TEORI HUKUM DAN PANDANGAN TOKOH


TEORI HUKUM

Teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam.2)
Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum.
Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.Teori-Teori Hukum Pada Zaman Yunani-Romawi
Plato (427-347 sebelum Masehi) beranggapan bahwa hukum itu suatu keharusan dan penting bagi masyarakat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam “The Republik”, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Pelaksanaan keadilan dipercayakan kepada para pengatur pemerintahan yang pendidikan serta kearifannya bersumber pada ilham merupakan jaminan untuk terciptanya pemerintahan yang baik.3) Dan pada karyanya yang telah diperbaharui Plato mulai mengusulkan “negara hukum” sebagai alternatif suatu sistem pemerintahan yang lebih baik, dengan konsepnya mengenai negara keadilan yang dijalankan atas dasar norma-norma tertulis atau undang-undang.
Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur. Ia adalah seorang pendidik putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut Aristoteles hukum harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil.
Aristoteles juga membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.
Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan kepatutan. Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam penerapannya terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan tersebut, dengan mempertimbangkan hal yang bersifat individual.4)
Pada Abad Pertengahan
Thomas Aquinas (1225-1275) adalah seorang rohaniawan Gereja Katolik yang lahir di Italia, belajar di Paris dan Kolin dibawah bimbingan Albertus Magnus.
Didalam membahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia sendiri. Hukum yang didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi (ius divinum positivum). Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama-tama ada hukum alam (ius nature), kemudian juga hukum bangsa-banga (ius gentium), akhirnya hukum positif manusiawi (ius positivum humanum).
Tentang hukum yang berasal dari wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum mendapat bentuknya dalam norma-norma moral agama. Seringkali norma-norma itu sama isinya dengan norma-norma yang umumnya berlaku dalam hidup manusia.
Untuk dapat menjelaskan hukum alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar Aristoteles. Aturan alam semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya. Oleh karena itu aturan alam ini harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex aeterna), yang terletak dalam hakekat Allah sendiri. Hakekat Allah itu adalah pertama-tama Budi Ilahi yang mempunyai ide mengenai segala ciptaan. Budi Ilahi praktis membimbing segala-galanya kearah tujuannya. Semesta alam diciptakan dan dibimbing oleh Allah, tetapi lebih-lebih manusia beserta kemampuannya untuk memahami apa yang baik dan apa yang jahat dan kecenderungan untuk membangun hidupnya sesuai dengan aturan alam itu. Oleh karena itu untuk hukum alam, Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan aturan hidup manusia , sejauh didiktekan oleh akal budinya. Hukum alam yang terletak dalam akal budi manusia itu (lex naturalis) tidak lain daripada suatu pertisipasi aturan abadi dalam ciptaan rasional.
Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu : hukum alam primer dan hukum alam sekunder. Hukum alam primer dapat dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat umum berlaku bagi semua manusia. Hukum alam sekunder dapat diartikan dalam norma-norma yang selalu berlaku in abstracto, oleh karena langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer, tetapi dapat terjadi juga adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu. Thomas Aquinas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar dan keadilan legal. Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum. Keadilan tukar-menukar menyangkut barang yang ditukar antara pribadi seperti misalnya jual beli. Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung keadilan legal.5)
Teori-Teori Pada Abad XIX dan Selanjutnya

Positivisme dan Utilitarianisme
Selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk mengubah keadaan dalam segala bidang. Dalam abad ini pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu hukum.
Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari positivisme sebagai berikut :6)
1. Hukum adalah perintah.
2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
4. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti terhadap positivisme ini.
Berbeda dengan John Austin (1790-1859), yang menyatakan bahwa hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara secara memaksakan, dan biasanya ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi didalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources).
John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurut John Austin, tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat didalam suatu negara.
Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan.7)Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat.
Rudolph von Jhering sering disebut sebagai “social utilitarianism”. Ia mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.
Rudolph von Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang “tujuan”, seperti dikatakannya didalam salah satu bukunya yaitu bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan. Ia mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, tetapi menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah, bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari. Hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.8)
John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan jeremy bentham, yaitu bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan. Standar keadilan hendaknya didasarkan kepada kegunaannya. Akan tetapi Ia berpendapat, bahwa asal usul kesadaran akan keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut John Stuart Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lainyang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan dengan demikian, mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.9)
Teori Hukum Murni
Hans Kelsen (1881-1973),adalah pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum murni).Teori hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya.
Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut :10)
1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity)
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik
6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa didalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.
Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu.

TEORI KEADILAN JOHN RAWLS PEMAHAMAN SEDERHANA BUKU A THEORY OF JUSTICE


Teori Keadilan John Rawls Pemahaman Sederhana Buku A Theory Of Justice
Di dalam perkembangan pemikiran filsafat hukum dan teori hukum, tentu tidak lepas dari konsep keadilan. Konsep keadilan tindak menjadi monopoli pemikiran satu orang ahli saja. Banyak  para pakar dari berbegai didiplin ilmu memberikan jawaban apa itu keadilan. Thomas Aqunas, Aristoteles, John Rawls, R. Dowkrin, R. Nozick dan Posner sebagian nama yang memberikan jawaban tentang konsep keadilan.
Dari beberapa nama tersebut John Rawls, menjadi salah satu ahli yang selalu menjadi rujukan baik ilmu filsafat, hukum, ekonomi, dan politik di seluruh belahan dunia, tidak akan melewati teori yang dikemukakan oleh John Rawls. Terutama melalui karyanya A Theory of Justice, Rawls dikenal sebagai salah seorang filsuf Amerika kenamaan di akhir abad ke-20. John Rawls dipercaya sebagai salah seorang yang memberi pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus mengenai nilai-nilai keadilan hingga saat ini.
Akan tetapi, pemikiran John Rawls tidaklah mudah untuk dipahami, bahkan ketika pemikiran itu telah ditafsirkan ulang oleh beberapa ahli, beberapa orang tetap menggap sulit untuk menangkap konsep kedilan John Rawls. Maka, tulisan ini mencoba memberikan gambaran secara sederhana dari pemikiran John Rawls, khususnya dalam buku A Theory of Justice. Kehadiran penjelasan secara sederhana menjadi penting, ketika disisi lain orang mengangap sulit untuk memahami konsep keadilan John Rawls.
Teori keadilan Rawls dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut:
  1. Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri,
  2. Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat dizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
  3. Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.
Untuk meberikan jawaban atas  hal tersebut, Rows melahirkan 3 (tiga) pronsip kedilan, yang sering dijadikan rujukan oleh bebera ahli yakni:
  1. Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
  2. Prinsip perbedaan (differences principle)
  3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka: Equal liberty principle harus diprioritaskan dari pada prinsip-prinsip yang lainnya. Dan, Equal opportunity principle harus diprioritaskan dari pada differences principle.
Dariman tiga prinsip tersebut dilahirkan? Untuk memahami hal tesebut, kita dapat mulai dari gambar dibawah ini.

Pembahasan dibawah ini, akan mengacu kepada penomoran yang terdapat pada gambar di atas.
Poin 1.
Keadilan adalah Kejujuran (Justice as Fairness) Masyarakat adalah kumpulan individu yang di satu sisi menginginkan bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kumpulan individu  – tetapi disisi yang lain – masing-masing individu memiliki pembawaan serta hak yang berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu Rows mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan, bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan yang berbeda disatupihak dengan keinginan untuk bersama demi terpenuhnya kebutuhan bersama?
Poin 2
Selubung Ketidaktahuan  (Veil of Ignorance)
  • Setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang.
  • Orang-orang atau kelompok yang terlibat dalam situasi yang sama tidak mengetahui konsepsi-konsepsi mereka tentang kebaikan.
Poin 3
Posisi Original (Original Position)
  • Situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat
  • Tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya.
  • Pada keadaan ini orang-orang dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang.
“Posisi Original” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri Rasionalitas (rationality), Kebebasan (freedom), dan Persamaan (equality). Guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).
Poin 4
Prinsip Kebebasan yang Sama (equal liberty principle)
Setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. “Setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama”
Dalam hal ini kebebasan-kebebasan dasar yang dimaksud antara lain:
  • kemerdekaan berpolitik (political of liberty),
  • kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression),
  • kebebasan personal (liberty of conscience and though).
  • kebebasan untuk memiliki kekayaan (freedom to hold property)
  • Kebebasan dari tindakan sewenang-wenang.
Poin 5
Prinsip Ketidaksamaan (inequality principle)
  • Difference principle (prinsip perbedaan) – Ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.
  • Equal opportunity principle (prinsip persamaan kesempatan)- Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil.
Jadi sebenarnya ada 2 (dua) prisip keadilan Rows, yakni equal liberty principle dan inequality principle. Akan tetapi inequality principle melahirkan 2 (dua) prinsip keadilan yakni Difference principle dan Equal opportunity principle, yang akhirnya berjunlah menjadi 3 (tiga) prisip, dimana ketiganya dibangun dari kotrusi pemikiran Original Position.

ILMU HUKUM “SUI GENERIS”

http://ilhamendra.files.wordpress.com/2011/09/fotonormative1small1.jpg?w=120&h=87Ilmu hukum adalah “SUI GENERIS” 
Berhubungan dengan tulisan sebelumnya tentang Etnografi, maka dianggap perlu adanya suatu tulisan yang menekankan pada metode penelitian hukum. Metode penelitian hukum bertumpu pada metode doktinal dalam kajian hukum positif, penggunaan metode diluar hukum “metode empiris” –salah satunya etnografi yg pernah di bahasa dalam blog ini- dapat digunakan selama diperlukan. Penggunaan metode dalam prespektif yang berbeda harus dijelasakan dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Positivisme yang dirintis A. Comte menyatakan bahwa hukum berkembang melalui tiga tahap (law of the three stages) yakni tahap teologis, tahap metafisi dan tahap positif. Positivisme memiliki lima asumsi dasar yaitu: (i) Asumsi pertama adalah logika empirisme. Dalam konteks ini, positivisme menyakini bahwa setiap kebenaran harus melewati pembuktian secara empiris; (ii) Asumsi kedua adalah realitas objektif. Realitas dalam positivisme adalah segala sesuatu yang berobjek kajian tunggal; (iii) Asumsi ketiga adalah reduksionisme. Sesuatu yang tidak dapat direduksi dipandang bukan objek kajian ilmiah; (iv) Asumsi keempat adalah determinisme. Sesuatu bersifat determinan apabila tunduk pada hukum sebab-akibat (kausalitas); (v) Asumsi kelima adalah bebas nilai. (Shidarta, Positivisme hukum, 2007, hlm. 2-3).
Pemikiran A. Comte ini melandasi aliran Postivisme Logis. Postifisme Logis, merupakan suatu aliran yang menguat pada abad ke-20 melalui komunitas yang menamakan dirinya dengan Lingkaran Wina (Der Wiener Kries).(Shidarta, Positivisme Hukum, 2007, hlm. 4) Aliran ini beranggotakan sejumlah ilmuan dan filsuf diantaranya yang Morits Schlick, Rudolf Carnap, Philipp Frank, Viktor Kraft, Herbert Feigl dan Friedrich Waismann (Bernard Arief Sidharta, Refleksi Struktur Ilmu Hukum, 2009, hlm. 85). Dari pertemuan ini diterbitkan sebuah risalah yang berjudul “Wisseinschaftliche Weltauffasung. Der Wiener Kreis”. Adapun aliran ini memiliki pandangan, sebagai berikut:
  1. Hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang sah dan pengetahuan ilmiah itu harus bersifat empiris, artinya hanya kenyataan yang dapat diobserfasi pancaindera yang dapat menjadi objek ilmu.
  2. Terdapatnya asas verifikasi, yakni putusan ilmiah adalah benar hanya jika putusan itu dapat diferifikasi secara empiris, yaitu dapat diuji pada kenyataan yang dapat diobservasi.
  3. Positivisme adalah aliran yang menyakinkan bahwa pengetahuan manusia bersifat objektif, yang diperoleh melalui penyidikan empirik dan rasional.
  4. Menolak proposisi-proposis metafisis yang menonjol pada abab pertengahan.
  5. Positifisme logis berpegang pada empat asas (1) Empiris, (2) Postivisme, (3) Logika, (4) Kritik Ilmu.
Aliran Postivisme Logis tersebut memiliki dampak terhadap perkembangan ilmu hukum, antara laian metode di dalam ilmu hukum. Metode yang terdapat pada postivisme lagis memiliki ciri sebagai berikut:
  • Metode untuk memperoleh pengetahuan ilmiah adalah metode empirik.
  • Menggunakan merode induksi yakni cara memperoleh pengetahuan dengan jalan bertolak dari (sejumlah) data terberi khusus lewat generalisasi sampai pada putusan atau dalil umum.
  • Berdasarkan fakta yang terobservasi menarik kesimpulan umum dan kemudian dengan menggunakan bahasa yang secara logika konsisten mengkonstuksikan teori ilmiah berkenaan dengan objek yang diteliti.
  • Produknya berupa teori ilmiah sekaligus juga merupakan hipotesa yang dapat diuji kembali.
Dengan demikian Positivisme Logis yang dari dimensi keilmuan dipandang sangat mempengaruhi positivisme hukum yakni adanya penggunaan pendekatan empiris. Secara terperinci, dampak dari dari pemikiran postivisme terhadap metode penelitian hukum, yaitu: (Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, 2007, hlm. 88-89)
  • berkembangnya ilmu hukum dengan menggunakan format ilmu sosial yang mengunakan metode empiris.
  • Beberapa ilmuan hukum merasa lebih percaya diri apabila menggunakan pendekatan sosial empiris.
  • Penggunaan format metode empiris dinilai lebih ilmiah karena dapat dikuantifikasi dan digunaknnya rumus-rumus ilmu pasti (ilmu eksakta) untuk menjamin pembuktian ilmiah dari segi empiris.
Padahal dalam kenyataannya, positivisme hukum justru menunjukkan pola berpikir yang bertolak belakang sama sekali, yaitu dengan menggunakan logika deduktif atau pendekatan doktrinal bersumber kepada norma positif dalam sistem perundang-undangan yang dipandang benar secara self evident. (Shidarta, Positivisme Hukum, 2007, hlm. 7). Ilmu hukum adalah “SUI GENERIS” yang berarti ilmu hukum merupakan ilmu yang jenis sendiri. Ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas dan sistem ilmiah yang berbeda karena memiliki obyek kajian yang berbeda.
Ilmu Hukum memiliki Tatanan/lapisan Ilmu sendiri, menurut T Gijssels, terdiri dari Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Ilmu Hukum. Secara singkat perngertian ketiganya adalah dogmatik hukum Studi secara ilmiah tentang hukum pada tataran ilmu-ilmu positif. Teori hukum Studi yang obyek telaahnya adalah tatanan hukum sebagai suatu sistem. Dan, filsafat hukum Studi yang objek telaahnya adalah hukum sebagai demikian (law as such). (B. Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, 2008, hlm. vii). Dogmatik hukum merupakan cabang disiplin hukum yang paling konkret, sedangkan filsafat hukum berada pada tataran paling abstrak. Oleh karena jarak di anatara keduanya sangat lebar, maka diperlukan cabang disiplin hukum yang mampu menjebatani keduannya, yakni teori hukum. (Shidarta, Pemetaan Aliran-aliran Pemikiran Hukum dan Konsekwensi Metodologisnya, 2009, hlm. 156)
Karakter “SUI GENERIS” menunjukan bahwa dalam ilmu hukum jangan pernah -tidak dapat- menyampingkan karateristik normatifnya, yakni pada saat ilmu hukum memiliki sifat empiris anatilisnya. Keberadaan sifat empiris analitisnya karena Ilmu hukum merupakan “Ilmu Praktis yang bersifat normologis”. Ilmu Praktis Nomologis, berusaha memperoleh pengetahuan faktual-empiris. Yakni pengetahuan tentang hubungan yang ajeg yang berlaku antara dua hal atau lebih berdasarkan asas kausalitas deterministik. Contoh: Jika A (ada atau terjadi), maka B (ada atau terjadi). Selain itu, Ilmu Praktis Normologis disebut ilmu normatif, berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau lebih berdasarkan asas imputasi. Asas Imputasi adalah (menautkan tanggungjawab/kewajiban) untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban subyek tertentu dalam situasi konkrit tertentu, sehubungan tela terjadi perbuatan atau pristiwa atau keadaan tertentu, namum dalam kenyataan apa yang seharusnya terjadi tidak niscahaya dengan sedirinya terjadi. Contoh: Jika A (terjadi atau ada) maka seyogyanya B (terjadi). Ilmu hukum mengarah pada refleksi pemecahan masalah-masalah konkrit dalam masyarakat. Berbeda dari hakikat ilmu hukum empiris sebagai bagian dari ilmu sosial yang dipelajari untuk meramalkan proses sosial. (Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, 2007, hlm. 50)
Dari penjelasan tersebut berarti, terdapat perbedaan ilmu hukum normatif dengan dengan ilmu hukum empris yang merupakan ilmu sosial. Ilmu hukum normatif merupakan ilmu praktis, mengubah keadaan serta menawarkan penyelesaian terhadap problem masyarakat. Ilmu hukum memiliki karatersitik yang khas yang berbeda dengan ilmu lainnya.
Oleh karena itu, Konsekwensi terhadap metode penelitian hukum yakni (Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, 2007, hlm. 161-163): pertama, dalam melakukan penelitian hukum yang digunakan metode normatif, yakni metode doktrinal dengan optik preskriptif untuk menemukan hukum secara hermeneutis. Kaedah tersebut menentukan apa yang menjadi kewajiban dan hak yuridis dari subyek hukum. Kedua, Metode penelitian hukum bertumpu pada metode doktinal dalam kajian hukum positif, penggunaan metode diluar hukum “metode empiris” dapat digunakan selama diperlukan. Penggunaan metode dalam prespektif yang berbeda harus dijelasakan dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Be the first to like this post.



