
juga pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan
pengosongan benda tetap,
sedangkan pihak yang kalah tidak mau melaksanakan
putusan itu secara sukarela
sehingga memerlukan upaya paksa dari Pengadilan untuk
melaksanakannya.
Putusan Pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah
putusan yang mempunyai
kekuatan eksekutorial. Ada pun yang memberikan
kekuatan eksekutorial pada
putusan Pengadilan terletak pada kepada putusan yang
berbuyi “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di samping itu
putusan Pengadilan yang
mempunyai titel eksekutorial adalah putusan yang
bersifat atau yang mengandung
amar “condemnatoir”, sedangkan putusan Pengadilan yang
bersifat deklaratoir dan
constitutif tidak dilaksanakan eksekusi karena tidak
memerlukan eksekusi dalam
menjalankannya. Menurut Sudikno Mertokusumo (1988 :
201) eksekusi pada
hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada
kewajiban pihak yang kalah untuk
memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan
Pengadilan tersebut. Pihak yang
menang dapat memohon eksekusi pada Pengadilan yang
memutus perkara tersebut
untuk melaksanakan putusan tersebut secara paksa (execution force).
Dalam pelaksanaan eksekusi dikenal beberapa asas yang
harus dipegangi
oleh pihak Pengadilan, yakni sebagai berikut :
1 Makalah ini disampaikan pada acara
RAKERNAS Mahkamah Agung - RI di Hotel Mercuri Ancol tanggal 18-22
September 2011 2005
a. Putusan Pengadilan harus sudah berkekuatan hukum tetap.
Sifat putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap
adalah tidak ada lagi
upaya hukum, dalam bentuk putusan tingkat pertama, bisa
juga dalam bentuk
putusan tingkat banding dan kasasi. Sifat dari putusan
yang sudah berkekuatan
hukum tetap adalah litis finiri opperte, maksudnya
tidak bisa lagi disengketakan
oleh pihak-pihakyang berperkara.
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai
kekuatan
mengikat para pihak-pihak yang berperkara dan ahli
waris serta pihak-pihak yang
mengambil manfaat atau mendapat hak dari mereka.
Putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap dapat dipaksa pemenuhannya
melalui Pengadilan jika
pihak yang kalah tidak mau melaksanakannya secara
sukarela.
Pengecualian terhadap asas ini adalah : (1)
pelaksanaan putusan uit
voerbaar bij voorraad sesuai dengan Pasal 191 ayat (1)
R.Bg, dan Pasal 180 ayat
(2) pelaksanaan putusan provisi sesuai dengan Pasal
180 ayat (1) HIR, Pasal 191
ayat (1) R.Bg. dan Pasal 54 Rv. (3) pelaksanaan
putusan perdamaian sesuai dengan
Pasal 130 ayat (2) HIR dan Pasal 154 ayat (2) R.Bg.
(4) eksekusi berdasarkan
Grose akte sesuai dengan Pasal 224 HIR. dan Pasal 258
R.Bg.
b. Putusan tidak dijalankan secara
sukarela.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 196 HIR. dan Pasal 207
R.Bg maka ada dua
cara menyelesaikan pelaksanaan putusan yaitu dengan
cara sukarela karena pihak
yang kalah dengan sukarela melaksanakan putusan
tersebut, dan dengan cara
paksa melalui proses eksekusi oleh Pengadilan.
Pelaksanaan putusan Pengadilan secara paksa
dilaksanakan dengan bantuan
pihak kepolisian sesuai dengan Pasal 200 ayat (1) HIR.
c. Putusan mengandung amar Condemnatoir
Putusan yang bersifat Condemnatoir biasanya dilahirkan
dari perkara yang
bersifat contensius dengan proses pemeriksaan secara
contradictoir. Para pihak
yang berperkara terdiri dari para pihak Penggugat dan
Tergugat yang bersifat
partai.
Makalah Rakernas MA 2011 | 4
Ada pun ciri putusan yang bersifat condemnatoir
mengadung salahsatu
amar yang menyatakan :
(1) Menghukum atau memerintahkan untuk “menyerahkan”.
(2) Menghukum atau memerintahkan untuk “pengosongan”
(3) Menghukum atau memerintahkan untuk “membagi”
(4) Menghukum atau memerintahkan untuk “melakukan
sesuatu”
(5) Menghukum atau memerintahkan untuk “menghentikan”
(6) Menghukum atau memerintahkan untuk “membayar”
(7) Menghukum atau memerintahkan untuk “membongkar”
(8) Menghukum atau memerintahkan untuk “tidak
melakukan sesuatu”
d. Eksekusi di bawah pimpinan Ketua Pengadilan
Menurut Pasal 195 ayat (1) HIR dan Pasal 206 ayat (1)
R.Bg yang
berwenang melakukan eksekusi adalah Pengadilan yang
memutus perkara yang di
minta eksekusi tersebut sesuai dengan kompetentsi
relatif. Pengadilan tingkat
banding tidak diperkenankan melaksanakan eksekusi.
Sebelum melaksanakan eksekusi. Ketua Pengadilan
terlebih dahulu
mengeluarkan penetapan yang ditujukan kepada
Pantiera/Jurusita untuk
melaksanakan eksekusi dan pelaksanaan eksekusi
tersebut dilaksanakan di bawah
pimpinan Ketua Pengadilan.
2. Macam-macam eksekusi
Sudikno Mertokusumo,SH. (1988:201) mengemukakan ada
tiga jenis eksekusi
yaitu: (1) eksekusi putusan yang menghukum pihak yang
dikalahkan untuk membayar
sejumlah uang sebagaimana diatur dalam Pasal 196 HIR,
dan Pasal 208 R.Bg. (2)
eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan
sesuatu perbuatan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 225 HIR, dan Pasal
259 R.Bg. (3) eksekusi riil
yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan
mengosongkan benda tetap
kepada orang yang dikalahkan, tetapi perintah tersebut
tidak di laksanakan secara
sukarela. Eksekusi terakhir ini diatur dalam Pasal
1033 Rv. dalam Pasal 200 ayat (11)
HIR, dan Pasal 218 ayat (2) R.Bg. hanya mengenal
eksekusi riil dalam penjualan lelang.
Makalah Rakernas MA 2011 | 5
Dalam praktek Peradilan dikenal dua macam eksekusi
yaitu (1) eksekusi riil
atau nyata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 200
ayat (11) HIR, Pasal 218 ayat (2)
R.Bg. dan Pasal 1033 Rv yang meliputi penyerahan,
pengosongan, pembongkaran,
pembahagian, dan melakukan sesuatu, (2) eksekusi
pembayaran sejumlah uang melalui
lelang atau executorial verkoop sebagaimana tersebut
dalam Pasal 200 HIR. dan Pasal
215 R.Bg. Eksekusi yang terakhir ini dilakukan dengan
menjual lelang barang-barang
debitur, atau juga dilakukan dalam pembahagian harta
bila pembahagian in natura tidak
disetujui oleh para pihak atau tidak mungkin dilakukan
pembahagian in natura dalam
sengketa warisan atau harta bersama (M. Yahya Harahap,
SH. 1991:5).
3. Tata cara eksekusi riil
Dalam menjalankan eksekusi terhadap perkara-perkara
yang menjadi
wewenang Pengadilan Agama dapat ditempuh
tahapan-tahapan sebagai berikut :
a. Permohonan pihak yang menang.
Jika pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan
putusan Pengadilan
secara sukarela, maka pihak yang menang dapat
mengajukan permohonan kepada
Ketua Pengadilan yang memutuskan perkara tersebut
untuk dijalankan secara
paksa hal-hal yang telah disebutkan dalam amar
putusan.
Permohonan pengajuan eksekusi kepada Ketua Pengadilan
merupakan
suatu keharusan yang harus dilakukan oleh pihak yang
menang agar putusan
tersebut dapat dijalankan secara paksa sebagaimana
tersebut dalam Pasal 207 ayat
(1) R.Bg. dan Pasal 196 HIR. Jika para pihak yang
menang ingin putusan Pengadilan
supaya dijalankan secara paksa, maka ia harus membuat
surat permohonan yang
diajukan kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara,
memohon agar putusan
supaya dijalankan secara paksa karena pihak yang kalah
tidak mau melaksanakan isi
putusan tersebut. Tanpa ada surat permohonan tersebut
maka eksekusi tidak
dapat dilaksanakan.
b. Penaksiran biaya eksekusi.
Jika Ketua Pengadilan telah menerima permohonan
eksekusi dari pihak
yang berkepentingan, maka segera memerintahkan meja
satu untuk menaksir biaya
eksekusi yang diperlukan dalam pelaksanaan eksekusi
yang dilaksanakannya.
Makalah Rakernas MA 2011 | 6
Biaya yang diperlukan meliputi biaya pendaftaran
eksekusi, biaya saksi-saksi
dan biaya pengamanan serta lain-lain yang dianggap
perlu. Setelah biaya eksekusi
tersebut dibayar oleh pihak yang menghendaki eksekusi
kepada Panitera atau
petugas yang ditunjuk untuk mengurus biaya perkara,
barulah permohonan
eksekusi tersebut didaftarkan dalam register eksekusi.
c. Melaksanakan peringatan (Aan maning)
Aan maning merupakan tindakan dan upaya yang dilakukan
oleh Ketua
Pengadilan berupa teguran kepada pihak yang kalah agar
ia melaksanakan isi
putusan secara sukarela. Aan maning dilakukan dengan
melakukan panggilan
terhadap pihak yang kalah dengan menentukan hari, tanggal
dan jam persidangan
dalam surat panggilan tersebut.
Memberikan peringatan (Aan maning) dengan cara : (1)
melakukan sidang
insidentil yang dihadiri oleh Ketua Pengadilan,
Panitera dan pihak yang kalah, (2)
memberikan peringatan atau tegoran supaya ia menjalankan
putusan Hakim dalam
waktu delapan hari, (3) membuat berita acara Aan
maning dengan mencatat semua
peristiwa yang terjadi di dalam sidang tersebut
sebagai bukti othentik, bahwa Aan
maning telah dilakukan dan berita acara ini merupakan
landasan bagi perintah
eksekusi yang akan dilaksanakan selanjutnya.
Apabila pihak yang kalah tidak hadir dalam sidang Aan
maning, dan
ketidakhadirannya dapat dipertanggungjawabkan, maka
ketidak hadirannya itu
dapat dibenarkan dan pihak yang kalah itu harus
dipanggil kembali untuk Aan
maning yang kedua kalinya. Jika ketidakhadiran pihak
yang kalah setelah dipanggil
secara resmi dan patut tidak dapat
dipertanggungjawabkan, maka gugur haknya
untuk dipanggil lagi, tidak perlu lagi proses sidang
peringatan dan tidak ada
tenggang masa peringatan. Secara ex officio Ketua
Pengadilan dapat langsung
mengeluarkan surat penetapan perintah eksekusi kepada
Panitera/Jurusita.
d. Mengeluarkan surat perintah eksekusi
Apabila waktu yang telah ditentukan dalam peringatan
(Aan maning) sudah
lewat dan ternyata pihak yang kalah tidak menjalankan
putusan, dan tidak mau
menghadiri panggilan sidang peringatan tanpa alasan
yang sah, maka Ketua
Pengadilan mengeluarkan perintah eksekusi dengan
ketentuan : (1) perintah
Makalah Rakernas MA 2011 | 7
eksekusi itu berupa penetapan, (2) perintah ditujukan
kepada Panitera atau
Jurusita yang namanya harus disebut dengan jelas, (3)
harus menyebut dengan jelas
nomor perkara yang hendak dieksekusi dan objek barang
yang hendak dieksekusi,
(4) perintah eksekusi dilakukan di tempat letak barang
dan tidak boleh di belakang
meja, (5) isi perintah eksekusi supaya dilaksanakan
sesuai dengan amar putusan.
Para praktisi hukum berbeda pendapat tentang kapan
surat perintah
eksekusi dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan, apakah
surat perintah eksekusi
tersebut dikeluarkan terhitung sejak panggilan tidak
dipenuhi oleh pihak yang
kalah, atau setelah pihak yang menghendaki eksekusi
mengajukan permohonan
kembali setelah pihak yang kalah tidak mau
mengindahkan peringatan sesuai
dengan waktu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan.
Pendapat yang terakhir ini
banyak dipergunakan oleh Pengadilan dalam melaksanakan
eksekusi riil dengan
pertimbangan bahwa pendapat yang terakhir itu lebih
logis daripada pendapat yang
pertama. Permohonan pelaksanaan eksekusi penting untuk
kelengkapan
administrasi eksekusi, di samping itu permohonan
pelaksanaan eksekusi
diperlukan untuk adanya kepastian pelaksanaan eksekusi
itu sendiri, sebab tidak
sedikit pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan
putusan setelah diadakan
peringatan bersedia melaksanakan putusan tersebut
secara sukarela, sehingga tidak
perlu dilaksanakan eksekusi lagi.
Selain dari hal tersebut di atas, maka praktisi hukum
masih mempersoalkan
kepada siapa perintah eksekusi diberikan, apakah
kepada Panitera atau Jurusita,
atau juga kepada kedua-duanya secara bersamaan.
Terhadap hal ini sebenarnya
dapat dipedomani beberapa ketentuan
perundang-undangan. Menurut Pasal 33
ayat (3) Undang-undang Nomor : 14 Tahun 1970
dikemukakan bahwa pelaksanaan
putusan Pengadilan dalam perkara perdata dilakukan
oleh Panitera dan Jurusita
yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan. Kemudian dalam
Pasal 57 Undang-undang
Nomor : 13 Tahun 1965 ditentukan dalam perkara
perdata, Panitera
melaksanakan keputusan Pengadilan bertindak pula
sebagai Jurusita. Dalam Pasal
197 ayat (2) dan ayat (6) HIR, Pasal 209 ayat (1),
Pasal 210 ayat (1) R.Bg. penyitaan
dilakukan oleh Panitera dengan dibantu oleh dua orang
saksi. Kemudian dalam
Makalah Rakernas MA 2011 | 8
Pasal 197 ayat (3) HIR. dan Pasal 209 ayat (2) R.Bg.
ditentukan apabila Panitera
berhalangan, ia dapat diganti oleh orang ditunjuk
untuk itu.
Melihat kepada peraturan perundang-undangan tersebut,
maka dapat
disimpulkan bahwa yang diberi wewenang untuk
melaksanakan eksekusi adalah
Panitera. Apabila Panitera berhalangan maka dilakukan
oleh Jurusita. Jadi tidak
dilaksanakan bersama-sama, melainkan Panitera sendiri
atau Jurusita sendiri
dengan dibantu oleh dua orang saksi.
e. Pelaksanaan eksekusi riil
Perintah eksekusi yang dibuat Ketua Pengadilan,
Panitera atau apabila ia
berhalangan dapat diwakilkan kepada Jurusita dengan
ketentuan harus menyebut
dengan jelas nama petugas dan jabatannya yang bertugas
melaksanakan eksekusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) HIR dan
Pasal 209 R.Bg. Dalam
pelaksanaan eksekusi tersebut, Pantiera atau Jurusita
dibantu dua orang saksi
berumur 21 tahun, jujur dan dapat dipercaya yang
berfungsi membantu Panitera
atau Jurusita yang melaksanakan eksekusi, sebagaimana
diatur dalam Pasal 197 ayat
(6) HIR dan Pasal 210 R.Bg.
Panitera atau Jurusita yang melaksanakan eksekusi
harus datang ke tempat
objek barang yang di eksekusi, tidak dibenarkan
mengeksekusi barang-barang
hanya di belakang meja atau dengan cara jarak jauh.
Eksekusi harus dilaksanakan
sesuai dengan bunyi amar putusan, apabila
barang-barang yang dieksekusi secara
nyata berbeda dengan amar putusan, maka Panitera atau
Jurusita yang melakukan
eksekusi harus menghentikan eksekusi tersebut, dan
membuat berita acara bahwa
eksekusi tidak dapat dilaksanakan karena amar putusan
dengan objek yang akan
dieksekusi tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Berita acara eksekusi harus memuat hal-hal : (1) jenis
barang-barang yang
dieksekusi, (2) letak, ukuran dan luas barang tetap
yang dieksekusi, (3) hadir
tidaknya pihak yang tereksekusi, (4) penegasan dan
keterangan pengawasan
barang, (5) penjelasan non bavinding bagi yang tidak
sesuai dengan amar putusan,
(6) penjelasan dapat atau tidaknya eksekusi
dijalankan, (7) hari, tanggal, jam, bulan
dan tahun pelaksanaan eksekusi. (8) berita acara
eksekusi ditanda tangani oleh
Makalah Rakernas MA 2011 | 9
pejabat pelaksana eksekusi, dua orang saksi, Kepala
Desa/Lurah setempat dan
tereksekusi.
Kepala Desa/Lurah, Camat dan tereksekusi secara yuridis
formal tidak
diwajibkan menandatangani berita acara. Namun untuk
menghindari hal-hal yang
mungkin timbul di belakang hari, sebaiknya kepada
mereka ini diharuskan
menandatangani berita acara eksekusi yang dibuat oleh
Panitera atau Jurusita yang
melaksanakan eksekusi tersebut.
Berdasarkan Pasal 197 ayat (5) HIR, Panitera atau
orang yang ditunjuk
sebagai penggantinya membuat berita acara eksekusi
yang dilakukannya, dan
kepada tereksekusi supaya diberitahukan tentang
eksekusi tersebut jika ia hadir
pada waktu eksekusi dilaksanakan maka pemberitahuan
itu dilaksanakan dengan
cara menyerahkan salinan/ fotocopy berita acara
eksekusi tersebut.
4. Eksekusi pembayaran sejumlah uang
Dasar hukum pelaksanaan eksekusi sejumlah uang diatur
dalam Pasal 197-200
HIR dan Pasal 208-218 R.Bg. Apabila amar putusan
berisi penghukuman pembayaran
sejumlah uang, berarti Tergugat dipaksa untuk melunasi
sejumlah uang kepada
Penggugat dengan jalan menjual lelang harta kekayaan
Tergugat. Objeknya adalah
sejumlah uang yang dilunasi Tergugat kepada Penggugat.
Eksekusi ini dapat
dilaksanakan berulang-ulang sampai pembayaran sejumlah
uang selesai pembayarannya.
Dalam praktek Peradilan, eksekusi pembayaran sejumlah
uang dilaksanakan
dalam beberapa tahapan sebagai berikut :
a. Mengeluarkan penetapan sita eksekusi
Setelah Pengadilan menerima permohonan eksekusi dari
pihak yang
menang, segera mengeluarkan surat panggilan kepada
pihak yang kalah untuk
menghadiri sidang Aan maning (tegoran) agar pihak yang
kalah itu mau
melaksanakan putusan secara sukarela, sebagaimana
diatur dalam Pasal 207 ayat
(1) dan (2) R.Bg. dan Pasal 196 HIR.
Apabila pihak yang kalah tidak bersedia melaksanakan
putusan Pengadilan,
padahal sudah dilaksanakan peringatan, maka Ketua
Pengadilan mengeluarkan
penetapan sita eksekusi sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 208 R.Bg. dan Pasal
Makalah Rakernas MA 2011 | 10
197 HIR dan Pasal 439 Rv. Bentuk surat sita eksekusi
adalah berupa penetapan
yang ditujukan kepada Pantiera atau Jurusita dengan
menyebutkan namanya secara
jelas.
Jika dalam surat putusan Pengadilan sudah ada
diletakkan sita jaminan (CB),
maka sita eksekusi tidak diperlukan lagi, sita jaminan
(CB) tersebut dengan
sendirinya menjadi sita eksekusi, cukup dikeluarkan
surat penegasan bahwa sita
jaminan (CB) itu menjadi sita eksekusi.
Seluruh ketentuan dan tata cara sita jaminan (CB)
berlaku sepenuhnya
terhadap sita eksekusi.
b. Mengeluarkan perintah eksekusi
Setelah penetapan sita eksekusi dilaksanakan, maka
proses selanjutnya
adalah mengeluarkan surat perintah eksekusi yang
dilaksanakan oleh Ketua
Pengadilan. Surat perintah eksekusi tersebut berisi
perintah penjualan lelang
barang-barang yang telah diletakkan sita eksekusinya
dengan menyebut jelas objek
yang akan dieksekusi serta menyebutkan putusan yang menjadi
dasar eksekusi
tersebut.
c. Pengumuman lelang
Tahap berikutnya adalah melaksanakan pengumuman
melalui surat kabar
dan mass media terhadap barang-barang yang akan
dieksekusi lelang sesuai dengan
Pasal 200 ayat (6) HIR dan Pasal 217 ayat (1) R.Bg.
Pengumuman lelang barang bergerak dilakukan menurut
kebiasaan
setempat dengan cara menempelkan pemberitahuan lelang
pada papan
pengumuman Pengadilan atau pengumuman melalui surat
kabar dan mass media
lainnya. Saat pengumuman ini boleh dilaksanakan sesaat
setelah sita eksekusi
diperintahkan, atau sesaat setelah lewat peringatan
bila telah ada sita jaminan
(CB) sebelumnya.
Penjualan lelang dapat dilakukan paling cepat delapan
hari dari tanggal sita
eksekusi atau paling cepat delapan hari dari
peringatan apabila barang yang hendak
dilelang telah diletakkan dalam sita jaminan (CB)
sebelumnya.
Jika barang yang akan dilelang meliputi barang yang
tidak bergerak,
pengumumannya disamakan dengan barang yang tidak
bergerak yakni melalui mass
Makalah Rakernas MA 2011 | 11
media, pengumuman cukup satukali dan dilaksanakan
paling lambat 14 hari dari
tanggal penjulan lelang.
d. Permintaan lelang
Jika
pengumuman telah dilaksanakan sebagaimana ketentuan tersebut di
atas,
Ketua Pengadilan meminta bantuan Kantor Lelang Negara untuk menjual
lelang
barang-barang yang telah diletakkan sita eksekusi.
Surat
permintaan lelang yang ditujukan kepada Kantor Lelang Negara itu
dilampiri
surat-surat sebagai berikut :
- Salinan
surat putusan Pengadilan.
- Salinan
penetapan eksekusi.
- Salinan
berita acara sita.
- Salinan
penetapan lelang.
- Salinan
surat pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan.
- Perincian
besarnya jumlah tagihan.
- Bukti
pemilikan (sertifikat tanah) barang lelang.
- Syarat-syarat
lelang.
- Bukti
pengumuman lelang.
e. Pendaftaran permintaan lelang
Kewajiban
pendaftaran permintaan lelang pada Kantor Lelang sesuai Pasal 5
Peraturan
Lelang Stb. 1908 Nomor : 189. Kantor Lelang mendaftarkan permintaan
lelang
itu dalam buku yang khusus untuk itu dan sifat pendaftaran itu terbuka
untuk
umum. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada siapa
saja
supaya melihat pendaftaran tersebut, sehingga bagi yang berminat untuk ikut
dalam
pelelangan tersebut dapat menentukan sikapnya.
f. Penetapan hari lelang
Yang
berhak menetapkan hari lelang adalah Kantor Lelang Negera yang
berwenang.
Ketua Pengadilan boleh mengusulkan hari lelang agar dilaksanakan
pada
hari yang ditentukan oleh Pengadilan, tetapi sepenuhnya terserah kepada
Kantor
Lelang Negara untuk menetapkannya dan Kantor Lelang Negara tidak
Makalah
Rakernas MA 2011 | 12
terikat
dengan permintaan Ketua Pengadilan, dia dapat menentukan waktu lelang
dilaksanakan
sendiri tenpa dipengaruhi oleh pihak lain.
g. Penentuan syarat lelang dan floor price
Berdasarkan
Pasal 1b dan Pasal 21 Peraturan Lelang Stb. 1908 No. 189
ditentukan
bahwa yang menetapkan dan yang menentukan syarat lelang adalah
Ketua
Pengadilan yang bertindak sebagai pihak penjual untuk dan atas nama
tereksekusi.
Kewenangan ini meliputi juga berubah syarat lelang yang sudah
ditentukan
sebelumnya.
Syarat
yang paling penting dalam pelaksanaan lelang adalah tata cara
penawaran
dan tata cara pembayaran. Syarat-syarat ini harus dilampirkan pada
permintaan
lelang agar umum mengetahuinya. Penggugat atau Tergugat dapat
mengusulkan
syarat, tetapi usul tersebut dapat dipertimbangkan, dan tidak
berpengaruh
pada pelaksanaan lelang sebab yang menentukan adalah Ketua
Pengadilan
yang melaksanakan lelang.
Dalam
Pasal 9 Peraturan Lelang Stb, 1908 No. 189 ditetapkan pula bahwa
patokan
harga terendah merupakan harga yang disetujui untuk membenarkan
penjualan
lelang. Dalam hal ini yang berwenang adalah Kantor Lelang Negera,
bukan
pihak Penggugat atau tereksekusi. Ukuran floor price adalah sesuai dengan
harga
pasaran dengan memperhatikan nilai ekonomis barang.
h. Tata cara penawaran
Bagi
pihak-pihak yang berminat ikut dalam acara lelang yang
diselenggarakan
oleh Kantor Lelang Negara, maka pihak tersebut harus
mengajukan
penawaran secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyebut
nama
dan alamat penawar secara jelas dan terang, menyebutkan harga yang
disanggupinya
dan ditandatangani oleh pihak penawar. Penawaran harus
dilaksanakan
secara sendiri-sendiri, tidak boleh dilakukan secara bersama-sama.
Juru
lelang harus menolak penawaran yang lebih dari satu orang dalam satu surat
penawaran.
Penawaran
lisan dapat dibenarkan jika dalam penawaran tertulis tidak
berhasil.
Jadi penawaran lisan ini merupakan lanjutan dari penawaran tertulis,
maksudnya
apabila tidak satu pun surat penawaran yang mencapai patokan harga
Makalah
Rakernas MA 2011 | 13
(floor price), maka penawaran dapat dilanjutkan secara
lisan. Tetapi kebolehan
tersebut
terlebih dahulu harus ada persetujuan pihak penjual dalam hal ini
Pengadilan.
Sehubungan dengan hal ini, jika penawaran tertulis gagal, maka Ketua
Pengadilan
sebaiknya segera menetapkan penawaran secara lisan.
Pendaftaran
penawaran diajukan oleh pihak yang ikut lelang kepada Kantor
Lelang
dengan cara memasukkan kertas penawaran itu dalam amplop tertutup.
Selanjutnya
Kantor Lelang Negara segera mendaftarkan penawaran itu dalam buku
yang
telah disediakan untuk itu.
i. Pembeli lelang dan menentukan pemenang
Pembeli
lelang adalah penawar tertinggi dan tawaran itu minimal sesuai
dengan
floor price. Untuk mendukung kemenangannya diperlukan syarat yaitu
penelitian
secara seksama tentang keabsahan pendaftaran, disamping itu perlu
diteliti
kemampuan pembayaran sehingga jangan sampai terjadi hal-hal yang
merugikan
pihak pelaksana lelang dan pemohon eksekusi.
Setelah
hal tersebut di atas dilaksanakan, maka barulah juru lelang
mengumumkan
atau menentukan pemenangnya. Jika terjadi beberapa penawaran
yang
sama nilai penawarannya, maka pihak yang berkepentingan dapat mengajukan
keberatan
atas penentuan pemenang lelang tersebut, keberatan terseut diajukan
kepada
Pengadilan yang melaksanakan lelang (penjual), namun terserah Pengadilan
untuk
menerima atau menolak keberatan tersebut.
Dalam
praktek Peradilan, biasanya juru lelang mengajukan pemenang
kepada
Pengadian dengan tujuan untuk mendapatkan pengesahan, setelah
mendapat
pengesahan dari Pengadilan maka barulah juru lelang mengeluarkan
penetapan
pemenang.
j. Pembayaran harga lelang
Pengadilan
berhak menentukan syarat-syarat pembayaran lelang.
Ketentuan
ini harus berpedoman kepada Pasal 26 Peraturan Lelang Stb. 1908
Nomor
: 189. Apabila harga relatif kecil, maka pembayaran harga lelang harus
dilakukan
secara tunai, karena hal ini tidak sulit bagi pembeli untuk melunasinya.
Jika
telah ditetapkan pembayaran harus dilaksanakan secara tunai, tetapi para
Makalah
Rakernas MA 2011 | 14
pemenang
lelang tidak melunasi secara tunai sebagaimana yang telah ditetapkan,
maka
gugur haknya sebagai pemenang lelang, atau pembeli.
Jika
pemenang lelang membayar sebahagian dan menunda sebahagian, dapat
dibenarkan
dalam jangka waktu beberapa hari saja (tidak terlalu lama), inipun
harus
dilaksanakan dengan memberikan jaminan kepada pihak penjual (Pengadilan).
Dalam
hal ini pembayaran mesti langsung dilunasi sesaat setelah penawar
dinyatakan
sebagai pemenang, sisanya dilunasi pada jangka waktu yang ditentukan.
Apabila
pembayaran ditunda keseluruhan, dapat dibenarkan apabila harga
lelang
dalam jumlah besar. Ketentuan ini dapat dibenarkan apabila ditentuakan
terlebih
dahulu dalam syarat lelang atau ada izin dari pengawas kantor lelang. Hal
ini
dengan pertimbangan, bahwa pemenang lelang itu tidak mungkin menyiapkan
segera
pembayaran dalam waktu singkat, dengan ketentuan harus memberikan
jaminan
yang sama nilainya dengan harga pembayaran lelang. Apabila dalam waktu
yang
ditetapkan pemenang lelang belum membayar harga lelang sebagaimana yang
ditentukan
maka atas kelalaian itu dikenakan denda sebagaimana yang ditentukan
dalam
Pasal 22 ayat (7) Peraturan Lelang Stb. 1908 Nomor : 189.
Jika
melunasi tepat waktu, didenda 2 % dari jumlah yang belum dibayar dan
jika
kelalaian pembayaran melampaui satu bulan, denda dinaikan menjadi 5 % dari
jumlah
yang belum dibayar. Hal ini analog dengan Pasal 1246 KUH Perdata.
5. Beberapa masalah hukum dalam pelaksanaan eksekusi
a. Tentang pendelegasian eksekusi.
Ada
kemungkinan bahwa barang-barang yang dimohonkan eksekusi itu
berada
di luar wilayah yurisdiksi Pengadilan yang memutus perkaranya.
Persoalannya
adalah bagaiana cara melaksanakan eksekusinya ? Dalam hal ini dapat
ditempuh
dengan menggunakan lembaga “pendelegasian eksekusi” sebagaimana
yang
diatur dalam Pasal 206 R.Bg dan Pasal 195 HIR. yaitu pelaksanaan eksekusi
harus
dilakukan melalui pendelegasian atau permintaan bantuan kepada Pengadilan
lain,
untuk melaksanakan eksekusi sesuai dengan surat penetapan yang
disampaikan
kepadanya.
Makalah
Rakernas MA 2011 | 15
Tata
cara pelaksanaan pendelegasian eksekusi terhadap objek yang berada
di
luar yurisdiksi Pengadilan yang memutus perkara, adalah sebagai berikut :
- Membuat surat penetapan eksekusi
Ketua
Pengadilan membuat surat penetapan yang isinya memerintahkan
kepada
Panitera atau Jurusita Pengadilan yang memutuskan perkara melalui
Panitera
atau Jurusita Pengadilan tempat objek yang akan dilaksanakan
eksekusinya.
Dalam
surat penetapan eksekusi tersebut, dirinci segala hal yang
dieksekusi
secara jelas, kalau hal yang menyangkut benda tetap harus jelas
ukurannya,
luas dan batas-batasnya. Kalau barang-barang bergerak harus jelas
mereknya,
jumlahnya dan hal-hal yang diperlukan. Surat penetapan eksekusi itu
dikirim
kepada Pengadilan tempat objek eksekusi berada dengan surat
pengantar
Ketua Pengadilan atau Panitera atas nama Ketua Pengadilan.
- Berita acara eksekusi
Pengadilan
Agama yang menerima permintaan eksekusi segera
melaksanakan
eksekusi sesuai dengan penetapan eksekusi Pengadilan yang
meminta
pelaksanaan eksekusi Pengadilan yang menerima permintaan
eksekusi
tidak dibenarkan menilai isi penetapan eksekusi yang dikirim oleh
Pengadilan
yang meminta eksekusi.
Jika
eksekusi telah dilaksanakan, maka Ketua Pengadilan yang
melaksanakan
eksekusi tersebut segera membuat berita acara eksekusi berita
acara
eksekusi dan segera pula mengirimkannya kepda Pengadilan yang
meminta
pelaksanaan eksekusi dalam tempo dua kali dua puluh empat jam.
- Tentang biaya eksekusi
Yang
menaksir biaya pelaksanaan eksekusi adalah Pengadilan yang
meminta
eksekusi dilaksanakan. Tentang berapa besar biaya eksekusi yang
diperlukan
adalah menurut kebutuhan di lapangan. Tehnis pengirimannya
kepada
Pengadilan yang diminta bantuan eksekusi bisa dilakukan sebelum
eksekusi
dilaksanakan, atau bersama-sama dengan surat permintaan eksekusi
dikirimkan,
atau bisa juga setelah eksekusi dilaksanakan sesuai dengan
konsensus
antar Pengadilan tersebut. Jika biaya eksekusi ternyata kurang dari
Makalah
Rakernas MA 2011 | 16
kebutuhan
riil dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, Pengadilan yang menerima
permintaan
eksekusi dapat meminta tambahan biaya eksekusi kepada
Pengadilan
yang meminta eksekusi dilaksanakan dengan melampirkan
kebutuhan
riil yang telah dikeluarkan atau yang dibutuhkan.
b. Perlawanan terhadap eksekusi yang obyeknya berada di luar wilayah
yurisdiksi Pengadilan.
Apabila
terjadi perlawanan pihak ketiga (derden verzet) terhadap objek
eksekusi
yang terletak diluar wilayah Pengadilan yang memutus perkara maka ke
Pengadilan
mana perlawanan pihak ketiga itu diajukan, apakah kepada Pengadilan
yang
memutus perkara atau kepada Pengadilan yang melaksanakan eksekusi?
Berdasarkan
Pasal 206 ayat (6) R.Bg. dan Pasal 195 ayat (6) HIR
dikemukakan
bahwa perlawanan pihak ketiga atas pelaksanaan putusan hakim
(derden verzet) dilaksanakan dan diadili oleh Pengadilan
yang melaksanakan putusan
hakim
tersebut atau pada Pengadilan dimana eksekusi dijalankan. Tetapi menurut
Pasal
379 Rv perlawanan pihak ketiga tersebut harus diajukan di Pengadilan yang
memutus
perkaranya, bukan di tempat Pengadilan yang menjalankan eksekusinya.
Dua
pendapat yang saling bertentangan ini dalam praktek sangat membingungkan
para
praktisi hukum dalam menjalankan eksekusi putusan yang objeknya berada di
luar
wilayah Pengadilan yang memutus perkara.
Terhadap
dua pendapat yang saling bertentangan tersebut, biasanya para
praktisi
hukum mengambil jalan tengah di antara dua pendapat tersebut. Pengajuan
pihak
ketiga (derden verzet) diajukan ditempat atau Pengadilan yang memutuskan
perkara,
melalui Pengadilan tempat eksekusi dijalankan. Hal ini lebih logis, sebab
Pengadilan
yang memutuskan perkara lebih tahu permasalahannya, lebih lengkap
dokumen-dokumen
perkaranya dan memiliki nomor perkaranya.
Hasil
pemeriksaan perlawanan pihak ketiga tersebut, diputus oleh
Pengadilan
yang memeriksa pokok perkaranya dan dikirim kepada pihak pelawan
melalui
Pengadilan yang menjalankan eksekusi. Yang menaksir biaya adalah
Pengadilan
yang memeriksa pokok perkara, dan yang membukukan dalam buku
register
perkara juga Pengadilan yang memeriksa pokok perkara.
c. Eksekusi tidak dapat dijalankan.
Makalah
Rakernas MA 2011 | 17
Banyak
hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan eksekusi oleh Panitera
atau
Jurusita dilapangan, sehingga eksekusi tidak dapat dijalankan sebagaimana
mestinya.
Di antara hambatan yang sering ditemukan di lapangan adalah sebagai
berikut
:
- Harta kekayaan tereksekusi tidak ada
Secara
mutlak barang yang dieksekusi tidak ada, mungkin sudah habis
terjual
sebelum eksekusi dijalankan, atau telah musnah karena adanya bencana
alam.
Tidak
ditemuinya harta yang akan dieksekusi bisa juga terjadi karena
tidak
jelas letak barang-barang yang akan dieksekusi itu, tidak jelas batasbatasnya,
ukurannya
dan mungkin juga karena adanya perubahan alamat, pada
waktu
gugatan diajukan terletak di jalan Fatmawati No. 10 Rt.112/04 ternyata
setelah
perkara diputus ada perubahan, terletak di jalan Argamulya No.21
Rt.14/02
sehingga pada waktu eksekusi dilaksanakan, letak barang tersebut
sudah
tidak sesuai lagi dengan apa yang tersebut dalam amar putusan.
Apabila
secara nyata barang-barang yang akan dieksekusi tidak dapat
ditunjukkan
oleh pemohon eksekusi maka dengan sendirinya eksekusi tidak
dapat
dijalankan. Sedangkan karena perubahan alamat sebagaimana tersebut di
atas,
maka untuk dapat dilaksanakan eksekusi, pemohon eksekusi harus
mengajukan
perkara baru, dengan nomor perkara baru dan dengan petitum
perbaikan
amar putusan.
Jika
tanah yang akan dieksekusi tidak jelas batasnya atau belum jelas
ukurannya,
eksekusi dengan sendirinya juga tidak dapat dilaksanakan.
Pernyataan
non eksekutabel ini bersifat temporer sampai batas dan ukurannya
dapat
diketahui dengan jelas. Mengatasi hal ini sebaiknya diadakan pengecekan
atau
pemeriksaan setempat terlebih dahulu dengan dihadiri oleh pihak-pihak
yang
berperkara. Jika berhasil ditemukan maka eksekusi dapat dijalankan. Jika
ternyata
tidak diketemukan sama sekali, maka eksekusi tidak dapat dijalankan.
- Putusan bersifat deklaratoir
Sebagaimana
yang telah dikemukakan di atas, bahwa putusan yang
bersifat
condemnatoir yaitu putusan yang amarnya mempunyai sifat
Makalah
Rakernas MA 2011 | 18
menghukum
atau memerintahkan kepada pihak yang kalah untuk berbuat
sesuatu,
tidak berbuat sesuatu, membayar, membagi, membongkar dan
mengosongkan
benda tetap. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan secara
sukarela
oleh pihak yang kalah, maka pihak yang menang dapat minta
Pengadilan
yang memutuskan perkara tersebut untuk menjalankan putusan
tersebut
secara paksa.
Jika
hakim lalai atau lupa mencantumkan amar yang bersifat
condemnatoir
sebagaimana tersebut di atas, maka pihak yang ingin agar
putusan
itu dijalankan harus mengajukan gugatan baru kepada Pengadilan yang
memutuskan
perkara semula, dengan dalil gugat berdasarkan putusan
deklaratoir
dan minta dalam petitum agar barang-barang yang telah diputus
dalam
perkara terdahulu supaya dieksekusi dan kalau perlu dapat diminta
putusan
Uitvoerbaar bij voorraad (putusan yang dapat dilaksanakan terlebih
dahulu)
meskipun ada banding dan kasasi.
Yang
dimaksud dengan perkara baru adalah putusan yang berdiri
sendiri
dengan nomor perkara lain dengan perkara yang terdahulu. Penggugat
juga
harus membayar biaya perkara secara tersendiri posita dalam perkara
baru
tersebut dikaitkan dengan perkara yang terdahulu dengan petitum mohon
agar
putusan yang terdahulu supaya dapat dijalankan dan dapat dieksekusi
sebagaimana
mestinya.
Ada
sementara para praktisi hukum yang berpendapat bahwa
pemberian
jalan keluar terhadap putusan deklaratoir dan tidak mencantumkan
amar
yang bersifat comdemnatoir tidak dilaksanakan dengan gugat baru dengan
petitum
perubahan amar dan mohon dapat dieksekusi merupakan jalan keluar
yang
kurang tepat, sebab sangat merugikan Penggugat dan juga akan terjadi
Nebis
in idem.
Dalam
praktek Peradilan hal ini sudah sangat sering dilaksanakan
meskipun
secara realita memang pihak Penggugat sangat dirugikan. Jika putusan
yang
bersifat deklaratoir itu dibiarkan, maka akan illusoir (hampa) dan tidak
ada
manfaat serta tidak ada kepastian hukum.
Makalah
Rakernas MA 2011 | 19
Daripada
putusan demikian hampa, maka sudah selayaknyalah
Penggugat
dianjurkan untuk mengajukan gugat lagi dengan petitum perubahan
amar
agar putusan yang terdahulu dapat dijalankan atau dieksekusi, meskipun
mungkin
dengan sedikit menanggung kerugian. Oleh karena itu kepada para
hakim
diharapkan agar berhati-hati dalam membuat amar putusan ini sehingga
putusan
yang dijatuhkan itu terhindar dari kehampaan (illusoir).
Dalam
hal gugat baru dengan petitum perubahan amar putusan, tidak
akan
terjadi Nebis in idem karena hakim tidak memeriksa pokok perkara yang
telah
diputus dalam putusan sebelumnya. Lagipula ada para pakar hukum yang
berpendapat
bahwa dalam hukum perdata tidak dikenal Nebis in idem, yang
ada
hanya dalam bidang hukum pidana.
- Objek eksekusi di tangan pihak ketiga
Eksekusi
tidak dapat dijalankan terhadap barang yang ada di tangan
pihak
ketiga, apabila penguasaan barang tersebut dilaksanakan berdasarkan atas
alas
hak yang sah. Eksekusi dapat dijalankan apabila penguasaan barang oleh
pihak
ketiga itu secara tidak sah atau tanpa alas hak. Terhadap hal ini apabila
amar
putusan menegaskan bahwa objek perkara yang akan dieksekusi dapat
saja
dilaksanakan meskipun barang berada di tangan siapapun. Maka eksekusi
dapat
dijalankan meskipun barang berada di tangan pihak ketiga.
Jika
barang yang dieksekusi sedang disewa oleh pihak ketiga maka
pelaksanaan
eksekusi harus dihentikan, sebab perjanjian sewa menyewa terus
berlanjut
meskipun pemilik barang itu diganti. Eksekusi pengosongan atau
penyerahan
terhadap diri penyewa tidak dapat dijalankan.
Demikian
juga dalam hal barang yang akan dieksekusi sedang diagunkan.
Eksekusi
tidak dapat dilaksanakan selama barang yang menjadi objek eksekusi
itu
sedang diagunkan. Selama barang tersebut diagunkan, maka barang objek
eksekusi
terikat kepada pemegang agunan. Eksekusi baru dapat dilaksanakan
kalau
barang objek eksekusi itu sudah tidak lagi menjadi objek agunan
Tergugat.
Barang objek eksekusi yang diagunkan itu biasanya pada Bank,
Perkumpulan
Koperasi atau pada pihak ketiga secara perorangan.
- Status tanah milik negara.
Makalah
Rakernas MA 2011 | 20
Jika
status tanah yang disengketakan pada mulanya milik pribadi,
kemudian
karena sesuatu hal berubah jadi milik negara dan perubahan itu
statusnya
jelas, maka terhadap objek tersebut tidak dapat dijalankan
eksekusinya.
Sekiranya perubahan status tanah tidak jelas, maka eksekusi dapat
dijalankan
selama tidak ada perlawanan dari pihak penguasa. Jika ada
perlawanan
dari pihak penguasa, maka eksekusi harus dihentikan.
- Objek eksekusi berada di luar negeri
Jangkauan
hukum Indonesia hanya berlaku dalam wilayah Indonesia saja,
hal
ini karena hukum Indonesia menganut asas nasionalitas. Sehubungan dengan
hal
ini daya kekuatan putusan Pengadilan hanya meliputi wawasan Nasional
Indonesia,
tidak menjangkau di luar wilayah Indonesia. Oleh karena itu,
eksekusi
tidak dapat dijalankan jika letak objek eksekusi berada di luar
Indonesia.
Jika objek eksekusi berada di luar wilayah Indonesia, dan pihak yang
menang
bermaksud untuk memohon eksekusi kepada Pengadilan, maka
Pengadilan
harus menolaknya.
- Dua
putusan yang saling bertentangan
Secara
teoritis mungkin tidak masuk akal apabila ada putusan
Pengadilan
yang bunyinya saling bertentangan satu sama lain, padahal pokok
permasalahannya
adalah sama. Dalam praktek sering ditemukan dua putusan
yang
saling bertentangan padahal pokok permasalahannya adalah sama.
Suatu
putusan dapat dijalankan lebih dahulu mungkin saja menjadi
bertentangan
dengan putusan dalam tingkat banding atau putusan kasasi. Jika
putusan
tersebut sudah terlanjur dieksekusi, maka untuk memenuhi putusan
banding
atau kasasi menjadi batal dan harus diikuti dengan tindakan pemulihan,
berupa
penggantian kerugian atau penyerahan uang atau juga barang jaminan
lainnya.
Selain
dari hal tersebut di atas, yang dimaksud dengan putusan yang
saling
bertentangan adalah pertentangan antara dua putusan yang sudah
mempunyai
kekuatan hukum tetap, baik putusan dalam tingkat peradilan yag
sama
ataupun dapat terjadi dalam tingkat yang berlainan. Umpamanya ada dua
putusan
mengenai keahliwarisan dan pembahagian warisan dengan objek
Makalah
Rakernas MA 2011 | 21
gugatan
yang sama, tetapi masing-masing Penggugat maupun Tergugat-
Tergugatnya
berbeda. Keadaan seperti ini mustahil bisa terjadi, akan tetapi
karena
pewaris sudah lama sekali meninggal dan mempunyai keturunan banyak
dan
bercerai-berai tempat tinggalnya, hal yang semula dianggap mustahil
tersebut
bisa menjadi kenyataan. (Djazuli Bachar, SH : 1994:125).
Jadi
apabila ada dua putusan yang sama-sama telah berkekuatan hukum
tetap,
tapi isinya saling bertentangan dan objek persengketaannya sama, maka
secara
permanen tidak dapat dieksekusi sampai pertentangan itu dihilangkan.
Cara
menghilangkan saling pertentangan tersebut dapat dilaksanakan melalui
gugatan
apabila pihaknya tidak sama atau melalui peninjauan kembali apabila
pihaknya
sama.
d. Pengulangan eksekusi
Dalam
pelaksanaan eksekusi, mungkin terjadi hal-hal yang tidak sesuai
dengan
rencana yang telah ditetapkan karena objek-objek yang akan dieksekusi
ternyata
keliru, atau mungkin juga tidak sesuai dengan amar yang ditetapkan dalam
putusan.
Kekeliruan ini mungkin ada kesalahan tehnis di lapangan atau karena ada
kecerobohan
dari Panitera atau Jurusita dalam menjalankan eksekusi tersebut. Jika
hal
ini terjadi, maka eksekusi yang telah dilaksanakan itu harus diulang kembali.
Pengulangan
eksekusi tidak perlu dengan gugatan baru, tetapi Ketua
Pengadilan
harus meneliti dengan seksama tentang kebenaran adanya
penyimpangan
atau adanya kesalahan. Jika hasil penelitian yang dilakukan oleh
Ketua
Pengadilan, ternyata ada kebenarannya, maka ketua Pengadilan membuat
surat
penetapan eksekusi baru yang isinya membatalkan penetapan yang lama
termasuk
berita acara eksekusinya, serta memerintahkan eksekusi ulang. Tentang
biaya
eksekusi ulang ini, tetap dibebanknan kepada pemohon eksekusi, sebab
merekalah
yang mempunyai kepentingan.
Para
praktisi hukum harus berhati-hati dalam melaksanakan eksekusi ulang,
sebab
tidak sedikit permohonan eksekusi ulang ini, setelah diteliti dengan seksama
dan
cermat ternyata akal-akalan dari pihak yang tidak puas terhadap pelaksanaan
eksekusi
yang dilaksanakan itu.
e. Penundaan eksekusi.
Makalah
Rakernas MA 2011 | 22
Pada
prinsipnya, tidak ada dasar untuk menunda eksekusi setiap putusan
yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengandung amar
comdemnatoir
serta mengandung titel eksekutorial, maka putusan tersebut harus
dijalankan.
Oleh karena itu jika pihak yang menang dalam suatu perkara yang telah
diputus
oleh Pengadilan dan putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
lalu
dimohonkan eksekusi kepada Pengadilan yang memutuskan perkara itu harus
segera
melaksanakannya. Yang dapat mengesampingkan eksekusi hanya
perdamaian
antara para pihak yang berperkara.
Perdamaian
itu dapat berupa atas kehendak kedua belah pihak sebagaimana
diatur
dalam Pasal 1851 KUH Perdata, atau berdasarkan kesukarelaan dari pihak
tereksekusi
bahwa ia akan melaksanakan amar putusan dalam jangka waktu
tertentu,
dan dalam hal ini pemohon eksekusi menyetujui permintaan dari pihak
tereksekusi.
Dalam hal ini pelaksanaan eksekusi dapat ditunda sampai betul-betul
perdamaian
yang disepakati oleh kedua belah pihak dapat dilaksanakan. Apabila
pihak
tereksekusi tidak melaksanakan perdamaian sebagaimana yang telah
disepakati,
maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi
kembali.
Pengadilan yang menerima permohonan eksekusi tersebut dapat
melaksanakan
eksekusi sebagaimana mestinya sesuai dengan prosedur yang
berlaku.
Mengenai
penundaan eksekusi yang bersifat kasuistik merupakan hal yang
bersifat
konsepsional dari prinsip yang bersifat umum. Tentang bagaimana suatu
alasan
dapat dianggap bersifat kasuistik, hal ini sangat tergantung pada pendapat
dan
pertimbangan Ketua Pengadilan. Secara umum hal-hal yang bersifat kasuistik
dapat
terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :
- Alasan kemanusiaan.
Penerapan
alasan kemanusiaan dalam pelaksanaan eksekusi hanya
bersifat
sementara, biasanya terbatas dalam jangka waktu tiga atau enam bulan,
atau
juga dalam jangka waktu yang patut menurut keadaan yang terjadi.
Tujuannya
hanya memberikan kelonggaran kepada pihak tereksekusi agar
terlepas
dari himpitan yang menyedihkan. Jadi penundaan eksekusi tersebut
tidak
boleh bersifat permanen, hanya terbatas dalam waktu yang relatif
Makalah
Rakernas MA 2011 | 23
pendek.
Jika batas waktu yang telah ditentukan sudah lewat, eksekusi harus
dijalankan
tanpa memerlukan peringatan lagi.
- Alasan derden verzet
Berdasarkan
pasal 195 HIR pihak ketiga diberi hak mengajuakn
perlawanan
terhadap eksekusi yang dijalankan oleh Pengadilan. Dalil derden
verzet
ini dilaksanakan dengan dasar kepada “hak milik” bahwa yang hendak
dieksekusi
itu adalah milik pihak yang mengajukan perlawanan. Eksekusi
dilarang
terhadap milik pihak ketiga.
Penundaan
eksekusi baru dapat dilaksanakan apabila perlawanan yang
diajukan
oleh pihak ketiga itu telah diperiksa dengan cara seksama dan seteliti
mungkin.
Jika hasil pemeriksaan terbukti benar bahwa barang yang akan
dieksekusi
itu barang milik pelawan, maka eksekusi harus ditunda sampai
perlawanan
memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap. Adapun
tujuan
penundaan ini agar jangan sampai terjadi saling bertentangan antara
eksekusi
dengan putusan perlawanan dari pihak ketiga.
Di
samping itu, jika objek eksekusi masih diproses dalam perkara lain,
pemeriksaannya
masih dalam tingkat pertama, banding atau kasasi, maka lebih
baik
menunda eksekusi sampai putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tujuan
agar tidak terjadi putusan yang saling bertentangan.
Perlu
diingat, berdasarkan Pasal 66 ayat (2) Undang-undang No. 14
Tahun
1985, peninjauan kembali (PK) tidak menangguhkan atau menghentikan
eksekusi.
6. Lelang eksekusi putusan pengadilan
Lelang
eksekusi Peradilan diatur dalam Vendu Reglement Stb. 1980 No. 189
Jo.
Stb. 1940 No. 56, Vendu Instructie Stb. 190, Peraturan Pemungutan Bea Lelang
Stb.
1949 No. 390, HIR (Stb.1914 No. 44), R.Bg (Stb.1927 No. 227) dan Keputusan
Menteri
Keuangan No. 295/KMA.09/1993 tanggal 27 Februari 1993. Lelang eksekusi
adalah
lelang yang dilakukan untuk melaksanakan putusan hakim sesuai dengan amar
yang
telah ditetapkan, termasuk lelang dalam rangka eksekusi grose akta.
Makalah
Rakernas MA 2011 | 24
Sebagaimana
yang telah dikemukakan di atas, ruang lingkup lelang eksekusi
kebanyakan
berasal dari eksekusi pembayaran sejumlah uang. Di samping itu ruang
lingkup
eksekusi bisa juga terjadi dalam hal pembahagian seluruh harta kekayaan
sebagaimana
yang telah ditetapkan dalam amar putusan, tetapi pembayaran secara
natura
tidak dapat dilaksanakan karena sulit untuk membaginya, seperti sebuah rumah,
sebuah
mobil, sebuah televisi dan sebagainya.
Dalam
praktek Peradilan, barang tersebut dijual dulu kemudian hasil penjualan
itu
dibagi sesuai dengan amar putusan Pengadilan. Jika secara musyawarah ada yang
tidak
setuju dengan cara tersebut, maka pembahagiannya dilaksanakan secara lelang
dimuka
umum. Hasil penjualan lelang dibagi lagi sesuai dengan porsi yang ditentuakn
dalam
putusan.
Dilihat
dari fungsinya, lelang adalah institusi pasar yang mempertemukan
penjual
dengan pembeli pada suatu saat dan tempat tertentu dengan cara
pembentukan
harga yang kompetitif. Fungsi lelang ini bermanfaat untuk :
a.
Memberikan pelayanan penjualan barang secara lelang yang bersifat cepat,
effisien,
aman
dan dapat mewujudkan harga yang wajar kepada masyarakat atau penguasa
yang
bermaksud barangnya dilelang, atau juga kepada peserta lelang lainnya.
b.
Memberikan pelayanan penjualan barang yang bersifat paksa atau eksekusi baik
menyangkut
bidang pidana, perdata, ataupun perpajakan dalam rangka mendukung
terwujudnya
keadilan dalam masyarakat.
c.
Memberikan pelayanan penjualan dalam rangka mengamankan barang-barang yang
dimiliki
atau dikuasai oleh negara termasuk barang-barang milik BUMN atau
BUMD.
d.
Mengumpulkan penerimaan negara dalam bentuk bea lelang dan uang miskin.
Lembaga
lelang merupakan lembaga penjualan di muka umum yang dipimpin
oleh
pejabat lelang dengan cara penawaran harga secara terbuka atau lisan dan atau
tertutup/tertulis
yang didahului dengan pengumuman lelang kepada seluruh
masyarakat.
Penjualan
secara lelang mempunyai beberapa kebaikan jika dibandingkan
dengan
penjualan biasa. Adapun kebaikan lelang adalah sebagai berikut :
a.
Adil, karena penjualan lelang bersifat terbuka (transparan dan objektif).
Makalah
Rakernas MA 2011 | 25
b.
Aman, karena penjualan lelang disaksikan, dipimpin dan dilaksanakan oleh
pemerintah
yang bersifat independent. Pembeli lelang cukup terlindungi, sistem
lelang
mengharuskan pejabat lelang meneliti lebih dahulu keabsahan penjualan
barang-barang
yang dijual.
c.
Tepat dan effisien, karena lelang didahului dengan pengumuman lelang sehingga
peserta
lelang dapat berkumpul pada saat hari lelang dan pembayarannya secara
tunai.
d.
Mewujudkan harga yang wajar, karena pembentukan harga lelang pada dasarnya
menggunakan
sistem penawaran yang bersifat kompetitif.
e.
Memberikan kepastian hukum, karena atas pelaksanaan lelang oleh pejabat lelang
dibuat
berita acara pelaksanaan lelang yang disebut risalah lelang sebagai akta
otentik.
Dalam
pelaksanaan lelang ditetapkan hak-hak dan kewajiban pemohon lelang
(penjual).
Yang dimaksud dengan pemohon lelang (penjual) adalah orang atau badan
yang
mengajukan permohonan kepada kantor lelang negara untuk menjual barang
secara
lelang. Pemohon lelang ini bisa berstatus pemilik barang yang dikuasakan atau
yang
karena Undang-undang diberi wewenang untuk menjual barang yang
bersangkutan.
a. Hak-hak pemohon penjual barang :
- Memilih
cara penawaran lelang.
- Menetapkan
syarat-syarat lelang jika dianggap perlu.
- Menerima
uang hasil lelang (pokok lelang).
- Menerima
uang jaminan dalam hal pemenang lelang mengundurkan diri.
- Meminta
kutipan atau salinan risalah lelang.
b. Kewajiban-kewajiban pemohon lelang.
- Mengajukan
permohonan atau permintaan lelang kepada kantor lelang negara.
- Melengkapi
syarat-syarat atau dokumen-dokumen yang diperlukan.
- Mengadakan
pengumuman lelang di surat kabar setempat dan atau di media
cetak/elektronik,
atau juga melalui selebaran dan undangan lelang negara.
- Menetapkan
harga limit yang wajar atas barang-barang yang dilelang. Dalam hal
ini
sebaiknya memperhatikan saran dari kantor lelang negara.
Makalah
Rakernas MA 2011 | 26
- Membayar
bea lelang penjualan, dalam hal penjualannya adalah pemerintah
(tidak
termasuk BUMN/BUMD) tidak dipungut bea lelang.
- Menyerahkan
barang dan dokumennya kepada pemenang lelang melalui Kantor
Lelang
Negara.
- Memabayar
PPh Pasal 25 (pajak penghasilan 25%) sepanjang barang yang
dilelang
berupa barang dan bangunan dengan ketentuan : (1) dalam hal barang
tersebut
milik perorangan maka PPh dikenakan apabila tanggungan hasil
lelangnya
pada saat itu berjumlah Rp.60.000.000,- atau lebih, (2) dasar
hukumnya
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994)
- Mentaati
tata tertib lelang.
Hak-hak
dan kewajiban peserta lelang atau pembeli juga diatur dalam
pelaksanaan
lelang, sehingga pelaksanaan lelang dapat dilaksanakan secara tertib dan
transparan
sebagaimana yang diatur dalam peraturan yang berlaku :
a. Hak-hak peserta atau pembeli lelang :
- Melihat
dokumen-dokumen tentang kepemilikan barang dan meminta
keterangan
dan penjelasan tambahan.
- Melihat
atau meneliti barang yang akan dilelang.
- Meminta
salinan risalah lelang dalam hal yang bersangkutan menjadi pemenang
lelang.
- Meminta
kembali uang jaminan lelang atau kelebihan uang jaminan.
- Mendapatkan
barang dan bukti pelunasan serta dokumen-dokumennya apabila
ditunjuk
sebagai pemenang lelang.
b. Kewajiban-kewajiban peserta lelang atau pembeli :
- Menyetor
uang jaminan lelang kepada Kantor Lelang Negara atau PL Kelas II
apabila
disyaratkan untuk itu.
- Hadir
dalam pelaksanaan lelang atau kuasanya.
- Mengisi
surat penawaran di atas kertas bermeterai dengan huruf yang jelas dan
tidak
ada coretan dalam hal penawaran lelang secara tertutup atau tertulis.
- Membayar
pokok lelang, bea lelang, uang jaminan secara tunai, dalam menjadi,
pemenang
lelang.
- Mentaati
tata tertib pelaksanaan lelang.
Makalah
Rakernas MA 2011 | 27
Agar
pelaksanaan lelang eksekusi dapat berjalan dengan lancar sebagaimana
yang
diharapkan maka lelang eksekusi harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut
:
a. Harus ada surat permintaan lelang
Dokumen-dokumen
yang perlu dilengkapi agar permintaan lelang
eksekusi
dapat dilaksanakan antara lain :
- Salinan
atau foto copy surat putusan Pengadilan yang telah mempunyai
hukum
tetap.
- Salinan
penetapan Pengadilan untuk melaksanakan penyitaan.
- Salinan
berita acara penyitaan.
- Salinan
atau foto copy surat teguran (Aan maning) kepada termohon
eksekusi.
- Salinan
atau foto copy surat permohonan lelang kepada termohon eksekusi
yang
dibuat oleh Pengadilan.
- Perincian
hutang, termasuk biaya yang harus dibayar oleh termohon
eksekusi
yang dibuat oleh Pengadilan setempat.
- Bukti
kepemilikan atas barang yang dilelang. Dalam hal barang yang dilelang
berupa
tanah diperlukan adanya SKPT dari kantor Pertanahan Nasional.
- Apabila
tanah belum bersertifikat maka perlu dimintakan SKPT dengan
dilampiri
surat keterangan riwayat tanah yang dibuat oleh Lurah atau
Kepala
Desa dan disahkan oleh Camat setempat. Dalam hal bukti
kepemilikan
tidak ada maka dipakai surat-surat seperti surat yang tersebut
di
atas.
- Syarat-syarat
lelang dari penjual apabila ada.
- Bukti
pengumuman lelang oleh Pengadlan di surat kabar setempat. Khusus
barang
tidak bergerak wajib diumukan 2 (dua) kali selang 15 (lima belas)
hari,
dan untuk barang bergerak diumumkan 1 (satu) kali.
b. Harus ada foto copy grose akta
Dalam
hal lelang karena hipotik, pihak pemohon lelang harus
melengkapi
foto copy, sertifikat hipotik dan sertifikat tanah. Dalam kaitan
dengan
tugas-tugas eksekusi yang dijalankan Pengadilan secara umum prosedur
lelang
dilaksanakan sebagai berikut :
- Pengadilan
yang bersangkutan mengajukan permohonan lelang kepada
Kantor
Lelang Negara atau Pejabat Kantor Lelang Kelas II setempat dengan
melengkapi
syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas.
- Kantor
Lelang Negara atau Pejabat Kantor Lelang Kelas II menetapkan
tanggal
dan waktu lelang dengan memperlihatkan keinginan-keinginan
pemohon
lelang.
- Pengadilan
menetapkan harga limit dari barang yang dilelang. Harga limit
sifatnya
rahasia. Dalam hal penawaran secara tertulis dalam amplop
tertutup,
harga limit diserahkan kepada Pejabat Kantor Lelang dalam
amplop
tertutup sesaat sebelum pelaksanaan lelang.
- Pelaksanaan
lelang dilakukan oleh pejabat lelang bersama-sama dengan
pejabat
penjual. Atas pelaksanaan lelang tersebut oleh pejabat lelang
dibuat
berita acara yang disebut risalah lelang.
- Pembayaran
hasil lelang dilakukan secara tunai segera setelah pelaksanaan
lelang
kepada pejabat lelang, dan selanjutnya segera disetor kepada yang
berhak.
Pelaksanaan
lelang, dapat ditahan apabila penawaran tertinggi belum
mencapai
harga limit yang dikehendaki oleh penjual, biaya penahanan lelang
dikenakan
kepada penjual. Dalam hal lelang dibatalkan oleh pemohon yang
kurang
dari 8 (delapan) hari sebelum pelaksanaan, maka kepada pemohon
lelang
akan dikenakan biaya pembatalan sebesar Rp.15.000.000,- (lima belas
juta
rupiah).
Jika
dalam daerah hukum Pengadilan tidak terdapat Kantor Lelang
Negara
yang dapat dimintakan bantuan untuk melaksanakan penjualan lelang di
muka
umum, maka penjualan lelang dapat dimintakan bantuan pada Panitera
Pengadilan,
dengan ketentuan batasnya maksimal hingga Rp.30.000.000,- (tiga
puluh
juta rupiah).
9
7. PENUTUP
Demikianlah
beberapa masalah hukum yang berhubungan dengan masalah
gugatan
yang dapat penulis sampaikan, sebenarnya masih banyak masalah hukum lain
yang
tidak dapat penuliskan dalam makalah yang ringkas ini. Oleh karena singkatnya
waktu
dan kurangnya leteratur sudah tentu makalah yang sederhana ini tidak luput
dari
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
kami
harapkan demi sempurnanya makalah ini. Semoga bermanfaat.
Jakarta,
1 April 2011
Billahi
taufiqy wal hidayah
Amiin
Yarobal Alamin
HAM
Komentar
Posting Komentar