PERLUHKAH PPAT DI ATUR PADA UU KAJIAN NORMA HUKUM DAN KEDUDUKANNYA

 

PERLUHKAH PPAT DI ATUR PADA UU

 KAJIAN NORMA HUKUM DAN KEDUDUKANNYA[1]

 

A.       Pendahuluan

 

Pertanyaan yang selalu menjadi bahan pembicaraan oleh Pajabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah perlukah PPAT memiliki Undang-Undang sebagaimana yang  di miliki Notaris dalam menjalankan jabatan ?

Memang menjadi sesuatu hal yang selalu membanding-bandingkan, kedudukan Notaris dan PPAT, pada hal jabatan PPAT dan Notaris memiliki fungsi yang berbeda walaupun secara nyata persamaan yang didapat. Kedudukan PPAT dalam menjalankan jabatannya tidak bisa dilepaskan dari UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), walaupun UUPA tidak menjelaskan peran jabatan PPAT. UUPA yang diberlakukan sebagai aturan dasar dibidang pertanahan yang mengakhiri dualism pengaturan bidang pertanahan yang sebelumnya diatur melalui ketentuan hokum perdata (BW) dan pada ketentuan hukum adat.  UUPA selalu dijadikan tonggak dasar politik pertanahanan  nasional. Pada penjelasan Umum UUPA disebutkan bahwa tujuan diundangkannya UUPA  yaitu :

a.       Meletakan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi warganegara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.

b.      Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan dalam hukum tanah nasional.

c.       Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Namun disamping itu kenasionalan Hukum Agraria yang telah dirumuskan dalam UUPA yang menempatakan : [2]

1)     Wilayah Indonesia yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan Tanah Air dari rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia (Pasal 1 UUPA).

2)     Bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, kepada bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Untuk itu, kekayaan tersebut harus dipelihara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 1, 2, 14 dan 15 UUPA).

3)     Hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya bersifat abadi, sehingga tidak dapat diputuskan oleh siapa pun (Pasal 1 UUPA).

4)     Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa dan rakyat Indonesia diberi wewenang untuk menguasai bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 2 UUPA).

5)     Hak ulayat sebagai hak masyarakat hukum adat diakui keberadaannya. Pengakuan tersebut  disertai syarat bahwa hak ulayat tersebut masih ada, tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 3 UUPA).

6)     Subjek hak yang mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah Warga Negara Indonesia tanpa dibedakan asli dan tidak asli. Badan hukum pada prinsipnya tidak mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam terkandung di dalamnya (Pasal 9, 21 dan 19 UUPA).

Oleh sebab itu apa yang tercantum pada tujuan diundangkannya UUPA tersebut khususnya dalam pemberian kepastian hukum adalah dengan membuat peraturan perundang-undangan yang diperintahkan oleh UUPA yang disesuaikan dengan asas dan jiwa UUPA. UUPA sendiri memuat beberapa asas sebagai bagian perintah yang terdapat pada UUPA dalam rangkaian pembuatan aturan yang berlaku yaitu :[3]

1.      Asas Kenasionalan.

2.      Asas pada tingkat tertinggi, bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara.

3.      Asas mengutamakan  kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dari pada kepentingan perseorangan atau golongan.

4.      Asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

5.      Asas hanya Warga Negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik atas tanah.

6.      Asas persamaman bagi setiap Warga Negara Indonesia.

7.      Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri dan mencega cara-cara yang bersifat pemerasan.

8.      Asa tata guna tanah atau penggunaan tanah secara berencana.

9.      Asas kesatuan hukum.

10.  Asas jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum.

11.  Asas pemisahan horizontal.

 

B.       Kedudukan PPAT dalam Rangkaian Pendaftaran Tanah

 

Pasal 19 ayat 1 UUPA menyatakan bahwa pihak yang mengadakan pendaftaran tanah diseluruh Indonesia adalah pemerintah. Oleh karenannya pelaksanaan Pasal 19 ayat 1 tersebut, sebagaimana yang ada, lahirlah ketentuan yang berhubungan dengan pendaftran tanah sebagaimana pada saat itu diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftran Tanah. Diberlakukannya ketentuan pendaftran tanah sebagai dasar untuk meletakan pemberian jaminan kepastian hukum atas hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan ini dapat terwujud melalui pelaksanaan pendaftran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia yang memberikan jaminan kepastian hukum. Pendaftaran tanah pada dasarnya sebagai Rechtscadaster atau legalcadaster diartikan pendaftran tanah bertujuan memberikan jaminan kepastian hukum yang menghasilkan surat tanda bukti hak berupa sertifikat. Sedangkan fiscaalcadster bahwa pendaftaran tanah bertujuan menetapkan wajib pajak atas tanah yang meghasilkan surat tanda bukti pembayaran pajak atas tanah.

Namun UUPA juga menetapkan bagi kewajiban pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan hak atas tanah, yaitu :

a.       Pasal 23 UUPA

(1)  Hak Milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanan dengan hak-hak lain harus didaftarkan  menurut ketentuan Pasal 19.

(2)  Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya Hak Milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

b.      Pasal 32 UUPA

(1)  Hak Guna Usaha, termasuk syarat-syarat pemberian, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan   yang dimaksud dalam Pasal 19.

(2)  Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya Hak Guna Usaha, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

c.       Pasl 38 UUPA

(1)  HGB termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan tersebut, harus didaftrkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.

(2)  Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya HGB serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktu berakhir.

d.      Pasal 41 ayat 1 UUPA

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau hak milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberian oleh pejabat yang berwenang memberikannnya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.

       Ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 23, Pasal 32, Pasal 38, dan Pasal 41 UUPA, yang membicarkan peralihan dan pemebanan mengenai objek tanah memang tidak menyebutkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

       Proses pedaftaran tanah tidak lepas dari objek pendaftaran tanah sebagaimana yang ada. Maka oleh karenannya pendaftaran tanah dalam kedudukan objeknya dilihat dari ketentuan-ketentuan :

a.       Bidang-bidang tanah yang mempunyai  Hak Milik, Hak Guna Usah, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

b.      Tanah Hak Pengelolaan

c.       Tanah Wakaf.

d.      Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun

e.       Hak Tanggungan

f.        Tanah Negara (yang hanya dibukukan dalam daftar tanah dan tidak diterbitkan sertifikat.

       Dalam pelaksanaan tugas pendaftran tanah  Kepada Kantor Pertanahan dalam pengumpulan data fisik dan data yuridis dalam rangka kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali  dan pemeliharaan data pendaftran tanah. Kantor pertanahan dibantu oleh panita ajudikasi, dalam pendaftaran wakaf dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAW), dan dalam pendaftaran Hak Tanggungan serta pendaftaran HGB dan Hak Pakai atas tanah Hak Milik oleh PPAT. Sedangkan dalam kegiatan pemeliharaan data dalam rangkaian pemindahan hak, Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT, dan pejabat Lelang.

       Para PPAT, PPAW dan Pejabat Lelang dalam memberikan bantuan kepada Kepala Kantor Pertanahan harus dilihat dari sudut tugas masing-masing dalam rangka keseluruhan pendaftaran tanah yang ditugaskan kepada Kepala Kantor Pertanahan. Dalam pelaksanaan tugas tersebut masing-masing mempunyai kedudukan yang mandiri, bukan berkedudukan sebagai pembantu dalam arti bawahan Kepala Kantor Pertanahan. Kepala Kantor Pertanahan tidak berwenang memberikan perintah atau melarang mereka melakukan sesuatu yang menurut peraturan yang bersangkutan mereka dilarang atau wajib melakukannya.[4] Oleh karenannya Pasal 6 PP 24 Tahun 1997 memberikan tugas ke PPAT sebagai berikut :

(1)  Dalam rangka penyelenggaraan pendaftran tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, tugas pelaksananan pendaftran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu yang oleh Peraturan Pemerintah ini atau perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada pejabat lain.

(2)  Dalam melaksanakan pendaftran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT  dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

       Ketentuan Pasal 6 ayat 2 yang disebut dalam melaksanakan Pendaftaran Tanah Kepala Kantor Pertanahan di bantu oleh PPAT atau pejabat lainnya ? Kata dibantu yang dimaksud bukan mendudukan PPAT dan pejabat lainnya sebagai pembantu atau bawahan dari Kepala kantor Pertanahan, meskipun PPAT diangkat oleh Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional, namun PPAT tidak dapat diperintah oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan tugas, jabatan dan kewenangannya. PPAT mempunyai kemandirian dalam melaksanakan tugas, jabatan dan kewenangannya. Pasal 6 ayat 2 juga tidak menyebutkan secara jelas tugas kegiatan tertentu apa yang dilaksanakan PPAT untuk membantu Kepala Kantor Pertanahan. Maka PP 24 Tahun 1997 menetapkan dua macam kegiatan pendaftaran tanah yaitu pendaftran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. PPAT lebih condong pada rangkaian kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah sebagaimana yang dimaksud menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pedaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah dan sertifikat perubahan-perubahan yang terjadi. Maka setiap kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah selalu pada :

1)     Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak.

2)     Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.

Pasal 94 ayat 2 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, data yuridis dalam pendaftaran tanah berubah :

a.       Peralihan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan  dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya.

b.      Peralihan hak karena pewarisan.

c.       Peralihan hak karena penggabungan atau peleburan perusahaan atau koperasi.

d.      Pembebanan Hak Tanggungan.

e.       Peralihan Hak Tanggungan.

f.        Hapusnya ha katas tanah, Hak Pengelolaan, Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dan Hak Tanggungan.

g.       Pembagia Hak Bersama.

h.      Perubahan data pendaftaran tanah berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

i.         Perubahan nama akibat pemegang hak yang ganti nama.

j.         Perpanjangan jangka waktu ha katas tanah.

Sedangkan menurut Pasal 94 ayat 2 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, data fisik dalam pendaftaran tanah dapat berubah melalui :

a.       Pemecaan bidang tanah

b.      Pemisahan sebagaian atau beberapa bagian dari bidang tanah

c.       Penggabungan dua atau lebih bidang tanah

Hal ini menjadi jelas akhirnya bahwa tugas PPAT itu sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 2 daari PP37 Tahu 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT menyebutkan :

(1)  PPAT bertugas melaksanakan sebagian kegiatan pendaftarna tanah dengn membuat akta sebagai bukti telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai ha katas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftran  perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

(2)  Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sebagai berikut :

a.       Jual beli

b.      Tukar Menukar

c.       Hibah

d.      Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)

e.       Pembagian hak bersama

f.        Pemberian HGB/Hak pakai atas tanah Hak Milik

g.       Pemberian Hak Tanggungan

h.      Surat  Kuasa membebankan Hak Tanggungan

       Sebab itu menurut AP Parlindungan menyebutkan tugas seorang PPAT itu melaksanakan recording of deed conveyen yaitu melaksanakan perekaman pembuatan akta tanah yang meliputi mutasi hak, pengikatan jaminan dengan hak atas tanah sebagai Hak Tanggungan, mendirikan hak baru di atas sebidang tanah (HGB di atas Hak Milik atau Hak Pakai di atas Hak Milik) ditambah surat Kuasa memasang Hak Tanggungan. Sejalan dengan itu Irawan Soerdjo sebagaimana yang dikutip oleh Urip Santoso,[5] menyatakan bahwa jabatan PPAT merupakan suatu profesi yang madiri, yaitu :

a.       Mempunyai fungsi sebagai pejabat umum yang berdasarkan  peraturan perundang-undangan mendapat kewenangan dari pemerintah melalui Menteri Negara Agraria/KBPN untuk membuat akta pemindahan hak dan pembebanan Hak Tanggungan atas tanah yang merupakan alat bukti autentik;

b.      Mempunyai tugas sebagai recording of deed coveyen (perekam dari perbuatan perbuatan) sehingga wajib mengkonstatir kehendak para pihak yang telah mencapai suatu kesepakatan di antara mereka.

c.       Mengesahkan suatu perbuatan hukum di antara para pihak yang bersubstansi mengesahkan tanda tangan pihak-pihak yang mengadakan perbuatan hukum dan menjamin kepastian tanggal penandatanganan akta.

       Jelas apa yang dimaksud jabatan PPAT, bukanlah sebagai pembantu KepalaKantorPertanahan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah,melainkan seorang PPAT menjalankan jabatan yang mandiri  dan kedudukannya ada dari rangkaian aturan yang telah mengatur.

 

C.        Kepastian Hukum dan RUU PPAT 

 

       Selama ini pengaturan mengenai PPAT terdapat pada ketentuan PP 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT jo PP 24 Tahun 2016 tentang Perubahan dari PP 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT.  Kehadiran PPAT tidak dapat dilepaskan dari aturan yang mengatur sebelumnnya yaitu UUPA, dan PP 24 Tahun 1997. Pengaturan tersebut telah menempatkan PPAT sebagai pejabat umum dalam pembuatan akta-akta yang telah ditentukan dan pengaturan yang mengaturnya. Pertanyaan yang sangat mendasar apakah PPAT itu ideal diatur dalam UU atau peraturan lainnya.

       Pengembangan ilmu hukum dibidang perundang-undangan dapat mendorong fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang sangat diperlukan kehadirannya. Maka, tujuan utama pembentukan peraturan perundang-undangan bukan lagi menciptakan kondifikasi bagi norma-norma dan nilai-nilai kehidupan yang sudah mengedap dalam masyarakat, akan tetapi tujuan utama pembentukan undang-undang adalah menciptakan modifikasi atau perubahan dalam kehidupan masyarakat.  T. Koopmans menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dewasa ini tidak lagi berusaha kea rah kodifikasi melainkan kearah modifikasi .[6]

Sejalan dengan pendapat A. Hamid S. Attamimi sebagaimana yang disampaikan oleh Maria Farida Indrati, bahwa untuk menghadapi perubahan dan perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin cepat, sudah bukan saatnya mengarahkan pembentukan hukum melalui penyusunan kodifikasi. Karena pemikian kodifikasi hanya akan menyebabkan hukum selalu berjalan di belakang dan selalu ketinggalan zaman. Kodifikasi adalah penyusunan dan penetapan peraturan-peraturan hukum dalam kitan undang-undang secara sistematis mengenai bidang yang agak luas. Dengan demikikan kodifikasi bukan sekedar penyusun seperangkat peraturan hukum mengenai hal tertentu ke dalam kitab undang-undang, melainkan bidang hukum yang lebih luas, seperti bidang hukum perdata, bidang hukum dagang dan dalam bidnag hukum pidana. Dengan kondifikasi peraturan-peraturan mengenai suatu bidang hukum berikut sistemnya dan dasar-dasarnya yang selam ini tersebar dikumpulkan dan disatukan dalam suatu kitab secara teratur.

       Namun ada beberapa hal yang menjadi keuntungan dan kerugian pada kodifikasi atau modifikasi. Apabila dipakai cara kodifikasi, seseorang akan dengan mudah menemukan peraturan mengenai suatu bidang hukum tertentu. Selain itu juga peraturan dalam kodifikasi akan lebih mudah diterima oleh masyarakat karena didalamnya memuat rumusan-rumusan dari nilai-nilai yang mengendap dalam masyarakat. Sedangkan kerugian pada kodifikasi pembentukannya memerlukan waktu yang lama, sehingga hukum selalu berada dibelakang, dalam kodifikasi akan sulit untuk melakukan perubahan prinsipil terhadap hukum itu. [7]

       Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan selalu menempatkan pemberlakuan norma hukum sebagai unsur utama disamping norma lainnya. Norma adalah ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dengan sesamanya atau dengan lingkungannya. Norma baru efektif ada dalam hal hubungan pergaulan  satu dengan yang lainnya, karena mengatur cara tingkah laku terhadap orang lain.  Sedangkan norma hukum dapat dibentuk secara tertulis dan tidak tertulis oleh lembaga yang berwenang membentuknya. Antara norma hukum  dengan norma lainnya terdapat persamaan dan perbedaannya. Persamaan antara norma hukum dengan norma lain bahwa norma  merupakan pedoman bagaimana seseorang bertingkah laku dan bertindak. Kedudukan norma selalu berjenjang dan berlapis-lapis biasannya membentuk hirarkhi. Oleh karenannya setiap peraturan perundang-undangan mengandung tiga unsur norma yaitu :

a)     Norma hukum (rechtsnorms)

b)     Berlaku keluar (naar buiten werken); dan

c)      Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin)

       Kedudukan suatu norma khususnya norma hukum juga mempunyai daya laku (validitas) karena dia mempunyai keabsahan (validity). Daya laku ini dibentuk oleh norma yang lebih tinggi atau oleh lembaga yang berwenang membentuknya. Disamping menempatkan suatu norma memiliki daya laku.  Disamping itu norma juga harus memiliki daya guna (efficacy) dari norma tersebut. [8]

       Oleh karenannya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan ada kiranya peraturan perundang yang berdaya laku dan berdaya guna secara efektif atau adakalanya tidak berdaya guna dan tidak berdaya laku secar efektif. Hal ini dapat terjadi apabila dalam suatu peraturan perundangan merumuskan ketentuan yang bertujuan untuk menggantikan rumusan dalam peraturan perundang-undangan yang lain, tetapi dengan tidak melakukan pencabutan terhadap ketentuan yang diubah tersebut.

       Hal sangat berpengaruh dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor37 Tahu 1998 tentang Peraturan jabatan PPAT jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan PP 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT, apakah sudah berdaya laku dan berdaya guna sebagaimana yang dimaksud tersebut.

Norma pembentukan RUU PPAT menjadi sesuatu hal yang sangat menarik untuk dikaji. Selama ini PPAT diatur dalam kedudukan norma saat UUPA diberlakukan dimana pada UUPA itu menyebutkan :

a.       Pasal 20 ayat (2)

Hak Milik dapat beralaih da dialihkan kepada pihak lain

b.      Pasal 25

Hak Milik dapay dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan

c.       Pasal 28 ayat (3)

HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

d.      Pasal 33

HGU dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.

e.       Pasal 35 ayat (3)

HGB dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

f.        Pasal 39

HGB dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan

g.       Pasal 43

(1)  Sepanjang tanah yang dikuasi oleh Negara, maka Hak Pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.

(2)  Hak Pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.

       Untuk melihat kedudukan PPAT sendiri dalam menjalankan jabatannya, berdasarkan, ketentuan Pasal 7 PP 24 Tahun 1997, menyebutkan :

(1)  Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

(2)  Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil, Menteri dapat menunjuk Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sementara.

(3)  Peraturan jabatan Pejabat Pembuat AktaTanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Peraturan jabatan sebagaimana yang diamanahkan pada Pasal 7 ayat 3 PP 24 Tahun 1997 adalah PP 37 Tahun 1998, oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999 mengeluarkan ketentuan peraturan pelaksanaannya. Namun ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999 telah dicabut pada ketentuan peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 01 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 37 Tahun 1998. Namun ketentuan peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 01 Tahun 2006 diubah dengan ketentuan Peraturan Kepala Badan Pertanah Nasional Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perubahan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 01 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP 37 Tahun 1998.

PPAT yang selama ini diatur dari beberapa ketentuan yang ada dari Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri, jelas menempatkan PPAT menjalankan jabatannya dalam rangka proses pendaftaran tanah yang berasal dari delegasi dari Badan Pertanahan Nasional. Jelas, penempatan PPAT dalam aturannya sebagaimana yang ada memposisikan PPAT sebagai mitra yang memiliki kemandirian.

Namun wacana pembentukan peraturan PPAT pada UU, menarik untuk dibahas. Materi muatan UU selalu berhubungan dengan luasan jangkauannya. Hampir tidak ada lapangan kehidupan dan kegiatan kenegaraan, pemerintahan, masyarakat dan individu yang tidak dapat menjadi jangkauan untuk  diatur oleh undang-undang. Menurut Soehino ada 4 (empat) hal yang menjadi materi muatan undang-undang yaitu :[9]

a.       Materi yang menurut UUD 1945 harus diatur dengan undang-undang;

b.      Meteri yang menurut ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislative harus dilaksanakan dengan undang-undang;

c.       Materi yang menurut ketentuan pokok, harus dilaksanakan dengan undang-undang;

d.      Materi lain yang mengikat umum, seperti pembebanan kepada penduduk, yang mengurangi kebebasan warga Negara, yang memuat keharusan dan/atau larangan.

Maria Farida Indrati, mengutip pendapat A. Hamid S. Attamimi, menyebutkan terdapat 9  (Sembilan) materi muatan undang-undang, yaitu :

a.       Yang tegas-tegas diperintakan oleh UUD 1945 dan Ketetapan MPR;

b.      Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD;

c.       Mengatur hak-hak (asasi) manusia;

d.      Mengatur hak dan kewajiban warga negara;

e.       Mengatur pembagian kekuasaan Negara;

f.        Mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tertinggi/tinggi Negara;

g.       Mengatur pembagian wilayah/daerah Negara;

h.      Mengatur siapa warga Negara dan cara memperoleh kehilangan kewarganegaraan; dan

i.         Dinyatakan oleh suatu UU untuk diatur dengan UU.

Sedangkan muatan UU berdasarkan Pasal 10 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 2011, memuat:

a.       Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945;

b.      Perintah suatu Undan-Undang untuk diatur dalam Undang-Undang;

c.       Pengesahan perjanjian internasional tertentu;

d.      Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi, dan/ atau

e.       Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Rincian butir-butir tersebut biasanya sebagai pena penguji (testpennen) untuk menguji apakah suatu materi muatan peraturan perundang-undangan termasuk materi UU atau tidak. Untuk menuangkan suatu kebijakan tersebut dalam peraturan peraturan perundang-undangan, dikenal dengan adanya materi-materi yang bersifat khusus yang hanya mutlak dituangkan dalam undang-undang. Beberapa hal tersebut adalah :[10]

a.       Pendelegasian kewenangan regulasi atau kewenangan untuk mengatur (legislative delegation of rule making power).

b.      Perubahan pencabutan undang-undang yang ada sebelumnya.

c.       Perubahan ketentuan undang-undang.

d.       Penetapan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

e.       Pengesahan suatu perjanjian internasional.

f.        Penentuan mengenai pembebanan sanksi pidana.

g.       Penetuan  mengenai kewenangan penyelidikan, penuntutan dan penjatuhan vonis.

Dari uraian tersebut, apakah memang sangat dimungkinkan PPAT diatur pada UU ? tanpa melepaskan kajian norma yang berlaku saat ini yang pada akhirnya akan merugikan PPAT itu sendiri. Kerugian tersebut bisa saja melemahkan peran-peran PPAT sebagai pejabat umum atau saatnya PPAT tidak bisa merangkap jabatan dengan  Notaris.

 

 

  

 

 

 



[1] Dr. Bambang S. Oyong, SH., MH, Kabid Organisasi PP. IPPAT, materi kajian Urgensi Pengaturan Profesi PPAT Dalam Undang-Undang, diskusi dalam Pengumpulan Data untuk memberikan dukungan legislasi Naional bersama Sekretaris Jenderal DPR RI.

[2] Urip Santoso, HukumAgraria, Kajian Komprehensif, Kencana, Jakarta, 2012, h. 51

 

[3] Ibid, h. 53

[4][4] Boedi Harsono, Diktat Alat-Alat Bukti Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahu 1997, disampaikan pada Seminar nasisonal Kebijakan Baru Pendaftaran Tanah dan Pajak yang Terkait , Suatu Proses Sosialisasi dan Tantangannya, Yogyakarta 13 September 1997, h. 2

[5] Urip Santoso,  Pejabat Pembuat Akta Tanah, Presfektif Regulasi, Wewenang, Sifat Akta, Kencana, Jakarta, h. 124

[6] Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisius, 2007, h.2

[7] Ibid, h. 6

[8]  Ibid h. 35

[9] King Faisal Sulaiman, Teori Peraturan Perundang-Undangan dan Aspek Pengujinya, Thafa Media, Yogyakarta, 2017, h. 66

[10] Ibid h. 67

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS