Pengelolaan Yayasan di Indonesia dan RUU Yayasan
Pengelolaan
Yayasan di Indonesia
dan
RUU Yayasan
Oleh
Hikmahanto
Juwana*
Pengantar
Berbeda
dengan tujuan pendirian dari perseroan terbatas (selanjutnya disingkat “PT”),
tujuan filosofis pendirian yayasan dipahami sebagai tidak bersifat komersial
atau tidak mencari keuntungan (nir laba atau non-profit).1
Oleh karenanya tujuan pendirian dari yayasan diidentikan dengan kegiatan bidang
sosial, keagamaan, pendidikan, kemanusian dan banyak lagi.
Di Indonesia, apabila diperhatikan anggaran dasarnya, hampir semua yayasan
didirikan untuk tujuan nir laba. Namun demikian hal itu tidak berarti bahwa
dalam praktek yayasan-yayasan tersebut tidak menjalankan kegiatan yang bersifat
komersial. Di bidang pendidikan kritik kerap ditujukan pada institusi
penyelenggara pendidikan dimana badan hukum yang digunakan adalah yayasan.
Harus diakui bahwa pengelolaan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan tidak
sedikit yang menjurus pada pencarian keuntungan. Demikian pula yayasan yang
mengelola rumah-rumah sakit mewah dianggap sebagai tidak sejalan dengan tujuan
dari yayasan yang bersifat nir laba.
Dalam
tulisan ini hendak dipaparkan berbagai penyebab penyimpangan pembentukan
yayasan yang kerap terjadi dan kelemahan pengelolaan yayasan. Selanjutnya untuk
menghindari penyimpangan dan kelemahan dari yayasan maka kehadiran Rancangan
Undang-Undang Yayasan yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah bersama
Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut “RUU Yayasan”) merupakan kebutuhan
yang mendesak. Dalam tulisan ini akan disampaikan pendapat penulis tentang
telah diakomodasinya prinsip-prinsip governance dalam mengelola RUU
Yayasan dan beberapa kritik atasnya.
RUU Yayasan:
Tepatkah?
Sebelum penulis membahas
tentang pengelolaan yayasan, sedikit komentar penulis sehubungan dengan RUU
Yayasan. Dalam RUU Yayasan ada kesan seolah-olah RUU dibuat berdasarkan asumsi
bahwa semua bentuk yayasan yang ada di Indonesia pada saat ini adalah sama.
Padahal karena tidak adanya peraturan perundang-undangan tentang yayasan selama
ini, dalam realita yang terjadi tidak adanya keseragaman bentuk yayasan.
Sebagai contoh walaupun wakaf dapat diterjemahkan sebagai yayasan, namun secara
operasional antara yayasan dan wakaf memiliki perbedaan yang mendasar. RUU
Yayasan justru hendak “memaksakan” penyeragaman wakaf dengan yayasan.
Keberagaman
yang terjadi pada bentuk yayasan tidak terjadi pada waktu pembentukan UU
perseroan terbatas sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1995. Ada dua alasan
mengapa demikian. Pertama, walaupun tidak banyak ketentuan yang termuat, Kitab
Undang-undang Hukum Dagang masih dapat dijadikan penyeragaman acuan pendirian
perseroan terbatas. Alasan kedua adalah Departemen Kehakiman & HAM melalui
kewenangan memberi pengesahan dan persetujuan bisa memastikan adanya
keseragaman terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perseroan terbatas.
Atas
dasar komentar diatas penulis mengusulkan agar RUU Yayasan yang saat ini
dibahas diganti menjadi RUU tentang Badan Hukum Nir Laba. Dalam RUU ini dapat
diatur berbagai bentuk badan hukum nir laba yang dikenal dalam masyarakat,
termasuk yayasan dan wakaf.
Selanjutnya
penulis berpendapat bahwa UU Badan Hukum Nir Laba yang akan dihasilkan harus
lebih mengakomodasi apa yang ada dan terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian
pembentukan UU Yayasan harus dilakukan secara bottom up atau
melembagakan apa yang ada dalam masyarakat. Kesan penulis pada RUU Yayasan yang
saat ini dibahas oleh DPR dan Pemerintah lebih berorientasi pada proses top-down
dimana masyarakat harus menyesuaikan apa yang dikehendaki oleh para elit.