 Metode Etnografi 
A.   Pendahuluan
Dalam bangunan disilin hukum, ilmu-ilmu hukum bukan hanya ilmu hukum normatif tetapi juga ilmu hukum empirik. Meuwissen, menjelaskan bahwa dalam pengembanan ilmu hukum salah satu aspeknya adalah pengembanan hukum teoritikal.[1] Pengembanan hukum teoritikal adalah kegiatan akal budi untuk memperoleh penguasaan intelektual atas hukum atau pemahaman hukum secara ilmiah.[2] Pengembanan hukum secara teoritikal dibedakan atas 3 (tiga) hal yakni ilmu-ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Ilmu-ilmu hukum merupakan ilmu yang  paling rendah abstraksinya. Ilmu-imu hukum terdiri atas ilmu hukum normatif dan ilmu hukum emprik.
Ilmu hukum normatif, disebut pula dengan istilah dogmatikal hukum (Rechtsdogmatiek) istilah lainnya ilmu hukum praktikal atau ilmu hukum postif. Fokus kajiannya adalah pada hukum yang berlaku das Solleh-Sein.[3] Ilmu hukum empiris mempelajari hukum sebagai perikelakuan atau sikap tindak. Mempelajari hukum dengan pendekatan eksternal, yakni bearti titik tolaknya mengamati berlakunya hukum di dalam masyarakat, fokus kajiannya adalah pada hukum yang berlaku Das sein-Sollen. Ilmu tentang kenyataan terdiri dari: Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Perbandingan Hukum dan Sejarah Hukum.[4]
Dari pendapat tersebut, berarti Ilmu-ilmu hukum tidak hanya mempelajari hukum postif saja, ilmu hukum mempelajari ilmu-ilmu diluar hukum dengan titik tolak hukum. Bahkan, sekarang ini beberapa ahli hukum berpendapat bahawa hukum tidaklah bebas nilai, kosep teori muni tentang hukum tidak dapat menjawab permasalahan hukum. Oleh karena itu, dalam perumusan suatu norma hukum sebelum norma sah sebagai hukum postif, beberapa ahli hukum menilai perlu dilakukan pengkajian hukum secara empiris baik dengan pendekatan sosiologis, atropologis atau yang lainnya. Maka, metode penelitian diluar hukum mejadi penting untuk di pelajari. Berkaitan dengan tulisan ini, penulis mencoba membahas metode penelitian yang digunakan dalam ilmu antropologi, yang kemudian dianalisa terhadap beberapa contoh penelitian hukum. Penulis menyimpulkan bahwa metode tersebut dapat digunakan dalam melakukan penelitian hukum bahkan dapat meperoleh data yang dalam dan memberikan solusi yang nyata.
B.   Penelitian Lapangan (Field Research)
Menurut Kanneth D. Bailey istilah studi lapangan merupakan istilah yang sering digunakan bersamaan dengan istilah studi etnografi (ethnographic study atau ethnography).[5] Lawrence Neuman juga menjelasakan bahwa penelitian lapangan juga sering disebut etnografi atau panelitian participant observation.[6] Akan tetapi, menurut Neuman etnografi hanyalah merupakan perluasan dari penelitian lapangan. Etnografi mendefinisikan kembali bagaimana penelitian lapangan harus dilakukan. [7]  Menurut Roice Singleton, penelitian lapangan berasal dari dua tradisi yang terkait yakni antropologi dan sosiologi, dimana etnografi merupakan studi antropologi dan etnomethodologi merupakan studi sosiologi.[8] Etnografi memberikan jawaban atas pertanyaan apakah budaya suatu kelompok individu, sedangkan etnomethodologi memberikan jawaban atas bagaimanakah orang memahami kegiatan mereka sehari-hari sehingga mereka dapat berprilaku dengan cara yang diterima secara sosial.[9]
Menurut Neuman penelitian lapangan merupakan penelitian kualitatif di mana peneliti mengamati dan berpartisipasi secara langsung dalam penelitian skala sosial kecil dan mengamati budaya setempat.[10] Banyak mahasiswa senang dengan penelitian lapangan karena terlibat langsung dalam pergaulan beberapa kelompok orang yang memiliki daya tarik khas. Tidak ada matematika yang menakutkan atau statistik yang rumit, tidak ada hipotesis deduktif yang abstrak. Sebaliknya, adanya interaksi sosial atau tatap muka langsung dengan “orang-orang yang nyata” dalam suatu lingkungan tertentu.[11]
Dalam penelitian lapangan, peneliti secara individu berbicara dan mengamati secara langsung orang-orang yang sedang ditelitinya. Melalui interaksi selama beberapa bulan atau tahun mempelajari tetang mereka, sejarah hidup mereka, kebiasaan mereka, harapan, ketakutan, dan mimpi. Peneliti bertemu dengan orang atau komunitas baru, mengembangkan persahabatan, dan menemukan dunia sosial baru, hal ini sering dianggap menyenangkan. Akan tetapi, penelitian lapangan juga memakan waktu, menguras emosional, dan kadang-kadang secara fisik berbahaya.[12]
Kapan sebaiknya kita menggunakan penelitian lapangan? Penelitian lapangan dilakukan ketika pertanyaan penelitian mencakup belajar tentang, memahami, atau menggambarkan interaksi sekelompok orang. Hal ini biasanya dilakukan jika pertanyaannya adalah: Bagaimana orang Y di dunia sosial? atau Seperti apakah dunia sosial dari X? Hal ini dapat digunakan ketika metode lain (misalnya, survei, eksperimen) dianggap tidak praktis. Douglas menyatakan bahwa sebagian dari apa yang peneliti sosial benar-benar ingin belajar, dapat dipelajari hanya melalui keterlibatan langsung seorang peneliti di lapangan.[13]
C.   Etnografi
Etnografi berasal dari budaya anthropology.[14]  Etno berarti orang atau bangsa, sedangkan graphy mengacu pada menggambarkan. Jadi etnografi berarti menggambarkan suatu budaya dan cara lain memahami cara hidup dari sudut pandang asli.[15] Hal ini berarti, peneliti yang menggunakan penelitian etnografi berusaha memahami budaya atau aspek-aspek budaya melalui serangkaian pengamatan dan penafsiran prilaku manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya. Etnografi secara modern diperkenalkan oleh Franz Boas dan Bronislaw Malianowski, sebelumnya etnografi digunakan untuk memberikan kesaksian dari penjelajah, misionaris, dan pencarian data pejabat kolonial.[16]
Etnografi mengasumsikan bahwa seorang peneliti dalam membuat kesimpulan, melampaui apa yang dilihat atau dikatakan secara eksplisit dari apa yang dimaksud atau tersirat. Dengan kata lain, pengamatan tidak dilakukan dipermukaan tetapi dilakukan dengan pengkajian yang mendalam. Antropolog Clifford Geertz menyatakan bahwa bagian penting dari etnografi adalah deskripsi yang kaya, penjelasan yang spesifik dan rinci (sebagai lawan dari ringkas, standar, dan general).[17] Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil tersebut seorang peneliti harus dapat hidup secara khusus dalam waktu yang lama di dalam suatu komunitas sosial.
Etnografi oleh Spradley dan McCurdy didefinisikan sebagai “Tugas menggambarkan kebudayaan tertentu.” Sebagaimana telah dijelasakan di atas, Etnografi adalah metode utama yang digunakan oleh antropolog budaya untuk mempelajari kebudayaan yang relatif primitif. Namun, metode etnografi juga dapat digunakan dalam masyarakat yang kompleks seperti kelompok-kelompok dalam masyarakat kota yang memiliki kelompok subkultur tersendiri. Sejumlah contoh lain dari etnografi perkotaan sebagaimana dilakukan oleh Spradley dan McCurdy (1972), termasuk etnografi dari sebuah toko perhiasan perkotaan, orang tua, pramugari maskapai penerbangan, dan pemadam kebakaran.[18] Patton mengutip pendapat Agar, menegaskan bahwa metode etnografi dalam antropologi medern digunakan untuk mempelajari masyarakat kontemporer dan masalah-masalah sosial, seperti kecanduan.[19]
Karena tujuan dari metode etnografi untuk menggambarkan budaya tertentu, etnografi pada umumnya hanya memiliki beberapa hipotesis dan tidak ada kuesioner terstruktur.[20] Bahkan, menurut Flood seorang peneliti yang menggunakan penelitian etnografi tidak wajib menyusun kerangka teori terlebih dahulu. Peneliti tidak mengetahui dengan persis hasil dari sebuah penelitian, peneliti dapat menampilkan pernyataan teoritis baru saat proses peneltian berlangsung. Gaya bergulir dalam melahirkan teori ini disebut Flood “organisational epistemologi”.[21]
Tujuan penelitian etnografi adalah untuk menggambarkan budaya atau subkultur dengan serinci mungkin, termasuk bahasa, adat istiadat, nilai-nilai, upacara keagamaan, dan hukum.[22] Berarti secara umum penelitian etnografi memiliki tujuan menemukan dan menggambarkan budaya suatu masyarakat atau organisasi tertentu. Fokus penelitiannya adalah pola-pola yang tercermin dalam sikap tidak dan prikelakuan masyarakat atau organisasi yang diteliti. Adapun yang dicari dalam penelitian ini berarti bukan hal yang tampak, melainkan yang terkandung dalam hal yang nampak tersebut.
Penelitian etnografi berfokus pada pertanyaan: “Apakah budaya sekelompok orang”, maka metode utama ahli etnografi adalah observasi dalam tradisi antropologi.[23]Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang dilakukan intensif di mana peneliti terbenam dalam budaya yang diteliti.[24] Hal ini berarti peneliti masuk dalam budaya yang diteliti atau sering disebut dengan in depth studies. Gagasan budaya merupakan inti etnografi. Asumsi penting penelitian etnografi adalah bahwa setiap kelompok manusia secara bersama-sama untuk jangka waktu tertehtu akan berkembang budaya. Budaya adalah kumpulan pola perilaku dan keyakinan yang merupakan “standar untuk memutuskan apa yang ada, standar untuk menentukan apa yang dapat, standar untuk menentukan bagaimana seseorang merasa tentang suatu hal, standar untuk memutuskan apa yang harus dilakukan tentang suatu hal, dan standar untuk memutuskan bagaimana untuk melakukan hal itu”.[25]
Umumnya penelitian etnografi mensyaratkan seorang peneliti yang berpengalaman, peneliti harus dapat membenamkan dirinya dalam budaya masyarakat yang ia teliti. Bahkan, tujuan peneliti dalam studi etnografi sebenarnya untuk bersosialisai dirinya sendiri ke dalam budaya yang ia mencoba untuk dijelaskan. Peneliti mencoba untuk melupakan apa yang ia telah diajarkan oleh budaya sendiri dan menjadi bagian dari budaya yang ia pelajari, bahkan hal ini menjadi masalah ketika ia kembali kepada kebuadayaan semula.[26] Jelas, tidak semua orang umumnya dapat sepenuhnya bersosilisasi. Oleh karena itu, didalam kenyataannya suku, masyarakat, atau subkultur yang dipelajari dapat tidak menerima kehadiran peneliti (orang luar) dan tidak diperbolehkan menjadi bagain kelompok tersebut secara  penuh bahkan tidak diijinkan tinggal di antara mereka.
Hal ini berarti seorang yang akan melakukan penelitian etnografi harus memiliki latar belakang pengetahuan yang menunjang penelitiannya, mengetahui dengan jelas obyek yang akan diteliti atau dipelajari. Peneliti juga harus mengetahi cara melakukan penelitian agar diperoleh hasil yang sesuai dengan situasi yang sebenarnya. Untuk mendapatkan data yang lengkap dan mendalam tentang apa yang diteliti, peneliti harus terjun dalam kehidupan masyarakat yang diteliti, dan sebagaimana telah di jelasakan diatas sering membutuhkan jangka waktu yang panjang.
Etnografi pada hakikatnya bertujuan untuk menguraikan budaya tertentu secara holistik,[27] yaitu aspek budaya baik spiritual maupun material. Uraian tersebut kemudian akan mengungkapkan pandangan hidup dari sudut pandang penduduk setempat. Selain analisis data yang dilakukan secara holistic -bukan parsial, ciri-ciri lainnya dari penelitian etnografi adalah: (a) sumber data bersifat ilmiah, artinya peneliti harus memahami gejala empirik (kenyataan) dalam kehidupan sehari-hari; (b) peneliti sendiri merupakan instrumen yang paling penting dalam pengumpulan data; (c) bersifat menggabarkan (deskripsi), artinya, mencatat secara teliti fenomena budaya yang dilihat, dibaca, lewat apa pun termasuk dokumen resmi, kemudian mengkombinasikan, mengabstrakkan, dan menarik kesimpulan; (d) digunakan untuk memahami bentuk-bentuk tertentu (shaping), atau studi kasus; (e) analisis bersifat induktif; (f) di lapangan, peneliti harus berperilaku seperti masyarakat yang ditelitinya; (g) data dan informan harus berasal dari tangan pertama; (h) kebenaran data harus dicek dengan dengan data lain (data lisan dicek dengan data tulis); (i) orang yang dijadikan subyek penelitian disebut partisipan (buku termasuk partisipan juga), konsultan, serta teman sejawat; (j) titik berat perhatian harus pada pandangan emik, artinya, peneliti harus menaruh perhatian pada masalah penting yang diteliti dari orang yang diteliti, dan bukan dari etik; (k) dapat menggunakan data kualitatif maupun kuantitatif, namun sebagian besar menggunakan kualitatif. [28] Berdasarkan ciri-ciri tersebut, dapat dipahami bahwa etnografi merupakan model penelitian budaya yang khas.
 John Lofland menggambarkan unsur-unsur kunci dalam strategi penelitian etnografi, yakni:[29] Generic Propositions. Ahli etnografi pada akhirnya berkomitmen untuk membangun proposisi umum mengenai pola-pola kehidupan sosial manusia. Beberapa pola-pola ini adalah deskriptif (seperti frekuensi kejadian tertentu) dan penjelasan (seperti apa yang menyebabkan beberapa jenis perilaku). Unfettered Inquiry. Peneliti lapangan menunjukkan bahwa pada dasarnya memiliki pandangan bahwa segala sesuatu adalah permainan yang adil. Dan, Deep Familiarity. Sedapat mungkin peneliti menempatkan diri pada posisi orang yang ingin dipahami.
Ada 2 (dua) pijakan teoritis yang memberikan penjelasan tentang model etnografi, yiatu interaksi simbolik dan aliran fenomonologi.[30] Menurut Spradley dalam teori interaksi sibolik, budaya dipandang sebagai sistem simbolik dimana makna tidak berada dalam benak manusia, tetapi simbol dan makna itu terbagi dalam aktor sosial (di antara, bukan di dalam, dan mereka adalah umum, tidak mempribadi).[31]
Budaya adalah lambang-lambang makna yang terbagi (bersama). Budaya juga merupakan pengetahuan yang didapat seseorang untuk menginterpretasikan pengalaman pengalaman dan menyimpulkan perilaku sosial. Teori ini mempunyai tiga premis, yaitu (1) tindakan manusia terhadap sesuatu didasarkan atas makna yang berarti baginya, (2) makna sesuatu itu diderivasikan dari atau lahir di antara mereka dan (3) makna tersebut digunakan dan dimodifikasi melalui proses interpretasi yang digunakan manusia untuk menjelaskan sesuatu yang ditemui.[32]
Ketiga premis ini kemudian dikembangkan menjadi ide-ide dasar dari interaksi simbolik. Menurut Poloma ide-ide dasar itu menyebutkan bahwa (a) masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi dan membentuk apa yang disebut organisasi atau struktur sosial (b) interaksi yang berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan manusia lain ini bisa merupakan non-simbolik bila mencakup stimulus respon yang sederhana, ataupun simbolik mencakup “penafsiran tindakan”; (c) obyek itu sendiri tidak memiliki makna intrinsik, makna lain merupakan produk interaksi simbolik, artinya dunia obyek “diciptakan, disetujui, ditransformir, dan dikesampingkan” lewat interaksi simbolik; (d) bahkan manusia sendiri tidak mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek, pandangan hidup terhadap dirinya ini lahir saat proses interaksi simbolik (e) tindakan manusia itu merupakan tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri, dan (f) tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok, dan menjadi tindakan bersama.[33]
Penelitian etnografi dengan landasan pemikiran fenomenologi menurut Michael H. Agar dan Giddens adalah inti dari proses mediasi kerangka pemaknaan. Hakekat dari suatu mediasi tertentu akan bergantung dari hakekat tradisi dimana terjadi kontak selama penelitian lapangan.[34]
LeCompte dan Schensul menjelaskan langkah-langkah umum yang dapat diterapkan dalam penelitian etnografi: (1) Temukan informan yang tepat dan layak dalam kelompok yang dikaji; (2) Definsikan permasalahan, isu, atau fenomena yang akan dieksplorasi; (3) Teliti bagaimana masingmasing individu menafsirkan situasi dan makna yang diberikan bagi mereka; (4) Uraikan apa yang dilakukan orang-orang dan bagaimana mereka mengomunikasikannya; (5) Dokumentasikan proses etnografi; (6) Pantau implementasi proses tersebut; (7) Sediakan informasi yang membantu menjelaskan hasi riset.[35]
D.  Kelebihan dan kelemahan Etnografi
Berdasarkan penjelasan pada sub bagian diatas, dapat ditarik kesimpulan kelebihan dan kelemahan penelitian etnografi, yakni:
1.     Kelebihan
Salah satu aspek yang paling berharga yang dihasilkan dari penelitian etnografi adalah kedalamannya. Karena peneliti berada untuk waktu yang lama, peneliti melihat apa yang dilakukan orang serta apa yang mereka katakan. Peneliti dapat memperoleh pemahaman yang mendalam tentang orang-orang, organisasi, dan konteks yang lebih luas.[36] Peneliti lapangan mengembangkan keakraban yang intim dengan dilema, frustrasi, rutinitas, hubungan, dan risiko yang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Kekuatan yang mendalam dari etnografi adalah yang paling “mendalam” atau “intensif”. Dari pengetahuan tentang apa yang terjadi di lapangan dapat memberikan informasi penting untuk perumusan asumsi penelitian.[37] Secara singkat keuntungan pengunaan penelitian etnografi dijelaskan di bawah ini, sebagai beriku:
-      Mengasilkan pemahaman yang mendalam. Karena yang dicari dalam penelitian ini bukan hal yang tampak, melainkan yang terkandung dalam hal yang nampak tersebut
-      Mendapatkan atau memperoleh data dari sumber utama yang berarti memiliki tingkat falidasi yang tinggi.
-      Mengasilkan deskripsi yang kaya, penjelasan yang spesifik dan rinci.
-      Peneliti berinteraksi langsung dengan masyarakat sosial yang akan diteliti.
-      Membatu kemapuan beinteraksi karena menutu kemampuan bersosialisai dalam budaya yang ia coba untuk dijelaskan.
 2.     Kelemahan
Salah satu kelemahan utama penelitian etnografi adalah bahwa dibutuhkan lebih lama daripada bentuk penelitian lainnya. Tidak hanya membutuhkan waktu lama untuk melakukan kerja lapangan, tetapi juga memakan waktu lama untuk menganalisis materi yang diperoleh dari penelitian. Bagi kebanyakan orang, ini berarti tambahan waktu.[38] Kelemahan lain dari penelitian etnografi adalah bahwa lingkup penelitiannya tidak luas. Etnografi sebuah studi biasanya hanya satu organisasi budaya. Bahkan keterbatasan ini adalah kritik umum dari penelitian etnografi, penelitian ini hanya mengarah ke pengetahuan yang mendalam konteks dan situasi tertentu.[39] Secara singkat kelemahan pengunaan penelitian etnografi dijelaskan di bawah ini, sebagai beriku:
-         Menutu seorang peneliti yang memiliki latar belakang pengetahuan yang kuat, mengetahui dengan jelas subyek yang akan diteliti atau dipelajari.
-         Perspektif pengkajian kemungkinan dipengaruhi oleh kecenderungan budaya peneliti.
-         Membutuhkan jangka waktu yang panjang untuk mengumpulkan data dan mengelola data.
-         Pengaruh budaya yang diteliti dapat mepengaruhi psikologis peneliti, ketika peneliti kembali kebudaya asalnya.
-         Peneliti yang tidak memiliki kemapuan sosialisai, terdapat kemungkinan penolakan, dari masyarakat yang akan diteliti.
E.  Etnografi dalam penelitian Hukum
Penelitian hukum dapat pula dilakukan dengan metode etnografi, hal tepenting titik tolaknya tetap mengakaji tentang hukum. Terdapat beberapa hal pentingnya penelitian hukum menggunakan metode etnografi yakni:[40]
  1. Untuk dapat menemukan bagaimana hukum berkerja dan terajut dalam hidup keseharian penegak hukum.
  2. Untuk mengetahui bagaimana warga masyarakat bergaul dengan hukum, memberimakna dan interpretasi terhadap hukum atau lembaga tertentu.
  3. Untuk mengenatahui spirit dari peraturan perundang-undangan, kepentingan dan relasi kuasa yang tarik menarik yang menjadi latar belakang proses perumusannya.
Selain itu, menurut Flood, antropologi hukum menggambarkan dua hal penting. Pertama, hukum bukanlah suatu yang dipaksakan dari atas, terutama dari negara. Kedua, para atropologi meneliti dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan penelitian konvensional para ahli hukum. Para antropolog merasa penting untuk berjumpa dengan orang-orang dan menggali pengalaman kehidupan keseharian mereka yang menjadi subyek penelitian.[41]
Penelitian enografi sebagaimana dijelasakan diatas dapat dilakukan terhadap suatu budaya bersifat etnik atau mempelajari subkultur dari suatu masyarakat moderen. Dalam bidang hukum penelitian enografi yang mempelajari suatu budaya tertentu dapat dilakukan untuk meneliti hukum adat masyarakat tertentu, misanya mekanisme penyelesaian sengketa adat dalam masyarakat Minangkabau atau Tanah Batak. Untuk, penelitian subkultur dapat dicontohkan di bawah ini, sebagai berikut:
-       Penelitian yang dilakukan oleh John Flood seorang ahli hukum yang melakukan penelitian hukum pada bidang kepengacaraan. Dalam melakukan penelitian ia berperan sebagai pengacara magaang dalam suatu kantor, sehingga mendapatkan keleluasaan untuk memahahami dunia kepengacaraan. Salah satu bagian penting penelitian Flood adalah meneliti tentang bagaimana asisten pengacara dan advokat berinteraksi. Mereka berasal dari latar belakang, kelas dan tingkat pendidikan yang berbeda. Flood tertarik bagaimana fungsi kepengacaraan dan pengacara mempengaruhi sistem hukum yang berlaku di Inggris.[42]
-       Penelitian etnografi dapat juga dilakukan untuk memberikan jawaban atas perbedaan pengguna atau pemakai narkotika dengan pengedar atau bandar. Pemakai narkoba seringkali dianggap korban, sehingga pola penangannya berbeda (sanksi hukumannya rehabilitasi). Seorang peneliti, untuk medapatkan jawaban apakah apakah pengguna atau pemakai adalah korban, penelitian etnografi sangatlah membatu. Penelitian etnografi dapat meperoleh pemahaman yang mendalam tentang pengguna narkotika dengan cara mengembangkan keakraban, memahami rutinitas mereka bahkan psikologi para pengguna narkotika.



[1] Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh B. Arif Sidharta, (Bandung, PT. Refika Aditama, 208), hlm. Vii.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. viii
[4] Ibid.
[5] Kanneth D. Bailey, Methods of Social Research, (New York: A Division of Macmillan Publishing Co. Inc, 1982), hlm. 254
[6] W. Lawrence Neuman, Social Research Methods (Qualitative and Quantitative Approaches), Ed. 5th.,  (Boston: Allyn and Bacon, 2003), hlm. 363.
[7] Ibid., hlm. 366, Neuman menjelaskan terdapat dua extensions dari penelitian lapangan yakni ethnography dan etnomethodologi.
[8] Roice Singleton ed.all, Approaches to Social Research, (New York: Oxford University Press, 1988), hlm. 308,
[9] Michael Quinn Patton, Qualitative Evalution And Research Methods, (London: Sage Publication: 1990), hkm. 88.
[10] Lawrence Neuman, Op. Cit., hlm 363.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Lawrence Neuman., Op. Cit.; dijelasakan pula dalam Earl babbie, The Practice of Social Research, (Internasional Thomson Publishing, 1998), hlm. 282.
[15] Ibid.
[16] Roice Singleton ed.all, Op. Cit. Boas, melakukan penelitian tentang Indian Amerika, sedangkan Malinowski, pulau-pulau Pasifik.
[17] Lawrence Neuman, Op. Cit. hlm 367.
[18] Kanneth D. Bailey, Op. Cit. hlm. 255.
[19] Michael Quinn Patton., Op. Cit. hlm. 68.
[20] Kanneth D. Bailey, Op. Cit.
[21] Sulistyowati Irianto dan Lim Sing Meij, “Praktek Penegakan Hukum:Arena Penelitian Sosiolegal yang Kaya” dalam Metode Penelitian Hukum, Editor Sulistyowati Irianto dan Shidarta, (Jakarta: Yayasan Obor dan JHMP-FHUI, 2009), hlm. 198.
[22] Kanneth D. Bailey, Op. Cit.
[23] Michael Quinn Patton., Op. Cit. hlm. 67.
[24] Ibid.
[25] Ibid. hlm. 68.
[26] Kanneth D. Bailey, Op. Cit.
[27] Earl babbie, Op. Cit., hlm. 282.
[28] Parlindungan Pardede, Penelitian Lintas Budaya, (28 September 2010) terdapat disitu <http://fkip.uki.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=78:penelitian-lintasbudaya& catid=41:artikel&Itemid=55>
[29] Earl babbie, Op. Cit.
[30] Bambang Mudjiyanto, “Metode Etnografi dalam Penelitian Komunikasi”, Komunikasi Massa, (Volume 5 Nomor 1, 2009): 81
[31] Model Analisis Etnografi dalam Penelitian Kualitatif, (28 September 2010) terdapat disitus <http://divanusantara.wordpress.com/2008 / 12 / 05 / model – analisis – etnografi – dalam – penelitian kualitatif>
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Bambang Mudjiyanto, Op. Cit.
[35] Ibid.
[36] Michael D. Mayers, “Investigating Information Systems With Ethnographic Research”, Comminication of ISA, (Volume 2, Article 23), hlm. 5.
[37] Ibid.
[38] Ibid., hlm 6.
[39] Ibid.
[40] Sulistyowati Irianto dan Lim Sing Meij, Op. Cit., hlm. 191-192.
[41] Ibid., hlm. 196
[42] Ibid., hlm. 194-197.
Referensi
Babbie, Earl The Practice of Social Research. Internasional Thomson Publishing, 1998.
Bailey, Kanneth D. Methods of Social Research. New York: A Division of Macmillan Publishing Co. Inc, 1982.
Irianto, Sulistyowati dan Lim Sing Meij, “Praktek Penegakan Hukum:Arena Penelitian Sosiolegal yang Kaya” dalam Metode Penelitian Hukum, Ed. Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Jakarta: Yayasan Obor dan JHMP-FHUI, 2009.
Mayers, Michael D. “Investigating Information Systems With Ethnographic Research”, Comminication of ISA, Volume 2, Article 23.
Model Analisis Etnografi dalam Penelitian Kualitatif, (28 September 2010) terdapat disitus <http://divanusantara.wordpress.com/2008 / 12 / 05 / model – analisis – etnografi – dalam – penelitian kualitatif>
Mudjiyanto, Bambang “Metode Etnografi dalam Penelitian Komunikasi”, Komunikasi Massa. Volume 5 Nomor 1, 2009)
Neuman, W. Lawrence Social Research Methods (Qualitative and Quantitative Approaches). Boston: Allyn and Bacon, 2003.
Pardede, Parlindungan Penelitian Lintas Budaya, (28 September 2010) terdapat disitu <http://fkip.uki.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=78:penelitian-lintasbudaya& catid=41:artikel&Itemid=55>
Patton, Michael. Qualitative Evalution And Research Methods, London: Sage Publication: 1990.
Singleton, Roice ed.all, Approaches to Social Research. New York: Oxford University




TEORI HUKUM MELEWATI RUANG DAN WAKTU (kritik terhadap positivisme)

http://ilhamendra.files.wordpress.com/2011/04/saling-berbagi.jpg?w=100&h=134Teori Hukum Melewati Ruang dan Waktu (kritik terhadap positivisme)
“Harus diyakini bahwa, sejak awal dan sampai sekarang  konsep hukum tidaklah tunggal. Diawali dari pemikiran Anaximander, Herakleitos, Socrates, Plato sampai Marxs, Holmes, Raws, bahkan mungkin sampai saat ini. Teori hukum melewati ruang dan waktu, pencarian keadilan tidak hanya esklusif dimiliki oleh aliran pemikiran postivisme saja akan tetapi juga dimiliki dalam aliran yang lain Historism, Sociologikal Jurisprudence, Sociology of Law, Realistic Jurisprudence, Critical Legal Theorie, … bahkan Hukum Progresif”. 
Bocah berusia 14 (empat belas) tahun berinisial DS, ditangkap karena dituduh mengambil voucer pulsa telepon seluler seharga Rp. 10.000,-. Perbuatan DS tersebut didakwa 7 (tujuh) tahuan penjara, ketentuan pidana yang didakwa terhadap DS adalah pencurian dengan pemberatan sebagai mana diatur dalam Pasal 363 KUHP. Satu kata yang dapat ditulis disini “IRONIS” bahkan dakwaan ini lebih tinggi daripada para “KORUPTOR”. Belum hilang ingatan masyarakat atas Kasus neneh Minah yang diputus bersalah 1 bulan 15 hari karena mencuri 3 kakao, hadir lagi hilangnya nilai keadilan dan kemanfaatan atas wajah hukum negara ini. Hukum disini hanya dinilai sebagai kepastian hukum, pemikiran para penegak hukum hanya diisi dengan pandangan legar formal. Hukum positif merupakan kitab suci yang dapat menyelesaikan semua permasalahan. Baik dan buruk dapat dijawab dengan hukum positif, pandangan ini sering disebut dengan “Positivisme”.
Dalam positivisme, hukum dilihat sebagai close logical system. Artinya peraturan dapat dideduksi dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan dari norma sosial dan politik.[1] John Austin dengan Analitical Legal Postitivism, menyatakan hukum adalah perintah yang berdaulat, empirical, dan terdapat suatu kekuasaan (negara) yang memberikan perintah-perintah yakni adanya orang yang mentaati perintah-perintah tersebut.[2] Austin menggantikan “cita-cita tentang keadilan (ideaof justice) dengan “perintah yang berdaulat”.[3] Menurut Austin, hukum adalah suatu peraturan yang dibuat untuk dipergunakan sebagai pedoman makhluk berakal, oleh makhluk berakal yang mempunyai kekuasaan terhadapnya. Menurut interpretasi Austin, hukum positif berakar sepenuhnya dari fakta-fakta empiris yang bersumber dari ketentuan berdaulat.[4] Hukum dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada pengertian “baik” dan buruk akan tetapi didasarkan pada kekuasaan dari sesuatu yang lebih kuat (the powers of superior).[5] Apabila terjadi penyimpangan terhadap perintah maka dijatuhi sanksi. Keberadaan sanksi disini sangatlah menjadi penting karena Austin tidak mempermasalahkan dalam kenyataannya mereka patuh karena takut, karena rasa hormat atau karena dipaksa. Maka, menurut Austin, keberadaan sanksi merupakan kepatuhan yang dipaksakan “the evil” yang muncul apabila sebuah perintah tidak dipatuhi. [6]
Begitu pula dengan pimikiram Hans Kelsen. Menurut Kelsen tatanan hukum merupakan sisten normatif yang menggunakan paksaan untuk menjamin kepatutan terhadap hukum.[7] Dalam hal ini yang dipersoalkan bukanlah bagaimana hukum itu seharusnya (what the law ought be), tetapi apa hukumnya (what the law is).[8] Dalam penerapannya hukum harus dipisahkan secara tajam antara hukum disatu pihak dengan etika (moral), hubungan polilikal atau kemasyarakatan dipihak yang lain. Menurut Reine Rechslere, tugas dari hukum adalah memaparkan hukum yang berlaku semurni mungkin dan menjauhkan diri dari semua pertimbangan moral dan politik masyarakat. Menurut Kelsen, pendirian-pendirian moral memiliki sifat subjeltif-pribadi.[9] Penyimpangan atas norma hukum tersebut melahirkan sanksi yang merupakan konsekwensi. Dengan kata lain menurut Kelsen, sanksi harus diterapkan ketika terbukti ada pelanggaran,[10] pernyataan hukum bersifat hipotesis dan sekaligus deontik atau harus. Sanksi ini menurut Kelsen harus ada pada setiap sistem norma.
Mereka yang meliat hukum dengan logika berfikir positivisme. Peristiwa mengambil voucer yang dilakukan DS merupakan usur perbuatan “pencurian”. Asumsi dasar yang berada pada hukum pidana memang adalah “perlindungan terhadap hak individu atau orang lain”. Menurut Locke, keberadaan hukum untuk melindungi hak milik pribadi.[11] Hukum menurut Locke bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya, adanya hukum untuk melindungi hak-hak tersebut.[12] Untuk memberikan perlindungan hak tersebut dibentuklah hukum pidana. Seperti dinyatakan pula oleh Hagel bahwa adanya hukum pidana untuk mempertahankan hak.[13] Hegel menyatakan bahwa tindakan kejahatan yang dibiarkan tampa tindakan tegas secara hukum akan memberikan dampak negatif dimana publik akan melihatnya sebagai hal yang wajar dan dibenarkan sehingga pada gilirannya justru mengancam hak yang seharusnya dilindungi.[14] Hal ini berarti keberadaan hukum pidana untuk mencegah pelangaran hak orang lain dan untuk memulihkan hak.
Akan tetapi dalam teori hukum masih ada cara berfikir lainnya. Yakni tidak berfikir secara formalisme dan ligisme, melainkan berkeyakinan bahwa hukum hanyalah bagian dari perkembangan dinamika masyarakat, dalam pemikiran ini tidak mungkin mempelajari hukum dilepas dari konteks sosial dan bahkan dari konteks historisnya. Menurut Eugen Ehrlich, makna hukum tidak kurang dari realitas hubungan antar manusia itu sendiri, yang berarti hukum “hubungan antar manusia”. Menurut Ehrlich, masyarakat adalah ide umum yang dapat digunakan untuk menandakan semua hubungan sosial, norma-norma hukum dalam kenyataanya akan tercipta dari hubungan-hubungan sosial tersebut.[15] Kenyataan sosial ini tumbuh karena adanya kesadaran akan kebutuhan (opinio necessitatis). Kesadaran inilah yang menyebabkan timbulnya hukum secara langsung yang merupakan hukum yang hidup “living law”.[16] Hukum tercipta dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Hukum tercipta lewat kebiasaan yang mengikat dan menjadi tatanan yang efektif. Hal ini berarti hukum merupakan norma yang hidup dalam hati orang-orang. Seperti halnya dengan pendapat  Theodor Geiger,  yang menyatakan bahwa norma “yang sebenarnya” menurupakan norma yang terjelma dalam tingkah laku anggota-anggota masyarakat.[17] Norma yang sebenarnya merupakan bagian dari masyarakat yang dinamis. Kata Geiger, masyarakat itu bukan benda, akan tetapi merupakan entitas sebuah proses (gesellschaft is kein ding, sondern em prozess). Hukum harus dipandang sebagai kenyataan-kenyataan sosial yang dinamis.[18]
Rescoe Pound, melihat hukum berfungsi sebagai menata perubahan. Disini Pound memunculkan teori tentang law as a tool of social engineering. Menurut Pound, hukum adalah untuk “menata kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat”. Kepentingan-kepentingan tersebut harus ditata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang proposional. Manfaatnya adalah terbangunnya suatu struktur masyarakat sedemikian rupa hiingga secara maksimum mencapai kepuasan akan kebutuhan dengan semininum mungkin menghindari benturan.[19] Apa yang dibutuhkan oleh hukum dalam kehidupan sosial, adalah hakim yang tidak hanya menaruh perhatian pada kata-kata dari perintah-perintah. Pound, mengusulkan agar para ahli hukum perlu memperhatikan fakta-fakta sosial. Sebab kehidupan hukum terletak pada pelaksanaanya.[20] Pound menolak studi hukum sebagai studi tentang peraturan, melainkan studi tentang bekerja hukum. Menurut Pound kehidupan hukum terletak pada karya yang dihasilakannya bagi dunia sosial.[21]
Menurut pandangan saya seharusnya para penegak hukum negeri ini jangan hanya melihat hukum sebaga sarat prosedur formal belaka, para penegak hukum harus melihat hukum bertujuan sebagai alat pencapaian tujuan sosial sehingga harus dapat menangkap nilai keadilan di masyarakat. Sebagaimana dinyatakan oleh George Gurvitch, bahwa kenyataan normatif dalam hukum, dapat diartikan sebagai perwujudakan nilai keadilan dalam realitas empiris hidup bersama. Dalam hidup bersama, realitas empiris digabung dengan nilai ideal normatif. Penggabungan ini hanya mungkin melalalui nilai kedilan. Karena di satu pihak terdapat bidang moral yang mutlak dan sempurna yang hanya dapat ditinjau dalam ranah intuitif, di lain pihak terdapat realitas empiris, yang dapat diungkapdalam pengalaman riil. Nilai keadilan berdiri di tengah, sebab keadilan itu merupakan suatu yang ideal, yang memiliki segi pengalaman yang logis dan umum.
Kenyataan normatif menurut Gurvitch berarti mewujudkan keadialan dalam realitas empiris, yang merupakan dasar material hubungan-hubungan sosial antar manusia “hukum sosial asli”. Maka dapat disimpulkan  dalam konteks kasus DS, jaksa hanya menganalisis dengan keadilan prosedural semata, yaitu pemenuhan unsur-unsur tindak pidana. Seharusnya para penegak hukum melihat lebih jauh substansi dari Pasal 363 KUHP.
Terdapat hal penting yang dapat dipelajari dalam kasus DS terutama dalam perspektif teori hukum. Sebagai seorang juris yang telah mempelajari teori hukum hendaknya memiliki perspektif yang lebih luas dalam melihat suatu permasalahan hukum yang ada. Harus diyakini bahwa, sejak awal dan sampai sekarang ini konsep hukum tidaklah tunggal. Diawali dari pemikiran Anaximander, Herakleitos, Socrates, Plato sampai Marxs, Holmes, Raws, bahkan mungkin sampai saat ini. Teori hukum melewati ruang dan waktu, pencarian keadilan tidak hanya esklusif dimiliki oleh aliran pemikiran postivisme saja akan tetapi juga dimiliki dalam aliran yang laian Historism, Sociologikal Jurisprudence, Sociology of Law, Realistic Jurisprudence, Critical Legal Theorie, Posmoderismedan bahkan Hukum Progresif.  Menurut Satjipto Rahardjo, pemikir postivisme “Hans Kelsen” bukan berarti tidak diperlukan, akan tetapi analisis perlu diperkaya dengan optik “kacamata” dan pendekatan baru. Kasus DS menggambarkan bahwa suatu kepastian akan dengan mudah terpenuhi saat merujuk pada ketentuan normatif kata demi kata dalam norma hukum. Padahal menurut Gustav Radbruch hukum memiliki tiga aspek yakni keadilan, finalitas dan kepastian. Aspek keadilan menunujukan pada “kesamaan hak di depan hukum. Aspek finalitas, menunjukan pada tujuan keadilan, yaitu memajukan kebaikan hidup manusia. Sedangkan, aspek keadilan menunjukkan pada jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.

[1] Otje Salman dan Anthon F, Susanto, Teori Hukum (mengingat, mengumpulkan dan membuka kembali), (Bandung: Reflika Aditama, 2009), hlm. 81.
[2] Bernard L. Tanya, Ed. All, Teori Hukum (Strategi tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 5.
[3] Lihat buku The Province of Jurisprudence Determined, dikutip dalam Anthon F Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik (Pondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia), (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 85.
[4] James Bernard Murphy, The philosophy of positive law: foundations of jurisprudenrce, (New Haven: Yale University Press, 2005), hlm. 176.
[5] Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 1, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2008), hlm. 55.
[6] Suri Ratnapala, Jurisprudence, (Cambridge: Cambridge Univ. Press, 2009),  hlm. 46
[7] Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum (Membangun Hukum Membela Keadilan), (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 84.
[8] Anthon F Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik (Pondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia), (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010). Hlm. 87
[9] Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh B. Arif Sidharta, (Bandung, PT. Refika Aditama, 208), hlm. 75.
[10] Anthon F Susanto, Op. Cit.  87
[11] John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, (London: Everyman, 1993), hlm. 178.
[12] Franz Magnis Suseno, Etika Politik (prinsip-prinsip moral dasar krnrgaraan modern), (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 221.
[13] Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum (Membangun Hukum Membela Keadilan), (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 94.
[14] Ibid.
[15] M.D.A Freeman, Introduction of Jurisprudence, (London: Swett & Maxwell Ltd, 2001), hlm. 670.
[16] Ibid.
[17] Bernard L. Tanya, Ed. All, Op. Cit., hlm 144.
[18] Ibid.
[19] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya, 2000), hlm.
[20] Bernard L. Tanya, Ed. All, Op. Cit., hlm 161.
[21] Ibid., hlm. 162.

















Beranda > Hukum Tantra, Teori Hukum > PENAFSIRAN-INTERPRETASI KONSTITUSI (pemahaman singkat aliran orginalism)

PENAFSIRAN-INTERPRETASI KONSTITUSI (pemahaman singkat aliran orginalism)

PENAFSIRAN-INTERPRETASI KONSTITUSI (pemahaman singkat aliran orginalism)
Konstitusi merupakan kumpulan asas-asa yang mengatur dan menetapkan kekuasaan dan pemerintah, hak-hak yang diperintah, dan hubungan atara keduanya atau antara pemerintah dengan yang diperintah “constitutions is a collections of principles according to wich the power of the government the rights of governed and the relations between the two are adjusted… C F Strong” Seperangkat aturan dasar tersebut, harus diterapkan dalam kenyataan praktek ketatanegaraan. Dalam kenyataan, dimana aturan yang tertulis “merupakan rangkayan kalimat” harus diterapkan pada praktek ketatanegaraan yang mengalami perkembangan yang bersifat dinamis. Peritiwa-pristiwa  ketatanegaraan terus mengikuti perkembangan ketatanegaraan. Oleh kerana itu, timbul suatu permasalahan, bagaimana konstitusi dapat diterapkan dalam perkebangan ketatanegaran tersebut yang berintikan memberikan jawaban akan makna konstitusi dalam penerapana dan apabila terjadi perbedaan dalam memaknai konstutusi. Maka, dalam teori konstitusi berkembang aliran penafsiran konstitusi “interpretation of constitutions”. Aliran-aliran ini melahirkan teori bagaimana menafsirkan suatu konstitusi.
Philip Bobitt, menyatakan bahwa interpretasi konstitusi adalah subyek bagi mereka yang mempelajari bagaimana konstitusi dapat diterapkan. Mereka yang memperlajari konstitusi diterapkan, bukan hanya para pejaban seperti Hakim. Akan tetapi, menurut Bobitt penafsiran konstitusi memiliki dua dimensi yakni penerapan konstitusi oleh para pejabat yang berwenang dan analisis akademik dalam dunia pendidikan. Bahkan, menurut Terence Ball tugas penafsiran konstitusi terdiri tidak hanya dari sajana hukum, pengacara, hakim  akan tetapi warga masyarakat biasa.
Terdapat 2 (dua) aliran penafsiran konstitusi yakni orginalism dan non-orginalism. Kedua dalam teori tatanegara sering digambarkan sebagai aliran yang memiliki teori yang saling bertolak belakang. Orginalism, adalah prinsip penafsiran yang mencoba untuk mencari tahu atau maksud berdasarkan makna asli dari perumus konstitusi. Sedangakan, non-originalism adalah prinsip penafsiran yang mencoba untuk mencari tahu makna konstitusi berdasarkan kondisi pada saat itu obyeknya bukan hanya teks akan tetapi subyek yang melakukan interpretasi melihat keadaan pada saat itu. Aliran non-originalism sering disebut sebagai aliran yang menganggap bahawa konstitusi memiliki makna yang dinamis atau sering disebut sebagai “living constitution”.
Sedikit menjelasakan bagaimana non-originalism melihat suatu konstitusi, setidanya terdapat 2 (dua) hal penting. Pertama, pedangan pragmatis, yang berpendapat bahwa menafsirankan konstitusi sesuai dengan makna asli sesuai dengan rumusan dan kondisi pada saat konstitusi dibentuk tidak dapat diterapkan untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang terjadi. Kedua, yang berkaitan dengan masud konstitusi, para perumus konstitusi merumuskan konstitusi secara luas dan fleksible yang mengakibatkan konstitusi bersifar dinamis. Akan tetapi tulisan ini tidak mencoba membahas bagaimana aliran non-orginalism melakukan penafisiran konstitusi baik metode maupun teori. Tulisan ini mengkhususkan membahasa aliran originalism secara sederhana.
Istilah originalism secara umum digunakan sejak tahun 1980-an, istilah ini diperkenalkan oleh Paulus Brest. Sebelumnya istilah yang dipergunakan interpretivism untuk menujuk kepada aliran yang mencoba mencari makna dari teks konstitusi atau dari maksud perumusnya. Akan tetapi dalam perkembangan istilah orginalism lah yang digunakan, bahkan mereka menolok disebut sebagai interpretivism. Aliran originalism juga sering dipersamakan dengan strict constructionisme. Hal ini disebabakan kedua aliran ini memiliki teori yang berhubungan dengan textulualist dan aliran formalis “formalist schools”.  Akan tetapi sebenarnya kedua aliran ini memiliki perbedaan yang sangat besar. Antonim Scalia meberikan contoh, strict constructionisme tidak akan mengartikan bahwa ia menggunakan tongkat “he uses a cane” berarti ia berjalan dengan tongkat “he wolks with a cane”. Menurut Scalia originalism merupakan penafsiran bukan konsturksi, originalism memberikan jawaban terhadap suatu ketetuan kosntitusi secara spesifik dari kejadian tertentu atau apabila terjadinya kontroversi pemahaman konstitusi.
Selain itu, dapat digambarkan pula pada originalism, terhadap teks yang sama dan terdapat 2 (dua) yang melakukan penafisiran maka terdapat kemungkinan terjadi hasil yang berbeda. Dengan kata lain, originalism dapat mencapai hasil yang berbeda dalam kasus yang sama. Akan tetapi ini bukan berarti originalism memberikan jawaban dari diri sipenafsir sendiri, obyek originalism bukan diri sipenafsir. Hal ini berbeda dengan strict constructionisme, tidak ada makna yang berbeda pada aliran ini. Teks merupakan awal dan akhir suatu pemaknaan dan memiliki makna tunggal.
Dalam aliran originalism terdapat dua teori besar yakni original intent theory dan original meaning theory. Original intent theory menyatakan bahwa interpretasi dari sebuah konstitusi tertulis adalah (seharusnya) sesuai dengan apa yang dimaksud oleh orang-orang yang merancanang atau merumuskan kontitusi, sedangkan original meaning theory adalah pandangan didasarkan pada makna teks yang didasarkan pada saat teks tersebut dirumuskan.
Original intent theory sering dianggap sebagai bentuk utama dari originalism yakni mensyratkan penerapan konstitusi berdasarkan niat subyek siperumus konstitusi atau yang sering disebut sebagai “founding father”. Terdapat 2 (dua) macam analisis apa yang dimasu dengan “niat”, pertama, konstruksi hukum yang ada ketika era “jaman” konstitusi tersebut dirumuskan “functional intent”. Kedua, motifasi niat “motivational intent” yang ada ketika konstitusi itu dirumuskan.  Antonin Scalia, Robert Bork, Randy barnett merupakan nama-nama yang mengembangna teori ini.
Berbeda dengan Original intent theory, pada Original meaning theory menurut Oliver Wendell Holmes dalam menafsirkan makna konstitusi tidak mencoba masuk ke alam pikiran seseorang akan tetapi berdasarkan kata yang diucapkan seseorang yang didasarkan pada makna kata saat kata tersebut digunakan. Hal ini berarti menekankan pada bagaimana “teks” itu dipahami oleh sesorang berdasarkan makan dalam sejarah konstitusi itu dirumuskan atau dilaksanakan untuk pertama kali. Sebagai contoh makan “due process” dan “freedom of the press” telah memiliki makna jauh dalam tradisi hukum inggris.
Untuk mempermudah pemahaman perbedaan original intent theory dan original meaning theory,  dapat dilihat pembedaan Steven D. Smith. Smith mengunakan istilah enactors intentions yang dapat disamakan dengan original intent theory dan the words (in Historical Context) yang dapat disamakan dengan original meaning theory. Menurut Steven D. Smith,  “enactors intentions”, mengandaikan bahwa apa yang kita tafsirkan adalah berdasarkan niat dari pelaku penyusun ketentuan konstitusional. Obyek interpretasinya keadaan mental (niat) yang ada di tubuh orang yang merancang ketentuan konstitusi. “Niat pelaku” ini menjadi jawaban yang penting bagi komitmen demokrasi. Karena mereka ketika menyusus konstitusi berbicara untuk “rakyat”. Oleh karena itu, interpretasi konstitusi merupakan suatu proses dimana kita memahami niat pelaku dalam mewujudkan kebijaksanaan ke dalam pemerintahan dan masyarakat. Penafsiran dalam bentuk ini hadir untuk memastikan niat atau tujuan rakyat, sebagai dasar sahnya Konstitusi, ketika mereka melimpahkan kewenangan konstitusinya untuk negara atas hal tertentu. Salah satu caranya adalah membayangkan konstutisi adalah perjanjian kepercayaan, yang diciptakan oleh rakyat dalam peran mereka sebagai pemberi kekuasaan.
Interpretasi “originalist”, selain menafsirkan konstitusional berdasarkan kondisi niat subjektif dari pelaku, juga memahami arti tujuan dari kata-kata konstitusi dalam konteks sejarah the words (in Historical Context). Asumsi di sini adalah bahwa kata-kata memiliki makna, yang diberikan oleh sesuatu seperti “aturan bahasa” pada saat itu, terlepas dari niat semantik penyusunnya. Jika yang dimasud penyusun adalah A akan tetapi digunakan kata-kata yang (menurut aturan bahasa) berarti B, maka B yang benar. Selain itu, juga melihat atau menguraikan makna dari “prinsip” atau “norma” yang terkandung dalam konstitusi yang menjadi dasar ketika konstitusi itu dirumuskan, seperti perinsip “order”, “uniformity”, “equality” bahkan prinsip “rule of law”. Hal ini berarti interpretasi konstitusional dinilai sebagai seperangkat fakta moral atau keadilan yang membentuk konstitusi.
Be the first to like this post.