Resiko yang mungkin muncul dengan proses pembentukan ini adalah
ketidakefektifan UU Yayasan dalam masyarakat apabila tidak didukung dengan
penegakan hukum yang tegas tanpa kompromi.
Penyebab
Penyimpangan Pengelolaan Yayasan
Banyak
sebab mengapa berbagai yayasan di Indonesia menyimpang dari tujuan filosofis
dari didirikannya yayasan. Pertama, sulit untuk mendefinisikan apa yang
dimaksud dengan kegiatan sosial. Apakah pendidikan termasuk dalam definisi
kegiatan sosial? Sepintas lalu mungkin. Namun dalam kenyataan banyak institusi
pendidikan yang mengejar keuntungan, bahkan sering dikatakan bahwa untuk
mendapatkan pendidikan yang baik seseorang harus membayarnya dengan mahal. Di
Amerika Serikat, universitas-universitas pilihan umumnya adalah universitas
swasta. Mereka menjaring tidak saja calon mahasiswa yang pandai tetapi juga
calon mahasiswa yang berasal dari kalangan berada. Demikian pula dengan
pendirian rumah sakit: apakah dapat dikatakan sebagai kegiatan sosial? Praktek
menunjukkan bahwa ada rumah sakit yang didirikan untuk melayani mereka-mereka
yang menginginkan pelayanan prima, tidak berdesak-desakan dan berada di rumah
sakit seolah-olah berada di hotel mewah. Oleh karenanya sulit untuk menentukan
secara sederhana apa yang dipahami
sebagai kegiatan sosial benar-benar merupakan kegiatan sosial yang sama sekali
terhindar dari aspek komersial.
Selanjutnya
penyebab lain dari penyimpangan bersumber pada peraturan perundang-undangan.
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan dapat ditemukan ketentuan yang
mensyaratkan penyelenggaraan suatu kegiatan dilakukan oleh yayasan. Di sektor
pendidikan, universitas swasta harus dikelola oleh yayasan. Demikian pula
dengan sektor kesehatan yang mensyaratkan rumah sakit didirikan dalam bentuk
yang sama. Padahal, sebagaimana diuraikan diatas, tidak semua kegiatan
pendidikan ataupun kesehatan hanya bersifat sosial. Bagi mereka yang ingin
mendirikan lembaga pendidikan atau rumah sakit untuk tujuan komersial tentunya
tidak mempunyai pilihan lain selain menggunakan yayasan sebagaimana dipersyaratkan
oleh peraturan perundang-undangan. Akibatnya adalah yayasan didirikan untuk
sekedar memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan. Padahal yayasan tersebut dikelola sebagaimana
layaknya sebuah PT yang merupakan badan hukum yang mencari keuntungan.
Ketiga,
yayasan digunakan sebagaimana layaknya PT. Yayasan demikian didirikan dengan
maksud sebenarnya untuk mencari keuntungan baik langsung maupun tidak langsung.
Banyak contoh untuk hal ini. Yayasan didirikan untuk memiliki saham, untuk mengelola
gedung secara komersial, bahkan biro perjalanan yang menawarkan perjalanan ke
tempat-tempat suci sering menggunakan yayasan sebagai badan “usaha”-nya. Masuk
dalam katagori ini adalah perusahaan-perusahaan yang mendirikan yayasan untuk
mendapat keringanan pajak. Padahal selain mendapat keringanan pajak, perusahaan
tersebut akan terkesandimata banyak orang sebagai tidak semata-mata mencari
keuntungan tetapi juga mempunyai kepedulian terhadap masalah-masalah sosial
yang dihadapi oleh masyarakat (kegiatan ini sering disebut sebagai image
building). Pada contoh ini keuntungan diperoleh secara tidak langsung.
Sumber
Kelemahan Pengelolaan Yayasan
Sumber
kelemahan utama dari pengelolaan yayasan
adalah tidak adanya aturan yang mengatur tentang yayasan. Yayasan dapat
dikelola secara bebas tanpa ada peraturan yang harus diperhatikan. Keberadaan
yayasan selama ini hanya didasarkan pada praktek-praktek yang terpelihara.
Kekuatan hukum dari praktek-praktek ini tentunya sangat lemah. Akibat lain
adalah tidak terjaminnya kepastian hukum mengingat praktek yang satu berbeda
dengan praktek lainnya. Ketiadaan pengaturan yayasan juga berarti tidak adanya
acuan yang dapat digunakan untuk mengatakan bahwa sesuatu boleh atau tidak
boleh.
Di
samping itu tidak adanya ketentuan tentang transparansi pengelolaan yayasan
kerap disalahgunakan oleh para pendiri maupun pengurus yayasan. Bahkan banyak
yayasan yang menggalang dana cukup banyak dari masyarakat terbebas dari
kewajiban untuk di-audit. Masyarakat tidak tahu apakah dana yang
disumbangkan pada suatu yayasan benar-benar untuk kepentingan sosial atau
justru untuk kepentingan lain, bahkan terjadinya kebocoran-kebocoran.
Kelemahan
lain adalah yayasan dikelola secara tidak profesional. Pendiri yayasan adalah
juga pengurus. Peran dari pengawas yang diangkat untuk megawasi kegiatan dan
keuangan yayasan tidak melaksanakan pekerjaannya secara sungguh-sungguh, bahkan
terkesan pengangkatan mereka dilakukan sebagai formalitas belaka.
UU Yayasan:
Kebutuhan Mendesak
Berbagai
kalangan telah mengungkapkan bahwa UU Yayasan merupakan suatu kebutuhan yang
sangat mendesak. Penulis sependapat dengan apa yang dilontarkan oleh berbagai
kalangan ini. Dengan lahirnya UU Yayasan atau Badan Hukum Nir Laba akan memberi
arah yang jelas tentang berbagai hal yang berkaitan dengan yayasan, dapat
menekan berbagai penyimpangan dari yayasan yang selama ini terjadi dan dapat
dihindari berbagai kelemahan yang menghinggapi pengelolaan yayasan.
Kehadiran
UU Yayasan atau Badan Hukum Nir Laba sudah barang tentu akan memberi kepastian
hukum yang selama ini tidak ada. Bahkan UU Yayasan atau Badan Hukum Nir Laba
dapat menjadi dasar untuk menindak apabila terjadi penyimpangan. Hanya saja
apabila UU Yayasan hanya berisi tentang prosedur pendirian belaka atau
prosedur-prosedur lainnya, walaupun baik tetapi tidak optimal. UU Yayasan atau
Badan Hukum Nir Laba harus berisi pula ketentuan yang dapat memaksa pengurus
beserta organ lainnya untuk mengelola yayasan secara profesional dan baik.
RUU Yayasan
dan Penerapan Prinsip Governance dalam Pengelolaan Yayasan
Akhir-akhir
ini di Indonesia sering didengungkan tentang prinsip governance. Masalah
governance yang berkaitan dengan pemerintahan dikenal dengan istilah good
governance, sementara yang berkaitan dengan perusahaan dikenal dengan
istilah corporate governance. Walaupun prinsip-prinsip yang dikandung
berbeda satu sama lain, namun ada persamaan mendasar diantara keduanya.
Persamaan ini terletak pada konsep dasar dari governance yaitu perlunya
kontrol berdasarkan aturan terhadap pada pengurus karena stakeholder
yang sangat variatif sulit diharapkan mengkontrol pengurus yang bertanggung
jawab atas kegiatan sehari-hari. Dalam good governance yang menjadi stakeholder
adalah rakyat, lembaga legislatif dan lain sebagainya, sementara yang menjadi
pengurus adalah pemerintah (eksekutif). Sedangkan dalam corporate governance
yang menjadi stakeholder adalah pemegang saham yang bukan mayoritas,
konsumen dan lain sebagainya, sementara yang menjadi pengurus adalah direksi.
Kontrol
terhadap pengurus perlu dilakukan karena bagi pengurus sulit menafsirkan
untuk apa yang menjadi keinginan para
stakeholder. Hal ini memberi peluang kepada pengurus untuk menjalankan
negara atau perusahaan berdasarkan tafsirannya tentang apa yang dikehendaki
oleh stakeholder. Peluang menafsirkan inilah yang sangat berbahaya
apabila tidak ada kontrol karena cenderung disalahgunakan (abuse).
Adapun
kontrol yang dilakukan tidak dapat dilakukan oleh para stakeholder
secara langsung. Kontrol dilakukan dengan cara membatasi kewenangan pengurus.
Batasan inilah yang disebut sebagai prinsip governance.
Dari
prinsip governance dilahirkan prinsip-prinsip keadilan (fairness),
transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability) dan
pertanggung jawaban (responsibility).2 Pengurus
harus memperhatikan prinsip governance ini dalam menjalankan kepengurusan
sehari-hari sehingga para stakeholder tidak dirugikan. Agar prinsip governance
mempunyai kekuatan hukum dan dipatuhi ada dua cara yang dapat dilakukan.
Pertama adalah dengan mengakomodasikannya dalam suatu code of conduct
yang bukan peraturan perundang-undangan.
Cara
kedua adalah dengan mengakomodasikannya dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Cara kedua ini mensyaratkan keterlibatan negara
(legislatif) dalam hal-hal yang bersifat hubungan perdata. Keterlibatan negara
ini didasarkan pada argumentasi bahwa negara harus melindungi pihak yang lemah.
Prinsip
governance dapat juga diterapkan dalam pengelolaan yayasan. Tujuan dari
penerapan prinsip ini adalah agar tidak terjadi penyimpangan dalam pengelolaan
yayasan sehingga stakeholder dirugikan. Supaya prinsip governance
ini benar-benar dipatuhi, dalam konteks Indonesia perlu ditempuh cara kedua
yaitu mengakomodasikannya dalam peraturan perundang-undangan.
Apabila
diperhatikan RUU yang disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR dapat disimpulkan
bahwa banyak hal dalam prinsip governance yang telah diakomodasi. Dalam
RUU telah dipilah-pilah organ yayasan, yaitu Pembina, Pengurus dan Pengawas
serta tugas dan tanggung jawab masing-masing3. Dalam
konteks governance hal ini penting mengingat dibutuhkan kejelasan
tentang siapa yang harus mempertanggungjawabkan apa (prinsip responsibility).
Bahkan ketentuan Pasal 31 ayat (3) yang melarang Pengurus merangkap sebagai
Pembina atau Pengawas merupakan hal penting untuk menjaga profesionalisme
pengurus.4
Selanjutnya
wujud dari diterapkannya prinsip governance dalam RUU Yayasan adalah pengaturan
tentang tujuan dari Yayasan yang sangat limitatif sebagaimana tercantum dalam
Pasal 1 angka 1. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa tujuan yayasan adalah
dibidang sosial, keagamaan dan kemanusian.5 Bahkan
apabila diperhatikan Bagian Umum dari Penjelasan RUU Yayasan disebutkan bahwa,
“Fakta
menunjukkan kecenderungan masyarakat mendirikan Yayasan dengan maksud untuk
berlindung dibalik status badan hukum Yayasan, yang tidak hanya digunakan
sebagai wadah mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusian,
melainkan juga adakalanya bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri,
pengurus, dan pengawas.”6
Penegasan
ini menunjukkan bahwa yayasan tidak boleh lagi digunakan untuk tujuan-tujuan
yang bersifat komersial. Dalam konteks prinsip governance hal ini
berarti bahwa stakeholder (termasuk para donatur) dapat memastikan bahwa
yayasan tidak dijadikan kedok belaka.
Ada dua kritik
yang dapat disampaikan sehubungan dengan pengaturan tentang pengaturan tujuan
yayasan. Pertama adalah pengaturan tentang tujuan dari yayasan yang tidak
diatur dalam pasal tersendiri. Dalam RUU Yayasan pengaturan tentang tujuan dari
yayasan hanya diatur dalam pasal definisi. Kritik yang kedua adalah tujuan
yayasan yang disebutkan dalam RUU menurut hemat penulis belum dilakukan secara
tajam walaupun dalam penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa cakupan dari bidang
sosial, keagamaan dan kemanusiaan antara lain adalah hak asasi manusia,
kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup,
kesehatan dan ilmu pengetahuan.7
Ketidaktajaman formulasi tentang tujuan yayasan dapat
berakibat pada dilakukakannya praktek-praktek masa silam. Apakah sebuah kantor
konsultan dibidang lingkungan yang melakukan kegiatannya secara komersial dapat
mendirikan yayasan? Hal ini mengingat lingkungan hidup tercakup dalam bidang
sosial, agama dan kemanusiaan. Bukankah yang menjadi ukuran untuk menentukan
tujuan yayasan adalah pada kegiatannya? Artinya kegiatan yayasan dilihat apakah
mengejar keuntungan atau tidak. Tujuan yayasan seharusnya tidak didasarkan pada
bidang kegiatan sebagaimana diatur dalam RUU Yayasan.
Berikutnya dalam konteks penerapan prinsip governance
yang telah mendapat pengaturan dalam RUU Yayasan adalah larangan yayasan
mendirikan badan usaha yang penyertaannya
melebihi dari 25% dari seluruh kekayaan yayasan.8
Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6, ketentuan ini dimaksudkan agar
yayasan tidak menyimpang dari tujuan didirikannya dan lebih mengejar aspek
komersial.9
Walaupun sudah baik, namun kekurangan dari ketentuan Pasal 6 ini adalah masih
dapat digunakannya yayasan sebagai nominee untuk mendirikan perseroan
terbatas.
Demikian pula
dengan prinsip transparansi dari governance yang telah mendapat
pengaturan dalam RUU Yayasan, yaitu Bab VII tentang Laporan Tahunan. Dalam
Pasal 54 ayat (1), misalnya, disebutkan bahwa ikhtisar laporan tahunan yayasan
diumumkan pada papan pengumuman di kantor yayasan.10
Bahkan dalam Pasal 54 ayat (4) ada kewajiban bagi yayasan untuk diaudit oleh
Akuntan Publik.11
Di
samping hal-hal tersebut diatas dalam RUU Yayasan disana-sini sudah diserap
prinsip governance. Seperti apa yang diatur dalam Pasal 36 ayat (2).
Pasal tersebut menyebutkan bahwa Pengurus mempunyai kewajiban untuk menjalankan
tugasnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.12
Demikian pula dengan ketentuan yang mengatur tentang benturan kepentingan
antara Pengurus dengan Yayasan serta pembatasan kewenangan dari Pengurus
sehubungan dengan pengelolaan kekayaan yang dimiliki oleh yayasan.13
Kemudian RUU Yayasan mensyaratkan keberadaan Pengawas sebagai suatu keharusan.14
Hanya saja dalam ketentuan tersebut tidak diatur secara rinci bahwa Pengawas
haruslah orang yang independen baik terhadap Pengurus maupun Pembina. Sehingga
dalam menjalankan tugasnya Pengawas akan bekerja secara profesional. Ketentuan
lain yang sesuai dengan prinsip governance adalah kewenangan Pengawas
untuk memberhentikan sementara anggota Pengurus.15
Kewenangan demikian penting untuk memberikan “gigi” bagi Pengawas dalam
menjalankan tugasnya. Tanpa kewenangan tersebut dikhawatirkan Pengurus akan
mengelola yayasan tanpa takut ada sanksi yang dikenakan padanya.
Walaupun
prinsip governance sudah banyak diakomodasi, namun RUU Yayasan masih
perlu disempurnakan. Banyak hal yang perlu mendapat penjelasan rinci sehingga
dalam praktek nantinya tidak menimbulkan kesimpangsiuran atau penafsiran yang
bermacam-macam. Sebagai contoh dalam Pasal 39 ayat (2) disebutkan bahwa
Pengurus dapat mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan
Yayasan, Pembina, dan atau Pengawas Yayasan atau seseorang yang bekerja pada
Yayasan sepanjang perjanjian tersebut menguntungkan Yayasan.16
Permasalahannya adalah siapa yang menentukan apakah perjanjian yang dilakukan
menguntungkan atau merugikan yayasan? Lalu apa ukuran untuk menentukan bahwa
perjanjian yang dilakukan menguntungkan?
Penutup
Terlepas
dari berbagai kekurangan yang terdapat dalam RUU Yayasan dimana masih ada waktu
untuk memperbaikinya, kehadiran UU Yayasan tidak bisa ditawar-tawar lagi. UU
Yayasan diharapkan dapat dijadikan acuan bagi masyarakat dan meminimalkan
penyimpangan-penyimpangan dan kelemahan-kelemahan dalam pengelolaan yayasan
yang selama ini ada.
* Prof. Dr. Hikmahanto, SH, LLM adalah Guru
Besar Fakultas Hukum UI. Meraih gelar SH dari UI (1987), LL.M dari Keio
University, Jepang (1992) dan Ph.D dari University of Nottingham (1997)-red.
1
Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa Foundation
adalah Permanent fund established and maintained by contributions for
charitable, educated, religious or other benevolent purposes. Lihat:
Black’s Law Dictionary, 5th ed.
3 Lihat
Pasal 2 RUU Yayasan yang menyebutkan “Yayasan mempunyai organ yang terdiri
atas: a. Pembina; b. Pengurus; dan c. Pengawas. Selanjutnya organ ini
dijabarkan lebih lanjut dalam Bab VI yang berjudul Organ Yayasan.
4 Bunyi
lengkap dari Pasal 31 ayat (3) adalah sebagai berikut, “Pengurus tidak boleh
merangkap sebagai Pembina atau Pengawas.”
5
Secara lengkapPasal 1 Angka 1 berbunyi sebagai
berikut, “Yayasan adalah badan hukum yang tidak mempunyai anggota, didirika
dengan pemisahan kekayaan pendirinya untuk mencapai tujuan tertentu di bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusian.”
7
Penjelasan Pasal 7 mengatakan sebagai berikut,
“Maksud dan tujuan Yayasan bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 mempunyai cakupan yang luas antara
lain; hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen,
pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan.”
8 Hal ini
diatur dalam Pasal 6 RUU Yayasan yang mengatur sebagai berikut, “Yayasan dapat
mendirikan badan usaha dengan ketentuan penyertaan kekayaan Yayasan paling
banyak 25% (dua puluh lima) persen dari seluruh kekayaan Yayasan.”
9 Penjelasan
Pasal 6 menyebutkan sebagai berikut, “Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar
setiap Yayasan mempertimbangkan dengan cermat apabila mendirikan badan usaha.
Hal ini untuk menghindari agar Yayasan tidak menyimpang dari maksud dan tujuan
pendirian Yayasan yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan.”
11 Pasal 54 ayat (4)
12
Bunyi lengkap dari Pasal 36 ayat (2) RUU Yayasan
adalah, “Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh
tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan.”
13
Pasal yang mengatur ketentuan tentang benturan
kepentingan adalah Pasal 37 ayat (1) RUU Yayasan yang berbunyi sebagai berikut,
“Setiap anggota Pengurus tidak berwenang mewakili Yayasan apabila: a. terjadi
perkara di depan pengadilan antara Yayasan dengan anggota Pengurus yang
bersangkutan; atau b. anggota Pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan
yang bertentangan dengan kepentingan Yayasan.”
Sementara ketentuan yang mengatur
kewenangan Pengurus sehubungan dengan kekayaan yayasan diatur dalam Pasal 38
ayat (1) RUU Yayasan yang berbunyi sebagai berikut, “Pengurus tidak berwenang:
a. mengikat Yayasan sebagai penjamin utang; b. mengalihkan kekayaan Yayasan
kecuali dengan persetujuan Pembina; dan c. membebani kekayaan Yayasan untuk
kepentingan pihak lain.”
14
Pasal 41 ayat (2) RUU Yayasan yang berbunyi:
“Yayasan memiliki Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang pengawas yang
wewenang, tugas dan tanggung jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar.
15
Pasal 44 ayat (1) RUU Yayasan yang berbunyi sebagai
berikut, “Pengawas dapat memberhentikan sementara anggota Pengurus dengan
menyebutkan alasannya.”
16
Pasal 39 ayat (1) RUU Yayasan menyebutkan bahwa,
“Pengurus dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi
dengan Yayasan, Pembina, Pengurus, dan atau Pengawas Yayasan, atau seseorang
yang bekerja pada Yayasan.” Selanjutnya dalam ayat (2) pasal yang sama
disebutkan, “Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku dalam
hal perjanjian tersebut menguntungkan Yayasan.”
Komentar
Posting Komentar