JUSTICE AS FAIRNESS


Justice as Fairness
A. John Rawls: Biografi Singkat
Pemilik nama lengkap John Borden (Bordley) Rawls lahir dan dibesarkan di Baltimore, Maryland Amerika Serikat pada tanggal 21 Februari 1921 dari pasangan William Lee Rawls dan Anna Abel Stump. Ayahnya adalah seorang pengacara terkemuka.[2] John Rawls mengalami dua peristiwa yang cukup menyedihkan di masa mudanya. Dalam dua tahun berturut-turut, dua adik laki-lakinya meninggal akibat penyakit yang ditularkan darinya, yaitu diphtheria dan pneumonia. Rawls amat merasa bersalah atas terjadinya peristiwa tersebut. Namun demikian, kakak laki-lakinya yang dikenal sebagai seorang atlet ternama di Princeton University selalu memberikan semangat dan dorongan moral kepada Rawls. Akhirnya, setelah berhasil menyelesaikan sekolahnya, John Rawls menyusul jejak kakaknya untuk berkuliah di Princeton University pada 1939.[3]
Pada 1943, setelah berhasil lulus dengan gelar Bachelor of Arts (B.A.), John Rawls langsung bergabung menjadi tentara dengan tugas penempatan di kawasan negara-negara Pasifik, seperti Papua Nugini, Filipina, dan Jepang. Tidak lama setelah itu, dirinya kembali ke Princeton University dan menulis disertasi doktoralnya di bidang filsafat moral. Pada masa-masa inilah Rawls pertama kali dipengaruhi oleh rekan dan pembimbingnya dari Wittgensteinean, Norman Malcolm, yang mengajarkan dirinya untuk menghindari jeratan kontroversi metafisis.[4]
Setelah sukses mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul “A Study in the Grounds of Ethical Knowledge: Considered with Reference to Judgment on the Moral Worth of Character”, John Rawls akhirnya menyandang gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) dari Princeton University pada 1950. John Rawls kemudian dipercaya untuk mengajar pada almamaternya hingga 1952, sebelum akhirnya melanjutkan studi di Oxford University, Inggris, melalui program Fulbright Fellowship. Di Universitas inilah dirinya sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran tentang teori kebebasan di bidang hukum dan filsafat politik, seperti yang dikemukakan oleh Herbert Lionel Adolphus (H.L.A.) Hart dan Isaiah Berlin.[5]
Sekembalinya ke Amerika Serikat, John Rawls melanjutkan karir akademiknya di Cornell University dan secara bertahap dirinya diangkat sebagai Guru Besar Penuh  pada 1962. Tidak lama kemudian, Rawls juga memperoleh kesempatan untuk mengajar dan menjadi Guru Besar di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Setelah mengajar di Cornell dan MIT, Rawls mengambil posisi di departemen filsafat di Harvard pada tahun 1962 tempat dimana dirinya mengabdi hingga akhir hayat.[6] Sepanjang karirnya, ia mencurahkan perhatian kepada pengajaran-Nya. Dalam kuliah-kuliahnya tentang filsafat moral dan politik, Rawls terfokus pada filsuf besar di masa lalu-Locke, Hume, Rousseau, Leibniz, Kant, Hegel, Marx, Mill, dan lain-lain.[7]
B. Justice principle pemikiran dalam “A Theory of Justice
Menurut Rawls, keadilan adalah Kejujuran (Justice as Fairness).[8] Masyarakat adalah kumpulan individu yang di satu sisi menginginkan bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kumpulan individu  tetapi disisi yang lain masing-masing individu memiliki pembawaan serta hak yang berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu Rawl mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan, bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan yang berbeda disatu pihak dengan keinginan untuk bersama demi terpenuhnya kebutuhan bersama? Jawaban Rawls secara sederhana adalah setiap manusia dapat diperlakukan secara sama, tidak dengan menghapuskan semua ketimpangan (inequalities). Jawaban tersebut didasarkan dari penyataan bahwa masyarakat sebagai sistem kerjasama sosial yang fair secara berkesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan manusia sebagai mahluk moral.[9]
Pemikiran keadilan Rawls, didasari teori keadilan imperatif kategoris Kant. Rawls memulai bukunya mengkotraskan dua pemikiran filsafat yang dominan pada saat itu; di satu pihak utilitarianisme, dan di pihak lain campuran berbagai gagasan dan prinsip yang tidak koheren dan mungkin saling bertentangan. Rawls menyebut alternatif kedua ini sebagai ‘intuisionisme’, sebuah pendekatan didasarkan pada intuisi tertentu mengenai berbagai isu tertentu. Kritik terhadap utilitarianisme, yakni terhadap keberatan pokok pada aliran ini yakni Pertama, utilitarian menerima adanya ketidaksetaraan sosial (kemungkinan ada pihak yang memperoleh benefit/keuntungan yang lebih dari pihak yang lain, hal ini sesuai dengan prinsip “the greatest happiness of the greatest number”). Kedua, utilitraian menentang prinsip kemerdekaan dan hak-hak politik. Ketiga, konsep kesejahteraan Rawls berbeda dengan golongan utilitarian.[10]
Menurut Rawls, utilitarianisme mereduksi nilai-nilai individu menjadi manfaat dan kebaikan bersama.[11] Kesejahteraan masyarakat yang diinginkan oleh utilitarianisme tidak memperhatikan kesejahteraan individu, yang diperhatikan memaksimalkan jumlah terbesar kesejahteraan untuk jumlah terbanyak. Rawls juga mengkritik institusionalisme karena dinilai tidak memiliki jaminan rasionalitas yang memadai.[12] Menurut Rawls keadilan bukan salah satu prinsip atau salah satu prioritas diantara banyak prinsip utama, melaikan satu-satunya prinsip utama yang harus diwujudkan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga) pandangan dominan yakni utilitarianisme yang mengejar kebahagian manusia dengan mengindentifikasi kepentingan individu dengan kepentingan umum. Libertarian dengan klaim hak-hak kodrati individu, dan kontraktarian yang mendasarkan pada kerjasama yang fair. [13]
Dengan latar belakang tersebut, Rawls melahirkan Teori Keadilan, teori tersebut memiliki 3 (tiga) prinsip kedilan, yakni:
  1. Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
  2. Prinsip perbedaan (differences principle)
  3. Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Sebagaimana dinyatakan Rawls, sebagai berikut:[14]
Prinsip Pertama—Tiap-tiap orang menerima hak yang sama atas keseluruhan sistem yang paling luas dari kebebasan-kebebasan dasar yang sama sesuai dengan sistem kebebasan serupa bagi semua orang.
Prinsip Kedua—ketimpangan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga keduanya:
  1. memberikan keuntungan terbesar untuk yang paling tidak diuntungkan, dan
  2. membuka posisi-posisi dan jabatan bagi semua dibawah persyaratan-persyaratan persamaan kesempatan yang fair.
Aturan Prioritas Pertama (Prioritas Kebebasan)—Prinsip-prinsip keadilan diurutkan dalam tertib lexical (lexical order) dan karena itu kebebasan hanya dapat dibatasi demi kebebasan itu sendiri.
Aturan Prioritas Kedua (Prioritas Keadilan atas Effisiensi dan Kesejahteraan)—Prinsip keadilan yang kedua secara lexical lebih penting daripada prinsip efisiensi dan daripada prinsip memaksimalkan jumlah total keuntungan-keuntungan; dan kesempatan yang fair lebih penting daripada prinsip perbedaan.
Prisip umum semua barang-barang sosial utama (sosial primary goods) kebebasan dan kesempatan, pendapat dan kesejahteraan dan dasar-dasar kehormatan diri harus didistribusikan secara setara kecuali jika distribusi yang tak setara terhadap salah satu atau semua barang-barang ini menguntungkan yang paling tidak diuntungkan.
Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka: equal liberty principle harus diprioritaskan dari pada prinsip-prinsip yang lainnya. Dan, equal opportunity principle harus diprioritaskan dari pada differences principle.
Dari ketiga prinsip tersebut, rawls memberikan prioritas utama pada prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle), yang sebenarnya merupakan standar hak-hak politik dan sipil yang diakui dalam demokrasi liberal yakni hak untuk memilih, mencalonkan diri dalam jabatan, membela diri, kebebasan berbicara, bergerak, dan sebagainya.[15] Equal liberty of principle mengasumsikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk kebebasan dasar yang luas, setiap orang memiliki hak untuk kebebasan dan kesamaan.[16] Hak-hak ini sangat penting untuk liberalisme, satu cara membedakan liberalisme adil adalah bahwa liberalisme memberikan prioritas pada kebebasan-kebebasan dasar ini. Secara terperinci hak kebebasan-kebebasan dasar yang dimaksud antara lain seperti misalnya:[17]
  1. kemerdekaan berpolitik (political of liberty),
  2. kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression),
  3. kebebasan personal (liberty of conscience and though).
  4. kebebasan untuk memiliki kekayaan (freedom to hold property)
  5. Kebebasan dari tindakan sewenang-wenang.
Kemudian, yang dimasud oleh Rawls, prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle) bukan melihat ketidak setaraan sosial melaikan ketidak setaraa alamiah.[18] Rawls mengkritik konsepsi umum yang menggap kesempatan sudah kesetaraan ketika semua orang diberikan kesempatan yang sama hanya memandang jenis kelamin, agama, ras dan latar belakang sosial. Menutur Rawls, harus juga dilihat ketidak setaraan alamiah, misalnya orang cacat tidak akan dapat bersaing meskipun berasal dari ras dan jenis kelamin yang sama.
Dengan demikian menurutt Rawls, berbagai ketimpangan dalam pendapatan dan kesejahteraan yang didasarkan pada kondisi sosial dan alamiah tidak memiliki landasan moral. Namum hal tesebut tidak bisa dihapus begitu saja. Cara yang tepat dengan mengatur stuktur dasar masyarakat sehingga hal-hal yang bersifat kebetulan tesebut bekerja demi kebaikan mereka yang paling kurang beruntung. Ini yang dinyatakan dalam prinsip perbedaan (differences principle).
Rawls mengklaim bahwa jika orang dalam keadaan pra-sosial tertentu dipaksa memutuskan prinsip-prinsip yang harus mengatur masyarakat, mereka akan memilih prinsip-prinsipnya. Tiap-tiap orang yang oleh Rawls disebut dalam posisi asli (original position) memiliki kepentingan rasional mengadopsi prinsip-prinsip Rawl untuk mengatur kerjasama sosial. Rawls menggambarkan pada posisi asli ini orang-orang bersifat rasional, insan bermoral dan sederajat. Argumen yang kedua ini menerima perhatian kritis yang paling luas, dan merupakan argumen yang membuat Rawls terkenal. Tetapi, ini bukan argumen yang mudah diinterpretasikan, dan kita dapat menangani argumen ini dengan baik jika kita memulai dengan argumen pertama yakni tentang selubung ketidaktahuan (Veil of Ignorance). Untuk memastikan imparsialitas, pihak-pihak ini berada di selubung ketidaktahuan (Veil of Ignorance), yang menghalangi mereka untuk tahu posisi mereka dalam masyarakat, kemapuan dan bakat alamiah mereka, preferensi dan pandangan mereka mengenai kehidupan yang baik, bahkan pada generasi yang mana mereka hidup.[19] Dalam keadaan ini pihak-pihak yang terlibat akan memilih prisip keadilan seperti yang dirumuskan Rawls.
Selubung ketidaktahuan (Veil of Ignorance) tidak diketahui posisi apa yang akan diraih oleh seseorang di kemudian hari. Tidak diketahui bakatnya, inteligensinya, kesehatannya, kekayaannya, rencana hidupnya, keadaan psikisnya.[20] Juga tidak diketahui apakah seseorang teramasuk golongan tua atau muda. Juga tidak diketahui mengenai situasi sosial, politik dan ekonomi dari seseorang individu masyarakat.[21] Setiap orang terlebih dahulu akan mengejar kepentingan individu dan kerabatnya baru kemudian kepentingan umum.[22] Pada keadan ini manusia mencapai Posisi Originalnya.
Dalam posisi asli (original position) terdapat situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat. Tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya. Pada keadaan ini orang-orang dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang, disinilah disebut sebagai teori kontrak Rowls. “Posisi Original” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri Rasionalitas (rationality), Kebebasan (freedom), dan Persamaan (equality). Guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).[23]

[1] M.D.A Freeman, Introduction of Jurisprudence, (London: Swett & Maxwell Ltd, 2001), hlm. 523-524
[2] Leif Wenar, “Jhon Rawls” dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, terdapat di situs <http://plato.stanford.edu/entries/rawls/> diakses tanggal 26 Oktober 2010
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid
[6] Ridha Ahida, “Konsep Keadilan pada Masyarakat Multikultural di Lihat dari Pespektif John Rawl dan Will Kymlicka”, (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2005), hlm. 99.
[7] Henry S. Richardson, John Rawls (1921-2002), terdapat disitus < http://www.iep.utm.edu/rawls/> diakses tanggal 26 Oktober 2010
[8] Ridha Ahida, Op. Cit., hlm 108
[9] Bur Rasuanto, “Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas”, (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1999), hlm. 52.
[10] M.D.A Freeman, Op., Cit. hlm. 524.
[11] John Rowls, A Theory of Justice, (Cambridge: Harvard University Press, 2001), hlm. 27
[12] Ibid., hlm. 30
[13] Bur Rasuanto, Op. Cit., sebagimana dikutip dari Philip Petit, An Introduction to Contemporary Political Philosophy, (London: Routledge, 1980), hlm. 75.
[14] M.D.A Freeman, Op. Cit. hlm. 577, atau dalam Jhon Rowls, Op. Cit., hlm. 302
[15] Will Kymlicka, Pengantar Folsafat Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm 72
[16] Ridha Ahida, Op. Cit. hlm. 123.
[17] Suri Ratnapala, Jurisprudence, (Cambridge: Cambridge Univ. Press, 2009),  hlm. 343.
[18] Indi Aunullah, Justice as Fainess dalam Netralitas Negara:Sebuah Seketsa Etika Liberal, terdapat di situs <http://www.scribd.com/doc /19222202/ Justice- as-Fairness- Dan-Netralitas-Negara-Sketsa-Etika- Politik-Liberal> diakses tanggal 25 Oktober 2010.
[19] Ibid.
[20] M.D.A Freeman, Op. Cit. hlm. 572
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Henry S. Richardson, Op. Cit.


Teori Keadulatan
Sejak awalnya, teori tentang kekuasaan negara tidak pernah terlepas kaitannya dengan pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara tersebut dan darimana kekuasaan tersebut diperoleh. Hal ini disebabkan negara bukanlah benda mati yang dapat bergerak sendiri, melainkan sebuah organisasi yang diselenggarakan oleh sekelompok orang atas masyarakat dengan tujuan tertentu. Pendapat tersebut juga dapat dipahami bahwa di dalam setiap negara terdapat kekuasaan yang dimiliki negara untuk memaksakan kehendak pada warga negaranya.[1] Oleh karena itu, pembahasan tentang siapa yang menyelenggarakan negara dan dari mana kekuasaan tersebut harus dikaitkan dengan pembahasan teori kekuasaan negara, sehingga dapat memberikan jawaban apakah yang menjadi dasar adanya kekuasaan negara tersebut.[2]
Pembahasan teori kekuasaan negara merupakan bagian dari teori negara karena teori kekuasaan negara merupakan turunan dari teori negara. Maka dari  itu, didalam pembahasan teori kekuasaan negara pasti juga berbicara teori negara. Pemikiran tantang teori negara pun sudah dimulai sejak zaman romawi kuno sampai zaman moderen sekarang ini. Perkembangan ekonomi, budaya dan politik juga menyebabkan teori negara mengalami perkembangan yang signifikan. Hakekat negara secara sederhana dapat diartikan sebuah organisasi masyarakat, organisasi yang dibentuk karena adanya keinginan hidup besama di dalam pemenuhan kebutuhannya.
Aristoteles[3] yang merupakan seorang ahli filsafat dari yunani  mengatakan bahwa pada hakekatnya menusia merupakan mahluk sosial (zoon politikon).[4] Oleh sebab itu, pada manusia terdapat suatu keinginana untuk hidup bersama yang pada akhirnya membentuk suatu negara yang bersifat totaliter.[5] Negara menurut Aristoteles merupakan bentuk tertinggi dari kehidupan bermasyarakat, negara terbentuk secara alamiah.[6] Dalam negara tersebut terdapat kekuasaan terhadap orang lain yang memiliki kewenangan membuat undang-undang. Plato mengidealkan yang memiliki kekuasaan atas negara tersebut adalah seorang filsuf karena hanya filsuf yang dapat melihat persoalan yang sebenarnya di dalam kehidupan dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.[7]
Dasar pemikiran tersebut yang kemudian diadopsi oleh para kaum pemikir gereja yang melahirkan teori hukum kodrat. Menurut teori ini maka kekuasaan tertinggi pada hakekatnya berasal dari Tuhan. Sebagaimana dikatakan Thomas Aquinas, teori hukum kodrat adalah teori etis dan hukum kodrat apa yang disebut sebagai kewajiban moral.[8] Thomas berpendapat bahwa monarchi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik, yang dipimpin oleh seorang raja. Raja memperoleh kekuasaan dari Tuhan, dalam menjalankan pemerintahanya raja mengharapkan anugrah dari Tuhan dan ia selain sebagai penguasa rakyat ia juga merupakan hamba Tuhan.[9]
Pada abad ke-17 dan ke-18, dasar pemikiran kekuasaan-kekuasaan raja mulai mengalami perubahan, dari yang bersifat ketuhanan menjadi bersifat duniawi. Dasar pemikiran ini salah satunya dikemukakan oleh Thomas Hobbes. Thomas Hobbes menjelasakan bahwa di dalam keadaan alamiahnya manusia hidup didalam keadaan yang kacau balau. Thomas Hobbes menggambarkan keadaan ini bahwa manusia yang satu merupakan srigala bagi manusia yang lainnya (homo homini lupus). Jadi dalam keadaan alamiahnya manusia tidak ada ketentraman hidup, rasa takut menghantui lapisan masyarakat oleh karena itu manusia membuat perjanjian untuk membentuk negara. Pembentukan negara tersebut bertujuan melindungi kehidupan manusia tersebut.[10] Ketika perjajian itu dilakukan semua hak-hak alamiah mereka diserahkan pada negara, sedangkan negara tidak dibebani kewajiban apapun termasuk untuk dapat dituntut oleh individu. Jadi negara bukanlah patner dalam perjajian itu, melainkan hasil buahnya.[11]
Berbeda dengan Thomas Hobbes, Jhon Locke menjelaskan bahwa  di dalam keadaan alamiah (state of nature), manusia memiliki hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka manusia secara alamiah dalam keadaan yang baik.[12] Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”.[13]
Akan tetapi, kondisi tersebut menjadi berubah manusia mengenal uang. Dengan adanya uang ini, tidak ada lagi batas alamiah yang sanggup menghindari terjadinya akumulasi kekayaan oleh sedikit orang. Akumulasi kekayaan oleh sedikit orang ini kemudian menimbulkan keadaan perang (state of war).  Dalam situasi yang dikuasai oleh ekonomi uang ini, masyarakat tidak dapat bertahan tanpa pembentukan negara yang menjamin milik pribadi.[14]
Dengan demikian, menurut Locke, negara itu didirikan untuk melindungi hak milik pribadi.[15] Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah inalienable rights (hak-hak yang tidak asing) dan adanya negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut.[16] Jadi segala kekuasaan yang dimiliki negara dimilikinya karena, dan sejauh, didelegasikan oleh para warga negaranya.[17]
Terakhir, Jean Jacques Rousseau. Jean Jacques Rousseau menjelaskan di dalam kehidupan alamiahnya manusia hidup secara polos dan mencintai diri secara sepontan di mana manusia belum melakukan pertikaian melainkan keadaan aman dan bahagia.[18] Pada keadaan ini manusia hidup hanya di dalam pemenuhan kebutuhan pribadinya. Tetapi pada akhirnya keadaan alamiah manusia tidak dapat dipertahankan kembali jika setiap manusia tidak dapat lagi mampu mengatasi keadaan dalam menjaga dirinya sendiri. Oleh karena itu, perlu perubahan pola kehidupannya, yakni membentuk suatu kesatuan dengan menghimpun diri bersama orang lain.
Manusia akan membentuk suatu negara untuk mempertahankan dan melindungi pribadi dan anggotanya, di dalam perkumpulan itu masing-masing menyatu dalam suatu kelompok tetapi manusia tetap bebas sebagai seorang individu. Hal ini dapat dikatakan bahwa setiap individu menyerahkan diri dan seluruh kekuasaannya untuk kepentingan bersama, di bawah kepentingan tertinggi yaitu kehendak umum (volante generale) dan mereka menerima setiap anggotanya  sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan.[19] Peyerahan kekuasaan ini dapat dikatakan sebagai kontrak sosial, tetapi jika kontrak sosial itu dilanggar maka masing-masing kembali kepada hak-hak alamiah mereka. Hal ini berarti Rousseau menginginkan adanya kedaulatan rakyat secara menyeluruh.[20]
Berdasarkan pemikiran-pemikiran kekuasaan negara tersebut dapat disimpulkan bahwa pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara dan darimana kekuasaan diperoleh berkaitan dengan kedaulatan. Kedaulatan tersebut dapat dibedakan atas Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulan Negara, kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Rakyat. Teori-teori kedaulatan tersebut pada dasarnya mempertanyakan hak moral apakah yang dijadikan legitimasi bagi setiap orang atau sekelompok orang atau bagian suatu pemerintahan atau kekuasaan yang dimilikinya, sehingga mempunyai hak untuk memegang dan mepergunakan kekuasaan serta menuntut kepatutan atas kekuasaan dan otoritas yang dimiliki.
Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (people souvereignty). Konsep kebebasan/persamaan dan konsep kedaulatan rakyat  merupakan dasar dari demokrasi. Kedaulatan rakyat berarti pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat atau yang dikenal adanya selogan  kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kedaulatan rakyat Indonesia disalurkan dan diselenggarakan melalui prosedure konstitusional. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum yang Demokratis (democratische rectsstaat) dan Negara Demokrasi yang berdasar atas Hukum (constitusional democracy) yang tidak terpisah satu sama lain, sebagaimana menurut Jimly Asshiddiqie[21]
Dalam sistem konstitusional Undang-Undang Dasar, pelaksanaan kedaulatan rakyat itu disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy). Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, Undang-Undang Dasar negara kita menganut pengertian bahwa Negara Indonesia itu adalah Negara Hukum yang Demokratis (democratische rectsstaat) dan sekaligus adalah Negara Demokrasi yang berdasar atas Hukum (constitusional democracy) yang tidak terpisah satu sama lain.
Kedaulatan rakyat deselengarakan langsung dan melalui sistem perwakilan. Henry B. Mayo dalam buku Introductions to Democratic Theory mengatakan bahwa sistem politik yang demokrasi ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif  oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Berdasarkan pendapat tersebut, diselenggarakan langsung dan sistem perwakilan (direct demokracy) diwujudkan melalui pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat.


[1] Pada “teori negara”, yang menjadi pusat perhatian ialah jawaban terhadap pertanyaan, mengapa di antara manusia yang hidup dalam kelompok-kelompok, dalam paguyuban-paguyuban, ada seseorang atau sekelompok orang yang dapat memerintah orang lain. Pada “teori negara” yang menjadi pusat perhatian ialah masalah wibawa, kuasa, perintah, (hed gezag, the authority, der herrschaft), dan bagaiman terjadinya. A. Hamid S Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (suatu studi analisis mengenai keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita I – Pelita IV)”, (Desertasi doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990), hlm. 84.
[2] Jika seseorang dikatakan mempunyai kekuasaan terhadap orang lain, maka artinya bahwa orang yang berkuasa itu mampu untuk memaksakan kehendaknya terhadap orang lain. Menurut Logeman terdapat lima macam legitimatie daripada  gezag, yaitu: (1) Charismatish gezag; (2) Magisch gezag; (3) Dynastiek gefundeer gezag; (4) Gezag gelegitimeerd als vertegenwoordiging; (5) Gezag ener elite. Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Cet. 3, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991), hlm. 125-126.
[3] Plato dan Aristoteles banyak mempengaruhi sejarah filsafat zaman kini, filsafat yunani mencapai puncak kejayaannya pada masa kedua tokoh ini. Pemikiran-pemikiran mengenai negara dan hukum sudah menjadi bagian dari pandangan hidup pada zaman tersebut. Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Cet. 13, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 18.
[4] Menurut Aristoteles manusia adalah mahluk bermasyarakat. Kalau ada manusia yang hidup tidak dalam masyarakat, maka ia bukan manusia lagi akan tetapi dewa atau hewan. Jadi oleh karena manusia, maka harus hidup terikat dalam masyarakat. Abu Daud Busroh, Op. Cit.,  hlm. 84-45.
[5] Ibid., hlm. 28.
[6] Alam telah memberikan naluri soaial kepada manusia yang membuat manusia berkemampuan untuk menyempurnakan dirinya dalam membentuk kehidupan bermasyarakat-bernegara. Sebagaimana dikutip Azhary dalam Aristoteles, Politika, (New York: Random Hause Inc), hlm. 55.
[7] Menurut Aristolteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil. Penguasa hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Tetapi kesusilaan yang menentukan baik dan buruknya suatu perundangan. Abu Daud Busroh, Op. Cit., hlm. 110.
[8] Franz Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 89.
[9] J.J. Von schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum (dari Plato sampai Kant), (Jakarta: PT. Pembangunan, 1980), hlm. 72-73.
[10] Thomas Hobbes, Leviathan, (Middleessex England: Penguin Books, 1985), Bab. 13.
[11] Franz Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 207.
[12]“Men being,…by nature, all free, equal and independent, no one can be put out of this estate, and subjected to the political power of another, without his own consent,” John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, (London: Everyman, 1993),  hlm. 163.
[13]Selain itu, Locke menggambarkan keadaan alamiah dengan mengungkapkan, “Men living together according to reason, without common superior on earth with authority to judge between them, is properly the state of nature.” Dengan demikian, menurut Locke, keadaan di mana manusia hidup bersama sesuai dengan kehendak akal tanpa ada seorang yang memimpin masyarakat di dunia dengan kewenangan memutus suatu perkara di antara manusia adalah keadaan alamiah (state of nature). Ibid., hlm. 124. Dari pernyataan ini tampak sekali bahwa Locke termasuk orang yang sangat percaya akan superioritas akal dalam menentukan hitam dan putihnya kehidupan manusia. Pandangan yang sangat liberal –untuk ukuran waktu itu– ini mula-mula mendapat perlawanan yang sangat keras, meskipun akhirnya secara empiris memperoleh dukungan yang cukup signifikan dalam perkembangan pemikiran negara.
[14]Ibid., hlm. 122-125.
[15]Berkaitan dengan hal ini, Locke mengatakan, “The great and chief end therefore, of men’s uniting into commonwealths, and putting themselves under government, is the preservation of their property. To wich in the state of nature there are many things wanting.” Ibid., hlm. 178.
[16] Franz Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 221.
[17] Ibid., hlm. 222
[18] Jean Jacques Rousseau mendeskripsikan hubungan ayah dan anak hanyalah sebuah perjanjian. Hubungan tersebut memang pada awalnya merupakan hubungan alamih, hal ini terjadi selama seorang anak mebutuhkan ayahnya  untuk  bertahan hidup. Jean Jacques Rousseau, Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, (London: Penguin Books, 1968),  hlm. 50; Setiap Manusia dilahirkan memiliki kapasitas atau potensi untuk mengembangkan kebebasanya sebagai manusia yang bebas. Jean Jacques Rousseau, Annatated Editions The Social Contract or Principles of Political Righ, Cet. 9, (United States of America: The New America Library, 1974), hlm. 4.
[19] Ibid., hlm. 61.
[20] Rousseau mau menjamin kebebasan total manusia, dan bukan hanya sebagian, seperti Locke. Karena itu kehendak negara harus identik total dengan kehendak semua individu. Tetapi ini sebaliknya berarti bahwa individu secara total masuk ke dalam negara. Rousseau ingin menciptakan indentitas total anatara kehendak rakyat dan kehendak negara. Franz Magnis Suseno, Op. Cit.,  hlm. 250-251.
[21] Jimly Asshiddiqie, “Sruktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945”, (Makalah disamapaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Denpasar, 14-18 Juli 2003), hlm. 1.

ANALITICAL JURISPRUDENCE “JOHN AUSTIN”

Analitical Jurisprudence “John Austin”
Keberadaan positivisme hukum tidak dapat dilepaskan dari kehadiran negara modern.[1] Sebelum abad ke 18 pikiran itu talah hadir, dan menjadi semakin kuat sejak kehadiran negara modern. Selain itu, pemikiran positivisme hukum adalah bagian yang tidak dapat dilepas dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu).[2] Berbeda dengan pemikiran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, maka pada positivisme hukum, aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkrit. Jawaban terhadap permasalahan konkrit tersebut, berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang ada dalam positivisme, yakni:[3]
  1. Suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (Comte dan Spenser), bukan pula bersumber pada jiwa bangsa (Savigny) dan bukan juga karena dasar-dasar hukum alam, melainkan mendapatkan bentuk  postifnya dari instansi yang berwenang.
  2. Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya; bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material.
  3. Isi hukum (material) diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak keberadaan ilmiah ilmu hukum.
Secara epistimologi kata “positif” diturunkan dari bahasa Latin ponere-posui-positus yang berati meletakan. Kata “meletakan” menunjukkan bahwa dalam positivisme adalah sesuatu yang sudah tersaji (given). Dalam bidang hukum, sesuatu yang tersaji itu adalah sumber hukum positif, yang sudah diletakkan oleh penguasa politik.[4]
Berdasarkan uraian singkat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa positivisme hukum mencoba menyingkirkan spekulasi tentang aspek metafisik dan hakikat hukum. Latar belakangnya tidak lain adalah usaha pembatasan “dunia” hukum dari segala sesuatu yang ada di balik hukum dan mempengaruhi hukum tersebut. Aliran pemikiran ini hendak menjadikan hukum sepenuhnya otonom dan menyusun sebuah ilmu pengetahuan hukum yang lengkap yang didasarkan atas semua sistem normatif yang berlaku di dalam masyarakat. Sistem normatif yang berlaku itu dimanifestasikan di dalam kekuasaan negara untuk memberlakukan hukum dengan kelengkapannya, yaitu sanksi.[5] Pemikiran postivisme dapat dibagi menjadi dua Postivisme Klasik tokohnya antara lain John Austin dan Hans Kelsen dan Neopostivisme tokohnya antara lain HLA Hart, Lon Fuller dan Dworkin. Dalam tulisan ini tidak dibahas seluruh tokoh Postivisme, akan tetapi hanya mencoba John Austin. Tulisan ini mencoba memahami secara sederhana pemikiran John Austin yakni “ Analitical Jurisprudence”.
A. John Austin: Biografi Singkat
Kehidupan John Austin dipenuhi dengan kekecewaan dan harapan yang tidak terpenuhi. Austin dilahirkan pada tahun 1790 di Sufflok, dari keluarga kaum pedagang.[6] Austin pernah berdinas di tentara, dan ditugaskan di Sisilia dan Malta. Namun ia juga mempelajari hukum. Pada tahun 1818, ia bekerja sebagai advokat[7] Tapi ia tidak menjalaninya  secara serius. Ia belakangan meninggalkan pekerjaan itu, pindah menjadi seorang ilmuwan hukum. Pada tahun 1826 hingga 1832, ia bekerja sebagai guru besar bidang jurisprudence di London University. Sesaat setelah mengundurkan diri sebagai profesor, ia banyak menjabat jabatan-jabatan penting di lembaga-lembaga kerajaan. Misalnya ia pernah bekerja di Criminal Law Commission dan Royal Commisioner untuk Malta.[8]
Berapa teman yang banyak mempengaruhi pemikiranya (Jeremy Bentham, James Mill, John Stuart Mill dan Thomas Carlyle) sangat terkesan dengan kecerdasan Austin, mereka  meperkirakan Austin akan memiliki karir yang sangat panjang.[9] Namun, dalam kenyataannya Austin lebih memilih untuk mengakhiri karir secara cepat baik dalam dunia akademis, maupun dalam pemerintahan. Walaupun ia seorang jurist Inggris, kuliah-kuliahnya di Bonn Jerman, telah memberikan bukti yang penting tentang pengaruh pemikiran politik dan hukum Eropa Kontinental dalam diri Austin. Kumpulan kuliah ini yang kemudian diterbitkan sebagai buku, berjudul The Province of Jurisprudence Determined (1832). Karyanya yang lain adalah Lectures on Jurisprudence, diterbitkan atas upaya keras dari istrinya, Sarah, pasca Austin tutup usia pada 1859.[10]
B. Analytical Jurisprudence
Pemikiran pokok tentang hukum John Austin dituangkan terutama dalam karyanya berjudul  The Province of Jurisprudence Determined. Karya tersebut paling lengkap dan penting mengenai usaha untuk menerapkan sistem positivisme analitis dalam negara-negara modern, bahkan Austin sering disebut sebagai pembentuk legal positivism.[11] Dalam memberikan rumusan tentang hukum, Austin menggantikan “cita-cita tentang keadilan (ideaof justice) dengan “perintah yang berdaulat” (comend of sovereign) sebagaimana dijelaskan oleh Austin “Positif law… is the set by sovereign person, or a sovereign body of person, to members of independent political society wherein that person or bady is sovereign pr supreme”.[12] Menurut Austin, hukum adalah suatu peraturan yang dibuat untuk dipergunakan sebagai pedoman makhluk berakal, oleh makhluk berakal yang mempunyai kekuasaan terhadapnya. Menurut interpretasi Austin, hukum positif berakar sepenuhnya dari fakta-fakta empiris yang bersumber dari ketentuan berdaulat.[13] Hukum dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada pengertian “baik” dan buruk akan tetapi didasarkan pada kekuasaan dari sesuatu yang lebih kuat (the powers of superior).[14] Berarti, hakikat hukum terletak pada usur “perintah” dari yang berdaulat.
Menurut Austin, filsafat hukum memiliki dua tugas penting. Kegagalan membedakan keduanya, akan menimbulkan kekaburan baik intelektual maupun moral. Kedua tugas ini berkaitan dengan dua dimensi dari hukum yakni yurisprudensi analitis dan yurisprudensi normatif.
  1. Yurisprudensi analitis (analytical jurisprudence), berkaitan dengan tugas filsafat hukum adalah melakukan analisis tentang konsep dasar dalam hukum dan struktur hukum bagaimana adanya. Pertanyaan tentang apa itu hukum, tanggungjawab hukum, hak dan kewajiban hukum, misalnya adalah contoh pertanyaan-pertanyaan khas yang diajukan filsuf atau pemikir hukum sebagai titik tolak dalam menganalis dan mencoba memahami konsep dasar tersebut.
  2. Yurisprudensi normatif (normative jurisprudence) berusaha mengevaluasi atau mengkritik hukum dengan berangkat dari konsep hukum sebagaimana seharusnya. Pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan antara lain mengapa hukum disebut hukum, mengapa kita wajib mentaati hukum, manakah basis validitas hukum, dan sebagainya. Dengan demikian, dimensi yang kedua ini berurusan dengan dimensi ideal dari hukum.[15]
Berdasarkan perbedaan tersebut Austin mencoba memisahkan antara hukum dan moral. Karena menurut Austin, ilmu hukum analitis memperhatikan fakta-fakta mendasar dari hukum, asal-usunya, keberadaannya dan konsep yang melatar belakanginya yang harus dibedakan dengan ilmu hukum normatif yang memfokuskan diri pada pertanyaan tentang kebaikan dan keburukan dari hukum yang ada.[16] Dengan kata lain dapat ditegaskan kembali Austin memisahkan antara hukum dengan moral. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja, tidak membahas hubungan antara hukum positif dengan moral. Hukum tidak memperdulikan baik atau buruknya, diterima atau tidak oleh masyarakat. Untuk memperjelas perbedaan tersebut lihat bagan 1.1.

THE PLURALIST THEORY OF THE STATE (TEORI PLURALIS TENTANG NEGARA)

Teori Pluralis Tentang Negara
“kedaulatan pluralis” menolak adanya kedaulatan tunggal “kedaulatan monistik” dan mutlak dalam negara. Negara dilihat sebagai suatu hubungan antara kelompok dengan kelompok yang lainnya, kelompok-kelompok tersebut harus mandiri (independent) dan membuat kebijakan tanpa kontrol dari negara (m ilham h, 2010)”
Tokoh : Léon Duguit, Hugo Krabbe, and Harold J. Laski
Permasalah Kedaulatan
Komponen yang penting dari argumentasi pluralis adalah serangan terhadap “kedaulatan monistik” yang terpusat. Dan, adanya pendapat bahwa diperlukannya penyebaran kewenangan dan kekuasaan untuk kelompok-kelompok. Teori pluralis ini adalah reksi terhadap pedapat Bodin, Hobbes, Austin dan sebagainya.
Bodin adalah orang pertama yang menggunakan istilah tersebut secara sistematis dalam pemikiran Eropa dan dapat dikatakan bahwa ia mengindentifikasikan hal tersebut dengan negara. Kedaulatan menyiratkan “kekuatan tertinggi atas warga negara tidak dibatasi (kebebasan) oleh hukum. Para pemikir  absolutis menyatakan bahwa hal ini penting untuk setiap negara commonwealth untuk memiliki gagasan seperti itu. Bahkan, teori kedaulatan dinyatakan sebagai poros untuk teori absolut.
Dalam negara terdapat kedaulatan, sesuatu yang sifatnya alamiah mutlak, abadi, tak terpisahkan dan tidak dapat dicabut (dihilangkan). Pemenggang kekuasaan (yang berdaulat) -dasarnya kedaulatan absolutisme-, adalah sesuatu yang tertinggi di setiap Negara. Ini  awalnya seseorang atau orang, memiliki sumber dari semua hukum dan otoritas. Jadi pemenggang kekuasaan (yang berdaulat) tidak dapat dilawan secara hukum. Perlawanan Hukum adalah sebuah kontradiksi, karena harus memiliki legitimasi dari yang berdaulat.  Jadi raja berdaulat sering disebut sebagai hukum yang hidup.
Hobbes, Bodin dan Austin memiliki dasar argumen yang berbeda. Menurut Hobbes dalam pandangannya, menggambarkan kelompok sebagai ‘worms in the entrails’ dari tubuh politik. Grup (kelompok) dipandang sebagai kumpulan individu. Kelompok adalah entitas buatan, keberadaannya hanya sebagai konsesi (kerelaan) dari yang berdaulat. Mereka ada karena alasan kemauan dari yang berdaulat dan dapat dihentikan atas kemauan yang berdaulat pula. Ini hal logis dari kedaulatan terpusat. Meskipun variasi dan elaborasi, khususnya dengan kemajuan kedaulatan rakyat, pandangan kedaulatan monistik tetap mejadi diskusi pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas.
Kedaulatan memberikan penjelasan tentang keutuhan yang diperlukan negara. Salah satu sarjana berpendapat, ‘Teori kedaulatan ini merupakan hasil dari kebutuhan untuk membernarkan beberapa teoritis dasar adanya persatuan (unity).” Dengan demikian teori kedaulatan adalah teori persatuan (unity). Adanya elaborasi (pembahasan – uraian yang panjang) dari dasar kedaulatan merupakan indikasi adanya kebutuhan untuk persatuan tersebut.
Gierke dan Figgis mengidentifikasi sumber dari prinsip kedaulatan dengan hukum Romawi. Doktrin ‘plenitude of power’ (plenitudo potestatis) diambilnya dari pemikiran Paus. Doktrin ‘plenitude of power’ (plenitudo potestatis) diadaptasi oleh Paus untuk membenarkan klaim absolut mereka. Figgis mengutip Hobbes, mengatakan bahwa dalam Paus kita melihat ‘The ghost of the Roman Empire sitting crowned on its grave’. Untuk Figgis, Paus bisa mengatakan L’Eglise c’est moi merupakan kebenaran dari Louis XIV. Dan, Louis XIV bisa saja mengatakan dia adalah negara.
Pada perkembangnnya, lahir pemikiran pluralis, yang berlanjut hingga abad kedua puluh. Menurut pluralis, tidak menjadi permasalahan apakah negara demokratis, diperintah oleh Paus atau kedaulan absolut, jika kedaulatan dianggap sebagai hal mutlak dan indivisable, maka dapat merusak persatuan skala kecil. Menurut Figgis, The great Leviathan of Hobbes, the plenitude potestatis of the canonists, the arcana imperii, dan teori kedaulatan Austin, semua itu merupakan hal  yang sama yakni kekuasaan takterbatas dan takterhingga yang diberikan oleh hukum di dalam Negara.
Pembahasan yang penting yakni terhadap pertanyaan mengapa pluralis menolak doktrin kedaulatan? Sepeti apa yang telah di jelaskan di atas. Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya cukup rumit dan kompleks, yakni:
  1. Terutama, para pluralis menolak adanya ide kedaulatan hukum. inti dari masalah ini adalah bahwa Negara tidak menciptakan hukum. Pluralis keberatan adanya ide bahwa hukum dan hak hanyalah tidak lebih merupakan perintah yang berdaulat. Gierke berpendapat, dalam tradisi dan sejarah common-law yang kuat, individu bukan hanya sebagai manusia, tetapi individu sebagai anggota masyarakat (bangsa) yang hadir sebagai pembawa hak. Dan, hukum rakyat buka  a law (sebuah hukum), tetapi the law (hukum yang sebenarnya). Hukum berasal dari kelompok masyarakat, bukan merupakan perintah dari yang berdaulat. Dengan demikian, negara terikat untuk menghormati kepribadian otonom dari setiap kelompok. Negara dapat mengakui dan mengesahkan hukum yang ada, tetapi tidak menciptakannya (de novo).
  2. Pluralis menolak adanya kedaulatan politik, yaitu gagasan bahwa harus ada kekuasaan tunggal dalam setiap tatanan sosial yang menjadi acuan utama. Gagasan seperti ini menurut Laski sebagai hal yang tidak dapat dipertahankan. Karena adanya kukuatan sentran dalam setuap negara merupakan kenyataan yang palsu. Studi politik sering didominasi oleh mitos kontrol kekuasan pusat.  Hal ini mengabaikan hak-hak yang melekat pada kelompok untuk menjadi mandiri. Dan, berakibat salah dalam memahami konsep kekuasaan.
  3. Bahaya lain kedaulatan hukum dan politik adalah bahwa, dalam teori negara tertentu, mengarah pada klaim kedaulatan moral, di mana Negara dianggap sebagai perwujudan dari kebaikan semua warganya. Pluralis menolak gagasan kedaulatan moral. kedaulatan Moral mengandung arti bahwa individu-individu dan kelompok tidak bisa memiliki penilaian mandiri (independen) atas diri mereka sendiri, hal ini merusak kebebasan mereka. Kehidupan moral individu adalah madiri independen dari pemerintah.
Secara keseluruhan, menurut pluralisme bahwa kedaulatan monistik dipandang sebagai hal yang fiktif yang konsekuensi berbahaya jika dilakukan secara serius di bidang politik, hukum atau moral. Akan tetapi, pluralis tidak menganjurkan meninggalkan kedaulatan secara total (menyeluruh). Otoritas dapat muncul dalam banyaknya kelompok sosial. Pluralisme terdiri dalam pengakuan atas klaim kedaulatan kelompok lain selain Negara. Negara menurut pluralisme masih tetap ada, meskipun sifatnya perlu diperiksa dengan hati-hati.
Tidak mungkin ada keseragam yang akan diwakili oleh yang berdaulat. Manusia akan selalu dikaitkan dengan kelompok. Jadi pluralisme melihat keterwakilan yang tidak hanya fenomena individualistik, tetapi juga keterwakilan kelompok fungsional. Ini adalah dasar dari ide-ide mereka untuk mereformasi praktek-praktek demokratis. Dengan demikian jelaslah bahwa visi Rousseau kedaulatan rakyat “kedaulatan umum” adalah bertentangan dengan gagasan pluralistik kelompok. Pluralis menyarankan reorientasi demokrasi untuk mencerminkan kepentingan kelompok fungsional. Bahkan keterwakilan teritorial sendiri, yang menggap orang-orang dapat diwakili secara individual, menurut pluralis tidak cukup.
Cole mengatakan ‘Tidak ada kedaulatan universal dalam masyarakat, karena kumpulan individu yang membentuk masyarakat tidak dapat sepenuhnya diwakili oleh bentuk asosiasi. Untuk tujuan yang berbeda, mereka jatuh ke dalam kelompok yang berbeda, dan kedaulatan ada hanya dalam aksi dan interaksi kelompok-kelompok.
Namun demikian, sulit untuk memahami ide-ide didalam pluralis. Karena, pada titik tertentu ada keinginan kuat untuk meninggalkan hampir semua diskusi mengenai konsep kedaulatan. Namun, disisi lain terdapat aspek lain dari argumen pluralis,  yakni tentang desentralisasi kekuasaan dan wewenang untuk kelompok. Desentralisasi ini sangat berhubungan dengan pengakuan kepribadian hukum dari kelompok. Kadang-kadang, pluralis berbicara tentang desentralisasi kedaulatan. Setiap kelompok terlihat memiliki status hukum sendiri secara independen. Akan tetapi terdapat permasalahan, bagaimana seluruh rangkaian kepentingan kelompok dibagi sama-sama tinggi? Di sisi lain, argumen kedaulatan plural tidak lebih masuk akal dari klaim kedaulatan rakyat. Apakah masuk akal mengklaim bahwa semua orang berdaulat dari serangkaian kelompok-kelompok?
Negara Pluralitas
Teori pluralis muncul dalam konteks penilaian negatif dari adanya teori monistik. Pluralis, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, mengkritik tentang gagasan kedaulatan, negara dan hukum. Hal ini sering melahirkan bahwa para pendukung teori pluralis tidak bisa memiliki teori Negara. Namun dalam kenyataannya para pendukung teori ini tidak sepenuhnya menolak Negara. Mereka mencoba melahirkan teori tentang ide Negara yang menggabungkan keanekaragaman maksimal kehidupan kelompok dan beberapa bentuk otoritas pusat.
Gierke misalnya, menyatakan bahwa Negara merupakan hal yang tertinggi dan paling inklusif di antara entitas kolektif, tidak berwujud tapi secara intelektual dikenali sebagai hal yang “nyata”, dimana eksistensi (keberadaannya) manusia sosial ditegakkan atas eksistensi individu.
Baginya entitas kolektif adalah sesuatu yang abadi, hidup, sadar (rela), dan bertindak sebagai kesatuan yang dibentuk oleh seluruh rakyat. Negara, menurut Gierke, berbeda dengan asosiasi lain atau kelompok orang. Dengan kata lain, Gierke memikirkan negara sebagai hal yang berdaulat. Dia juga melihat adanya batas-batas antara kelompok dan Negara sangat fleksibel. Menurut Gierke masalah dan kompetensi otoritas politik akan selalu memproyeksikan diri ke dalam setiap bidang kehidupan sosial manusia. Para pendukung teori pluralis di Inggris tidak tidak berbeda jaug dengan pendapat Gierke, mereka menerima bahwa ada konsep pluralis Negara.
Ada dua masalah utama dalam negara pluralis dalam teori.
  1. Pertama, terlepas dari kesepakan para pendukung negara pluralis tentang pengertian kebebasan melalui kehidupan kelompok, kedaulatan jamak dan kepribadian kelompok, pluralis masih kurang tepat dalam terminologi mereka tentang Negara.
  2. Kedua, para penganut prluralis berbeda dalam menentukan nial yang sebenarnya tentang apa yang dimaksud Negara.
Ketidakakuratan dalam terminologi yang dugunakan dalam konsep masyarakat, Negara dan pemerintah. Untuk beberapa pluralis, Negara tampaknya diarikan singkatan sebagai bagian pemerintah. Laski berpendapat, Teori negara pada dasarnya merupakan sebuah teori tindakan pemerintah. Hal penting dalam pandangan ini, Negara secara minimal dipahami dan diidentifikasi dengan lembaga-lembaga politik dan proses pemerintahan. Hal ini juga berbeda dari pengertian masyarakat.  Masyarakat biasanya menunjukkan seluruh kumpulan kelompok fungsional yang terkait. Cole, membedakan “communit’ dengan “‘society”. Didalam negara “society berada pada communit”. “society”, adalah mekanisme kehendak umum, akan tetapi kehendak akan berada di “community”. Cole juga berbicara Negara hanyalah organisasi politik yang berbasis teritorial, politik mewakili warga negara secara keseluruhan.
Negara menurut padangan Figgis, dianggap sebagai “society of societies”. Negara, dipahami sebagai kolektivitas hidup kesatuan kelompok dalam sebuah entitas politik tunggal. Negara tidak setara dengan pemerintah. Negara merupakan kekuatan masyarakat dari seluruh kumpulan kelompok. Akan tetapi perlu diutarakan pula Figgis sendiri tidak sepenuhnya mejelaskan mengenai hal ini.
Kurangnya ketepatan bahasa tentang apa sebenarnya Negara. Kita dapat lihat pendapat Cole. Cole dalam karyaya, Self-government in Industry (1917), Negara didefinisikan sebagai “mesin politik pemerintah dalam masyarakat (the political machinery of government in a community). Seluruh kompleks institusi untuk aksi bersama dalam komunitas (community) adalah masyarakat. Menurutnya Negara adalah satu kumpulan dari banyak kelompok.
Laski, sepertihanya Cole, dalam tulisan-tulisan awalnya, negara kurang lebih diidentifikasi dengan mesin yang memerintah, tetapi perbedaannya adalah negara dilihat sebagai salah satu asosiasi di antara banyak asosiasilainnya. Negara tidak berbeda secara substansi dari sebuah serikat buruh atau Gereja. Kekuatan adalah pedekatan persuasi bukan pada kekerasan langsung. Kepribadian sesungguhnya dari sebuah kelompok menegasikan peran sentral untuk Negara. Teapi menurut Laski negara bukalnah kepribadian.
Laski berpendapat bahwa keinginan Negara tidak lebih dari sebuah kompetisi dari kehendak kelompok lain. Di lain waktu ia menunjukkan bahwa kehendak negara dibentuk oleh perjuangan yang terjadi antara persaingan kehendak. Laski curiga terhadap segala bentuk statisme yang terpusat dan birokrasi apakah itu Fabianism, Marxisme atau Liberalisme Baru (lihat Deane, 1955, hlm 59-72). Laski berpendapat bahwa esensi Negara adalah kemampuannya untuk menegakkan norma-norma dimana semua orang yang tinggal dalam batas-batasnya.
Pemikiran Figgis merupakan pemikiran yang paling dekat dengan ide Negara pluralis. Figgis menyatakan masalah utamanya sebagai hubungan komunitas-komunitas kecil “communitas communitatum” yang sebut negara. Untuk Figgis, tidak seperti Laski awal dan Cole, Negara berbeda dari semua jenis asosiasi atau kelompok. Figgis tidak benar-benar jelas apa yang dimasudnya, tetapi apa yang ia katakan adalah bahwa Negara harus dipahami dalam arti yang kompleks. Terutama, itu adalah sintesis dari kemauan hidup (synthesis of living wills).
Adalah penting untuk menyadari bahwa intrinsik entitas kolektif ini adalah pengakuan terhadap kelompok independen. Jadi tidak ada argumen yang dapat digunakan untuk membenarkan dominasi total pemerintah. Pemerintah juga tidak identik dengan Negara.
Sebaliknya, Hobson berpendapat, ia membawa otoritas seluruh Negara pada tingkat tertinggi dan umum. Sistem total dari kehendak disalurkan ke dalam kehendak tunggal untuk mencegah ketidakadilan yang dilakukan oleh individu atau kelompok, untuk mengamankan hak-hak dasar, mengakui dan mengatur kelompok.
Figgis membayangkan Negara seperti menggabungkan, masyarakat, semua kelompok dan individu dalam suatu wilayah. Fokusnya akan muncul di lembaga-lembaga pemerintahan tertentu. Namun, yang merupakan kehendak Negara adalah pluralitas kelompok independen. Dapat dikatakan di sini bahwa Figgis mengakui bahwa Negara bisa dipahami dalam baik luas dan arti sempit. Ide yang luas adalah totalitas kelompok, yang “sintesis kemauan hidup” (synthesis of living wills), pemahaman sempit adalah fokus yang “sintesis dalam pemerintahan” (synthesis in government).
Negara pluralis tidak berdaulat dalam pengertian konvensional. Fungsi badan bukan untuk menjalankan kekuasaan, melainkan untuk mengawasi dan mengatur hubungan antara kelompok dan individu demi kepentingan keadilan, ketertiban dan kebebasan. Suatu Negara pluralis mewujudkan perdebatan kritik, terus-menerus dan kompromi antara kelompok-kelompok. Ini adalah asosiasi dari individu-individu, yang bersatu dalam berbagai kelompok masing-masing dengan hidup bersama, dalam sebuah kelompok lebih yang lanjut dan lebih tinggi dan lebih merangkul tujuan bersama’

KONSEP DEMOKRASI DALAM POLITIK JALAN KE TIGA


giddens1Konsep Demokrasi dalam Politik Jalan ke Tiga
(Analisis terhadap Pemikiran Anthony Giddens dalam Karyanya The Third Way: The Renewal of Social Democracy)
I. Pendahuluan
A. Permasalahan
Dalam politik jalan ke tiga, Giddens mengajukan program: “the radical centre, the new democratic state, active civil society, the democratic family, the new mixed economy, equality as inclusion, positive welfare state, the social investment state, the cosmopolitan nation, cosmopolitan democraticy”. Berangkat dari rangkaian pemikiran Giddens yang terdapat dalam karyanya The Third Way itu, maka terlihat jelas konsep demokrasi adalah salah satu hal yang penting dalam pemikirannya. Oleh sebab itu, sekaligus untuk membatasi ruang lingkup analisis dalam tulisan kali ini, maka hanya masalah demokrasi inilah yang akan penulis pilih sebagai salah satu pokok pembahasan lebih lanjut.
B. Metode Kajian
Dalam menganalisis konsep demokrasi yang terdapat di dalam politik jalan ke tiga yang ditawarkan oleh Giddens, maka metode kajian yang digunakan oleh penulis adalah metode kajian kepustakaan.
Dengan memilih metode kajian kepustakaan tersebut, maka data yang digunakan adalah data sekunder atau data kepustakaan. Sebagian besar data itu adalah berupa buku. Data sekunder yang digunakan oleh penulis dalam penelitian kali ini, terutama adalah buku karya Giddens yang berjudul asli The Third Way: The Renewal of Social Democracy (untuk selanjutnya akan disebut The Third Way).
C. Tentang Buku The Third Way
Dalam sebuah karyanya yang berjudul The Consequences of Modernity, Giddens menggambarkan keadaan dunia sekarang ini seperti sebuah juggernaut (truk besar) yang sedang meluncur kencang tanpa terkendali. Apa yang diungkapkan Giddens tersebut tentu dimaksudkan untuk menggambarkan perubahan yang begitu cepat, yang menjadi karakter zaman sekarang ini, yang tidak saja menciptakan berbagai persoalan baru, tetapi juga menuntut pendekatan baru atas persoalan-persoalan lama.[1]
Dunia sekarang ini, digambarkannya sebagai masa yang diliputi oleh ketidakpastian. Dalam dunia politik, ekonomi dan sosial, muncul banyak fenomena baru yang tidak lagi dapat dengan mudah dikelompokkan dan diselesaikan dengan kategori dan perspektif “kiri” dan “kanan”.[2] Baik demokrasi sosial lama (sosialisme parlementer yang moderat) maupun neoliberalisme (kapitalisme dengan filsafat pasa bebasnya) tidak lagi memadai untuk menangani persoalan-persoalan politik, ekonomi dan sosial global.
Dalam konteks sebagaimana tersebut di atas, muncul pemikiran Anthony Giddens, yang tertuang dalam buku berjudul The Third Way: The Renewal of Social Democracy, yang terbit pada tahun 1998. Dalam buku yang telah diterjemahkan pula dalam bahasa Indonesia dengan judul The Third Way: Jalan ke Tiga, Pembaruan Demokrasi Sosial ini, Giddens menawarkan pemikiran yang diharapkan dapat menjawab persoalan-persoalan masa kini dengan mengadaptasi konsep demokrasi sosial yang dilahirkan dengan melihat dan mempertimbangkan keadaan dunia yang secara fundamental telah mengalami perubahan. Jadi demokrasi yang ditawarkan oleh Giddens ini, dianggap sebagai tawaran konsep yang baru, yaitu sebagai “jalan ke tiga”, karena merupakan upaya untuk melampaui, baik demokrasi sosial (gaya lama) maupun neoliberalisme. Dengan perkataan lain, politik jalan ke tiga ini diharapkan dapat menjadi pilihan utama bagi teori dan praksis demokrasi masa sekarang.
Buku The Third Way ini diterbitkan pada tahun 1998, dan terdiri dari 5 (lima) bab, yang masing-masing babnya diberi judul sebagai berikut: Sosialisme dan Sesudahnya, Lima Dilema, Negara dan Masyarakat Madani, Negara Investasi Sosial, serta Memasuki Abad Global.
Sambil mengkritik, baik demokrasi sosial gaya lama maupun neoliberalisme, dalam bukunya ini, Giddens menunjukkan bagaimana jalan ke tiga, yang tidak lain adalah demokrasi sosial yang baru, tidak saja dapat menjadi the survivor dalam kancah pertarungan ideologi kiri dengan kanan, tetapi juga dapat menjadi pemenang yang menjanjikan jawaban untuk berbagai persoalan rumit dewasa ini.
Dalam bab pertama, Giddens mengawali buku The Third Way dengan menggambarkan keruntuhan sosialisme yang dramatis[3], dan bagaimana 2 (dua) ideologi politik dominan sesudahnya, yaitu neoliberalisme, tidak mampu untuk menjawab tantangan global. Dari penjelasan ini, sebenarnya Giddens sudah pula mulai menunjukkan perlunya sebuah pendekatan baru yang melampaui atau melebihi kubu sosialisme dan neoliberalisme yang dianggapnya telah gagal itu.
Dalam bab ke dua, Giddens membahas 5 (lima) persoalan yang menjadi permasalahan mendasar masyarakat di abad ke-21, yang tidak lain merupakan consequences of modernity. Persoalan-persoalan itu meliputi: masalah globalisasi[4], individualisme (dalam kaitannya dengan komunitas), perbedaan kanan dan kiri, subyek pelaku politik, dan masalah-masalah ekologi. Pemahaman dan sikap dalam menghadapi persoalan-persoalan itu sangat menentukan terciptanya kebijakan dalam bidang politik, ekonomi dan sosial yang mampu menjawab persoalan masyarakat global.
Dalam berhadapan dengan masalah globalisasi, Giddens mengajukan pendapat, bahwa tidak seharusnya mengambil sikap membentengi diri terhadap arus globalisasi,[5] atau membiarkannya berlangsung tanpa kendali[6]. Yang penting dalam menghadapi globalisasi adalah bagaimana masyarakat dapat menangani akibat-akibat yang ditimbulkan oleh globalisasi itu.
Dari penjelasan itu, dapat dipahami bahwa Giddens tidak menganjurkan untuk bersikap anti terhadap globalisasi, juga ia tidak menganjurkan untuk bersikap pasrah begitu saja dalam menghadapi globalisasi. Pendapat Giddens lebih mengajak untuk bersikap kreatif dalam mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh globalisasi. Bagi Giddens, “Politik jalan ke tiga harus bersikap positif terhadap globalisasi…”.[7]
Selain itu, menurut Giddens, persamaan (kolektivitas) dan kebebasan individual (individualitas) tidak selalu berarti saling bertentangan. Karena itu, maka jalan ke tiga mencari suatu keseimbangan yang baru dalam hubungan antara individu dengan komunitas, yaitu “…sebuah definisi ulang dari hak dan kewajiban”.[8]
Dalam bab ke dua ini, Giddens juga memaparkan nilai-nilai jalan ke tiga, yang terdiri dari: persamaan, perlindungan terhadap mereka yang lemah, kebebasan sebagai otonomi, tidak ada hak tanpa tanggung jawab, tidak ada otoritas tanpa demokrasi, pluralisme kosmopolitan, dan konservatisme filosofis.[9] Bagaimana dengan demokrasi? “Dalam masyarakat sekarang”, kata Giddens, “tidak ada otoritas tanpa demokrasi”.[10] Kaum kanan mencari legitimasi otoritas pada simbol-simbol tradisional, seperti negara, pemerintah dan keluarga, sedangkan jalan ke tiga yakin bahwa satu-satunya jalan menuju pembentukan otoritas adalah demokrasi.
Masalah lain yang dibicarakan dalam bab ke dua ini adalah masalah yang timbul di bidang ekologi. Industri walau bagaimanapun tetap diperlukan untuk mengolah alam, tetapi dampak ekologisnya harus diwaspadai. Tantangan politik jalan ke tiga, salah satunya adalah, bagaimana cara menghadapi persoalan ekologis dan dampak-dampak akibat pengembangan dan penggunaan teknologi dapat diintegrasikan dalam kebijakan politik jalan ke tiga?
Secara garis besar, di dalam bab ke dua ini Giddens mengeksplorasi persoalan modern yang dapat menjadi tantangan sekaligus peluang bagi politik jalan ke tiga.
Dalam bab-bab selanjutnya, Giddens menunjukkan bagaimana jalan ke tiga dapat menangani persoalan-persoalan yang dihadapi dunia sekarang ini. Bagian ini adalah bagian penting yang berisi gagasan-gagasan pokok yang dituangkan dalam program-program jalan ke tiga, yang antara lain terdiri dari: negara demokratis baru (negara tanpa musuh), masyarakat madani yang aktif, ekonomi campuran baru, modernisasi institusi-institusi kesejahteraan, negara berinvestasi sosial, bangsa kosmopolitan (politik satu bangsa) dan demokrasi kosmopolitan.
Dalam bab ke tiga yang berjudul Negara dan Mayarakat Madani, Giddens mengajukan gagasannya mengenai negara dan masyarakat. Kalau kaum sosial demokrat (lama), secara historis, sangat ingin memperluas peran negara, dan kaum neoliberal ingin memperkecil peran negara, maka jalan ke tiga menyatakan bahwa yang terpenting adalah merekonstruksinya. Giddens menjelaskan pandangannya mengenai peran negara dengan mengatakan “Reformasi negara dan pemrintah harus menjadi prinsip dasar politik jalan ke tiga, sebuah proses pendalaman dan perluasan demokrasi”. Proses itu disebut Giddens dengan nama ”pendemokrasian demokrasi”.[11]
Bagaimana jalan ke tiga mengelola persoalan ekonomi? Jawaban atas pertanyaan itu, Giddens berikan pada bab ke empat. Jalan ke tiga menawarkan kebijakan ekonomi yang Giddens sebut sebagai new mixed economy. Kebijakan new mixed economy ini ingin mencari sinergi (keseimbangan) antara sektor publik dengan swasta dengan memanfaatkan dinamisme pasar, namun tetap memperhatikan kepentingan publik.
Agar tidak terjebak hanya sekedar menjadi “jaring pengaman sosial”, jalan ke tiga harus mereformasi negara kesejahteraan (welfare state) untuk menciptakan kesejahteraan positif. Yang dimaksud dengan kesejahteraan positif menurut Giddens ini adalah kesejahteraan yang bukan hanya ekonomis semata, tetapi juga dan terutama psikis. Karena itu, yang penting bukanlah program pemberian bantuan langsung pada sisi ekonomis, tetapi investasi human capital. Singkatnya, negara kesejahteraan harus diarahkan kepada terwujudnya negara investasi sosial.
Dalam konteks global, politik jalan ke tiga adalah politik satu bangsa. Hal itu dikatakan Giddens dalam bab ke lima. Giddens memakai istilah bangsa kosmopolitan. Untuk hal bangsa kosmopolitan itu, maka akan ada 2 (dua) kemungkinan tantangan yang menghadapinya, yaitu tantangan yang berasal dari dalam dan yang berasal dari luar. Dari dalam, maka tantangan akan berwujud pluralisme kultural dan kalim otonomi lokal, sedangkan dari luar, tantangan yang dihadapi akan berwujud melunaknya batas-batas negara.
Untuk kelangsungan hidupnya, maka bangsa kosmopolitan itu harus mengembangkan demokrasi kosmopolitan. Demokrasi kosmopolitan itu merupakan gagasan “jauh ke depan” Giddens tentang pemerintahan global. Dengan mengajukan sebagai contoh fenomena masyarakat global yang lintas negara seperti Uni Eropa sebagai model global governance, Giddens ingin mengatakan bahwa bukan tidak mungkin terbentuk pemerintahan global. Pemerintahan global tidak hanya merupakan gerak sejarah semata-mata, tetapi lebih dari itu, ia harus diupayakan perwujudannya, sebagai salah satu jalan menyelesaikan persoalan-persoalan bersama umat manusia. Giddens mengatakan, “Masalah-masalah global merespons prakarsa lokal serta menuntut solusi global. Kita tidak bisa menyerahkan masalah-masalah seperti itu kepada pusaran pasar global yang tidak menentu dan badan-badan internasional yang relatif tanpa kekuasaan jika kita ingin mencapai sebuah dunia yang ditandai dengan stabilitas, kesetaraan dan kemakmuran”.[12]
D. Tentang Giddens dan Karya-Karyanya[13]
Sebelum melakukan analisis terhadap buku The Third Way ini, penulis menganggap perlu untuk mengetengahkan biografi singkat dari pengarangya, yaitu Anthony Giddens. Hal itu dimaksudkan untuk sekedar mengetahui latar belakang konteks politis dan sosiologis yang kemudian memberikan pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran Giddens.
Anthony Giddens lahir di Edmonton, London Utara, pada 18 Januari 1938, dari sebuah keluarga karyawan bus umum, yang di rumahnya sama sekali tidak memiliki buku. Anthony menjadi satu-satunya anak dari keluarga itu yang bersekolah tinggi.
“Hanya karena keberuntungan saya bisa masuk ke University of Hull,” kenangnya. Di universitas itu, ia belajar sosiologi dan psikologi untuk kemudian melanjutkan master-nya di LSE. Menurutnya, kala itu LSE sangat angker. Ini berbeda dengan LSE di bawah Giddens yang menjadi sangat pop.
Pada akhir dasawarsa 1960-an, Giddens sangat tertarik dengan “mentalitas California” yang begitu menekankan kemampuan “transformasi diri”. Mental minder “anak London Utara” dibuangnya. Giddens kemudian mematok ambisi menjadi seorang teoretikus besar Inggris. Ia lalu masuk ke University of Cambridge pada tahun 1970 untuk mengambil Ph.D. Namun, di tempat itu sebagai mahasiswa pascasarjana maupun sebagai asisten dosen, ia sering bentrok dengan koleganya. Akibatnya, seringkali ia ditolak menjadi dosen tetap. Baru setelah 14 (empat belas) tahun di Cambridge, Giddens, yang lulus Ph.D tahun 1976, diangkat menjadi dosen (1984) dan profesor sosiologi (1986).
Tampaknya, keilmuan Giddens baru diakui setelah ia menerbitkan The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration, yang menurut majalah Cosmopolis dari Jerman (edisi Juni/Juli 1999) merupakan karya paling utama Giddens.
Tahun 1992, Giddens kembali melakukan transformasi diri melalui bukunya, The Transformation of Intimacy (1992). Buku itu adalah hasil 3 (tiga) tahun masa terapi kejiwaan Giddens menyusul perceraiannya dengan istrinya yang ke dua. Dalam buku itu, Giddens menganjurkan perlunya sebuah “hubungan murni” antar laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada hakekat kepuasan hubungan itu sendiri. Tentu saja, kaum feminis Inggris sangat marah. Sosiolog Jean Seaton misalnya, mengatakan, buku itu merupakan “maklumat seorang pencinta oportunis posmodernis”, yang hanya “menuntut hak berhubungan tanpa tanggung jawab”.[14]
Anthony Giddens menjadi terkenal karena bukunya, The Third Way: The Renewal of Social Democracy (1998). Berkat buku itu, selama 3 (tiga) bulan, Giddens diwawancarai sebanyak 90 kali. Presiden Amerika Serikat, pada saat itu, Bill Clinton dan istrinya, Hillary, bahkan mengundang Giddens untuk menguraikan dan berdiskusi mengenai The Third Way, di New York, 23 September 1998. Perdana Menteri Tony Blair dari Inggris dan Romano Prodi dari Italia, diundang pula untuk berpartisipasi.[15]
The Third Way-pun segera mendunia. Melalui serangkaian kuliah umum pada tahun 1999, dengan judul Runaway World, yang diberikannya di London, Hongkong, New Dehli, dan Washington DC. melalui The 1999 Reith Lectures Radio, BBC Four, yang disiarkan ke seluruh dunia, Giddens mempropagandakan gagasannya. Kuliah tersebut memicu 6 (enam) pemimpin pemerintahan, Bill Clinton (Amerika Serikat), Tony Blair (Inggris), Gerhard Schroeder (Jerman), Lionel Jospin (Perancis), Massimo D’Alema (Italia), dan Henrique Cardoso (Brasil), untuk mengkaji ulang kebijakan “kiri-tengah” dalam konferensi bertajuk Progressive Governance for the XXI Century di Florence, Italia, pada tanggal 21 November 1999.[16]
Pengaruh keilmuan Giddens di pemerintahan Partai Buruh Inggris juga mencolok. Secara agak sinis, politisi dan media Inggris menyebut Direktur London School of Economics and Political Science (LSE) ini sebagai “gurunya Perdana Menteri Blair”. Bersama beberapa ilmuwan lainnya, Giddens memang menjadi tokoh paling penting dalam “University of Downing Street“, sebutan sindiran dari majalah The Economist (1999) mengenai lingkaran para akademisi di sekeliling Tony Blair yang berkantor di Downing Street.[17]
Sejak tahun 1985, Giddens memiliki dan menguasai Polity Press, yang menerbitkan seluruh karya tulisnya. Kemampuan penerbit ini juga luar biasa. Melalui Polity Press sudah sekitar ribuan textbook sosiologi karangan Giddens, Sociology (1998), berhasil dijual. Beberapa buku karya Giddens lainnya, antara lain adalah: The Constitution of Society (1980), The Consequences of Modernity (1990), Beyond Left and Right (1994).
II. Analisis
A. Tentang Peristilahan Jalan ke Tiga yang Digunakan
Terhadap peristilahan yang digunakan oleh Giddens ini, yaitu jalan ke tiga, maka tampak bahwa bangunan pemikiran yang ia lahirkan sangat dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa dalam dunia ini hanya terdapat 2 (dua) kutub yang saling berhadap-hadapan, yaitu sosialisme dan liberalisme.[18] Akibat dari pemahaman yang demikian, maka dapat dikatakan pula bahwa sebenarnya pemikiran jalan ke tiga Giddens ini sangat mengabaikan kekuatan lain yang sebenarnya cukup nyata yang berada di luar kedua kutub tersebut. Kekuatan lain itu negara-negara non-Barat, khususnya negara-negara Islam.
Untuk hal tersebut di atas, Profesor Chibli Mallat telah menuliskan kritiknya di harian The Daily Star, Beirut, 21 September 1998. Pakar politik Lebanon itu menulis, dengan mengatakan konsep jalan ke tiga Giddens adalah konsep politik yang telah mengabaikan negara-negara non-Barat, khususnya negara-negara muslim. Sejak kurun waktu 1970-an hingga 1980-an, slogan “jalan ke tiga” sudah lebih dulu berkumandang di negara-negara muslim itu. Lebih lanjut Mallat mengatakan bahwa Revolusi Iran-lah yang mencanangkannya. Jalan ke tiga adalah Islam, yang sistem kemasyarakatan jelas-jelas bukan model Barat (kanan) atau model Soviet (kiri).[19]
Selain itu, tulis Mallat, dalam sejarah abad ke-20, jalan ke tiga, dalam nilai-nilai yang tentunya berbeda dengan yang dikumandangkan oleh negara-negara muslim, adalah nama lain dari nazisme Jerman dan fasisme Italia, yang mencoba memberi alternatif baru terhadap ideologi sosialisme (Uni Soviet) dan kapitalisme (Amerika Serikat).
Penggunaan istilah jalan ke tiga Giddens, yang dianggap mengabaikan kekuatan negara-negara muslim, secara tidak langsung dapat mengakibatkan terpinggirkannya kekuatan negara-negara muslim dalam perjalanan peradaban manusia zaman sekarang ini. Jelas, ini merupakan proses penciptaan ketimpangan yang struktural. Mallat kemudian mengusulkan agar para penganut jalan ke tiga dari Giddens ini lebih menekankan nilai-nilai peradaban yang mampu menghilangkan berbagai ketimpangan struktural itu.
Kritik terhadap penggunaan istilah jalan ke tiga sebagaimana yang terdapat dalam The Third Way, sebenarnya telah diakui pula oleh Giddens. Dalam The Third Way, ia mengatakan bahwa:[20]
“…Frase “jalan ke tiga” tampaknya berasal dari awal abad ini, dan populer di kalangan kelompok sayap kanan di tahun 1920-an. Tetapi frase itu telah digunakan oleh para demokrat sosial dan kaum sosialis. Dalam periode pascaperang awal, para demokrat sosial secara sangat eksplisit menganggap bahwa mereka menemukan satu jalan yang berbeda dari kapitalisme pasar Amerika dan komunisme Soviet. Pada saat dibentuk kembali pada tahun 1951, Socialist International secara eksplisit berbicara tentang jalan ke tiga dalam konteks ini. Kira-kira dua puluh tahun kemudian, jalan ke tiga digunakan untuk merujuk pada sosialisme pasar seperti yang dilakukan oleh ekonom Cekoslovakia, Ota Sik dan yang lainya. Kaum demokrat sosial Swedia tampaknya yang paling sering membicarakan jalan ke tiga, versi terakhir, di akhir 1980-an, dengan merujuk pada sebuah pembaruan programatik yang penting”.
Walaupun Giddens telah berusaha memberikan jawaban secara tidak langsung (mengantisipasi) kritik semacam yang dilontarkan oleh Mallat, namun tetap saja terlihat bahwa penjelasan Giddens itu masih mengabaikan apa yang disebut Mallat sebagai “negara-negara non-Barat, khususnya negara-negara muslim”. Penjelasan Giddens atas penggunaan istilah jalan ke tiga, bersifat Eropa sentris, dan pada akhirnya, lagi-lagi terjebak ke dalam sudut pandang “dua kutub” yang sesungguhnya ingin ia hindarkan.
B. Tentang Demokrasi
1. Pemahaman Demokrasi secara Umum
Istilah demokrasi memiliki berbagai macam pengertian. Hal itu tergantung dari dengan istilah apa kemudian ia dipadukan. Ada yang dinamakan sebagai demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi kerakyatan, dan demokrasi nasional. Semua konsep itu maemakai istilah demokrasi, yang menurut asal kata memiliki arti rakyat berkuasa (government or rule by the people). Dalam bahasa Yunani, demos berarti rakyat, sedangkan kratos atau kratein berarti kekuasaan atau berkuasa.[21]
Sidney Hook berpendapat bahwa kata demokrasi memiliki berbagai makna. Oleh karena itu, untuk memahami berbagai konteks di mana istilah demokrasi dipergunakan, satu-satunya cara untuk membandingkan penggunaan istilah demokrasi yang semena-mena dengan demokrasi yang seharusnya, ialah dengan mengamati bagaimana penilaian mereka yang menggunakannya atas keberadaan atau ketiadaan institusi demokrasi.[22]
Lebih lanjut, Hook menguraikan bahwa demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan penting pemerintah, atau garis kebijaksanaan di belakang keputusan-keputusan tersebut, secara langsung atau tidak langsung, hanya dapat berlangsung jika disetujui secara bebas oleh mayoritas masyarakat dewasa yang berada dalam posisi yang diperintah. Hal ini membuat demokrasi secara esensial merupakan konsep politik, bahkan apabila ia digunakan, dan kadang-kadang disalahgunakan, untuk menggolong-golongkan institusi nonpolitik.[23]
Sebagai suatu proses politik, demokrasi nyata-nyata mempunyai kualitas yang berbeda dan bertingkat. Hal itu tergantung pada pengalaman politik suatu bangsa, tergantung pula pada jumlah dan kualitas orang dewasa di negara itu yang berhak memilih. Oleh karena itu, maka dapat dipahami apabila tidak di satu negarapun demokrasi ideal itu dapat benar-benar terealisaikan.[24]
Sesudah perang dunia ke-2, dapat dilihat gejala bahwa secara formil demokrasi merupakan dasar dari banyak negara di dunia.[25] Walaupun demokrasi baru pada akhir abad ke-19 mencapai wujud yang konkrit, tetapi sebenarnya ia sudah mulai berkembang di Eropa Barat pada abad ke-15 dan ke-16. Oleh karena itulah, wajah dari demokrasi di abad ke-19 menonjolkan beberapa asas yang dengan susah telah dimenangkan oleh para pelopor demokrasi, seperti misalnya kebebasan manusia terhadap segala bentuk kekangan dan kekuasaan sewenang-wenang, baik dalam bidang agama, pemikiran dan keyakinan politik. Jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia dianggap paling penting.[26] Dalam rangka ini, maka negara hanya dapat dilihat manfaatnya sebagai “penjaga malam” (nachtwachtersstaat) yang hanya dibenarkan untuk campur tangan dalam kehidupan rakyatnya dalam batas-batas yang sangat sempit.[27]
Tetapi kemudian, demokrasi tidak merupakan sesuatu yang statis, dan dalam abad ke-20, terutama setelah perang dunia ke-2, negara demokratis telah melepaskan pandangan bahwa peranan negara hanya terbatas sebagai “penjaga malam”. Peranan negara, pada perkembangannya, juga meliputi upaya aktif dari negara itu untuk turut bertanggung jawab atas kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga negaranya. Gagasan itu terwujud dlaam konsep welfare state (social service state). Demokrasi pada abad ke-20 tidak lagi membatasi diri pada aspek politik saja seperti pada abad ke-19, tetapi meluas dan mencakup pula ke aspek ekonomi, sehingga demokrasi ini berkembang pula dalam pengertian demokrasi ekonomi.[28]
Sebagai sebuah konsep yang tidak hanya berkaitan dengan bidang politik, tetapi juga berkaitan erat dengan bidang seperti ekonomi dan bahkan hukum, maka menurut Henry B. Mayo, demokrasi itu mengandung dan didasari beberapa nilai dasar yang dapat dijelaskan sebagai berikut:[29]
  1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai.[30]
  2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami perubahan.
  3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur. Pergantian pimpinan atas dasar keturunan, mengangkat dirinya sendiri atau dengan kudeta, dianggap tidak wajar dan bertentangan dengan demokrasi.[31]
  4. Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dari keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku. Untuk hal itu, maka diperlukan terselenggaranya suatu masyarakat terbuka (open society) serta kebebasan politik (political liberties) yang akan memungkinkan timbulnya fleksibilitas dan tersedianya alternatif dalam jumlah yang cukup banyak dalam menghadapi suatu masalah.
  5. Menjamin tegaknya keadilan.
Pada akhirnya, menurut penjelasan Miriam Budiarjo, bahwa untuk dapat melaksanakan nilai-nilai demokrasi sebagaimana yang diraikan di atas, maka diperlukan beberapa lembaga sebagai berikut:[32]
  1. Pemerintahan yang bertanggung jawab
  2. Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, yang dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia, serta atas dasar sekurang-kurangnya 2 (dua) calon untuk setaip kursi. Dewan perwakilan ini mengadakan pengawasan (kontrol), memungkinkan oposisi yang konstruktif dan memungkinkan penilaian terhadap kebijakan pemerintah.
  3. Suatu organisasi politik (partai politik).
  4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapatnya.
  5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi manusia dan mempertahankan keadilan.
Pendapat dari Budiarjo tersebut di atas, mengenai lembaga-lembaga yang diperlukan untuk dapat melaksanakan nilai-nilai demokrasi, dapat dilihat memiliki hubungan dengan pendapat Hook sebelumnya yang menyebutkan istilah “institusi demokrasi”. Dengan kata lain, lembaga-lembaga yang disebutkan oleh Budiarjo itu dapatlah dijadikan indikator untuk menilai apakah istilah demokrasi telah digunakan secara semena-mena atau dengan seharusnya oleh suatu negara sebagaimana yang diungkapkan oleh Hook.
Selain dari pendapat tersebut di atas mengenai demokrasi, berikut ini penulis hendak pula memaparkan salah satu pendapat lagi mengenai demokrasi yang menurut penulis cukup menarik. Pendapat mengenai demokrasi ini adalah berasal dari pemikiran Yasraf Amir Piliang.[33]
Kenapa pemikiran Piliang ini penulis anggap menarik untuk dibicarakan? Karena, baik Piliang maupun Giddens, ternyata memiliki persamaan pandangan terhadap keadaan dunia sekarang ini. Kesamaan inilah yang kemudian mereka jadikan landasan dalam membangun pemahaman mereka tentang demokrasi. Seperti halnya Giddens yang menganggap dunia saat ini diliputi oleh ketidakpastian, yang ia gambarkan dengan seperti sebuah juggernaut (truk besar) yang sedang meluncur kencang tanpa terkendali, maka sejalan dengan itu, Piliang juga menganggap bahwa keadaan saat ini, termasuk keadaan berbangsa dan bernegara, telah diliputi oleh berbagai bentuk ketidakberaturan, keacakan (randomness), dan ketidakpastian.[34]
Keadaan yang penuh ketidakpastian tersebut menyebabkan proses demokratisasi berkembang ke arah yang “melampaui” alam demokrasi itu sendiri, yaitu demokrasi tanpa kendali (hyper-democracy). Keadaan hiperdemokrasi ini telah menciptakan zona-zona kemacetan (breakdown zones) hampir di semua sistem, seperti kemacetan dalam sistem perekonomian, dan kemacetan mencari solusi yang damai untuk memecahkan perselisihan atau konflik.[35]
Untuk menghindari atau mengatasi keadaan hiperdemokrasi tersebut, maka menurut Piliang, diperlukan pengembangan konsep dialogisme dalam berdemokrasi. Dialogisme yang dimaksud itu meliputi, antara lain:[36]
1. Sikap yang di dalamnya masyarakat diatur oleh warna-warni suara (pandangan, ideologi dan kepercayaan), yang tidak sebuah suarapun berhak mendominasi suara lain dengan paksaan.
2. Sikap di mana setiap orang saling memahami perasaan dan menghargai pandangan orang lain.
3. Sikap di mana setiap orang saling berbicara, saling berkomunikasi secara mendalam. Komunikasi adalah yang diutamakan, karena di dalam diam, orang hanya disuguhkan teka-teki, ketidakjelasan, dan ketidakpastian. Keadaan itu selanjutnya, akan menciptakan berbagai prasangka buruk, kecurigaan, ketidakpercayaan dan pesimisme dalam masyarakat.
4. Sikap yang di dalamnya tumbuh kehendak untuk memecahkan persoalan bersama, bukan kehendak untuk mendominasi kekuasaan tanpa mengindahkan pihak lain sebagai mitra dalam proses sosial.
Sikap dialogisme di atas itulah yang sesungguhnya merupakan fondasi dari sistem demokrasi. Demokrasi adalah sebuah sistem yang di dalamnya terdapat ruang publik (public sphere), tempat setiap orang bebas menyampaikan pendapatnya, tempat di mana setiap orang dapat saling berdebat, saling beradu argumen, tempat setiap orang aktif dalam mencari strategi baru, dan bahasa politik yang baru dan kreatif, agar dapat ditawarkan di dalam sebuah “pasar politik” yang fair. Akan tetapi, yang penting pula untuk diperhatikan kemudian adalah, bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang di dalamnya setiap orang harus saling memahami, menghargai pandangan orang lain, saling menganggap satu sama lainnya sebagai sahabat di dalam sebuah “panggung” dialogisme. Inilah yang disebut Piliang sebagai dialogic democracy.[37]
2. Konsep Demokrasi dalam The Third Way
Keinginan Giddens untuk membangun pemahaman yang baru mengenai masalah demokrasi ini, secara tidak langsung dapat disimak dari pernyataan yang diungkapkannya pada saat diwawancari oleh Pierson. Giddens mengatakan:
“Saya ingin melakukan tiga hal: menafsir ulang pemikiran sosial, membangun logika serta metode ilmu-ilmu sosial, dan mengajukan analisis tentang munculnya institusi-institusi modern”.[38]
Dari pernyataannya itu, maka dapat dipahami bahwa rupanya Giddens tidak hanya ingin mengkritik dan mengecam kegagalan teoretisi ataupun konsep-konsep terdahulu, termasuk tentunya konsep mengenai demokrasi, tetapi ia juga ingin mengajukan alternatif yang baru.
Bagaimana Giddens melalui jalan ke tiganya memandang demokrasi? Menurut penulis, setidaknya Giddens memahami demokrasi dari 2 (dua) sudut pandang. Pertama, adalah demokrasi dalam fungsinya sebagai landasan otoritas, dan yang ke dua adalah demokrasi dalam hubungannya dengan globalisasi.
a. Demokrasi dalam Fungsinya sebagai Landasan Otoritas
“Tidak ada otoritas tanpa demokrasi”, begitulah salah satu nilai yang terdapat di dalam politik jalan ke tiga. Dari pernyataan itu pula dapat dipahami kemudian, bahwa masalah demokrasi merupakan masalah yang penting untuk mendapatkan perhatian. Bahkan demokrasi ini menjadi syarat bagi pembentukan otoritas.[39] Dengan dibangunnya otoritas melalui demokrasi, maka rakyat yang menjadi inti dari demokrasi itu dapat melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang dibentuk dan dijalankan oleh pemegang otoritas.
Pernyataan Giddens bahwa “tidak ada otoritas tanpa demokrasi” tersebut di atas, tentu berbeda dengan pandangan kaum kanan. Giddens menganggap bahwa kaum kanan selalu mencari legitimasi otoritas pada simbol-simbol tradisional[40], seperti negara, pemerintah, atau keluarga. Dalam pandangan kaum kanan seperti itu, maka demokrasi akan selalu tersubordinasi dalam hubungannya dengan otoritas yang mengambil bentuk negara, pemerintah, atau keluarga.[41] Akibat dari hal itu, maka penilaian mana yang baik atau buruk, benar atau salah, atau bahkan mana yang dapat disebut sebagai demokrasi dan mana yang bukan akan sangat ditentukan (dimonopoli) oleh pemegang otoritas, yang bisa terdiri dari negara, pemerintah, atau keluarga. Dalam keadaan yang demikian, rakyat tidak mempunyai fungsi kontrol sama sekali terhadap pemegang otoritas.
Demokrasi, bagi Giddens, adalah gambar sempurna yang mencerminkan karakter masyarakat kontemporer yang serba beragam. Pada masa sekarang ini, hampir semua negara mengkalim dirinya demokratis. Memang demokrasi boleh dikatakan sedang mengalami masa jayanya, namun justru di masa puncak kejayaannya inilah demokrasi ditantang oleh hal lain yang justru seakan-akan menimbulkan pertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam diri demokrasi itu sendiri.[42]
Giddens menduga bahwa demokrasi telah renta dan tidak dapat lagi mengikuti perkembangan masyarakat dunia. Untuk itu menurut Giddens, harus dicanangkan gerakan pendemokrasian demokrasi.[43] Agenda dari gerakan pendemokrasian demokrasi ini secara garis besarnya adalah meliputi:[44]
1. Negara harus merespon globalisasi secara struktural. Pendemokrasian demokrasi pertama-tama mengimplikasikan desentralisasi, tetapi bukan sebagai suatu proses yang satu arah. Transfer otoritas ke bawah harus diimbangi dengan transfer otoritas ke atas.
2. Negara harus memperluas peran ruang publik. Hal itu berarti, bahwa kebijakan pemerintahan harus diarahkan pada sikap transparansi dan keterbukaan yang lebih besar.
3. Untuk mempertahankan atau memperoleh legitimasi, negara tanpa musuh harus meningkatkan efisiensi administratifnya. Dalam pengalaman keseharian, maka pemerintah pada semua tingkatan tidak dipercayai, sebagian karena ia tidak praktis dan tidak efektif. Dalam dunia di mana organisasi bisnis dengan amat cepat merespons perubahan dunia dan menjadi lebih gesit, pemerintahan bisa tertinggal jauh di belakang. Sebagian besar pemerintah dengan birokrasinya yang masih dianggap berbelit-belit, harus banyak belajar dari praktek bisnis yang baik, seperti kontrol sasaran, auditing yang efektif, struktur keputusan yang fleksibel, dan peningkatan partisipasi pekerja dalam perusahaan. Belajar dari praktek bisnis yang baik itu, maka diharapkan pemerintah dapat memberikan layanan publik yang lebih berkualitas.
4. Globalisasi tidak hanya memperkenalkan kemungkinan, tetapi juga memberikan dampak pentingnya bentuk-bentuk demokrasi yang lain dari sekedar proses pemungutan suara yang telah biasa dilakukan. Contoh yang dapat dilakukan untuk hal itu adalah dengan melakukan “eksperimen” demokrasi, seperti pemilihan umum atau referendum melalui jaringan elektronik. “Eksperimen” demokrasi sudah tentu tidak akan menggantikan mekanisme-mekanisme pemungutan suara yang telah biasa dilakukan, tetapi ia bisa dijadikan pelengkap bagi mekanisme-mekanisme tersebut.
5. Dibandingkan pada masa-masa sebelumnya, negara-negara tanpa musuh pada masa sekarang lebih menggantungkan legitimasi mereka pada kapasitas untuk mengelola resiko. Pemerintah harus menyibukkan diri untuk mengatur berbagai perubahan yang dipicu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta harus dapat menangani dampak-dampak yang ditimbulkannya. Semakin suatu pemerintah tersebut mampu untuk mengatur dan menangani dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka semakin besar dukungan yang ia dapatkan, baik dari warga negaranya sendiri ataupun dari negara lainnya.
6. Pendemokrasian demokrasi tidak bisa hanya dijalankan secara lokal atau nasional. Gerakan demokratisasi demokrasi tidak cukup dijalankan dalam batas-batas negara, dan harus pula dijalankan sebagaimana globalisasi telah merelativitaskan batas-batas negara. Kemudian yang juga penting dalam gerakan demokratisasi demokrasi adalah, bahwa gerakan ini harus dijalankan dengan memperhatikan kondisi obyektif tiap-tipa negara.[45]
Dari beberapa agenda gerakan pendemokrasian demokrasi milik politik jalan ke tiga ini, maka terhadapnya dapat diajukan beberapa tanggapan sebagaimana dijelaskan berikut di bawah ini.
Pertama, memang politik jalan ke tiga ini berusaha untuk memperluas atau memberikan kesempatan atau partisipasi warga negara terhadap jalannya pemerintahan. Hal itu dapat pula diartikan sebagai terbukanya kesempatan untuk melakukan kontrol dari warga negara terhadap jalannya pemerintahan. Lebih lanjut, politik jalan ke tiga ini berarti memang telah menawarkan pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi dalam bidang politik. Namun demikian, perlu diingat pula, bahwa pengertian demokrasi ini tidak hanya berkaitan dengan bidang politik semata-mata. Masih ada bidang lain yang berkaitan erat dengan konsep demokrasi ini, yaitu bidang ekonomi dan kesejahteraan.
Dari hal tersebut di atas itulah, kemudian dapat dilihat kelemahan yang terkandung di dalam agenda gerakan pendemokrasian demokrasi yang ditawarkan oleh politik jalan ke tiga. Politik jalan ke tiga memang menawarkan perluasan kesempatan dalam bidang yang politis, tetapi ia tidak memperdulikan ketidakmerataan distribusi kekayaan[46] (demokrasi politik yang tidak dibarengi dengan demokrasi ekonomi).
Ke dua, sisi positif dari politik jalan ke tiga ini, salah satunya terletak pada keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan kepada warga negaranya.[47] Jadi dengan demikian, diadakan perbaikan pada praktek birokrasi pemerintahan dan organisasi pemerintahan yang terlalu besar (over-sized government) dan berbelit-belit menjadi lebih efektif dan efisien. Dengan kata lain, yang diperlukan adalah “…lebih sedikit pemerintahan nasional, lebih sedikit pemerintahan sentral, namun membutuhkan kontrol yang besar atas proses-proses lokal”.[48]
Ke tiga, adalah masalah perluasan peran ruang publik. Dalam politik jalan ke tiga ini, perluasan peran ruang publik menjadi salah satu peran yang harus dilakukan oleh negara. Dari sudut ini terlihat adanya kesesuaian antara pemikiran Giddens dengan konsep dialogic democracy. Sebagaimana Giddens, Piliang dengan konsep dialogic democracy-nya menginginkan demokrasi dalam pengertian sebuah sistem yang di dalamnya terdapat ruang publik (public sphere), tempat setiap orang bebas menyampaikan pendapatnya, tempat di mana setiap orang dapat saling berdebat, dan saling beradu argumen.
Dengan terbuka ruang publik yang luas, maka sekali lagi, warga negara akan dapat melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Warga negara dapat dengan bebas menyampaikan pendapatnya dan mengajukan argumen mengenai jalannya pemerintahan. Dengan demikian, maka pemerintahan yang terbentuk telah dapat dikatakan memiliki legitimasi yang bukan berdasarkan hal-hal yang bersifat tradisional semata, tetapi lebih karena pertimbangan mampu atau tidak mampu ia menjalankan roda pemerintahan. Jadi, tepatlah memang apabila Giddens berpendapat bahwa “tidak ada otoritas tanpa demokrasi”.
b. Demokrasi dalam Hubungannya dengan Globalisasi
Dalam konteks globalisasi, politik jalan ke tiga menurut Giddens adalah politik satu bangsa. Giddens kemudian mengajukan istilah bangsa kosmopolitan. Untuk kelangsungan hidupnya, maka bangsa kosmopolitan itu harus mengembangkan demokrasi kosmopolitan.
Demokrasi kosmopolitan itu merupakan gagasan “jauh ke depan” Giddens tentang pemerintahan global. Dengan mengajukan sebagai contoh fenomena masyarakat global yang lintas negara seperti Uni Eropa sebagai model global governance, Giddens ingin mengatakan bahwa bukan tidak mungkin terbentuk pemerintahan global. Pemerintahan global tidak hanya merupakan gerak sejarah semata-mata, tetapi lebih dari itu, ia harus diupayakan perwujudannya, sebagai salah satu jalan menyelesaikan persoalan-persoalan bersama umat manusia. Giddens mengatakan:[49]
“Masalah-masalah global merespons prakarsa lokal serta menuntut solusi global. Kita tidak bisa menyerahkan masalah-masalah seperti itu kepada pusaran pasar global yang tidak menentu dan badan-badan internasional yang relatif tanpa kekuasaan jika kita ingin mencapai sebuah dunia yang ditandai dengan stabilitas, kesetaraan dan kemakmuran”.
William Ebenstein dan Edwin Fogelman mengatakan, bahwa salah satu syarat yang mutlak perlu ada bagi suksesnya pelaksanaan demokrasi ialah, “kesepakatan bersama dalam masalah-masalah yang bersifat fundamental”.[50] Apabila pendapat itu digunakan untuk melihat kemungkinan ke depan dari pelaksanaan demokrasi kosmopolitan yang dimaksud oleh Giddens, dengan salah satu contohnya Uni Eropa, maka akan ada permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian.
Dalam pelaksanaan demokrasi kosmopolitan, masalah “kesepakatan bersama dalam masalah-masalah yang bersifat fundamental” juga merupakan syarat penting untuk dipenuhi. Dalam kerangka Uni Eropa, maka kesepakatan dalam demokrasi itu mengandung pula pengertian kesukarelaan masing-masing negara Eropa yang menjadi bagian dari sistem demokrasi Uni Eropa untuk menyerahkan kedaulatannya (sovereignty) dalam tingkatan tertentu atau menundukkan dirinya (patuh) terhadap pilihan-pilihan yang diambil oleh sistem demokrasi tersebut. Untuk hal itu, sebagai model global governance (wujud bangsa kosmopolitan) yang hendak menjalankan demokrasi kosmopolitan, tentunya Uni Eropa akan menghadapi permasalahan (tantangan).[51] Hal ini terbukti, salah satunya, ketika Uni Eropa mengalami kegagalan dalam referendum Konstitusi Eropa.[52]
Dari kegagalan dalam referendum Konstitusi Eropa, juga semakin jelas, bahwa proses perwujudan demokrasi kosmopolitan yang hendak dijalankan oleh sebuah bentuk global governance tidaklah mudah. Latar belakang yang dimiliki oleh masing-masing negara tentunya masih menjadi hambatan yang besar bagi pelaksanaan demokrasi kosmopolitan. Vicens Navarro, seorang kritikus terhadap politik jalan ke tiga, ketika ia bertindak sebagai penasehat Partai Sosialis Spanyol, berpendapat bahwa politik jalan ke tiga mengabaikan keragaman sifat Eropa.[53] Bila keragaman sifat Eropa itu terus diabaikan, maka program politik jalan ke tiga akan menemui jalan buntu.
III. Kesimpulan
Istilah demokrasi memiliki berbagai macam pengertian. Hal itu tergantung dari dengan istilah apa kemudian ia dipadukan. Ada yang dinamakan sebagai demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi kerakyatan, dan demokrasi nasional. Semua konsep itu maemakai istilah demokrasi, yang menurut asal kata memiliki arti rakyat berkuasa (government or rule by the people).
Bagaimana Giddens melalui jalan ke tiganya memandang demokrasi? Setidaknya Giddens memahami demokrasi dari 2 (dua) sudut pandang. Pertama, adalah demokrasi dalam fungsinya sebagai landasan otoritas, dan yang ke dua adalah demokrasi dalam hubungannya dengan globalisasi.
“Tidak ada otoritas tanpa demokrasi”, begitulah salah satu nilai yang terdapat di dalam politik jalan ke tiga. Dari pernyataan itu pula dapat dipahami kemudian, bahwa masalah demokrasi merupakan masalah yang penting untuk mendapatkan perhatian. Bahkan demokrasi ini menjadi syarat bagi pembentukan otoritas.
Dalam konteks globalisasi, politik jalan ke tiga menurut Giddens adalah politik satu bangsa. Giddens kemudian mengajukan istilah bangsa kosmopolitan. Untuk kelangsungan hidupnya, maka bangsa kosmopolitan itu harus mengembangkan demokrasi kosmopolitan. Demokrasi kosmopolitan itu merupakan gagasan “jauh ke depan” Giddens tentang pemerintahan global. Pemerintahan global tidak hanya merupakan gerak sejarah semata-mata, tetapi lebih dari itu, ia harus diupayakan perwujudannya, sebagai salah satu jalan menyelesaikan persoalan-persoalan bersama umat manusia.* * *


[1] I. Wibowo tulisan pengantar dalam Anthony Giddens, Jalan ke Tiga: Pembaruan Demokrasi Sosial [The Third Way: The Renewal of Social Democracy], diterjemahkan oleh Ketut Arya Mahardika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. ix-x.
[2] Apabila dihubungkan dengan pokok pembahasan politik jalan ke tiga yang terdapat dalam buku The Third Way ini, maka istilah kiri dapat merujuk pada pengertian demokrasi sosial lama (kiri lama), sedangkan kanan merujuk pada pengertian neoliberalisme (kanan baru). Lihat ibid., hal. 8-9. Istilah kiri dalam kajian bidang politik, biasanya diartikan sebagai semangat mengabdi atau berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Istilah tersebut bukan berasal dari marxisme, tetapi berasal dari tradisi politik liberal, yaitu istilah yang dipakai pada abad ke-19, untuk menunjuk pada ide-ide para wakil rakyat yang duduk di sebelah kiri ketua di ruang sidang parlemen Perancis. Banyak dari mereka yang duduk di sebelah kiri itu adalah kaum yang mengambil sikap oposisi terhadap kebijakan para politisi yang membela kepentingan pengusaha atau pemilik modal (sistem kapitalisme) dan juga terhadap para politisi nasionalis. Seringkali kaum kiri ini juga diidentikkan dengan kaum marxis dan komunis. Sekilas tentang penjelasan istilah kiri dan kanan itu, dapat dibaca pada ibid., hal. 43-53 dan Bonnie Setiawan, “Menyusuri Paradigma Alternatif Pasca-Kapitalisme: Menimbang Tradisi Kiri” dalam Muhidin Dahlan, ed., Sosialisme Religius: Suatu Jalan ke Empat? (Yogyakarta: Kreasi Wacana dan Komunitas Jurnalistik GORESAN HMI MPO Yogyakarta, 2002), hal. 53.
[3] Tentang keruntuhan sosialisme ini, biasanya dihubungkan dengan bubarnya Uni Soviet setelah terjadinya peristiwa kudeta 19 Agustus 1991. Setelah bubarnya Uni Soviet, 12 (dua belas) republik bekas anggota Uni Soviet, tidak termasuk Lithuania, Latvia dan Estonia, bergabung kembali dalam wadah Persemakmuran Negara-Negara Merdeka. Lihat Tjipta Lesmana, Runtuhnya Kekuasaan Komunis (sine loco: Erwin-Rika Press, 1992).
[4] Menurut Giddens, globalisasi “…biasanya dianggap berkaitan dengan perekonomian dan, seperti yang ditunjukkan oleh akar kata tersebut, melibatkan hubungan-hubungan global”. Kemudian ia menambahkan bahwa, “Globalisasi bukan hanya, atau bahkan terutama, tentang saling ketergantungan ekonomi, tetapi tentang transformasi waktu dan ruang dalam kehidupan kita”. Lihat Giddens, op. cit. hal. 33-35. Perdana Manteri Inggris, Tony Blair, sebagai salah satu pendukung politik jalan ke tiga, mempunyai pemahaman mengenai globalisasi sebagai berikut:
“Apa yang disebut globalisasi adalah perubahan sifat dari negara-bangsa sejalan dengan semakin kaburnya kekuasaan dan semakin keroposnya perbatasan. Perubahan teknologi memangkas kekuasaan dan kemampuan pemerintah untuk mengendalikan perekonomian dalam negerinya agar bebas dari pengaruh luar”.
Lihat David Yaffe, “Ekonomi-Politik Globalisasi” dalam Mc Global: Globalisasi dalam Perspektif Sosialis (Yogyakarta: Cubuc dan Sumbu, 2001), hal. 38.
[5] Giddens menuliskan bahwa, “Para demokrat sosial perlu menentang proteksionisme ekonomi dan kultural, teritori ekstrim kanan, yang melihat globalisasi sebagai ancaman…”. Lihat Giddens, op. cit. hal. 74.
[6] Giddens menuliskan bahwa:
“Politik jalan ke tiga tidak mengidentifikasikan globalisasi dengan dukungan yang menyeluruh terhadap perdagangan bebas. Perdagangan bebas dapat menjadi mesin pembangunan ekonomi, tetapi dengan adanya kekuatan pasar yang secara sosial dan kultural destruktif…”. Lihat ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid., hal. 75.
[9] Ibid. hal. 76.
[10] Ibid., hal. 75.
[11] Ibid., hal. 80.
[12] Ibid., hal. 178.
[13] H. Witdarmono, “Lebih Jauh dengan Anthony Giddens”, <http://www.kompas.com/kompas-cetak/0001/30/naper/lebi02.htm>, 30 Januari 2000.
[14] Bandingkan dengan semboyan politik The Third Way, “Tak ada hak tanpa tanggung jawab”. Giddens, op. cit., hal. 76.
[15] Witdarmono, op. cit.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Dalam The Third Way, Giddens menggunakan istilah demokrasi sosial lama (kiri lama) dan neoliberalisme (kanan baru). Lihat Anthony Giddens (a), Jalan ke Tiga: Pembaruan Demokrasi Sosial [The Third Way: The Renewal of Social Democracy], diterjemahkan oleh Ketut Arya Mahardika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hal. 8-9.
[19] H. Witdarmono, “Lebih Jauh dengan Anthony Giddens”, <http://www.kompas.com/kompas-cetak/0001/30/naper/lebi02.htm>, 30 Januari 2000.
[20] Giddens (a), op. cit., hal., 29.
[21] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 50.
[22] Satya Arinanto, Hukum dan Demokrasi (Jakarta: Ind Hill-Co, 1991), hal. 4-5.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Dalam Two Treatises of Government, John Locke berpendapat, bahwa negara itu didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud Locke itu tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Itulah hak-hak asasi manusia, dan menurut pendapat Locke, negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut. Untuk mencegah timbulnya negara absolut dan terjaminnya kehidupan civil society, Locke juga berbicara mengenai peran strategis konstitusi dalam membatasi kekuasaan negara yang dibayangkannya. Konstitusi ini mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai pembatasan terhadap kekuasaan negara. Konstitusi bagi Locke merupakan elemen yang sangat penting dalam suatu negara, karena di dalamnya termuat aturan-aturan dasar pembatasan kekuasaan dan hak-hak asasi warga negara. Aturan-aturan konstitusional ini tidak boleh dilanggar oleh penguasa negara. Lihat Franz Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 221-231.
[27] Budiarjo, op. cit., hal. 52.
[28] Ibid., hal. 53.
[29] Ibid., hal. 62-63.
[30] Nilai dasar dari demokrasi untuk menyelesaikan perselisihan secara damai ini, menimbulkan pemahaman bahwa demokrasi dapat bekerja sebagai sistem pengelolaan konflik tanpa menghasilkan kembali konflik. Lihat Peter Harris dan Ben Reilly, ed., Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator [Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for Negotiators], diterjemahkan oleh Lembaga Penerbitan, Pendidikan dan Pengembangan Pers Mahasiswa (LP4M) (Jakarta: International IDEA, 2000), hal. 20.
[31] Ian Shapiro mengatakan bahwa:
“… sejak dari awalnya, komitmen demokrasi mencakup penolakan terhadap gagasan bahwa kekuasaan politik harus menjadi warisan para raja, segelintir orang terpilih, atau mempercayakan kepada para ahli. Prinsip dasarnya selalu adalah rakyat mengatur dirinya sendiri berkaitan dengan persoalan-persoalan yang mempengaruhi kehidupan dan kepentingan kolektif mereka”.
Lihat Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik [The Moral Foundations of Politics], diterjemahkan oleh Theresia Wuryantari dan Trisno Sutanto (Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 206.
[32] Budiarjo, op. cit.
[33] Yasraf Amir Piliang adalah seorang penulis yang fokus kajiannya banyak mengarah pada masalah sosial dan kebudayaan postmodern. Mengingat dalam kajian postmodern batas-batas antara bidang yang satu dengan yang lainnya semakin memudar, begitu jugalah yang terjadi dalam kajian yang dilakukan oleh Piliang. Akibatnya, banyak tulisan Piliang, yang mau tidak mau, selain membahas masalah sosial dan kebudayaan membahas pula masalah di bidang politik dan ekonomi. Tulisannya yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, antara lain adalah Sebuah Dunia yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium ke Tiga dan Matinya Postmodernisme (1998), Hiper-Moralitas: Mengadili Bayang-Bayang (2003) dan Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial (2003).
[34] Yasraf Amir Piliang, Hiper-Moralitas: Mengadili Bayang-Bayang (Yogyakarta: Belukar, 2003), hal. 31.
[35] Ibid., hal. 32.
[36] Ibid., hal. 129-130.
[37] Ibid., hal. 132.
[38] I. Wibowo, “Anthony Giddens”, Kompas (28 Juni 2000).
[39] Giddens (a), op. cit., hal. 75.
[40] Pendapat Giddens ini bisa dibandingkan dengan Max Weber yang pada saat membicarakan tentang the bases of authority berpendapat bahwa ada 3 (tiga) macam dasar kewibawaan, yaitu: charismatisch gezag, traditioneel gezag, dan rationeel gezag. Untuk pendapat Weber itu, dapat dilihat pada Djokosoetono, Ilmu Negara (Jakarta: Ind Hill-Co, 2006), hal. 55-56.
[41] Giddens (a), op. cit., hal. 76.
[42] B. Hari Juliawan, “Dunia Sudah Berubah”, Majalah Filsafat Driyarkara No. 3 (April 2000): 51.
[43] Ibid.
[44] Giddens (a), op. cit., hal. 83-88.
[45] Ibid.
[46] Anthony Giddens (b), Jalan ke Tiga dan Kritik-Kritiknya [The Third Way and Its Critics], diterjemahkan oleh Imam Khoiri (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005), hal. 20. Untuk hal demokrasi politik yang tidak dibarengi dengan demokrasi ekonomi ini, menarik juga kiranya apabila diperhatikan (dibandingkan dengan) pendapat dari William Ebenstein dan Edwin Fogelman berikut:
“Pengalaman telah menunjukkan bahwa kalau prosedur politik dalam konsep demokrasi diterapkan dalam jangka waktu yang lama, maka prosedur itu akan dipakai juga dalam berbagai bidang yang lain, seperti kemasyarakatan, ekonomi, pendidikan, dan keagamaan. Dalam abad ke-18, demokrasi memperjuangkan tujuan yang pada dasarnya berciri politik, seperti perluasan hak pilih sampai menjangkau semua kelas dan penghapusan pembatasan kebebasan berbicara, berkumpul, dan kebebasan pers. Tetapi sejak pertengahan abad ke-19 dan selanjutnya, prosedur-prosedur dalam demokrasi politik semakin banyak digunakan sehingga memperluas konsep demokrasi dari bidang pemerintahan sampai pada bidang kemasyarakatan”.
Lihat William Ebenstein dan Edwin Fogelman, Isme-Isme Dewasa Ini [Today’s Isms], diterjemahkan oleh Alex Jemadu (Jakarta: Erlangga, 1990), hal. 197-198.
[47] Untuk hal ini, tampaknya Giddens setuju dengan konsep Reinventing Government dari David Osborne dan Ted Gaebler. Lihat Giddens (a), op. cit., hal. 86.
[48] Giddens (b), op. cit., hal. 15.
[49] Giddens (a), op. cit., hal. 178.
[50] Ebenstein, op. cit., hal. 198. Bandingkan dengan pendapat Piliang yang mengatakan:
“…Sikap yang di dalamnya tumbuh kehendak untuk memecahkan persoalan bersama, bukan kehendak untuk mendominasi kekuasaan tanpa mengindahkan pihak lain sebagai mitra dalam proses sosial”.
Lihat Piliang, op. cit., hal 130.
[51] Henry Simarmata, “Demokrasi Plural, Keynesianisme, dan Manajemen Global: Catatan mengenai Konteks Politik Jalan ke Tiga”, Majalah Filsafat Driyarkara No. 3 (April 2000): 37.
[52] Pada saat referendum Konstitusi Eropa diadakan pada tahun 2005 lalu, hasil yang mengejutkan terjadi di kantong pemungutan suara di Perancis (bulan Mei) dan Belanda (bulan Juni). Di Perancis dukungan terhadap Konstitusi Eropa hanya sebesar 45,3%, sedangkan di Belanda hanya sebesar 38,4%. Lihat Leonard Hutabarat, “Kegagalan Referendum Konstitusi Eropa: “Quo Vadis” Uni Eropa?”, Global: Jurnal Politik Internasional Vol. 8, No. 1 (November 2005): 90.
[53] Giddens (b), op. cit., hal. 26.

Daftar pustaka:
Arinanto, Satya. Hukum dan Demokrasi. Jakarta: Ind Hill-Co, 1991.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Dahlan, Muhidin, ed. Sosialisme Religius: Suatu Jalan ke Empat? Yogyakarta: Kreasi Wacana dan Komunitas Jurnalistik GORESAN HMI MPO Yogyakarta, 2002.
Djokosoetono. Ilmu Negara. Jakarta: Ind Hill-Co, 2006.
Ebenstein, William dan Edwin Fogelman. Isme-Isme Dewasa Ini [Today’s Isms], diterjemahkan oleh Alex Jemadu. Jakarta: Erlangga, 1990.
Giddens, Anthony. Jalan ke Tiga: Pembaruan Demokrasi Sosial [The Third Way: The Renewal of Social Democracy], diterjemahkan oleh Ketut Arya Mahardika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.
—–. Jalan ke Tiga dan Kritik-Kritiknya [The Third Way and Its Critics], diterjemahkan oleh Imam Khoiri. Yogyakarta: IRCiSoD, 2005.
Harris, Peter dan Ben Reilly, ed. Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator [Democracy and Deep-Rooted Conflict: Options for Negotiators], diterjemahkan oleh Lembaga Penerbitan, Pendidikan dan Pengembangan Pers Mahasiswa (LP4M). Jakarta: International IDEA, 2000.
Hutabarat, Leonard. “Kegagalan Referendum Konstitusi Eropa: “Quo Vadis” Uni Eropa?”, Global: Jurnal Politik Internasional Vol. 8, No. 1 (November 2005).
Lesmana, Tjipta. Runtuhnya Kekuasaan Komunis. Sine loco: Erwin-Rika Press, 1992.
Majalah Filsafat Driyarkara No. 3 (April 2000).
Piliang, Yasraf Amir. Hiper-Moralitas: Mengadili Bayang-Bayang. Yogyakarta: Belukar, 2003.
Saphiro, Ian. Asas Moral dalam Politik [The Moral Foundations of Politics], diterjemahkan oleh Theresia Wuryantari dan Trisno Sutanto. Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Wibowo, I. “Anthony Giddens”, Kompas (28 Juni 2000).
Witdarmono, H. “Lebih Jauh dengan Anthony Giddens”, <http://www.kompas.com>, 30 Januari 2000.
Yaffe, David, et al. Mc Global: Globalisasi dalam Perspektif Sosialis. Yogyakarta: Cubuc dan Sumbu, 2001.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS