TEORI HUKUM DAN PANDANGAN TOKOH
TEORI
HUKUM
Teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan
kejadian-kejadian dalam bidang hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian.
Menurut Radburch tugas dari teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh
postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar filsafat yang paling dalam.2)
Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum.
Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.Teori-Teori Hukum Pada Zaman Yunani-Romawi
Plato (427-347 sebelum Masehi) beranggapan bahwa hukum itu suatu keharusan dan penting bagi masyarakat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam “The Republik”, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Pelaksanaan keadilan dipercayakan kepada para pengatur pemerintahan yang pendidikan serta kearifannya bersumber pada ilham merupakan jaminan untuk terciptanya pemerintahan yang baik.3) Dan pada karyanya yang telah diperbaharui Plato mulai mengusulkan “negara hukum” sebagai alternatif suatu sistem pemerintahan yang lebih baik, dengan konsepnya mengenai negara keadilan yang dijalankan atas dasar norma-norma tertulis atau undang-undang.
Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur. Ia adalah seorang pendidik putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut Aristoteles hukum harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil.
Aristoteles juga membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.
Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan kepatutan. Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam penerapannya terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan tersebut, dengan mempertimbangkan hal yang bersifat individual.4)
Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum.
Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun Romawi telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum. Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.Teori-Teori Hukum Pada Zaman Yunani-Romawi
Plato (427-347 sebelum Masehi) beranggapan bahwa hukum itu suatu keharusan dan penting bagi masyarakat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam “The Republik”, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat. Pelaksanaan keadilan dipercayakan kepada para pengatur pemerintahan yang pendidikan serta kearifannya bersumber pada ilham merupakan jaminan untuk terciptanya pemerintahan yang baik.3) Dan pada karyanya yang telah diperbaharui Plato mulai mengusulkan “negara hukum” sebagai alternatif suatu sistem pemerintahan yang lebih baik, dengan konsepnya mengenai negara keadilan yang dijalankan atas dasar norma-norma tertulis atau undang-undang.
Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur. Ia adalah seorang pendidik putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut Aristoteles hukum harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil.
Aristoteles juga membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.
Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan kepatutan. Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam penerapannya terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan tersebut, dengan mempertimbangkan hal yang bersifat individual.4)
Pada Abad Pertengahan
Thomas Aquinas (1225-1275) adalah seorang rohaniawan Gereja Katolik yang lahir di Italia, belajar di Paris dan Kolin dibawah bimbingan Albertus Magnus.
Didalam membahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia sendiri. Hukum yang didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi (ius divinum positivum). Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama-tama ada hukum alam (ius nature), kemudian juga hukum bangsa-banga (ius gentium), akhirnya hukum positif manusiawi (ius positivum humanum).
Tentang hukum yang berasal dari wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum mendapat bentuknya dalam norma-norma moral agama. Seringkali norma-norma itu sama isinya dengan norma-norma yang umumnya berlaku dalam hidup manusia.
Untuk dapat menjelaskan hukum alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar Aristoteles. Aturan alam semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya. Oleh karena itu aturan alam ini harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex aeterna), yang terletak dalam hakekat Allah sendiri. Hakekat Allah itu adalah pertama-tama Budi Ilahi yang mempunyai ide mengenai segala ciptaan. Budi Ilahi praktis membimbing segala-galanya kearah tujuannya. Semesta alam diciptakan dan dibimbing oleh Allah, tetapi lebih-lebih manusia beserta kemampuannya untuk memahami apa yang baik dan apa yang jahat dan kecenderungan untuk membangun hidupnya sesuai dengan aturan alam itu. Oleh karena itu untuk hukum alam, Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan aturan hidup manusia , sejauh didiktekan oleh akal budinya. Hukum alam yang terletak dalam akal budi manusia itu (lex naturalis) tidak lain daripada suatu pertisipasi aturan abadi dalam ciptaan rasional.
Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu : hukum alam primer dan hukum alam sekunder. Hukum alam primer dapat dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat umum berlaku bagi semua manusia. Hukum alam sekunder dapat diartikan dalam norma-norma yang selalu berlaku in abstracto, oleh karena langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer, tetapi dapat terjadi juga adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu. Thomas Aquinas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar dan keadilan legal. Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum. Keadilan tukar-menukar menyangkut barang yang ditukar antara pribadi seperti misalnya jual beli. Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung keadilan legal.5)
Thomas Aquinas (1225-1275) adalah seorang rohaniawan Gereja Katolik yang lahir di Italia, belajar di Paris dan Kolin dibawah bimbingan Albertus Magnus.
Didalam membahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia sendiri. Hukum yang didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi (ius divinum positivum). Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama-tama ada hukum alam (ius nature), kemudian juga hukum bangsa-banga (ius gentium), akhirnya hukum positif manusiawi (ius positivum humanum).
Tentang hukum yang berasal dari wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum mendapat bentuknya dalam norma-norma moral agama. Seringkali norma-norma itu sama isinya dengan norma-norma yang umumnya berlaku dalam hidup manusia.
Untuk dapat menjelaskan hukum alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar Aristoteles. Aturan alam semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya. Oleh karena itu aturan alam ini harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex aeterna), yang terletak dalam hakekat Allah sendiri. Hakekat Allah itu adalah pertama-tama Budi Ilahi yang mempunyai ide mengenai segala ciptaan. Budi Ilahi praktis membimbing segala-galanya kearah tujuannya. Semesta alam diciptakan dan dibimbing oleh Allah, tetapi lebih-lebih manusia beserta kemampuannya untuk memahami apa yang baik dan apa yang jahat dan kecenderungan untuk membangun hidupnya sesuai dengan aturan alam itu. Oleh karena itu untuk hukum alam, Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan aturan hidup manusia , sejauh didiktekan oleh akal budinya. Hukum alam yang terletak dalam akal budi manusia itu (lex naturalis) tidak lain daripada suatu pertisipasi aturan abadi dalam ciptaan rasional.
Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu : hukum alam primer dan hukum alam sekunder. Hukum alam primer dapat dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat umum berlaku bagi semua manusia. Hukum alam sekunder dapat diartikan dalam norma-norma yang selalu berlaku in abstracto, oleh karena langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer, tetapi dapat terjadi juga adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu. Thomas Aquinas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar dan keadilan legal. Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum. Keadilan tukar-menukar menyangkut barang yang ditukar antara pribadi seperti misalnya jual beli. Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung keadilan legal.5)
Teori-Teori Pada Abad XIX
dan Selanjutnya
Positivisme dan Utilitarianisme
Selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk mengubah keadaan dalam segala bidang. Dalam abad ini pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu hukum.
Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari positivisme sebagai berikut :6)
1. Hukum adalah perintah.
2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
4. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti terhadap positivisme ini.
Berbeda dengan John Austin (1790-1859), yang menyatakan bahwa hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara secara memaksakan, dan biasanya ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi didalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate sources).
John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurut John Austin, tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat didalam suatu negara.
Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan.7)Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar dari sejumlah terbesar rakyat.
Rudolph von Jhering sering disebut sebagai “social utilitarianism”. Ia mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.
Rudolph von Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang “tujuan”, seperti dikatakannya didalam salah satu bukunya yaitu bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan. Ia mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, tetapi menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah, bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari. Hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.8)
John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan jeremy bentham, yaitu bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan. Standar keadilan hendaknya didasarkan kepada kegunaannya. Akan tetapi Ia berpendapat, bahwa asal usul kesadaran akan keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut John Stuart Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lainyang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan dengan demikian, mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.9)
Teori Hukum Murni
Hans Kelsen (1881-1973),adalah pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum murni).Teori hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya.
Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut :10)
1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity)
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik
6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa didalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.
Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu.
Hans Kelsen (1881-1973),adalah pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum murni).Teori hukum murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya.
Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut :10)
1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity)
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik
6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa didalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.
Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu.
TEORI KEADILAN JOHN RAWLS PEMAHAMAN SEDERHANA BUKU A THEORY OF JUSTICE
Teori Keadilan John Rawls Pemahaman Sederhana Buku A
Theory Of Justice
Di dalam perkembangan
pemikiran filsafat hukum dan teori hukum, tentu tidak lepas dari konsep
keadilan. Konsep keadilan tindak menjadi monopoli pemikiran satu orang ahli
saja. Banyak para pakar dari berbegai didiplin ilmu memberikan jawaban
apa itu keadilan. Thomas Aqunas, Aristoteles, John Rawls, R. Dowkrin, R. Nozick
dan Posner sebagian nama yang memberikan jawaban tentang konsep keadilan.
Dari beberapa nama
tersebut John Rawls, menjadi salah satu ahli yang selalu menjadi rujukan baik
ilmu filsafat, hukum, ekonomi, dan politik di seluruh belahan dunia, tidak akan
melewati teori yang dikemukakan oleh John Rawls. Terutama melalui karyanya A
Theory of Justice, Rawls dikenal sebagai salah seorang filsuf Amerika
kenamaan di akhir abad ke-20. John Rawls dipercaya sebagai salah seorang yang
memberi pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus mengenai nilai-nilai
keadilan hingga saat ini.
Akan tetapi, pemikiran
John Rawls tidaklah mudah untuk dipahami, bahkan ketika pemikiran itu telah
ditafsirkan ulang oleh beberapa ahli, beberapa orang tetap menggap sulit untuk
menangkap konsep kedilan John Rawls. Maka, tulisan ini mencoba memberikan
gambaran secara sederhana dari pemikiran John Rawls, khususnya dalam buku A
Theory of Justice. Kehadiran penjelasan secara sederhana menjadi penting,
ketika disisi lain orang mengangap sulit untuk memahami konsep keadilan John
Rawls.
Teori keadilan Rawls
dapat disimpulkan memiliki inti sebagai berikut:
- Memaksimalkan kemerdekaan. Pembatasan terhadap kemerdekaan ini hanya untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri,
- Kesetaraan bagi semua orang, baik kesetaraan dalam kehidupan sosial maupun kesetaraan dalam bentuk pemanfaatan kekayaan alam (“social goods”). Pembatasan dalam hal ini hanya dapat dizinkan bila ada kemungkinan keuntungan yang lebih besar.
- Kesetaraan kesempatan untuk kejujuran, dan penghapusan terhadap ketidaksetaraan berdasarkan kelahiran dan kekayaan.
Untuk meberikan jawaban
atas hal tersebut, Rows melahirkan 3 (tiga) pronsip kedilan, yang sering
dijadikan rujukan oleh bebera ahli yakni:
- Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
- Prinsip perbedaan (differences principle)
- Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Rawls berpendapat jika
terjadi benturan (konflik), maka: Equal liberty principle harus
diprioritaskan dari pada prinsip-prinsip yang lainnya. Dan, Equal opportunity
principle harus diprioritaskan dari pada differences principle.
Dariman tiga prinsip tersebut dilahirkan? Untuk
memahami hal tesebut, kita dapat mulai dari gambar dibawah ini.
Pembahasan dibawah ini,
akan mengacu kepada penomoran yang terdapat pada gambar di atas.
Poin 1.
Keadilan adalah
Kejujuran (Justice as Fairness) Masyarakat adalah kumpulan individu
yang di satu sisi menginginkan bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi
kumpulan individu – tetapi disisi yang lain – masing-masing individu
memiliki pembawaan serta hak yang berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur
dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu Rows mencoba memberikan jawaban atas
pertanyaan, bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan yang berbeda
disatupihak dengan keinginan untuk bersama demi terpenuhnya kebutuhan bersama?
Poin 2
Selubung Ketidaktahuan
(Veil of Ignorance)
- Setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang.
- Orang-orang atau kelompok yang terlibat dalam situasi yang sama tidak mengetahui konsepsi-konsepsi mereka tentang kebaikan.
Poin 3
Posisi Original
(Original Position)
- Situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat
- Tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya.
- Pada keadaan ini orang-orang dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang.
“Posisi Original” yang
bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri
Rasionalitas (rationality), Kebebasan (freedom), dan Persamaan (equality). Guna
mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).
Poin 4
Prinsip Kebebasan yang
Sama (equal liberty principle)
Setiap orang memiliki
hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel
dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. “Setiap orang mempunyai
kebebasan dasar yang sama”
Dalam hal ini kebebasan-kebebasan
dasar yang dimaksud antara lain:
- kemerdekaan berpolitik (political of liberty),
- kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression),
- kebebasan personal (liberty of conscience and though).
- kebebasan untuk memiliki kekayaan (freedom to hold property)
- Kebebasan dari tindakan sewenang-wenang.
Poin 5
Prinsip
Ketidaksamaan (inequality principle)
- Difference principle (prinsip perbedaan) – Ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.
- Equal opportunity principle (prinsip persamaan kesempatan)- Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil.
Jadi sebenarnya ada 2
(dua) prisip keadilan Rows, yakni equal liberty principle dan
inequality principle. Akan tetapi inequality principle
melahirkan 2 (dua) prinsip keadilan yakni Difference principle dan Equal
opportunity principle, yang akhirnya berjunlah menjadi 3 (tiga) prisip,
dimana ketiganya dibangun dari kotrusi pemikiran Original Position.
ILMU HUKUM “SUI GENERIS”
Berhubungan dengan
tulisan sebelumnya tentang Etnografi, maka dianggap perlu adanya suatu tulisan
yang menekankan pada metode penelitian hukum. Metode penelitian hukum bertumpu pada metode doktinal dalam kajian hukum positif, penggunaan metode diluar hukum
“metode empiris” –salah satunya etnografi yg pernah di bahasa dalam blog
ini- dapat digunakan selama
diperlukan. Penggunaan metode
dalam prespektif yang berbeda harus dijelasakan dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Positivisme yang dirintis A. Comte menyatakan bahwa hukum berkembang
melalui tiga tahap (law of the three stages) yakni tahap teologis,
tahap metafisi dan tahap positif. Positivisme memiliki lima asumsi dasar yaitu:
(i) Asumsi pertama adalah logika empirisme. Dalam konteks ini, positivisme menyakini
bahwa setiap kebenaran harus melewati pembuktian secara empiris; (ii) Asumsi
kedua adalah realitas objektif. Realitas dalam positivisme adalah segala
sesuatu yang berobjek kajian tunggal; (iii) Asumsi ketiga adalah reduksionisme.
Sesuatu yang tidak dapat direduksi dipandang bukan objek kajian ilmiah; (iv)
Asumsi keempat adalah determinisme. Sesuatu bersifat determinan apabila tunduk
pada hukum sebab-akibat (kausalitas); (v) Asumsi kelima adalah bebas nilai.
(Shidarta, Positivisme hukum, 2007, hlm. 2-3).
Pemikiran A. Comte ini
melandasi aliran Postivisme Logis. Postifisme Logis, merupakan
suatu aliran yang menguat pada abad ke-20 melalui komunitas yang menamakan
dirinya dengan Lingkaran Wina (Der Wiener Kries).(Shidarta, Positivisme
Hukum, 2007, hlm. 4) Aliran ini beranggotakan sejumlah ilmuan dan filsuf
diantaranya yang Morits Schlick, Rudolf Carnap, Philipp Frank, Viktor Kraft,
Herbert Feigl dan Friedrich Waismann (Bernard Arief Sidharta, Refleksi
Struktur Ilmu Hukum, 2009, hlm. 85). Dari pertemuan ini diterbitkan sebuah
risalah yang berjudul “Wisseinschaftliche Weltauffasung. Der
Wiener Kreis”. Adapun aliran ini memiliki pandangan, sebagai berikut:
- Hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang sah dan pengetahuan ilmiah itu harus bersifat empiris, artinya hanya kenyataan yang dapat diobserfasi pancaindera yang dapat menjadi objek ilmu.
- Terdapatnya asas verifikasi, yakni putusan ilmiah adalah benar hanya jika putusan itu dapat diferifikasi secara empiris, yaitu dapat diuji pada kenyataan yang dapat diobservasi.
- Positivisme adalah aliran yang menyakinkan bahwa pengetahuan manusia bersifat objektif, yang diperoleh melalui penyidikan empirik dan rasional.
- Menolak proposisi-proposis metafisis yang menonjol pada abab pertengahan.
- Positifisme logis berpegang pada empat asas (1) Empiris, (2) Postivisme, (3) Logika, (4) Kritik Ilmu.
Aliran Postivisme
Logis tersebut memiliki dampak terhadap perkembangan ilmu hukum, antara laian
metode di dalam ilmu hukum. Metode yang terdapat pada postivisme lagis memiliki
ciri sebagai berikut:
- Metode untuk memperoleh pengetahuan ilmiah adalah metode empirik.
- Menggunakan merode induksi yakni cara memperoleh pengetahuan dengan jalan bertolak dari (sejumlah) data terberi khusus lewat generalisasi sampai pada putusan atau dalil umum.
- Berdasarkan fakta yang terobservasi menarik kesimpulan umum dan kemudian dengan menggunakan bahasa yang secara logika konsisten mengkonstuksikan teori ilmiah berkenaan dengan objek yang diteliti.
- Produknya berupa teori ilmiah sekaligus juga merupakan hipotesa yang dapat diuji kembali.
Dengan demikian
Positivisme Logis yang dari dimensi keilmuan dipandang sangat mempengaruhi
positivisme hukum yakni adanya penggunaan pendekatan empiris.
Secara terperinci, dampak dari dari pemikiran postivisme terhadap
metode penelitian hukum, yaitu: (Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi
Penelitian Hukum Normatif, 2007, hlm. 88-89)
- berkembangnya ilmu hukum dengan menggunakan format ilmu sosial yang mengunakan metode empiris.
- Beberapa ilmuan hukum merasa lebih percaya diri apabila menggunakan pendekatan sosial empiris.
- Penggunaan format metode empiris dinilai lebih ilmiah karena dapat dikuantifikasi dan digunaknnya rumus-rumus ilmu pasti (ilmu eksakta) untuk menjamin pembuktian ilmiah dari segi empiris.
Padahal dalam
kenyataannya, positivisme hukum justru menunjukkan pola berpikir yang bertolak
belakang sama sekali, yaitu dengan menggunakan logika deduktif atau pendekatan
doktrinal bersumber kepada norma positif dalam sistem
perundang-undangan yang dipandang benar secara self evident.
(Shidarta, Positivisme Hukum, 2007, hlm. 7). Ilmu hukum adalah
“SUI GENERIS” yang berarti ilmu hukum merupakan ilmu yang jenis
sendiri. Ilmu hukum memiliki cara kerja yang khas dan sistem ilmiah yang
berbeda karena memiliki obyek kajian yang berbeda.
Ilmu Hukum
memiliki Tatanan/lapisan Ilmu sendiri, menurut T Gijssels, terdiri dari
Filsafat Hukum, Teori Hukum dan Dogmatik Ilmu Hukum. Secara singkat perngertian ketiganya adalah
dogmatik hukum Studi secara ilmiah tentang hukum pada tataran
ilmu-ilmu positif. Teori hukum Studi yang obyek telaahnya
adalah tatanan hukum sebagai suatu sistem. Dan, filsafat hukum Studi
yang objek telaahnya adalah hukum sebagai demikian (law as such). (B.
Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum, 2008, hlm. vii). Dogmatik hukum merupakan cabang
disiplin hukum yang paling konkret, sedangkan filsafat hukum berada pada
tataran paling abstrak. Oleh karena jarak di anatara keduanya sangat lebar, maka
diperlukan cabang disiplin hukum yang mampu menjebatani keduannya,
yakni teori hukum. (Shidarta, Pemetaan Aliran-aliran Pemikiran Hukum dan
Konsekwensi Metodologisnya, 2009, hlm. 156)
Karakter “SUI GENERIS”
menunjukan bahwa dalam ilmu hukum jangan pernah -tidak dapat- menyampingkan
karateristik normatifnya, yakni pada saat ilmu hukum memiliki sifat empiris
anatilisnya. Keberadaan sifat empiris analitisnya karena Ilmu hukum
merupakan “Ilmu Praktis yang bersifat normologis”. Ilmu Praktis
Nomologis, berusaha memperoleh pengetahuan faktual-empiris. Yakni pengetahuan
tentang hubungan yang ajeg yang berlaku antara dua hal atau lebih berdasarkan
asas kausalitas deterministik. Contoh: Jika A (ada atau terjadi), maka B (ada
atau terjadi). Selain itu, Ilmu Praktis Normologis disebut
ilmu normatif, berusaha menemukan hubungan antara dua hal atau lebih
berdasarkan asas imputasi. Asas Imputasi adalah (menautkan
tanggungjawab/kewajiban) untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban
subyek tertentu dalam situasi konkrit tertentu, sehubungan tela terjadi
perbuatan atau pristiwa atau keadaan tertentu, namum dalam kenyataan apa yang
seharusnya terjadi tidak niscahaya dengan sedirinya terjadi. Contoh: Jika A
(terjadi atau ada) maka seyogyanya B (terjadi). Ilmu hukum mengarah pada
refleksi pemecahan masalah-masalah konkrit dalam masyarakat. Berbeda dari
hakikat ilmu hukum empiris sebagai bagian dari ilmu sosial yang dipelajari
untuk meramalkan proses sosial. (Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi
Penelitian Hukum Normatif, 2007, hlm. 50)
Dari penjelasan
tersebut berarti, terdapat perbedaan ilmu hukum normatif
dengan dengan ilmu hukum empris yang merupakan ilmu sosial.
Ilmu hukum normatif merupakan ilmu praktis, mengubah keadaan serta menawarkan
penyelesaian terhadap problem masyarakat. Ilmu hukum memiliki
karatersitik yang khas yang berbeda dengan ilmu lainnya.
Oleh karena
itu, Konsekwensi terhadap metode penelitian hukum yakni (Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian
Hukum Normatif, 2007, hlm. 161-163): pertama, dalam melakukan penelitian
hukum yang digunakan metode normatif, yakni metode doktrinal
dengan optik preskriptif untuk menemukan hukum secara hermeneutis. Kaedah
tersebut menentukan apa yang menjadi kewajiban dan hak yuridis dari subyek
hukum. Kedua, Metode penelitian hukum bertumpu pada metode
doktinal dalam kajian hukum positif, penggunaan metode diluar hukum “metode
empiris” dapat digunakan selama diperlukan.
Penggunaan metode dalam prespektif yang berbeda harus dijelasakan dan
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Be the first to like this post.
Metode Etnografi
A. Pendahuluan
Dalam bangunan disilin hukum, ilmu-ilmu hukum bukan hanya ilmu
hukum normatif tetapi juga ilmu hukum empirik. Meuwissen, menjelaskan bahwa
dalam pengembanan ilmu hukum salah satu aspeknya adalah pengembanan hukum
teoritikal.[1] Pengembanan hukum teoritikal
adalah kegiatan akal budi untuk memperoleh penguasaan intelektual atas hukum
atau pemahaman hukum secara ilmiah.[2] Pengembanan hukum secara teoritikal dibedakan atas 3 (tiga) hal
yakni ilmu-ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Ilmu-ilmu hukum
merupakan ilmu yang paling rendah abstraksinya. Ilmu-imu hukum terdiri
atas ilmu hukum normatif dan ilmu hukum emprik.
Ilmu hukum normatif, disebut pula dengan istilah dogmatikal hukum
(Rechtsdogmatiek) istilah lainnya ilmu hukum praktikal atau ilmu hukum
postif. Fokus kajiannya adalah pada hukum yang berlaku das Solleh-Sein.[3] Ilmu hukum empiris
mempelajari hukum sebagai perikelakuan atau sikap tindak. Mempelajari hukum
dengan pendekatan eksternal, yakni bearti titik tolaknya mengamati berlakunya
hukum di dalam masyarakat, fokus kajiannya adalah pada hukum yang berlaku Das
sein-Sollen. Ilmu tentang kenyataan terdiri dari: Sosiologi Hukum,
Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Perbandingan Hukum dan Sejarah Hukum.[4]
Dari pendapat tersebut, berarti Ilmu-ilmu hukum tidak hanya
mempelajari hukum postif saja, ilmu hukum mempelajari ilmu-ilmu diluar hukum
dengan titik tolak hukum. Bahkan, sekarang ini beberapa ahli hukum berpendapat
bahawa hukum tidaklah bebas nilai, kosep teori muni tentang hukum tidak dapat
menjawab permasalahan hukum. Oleh karena itu, dalam perumusan suatu norma hukum
sebelum norma sah sebagai hukum postif, beberapa ahli hukum menilai perlu
dilakukan pengkajian hukum secara empiris baik dengan pendekatan sosiologis,
atropologis atau yang lainnya. Maka, metode penelitian diluar hukum mejadi
penting untuk di pelajari. Berkaitan dengan tulisan ini, penulis mencoba
membahas metode penelitian yang digunakan dalam ilmu antropologi, yang kemudian
dianalisa terhadap beberapa contoh penelitian hukum. Penulis menyimpulkan bahwa
metode tersebut dapat digunakan dalam melakukan penelitian hukum bahkan dapat
meperoleh data yang dalam dan memberikan solusi yang nyata.
B. Penelitian Lapangan (Field Research)
Menurut Kanneth D. Bailey istilah studi lapangan merupakan istilah
yang sering digunakan bersamaan dengan istilah studi etnografi (ethnographic
study atau ethnography).[5] Lawrence Neuman juga
menjelasakan bahwa penelitian lapangan juga sering disebut etnografi atau
panelitian participant observation.[6] Akan tetapi, menurut Neuman etnografi hanyalah merupakan
perluasan dari penelitian lapangan. Etnografi mendefinisikan kembali bagaimana
penelitian lapangan harus dilakukan. [7] Menurut Roice Singleton, penelitian lapangan berasal dari
dua tradisi yang terkait yakni antropologi dan sosiologi, dimana etnografi
merupakan studi antropologi dan etnomethodologi merupakan studi sosiologi.[8] Etnografi memberikan jawaban atas pertanyaan apakah budaya suatu
kelompok individu, sedangkan etnomethodologi memberikan jawaban atas
bagaimanakah orang memahami kegiatan mereka sehari-hari sehingga mereka dapat
berprilaku dengan cara yang diterima secara sosial.[9]
Menurut Neuman penelitian lapangan merupakan penelitian kualitatif
di mana peneliti mengamati dan berpartisipasi secara langsung dalam penelitian
skala sosial kecil dan mengamati budaya setempat.[10] Banyak mahasiswa senang
dengan penelitian lapangan karena terlibat langsung dalam pergaulan beberapa
kelompok orang yang memiliki daya tarik khas. Tidak ada matematika yang
menakutkan atau statistik yang rumit, tidak ada hipotesis deduktif yang
abstrak. Sebaliknya, adanya interaksi sosial atau tatap muka langsung dengan
“orang-orang yang nyata” dalam suatu lingkungan tertentu.[11]
Dalam penelitian lapangan, peneliti secara individu berbicara dan
mengamati secara langsung orang-orang yang sedang ditelitinya. Melalui
interaksi selama beberapa bulan atau tahun mempelajari tetang mereka, sejarah
hidup mereka, kebiasaan mereka, harapan, ketakutan, dan mimpi. Peneliti bertemu
dengan orang atau komunitas baru, mengembangkan persahabatan, dan menemukan
dunia sosial baru, hal ini sering dianggap menyenangkan. Akan tetapi,
penelitian lapangan juga memakan waktu, menguras emosional, dan kadang-kadang
secara fisik berbahaya.[12]
Kapan sebaiknya kita menggunakan penelitian lapangan? Penelitian
lapangan dilakukan ketika pertanyaan penelitian mencakup belajar tentang, memahami,
atau menggambarkan interaksi sekelompok orang. Hal ini biasanya dilakukan jika
pertanyaannya adalah: Bagaimana orang Y di dunia sosial? atau Seperti apakah
dunia sosial dari X? Hal ini dapat digunakan ketika metode lain (misalnya,
survei, eksperimen) dianggap tidak praktis. Douglas menyatakan bahwa sebagian
dari apa yang peneliti sosial benar-benar ingin belajar, dapat dipelajari hanya
melalui keterlibatan langsung seorang peneliti di lapangan.[13]
C. Etnografi
Etnografi berasal dari budaya anthropology.[14] Etno berarti
orang atau bangsa, sedangkan graphy mengacu pada menggambarkan. Jadi
etnografi berarti menggambarkan suatu budaya dan cara lain memahami cara hidup
dari sudut pandang asli.[15] Hal ini berarti, peneliti yang menggunakan penelitian etnografi
berusaha memahami budaya atau aspek-aspek budaya melalui serangkaian pengamatan
dan penafsiran prilaku manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya.
Etnografi secara modern diperkenalkan oleh Franz Boas dan Bronislaw
Malianowski, sebelumnya etnografi digunakan untuk memberikan kesaksian dari
penjelajah, misionaris, dan pencarian data pejabat kolonial.[16]
Etnografi mengasumsikan bahwa seorang peneliti dalam membuat
kesimpulan, melampaui apa yang dilihat atau dikatakan secara eksplisit dari apa
yang dimaksud atau tersirat. Dengan kata lain, pengamatan tidak dilakukan
dipermukaan tetapi dilakukan dengan pengkajian yang mendalam. Antropolog
Clifford Geertz menyatakan bahwa bagian penting dari etnografi adalah deskripsi
yang kaya, penjelasan yang spesifik dan rinci (sebagai lawan dari ringkas,
standar, dan general).[17] Oleh karena itu, untuk
mendapatkan hasil tersebut seorang peneliti harus dapat hidup secara khusus
dalam waktu yang lama di dalam suatu komunitas sosial.
Etnografi oleh Spradley dan McCurdy didefinisikan sebagai “Tugas
menggambarkan kebudayaan tertentu.” Sebagaimana telah dijelasakan di atas,
Etnografi adalah metode utama yang digunakan oleh antropolog budaya untuk
mempelajari kebudayaan yang relatif primitif. Namun, metode etnografi juga
dapat digunakan dalam masyarakat yang kompleks seperti kelompok-kelompok dalam
masyarakat kota yang memiliki kelompok subkultur tersendiri. Sejumlah contoh
lain dari etnografi perkotaan sebagaimana dilakukan oleh Spradley dan McCurdy
(1972), termasuk etnografi dari sebuah toko perhiasan perkotaan, orang tua,
pramugari maskapai penerbangan, dan pemadam kebakaran.[18] Patton mengutip pendapat Agar, menegaskan bahwa metode etnografi
dalam antropologi medern digunakan untuk mempelajari masyarakat kontemporer dan
masalah-masalah sosial, seperti kecanduan.[19]
Karena tujuan dari metode etnografi untuk menggambarkan budaya
tertentu, etnografi pada umumnya hanya memiliki beberapa hipotesis dan tidak
ada kuesioner terstruktur.[20] Bahkan, menurut Flood
seorang peneliti yang menggunakan penelitian etnografi tidak wajib menyusun
kerangka teori terlebih dahulu. Peneliti tidak mengetahui dengan persis hasil
dari sebuah penelitian, peneliti dapat menampilkan pernyataan teoritis baru
saat proses peneltian berlangsung. Gaya bergulir dalam melahirkan teori ini
disebut Flood “organisational epistemologi”.[21]
Tujuan penelitian etnografi adalah untuk menggambarkan budaya atau
subkultur dengan serinci mungkin, termasuk bahasa, adat istiadat, nilai-nilai,
upacara keagamaan, dan hukum.[22] Berarti secara umum
penelitian etnografi memiliki tujuan menemukan dan menggambarkan budaya suatu
masyarakat atau organisasi tertentu. Fokus penelitiannya adalah pola-pola yang
tercermin dalam sikap tidak dan prikelakuan masyarakat atau organisasi yang
diteliti. Adapun yang dicari dalam penelitian ini berarti bukan hal yang tampak,
melainkan yang terkandung dalam hal yang nampak tersebut.
Penelitian etnografi berfokus pada pertanyaan: “Apakah budaya
sekelompok orang”, maka metode utama ahli etnografi adalah observasi dalam
tradisi antropologi.[23]Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang dilakukan
intensif di mana peneliti terbenam dalam budaya yang diteliti.[24] Hal ini berarti peneliti masuk dalam budaya yang diteliti atau
sering disebut dengan in depth studies. Gagasan budaya merupakan inti
etnografi. Asumsi penting penelitian etnografi adalah bahwa setiap kelompok
manusia secara bersama-sama untuk jangka waktu tertehtu akan berkembang budaya.
Budaya adalah kumpulan pola perilaku dan keyakinan yang merupakan “standar
untuk memutuskan apa yang ada, standar untuk menentukan apa yang dapat, standar
untuk menentukan bagaimana seseorang merasa tentang suatu hal, standar untuk
memutuskan apa yang harus dilakukan tentang suatu hal, dan standar untuk
memutuskan bagaimana untuk melakukan hal itu”.[25]
Umumnya penelitian etnografi mensyaratkan seorang peneliti yang
berpengalaman, peneliti harus dapat membenamkan dirinya dalam budaya masyarakat
yang ia teliti. Bahkan, tujuan peneliti dalam studi etnografi sebenarnya untuk
bersosialisai dirinya sendiri ke dalam budaya yang ia mencoba untuk dijelaskan.
Peneliti mencoba untuk melupakan apa yang ia telah diajarkan oleh budaya
sendiri dan menjadi bagian dari budaya yang ia pelajari, bahkan hal ini menjadi
masalah ketika ia kembali kepada kebuadayaan semula.[26] Jelas, tidak semua orang umumnya dapat sepenuhnya bersosilisasi.
Oleh karena itu, didalam kenyataannya suku, masyarakat, atau subkultur yang
dipelajari dapat tidak menerima kehadiran peneliti (orang luar) dan tidak
diperbolehkan menjadi bagain kelompok tersebut secara penuh bahkan tidak
diijinkan tinggal di antara mereka.
Hal ini berarti seorang yang akan melakukan penelitian etnografi
harus memiliki latar belakang pengetahuan yang menunjang penelitiannya,
mengetahui dengan jelas obyek yang akan diteliti atau dipelajari. Peneliti juga
harus mengetahi cara melakukan penelitian agar diperoleh hasil yang sesuai
dengan situasi yang sebenarnya. Untuk mendapatkan data yang lengkap dan mendalam
tentang apa yang diteliti, peneliti harus terjun dalam kehidupan masyarakat
yang diteliti, dan sebagaimana telah di jelasakan diatas sering membutuhkan
jangka waktu yang panjang.
Etnografi pada hakikatnya bertujuan untuk menguraikan budaya
tertentu secara holistik,[27] yaitu aspek budaya baik
spiritual maupun material. Uraian tersebut kemudian akan mengungkapkan
pandangan hidup dari sudut pandang penduduk setempat. Selain analisis data yang
dilakukan secara holistic -bukan parsial, ciri-ciri lainnya dari penelitian
etnografi adalah: (a) sumber data bersifat ilmiah, artinya peneliti harus
memahami gejala empirik (kenyataan) dalam kehidupan sehari-hari; (b) peneliti
sendiri merupakan instrumen yang paling penting dalam pengumpulan data; (c)
bersifat menggabarkan (deskripsi), artinya, mencatat secara teliti fenomena
budaya yang dilihat, dibaca, lewat apa pun termasuk dokumen resmi, kemudian
mengkombinasikan, mengabstrakkan, dan menarik kesimpulan; (d) digunakan untuk
memahami bentuk-bentuk tertentu (shaping), atau studi kasus; (e) analisis
bersifat induktif; (f) di lapangan, peneliti harus berperilaku seperti
masyarakat yang ditelitinya; (g) data dan informan harus berasal dari tangan
pertama; (h) kebenaran data harus dicek dengan dengan data lain (data lisan
dicek dengan data tulis); (i) orang yang dijadikan subyek penelitian disebut
partisipan (buku termasuk partisipan juga), konsultan, serta teman sejawat; (j)
titik berat perhatian harus pada pandangan emik, artinya, peneliti harus
menaruh perhatian pada masalah penting yang diteliti dari orang yang diteliti,
dan bukan dari etik; (k) dapat menggunakan data kualitatif maupun kuantitatif,
namun sebagian besar menggunakan kualitatif. [28] Berdasarkan ciri-ciri tersebut, dapat dipahami bahwa etnografi
merupakan model penelitian budaya yang khas.
John Lofland menggambarkan unsur-unsur kunci dalam strategi
penelitian etnografi, yakni:[29] Generic Propositions.
Ahli etnografi pada akhirnya berkomitmen untuk membangun proposisi umum
mengenai pola-pola kehidupan sosial manusia. Beberapa pola-pola ini adalah
deskriptif (seperti frekuensi kejadian tertentu) dan penjelasan (seperti apa
yang menyebabkan beberapa jenis perilaku). Unfettered Inquiry. Peneliti
lapangan menunjukkan bahwa pada dasarnya memiliki pandangan bahwa segala
sesuatu adalah permainan yang adil. Dan, Deep Familiarity. Sedapat
mungkin peneliti menempatkan diri pada posisi orang yang ingin dipahami.
Ada 2 (dua) pijakan teoritis yang memberikan penjelasan tentang
model etnografi, yiatu interaksi simbolik dan aliran fenomonologi.[30] Menurut Spradley dalam teori
interaksi sibolik, budaya dipandang sebagai sistem simbolik dimana makna tidak
berada dalam benak manusia, tetapi simbol dan makna itu terbagi dalam aktor
sosial (di antara, bukan di dalam, dan mereka adalah umum, tidak mempribadi).[31]
Budaya adalah lambang-lambang makna yang terbagi (bersama). Budaya
juga merupakan pengetahuan yang didapat seseorang untuk menginterpretasikan
pengalaman pengalaman dan menyimpulkan perilaku sosial. Teori ini mempunyai
tiga premis, yaitu (1) tindakan manusia terhadap sesuatu didasarkan atas makna
yang berarti baginya, (2) makna sesuatu itu diderivasikan dari atau lahir di
antara mereka dan (3) makna tersebut digunakan dan dimodifikasi melalui proses
interpretasi yang digunakan manusia untuk menjelaskan sesuatu yang ditemui.[32]
Ketiga premis ini kemudian dikembangkan menjadi ide-ide dasar dari
interaksi simbolik. Menurut Poloma ide-ide dasar itu menyebutkan bahwa (a)
masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi dan membentuk apa yang
disebut organisasi atau struktur sosial (b) interaksi yang berbagai kegiatan
manusia yang berhubungan dengan manusia lain ini bisa merupakan non-simbolik
bila mencakup stimulus respon yang sederhana, ataupun simbolik mencakup
“penafsiran tindakan”; (c) obyek itu sendiri tidak memiliki makna intrinsik,
makna lain merupakan produk interaksi simbolik, artinya dunia obyek
“diciptakan, disetujui, ditransformir, dan dikesampingkan” lewat interaksi
simbolik; (d) bahkan manusia sendiri tidak mengenal obyek eksternal, mereka
dapat melihat dirinya sebagai obyek, pandangan hidup terhadap dirinya ini lahir
saat proses interaksi simbolik (e) tindakan manusia itu merupakan tindakan
interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri, dan (f) tindakan tersebut
saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok, dan menjadi
tindakan bersama.[33]
Penelitian etnografi dengan landasan pemikiran fenomenologi
menurut Michael H. Agar dan Giddens adalah inti dari proses mediasi kerangka
pemaknaan. Hakekat dari suatu mediasi tertentu akan bergantung dari hakekat
tradisi dimana terjadi kontak selama penelitian lapangan.[34]
LeCompte dan Schensul menjelaskan langkah-langkah umum yang dapat
diterapkan dalam penelitian etnografi: (1) Temukan informan yang tepat dan
layak dalam kelompok yang dikaji; (2) Definsikan permasalahan, isu, atau
fenomena yang akan dieksplorasi; (3) Teliti bagaimana masingmasing individu
menafsirkan situasi dan makna yang diberikan bagi mereka; (4) Uraikan apa yang
dilakukan orang-orang dan bagaimana mereka mengomunikasikannya; (5)
Dokumentasikan proses etnografi; (6) Pantau implementasi proses tersebut; (7)
Sediakan informasi yang membantu menjelaskan hasi riset.[35]
D. Kelebihan dan kelemahan Etnografi
Berdasarkan penjelasan pada sub bagian diatas, dapat ditarik
kesimpulan kelebihan dan kelemahan penelitian etnografi, yakni:
1. Kelebihan
Salah satu aspek yang paling berharga yang dihasilkan dari
penelitian etnografi adalah kedalamannya. Karena peneliti berada untuk waktu
yang lama, peneliti melihat apa yang dilakukan orang serta apa yang mereka
katakan. Peneliti dapat memperoleh pemahaman yang mendalam tentang orang-orang,
organisasi, dan konteks yang lebih luas.[36] Peneliti lapangan
mengembangkan keakraban yang intim dengan dilema, frustrasi, rutinitas,
hubungan, dan risiko yang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Kekuatan
yang mendalam dari etnografi adalah yang paling “mendalam” atau “intensif”.
Dari pengetahuan tentang apa yang terjadi di lapangan dapat memberikan
informasi penting untuk perumusan asumsi penelitian.[37] Secara singkat keuntungan pengunaan penelitian etnografi
dijelaskan di bawah ini, sebagai beriku:
- Mengasilkan pemahaman yang
mendalam. Karena yang dicari dalam penelitian ini bukan hal yang tampak,
melainkan yang terkandung dalam hal yang nampak tersebut
- Mendapatkan atau memperoleh data
dari sumber utama yang berarti memiliki tingkat falidasi yang tinggi.
- Mengasilkan deskripsi yang kaya,
penjelasan yang spesifik dan rinci.
- Peneliti berinteraksi langsung
dengan masyarakat sosial yang akan diteliti.
- Membatu kemapuan beinteraksi
karena menutu kemampuan bersosialisai dalam budaya yang ia coba untuk
dijelaskan.
2. Kelemahan
Salah satu kelemahan utama penelitian etnografi adalah bahwa dibutuhkan
lebih lama daripada bentuk penelitian lainnya. Tidak hanya membutuhkan waktu
lama untuk melakukan kerja lapangan, tetapi juga memakan waktu lama untuk
menganalisis materi yang diperoleh dari penelitian. Bagi kebanyakan orang, ini
berarti tambahan waktu.[38] Kelemahan lain dari
penelitian etnografi adalah bahwa lingkup penelitiannya tidak luas. Etnografi
sebuah studi biasanya hanya satu organisasi budaya. Bahkan keterbatasan ini
adalah kritik umum dari penelitian etnografi, penelitian ini hanya mengarah ke
pengetahuan yang mendalam konteks dan situasi tertentu.[39] Secara singkat kelemahan
pengunaan penelitian etnografi dijelaskan di bawah ini, sebagai beriku:
- Menutu seorang
peneliti yang memiliki latar belakang pengetahuan yang kuat, mengetahui dengan
jelas subyek yang akan diteliti atau dipelajari.
- Perspektif
pengkajian kemungkinan dipengaruhi oleh kecenderungan budaya peneliti.
- Membutuhkan
jangka waktu yang panjang untuk mengumpulkan data dan mengelola data.
- Pengaruh budaya
yang diteliti dapat mepengaruhi psikologis peneliti, ketika peneliti kembali
kebudaya asalnya.
- Peneliti yang
tidak memiliki kemapuan sosialisai, terdapat kemungkinan penolakan, dari
masyarakat yang akan diteliti.
E. Etnografi dalam penelitian Hukum
Penelitian hukum dapat pula dilakukan dengan metode etnografi, hal
tepenting titik tolaknya tetap mengakaji tentang hukum. Terdapat beberapa hal
pentingnya penelitian hukum menggunakan metode etnografi yakni:[40]
- Untuk dapat menemukan bagaimana hukum berkerja dan terajut dalam hidup keseharian penegak hukum.
- Untuk mengetahui bagaimana warga masyarakat bergaul dengan hukum, memberimakna dan interpretasi terhadap hukum atau lembaga tertentu.
- Untuk mengenatahui spirit dari peraturan perundang-undangan, kepentingan dan relasi kuasa yang tarik menarik yang menjadi latar belakang proses perumusannya.
Selain itu, menurut Flood, antropologi hukum menggambarkan dua hal
penting. Pertama, hukum bukanlah suatu yang dipaksakan dari atas,
terutama dari negara. Kedua, para atropologi meneliti dengan cara yang
berbeda dibandingkan dengan penelitian konvensional para ahli hukum. Para
antropolog merasa penting untuk berjumpa dengan orang-orang dan menggali
pengalaman kehidupan keseharian mereka yang menjadi subyek penelitian.[41]
Penelitian enografi sebagaimana dijelasakan diatas dapat dilakukan
terhadap suatu budaya bersifat etnik atau mempelajari subkultur dari suatu
masyarakat moderen. Dalam bidang hukum penelitian enografi yang mempelajari
suatu budaya tertentu dapat dilakukan untuk meneliti hukum adat masyarakat
tertentu, misanya mekanisme penyelesaian sengketa adat dalam masyarakat
Minangkabau atau Tanah Batak. Untuk, penelitian subkultur dapat dicontohkan di
bawah ini, sebagai berikut:
- Penelitian yang dilakukan
oleh John Flood seorang ahli hukum yang melakukan penelitian hukum pada bidang
kepengacaraan. Dalam melakukan penelitian ia berperan sebagai pengacara magaang
dalam suatu kantor, sehingga mendapatkan keleluasaan untuk memahahami dunia
kepengacaraan. Salah satu bagian penting penelitian Flood adalah meneliti
tentang bagaimana asisten pengacara dan advokat berinteraksi. Mereka berasal
dari latar belakang, kelas dan tingkat pendidikan yang berbeda. Flood tertarik
bagaimana fungsi kepengacaraan dan pengacara mempengaruhi sistem hukum yang
berlaku di Inggris.[42]
- Penelitian etnografi dapat
juga dilakukan untuk memberikan jawaban atas perbedaan pengguna atau pemakai
narkotika dengan pengedar atau bandar. Pemakai narkoba seringkali dianggap
korban, sehingga pola penangannya berbeda (sanksi hukumannya rehabilitasi).
Seorang peneliti, untuk medapatkan jawaban apakah apakah pengguna atau pemakai
adalah korban, penelitian etnografi sangatlah membatu. Penelitian etnografi
dapat meperoleh pemahaman yang mendalam tentang pengguna narkotika dengan cara
mengembangkan keakraban, memahami rutinitas mereka bahkan psikologi para
pengguna narkotika.
[1] Meuwissen, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum
dan Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh B. Arif Sidharta, (Bandung, PT.
Refika Aditama, 208), hlm. Vii.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. viii
[4] Ibid.
[5] Kanneth D. Bailey, Methods of Social Research, (New York:
A Division of Macmillan Publishing Co. Inc, 1982), hlm. 254
[6] W. Lawrence Neuman, Social Research Methods (Qualitative and
Quantitative Approaches), Ed. 5th., (Boston: Allyn and Bacon, 2003),
hlm. 363.
[7] Ibid., hlm. 366, Neuman menjelaskan terdapat dua
extensions dari penelitian lapangan yakni ethnography dan etnomethodologi.
[8] Roice Singleton ed.all, Approaches to Social Research,
(New York: Oxford University Press, 1988), hlm. 308,
[9] Michael Quinn Patton, Qualitative Evalution And Research
Methods, (London: Sage Publication: 1990), hkm. 88.
[10] Lawrence Neuman, Op. Cit., hlm 363.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Lawrence Neuman., Op. Cit.; dijelasakan pula dalam
Earl babbie, The Practice of Social Research, (Internasional Thomson
Publishing, 1998), hlm. 282.
[15] Ibid.
[16] Roice Singleton ed.all, Op. Cit. Boas, melakukan
penelitian tentang Indian Amerika, sedangkan Malinowski, pulau-pulau Pasifik.
[17] Lawrence Neuman, Op. Cit. hlm 367.
[18] Kanneth D. Bailey, Op. Cit. hlm. 255.
[19] Michael Quinn Patton., Op. Cit. hlm. 68.
[20] Kanneth D. Bailey, Op. Cit.
[21] Sulistyowati Irianto dan Lim Sing Meij, “Praktek Penegakan
Hukum:Arena Penelitian Sosiolegal yang Kaya” dalam Metode Penelitian Hukum,
Editor Sulistyowati Irianto dan Shidarta, (Jakarta: Yayasan Obor dan JHMP-FHUI,
2009), hlm. 198.
[22] Kanneth D. Bailey, Op. Cit.
[23] Michael Quinn Patton., Op. Cit. hlm. 67.
[24] Ibid.
[25] Ibid. hlm. 68.
[26] Kanneth D. Bailey, Op. Cit.
[27] Earl babbie, Op. Cit., hlm. 282.
[28] Parlindungan Pardede, Penelitian Lintas Budaya, (28 September
2010) terdapat disitu
<http://fkip.uki.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=78:penelitian-lintasbudaya&
catid=41:artikel&Itemid=55>
[29] Earl babbie, Op. Cit.
[30] Bambang Mudjiyanto, “Metode Etnografi dalam Penelitian
Komunikasi”, Komunikasi Massa, (Volume 5 Nomor 1, 2009): 81
[31] Model Analisis Etnografi dalam Penelitian Kualitatif, (28
September 2010) terdapat disitus <http://divanusantara.wordpress.com/2008 /
12 / 05 / model – analisis – etnografi – dalam – penelitian kualitatif>
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Bambang Mudjiyanto, Op. Cit.
[35] Ibid.
[36] Michael D. Mayers, “Investigating Information Systems With
Ethnographic Research”, Comminication of ISA, (Volume 2, Article 23),
hlm. 5.
[37] Ibid.
[38] Ibid., hlm 6.
[39] Ibid.
[40] Sulistyowati Irianto dan Lim Sing Meij, Op. Cit.,
hlm. 191-192.
[41] Ibid., hlm. 196
[42] Ibid., hlm. 194-197.
Referensi
Babbie, Earl The Practice of Social Research.
Internasional Thomson Publishing, 1998.
Bailey, Kanneth D. Methods of Social Research. New
York: A Division of Macmillan Publishing Co. Inc, 1982.
Irianto, Sulistyowati dan Lim Sing Meij, “Praktek Penegakan
Hukum:Arena Penelitian Sosiolegal yang Kaya” dalam Metode Penelitian
Hukum, Ed. Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Jakarta: Yayasan Obor dan
JHMP-FHUI, 2009.
Mayers, Michael D. “Investigating Information Systems With
Ethnographic Research”, Comminication of ISA, Volume 2, Article 23.
Model Analisis Etnografi dalam Penelitian Kualitatif, (28
September 2010) terdapat disitus <http://divanusantara.wordpress.com/2008 /
12 / 05 / model – analisis – etnografi – dalam – penelitian kualitatif>
Mudjiyanto, Bambang “Metode Etnografi dalam Penelitian
Komunikasi”, Komunikasi Massa. Volume 5 Nomor 1, 2009)
Neuman, W. Lawrence Social Research Methods (Qualitative
and Quantitative Approaches). Boston: Allyn and Bacon, 2003.
Pardede, Parlindungan Penelitian Lintas Budaya, (28 September
2010) terdapat disitu
<http://fkip.uki.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=78:penelitian-lintasbudaya&
catid=41:artikel&Itemid=55>
Patton, Michael. Qualitative Evalution And Research
Methods, London: Sage Publication: 1990.
Singleton, Roice ed.all, Approaches to Social Research.
New York: Oxford University
TEORI HUKUM MELEWATI RUANG DAN WAKTU (kritik terhadap positivisme)
“Harus diyakini
bahwa, sejak awal dan sampai sekarang konsep hukum tidaklah tunggal.
Diawali dari pemikiran Anaximander, Herakleitos, Socrates, Plato sampai Marxs,
Holmes, Raws, bahkan mungkin sampai saat ini. Teori hukum melewati ruang dan waktu,
pencarian keadilan tidak hanya esklusif dimiliki oleh aliran pemikiran
postivisme saja akan tetapi juga dimiliki dalam aliran yang lain Historism,
Sociologikal Jurisprudence, Sociology of Law, Realistic Jurisprudence, Critical
Legal Theorie, … bahkan Hukum Progresif”.
Bocah berusia 14 (empat
belas) tahun berinisial DS, ditangkap karena dituduh mengambil voucer
pulsa telepon seluler seharga Rp. 10.000,-. Perbuatan DS tersebut didakwa 7
(tujuh) tahuan penjara, ketentuan pidana yang didakwa terhadap DS adalah
pencurian dengan pemberatan sebagai mana diatur dalam Pasal 363 KUHP. Satu kata
yang dapat ditulis disini “IRONIS” bahkan dakwaan ini lebih tinggi daripada
para “KORUPTOR”. Belum hilang ingatan masyarakat atas Kasus neneh Minah yang diputus
bersalah 1 bulan 15 hari karena mencuri 3 kakao, hadir lagi hilangnya nilai
keadilan dan kemanfaatan atas wajah hukum negara ini. Hukum disini hanya
dinilai sebagai kepastian hukum, pemikiran para penegak hukum hanya diisi
dengan pandangan legar formal. Hukum positif merupakan kitab suci yang dapat
menyelesaikan semua permasalahan. Baik dan buruk dapat dijawab dengan hukum
positif, pandangan ini sering disebut dengan “Positivisme”.
Dalam positivisme,
hukum dilihat sebagai close logical system. Artinya peraturan dapat
dideduksi dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan dari
norma sosial dan politik.[1] John Austin dengan Analitical
Legal Postitivism, menyatakan hukum adalah perintah yang berdaulat, empirical,
dan terdapat suatu kekuasaan (negara) yang memberikan perintah-perintah yakni
adanya orang yang mentaati perintah-perintah tersebut.[2] Austin menggantikan
“cita-cita tentang keadilan (ideaof justice) dengan “perintah yang
berdaulat”.[3] Menurut Austin, hukum
adalah suatu peraturan yang dibuat untuk dipergunakan sebagai pedoman makhluk
berakal, oleh makhluk berakal yang mempunyai kekuasaan terhadapnya. Menurut
interpretasi Austin, hukum positif berakar sepenuhnya dari fakta-fakta empiris
yang bersumber dari ketentuan berdaulat.[4] Hukum dipisahkan dari keadilan dan
tidak didasarkan pada pengertian “baik” dan buruk akan tetapi didasarkan pada
kekuasaan dari sesuatu yang lebih kuat (the powers of superior).[5] Apabila terjadi
penyimpangan terhadap perintah maka dijatuhi sanksi. Keberadaan sanksi disini
sangatlah menjadi penting karena Austin tidak mempermasalahkan dalam
kenyataannya mereka patuh karena takut, karena rasa hormat atau karena dipaksa.
Maka, menurut Austin, keberadaan sanksi merupakan kepatuhan yang dipaksakan “the
evil” yang muncul apabila sebuah perintah tidak dipatuhi. [6]
Begitu pula dengan
pimikiram Hans Kelsen. Menurut Kelsen tatanan hukum merupakan sisten normatif
yang menggunakan paksaan untuk menjamin kepatutan terhadap hukum.[7] Dalam hal ini yang dipersoalkan
bukanlah bagaimana hukum itu seharusnya (what the law ought be),
tetapi apa hukumnya (what the law is).[8] Dalam penerapannya hukum
harus dipisahkan secara tajam antara hukum disatu pihak dengan etika (moral),
hubungan polilikal atau kemasyarakatan dipihak yang lain. Menurut Reine
Rechslere, tugas dari hukum adalah memaparkan hukum yang berlaku semurni
mungkin dan menjauhkan diri dari semua pertimbangan moral dan politik
masyarakat. Menurut Kelsen, pendirian-pendirian moral memiliki sifat
subjeltif-pribadi.[9] Penyimpangan atas norma
hukum tersebut melahirkan sanksi yang merupakan konsekwensi. Dengan kata lain
menurut Kelsen, sanksi harus diterapkan ketika terbukti ada pelanggaran,[10] pernyataan hukum bersifat hipotesis
dan sekaligus deontik atau harus. Sanksi ini menurut Kelsen harus ada pada
setiap sistem norma.
Mereka yang meliat
hukum dengan logika berfikir positivisme. Peristiwa mengambil voucer yang
dilakukan DS merupakan usur perbuatan “pencurian”. Asumsi dasar yang berada
pada hukum pidana memang adalah “perlindungan terhadap hak individu
atau orang lain”. Menurut Locke, keberadaan hukum untuk melindungi hak
milik pribadi.[11] Hukum menurut Locke
bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi
yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi
yang semakin berbeda-beda besarnya, adanya hukum untuk melindungi hak-hak
tersebut.[12] Untuk memberikan
perlindungan hak tersebut dibentuklah hukum pidana. Seperti dinyatakan pula
oleh Hagel bahwa adanya hukum pidana untuk mempertahankan hak.[13] Hegel menyatakan bahwa tindakan
kejahatan yang dibiarkan tampa tindakan tegas secara hukum akan memberikan
dampak negatif dimana publik akan melihatnya sebagai hal yang wajar dan
dibenarkan sehingga pada gilirannya justru mengancam hak yang seharusnya
dilindungi.[14] Hal ini berarti
keberadaan hukum pidana untuk mencegah pelangaran hak orang lain dan untuk
memulihkan hak.
Akan tetapi dalam teori
hukum masih ada cara berfikir lainnya. Yakni tidak berfikir secara formalisme
dan ligisme, melainkan berkeyakinan bahwa hukum hanyalah bagian dari
perkembangan dinamika masyarakat, dalam pemikiran ini tidak mungkin mempelajari
hukum dilepas dari konteks sosial dan bahkan dari konteks historisnya. Menurut
Eugen Ehrlich, makna hukum tidak kurang dari realitas hubungan antar manusia
itu sendiri, yang berarti hukum “hubungan antar manusia”. Menurut Ehrlich,
masyarakat adalah ide umum yang dapat digunakan untuk menandakan semua hubungan
sosial, norma-norma hukum dalam kenyataanya akan tercipta dari
hubungan-hubungan sosial tersebut.[15] Kenyataan sosial ini
tumbuh karena adanya kesadaran akan kebutuhan (opinio necessitatis).
Kesadaran inilah yang menyebabkan timbulnya hukum secara langsung yang
merupakan hukum yang hidup “living law”.[16] Hukum tercipta dalam dunia
pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari. Hukum tercipta
lewat kebiasaan yang mengikat dan menjadi tatanan yang efektif. Hal ini berarti
hukum merupakan norma yang hidup dalam hati orang-orang. Seperti halnya dengan
pendapat Theodor Geiger, yang menyatakan bahwa norma “yang
sebenarnya” menurupakan norma yang terjelma dalam tingkah laku anggota-anggota
masyarakat.[17] Norma yang sebenarnya
merupakan bagian dari masyarakat yang dinamis. Kata Geiger, masyarakat itu
bukan benda, akan tetapi merupakan entitas sebuah proses (gesellschaft is
kein ding, sondern em prozess). Hukum harus dipandang sebagai
kenyataan-kenyataan sosial yang dinamis.[18]
Rescoe Pound, melihat
hukum berfungsi sebagai menata perubahan. Disini Pound memunculkan teori
tentang law as a tool of social engineering. Menurut Pound, hukum
adalah untuk “menata kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat”.
Kepentingan-kepentingan tersebut harus ditata sedemikian rupa agar tercapai
keseimbangan yang proposional. Manfaatnya adalah terbangunnya suatu struktur
masyarakat sedemikian rupa hiingga secara maksimum mencapai kepuasan akan
kebutuhan dengan semininum mungkin menghindari benturan.[19] Apa yang dibutuhkan oleh
hukum dalam kehidupan sosial, adalah hakim yang tidak hanya menaruh perhatian
pada kata-kata dari perintah-perintah. Pound, mengusulkan agar para ahli hukum
perlu memperhatikan fakta-fakta sosial. Sebab kehidupan hukum terletak pada
pelaksanaanya.[20] Pound menolak studi hukum sebagai
studi tentang peraturan, melainkan studi tentang bekerja hukum. Menurut Pound
kehidupan hukum terletak pada karya yang dihasilakannya bagi dunia sosial.[21]
Menurut pandangan saya
seharusnya para penegak hukum negeri ini jangan hanya melihat hukum sebaga
sarat prosedur formal belaka, para penegak hukum harus melihat hukum bertujuan sebagai
alat pencapaian tujuan sosial sehingga harus dapat menangkap nilai keadilan di
masyarakat. Sebagaimana dinyatakan oleh George Gurvitch, bahwa kenyataan
normatif dalam hukum, dapat diartikan sebagai perwujudakan nilai keadilan dalam
realitas empiris hidup bersama. Dalam hidup bersama, realitas empiris digabung
dengan nilai ideal normatif. Penggabungan ini hanya mungkin melalalui nilai
kedilan. Karena di satu pihak terdapat bidang moral yang mutlak dan sempurna
yang hanya dapat ditinjau dalam ranah intuitif, di lain pihak terdapat realitas
empiris, yang dapat diungkapdalam pengalaman riil. Nilai keadilan berdiri di
tengah, sebab keadilan itu merupakan suatu yang ideal, yang memiliki segi
pengalaman yang logis dan umum.
Kenyataan normatif
menurut Gurvitch berarti mewujudkan keadialan dalam realitas empiris, yang
merupakan dasar material hubungan-hubungan sosial antar manusia “hukum sosial
asli”. Maka dapat disimpulkan dalam konteks kasus DS, jaksa hanya
menganalisis dengan keadilan prosedural semata, yaitu pemenuhan unsur-unsur
tindak pidana. Seharusnya para penegak hukum melihat lebih jauh substansi dari
Pasal 363 KUHP.
Terdapat hal penting
yang dapat dipelajari dalam kasus DS terutama dalam perspektif teori hukum.
Sebagai seorang juris yang telah mempelajari teori hukum hendaknya memiliki
perspektif yang lebih luas dalam melihat suatu permasalahan hukum yang ada.
Harus diyakini bahwa, sejak awal dan sampai sekarang ini konsep hukum tidaklah
tunggal. Diawali dari pemikiran Anaximander, Herakleitos, Socrates, Plato
sampai Marxs, Holmes, Raws, bahkan mungkin sampai saat ini. Teori hukum
melewati ruang dan waktu, pencarian keadilan tidak hanya esklusif dimiliki oleh
aliran pemikiran postivisme saja akan tetapi juga dimiliki dalam aliran yang
laian Historism, Sociologikal Jurisprudence, Sociology of Law,
Realistic Jurisprudence, Critical Legal Theorie, Posmoderismedan
bahkan Hukum Progresif. Menurut Satjipto Rahardjo, pemikir postivisme
“Hans Kelsen” bukan berarti tidak diperlukan, akan tetapi analisis perlu diperkaya
dengan optik “kacamata” dan pendekatan baru. Kasus DS menggambarkan bahwa suatu
kepastian akan dengan mudah terpenuhi saat merujuk pada ketentuan normatif kata
demi kata dalam norma hukum. Padahal menurut Gustav Radbruch hukum memiliki
tiga aspek yakni keadilan, finalitas dan kepastian. Aspek keadilan menunujukan
pada “kesamaan hak di depan hukum. Aspek finalitas, menunjukan pada tujuan
keadilan, yaitu memajukan kebaikan hidup manusia. Sedangkan, aspek keadilan
menunjukkan pada jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang
memajukan kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.
[1] Otje Salman dan Anthon F,
Susanto, Teori Hukum (mengingat, mengumpulkan dan membuka kembali),
(Bandung: Reflika Aditama, 2009), hlm. 81.
[2] Bernard L. Tanya, Ed.
All, Teori Hukum (Strategi tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi),
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 5.
[3] Lihat buku The
Province of Jurisprudence Determined, dikutip dalam Anthon F Susanto, Ilmu
Hukum Non Sistematik (Pondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia),
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 85.
[4] James Bernard Murphy, The
philosophy of positive law: foundations of jurisprudenrce, (New Haven:
Yale University Press, 2005), hlm. 176.
[5] Soetiksno, Filsafat
Hukum Bagian 1, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2008), hlm. 55.
[6] Suri Ratnapala, Jurisprudence,
(Cambridge: Cambridge Univ. Press, 2009), hlm. 46
[7] Andre Ata Ujan, Filsafat
Hukum (Membangun Hukum Membela Keadilan), (Yogyakarta: Kanisius, 2009),
hlm. 84.
[8] Anthon F Susanto, Ilmu
Hukum Non Sistematik (Pondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia),
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010). Hlm. 87
[9] Meuwissen, Tentang
Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum,
diterjemahkan oleh B. Arif Sidharta, (Bandung, PT. Refika Aditama, 208), hlm.
75.
[10] Anthon F Susanto, Op.
Cit. 87
[11] John Locke, Two Treatises of Government, New
Edition, (London: Everyman, 1993), hlm. 178.
[12] Franz Magnis Suseno, Etika
Politik (prinsip-prinsip moral dasar krnrgaraan modern), (Jakarta:
Gramedia, 2003), hlm. 221.
[13] Andre Ata Ujan, Filsafat
Hukum (Membangun Hukum Membela Keadilan), (Yogyakarta: Kanisius, 2009),
hlm. 94.
[14] Ibid.
[15] M.D.A Freeman, Introduction
of Jurisprudence, (London: Swett & Maxwell Ltd, 2001), hlm. 670.
[16] Ibid.
[17] Bernard L. Tanya, Ed.
All, Op. Cit., hlm 144.
[18] Ibid.
[19] Satjipto Rahardjo, Ilmu
Hukum (Bandung: Citra Aditya, 2000), hlm.
[20] Bernard L. Tanya, Ed.
All, Op. Cit., hlm 161.
[21] Ibid., hlm.
162.
Beranda > Hukum Tantra, Teori Hukum >
PENAFSIRAN-INTERPRETASI KONSTITUSI (pemahaman singkat aliran orginalism)
PENAFSIRAN-INTERPRETASI KONSTITUSI (pemahaman singkat aliran orginalism)
PENAFSIRAN-INTERPRETASI KONSTITUSI (pemahaman singkat aliran orginalism)
Konstitusi merupakan
kumpulan asas-asa yang mengatur dan menetapkan kekuasaan dan pemerintah,
hak-hak yang diperintah, dan hubungan atara keduanya atau antara pemerintah
dengan yang diperintah “constitutions is a collections of principles
according to wich the power of the government the rights of governed and the
relations between the two are adjusted… C F Strong” Seperangkat aturan
dasar tersebut, harus diterapkan dalam kenyataan praktek ketatanegaraan. Dalam
kenyataan, dimana aturan yang tertulis “merupakan rangkayan kalimat” harus
diterapkan pada praktek ketatanegaraan yang mengalami perkembangan yang
bersifat dinamis. Peritiwa-pristiwa ketatanegaraan terus mengikuti
perkembangan ketatanegaraan. Oleh kerana itu, timbul suatu permasalahan,
bagaimana konstitusi dapat diterapkan dalam perkebangan ketatanegaran tersebut
yang berintikan memberikan jawaban akan makna konstitusi dalam penerapana dan
apabila terjadi perbedaan dalam memaknai konstutusi. Maka, dalam teori
konstitusi berkembang aliran penafsiran konstitusi “interpretation of constitutions”.
Aliran-aliran ini melahirkan teori bagaimana menafsirkan suatu konstitusi.
Philip Bobitt,
menyatakan bahwa interpretasi konstitusi adalah subyek bagi mereka yang
mempelajari bagaimana konstitusi dapat diterapkan. Mereka yang memperlajari
konstitusi diterapkan, bukan hanya para pejaban seperti Hakim. Akan tetapi,
menurut Bobitt penafsiran konstitusi memiliki dua dimensi yakni penerapan
konstitusi oleh para pejabat yang berwenang dan analisis akademik dalam dunia
pendidikan. Bahkan, menurut Terence Ball tugas penafsiran konstitusi terdiri
tidak hanya dari sajana hukum, pengacara, hakim akan tetapi warga
masyarakat biasa.
Terdapat 2 (dua) aliran
penafsiran konstitusi yakni orginalism dan non-orginalism.
Kedua dalam teori tatanegara sering digambarkan sebagai aliran yang memiliki
teori yang saling bertolak belakang. Orginalism, adalah prinsip
penafsiran yang mencoba untuk mencari tahu atau maksud berdasarkan makna asli
dari perumus konstitusi. Sedangakan, non-originalism adalah prinsip
penafsiran yang mencoba untuk mencari tahu makna konstitusi berdasarkan kondisi
pada saat itu obyeknya bukan hanya teks akan tetapi subyek yang melakukan
interpretasi melihat keadaan pada saat itu. Aliran non-originalism
sering disebut sebagai aliran yang menganggap bahawa konstitusi memiliki makna
yang dinamis atau sering disebut sebagai “living constitution”.
Sedikit menjelasakan
bagaimana non-originalism melihat suatu konstitusi, setidanya terdapat
2 (dua) hal penting. Pertama, pedangan pragmatis, yang berpendapat bahwa
menafsirankan konstitusi sesuai dengan makna asli sesuai dengan rumusan dan
kondisi pada saat konstitusi dibentuk tidak dapat diterapkan untuk memberikan
jawaban terhadap permasalahan yang terjadi. Kedua, yang berkaitan dengan masud
konstitusi, para perumus konstitusi merumuskan konstitusi secara luas dan
fleksible yang mengakibatkan konstitusi bersifar dinamis. Akan tetapi tulisan
ini tidak mencoba membahas bagaimana aliran non-orginalism melakukan
penafisiran konstitusi baik metode maupun teori. Tulisan ini mengkhususkan
membahasa aliran originalism secara sederhana.
Istilah originalism
secara umum digunakan sejak tahun 1980-an, istilah ini diperkenalkan oleh
Paulus Brest. Sebelumnya istilah yang dipergunakan interpretivism untuk
menujuk kepada aliran yang mencoba mencari makna dari teks konstitusi atau dari
maksud perumusnya. Akan tetapi dalam perkembangan istilah orginalism
lah yang digunakan, bahkan mereka menolok disebut sebagai interpretivism.
Aliran originalism juga sering dipersamakan dengan strict
constructionisme. Hal ini disebabakan kedua aliran ini memiliki teori yang
berhubungan dengan textulualist dan aliran formalis “formalist
schools”. Akan tetapi sebenarnya kedua aliran ini memiliki perbedaan
yang sangat besar. Antonim Scalia meberikan contoh, strict constructionisme
tidak akan mengartikan bahwa ia menggunakan tongkat “he uses a cane”
berarti ia berjalan dengan tongkat “he wolks with a cane”. Menurut
Scalia originalism merupakan penafsiran bukan konsturksi, originalism
memberikan jawaban terhadap suatu ketetuan kosntitusi secara spesifik dari
kejadian tertentu atau apabila terjadinya kontroversi pemahaman konstitusi.
Selain itu, dapat
digambarkan pula pada originalism, terhadap teks yang sama dan
terdapat 2 (dua) yang melakukan penafisiran maka terdapat kemungkinan terjadi
hasil yang berbeda. Dengan kata lain, originalism dapat mencapai hasil
yang berbeda dalam kasus yang sama. Akan tetapi ini bukan berarti originalism
memberikan jawaban dari diri sipenafsir sendiri, obyek originalism
bukan diri sipenafsir. Hal ini berbeda dengan strict constructionisme,
tidak ada makna yang berbeda pada aliran ini. Teks merupakan awal dan akhir
suatu pemaknaan dan memiliki makna tunggal.
Dalam aliran originalism
terdapat dua teori besar yakni original intent theory dan original
meaning theory. Original intent theory menyatakan bahwa
interpretasi dari sebuah konstitusi tertulis adalah (seharusnya) sesuai dengan
apa yang dimaksud oleh orang-orang yang merancanang atau merumuskan kontitusi,
sedangkan original meaning theory adalah pandangan didasarkan pada
makna teks yang didasarkan pada saat teks tersebut dirumuskan.
Original intent
theory sering dianggap sebagai bentuk
utama dari originalism yakni mensyratkan penerapan konstitusi
berdasarkan niat subyek siperumus konstitusi atau yang sering disebut sebagai “founding
father”. Terdapat 2 (dua) macam analisis apa yang dimasu dengan “niat”,
pertama, konstruksi hukum yang ada ketika era “jaman” konstitusi tersebut
dirumuskan “functional intent”. Kedua, motifasi niat “motivational
intent” yang ada ketika konstitusi itu dirumuskan. Antonin Scalia,
Robert Bork, Randy barnett merupakan nama-nama yang mengembangna teori ini.
Berbeda dengan Original
intent theory, pada Original meaning theory menurut Oliver Wendell Holmes dalam menafsirkan makna
konstitusi tidak mencoba masuk ke alam pikiran seseorang akan tetapi
berdasarkan kata yang diucapkan seseorang yang didasarkan pada makna kata saat
kata tersebut digunakan. Hal ini berarti menekankan pada bagaimana “teks” itu
dipahami oleh sesorang berdasarkan makan dalam sejarah konstitusi itu
dirumuskan atau dilaksanakan untuk pertama kali. Sebagai contoh makan “due
process” dan “freedom of the press” telah memiliki makna jauh
dalam tradisi hukum inggris.
Untuk mempermudah
pemahaman perbedaan original intent theory dan original meaning
theory, dapat dilihat pembedaan Steven D. Smith. Smith mengunakan
istilah enactors intentions yang dapat disamakan dengan original
intent theory dan the words (in Historical Context) yang dapat
disamakan dengan original meaning theory. Menurut Steven D.
Smith, “enactors intentions”, mengandaikan bahwa apa yang kita
tafsirkan adalah berdasarkan niat dari pelaku penyusun ketentuan
konstitusional. Obyek interpretasinya keadaan mental (niat) yang ada di tubuh
orang yang merancang ketentuan konstitusi. “Niat pelaku” ini menjadi jawaban
yang penting bagi komitmen demokrasi. Karena mereka ketika menyusus konstitusi
berbicara untuk “rakyat”. Oleh karena itu, interpretasi konstitusi merupakan
suatu proses dimana kita memahami niat pelaku dalam mewujudkan kebijaksanaan ke
dalam pemerintahan dan masyarakat. Penafsiran dalam bentuk ini hadir untuk
memastikan niat atau tujuan rakyat, sebagai dasar sahnya Konstitusi, ketika
mereka melimpahkan kewenangan konstitusinya untuk negara atas hal tertentu.
Salah satu caranya adalah membayangkan konstutisi adalah perjanjian
kepercayaan, yang diciptakan oleh rakyat dalam peran mereka sebagai pemberi
kekuasaan.
Interpretasi “originalist”,
selain menafsirkan konstitusional berdasarkan kondisi niat subjektif dari
pelaku, juga memahami arti tujuan dari kata-kata konstitusi dalam konteks
sejarah the words (in Historical Context). Asumsi di sini adalah bahwa
kata-kata memiliki makna, yang diberikan oleh sesuatu seperti “aturan bahasa”
pada saat itu, terlepas dari niat semantik penyusunnya. Jika yang dimasud
penyusun adalah A akan tetapi digunakan kata-kata yang (menurut aturan bahasa)
berarti B, maka B yang benar. Selain itu, juga melihat atau menguraikan makna
dari “prinsip” atau “norma” yang terkandung dalam konstitusi yang menjadi dasar
ketika konstitusi itu dirumuskan, seperti perinsip “order”, “uniformity”,
“equality” bahkan prinsip “rule of law”. Hal ini berarti
interpretasi konstitusional dinilai sebagai seperangkat fakta moral atau
keadilan yang membentuk konstitusi.
Be the first to like this post.
JUSTICE AS FAIRNESS
Justice as Fairness
A. John Rawls: Biografi Singkat
Pemilik nama lengkap
John Borden (Bordley) Rawls lahir dan dibesarkan di Baltimore, Maryland Amerika
Serikat pada tanggal 21 Februari 1921 dari pasangan William Lee Rawls dan Anna
Abel Stump. Ayahnya adalah seorang pengacara terkemuka.[2]
John Rawls mengalami dua peristiwa yang cukup menyedihkan di masa mudanya.
Dalam dua tahun berturut-turut, dua adik laki-lakinya meninggal akibat penyakit
yang ditularkan darinya, yaitu diphtheria dan pneumonia. Rawls amat merasa
bersalah atas terjadinya peristiwa tersebut. Namun demikian, kakak laki-lakinya
yang dikenal sebagai seorang atlet ternama di Princeton University selalu
memberikan semangat dan dorongan moral kepada Rawls. Akhirnya, setelah berhasil
menyelesaikan sekolahnya, John Rawls menyusul jejak kakaknya untuk berkuliah di
Princeton University pada 1939.[3]
Pada 1943, setelah
berhasil lulus dengan gelar Bachelor of Arts (B.A.), John Rawls langsung
bergabung menjadi tentara dengan tugas penempatan di kawasan negara-negara
Pasifik, seperti Papua Nugini, Filipina, dan Jepang. Tidak lama setelah itu,
dirinya kembali ke Princeton University dan menulis disertasi doktoralnya di
bidang filsafat moral. Pada masa-masa inilah Rawls pertama kali dipengaruhi
oleh rekan dan pembimbingnya dari Wittgensteinean, Norman Malcolm, yang
mengajarkan dirinya untuk menghindari jeratan kontroversi metafisis.[4]
Setelah sukses
mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul “A Study in the Grounds
of Ethical Knowledge: Considered with Reference to Judgment on the Moral Worth
of Character”, John Rawls akhirnya menyandang gelar Doctor of Philosophy
(Ph.D.) dari Princeton University pada 1950. John Rawls kemudian dipercaya
untuk mengajar pada almamaternya hingga 1952, sebelum akhirnya melanjutkan
studi di Oxford University, Inggris, melalui program Fulbright Fellowship. Di
Universitas inilah dirinya sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran tentang
teori kebebasan di bidang hukum dan filsafat politik, seperti yang dikemukakan
oleh Herbert Lionel Adolphus (H.L.A.) Hart dan Isaiah Berlin.[5]
Sekembalinya ke Amerika
Serikat, John Rawls melanjutkan karir akademiknya di Cornell University dan
secara bertahap dirinya diangkat sebagai Guru Besar Penuh pada 1962.
Tidak lama kemudian, Rawls juga memperoleh kesempatan untuk mengajar dan
menjadi Guru Besar di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Setelah
mengajar di Cornell dan MIT, Rawls mengambil posisi di departemen filsafat di
Harvard pada tahun 1962 tempat dimana dirinya mengabdi hingga akhir hayat.[6]
Sepanjang karirnya, ia mencurahkan perhatian kepada pengajaran-Nya. Dalam
kuliah-kuliahnya tentang filsafat moral dan politik, Rawls terfokus pada filsuf
besar di masa lalu-Locke, Hume, Rousseau, Leibniz, Kant, Hegel, Marx, Mill, dan
lain-lain.[7]
B. Justice principle pemikiran dalam “A Theory of Justice”
Menurut Rawls, keadilan
adalah Kejujuran (Justice as Fairness).[8] Masyarakat adalah kumpulan individu yang di satu sisi
menginginkan bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kumpulan
individu tetapi disisi yang lain masing-masing individu memiliki
pembawaan serta hak yang berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur dalam
kehidupan sosial. Oleh karena itu Rawl mencoba memberikan jawaban atas
pertanyaan, bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan yang berbeda disatu
pihak dengan keinginan untuk bersama demi terpenuhnya kebutuhan bersama?
Jawaban Rawls secara sederhana adalah setiap manusia dapat diperlakukan secara
sama, tidak dengan menghapuskan semua ketimpangan (inequalities).
Jawaban tersebut didasarkan dari penyataan bahwa masyarakat sebagai sistem
kerjasama sosial yang fair secara berkesinambungan dari satu generasi
ke generasi berikutnya dan manusia sebagai mahluk moral.[9]
Pemikiran keadilan
Rawls, didasari teori keadilan imperatif kategoris Kant. Rawls memulai bukunya
mengkotraskan dua pemikiran filsafat yang dominan pada saat itu; di satu pihak
utilitarianisme, dan di pihak lain campuran berbagai gagasan dan prinsip yang
tidak koheren dan mungkin saling bertentangan. Rawls menyebut alternatif kedua
ini sebagai ‘intuisionisme’, sebuah pendekatan didasarkan pada intuisi tertentu
mengenai berbagai isu tertentu. Kritik terhadap utilitarianisme, yakni terhadap
keberatan pokok pada aliran ini yakni Pertama, utilitarian menerima
adanya ketidaksetaraan sosial (kemungkinan ada pihak yang memperoleh
benefit/keuntungan yang lebih dari pihak yang lain, hal ini sesuai dengan
prinsip “the greatest happiness of the greatest number”). Kedua,
utilitraian menentang prinsip kemerdekaan dan hak-hak politik. Ketiga,
konsep kesejahteraan Rawls berbeda dengan golongan utilitarian.[10]
Menurut Rawls,
utilitarianisme mereduksi nilai-nilai individu menjadi manfaat dan kebaikan
bersama.[11] Kesejahteraan masyarakat yang diinginkan oleh
utilitarianisme tidak memperhatikan kesejahteraan individu, yang diperhatikan
memaksimalkan jumlah terbesar kesejahteraan untuk jumlah terbanyak. Rawls juga
mengkritik institusionalisme karena dinilai tidak memiliki jaminan rasionalitas
yang memadai.[12]
Menurut Rawls keadilan bukan salah satu prinsip atau salah satu prioritas
diantara banyak prinsip utama, melaikan satu-satunya prinsip utama yang harus
diwujudkan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga)
pandangan dominan yakni utilitarianisme yang mengejar kebahagian manusia dengan
mengindentifikasi kepentingan individu dengan kepentingan umum. Libertarian
dengan klaim hak-hak kodrati individu, dan kontraktarian yang mendasarkan pada
kerjasama yang fair. [13]
Dengan latar belakang
tersebut, Rawls melahirkan Teori Keadilan, teori tersebut memiliki 3 (tiga)
prinsip kedilan, yakni:
- Prinsip Kebebasan yang sama (equal liberty of principle)
- Prinsip perbedaan (differences principle)
- Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle)
Sebagaimana dinyatakan
Rawls, sebagai berikut:[14]
Prinsip
Pertama—Tiap-tiap orang menerima hak yang sama atas keseluruhan sistem yang
paling luas dari kebebasan-kebebasan dasar yang sama sesuai dengan sistem
kebebasan serupa bagi semua orang.
Prinsip
Kedua—ketimpangan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga keduanya:
- memberikan keuntungan terbesar untuk yang paling tidak diuntungkan, dan
- membuka posisi-posisi dan jabatan bagi semua dibawah persyaratan-persyaratan persamaan kesempatan yang fair.
Aturan Prioritas
Pertama (Prioritas Kebebasan)—Prinsip-prinsip keadilan diurutkan dalam tertib
lexical (lexical order) dan karena itu kebebasan hanya dapat dibatasi demi
kebebasan itu sendiri.
Aturan Prioritas Kedua
(Prioritas Keadilan atas Effisiensi dan Kesejahteraan)—Prinsip keadilan yang
kedua secara lexical lebih penting daripada prinsip efisiensi dan daripada
prinsip memaksimalkan jumlah total keuntungan-keuntungan; dan kesempatan yang
fair lebih penting daripada prinsip perbedaan.
Prisip umum semua
barang-barang sosial utama (sosial primary goods) kebebasan dan
kesempatan, pendapat dan kesejahteraan dan dasar-dasar kehormatan diri harus
didistribusikan secara setara kecuali jika distribusi yang tak setara terhadap
salah satu atau semua barang-barang ini menguntungkan yang paling tidak
diuntungkan.
Rawls berpendapat jika
terjadi benturan (konflik), maka: equal liberty principle harus
diprioritaskan dari pada prinsip-prinsip yang lainnya. Dan, equal
opportunity principle harus diprioritaskan dari pada differences
principle.
Dari ketiga prinsip
tersebut, rawls memberikan prioritas utama pada prinsip kebebasan yang sama (equal
liberty of principle), yang sebenarnya merupakan standar hak-hak politik
dan sipil yang diakui dalam demokrasi liberal yakni hak untuk memilih,
mencalonkan diri dalam jabatan, membela diri, kebebasan berbicara, bergerak,
dan sebagainya.[15] Equal liberty of principle mengasumsikan setiap
orang memiliki hak yang sama untuk kebebasan dasar yang luas, setiap orang
memiliki hak untuk kebebasan dan kesamaan.[16] Hak-hak ini sangat penting untuk liberalisme, satu cara
membedakan liberalisme adil adalah bahwa liberalisme memberikan prioritas pada
kebebasan-kebebasan dasar ini. Secara terperinci hak kebebasan-kebebasan dasar
yang dimaksud antara lain seperti misalnya:[17]
- kemerdekaan berpolitik (political of liberty),
- kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression),
- kebebasan personal (liberty of conscience and though).
- kebebasan untuk memiliki kekayaan (freedom to hold property)
- Kebebasan dari tindakan sewenang-wenang.
Kemudian, yang dimasud
oleh Rawls, prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity
principle) bukan melihat ketidak setaraan sosial melaikan ketidak setaraa
alamiah.[18]
Rawls mengkritik konsepsi umum yang menggap kesempatan sudah kesetaraan ketika
semua orang diberikan kesempatan yang sama hanya memandang jenis kelamin,
agama, ras dan latar belakang sosial. Menutur Rawls, harus juga dilihat ketidak
setaraan alamiah, misalnya orang cacat tidak akan dapat bersaing meskipun
berasal dari ras dan jenis kelamin yang sama.
Dengan demikian
menurutt Rawls, berbagai ketimpangan dalam pendapatan dan kesejahteraan yang
didasarkan pada kondisi sosial dan alamiah tidak memiliki landasan moral. Namum
hal tesebut tidak bisa dihapus begitu saja. Cara yang tepat dengan mengatur
stuktur dasar masyarakat sehingga hal-hal yang bersifat kebetulan tesebut
bekerja demi kebaikan mereka yang paling kurang beruntung. Ini yang dinyatakan
dalam prinsip perbedaan (differences principle).
Rawls mengklaim bahwa
jika orang dalam keadaan pra-sosial tertentu dipaksa memutuskan prinsip-prinsip
yang harus mengatur masyarakat, mereka akan memilih prinsip-prinsipnya.
Tiap-tiap orang yang oleh Rawls disebut dalam posisi asli (original
position) memiliki kepentingan rasional mengadopsi prinsip-prinsip Rawl
untuk mengatur kerjasama sosial. Rawls menggambarkan pada posisi asli ini
orang-orang bersifat rasional, insan bermoral dan sederajat. Argumen yang kedua
ini menerima perhatian kritis yang paling luas, dan merupakan argumen yang
membuat Rawls terkenal. Tetapi, ini bukan argumen yang mudah diinterpretasikan,
dan kita dapat menangani argumen ini dengan baik jika kita memulai dengan
argumen pertama yakni tentang selubung ketidaktahuan (Veil of Ignorance).
Untuk memastikan imparsialitas, pihak-pihak ini berada di selubung
ketidaktahuan (Veil of Ignorance), yang menghalangi mereka untuk tahu
posisi mereka dalam masyarakat, kemapuan dan bakat alamiah mereka, preferensi
dan pandangan mereka mengenai kehidupan yang baik, bahkan pada generasi yang
mana mereka hidup.[19] Dalam keadaan ini pihak-pihak yang terlibat akan memilih
prisip keadilan seperti yang dirumuskan Rawls.
Selubung ketidaktahuan
(Veil of Ignorance) tidak diketahui posisi apa yang akan diraih oleh
seseorang di kemudian hari. Tidak diketahui bakatnya, inteligensinya,
kesehatannya, kekayaannya, rencana hidupnya, keadaan psikisnya.[20]
Juga tidak diketahui apakah seseorang teramasuk golongan tua atau muda. Juga
tidak diketahui mengenai situasi sosial, politik dan ekonomi dari seseorang
individu masyarakat.[21]
Setiap orang terlebih dahulu akan mengejar kepentingan individu dan kerabatnya
baru kemudian kepentingan umum.[22] Pada keadan ini manusia mencapai Posisi Originalnya.
Dalam posisi asli (original
position) terdapat situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di
dalam masyarakat. Tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu
dengan yang lainnya. Pada keadaan ini orang-orang dapat melakukan kesepakatan
dengan pihak lainnya secara seimbang, disinilah disebut sebagai teori kontrak
Rowls. “Posisi Original” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif
dengan didasari oleh ciri Rasionalitas (rationality), Kebebasan (freedom),
dan Persamaan (equality). Guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic
structure of society).[23]
[1] M.D.A Freeman, Introduction of Jurisprudence,
(London: Swett & Maxwell Ltd, 2001), hlm. 523-524
[2] Leif Wenar, “Jhon Rawls” dalam Stanford Encyclopedia of
Philosophy, terdapat di situs <http://plato.stanford.edu/entries/rawls/>
diakses tanggal 26 Oktober 2010
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid
[6] Ridha Ahida, “Konsep Keadilan pada Masyarakat
Multikultural di Lihat dari Pespektif John Rawl dan Will Kymlicka”, (Disertasi
Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2005), hlm. 99.
[7] Henry S. Richardson, John Rawls (1921-2002),
terdapat disitus < http://www.iep.utm.edu/rawls/> diakses tanggal 26
Oktober 2010
[8] Ridha Ahida, Op. Cit., hlm 108
[9] Bur Rasuanto, “Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis
Rawls dan Habermas”, (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1999),
hlm. 52.
[10] M.D.A Freeman, Op., Cit. hlm. 524.
[11] John Rowls, A Theory of Justice, (Cambridge:
Harvard University Press, 2001), hlm. 27
[12] Ibid., hlm. 30
[13] Bur Rasuanto, Op. Cit., sebagimana
dikutip dari Philip Petit, An Introduction to Contemporary Political
Philosophy, (London: Routledge, 1980), hlm. 75.
[14] M.D.A Freeman, Op. Cit. hlm. 577, atau dalam Jhon
Rowls, Op. Cit., hlm. 302
[15] Will Kymlicka, Pengantar Folsafat Kontemporer: Kajian
Khusus atas Teori-teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm
72
[16] Ridha Ahida, Op. Cit. hlm. 123.
[17] Suri Ratnapala, Jurisprudence, (Cambridge:
Cambridge Univ. Press, 2009), hlm. 343.
[18] Indi Aunullah, Justice as Fainess dalam Netralitas
Negara:Sebuah Seketsa Etika Liberal, terdapat di situs <http://www.scribd.com/doc
/19222202/ Justice- as-Fairness- Dan-Netralitas-Negara-Sketsa-Etika-
Politik-Liberal> diakses tanggal 25 Oktober 2010.
[19] Ibid.
[20] M.D.A Freeman, Op. Cit. hlm. 572
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Henry S. Richardson, Op. Cit.
Teori Keadulatan
Sejak awalnya, teori tentang kekuasaan negara tidak pernah
terlepas kaitannya dengan pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara
tersebut dan darimana kekuasaan tersebut diperoleh. Hal ini disebabkan negara
bukanlah benda mati yang dapat bergerak sendiri, melainkan sebuah organisasi
yang diselenggarakan oleh sekelompok orang atas masyarakat dengan tujuan
tertentu. Pendapat tersebut juga dapat dipahami bahwa di dalam setiap negara
terdapat kekuasaan yang dimiliki negara untuk memaksakan kehendak pada warga negaranya.[1]
Oleh karena itu, pembahasan tentang siapa yang menyelenggarakan negara dan dari
mana kekuasaan tersebut harus dikaitkan dengan pembahasan teori kekuasaan negara,
sehingga dapat memberikan jawaban apakah yang menjadi dasar adanya kekuasaan
negara tersebut.[2]
Pembahasan teori kekuasaan negara merupakan bagian dari teori
negara karena teori kekuasaan negara merupakan turunan dari teori negara. Maka
dari itu, didalam pembahasan teori kekuasaan negara pasti juga berbicara
teori negara. Pemikiran tantang teori negara pun sudah dimulai sejak zaman
romawi kuno sampai zaman moderen sekarang ini. Perkembangan ekonomi, budaya dan
politik juga menyebabkan teori negara mengalami perkembangan yang signifikan.
Hakekat negara secara sederhana dapat diartikan sebuah organisasi masyarakat,
organisasi yang dibentuk karena adanya keinginan hidup besama di dalam
pemenuhan kebutuhannya.
Aristoteles[3]
yang merupakan seorang ahli filsafat dari yunani mengatakan bahwa pada
hakekatnya menusia merupakan mahluk sosial (zoon politikon).[4]
Oleh sebab itu, pada manusia terdapat suatu keinginana untuk hidup bersama yang
pada akhirnya membentuk suatu negara yang bersifat totaliter.[5]
Negara menurut Aristoteles merupakan bentuk tertinggi dari kehidupan
bermasyarakat, negara terbentuk secara alamiah.[6]
Dalam negara tersebut terdapat kekuasaan terhadap orang lain yang memiliki
kewenangan membuat undang-undang. Plato mengidealkan yang memiliki kekuasaan
atas negara tersebut adalah seorang filsuf karena hanya filsuf yang dapat
melihat persoalan yang sebenarnya di dalam kehidupan dan membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk.[7]
Dasar pemikiran tersebut yang kemudian diadopsi oleh para kaum
pemikir gereja yang melahirkan teori hukum kodrat. Menurut teori ini maka
kekuasaan tertinggi pada hakekatnya berasal dari Tuhan. Sebagaimana dikatakan
Thomas Aquinas, teori hukum kodrat adalah teori etis dan hukum kodrat apa yang
disebut sebagai kewajiban moral.[8]
Thomas berpendapat bahwa monarchi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik, yang
dipimpin oleh seorang raja. Raja memperoleh kekuasaan dari Tuhan, dalam menjalankan
pemerintahanya raja mengharapkan anugrah dari Tuhan dan ia selain sebagai
penguasa rakyat ia juga merupakan hamba Tuhan.[9]
Pada abad ke-17 dan ke-18, dasar pemikiran kekuasaan-kekuasaan
raja mulai mengalami perubahan, dari yang bersifat ketuhanan menjadi bersifat
duniawi. Dasar pemikiran ini salah satunya dikemukakan oleh Thomas Hobbes.
Thomas Hobbes menjelasakan bahwa di dalam keadaan alamiahnya manusia hidup didalam
keadaan yang kacau balau. Thomas Hobbes menggambarkan keadaan ini bahwa manusia
yang satu merupakan srigala bagi manusia yang lainnya (homo homini lupus).
Jadi dalam keadaan alamiahnya manusia tidak ada ketentraman hidup, rasa takut
menghantui lapisan masyarakat oleh karena itu manusia membuat perjanjian untuk
membentuk negara. Pembentukan negara tersebut bertujuan melindungi kehidupan
manusia tersebut.[10]
Ketika perjajian itu dilakukan semua hak-hak alamiah mereka diserahkan pada
negara, sedangkan negara tidak dibebani kewajiban apapun termasuk untuk dapat
dituntut oleh individu. Jadi negara bukanlah patner dalam perjajian itu,
melainkan hasil buahnya.[11]
Berbeda dengan Thomas Hobbes, Jhon Locke menjelaskan bahwa
di dalam keadaan alamiah (state of nature), manusia memiliki hak yang
sama untuk mempergunakan kemampuan mereka manusia secara alamiah dalam keadaan
yang baik.[12]
Oleh karena itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good
will, mutual assistance, and preservation”.[13]
Akan tetapi, kondisi tersebut menjadi berubah manusia mengenal
uang. Dengan adanya uang ini, tidak ada lagi batas alamiah yang sanggup
menghindari terjadinya akumulasi kekayaan oleh sedikit orang. Akumulasi
kekayaan oleh sedikit orang ini kemudian menimbulkan keadaan perang (state
of war). Dalam situasi yang dikuasai oleh ekonomi uang ini,
masyarakat tidak dapat bertahan tanpa pembentukan negara yang menjamin milik pribadi.[14]
Dengan demikian, menurut Locke, negara itu didirikan untuk
melindungi hak milik pribadi.[15]
Negara didirikan bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol
pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap
menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property)
yang dimaksud di sini tidak hanya berupa tanah milik (estates),
tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Locke
menyebut hak-hak ini dengan istilah inalienable rights (hak-hak yang
tidak asing) dan adanya negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak
asasi tersebut.[16]
Jadi segala kekuasaan yang dimiliki negara dimilikinya karena, dan sejauh,
didelegasikan oleh para warga negaranya.[17]
Terakhir, Jean Jacques Rousseau. Jean Jacques Rousseau menjelaskan
di dalam kehidupan alamiahnya manusia hidup secara polos dan mencintai diri
secara sepontan di mana manusia belum melakukan pertikaian melainkan keadaan
aman dan bahagia.[18]
Pada keadaan ini manusia hidup hanya di dalam pemenuhan kebutuhan pribadinya. Tetapi
pada akhirnya keadaan alamiah manusia tidak dapat dipertahankan kembali jika
setiap manusia tidak dapat lagi mampu mengatasi keadaan dalam menjaga dirinya
sendiri. Oleh karena itu, perlu perubahan pola kehidupannya, yakni membentuk
suatu kesatuan dengan menghimpun diri bersama orang lain.
Manusia akan membentuk suatu negara untuk mempertahankan dan
melindungi pribadi dan anggotanya, di dalam perkumpulan itu masing-masing
menyatu dalam suatu kelompok tetapi manusia tetap bebas sebagai seorang
individu. Hal ini dapat dikatakan bahwa setiap individu menyerahkan diri dan
seluruh kekuasaannya untuk kepentingan bersama, di bawah kepentingan tertinggi
yaitu kehendak umum (volante generale) dan mereka menerima setiap
anggotanya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan.[19]
Peyerahan kekuasaan ini dapat dikatakan sebagai kontrak sosial, tetapi jika
kontrak sosial itu dilanggar maka masing-masing kembali kepada hak-hak alamiah
mereka. Hal ini berarti Rousseau menginginkan adanya kedaulatan rakyat secara
menyeluruh.[20]
Berdasarkan pemikiran-pemikiran kekuasaan negara tersebut dapat
disimpulkan bahwa pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara dan darimana
kekuasaan diperoleh berkaitan dengan kedaulatan. Kedaulatan tersebut dapat
dibedakan atas Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulan Negara, kedaulatan
Hukum dan Kedaulatan Rakyat. Teori-teori kedaulatan tersebut pada dasarnya
mempertanyakan hak moral apakah yang dijadikan legitimasi bagi setiap orang
atau sekelompok orang atau bagian suatu pemerintahan atau kekuasaan yang
dimilikinya, sehingga mempunyai hak untuk memegang dan mepergunakan kekuasaan
serta menuntut kepatutan atas kekuasaan dan otoritas yang dimiliki.
Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (people
souvereignty). Konsep kebebasan/persamaan dan konsep kedaulatan
rakyat merupakan dasar dari demokrasi. Kedaulatan rakyat berarti pemilik
kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyat atau yang dikenal adanya
selogan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kedaulatan
rakyat Indonesia disalurkan dan diselenggarakan melalui prosedure konstitusional.
Hal ini menunjukan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum yang Demokratis (democratische
rectsstaat) dan Negara Demokrasi yang berdasar atas Hukum (constitusional
democracy) yang tidak terpisah satu sama lain, sebagaimana menurut Jimly
Asshiddiqie[21]
Dalam sistem konstitusional Undang-Undang Dasar, pelaksanaan
kedaulatan rakyat itu disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur
konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional
democracy). Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan
kedaulatan hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara
beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, Undang-Undang
Dasar negara kita menganut pengertian bahwa Negara Indonesia itu adalah Negara
Hukum yang Demokratis (democratische rectsstaat) dan sekaligus adalah
Negara Demokrasi yang berdasar atas Hukum (constitusional democracy)
yang tidak terpisah satu sama lain.
Kedaulatan rakyat deselengarakan langsung dan melalui sistem
perwakilan. Henry B. Mayo dalam buku Introductions to Democratic Theory
mengatakan bahwa sistem politik yang demokrasi ialah dimana kebijaksanaan umum
ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif
oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas
prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik. Berdasarkan pendapat tersebut, diselenggarakan langsung dan
sistem perwakilan (direct demokracy) diwujudkan melalui pemilihan umum
untuk memilih wakil-wakil rakyat.
[1]
Pada “teori negara”, yang menjadi pusat perhatian ialah jawaban terhadap
pertanyaan, mengapa di antara manusia yang hidup dalam kelompok-kelompok, dalam
paguyuban-paguyuban, ada seseorang atau sekelompok orang yang dapat memerintah
orang lain. Pada “teori negara” yang menjadi pusat perhatian ialah masalah
wibawa, kuasa, perintah, (hed gezag, the authority, der herrschaft), dan
bagaiman terjadinya. A. Hamid S Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden
Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (suatu studi
analisis mengenai keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun
waktu Pelita I – Pelita IV)”, (Desertasi doktor Universitas Indonesia, Jakarta,
1990), hlm. 84.
[2]
Jika seseorang dikatakan mempunyai kekuasaan terhadap orang lain, maka artinya
bahwa orang yang berkuasa itu mampu untuk memaksakan kehendaknya terhadap orang
lain. Menurut Logeman terdapat lima macam legitimatie daripada gezag,
yaitu: (1) Charismatish gezag; (2) Magisch gezag; (3) Dynastiek
gefundeer gezag; (4) Gezag gelegitimeerd als vertegenwoordiging; (5)
Gezag ener elite. Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-Asas Hukum
Tata Negara, Cet. 3, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991), hlm. 125-126.
[3]
Plato dan Aristoteles banyak mempengaruhi sejarah filsafat zaman kini, filsafat
yunani mencapai puncak kejayaannya pada masa kedua tokoh ini. Pemikiran-pemikiran
mengenai negara dan hukum sudah menjadi bagian dari pandangan hidup pada zaman
tersebut. Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Cet. 13,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 18.
[4]
Menurut Aristoteles manusia adalah mahluk bermasyarakat. Kalau ada manusia yang
hidup tidak dalam masyarakat, maka ia bukan manusia lagi akan tetapi dewa atau
hewan. Jadi oleh karena manusia, maka harus hidup terikat dalam masyarakat. Abu
Daud Busroh, Op. Cit., hlm. 84-45.
[5]
Ibid., hlm. 28.
[6]
Alam telah memberikan naluri soaial kepada manusia yang membuat manusia
berkemampuan untuk menyempurnakan dirinya dalam membentuk kehidupan
bermasyarakat-bernegara. Sebagaimana dikutip Azhary dalam Aristoteles, Politika,
(New York: Random Hause Inc), hlm. 55.
[7]
Menurut Aristolteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan
pikiran yang adil. Penguasa hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Tetapi
kesusilaan yang menentukan baik dan buruknya suatu perundangan. Abu Daud
Busroh, Op. Cit., hlm. 110.
[8]
Franz Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 89.
[9]
J.J. Von schmid, Ahli-Ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum (dari Plato
sampai Kant), (Jakarta: PT. Pembangunan, 1980), hlm. 72-73.
[10]
Thomas Hobbes, Leviathan, (Middleessex England: Penguin Books, 1985),
Bab. 13.
[11]
Franz Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 207.
[12]“Men
being,…by nature, all free, equal and independent, no one can be put out of
this estate, and subjected to the political power of another, without his own
consent,” John Locke, Two
Treatises of Government, New Edition, (London: Everyman, 1993), hlm.
163.
[13]Selain
itu, Locke menggambarkan keadaan alamiah dengan mengungkapkan, “Men living
together according to reason, without common superior on earth with authority
to judge between them, is properly the state of nature.” Dengan demikian,
menurut Locke, keadaan di mana manusia hidup bersama sesuai dengan kehendak
akal tanpa ada seorang yang memimpin masyarakat di dunia dengan kewenangan
memutus suatu perkara di antara manusia adalah keadaan alamiah (state of
nature). Ibid., hlm. 124. Dari pernyataan ini tampak sekali bahwa
Locke termasuk orang yang sangat percaya akan superioritas akal dalam
menentukan hitam dan putihnya kehidupan manusia. Pandangan yang sangat liberal
–untuk ukuran waktu itu– ini mula-mula mendapat perlawanan yang sangat keras,
meskipun akhirnya secara empiris memperoleh dukungan yang cukup signifikan
dalam perkembangan pemikiran negara.
[15]Berkaitan
dengan hal ini, Locke mengatakan, “The great and chief end therefore, of
men’s uniting into commonwealths, and putting themselves under government, is
the preservation of their property. To wich in the state of nature there are
many things wanting.” Ibid., hlm. 178.
[16]
Franz Magnis Suseno, Op. Cit., hlm. 221.
[17]
Ibid., hlm. 222
[18]
Jean Jacques Rousseau mendeskripsikan hubungan ayah dan anak hanyalah sebuah
perjanjian. Hubungan tersebut memang pada awalnya merupakan hubungan alamih,
hal ini terjadi selama seorang anak mebutuhkan ayahnya untuk
bertahan hidup. Jean Jacques Rousseau, Jean Jacques Rousseau, The Social
Contract, (London: Penguin Books, 1968), hlm. 50; Setiap Manusia
dilahirkan memiliki kapasitas atau potensi untuk mengembangkan kebebasanya
sebagai manusia yang bebas. Jean Jacques Rousseau, Annatated Editions The
Social Contract or Principles of Political Righ, Cet. 9, (United States of
America: The New America Library, 1974), hlm. 4.
[19]
Ibid., hlm. 61.
[20]
Rousseau mau menjamin kebebasan total manusia, dan bukan hanya sebagian,
seperti Locke. Karena itu kehendak negara harus identik total dengan kehendak
semua individu. Tetapi ini sebaliknya berarti bahwa individu secara total masuk
ke dalam negara. Rousseau ingin menciptakan indentitas total anatara kehendak
rakyat dan kehendak negara. Franz Magnis Suseno, Op. Cit.,
hlm. 250-251.
[21]
Jimly Asshiddiqie, “Sruktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat
UUD Tahun 1945”, (Makalah disamapaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Denpasar, 14-18
Juli 2003), hlm. 1.
ANALITICAL JURISPRUDENCE “JOHN AUSTIN”
Analitical Jurisprudence “John Austin”
Keberadaan positivisme
hukum tidak dapat dilepaskan dari kehadiran negara modern.[1]
Sebelum abad ke 18 pikiran itu talah hadir, dan menjadi semakin kuat sejak
kehadiran negara modern. Selain itu, pemikiran positivisme hukum adalah bagian
yang tidak dapat dilepas dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu).[2]
Berbeda dengan pemikiran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan validasi
hukum buatan manusia, maka pada positivisme hukum, aktivitasnya justru
diturunkan kepada permasalahan konkrit. Jawaban terhadap permasalahan konkrit
tersebut, berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang ada dalam positivisme, yakni:[3]
- Suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (Comte dan Spenser), bukan pula bersumber pada jiwa bangsa (Savigny) dan bukan juga karena dasar-dasar hukum alam, melainkan mendapatkan bentuk postifnya dari instansi yang berwenang.
- Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya; bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material.
- Isi hukum (material) diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak keberadaan ilmiah ilmu hukum.
Secara epistimologi
kata “positif” diturunkan dari bahasa Latin ponere-posui-positus yang
berati meletakan. Kata “meletakan” menunjukkan bahwa dalam positivisme adalah
sesuatu yang sudah tersaji (given). Dalam bidang hukum, sesuatu yang
tersaji itu adalah sumber hukum positif, yang sudah diletakkan oleh penguasa
politik.[4]
Berdasarkan uraian
singkat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa positivisme hukum mencoba
menyingkirkan spekulasi tentang aspek metafisik dan hakikat hukum. Latar
belakangnya tidak lain adalah usaha pembatasan “dunia” hukum dari segala
sesuatu yang ada di balik hukum dan mempengaruhi hukum tersebut. Aliran
pemikiran ini hendak menjadikan hukum sepenuhnya otonom dan menyusun sebuah
ilmu pengetahuan hukum yang lengkap yang didasarkan atas semua sistem normatif
yang berlaku di dalam masyarakat. Sistem normatif yang berlaku itu
dimanifestasikan di dalam kekuasaan negara untuk memberlakukan hukum dengan
kelengkapannya, yaitu sanksi.[5]
Pemikiran postivisme dapat dibagi menjadi dua Postivisme Klasik tokohnya antara
lain John Austin dan Hans Kelsen dan Neopostivisme tokohnya antara lain HLA
Hart, Lon Fuller dan Dworkin. Dalam tulisan ini tidak dibahas seluruh tokoh
Postivisme, akan tetapi hanya mencoba John Austin. Tulisan ini mencoba memahami
secara sederhana pemikiran John Austin yakni “ Analitical Jurisprudence”.
A. John Austin:
Biografi Singkat
Kehidupan John Austin
dipenuhi dengan kekecewaan dan harapan yang tidak terpenuhi. Austin dilahirkan
pada tahun 1790 di Sufflok, dari keluarga kaum pedagang.[6]
Austin pernah berdinas di tentara, dan ditugaskan di Sisilia dan Malta. Namun
ia juga mempelajari hukum. Pada tahun 1818, ia bekerja sebagai advokat[7]
Tapi ia tidak menjalaninya secara serius. Ia belakangan meninggalkan
pekerjaan itu, pindah menjadi seorang ilmuwan hukum. Pada tahun 1826 hingga
1832, ia bekerja sebagai guru besar bidang jurisprudence di London
University. Sesaat setelah mengundurkan diri sebagai profesor, ia banyak
menjabat jabatan-jabatan penting di lembaga-lembaga kerajaan. Misalnya ia
pernah bekerja di Criminal Law Commission dan Royal Commisioner
untuk Malta.[8]
Berapa teman yang
banyak mempengaruhi pemikiranya (Jeremy Bentham, James Mill, John Stuart Mill
dan Thomas Carlyle) sangat terkesan dengan kecerdasan Austin, mereka
meperkirakan Austin akan memiliki karir yang sangat panjang.[9] Namun, dalam kenyataannya Austin lebih memilih untuk
mengakhiri karir secara cepat baik dalam dunia akademis, maupun dalam
pemerintahan. Walaupun ia seorang jurist Inggris, kuliah-kuliahnya di Bonn
Jerman, telah memberikan bukti yang penting tentang pengaruh pemikiran politik
dan hukum Eropa Kontinental dalam diri Austin. Kumpulan kuliah ini yang
kemudian diterbitkan sebagai buku, berjudul The Province of Jurisprudence
Determined (1832). Karyanya yang lain adalah Lectures on Jurisprudence,
diterbitkan atas upaya keras dari istrinya, Sarah, pasca Austin tutup usia pada
1859.[10]
B. Analytical Jurisprudence
Pemikiran pokok tentang
hukum John Austin dituangkan terutama dalam karyanya berjudul The
Province of Jurisprudence Determined. Karya tersebut paling lengkap dan
penting mengenai usaha untuk menerapkan sistem positivisme analitis dalam
negara-negara modern, bahkan Austin sering disebut sebagai pembentuk legal
positivism.[11]
Dalam memberikan rumusan tentang hukum, Austin menggantikan “cita-cita tentang
keadilan (ideaof justice) dengan “perintah yang berdaulat” (comend
of sovereign) sebagaimana dijelaskan oleh Austin “Positif law… is the
set by sovereign person, or a sovereign body of person, to members of
independent political society wherein that person or bady is sovereign pr
supreme”.[12] Menurut Austin, hukum adalah suatu peraturan yang dibuat
untuk dipergunakan sebagai pedoman makhluk berakal, oleh makhluk berakal yang
mempunyai kekuasaan terhadapnya. Menurut interpretasi Austin, hukum positif
berakar sepenuhnya dari fakta-fakta empiris yang bersumber dari ketentuan
berdaulat.[13]
Hukum dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada pengertian “baik” dan
buruk akan tetapi didasarkan pada kekuasaan dari sesuatu yang lebih kuat (the
powers of superior).[14] Berarti, hakikat hukum terletak pada usur “perintah” dari
yang berdaulat.
Menurut Austin,
filsafat hukum memiliki dua tugas penting. Kegagalan membedakan keduanya, akan
menimbulkan kekaburan baik intelektual maupun moral. Kedua tugas ini berkaitan
dengan dua dimensi dari hukum yakni yurisprudensi analitis dan yurisprudensi
normatif.
- Yurisprudensi analitis (analytical jurisprudence), berkaitan dengan tugas filsafat hukum adalah melakukan analisis tentang konsep dasar dalam hukum dan struktur hukum bagaimana adanya. Pertanyaan tentang apa itu hukum, tanggungjawab hukum, hak dan kewajiban hukum, misalnya adalah contoh pertanyaan-pertanyaan khas yang diajukan filsuf atau pemikir hukum sebagai titik tolak dalam menganalis dan mencoba memahami konsep dasar tersebut.
- Yurisprudensi normatif (normative jurisprudence) berusaha mengevaluasi atau mengkritik hukum dengan berangkat dari konsep hukum sebagaimana seharusnya. Pertanyaan-pertanyaan pokok yang diajukan antara lain mengapa hukum disebut hukum, mengapa kita wajib mentaati hukum, manakah basis validitas hukum, dan sebagainya. Dengan demikian, dimensi yang kedua ini berurusan dengan dimensi ideal dari hukum.[15]
Berdasarkan perbedaan
tersebut Austin mencoba memisahkan antara hukum dan moral. Karena menurut
Austin, ilmu hukum analitis memperhatikan fakta-fakta mendasar dari hukum,
asal-usunya, keberadaannya dan konsep yang melatar belakanginya yang harus
dibedakan dengan ilmu hukum normatif yang memfokuskan diri pada pertanyaan
tentang kebaikan dan keburukan dari hukum yang ada.[16]
Dengan kata lain dapat ditegaskan kembali Austin memisahkan antara hukum dengan
moral. Ilmu hukum hanya membahas hukum positif saja, tidak membahas hubungan
antara hukum positif dengan moral. Hukum tidak memperdulikan baik atau
buruknya, diterima atau tidak oleh masyarakat. Untuk memperjelas perbedaan
tersebut lihat bagan 1.1.
THE PLURALIST THEORY OF THE STATE (TEORI PLURALIS TENTANG NEGARA)
Teori Pluralis Tentang Negara
“kedaulatan
pluralis” menolak adanya kedaulatan tunggal “kedaulatan monistik” dan mutlak dalam
negara. Negara dilihat sebagai suatu hubungan antara kelompok dengan kelompok
yang lainnya, kelompok-kelompok tersebut harus mandiri (independent) dan
membuat kebijakan tanpa kontrol dari negara (m ilham h, 2010)”
Tokoh : Léon Duguit, Hugo Krabbe, and Harold J.
Laski
Permasalah
Kedaulatan
Komponen yang penting
dari argumentasi pluralis adalah serangan terhadap “kedaulatan monistik” yang
terpusat. Dan, adanya pendapat bahwa diperlukannya penyebaran kewenangan dan
kekuasaan untuk kelompok-kelompok. Teori pluralis ini adalah reksi terhadap
pedapat Bodin, Hobbes, Austin dan sebagainya.
Bodin adalah orang
pertama yang menggunakan istilah tersebut secara sistematis dalam pemikiran
Eropa dan dapat dikatakan bahwa ia mengindentifikasikan hal tersebut dengan negara.
Kedaulatan menyiratkan “kekuatan tertinggi atas warga negara tidak dibatasi
(kebebasan) oleh hukum. Para pemikir absolutis menyatakan bahwa hal ini
penting untuk setiap negara commonwealth untuk memiliki gagasan
seperti itu. Bahkan, teori kedaulatan dinyatakan sebagai poros untuk teori
absolut.
Dalam negara terdapat
kedaulatan, sesuatu yang sifatnya alamiah mutlak, abadi, tak terpisahkan dan
tidak dapat dicabut (dihilangkan). Pemenggang kekuasaan (yang berdaulat)
-dasarnya kedaulatan absolutisme-, adalah sesuatu yang tertinggi di setiap
Negara. Ini awalnya seseorang atau orang, memiliki sumber dari semua
hukum dan otoritas. Jadi pemenggang kekuasaan (yang berdaulat) tidak dapat
dilawan secara hukum. Perlawanan Hukum adalah sebuah kontradiksi, karena harus
memiliki legitimasi dari yang berdaulat. Jadi raja berdaulat sering
disebut sebagai hukum yang hidup.
Hobbes, Bodin dan
Austin memiliki dasar argumen yang berbeda. Menurut Hobbes dalam pandangannya,
menggambarkan kelompok sebagai ‘worms in the entrails’ dari tubuh
politik. Grup (kelompok) dipandang sebagai kumpulan individu. Kelompok adalah
entitas buatan, keberadaannya hanya sebagai konsesi (kerelaan) dari yang
berdaulat. Mereka ada karena alasan kemauan dari yang berdaulat dan dapat
dihentikan atas kemauan yang berdaulat pula. Ini hal logis dari kedaulatan
terpusat. Meskipun variasi dan elaborasi, khususnya dengan kemajuan kedaulatan
rakyat, pandangan kedaulatan monistik tetap mejadi diskusi pada abad kedelapan
belas dan kesembilan belas.
Kedaulatan memberikan
penjelasan tentang keutuhan yang diperlukan negara. Salah satu sarjana
berpendapat, ‘Teori kedaulatan ini merupakan hasil dari kebutuhan untuk
membernarkan beberapa teoritis dasar adanya persatuan (unity).” Dengan
demikian teori kedaulatan adalah teori persatuan (unity). Adanya
elaborasi (pembahasan – uraian yang panjang) dari dasar kedaulatan merupakan
indikasi adanya kebutuhan untuk persatuan tersebut.
Gierke dan Figgis
mengidentifikasi sumber dari prinsip kedaulatan dengan hukum Romawi. Doktrin ‘plenitude
of power’ (plenitudo potestatis) diambilnya dari pemikiran Paus. Doktrin ‘plenitude
of power’ (plenitudo potestatis) diadaptasi oleh Paus untuk membenarkan
klaim absolut mereka. Figgis mengutip Hobbes, mengatakan bahwa dalam Paus kita
melihat ‘The ghost of the Roman Empire sitting crowned on its grave’.
Untuk Figgis, Paus bisa mengatakan L’Eglise c’est moi merupakan
kebenaran dari Louis XIV. Dan, Louis XIV bisa saja mengatakan dia adalah
negara.
Pada perkembangnnya,
lahir pemikiran pluralis, yang berlanjut hingga abad kedua puluh. Menurut
pluralis, tidak menjadi permasalahan apakah negara demokratis, diperintah oleh
Paus atau kedaulan absolut, jika kedaulatan dianggap sebagai hal mutlak dan
indivisable, maka dapat merusak persatuan skala kecil. Menurut Figgis, The
great Leviathan of Hobbes, the plenitude potestatis of the canonists,
the arcana imperii, dan teori kedaulatan Austin, semua itu merupakan
hal yang sama yakni kekuasaan takterbatas dan takterhingga yang diberikan
oleh hukum di dalam Negara.
Pembahasan yang penting
yakni terhadap pertanyaan mengapa pluralis menolak doktrin kedaulatan? Sepeti
apa yang telah di jelaskan di atas. Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya
cukup rumit dan kompleks, yakni:
- Terutama, para pluralis menolak adanya ide kedaulatan hukum. inti dari masalah ini adalah bahwa Negara tidak menciptakan hukum. Pluralis keberatan adanya ide bahwa hukum dan hak hanyalah tidak lebih merupakan perintah yang berdaulat. Gierke berpendapat, dalam tradisi dan sejarah common-law yang kuat, individu bukan hanya sebagai manusia, tetapi individu sebagai anggota masyarakat (bangsa) yang hadir sebagai pembawa hak. Dan, hukum rakyat buka a law (sebuah hukum), tetapi the law (hukum yang sebenarnya). Hukum berasal dari kelompok masyarakat, bukan merupakan perintah dari yang berdaulat. Dengan demikian, negara terikat untuk menghormati kepribadian otonom dari setiap kelompok. Negara dapat mengakui dan mengesahkan hukum yang ada, tetapi tidak menciptakannya (de novo).
- Pluralis menolak adanya kedaulatan politik, yaitu gagasan bahwa harus ada kekuasaan tunggal dalam setiap tatanan sosial yang menjadi acuan utama. Gagasan seperti ini menurut Laski sebagai hal yang tidak dapat dipertahankan. Karena adanya kukuatan sentran dalam setuap negara merupakan kenyataan yang palsu. Studi politik sering didominasi oleh mitos kontrol kekuasan pusat. Hal ini mengabaikan hak-hak yang melekat pada kelompok untuk menjadi mandiri. Dan, berakibat salah dalam memahami konsep kekuasaan.
- Bahaya lain kedaulatan hukum dan politik adalah bahwa, dalam teori negara tertentu, mengarah pada klaim kedaulatan moral, di mana Negara dianggap sebagai perwujudan dari kebaikan semua warganya. Pluralis menolak gagasan kedaulatan moral. kedaulatan Moral mengandung arti bahwa individu-individu dan kelompok tidak bisa memiliki penilaian mandiri (independen) atas diri mereka sendiri, hal ini merusak kebebasan mereka. Kehidupan moral individu adalah madiri independen dari pemerintah.
Secara keseluruhan,
menurut pluralisme bahwa kedaulatan monistik dipandang sebagai hal yang fiktif
yang konsekuensi berbahaya jika dilakukan secara serius di bidang politik,
hukum atau moral. Akan tetapi, pluralis tidak menganjurkan meninggalkan
kedaulatan secara total (menyeluruh). Otoritas dapat muncul dalam banyaknya
kelompok sosial. Pluralisme terdiri dalam pengakuan atas klaim kedaulatan
kelompok lain selain Negara. Negara menurut pluralisme masih tetap ada,
meskipun sifatnya perlu diperiksa dengan hati-hati.
Tidak mungkin ada
keseragam yang akan diwakili oleh yang berdaulat. Manusia akan selalu dikaitkan
dengan kelompok. Jadi pluralisme melihat keterwakilan yang tidak hanya fenomena
individualistik, tetapi juga keterwakilan kelompok fungsional. Ini adalah dasar
dari ide-ide mereka untuk mereformasi praktek-praktek demokratis. Dengan
demikian jelaslah bahwa visi Rousseau kedaulatan rakyat “kedaulatan umum”
adalah bertentangan dengan gagasan pluralistik kelompok. Pluralis menyarankan
reorientasi demokrasi untuk mencerminkan kepentingan kelompok fungsional.
Bahkan keterwakilan teritorial sendiri, yang menggap orang-orang dapat diwakili
secara individual, menurut pluralis tidak cukup.
Cole mengatakan ‘Tidak
ada kedaulatan universal dalam masyarakat, karena kumpulan individu yang
membentuk masyarakat tidak dapat sepenuhnya diwakili oleh bentuk asosiasi.
Untuk tujuan yang berbeda, mereka jatuh ke dalam kelompok yang berbeda, dan
kedaulatan ada hanya dalam aksi dan interaksi kelompok-kelompok.
Namun demikian, sulit
untuk memahami ide-ide didalam pluralis. Karena, pada titik tertentu ada
keinginan kuat untuk meninggalkan hampir semua diskusi mengenai konsep
kedaulatan. Namun, disisi lain terdapat aspek lain dari argumen pluralis,
yakni tentang desentralisasi kekuasaan dan wewenang untuk kelompok. Desentralisasi
ini sangat berhubungan dengan pengakuan kepribadian hukum dari kelompok.
Kadang-kadang, pluralis berbicara tentang desentralisasi kedaulatan. Setiap
kelompok terlihat memiliki status hukum sendiri secara independen. Akan tetapi
terdapat permasalahan, bagaimana seluruh rangkaian kepentingan kelompok dibagi
sama-sama tinggi? Di sisi lain, argumen kedaulatan plural tidak lebih masuk
akal dari klaim kedaulatan rakyat. Apakah masuk akal mengklaim bahwa semua
orang berdaulat dari serangkaian kelompok-kelompok?
Negara
Pluralitas
Teori pluralis muncul
dalam konteks penilaian negatif dari adanya teori monistik. Pluralis,
sebagaimana dikemukakan sebelumnya, mengkritik tentang gagasan kedaulatan,
negara dan hukum. Hal ini sering melahirkan bahwa para pendukung teori pluralis
tidak bisa memiliki teori Negara. Namun dalam kenyataannya para pendukung teori
ini tidak sepenuhnya menolak Negara. Mereka mencoba melahirkan teori tentang
ide Negara yang menggabungkan keanekaragaman maksimal kehidupan kelompok dan
beberapa bentuk otoritas pusat.
Gierke misalnya,
menyatakan bahwa Negara merupakan hal yang tertinggi dan paling inklusif di
antara entitas kolektif, tidak berwujud tapi secara intelektual dikenali
sebagai hal yang “nyata”, dimana eksistensi (keberadaannya) manusia sosial
ditegakkan atas eksistensi individu.
Baginya entitas
kolektif adalah sesuatu yang abadi, hidup, sadar (rela), dan bertindak sebagai
kesatuan yang dibentuk oleh seluruh rakyat. Negara, menurut Gierke, berbeda
dengan asosiasi lain atau kelompok orang. Dengan kata lain, Gierke memikirkan
negara sebagai hal yang berdaulat. Dia juga melihat adanya batas-batas antara
kelompok dan Negara sangat fleksibel. Menurut Gierke masalah dan kompetensi
otoritas politik akan selalu memproyeksikan diri ke dalam setiap bidang
kehidupan sosial manusia. Para pendukung teori pluralis di Inggris tidak tidak
berbeda jaug dengan pendapat Gierke, mereka menerima bahwa ada konsep pluralis
Negara.
Ada dua masalah utama
dalam negara pluralis dalam teori.
- Pertama, terlepas dari kesepakan para pendukung negara pluralis tentang pengertian kebebasan melalui kehidupan kelompok, kedaulatan jamak dan kepribadian kelompok, pluralis masih kurang tepat dalam terminologi mereka tentang Negara.
- Kedua, para penganut prluralis berbeda dalam menentukan nial yang sebenarnya tentang apa yang dimaksud Negara.
Ketidakakuratan dalam
terminologi yang dugunakan dalam konsep masyarakat, Negara dan pemerintah.
Untuk beberapa pluralis, Negara tampaknya diarikan singkatan sebagai bagian
pemerintah. Laski berpendapat, Teori negara pada dasarnya merupakan sebuah
teori tindakan pemerintah. Hal penting dalam pandangan ini, Negara secara
minimal dipahami dan diidentifikasi dengan lembaga-lembaga politik dan proses
pemerintahan. Hal ini juga berbeda dari pengertian masyarakat. Masyarakat
biasanya menunjukkan seluruh kumpulan kelompok fungsional yang terkait. Cole,
membedakan “communit’ dengan “‘society”. Didalam negara “society
berada pada communit”. “society”, adalah mekanisme
kehendak umum, akan tetapi kehendak akan berada di “community”. Cole
juga berbicara Negara hanyalah organisasi politik yang berbasis teritorial,
politik mewakili warga negara secara keseluruhan.
Negara menurut padangan
Figgis, dianggap sebagai “society of societies”. Negara, dipahami
sebagai kolektivitas hidup kesatuan kelompok dalam sebuah entitas politik
tunggal. Negara tidak setara dengan pemerintah. Negara merupakan kekuatan
masyarakat dari seluruh kumpulan kelompok. Akan tetapi perlu diutarakan pula
Figgis sendiri tidak sepenuhnya mejelaskan mengenai hal ini.
Kurangnya ketepatan
bahasa tentang apa sebenarnya Negara. Kita dapat lihat pendapat Cole. Cole
dalam karyaya, Self-government in Industry (1917), Negara
didefinisikan sebagai “mesin politik pemerintah dalam masyarakat (the
political machinery of government in a community). Seluruh kompleks
institusi untuk aksi bersama dalam komunitas (community) adalah
masyarakat. Menurutnya Negara adalah satu kumpulan dari banyak kelompok.
Laski, sepertihanya
Cole, dalam tulisan-tulisan awalnya, negara kurang lebih diidentifikasi dengan
mesin yang memerintah, tetapi perbedaannya adalah negara dilihat sebagai salah
satu asosiasi di antara banyak asosiasilainnya. Negara tidak berbeda secara
substansi dari sebuah serikat buruh atau Gereja. Kekuatan adalah pedekatan
persuasi bukan pada kekerasan langsung. Kepribadian sesungguhnya dari sebuah
kelompok menegasikan peran sentral untuk Negara. Teapi menurut Laski negara
bukalnah kepribadian.
Laski berpendapat bahwa
keinginan Negara tidak lebih dari sebuah kompetisi dari kehendak kelompok lain.
Di lain waktu ia menunjukkan bahwa kehendak negara dibentuk oleh perjuangan
yang terjadi antara persaingan kehendak. Laski curiga terhadap segala bentuk
statisme yang terpusat dan birokrasi apakah itu Fabianism, Marxisme atau
Liberalisme Baru (lihat Deane, 1955, hlm 59-72). Laski berpendapat bahwa esensi
Negara adalah kemampuannya untuk menegakkan norma-norma dimana semua orang yang
tinggal dalam batas-batasnya.
Pemikiran Figgis
merupakan pemikiran yang paling dekat dengan ide Negara pluralis. Figgis
menyatakan masalah utamanya sebagai hubungan komunitas-komunitas kecil “communitas
communitatum” yang sebut negara. Untuk Figgis, tidak seperti Laski awal
dan Cole, Negara berbeda dari semua jenis asosiasi atau kelompok. Figgis tidak
benar-benar jelas apa yang dimasudnya, tetapi apa yang ia katakan adalah bahwa
Negara harus dipahami dalam arti yang kompleks. Terutama, itu adalah sintesis
dari kemauan hidup (synthesis of living wills).
Adalah penting untuk
menyadari bahwa intrinsik entitas kolektif ini adalah pengakuan terhadap
kelompok independen. Jadi tidak ada argumen yang dapat digunakan untuk
membenarkan dominasi total pemerintah. Pemerintah juga tidak identik dengan
Negara.
Sebaliknya, Hobson berpendapat, ia membawa
otoritas seluruh Negara pada tingkat tertinggi dan umum. Sistem total dari
kehendak disalurkan ke dalam kehendak tunggal untuk mencegah ketidakadilan yang
dilakukan oleh individu atau kelompok, untuk mengamankan hak-hak dasar,
mengakui dan mengatur kelompok.
Figgis membayangkan
Negara seperti menggabungkan, masyarakat, semua kelompok dan individu dalam
suatu wilayah. Fokusnya akan muncul di lembaga-lembaga pemerintahan tertentu.
Namun, yang merupakan kehendak Negara adalah pluralitas kelompok independen.
Dapat dikatakan di sini bahwa Figgis mengakui bahwa Negara bisa dipahami dalam
baik luas dan arti sempit. Ide yang luas adalah totalitas kelompok, yang
“sintesis kemauan hidup” (synthesis of living wills), pemahaman sempit
adalah fokus yang “sintesis dalam pemerintahan” (synthesis in government).
Negara pluralis tidak
berdaulat dalam pengertian konvensional. Fungsi badan bukan untuk menjalankan
kekuasaan, melainkan untuk mengawasi dan mengatur hubungan antara kelompok dan
individu demi kepentingan keadilan, ketertiban dan kebebasan. Suatu Negara
pluralis mewujudkan perdebatan kritik, terus-menerus dan kompromi antara
kelompok-kelompok. Ini adalah asosiasi dari individu-individu, yang bersatu dalam
berbagai kelompok masing-masing dengan hidup bersama, dalam sebuah kelompok
lebih yang lanjut dan lebih tinggi dan lebih merangkul tujuan bersama’
KONSEP DEMOKRASI DALAM POLITIK JALAN KE TIGA
Konsep Demokrasi dalam Politik Jalan ke Tiga
(Analisis terhadap Pemikiran Anthony Giddens dalam Karyanya The Third Way: The Renewal of Social Democracy)
(Analisis terhadap Pemikiran Anthony Giddens dalam Karyanya The Third Way: The Renewal of Social Democracy)
I. Pendahuluan
A. Permasalahan
Dalam
politik jalan ke tiga, Giddens mengajukan program: “the radical centre, the new democratic state, active
civil society, the democratic family, the new mixed economy, equality as
inclusion, positive welfare state, the social investment state, the cosmopolitan
nation, cosmopolitan democraticy”. Berangkat dari rangkaian
pemikiran Giddens yang terdapat dalam karyanya The Third Way itu, maka terlihat jelas konsep
demokrasi adalah salah satu hal yang penting dalam pemikirannya. Oleh sebab
itu, sekaligus untuk membatasi ruang lingkup analisis dalam tulisan kali ini,
maka hanya masalah demokrasi inilah yang akan penulis pilih sebagai salah satu
pokok pembahasan lebih lanjut.
B. Metode Kajian
Dalam menganalisis konsep
demokrasi yang terdapat di dalam politik jalan ke tiga yang ditawarkan oleh
Giddens, maka metode kajian yang digunakan oleh penulis adalah metode kajian
kepustakaan.
Dengan
memilih metode kajian kepustakaan tersebut, maka data yang digunakan adalah
data sekunder atau data kepustakaan. Sebagian besar data itu adalah berupa
buku. Data sekunder yang digunakan oleh penulis dalam penelitian kali ini,
terutama adalah buku karya Giddens yang berjudul asli The Third Way: The Renewal of Social
Democracy (untuk selanjutnya akan disebut The Third Way).
C. Tentang Buku The Third Way
Dalam
sebuah karyanya yang berjudul The
Consequences of Modernity,
Giddens menggambarkan keadaan dunia sekarang ini seperti sebuah juggernaut (truk besar)
yang sedang meluncur kencang tanpa terkendali. Apa yang diungkapkan Giddens
tersebut tentu dimaksudkan untuk menggambarkan perubahan yang begitu cepat,
yang menjadi karakter zaman sekarang ini, yang tidak saja menciptakan berbagai
persoalan baru, tetapi juga menuntut pendekatan baru atas persoalan-persoalan
lama.[1]
Dunia
sekarang ini, digambarkannya sebagai masa yang diliputi oleh ketidakpastian.
Dalam dunia politik, ekonomi dan sosial, muncul banyak fenomena baru yang tidak
lagi dapat dengan mudah dikelompokkan dan diselesaikan dengan kategori dan
perspektif “kiri” dan “kanan”.[2] Baik demokrasi sosial lama (sosialisme parlementer yang moderat)
maupun neoliberalisme (kapitalisme dengan filsafat pasa bebasnya) tidak lagi
memadai untuk menangani persoalan-persoalan politik, ekonomi dan sosial global.
Dalam
konteks sebagaimana tersebut di atas, muncul pemikiran Anthony Giddens, yang
tertuang dalam buku berjudul The
Third Way: The Renewal of Social Democracy, yang terbit pada tahun
1998. Dalam buku yang telah diterjemahkan pula dalam bahasa Indonesia dengan
judul The Third Way: Jalan
ke Tiga, Pembaruan Demokrasi Sosial ini, Giddens menawarkan
pemikiran yang diharapkan dapat menjawab persoalan-persoalan masa kini dengan
mengadaptasi konsep demokrasi sosial yang dilahirkan dengan melihat dan
mempertimbangkan keadaan dunia yang secara fundamental telah mengalami
perubahan. Jadi demokrasi yang ditawarkan oleh Giddens ini, dianggap sebagai
tawaran konsep yang baru, yaitu sebagai “jalan ke tiga”, karena merupakan upaya
untuk melampaui, baik demokrasi sosial (gaya lama) maupun neoliberalisme.
Dengan perkataan lain, politik jalan ke tiga ini diharapkan dapat menjadi
pilihan utama bagi teori dan praksis demokrasi masa sekarang.
Buku The Third Way ini
diterbitkan pada tahun 1998, dan terdiri dari 5 (lima) bab, yang masing-masing
babnya diberi judul sebagai berikut: Sosialisme dan Sesudahnya, Lima Dilema,
Negara dan Masyarakat Madani, Negara Investasi Sosial, serta Memasuki Abad
Global.
Sambil
mengkritik, baik demokrasi sosial gaya lama maupun neoliberalisme, dalam
bukunya ini, Giddens menunjukkan bagaimana jalan ke tiga, yang tidak lain
adalah demokrasi sosial yang baru, tidak saja dapat menjadi the survivor dalam kancah
pertarungan ideologi kiri dengan kanan, tetapi juga dapat menjadi pemenang yang
menjanjikan jawaban untuk berbagai persoalan rumit dewasa ini.
Dalam bab
pertama, Giddens mengawali buku The
Third Way dengan menggambarkan keruntuhan sosialisme yang dramatis[3],
dan bagaimana 2 (dua) ideologi politik dominan sesudahnya, yaitu
neoliberalisme, tidak mampu untuk menjawab tantangan global. Dari penjelasan
ini, sebenarnya Giddens sudah pula mulai menunjukkan perlunya sebuah pendekatan
baru yang melampaui atau melebihi kubu sosialisme dan neoliberalisme yang
dianggapnya telah gagal itu.
Dalam bab
ke dua, Giddens membahas 5 (lima) persoalan yang menjadi permasalahan mendasar
masyarakat di abad ke-21, yang tidak lain merupakan consequences of modernity.
Persoalan-persoalan itu meliputi: masalah globalisasi[4],
individualisme (dalam kaitannya dengan komunitas), perbedaan kanan dan kiri,
subyek pelaku politik, dan masalah-masalah ekologi. Pemahaman dan sikap dalam
menghadapi persoalan-persoalan itu sangat menentukan terciptanya kebijakan
dalam bidang politik, ekonomi dan sosial yang mampu menjawab persoalan
masyarakat global.
Dalam
berhadapan dengan masalah globalisasi, Giddens mengajukan pendapat, bahwa tidak
seharusnya mengambil sikap membentengi diri terhadap arus globalisasi,[5]
atau membiarkannya berlangsung tanpa kendali[6].
Yang penting dalam menghadapi globalisasi adalah bagaimana masyarakat dapat
menangani akibat-akibat yang ditimbulkan oleh globalisasi itu.
Dari
penjelasan itu, dapat dipahami bahwa Giddens tidak menganjurkan untuk bersikap
anti terhadap globalisasi, juga ia tidak menganjurkan untuk bersikap pasrah
begitu saja dalam menghadapi globalisasi. Pendapat Giddens lebih mengajak untuk
bersikap kreatif dalam mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
globalisasi. Bagi Giddens, “Politik jalan ke tiga harus bersikap positif
terhadap globalisasi…”.[7]
Selain
itu, menurut Giddens, persamaan (kolektivitas) dan kebebasan individual
(individualitas) tidak selalu berarti saling bertentangan. Karena itu, maka
jalan ke tiga mencari suatu keseimbangan yang baru dalam hubungan antara
individu dengan komunitas, yaitu “…sebuah definisi ulang dari hak dan
kewajiban”.[8]
Dalam bab
ke dua ini, Giddens juga memaparkan nilai-nilai jalan ke tiga, yang terdiri
dari: persamaan, perlindungan terhadap mereka yang lemah, kebebasan sebagai
otonomi, tidak ada hak tanpa tanggung jawab, tidak ada otoritas tanpa
demokrasi, pluralisme kosmopolitan, dan konservatisme filosofis.[9] Bagaimana dengan demokrasi? “Dalam masyarakat sekarang”, kata
Giddens, “tidak ada otoritas tanpa demokrasi”.[10] Kaum kanan mencari legitimasi otoritas pada simbol-simbol
tradisional, seperti negara, pemerintah dan keluarga, sedangkan jalan ke tiga
yakin bahwa satu-satunya jalan menuju pembentukan otoritas adalah demokrasi.
Masalah
lain yang dibicarakan dalam bab ke dua ini adalah masalah yang timbul di bidang
ekologi. Industri walau bagaimanapun tetap diperlukan untuk mengolah alam,
tetapi dampak ekologisnya harus diwaspadai. Tantangan politik jalan ke tiga,
salah satunya adalah, bagaimana cara menghadapi persoalan ekologis dan
dampak-dampak akibat pengembangan dan penggunaan teknologi dapat diintegrasikan
dalam kebijakan politik jalan ke tiga?
Secara
garis besar, di dalam bab ke dua ini Giddens mengeksplorasi persoalan modern
yang dapat menjadi tantangan sekaligus peluang bagi politik jalan ke tiga.
Dalam
bab-bab selanjutnya, Giddens menunjukkan bagaimana jalan ke tiga dapat
menangani persoalan-persoalan yang dihadapi dunia sekarang ini. Bagian ini
adalah bagian penting yang berisi gagasan-gagasan pokok yang dituangkan dalam
program-program jalan ke tiga, yang antara lain terdiri dari: negara demokratis
baru (negara tanpa musuh), masyarakat madani yang aktif, ekonomi campuran baru,
modernisasi institusi-institusi kesejahteraan, negara berinvestasi sosial,
bangsa kosmopolitan (politik satu bangsa) dan demokrasi kosmopolitan.
Dalam bab
ke tiga yang berjudul Negara
dan Mayarakat Madani, Giddens mengajukan gagasannya mengenai negara
dan masyarakat. Kalau kaum sosial demokrat (lama), secara historis, sangat
ingin memperluas peran negara, dan kaum neoliberal ingin memperkecil peran
negara, maka jalan ke tiga menyatakan bahwa yang terpenting adalah
merekonstruksinya. Giddens menjelaskan pandangannya mengenai peran negara
dengan mengatakan “Reformasi negara dan pemrintah harus menjadi prinsip dasar
politik jalan ke tiga, sebuah proses pendalaman dan perluasan demokrasi”.
Proses itu disebut Giddens dengan nama ”pendemokrasian demokrasi”.[11]
Bagaimana
jalan ke tiga mengelola persoalan ekonomi? Jawaban atas pertanyaan itu, Giddens
berikan pada bab ke empat. Jalan ke tiga menawarkan kebijakan ekonomi yang
Giddens sebut sebagai new
mixed economy. Kebijakan new
mixed economy ini ingin mencari sinergi (keseimbangan) antara
sektor publik dengan swasta dengan memanfaatkan dinamisme pasar, namun tetap
memperhatikan kepentingan publik.
Agar
tidak terjebak hanya sekedar menjadi “jaring pengaman sosial”, jalan ke tiga
harus mereformasi negara kesejahteraan (welfare
state) untuk menciptakan kesejahteraan positif. Yang dimaksud
dengan kesejahteraan positif menurut Giddens ini adalah kesejahteraan yang
bukan hanya ekonomis semata, tetapi juga dan terutama psikis. Karena itu, yang
penting bukanlah program pemberian bantuan langsung pada sisi ekonomis, tetapi
investasi human capital.
Singkatnya, negara kesejahteraan harus diarahkan kepada terwujudnya negara investasi
sosial.
Dalam
konteks global, politik jalan ke tiga adalah politik satu bangsa. Hal itu
dikatakan Giddens dalam bab ke lima. Giddens memakai istilah bangsa
kosmopolitan. Untuk hal bangsa kosmopolitan itu, maka akan ada 2 (dua)
kemungkinan tantangan yang menghadapinya, yaitu tantangan yang berasal dari
dalam dan yang berasal dari luar. Dari dalam, maka tantangan akan berwujud
pluralisme kultural dan kalim otonomi lokal, sedangkan dari luar, tantangan
yang dihadapi akan berwujud melunaknya batas-batas negara.
Untuk
kelangsungan hidupnya, maka bangsa kosmopolitan itu harus mengembangkan
demokrasi kosmopolitan. Demokrasi kosmopolitan itu merupakan gagasan “jauh ke
depan” Giddens tentang pemerintahan global. Dengan mengajukan sebagai contoh
fenomena masyarakat global yang lintas negara seperti Uni Eropa sebagai model global governance, Giddens
ingin mengatakan bahwa bukan tidak mungkin terbentuk pemerintahan global.
Pemerintahan global tidak hanya merupakan gerak sejarah semata-mata, tetapi
lebih dari itu, ia harus diupayakan perwujudannya, sebagai salah satu jalan
menyelesaikan persoalan-persoalan bersama umat manusia. Giddens mengatakan,
“Masalah-masalah global merespons prakarsa lokal serta menuntut solusi global.
Kita tidak bisa menyerahkan masalah-masalah seperti itu kepada pusaran pasar
global yang tidak menentu dan badan-badan internasional yang relatif tanpa
kekuasaan jika kita ingin mencapai sebuah dunia yang ditandai dengan
stabilitas, kesetaraan dan kemakmuran”.[12]
Sebelum melakukan analisis
terhadap buku The Third Way ini,
penulis menganggap perlu untuk mengetengahkan biografi singkat dari
pengarangya, yaitu Anthony Giddens. Hal itu dimaksudkan untuk sekedar
mengetahui latar belakang konteks politis dan sosiologis yang kemudian
memberikan pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran Giddens.
Anthony Giddens lahir di Edmonton, London
Utara, pada 18 Januari 1938, dari sebuah keluarga karyawan bus umum, yang di
rumahnya sama sekali tidak memiliki buku. Anthony menjadi satu-satunya anak
dari keluarga itu yang bersekolah tinggi.
“Hanya karena keberuntungan saya bisa masuk
ke University of Hull,”
kenangnya. Di universitas itu, ia belajar sosiologi dan psikologi untuk
kemudian melanjutkan master-nya
di LSE. Menurutnya, kala itu LSE sangat angker. Ini berbeda dengan LSE di bawah
Giddens yang menjadi sangat pop.
Pada akhir dasawarsa 1960-an, Giddens sangat
tertarik dengan “mentalitas California” yang begitu menekankan kemampuan
“transformasi diri”. Mental minder
“anak London Utara” dibuangnya. Giddens kemudian mematok ambisi menjadi seorang
teoretikus besar Inggris. Ia lalu masuk ke University
of Cambridge pada tahun 1970 untuk mengambil Ph.D. Namun, di tempat
itu sebagai mahasiswa pascasarjana maupun sebagai asisten dosen, ia sering
bentrok dengan koleganya. Akibatnya, seringkali ia ditolak menjadi dosen tetap.
Baru setelah 14 (empat belas) tahun di Cambridge,
Giddens, yang lulus Ph.D tahun 1976, diangkat menjadi dosen (1984) dan profesor
sosiologi (1986).
Tampaknya, keilmuan Giddens baru diakui
setelah ia menerbitkan The
Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration, yang menurut majalah Cosmopolis dari Jerman
(edisi Juni/Juli 1999) merupakan karya paling utama Giddens.
Tahun 1992, Giddens kembali melakukan
transformasi diri melalui bukunya, The
Transformation of Intimacy (1992). Buku itu adalah hasil 3 (tiga)
tahun masa terapi kejiwaan Giddens menyusul perceraiannya dengan istrinya yang
ke dua. Dalam buku itu, Giddens menganjurkan perlunya sebuah “hubungan murni”
antar laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada hakekat kepuasan hubungan
itu sendiri. Tentu saja, kaum feminis Inggris sangat marah. Sosiolog Jean
Seaton misalnya, mengatakan, buku itu merupakan “maklumat seorang pencinta
oportunis posmodernis”, yang hanya “menuntut hak berhubungan tanpa tanggung
jawab”.[14]
Anthony Giddens menjadi terkenal karena
bukunya, The Third Way: The
Renewal of Social Democracy (1998). Berkat buku itu, selama 3
(tiga) bulan, Giddens diwawancarai sebanyak 90 kali. Presiden Amerika Serikat,
pada saat itu, Bill Clinton dan istrinya, Hillary, bahkan mengundang Giddens
untuk menguraikan dan berdiskusi mengenai The
Third Way, di New York, 23 September 1998. Perdana Menteri Tony
Blair dari Inggris dan Romano Prodi dari Italia, diundang pula untuk
berpartisipasi.[15]
The Third Way-pun segera mendunia. Melalui serangkaian kuliah umum pada tahun
1999, dengan judul Runaway
World, yang diberikannya di London, Hongkong, New Dehli, dan
Washington DC. melalui The
1999 Reith Lectures Radio, BBC
Four, yang disiarkan ke seluruh dunia, Giddens mempropagandakan
gagasannya. Kuliah tersebut memicu 6 (enam) pemimpin pemerintahan, Bill Clinton
(Amerika Serikat), Tony Blair (Inggris), Gerhard Schroeder (Jerman), Lionel
Jospin (Perancis), Massimo D’Alema (Italia), dan Henrique Cardoso (Brasil),
untuk mengkaji ulang kebijakan “kiri-tengah” dalam konferensi bertajuk Progressive Governance for the XXI
Century di Florence, Italia, pada tanggal 21 November 1999.[16]
Pengaruh keilmuan Giddens di pemerintahan
Partai Buruh Inggris juga mencolok. Secara agak sinis, politisi dan media
Inggris menyebut Direktur London
School of Economics and Political Science (LSE) ini sebagai “gurunya
Perdana Menteri Blair”. Bersama beberapa ilmuwan lainnya, Giddens memang
menjadi tokoh paling penting dalam “University
of Downing Street“, sebutan sindiran dari majalah The Economist (1999)
mengenai lingkaran para akademisi di sekeliling Tony Blair yang berkantor di
Downing Street.[17]
Sejak tahun 1985, Giddens memiliki dan
menguasai Polity Press,
yang menerbitkan seluruh karya tulisnya. Kemampuan penerbit ini juga luar
biasa. Melalui Polity Press
sudah sekitar ribuan textbook
sosiologi karangan Giddens, Sociology
(1998), berhasil dijual. Beberapa buku karya Giddens lainnya, antara lain
adalah: The Constitution of
Society (1980), The
Consequences of Modernity (1990), Beyond Left and Right (1994).
II. Analisis
A. Tentang
Peristilahan Jalan ke Tiga yang Digunakan
Terhadap
peristilahan yang digunakan oleh Giddens ini, yaitu jalan ke tiga, maka tampak
bahwa bangunan pemikiran yang ia lahirkan sangat dilatarbelakangi oleh
pemahaman bahwa dalam dunia ini hanya terdapat 2 (dua) kutub yang saling
berhadap-hadapan, yaitu sosialisme dan liberalisme.[18]
Akibat dari pemahaman yang demikian, maka dapat dikatakan pula bahwa sebenarnya
pemikiran jalan ke tiga Giddens ini sangat mengabaikan kekuatan lain yang
sebenarnya cukup nyata yang berada di luar kedua kutub tersebut. Kekuatan lain
itu negara-negara non-Barat, khususnya negara-negara Islam.
Untuk hal
tersebut di atas, Profesor Chibli Mallat telah menuliskan kritiknya di harian The Daily Star, Beirut, 21
September 1998. Pakar politik Lebanon itu menulis, dengan mengatakan konsep
jalan ke tiga Giddens adalah konsep politik yang telah mengabaikan
negara-negara non-Barat, khususnya negara-negara muslim. Sejak kurun waktu
1970-an hingga 1980-an, slogan “jalan ke tiga” sudah lebih dulu berkumandang di
negara-negara muslim itu. Lebih lanjut Mallat mengatakan bahwa Revolusi
Iran-lah yang mencanangkannya. Jalan ke tiga adalah Islam, yang sistem
kemasyarakatan jelas-jelas bukan model Barat (kanan) atau model Soviet (kiri).[19]
Selain
itu, tulis Mallat, dalam sejarah abad ke-20, jalan ke tiga, dalam nilai-nilai
yang tentunya berbeda dengan yang dikumandangkan oleh negara-negara muslim,
adalah nama lain dari nazisme Jerman dan fasisme Italia, yang mencoba memberi
alternatif baru terhadap ideologi sosialisme (Uni Soviet) dan kapitalisme
(Amerika Serikat).
Penggunaan
istilah jalan ke tiga Giddens, yang dianggap mengabaikan kekuatan negara-negara
muslim, secara tidak langsung dapat mengakibatkan terpinggirkannya kekuatan
negara-negara muslim dalam perjalanan peradaban manusia zaman sekarang ini.
Jelas, ini merupakan proses penciptaan ketimpangan yang struktural. Mallat
kemudian mengusulkan agar para penganut jalan ke tiga dari Giddens ini lebih
menekankan nilai-nilai peradaban yang mampu menghilangkan berbagai ketimpangan
struktural itu.
Kritik
terhadap penggunaan istilah jalan ke tiga sebagaimana yang terdapat dalam The Third Way, sebenarnya
telah diakui pula oleh Giddens. Dalam The
Third Way, ia mengatakan bahwa:[20]
“…Frase
“jalan ke tiga” tampaknya berasal dari awal abad ini, dan populer di kalangan
kelompok sayap kanan di tahun 1920-an. Tetapi frase itu telah digunakan oleh
para demokrat sosial dan kaum sosialis. Dalam periode pascaperang awal, para
demokrat sosial secara sangat eksplisit menganggap bahwa mereka menemukan satu
jalan yang berbeda dari kapitalisme pasar Amerika dan komunisme Soviet. Pada
saat dibentuk kembali pada tahun 1951, Socialist International secara eksplisit
berbicara tentang jalan ke tiga dalam konteks ini. Kira-kira dua puluh tahun
kemudian, jalan ke tiga digunakan untuk merujuk pada sosialisme pasar seperti
yang dilakukan oleh ekonom Cekoslovakia, Ota Sik dan yang lainya. Kaum demokrat
sosial Swedia tampaknya yang paling sering membicarakan jalan ke tiga, versi
terakhir, di akhir 1980-an, dengan merujuk pada sebuah pembaruan programatik
yang penting”.
Walaupun
Giddens telah berusaha memberikan jawaban secara tidak langsung
(mengantisipasi) kritik semacam yang dilontarkan oleh Mallat, namun tetap saja
terlihat bahwa penjelasan Giddens itu masih mengabaikan apa yang disebut Mallat
sebagai “negara-negara non-Barat, khususnya negara-negara muslim”. Penjelasan
Giddens atas penggunaan istilah jalan ke tiga, bersifat Eropa sentris, dan pada
akhirnya, lagi-lagi terjebak ke dalam sudut pandang “dua kutub” yang
sesungguhnya ingin ia hindarkan.
B. Tentang
Demokrasi
1. Pemahaman
Demokrasi secara Umum
Istilah
demokrasi memiliki berbagai macam pengertian. Hal itu tergantung dari dengan
istilah apa kemudian ia dipadukan. Ada yang dinamakan sebagai demokrasi
konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi
Pancasila, demokrasi kerakyatan, dan demokrasi nasional. Semua konsep itu
maemakai istilah demokrasi, yang menurut asal kata memiliki arti rakyat
berkuasa (government or rule
by the people). Dalam bahasa Yunani, demos berarti rakyat, sedangkan kratos atau kratein berarti kekuasaan
atau berkuasa.[21]
Sidney
Hook berpendapat bahwa kata demokrasi memiliki berbagai makna. Oleh karena itu,
untuk memahami berbagai konteks di mana istilah demokrasi dipergunakan,
satu-satunya cara untuk membandingkan penggunaan istilah demokrasi yang
semena-mena dengan demokrasi yang seharusnya, ialah dengan mengamati bagaimana
penilaian mereka yang menggunakannya atas keberadaan atau ketiadaan institusi
demokrasi.[22]
Lebih
lanjut, Hook menguraikan bahwa demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di
mana keputusan-keputusan penting pemerintah, atau garis kebijaksanaan di
belakang keputusan-keputusan tersebut, secara langsung atau tidak langsung,
hanya dapat berlangsung jika disetujui secara bebas oleh mayoritas masyarakat
dewasa yang berada dalam posisi yang diperintah. Hal ini membuat demokrasi
secara esensial merupakan konsep politik, bahkan apabila ia digunakan, dan
kadang-kadang disalahgunakan, untuk menggolong-golongkan institusi nonpolitik.[23]
Sebagai
suatu proses politik, demokrasi nyata-nyata mempunyai kualitas yang berbeda dan
bertingkat. Hal itu tergantung pada pengalaman politik suatu bangsa, tergantung
pula pada jumlah dan kualitas orang dewasa di negara itu yang berhak memilih.
Oleh karena itu, maka dapat dipahami apabila tidak di satu negarapun demokrasi
ideal itu dapat benar-benar terealisaikan.[24]
Sesudah
perang dunia ke-2, dapat dilihat gejala bahwa secara formil demokrasi merupakan
dasar dari banyak negara di dunia.[25] Walaupun demokrasi baru pada akhir abad ke-19 mencapai wujud yang
konkrit, tetapi sebenarnya ia sudah mulai berkembang di Eropa Barat pada abad
ke-15 dan ke-16. Oleh karena itulah, wajah dari demokrasi di abad ke-19
menonjolkan beberapa asas yang dengan susah telah dimenangkan oleh para pelopor
demokrasi, seperti misalnya kebebasan manusia terhadap segala bentuk kekangan
dan kekuasaan sewenang-wenang, baik dalam bidang agama, pemikiran dan keyakinan
politik. Jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia dianggap paling
penting.[26] Dalam rangka ini, maka negara hanya dapat dilihat manfaatnya
sebagai “penjaga malam” (nachtwachtersstaat)
yang hanya dibenarkan untuk campur tangan dalam kehidupan rakyatnya dalam
batas-batas yang sangat sempit.[27]
Tetapi
kemudian, demokrasi tidak merupakan sesuatu yang statis, dan dalam abad ke-20,
terutama setelah perang dunia ke-2, negara demokratis telah melepaskan
pandangan bahwa peranan negara hanya terbatas sebagai “penjaga malam”. Peranan
negara, pada perkembangannya, juga meliputi upaya aktif dari negara itu untuk
turut bertanggung jawab atas kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga
negaranya. Gagasan itu terwujud dlaam konsep welfare
state (social
service state). Demokrasi pada abad ke-20 tidak lagi membatasi diri
pada aspek politik saja seperti pada abad ke-19, tetapi meluas dan mencakup
pula ke aspek ekonomi, sehingga demokrasi ini berkembang pula dalam pengertian
demokrasi ekonomi.[28]
Sebagai
sebuah konsep yang tidak hanya berkaitan dengan bidang politik, tetapi juga
berkaitan erat dengan bidang seperti ekonomi dan bahkan hukum, maka menurut
Henry B. Mayo, demokrasi itu mengandung dan didasari beberapa nilai dasar yang
dapat dijelaskan sebagai berikut:[29]
- Menyelesaikan perselisihan dengan damai.[30]
- Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami perubahan.
- Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur. Pergantian pimpinan atas dasar keturunan, mengangkat dirinya sendiri atau dengan kudeta, dianggap tidak wajar dan bertentangan dengan demokrasi.[31]
- Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman dalam masyarakat yang tercermin dari keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku. Untuk hal itu, maka diperlukan terselenggaranya suatu masyarakat terbuka (open society) serta kebebasan politik (political liberties) yang akan memungkinkan timbulnya fleksibilitas dan tersedianya alternatif dalam jumlah yang cukup banyak dalam menghadapi suatu masalah.
- Menjamin tegaknya keadilan.
Pada
akhirnya, menurut penjelasan Miriam Budiarjo, bahwa untuk dapat melaksanakan
nilai-nilai demokrasi sebagaimana yang diraikan di atas, maka diperlukan
beberapa lembaga sebagai berikut:[32]
- Pemerintahan yang bertanggung jawab
- Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat, yang dipilih dengan pemilihan umum yang bebas dan rahasia, serta atas dasar sekurang-kurangnya 2 (dua) calon untuk setaip kursi. Dewan perwakilan ini mengadakan pengawasan (kontrol), memungkinkan oposisi yang konstruktif dan memungkinkan penilaian terhadap kebijakan pemerintah.
- Suatu organisasi politik (partai politik).
- Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapatnya.
- Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi manusia dan mempertahankan keadilan.
Pendapat
dari Budiarjo tersebut di atas, mengenai lembaga-lembaga yang diperlukan untuk
dapat melaksanakan nilai-nilai demokrasi, dapat dilihat memiliki hubungan
dengan pendapat Hook sebelumnya yang menyebutkan istilah “institusi demokrasi”.
Dengan kata lain, lembaga-lembaga yang disebutkan oleh Budiarjo itu dapatlah
dijadikan indikator untuk menilai apakah istilah demokrasi telah digunakan
secara semena-mena atau dengan seharusnya oleh suatu negara sebagaimana yang
diungkapkan oleh Hook.
Selain
dari pendapat tersebut di atas mengenai demokrasi, berikut ini penulis hendak
pula memaparkan salah satu pendapat lagi mengenai demokrasi yang menurut
penulis cukup menarik. Pendapat mengenai demokrasi ini adalah berasal dari
pemikiran Yasraf Amir Piliang.[33]
Kenapa
pemikiran Piliang ini penulis anggap menarik untuk dibicarakan? Karena, baik
Piliang maupun Giddens, ternyata memiliki persamaan pandangan terhadap keadaan
dunia sekarang ini. Kesamaan inilah yang kemudian mereka jadikan landasan dalam
membangun pemahaman mereka tentang demokrasi. Seperti halnya Giddens yang
menganggap dunia saat ini diliputi oleh ketidakpastian, yang ia gambarkan
dengan seperti sebuah juggernaut
(truk besar) yang sedang meluncur kencang tanpa terkendali, maka
sejalan dengan itu, Piliang juga menganggap bahwa keadaan saat ini, termasuk
keadaan berbangsa dan bernegara, telah diliputi oleh berbagai bentuk
ketidakberaturan, keacakan (randomness),
dan ketidakpastian.[34]
Keadaan
yang penuh ketidakpastian tersebut menyebabkan proses demokratisasi berkembang
ke arah yang “melampaui” alam demokrasi itu sendiri, yaitu demokrasi tanpa
kendali (hyper-democracy).
Keadaan hiperdemokrasi ini telah menciptakan zona-zona kemacetan (breakdown zones) hampir di
semua sistem, seperti kemacetan dalam sistem perekonomian, dan kemacetan
mencari solusi yang damai untuk memecahkan perselisihan atau konflik.[35]
Untuk
menghindari atau mengatasi keadaan hiperdemokrasi tersebut, maka menurut
Piliang, diperlukan pengembangan konsep dialogisme dalam berdemokrasi.
Dialogisme yang dimaksud itu meliputi, antara lain:[36]
1. Sikap yang di dalamnya masyarakat diatur oleh warna-warni suara
(pandangan, ideologi dan kepercayaan), yang tidak sebuah suarapun berhak
mendominasi suara lain dengan paksaan.
2. Sikap di mana setiap orang saling memahami perasaan dan
menghargai pandangan orang lain.
3. Sikap di mana setiap orang saling berbicara, saling
berkomunikasi secara mendalam. Komunikasi adalah yang diutamakan, karena di
dalam diam, orang hanya disuguhkan teka-teki, ketidakjelasan, dan
ketidakpastian. Keadaan itu selanjutnya, akan menciptakan berbagai prasangka
buruk, kecurigaan, ketidakpercayaan dan pesimisme dalam masyarakat.
4. Sikap yang di dalamnya tumbuh kehendak untuk memecahkan
persoalan bersama, bukan kehendak untuk mendominasi kekuasaan tanpa
mengindahkan pihak lain sebagai mitra dalam proses sosial.
Sikap
dialogisme di atas itulah yang sesungguhnya merupakan fondasi dari sistem
demokrasi. Demokrasi adalah sebuah sistem yang di dalamnya terdapat ruang
publik (public sphere),
tempat setiap orang bebas menyampaikan pendapatnya, tempat di mana setiap orang
dapat saling berdebat, saling beradu argumen, tempat setiap orang aktif dalam
mencari strategi baru, dan bahasa politik yang baru dan kreatif, agar dapat
ditawarkan di dalam sebuah “pasar politik” yang fair. Akan tetapi, yang penting pula untuk
diperhatikan kemudian adalah, bahwa demokrasi adalah sebuah sistem yang di
dalamnya setiap orang harus saling memahami, menghargai pandangan orang lain,
saling menganggap satu sama lainnya sebagai sahabat di dalam sebuah “panggung”
dialogisme. Inilah yang disebut Piliang sebagai dialogic democracy.[37]
2. Konsep
Demokrasi dalam The Third Way
Keinginan
Giddens untuk membangun pemahaman yang baru mengenai masalah demokrasi ini,
secara tidak langsung dapat disimak dari pernyataan yang diungkapkannya pada
saat diwawancari oleh Pierson. Giddens mengatakan:
“Saya
ingin melakukan tiga hal: menafsir ulang pemikiran sosial, membangun logika
serta metode ilmu-ilmu sosial, dan mengajukan analisis tentang munculnya
institusi-institusi modern”.[38]
Dari pernyataannya itu, maka
dapat dipahami bahwa rupanya Giddens tidak hanya ingin mengkritik dan mengecam
kegagalan teoretisi ataupun konsep-konsep terdahulu, termasuk tentunya konsep
mengenai demokrasi, tetapi ia juga ingin mengajukan alternatif yang baru.
Bagaimana
Giddens melalui jalan ke tiganya memandang demokrasi? Menurut penulis,
setidaknya Giddens memahami demokrasi dari 2 (dua) sudut pandang. Pertama,
adalah demokrasi dalam fungsinya sebagai landasan otoritas, dan yang ke dua
adalah demokrasi dalam hubungannya dengan globalisasi.
a. Demokrasi
dalam Fungsinya sebagai Landasan Otoritas
“Tidak
ada otoritas tanpa demokrasi”, begitulah salah satu nilai yang terdapat di dalam
politik jalan ke tiga. Dari pernyataan itu pula dapat dipahami kemudian, bahwa
masalah demokrasi merupakan masalah yang penting untuk mendapatkan perhatian.
Bahkan demokrasi ini menjadi syarat bagi pembentukan otoritas.[39] Dengan dibangunnya otoritas melalui demokrasi, maka rakyat yang
menjadi inti dari demokrasi itu dapat melakukan kontrol terhadap
kebijakan-kebijakan yang dibentuk dan dijalankan oleh pemegang otoritas.
Pernyataan
Giddens bahwa “tidak ada otoritas tanpa demokrasi” tersebut di atas, tentu
berbeda dengan pandangan kaum kanan. Giddens menganggap bahwa kaum kanan selalu
mencari legitimasi otoritas pada simbol-simbol tradisional[40], seperti negara, pemerintah, atau keluarga. Dalam pandangan kaum
kanan seperti itu, maka demokrasi akan selalu tersubordinasi dalam hubungannya
dengan otoritas yang mengambil bentuk negara, pemerintah, atau keluarga.[41] Akibat dari hal itu, maka penilaian mana yang baik atau buruk,
benar atau salah, atau bahkan mana yang dapat disebut sebagai demokrasi dan
mana yang bukan akan sangat ditentukan (dimonopoli) oleh pemegang otoritas,
yang bisa terdiri dari negara, pemerintah, atau keluarga. Dalam keadaan yang
demikian, rakyat tidak mempunyai fungsi kontrol sama sekali terhadap pemegang
otoritas.
Demokrasi,
bagi Giddens, adalah gambar sempurna yang mencerminkan karakter masyarakat
kontemporer yang serba beragam. Pada masa sekarang ini, hampir semua negara
mengkalim dirinya demokratis. Memang demokrasi boleh dikatakan sedang mengalami
masa jayanya, namun justru di masa puncak kejayaannya inilah demokrasi
ditantang oleh hal lain yang justru seakan-akan menimbulkan pertentangan dengan
nilai-nilai yang ada dalam diri demokrasi itu sendiri.[42]
Giddens
menduga bahwa demokrasi telah renta dan tidak dapat lagi mengikuti perkembangan
masyarakat dunia. Untuk itu menurut Giddens, harus dicanangkan gerakan
pendemokrasian demokrasi.[43] Agenda dari gerakan pendemokrasian demokrasi ini secara garis
besarnya adalah meliputi:[44]
1. Negara harus merespon globalisasi secara struktural.
Pendemokrasian demokrasi pertama-tama mengimplikasikan desentralisasi, tetapi
bukan sebagai suatu proses yang satu arah. Transfer otoritas ke bawah harus
diimbangi dengan transfer otoritas ke atas.
2. Negara harus memperluas peran ruang publik. Hal itu berarti,
bahwa kebijakan pemerintahan harus diarahkan pada sikap transparansi dan
keterbukaan yang lebih besar.
3. Untuk mempertahankan atau memperoleh legitimasi, negara tanpa
musuh harus meningkatkan efisiensi administratifnya. Dalam pengalaman
keseharian, maka pemerintah pada semua tingkatan tidak dipercayai, sebagian
karena ia tidak praktis dan tidak efektif. Dalam dunia di mana organisasi
bisnis dengan amat cepat merespons perubahan dunia dan menjadi lebih gesit,
pemerintahan bisa tertinggal jauh di belakang. Sebagian besar pemerintah dengan
birokrasinya yang masih dianggap berbelit-belit, harus banyak belajar dari
praktek bisnis yang baik, seperti kontrol sasaran, auditing yang efektif,
struktur keputusan yang fleksibel, dan peningkatan partisipasi pekerja dalam
perusahaan. Belajar dari praktek bisnis yang baik itu, maka diharapkan
pemerintah dapat memberikan layanan publik yang lebih berkualitas.
4. Globalisasi tidak hanya memperkenalkan kemungkinan, tetapi juga
memberikan dampak pentingnya bentuk-bentuk demokrasi yang lain dari sekedar
proses pemungutan suara yang telah biasa dilakukan. Contoh yang dapat dilakukan
untuk hal itu adalah dengan melakukan “eksperimen” demokrasi, seperti pemilihan
umum atau referendum melalui jaringan elektronik. “Eksperimen” demokrasi sudah
tentu tidak akan menggantikan mekanisme-mekanisme pemungutan suara yang telah
biasa dilakukan, tetapi ia bisa dijadikan pelengkap bagi mekanisme-mekanisme
tersebut.
5. Dibandingkan pada masa-masa sebelumnya, negara-negara tanpa
musuh pada masa sekarang lebih menggantungkan legitimasi mereka pada kapasitas
untuk mengelola resiko. Pemerintah harus menyibukkan diri untuk mengatur
berbagai perubahan yang dipicu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta harus dapat menangani dampak-dampak yang ditimbulkannya.
Semakin suatu pemerintah tersebut mampu untuk mengatur dan menangani dampak dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka semakin besar dukungan yang
ia dapatkan, baik dari warga negaranya sendiri ataupun dari negara lainnya.
6. Pendemokrasian demokrasi tidak bisa hanya dijalankan secara
lokal atau nasional. Gerakan demokratisasi demokrasi tidak cukup dijalankan
dalam batas-batas negara, dan harus pula dijalankan sebagaimana globalisasi
telah merelativitaskan batas-batas negara. Kemudian yang juga penting dalam
gerakan demokratisasi demokrasi adalah, bahwa gerakan ini harus dijalankan
dengan memperhatikan kondisi obyektif tiap-tipa negara.[45]
Dari
beberapa agenda gerakan pendemokrasian demokrasi milik politik jalan ke tiga
ini, maka terhadapnya dapat diajukan beberapa tanggapan sebagaimana dijelaskan
berikut di bawah ini.
Pertama, memang politik jalan ke tiga
ini berusaha untuk memperluas atau memberikan kesempatan atau partisipasi warga
negara terhadap jalannya pemerintahan. Hal itu dapat pula diartikan sebagai
terbukanya kesempatan untuk melakukan kontrol dari warga negara terhadap
jalannya pemerintahan. Lebih lanjut, politik jalan ke tiga ini berarti memang
telah menawarkan pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi dalam bidang politik.
Namun demikian, perlu diingat pula, bahwa pengertian demokrasi ini tidak hanya
berkaitan dengan bidang politik semata-mata. Masih ada bidang lain yang
berkaitan erat dengan konsep demokrasi ini, yaitu bidang ekonomi dan
kesejahteraan.
Dari hal
tersebut di atas itulah, kemudian dapat dilihat kelemahan yang terkandung di
dalam agenda gerakan pendemokrasian demokrasi yang ditawarkan oleh politik
jalan ke tiga. Politik jalan ke tiga memang menawarkan perluasan kesempatan
dalam bidang yang politis, tetapi ia tidak memperdulikan ketidakmerataan
distribusi kekayaan[46] (demokrasi politik yang tidak dibarengi dengan demokrasi ekonomi).
Ke dua, sisi positif dari politik jalan
ke tiga ini, salah satunya terletak pada keinginan untuk menciptakan
pemerintahan yang efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan kepada warga
negaranya.[47] Jadi dengan demikian, diadakan perbaikan pada praktek birokrasi
pemerintahan dan organisasi pemerintahan yang terlalu besar (over-sized government) dan
berbelit-belit menjadi lebih efektif dan efisien. Dengan kata lain, yang
diperlukan adalah “…lebih sedikit pemerintahan nasional, lebih sedikit
pemerintahan sentral, namun membutuhkan kontrol yang besar atas proses-proses
lokal”.[48]
Ke tiga, adalah masalah perluasan peran
ruang publik. Dalam politik jalan ke tiga ini, perluasan peran ruang publik
menjadi salah satu peran yang harus dilakukan oleh negara. Dari sudut ini terlihat
adanya kesesuaian antara pemikiran Giddens dengan konsep dialogic democracy.
Sebagaimana Giddens, Piliang dengan konsep dialogic
democracy-nya menginginkan demokrasi dalam pengertian sebuah sistem
yang di dalamnya terdapat ruang publik (public
sphere), tempat setiap orang bebas menyampaikan pendapatnya, tempat
di mana setiap orang dapat saling berdebat, dan saling beradu argumen.
Dengan
terbuka ruang publik yang luas, maka sekali lagi, warga negara akan dapat
melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Warga negara dapat dengan
bebas menyampaikan pendapatnya dan mengajukan argumen mengenai jalannya
pemerintahan. Dengan demikian, maka pemerintahan yang terbentuk telah dapat
dikatakan memiliki legitimasi yang bukan berdasarkan hal-hal yang bersifat tradisional
semata, tetapi lebih karena pertimbangan mampu atau tidak mampu ia menjalankan
roda pemerintahan. Jadi, tepatlah memang apabila Giddens berpendapat bahwa
“tidak ada otoritas tanpa demokrasi”.
b. Demokrasi
dalam Hubungannya dengan Globalisasi
Dalam
konteks globalisasi, politik jalan ke tiga menurut Giddens adalah politik satu
bangsa. Giddens kemudian mengajukan istilah bangsa kosmopolitan. Untuk
kelangsungan hidupnya, maka bangsa kosmopolitan itu harus mengembangkan
demokrasi kosmopolitan.
Demokrasi
kosmopolitan itu merupakan gagasan “jauh ke depan” Giddens tentang pemerintahan
global. Dengan mengajukan sebagai contoh fenomena masyarakat global yang lintas
negara seperti Uni Eropa sebagai model global
governance, Giddens ingin mengatakan bahwa bukan tidak mungkin
terbentuk pemerintahan global. Pemerintahan global tidak hanya merupakan gerak
sejarah semata-mata, tetapi lebih dari itu, ia harus diupayakan perwujudannya,
sebagai salah satu jalan menyelesaikan persoalan-persoalan bersama umat
manusia. Giddens mengatakan:[49]
“Masalah-masalah
global merespons prakarsa lokal serta menuntut solusi global. Kita tidak bisa
menyerahkan masalah-masalah seperti itu kepada pusaran pasar global yang tidak
menentu dan badan-badan internasional yang relatif tanpa kekuasaan jika kita
ingin mencapai sebuah dunia yang ditandai dengan stabilitas, kesetaraan dan
kemakmuran”.
William
Ebenstein dan Edwin Fogelman mengatakan, bahwa salah satu syarat yang mutlak
perlu ada bagi suksesnya pelaksanaan demokrasi ialah, “kesepakatan bersama
dalam masalah-masalah yang bersifat fundamental”.[50] Apabila pendapat itu digunakan untuk melihat kemungkinan ke depan
dari pelaksanaan demokrasi kosmopolitan yang dimaksud oleh Giddens, dengan
salah satu contohnya Uni Eropa, maka akan ada permasalahan yang perlu
mendapatkan perhatian.
Dalam
pelaksanaan demokrasi kosmopolitan, masalah “kesepakatan bersama dalam
masalah-masalah yang bersifat fundamental” juga merupakan syarat penting untuk dipenuhi.
Dalam kerangka Uni Eropa, maka kesepakatan dalam demokrasi itu mengandung pula
pengertian kesukarelaan masing-masing negara Eropa yang menjadi bagian dari
sistem demokrasi Uni Eropa untuk menyerahkan kedaulatannya (sovereignty) dalam
tingkatan tertentu atau menundukkan dirinya (patuh) terhadap pilihan-pilihan
yang diambil oleh sistem demokrasi tersebut. Untuk hal itu, sebagai model global governance (wujud
bangsa kosmopolitan) yang hendak menjalankan demokrasi kosmopolitan, tentunya
Uni Eropa akan menghadapi permasalahan (tantangan).[51] Hal ini terbukti, salah satunya, ketika Uni Eropa mengalami
kegagalan dalam referendum Konstitusi Eropa.[52]
Dari
kegagalan dalam referendum Konstitusi Eropa, juga semakin jelas, bahwa proses
perwujudan demokrasi kosmopolitan yang hendak dijalankan oleh sebuah bentuk global governance tidaklah
mudah. Latar belakang yang dimiliki oleh masing-masing negara tentunya masih
menjadi hambatan yang besar bagi pelaksanaan demokrasi kosmopolitan. Vicens
Navarro, seorang kritikus terhadap politik jalan ke tiga, ketika ia bertindak
sebagai penasehat Partai Sosialis Spanyol, berpendapat bahwa politik jalan ke
tiga mengabaikan keragaman sifat Eropa.[53]
Bila keragaman sifat Eropa itu terus diabaikan, maka program politik jalan ke
tiga akan menemui jalan buntu.
III. Kesimpulan
Istilah
demokrasi memiliki berbagai macam pengertian. Hal itu tergantung dari dengan
istilah apa kemudian ia dipadukan. Ada yang dinamakan sebagai demokrasi
konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi
Pancasila, demokrasi kerakyatan, dan demokrasi nasional. Semua konsep itu
maemakai istilah demokrasi, yang menurut asal kata memiliki arti rakyat
berkuasa (government or rule
by the people).
Bagaimana
Giddens melalui jalan ke tiganya memandang demokrasi? Setidaknya Giddens
memahami demokrasi dari 2 (dua) sudut pandang. Pertama, adalah demokrasi dalam
fungsinya sebagai landasan otoritas, dan yang ke dua adalah demokrasi dalam
hubungannya dengan globalisasi.
“Tidak
ada otoritas tanpa demokrasi”, begitulah salah satu nilai yang terdapat di
dalam politik jalan ke tiga. Dari pernyataan itu pula dapat dipahami kemudian,
bahwa masalah demokrasi merupakan masalah yang penting untuk mendapatkan
perhatian. Bahkan demokrasi ini menjadi syarat bagi pembentukan otoritas.
Dalam
konteks globalisasi, politik jalan ke tiga menurut Giddens adalah politik satu
bangsa. Giddens kemudian mengajukan istilah bangsa kosmopolitan. Untuk
kelangsungan hidupnya, maka bangsa kosmopolitan itu harus mengembangkan
demokrasi kosmopolitan. Demokrasi kosmopolitan itu merupakan gagasan “jauh ke
depan” Giddens tentang pemerintahan global. Pemerintahan global tidak hanya
merupakan gerak sejarah semata-mata, tetapi lebih dari itu, ia harus diupayakan
perwujudannya, sebagai salah satu jalan menyelesaikan persoalan-persoalan
bersama umat manusia.* * *
[1] I. Wibowo
tulisan pengantar dalam Anthony Giddens, Jalan
ke Tiga: Pembaruan Demokrasi Sosial [The Third Way: The Renewal of
Social Democracy], diterjemahkan oleh Ketut Arya Mahardika (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), hal. ix-x.
[2] Apabila
dihubungkan dengan pokok pembahasan politik jalan ke tiga yang terdapat dalam
buku The Third Way
ini, maka istilah kiri dapat merujuk pada pengertian demokrasi sosial lama
(kiri lama), sedangkan kanan merujuk pada pengertian neoliberalisme (kanan
baru). Lihat ibid.,
hal. 8-9. Istilah kiri dalam kajian bidang politik, biasanya diartikan sebagai
semangat mengabdi atau berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Istilah
tersebut bukan berasal dari marxisme, tetapi berasal dari tradisi politik liberal,
yaitu istilah yang dipakai pada abad ke-19, untuk menunjuk pada ide-ide para
wakil rakyat yang duduk di sebelah kiri ketua di ruang sidang parlemen
Perancis. Banyak dari mereka yang duduk di sebelah kiri itu adalah kaum yang
mengambil sikap oposisi terhadap kebijakan para politisi yang membela
kepentingan pengusaha atau pemilik modal (sistem kapitalisme) dan juga terhadap
para politisi nasionalis. Seringkali kaum kiri ini juga diidentikkan dengan
kaum marxis dan komunis. Sekilas tentang penjelasan istilah kiri dan kanan itu,
dapat dibaca pada ibid.,
hal. 43-53 dan Bonnie Setiawan, “Menyusuri Paradigma Alternatif
Pasca-Kapitalisme: Menimbang Tradisi Kiri” dalam Muhidin Dahlan, ed., Sosialisme Religius: Suatu Jalan ke
Empat? (Yogyakarta: Kreasi Wacana dan Komunitas Jurnalistik GORESAN
HMI MPO Yogyakarta, 2002), hal. 53.
[3] Tentang
keruntuhan sosialisme ini, biasanya dihubungkan dengan bubarnya Uni Soviet
setelah terjadinya peristiwa kudeta 19 Agustus 1991. Setelah bubarnya Uni
Soviet, 12 (dua belas) republik bekas anggota Uni Soviet, tidak termasuk
Lithuania, Latvia dan Estonia, bergabung kembali dalam wadah Persemakmuran
Negara-Negara Merdeka. Lihat Tjipta Lesmana, Runtuhnya
Kekuasaan Komunis (sine
loco: Erwin-Rika Press, 1992).
[4] Menurut
Giddens, globalisasi “…biasanya dianggap berkaitan dengan perekonomian dan,
seperti yang ditunjukkan oleh akar kata tersebut, melibatkan hubungan-hubungan
global”. Kemudian ia menambahkan bahwa, “Globalisasi bukan hanya, atau bahkan
terutama, tentang saling ketergantungan ekonomi, tetapi tentang transformasi
waktu dan ruang dalam kehidupan kita”. Lihat Giddens, op. cit. hal. 33-35. Perdana
Manteri Inggris, Tony Blair, sebagai salah satu pendukung politik jalan ke
tiga, mempunyai pemahaman mengenai globalisasi sebagai berikut:
“Apa yang
disebut globalisasi adalah perubahan sifat dari negara-bangsa sejalan dengan
semakin kaburnya kekuasaan dan semakin keroposnya perbatasan. Perubahan
teknologi memangkas kekuasaan dan kemampuan pemerintah untuk mengendalikan
perekonomian dalam negerinya agar bebas dari pengaruh luar”.
Lihat David Yaffe,
“Ekonomi-Politik Globalisasi” dalam Mc
Global: Globalisasi dalam Perspektif Sosialis (Yogyakarta: Cubuc
dan Sumbu, 2001), hal. 38.
[5] Giddens
menuliskan bahwa, “Para demokrat sosial perlu menentang proteksionisme ekonomi
dan kultural, teritori ekstrim kanan, yang melihat globalisasi sebagai
ancaman…”. Lihat Giddens, op.
cit. hal. 74.
“Politik
jalan ke tiga tidak mengidentifikasikan globalisasi dengan dukungan yang
menyeluruh terhadap perdagangan bebas. Perdagangan bebas dapat menjadi mesin
pembangunan ekonomi, tetapi dengan adanya kekuatan pasar yang secara sosial dan
kultural destruktif…”. Lihat ibid.
[13] H.
Witdarmono, “Lebih Jauh dengan Anthony Giddens”, <http://www.kompas.com/kompas-cetak/0001/30/naper/lebi02.htm>,
30 Januari 2000.
[14]
Bandingkan dengan semboyan politik The
Third Way, “Tak ada hak tanpa tanggung jawab”. Giddens, op. cit., hal. 76.
[18] Dalam The Third Way, Giddens
menggunakan istilah demokrasi sosial lama (kiri lama) dan neoliberalisme (kanan
baru). Lihat Anthony Giddens (a), Jalan
ke Tiga: Pembaruan Demokrasi Sosial [The Third Way: The Renewal of
Social Democracy], diterjemahkan oleh Ketut Arya Mahardika (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002), hal. 8-9.
[19] H.
Witdarmono, “Lebih Jauh dengan Anthony Giddens”, <http://www.kompas.com/kompas-cetak/0001/30/naper/lebi02.htm>,
30 Januari 2000.
[26] Dalam Two
Treatises of Government, John Locke berpendapat, bahwa negara itu
didirikan untuk melindungi hak milik pribadi. Negara didirikan bukan untuk
menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak
seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang
semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property)
yang dimaksud Locke itu tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga
kehidupan (lives)
dan kebebasan (liberties).
Itulah hak-hak asasi manusia, dan menurut pendapat Locke, negara justru
didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut. Untuk mencegah
timbulnya negara absolut dan terjaminnya kehidupan civil society, Locke juga berbicara mengenai
peran strategis konstitusi dalam membatasi kekuasaan negara yang
dibayangkannya. Konstitusi ini mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai
pembatasan terhadap kekuasaan negara. Konstitusi bagi Locke merupakan elemen
yang sangat penting dalam suatu negara, karena di dalamnya termuat
aturan-aturan dasar pembatasan kekuasaan dan hak-hak asasi warga negara.
Aturan-aturan konstitusional ini tidak boleh dilanggar oleh penguasa negara. Lihat
Franz Magnis Suseno, Etika
Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 221-231.
[30] Nilai
dasar dari demokrasi untuk menyelesaikan perselisihan secara damai ini,
menimbulkan pemahaman bahwa demokrasi dapat bekerja sebagai sistem pengelolaan
konflik tanpa menghasilkan kembali konflik. Lihat Peter Harris dan Ben Reilly,
ed., Demokrasi dan Konflik
yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator [Democracy and
Deep-Rooted Conflict: Options for Negotiators], diterjemahkan oleh Lembaga
Penerbitan, Pendidikan dan Pengembangan Pers Mahasiswa (LP4M) (Jakarta:
International IDEA, 2000), hal. 20.
“… sejak
dari awalnya, komitmen demokrasi mencakup penolakan terhadap gagasan bahwa
kekuasaan politik harus menjadi warisan para raja, segelintir orang terpilih,
atau mempercayakan kepada para ahli. Prinsip dasarnya selalu adalah rakyat
mengatur dirinya sendiri berkaitan dengan persoalan-persoalan yang mempengaruhi
kehidupan dan kepentingan kolektif mereka”.
Lihat Ian Saphiro, Asas Moral dalam Politik [The
Moral Foundations of Politics], diterjemahkan oleh Theresia Wuryantari dan
Trisno Sutanto (Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Freedom
Institute dan Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 206.
[33] Yasraf
Amir Piliang adalah seorang penulis yang fokus kajiannya banyak mengarah pada
masalah sosial dan kebudayaan postmodern. Mengingat dalam kajian postmodern
batas-batas antara bidang yang satu dengan yang lainnya semakin memudar, begitu
jugalah yang terjadi dalam kajian yang dilakukan oleh Piliang. Akibatnya,
banyak tulisan Piliang, yang mau tidak mau, selain membahas masalah sosial dan
kebudayaan membahas pula masalah di bidang politik dan ekonomi. Tulisannya yang
sudah diterbitkan dalam bentuk buku, antara lain adalah Sebuah Dunia yang Dilipat: Realitas
Kebudayaan Menjelang Milenium ke Tiga dan Matinya Postmodernisme
(1998), Hiper-Moralitas:
Mengadili Bayang-Bayang (2003) dan Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial (2003).
[34] Yasraf
Amir Piliang, Hiper-Moralitas:
Mengadili Bayang-Bayang (Yogyakarta: Belukar, 2003), hal. 31.
[40] Pendapat
Giddens ini bisa dibandingkan dengan Max Weber yang pada saat membicarakan
tentang the bases of
authority berpendapat bahwa ada 3 (tiga) macam dasar kewibawaan,
yaitu: charismatisch gezag,
traditioneel gezag,
dan rationeel gezag.
Untuk pendapat Weber itu, dapat dilihat pada Djokosoetono, Ilmu Negara (Jakarta: Ind
Hill-Co, 2006), hal. 55-56.
[46] Anthony
Giddens (b), Jalan ke Tiga
dan Kritik-Kritiknya [The Third Way and Its Critics], diterjemahkan
oleh Imam Khoiri (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005), hal. 20. Untuk hal demokrasi
politik yang tidak dibarengi dengan demokrasi ekonomi ini, menarik juga kiranya
apabila diperhatikan (dibandingkan dengan) pendapat dari William Ebenstein dan
Edwin Fogelman berikut:
“Pengalaman
telah menunjukkan bahwa kalau prosedur politik dalam konsep demokrasi
diterapkan dalam jangka waktu yang lama, maka prosedur itu akan dipakai juga
dalam berbagai bidang yang lain, seperti kemasyarakatan, ekonomi, pendidikan,
dan keagamaan. Dalam abad ke-18, demokrasi memperjuangkan tujuan yang pada
dasarnya berciri politik, seperti perluasan hak pilih sampai menjangkau semua
kelas dan penghapusan pembatasan kebebasan berbicara, berkumpul, dan kebebasan
pers. Tetapi sejak pertengahan abad ke-19 dan selanjutnya, prosedur-prosedur
dalam demokrasi politik semakin banyak digunakan sehingga memperluas konsep
demokrasi dari bidang pemerintahan sampai pada bidang kemasyarakatan”.
Lihat William Ebenstein dan
Edwin Fogelman, Isme-Isme
Dewasa Ini [Today’s Isms], diterjemahkan oleh Alex Jemadu (Jakarta:
Erlangga, 1990), hal. 197-198.
[47] Untuk hal
ini, tampaknya Giddens setuju dengan konsep Reinventing
Government dari David Osborne dan Ted Gaebler. Lihat Giddens (a), op. cit., hal. 86.
“…Sikap yang di dalamnya
tumbuh kehendak untuk memecahkan persoalan bersama, bukan kehendak untuk
mendominasi kekuasaan tanpa mengindahkan pihak lain sebagai mitra dalam proses
sosial”.
Lihat Piliang, op. cit.,
hal 130.
[51] Henry
Simarmata, “Demokrasi Plural, Keynesianisme, dan Manajemen Global: Catatan
mengenai Konteks Politik Jalan ke Tiga”, Majalah
Filsafat Driyarkara No. 3 (April 2000): 37.
[52] Pada saat
referendum Konstitusi Eropa diadakan pada tahun 2005 lalu, hasil yang
mengejutkan terjadi di kantong pemungutan suara di Perancis (bulan Mei) dan
Belanda (bulan Juni). Di Perancis dukungan terhadap Konstitusi Eropa hanya
sebesar 45,3%, sedangkan di Belanda hanya sebesar 38,4%. Lihat Leonard
Hutabarat, “Kegagalan Referendum Konstitusi Eropa: “Quo Vadis” Uni Eropa?”, Global: Jurnal Politik Internasional
Vol. 8, No. 1 (November 2005): 90.
Daftar pustaka:
Arinanto,
Satya. Hukum dan Demokrasi.
Jakarta: Ind Hill-Co, 1991.
Budiarjo,
Miriam. Dasar-Dasar Ilmu
Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Dahlan,
Muhidin, ed. Sosialisme
Religius: Suatu Jalan ke Empat? Yogyakarta: Kreasi Wacana dan
Komunitas Jurnalistik GORESAN HMI MPO Yogyakarta, 2002.
Djokosoetono. Ilmu Negara. Jakarta: Ind Hill-Co, 2006.
Ebenstein,
William dan Edwin Fogelman. Isme-Isme
Dewasa Ini [Today’s Isms], diterjemahkan oleh Alex Jemadu. Jakarta:
Erlangga, 1990.
Giddens, Anthony. Jalan
ke Tiga: Pembaruan Demokrasi Sosial [The Third Way: The Renewal of
Social Democracy], diterjemahkan oleh Ketut Arya Mahardika. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2002.
—–. Jalan ke
Tiga dan Kritik-Kritiknya [The Third Way and Its Critics],
diterjemahkan oleh Imam Khoiri. Yogyakarta: IRCiSoD, 2005.
Harris,
Peter dan Ben Reilly, ed. Demokrasi
dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator [Democracy
and Deep-Rooted Conflict: Options for Negotiators], diterjemahkan oleh Lembaga
Penerbitan, Pendidikan dan Pengembangan Pers Mahasiswa (LP4M). Jakarta:
International IDEA, 2000.
Hutabarat, Leonard. “Kegagalan Referendum Konstitusi Eropa: “Quo
Vadis” Uni Eropa?”, Global:
Jurnal Politik Internasional Vol. 8, No. 1 (November 2005).
Lesmana,
Tjipta. Runtuhnya Kekuasaan
Komunis. Sine loco: Erwin-Rika
Press, 1992.
Majalah Filsafat Driyarkara No. 3 (April 2000).
Piliang, Yasraf Amir. Hiper-Moralitas:
Mengadili Bayang-Bayang. Yogyakarta: Belukar, 2003.
Saphiro, Ian. Asas
Moral dalam Politik [The Moral Foundations of Politics],
diterjemahkan oleh Theresia Wuryantari dan Trisno Sutanto. Jakarta: Kedutaan
Besar Amerika Serikat di Jakarta, Freedom Institute dan Yayasan Obor Indonesia,
2006.
Suseno, Franz Magnis. Etika
Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Wibowo, I. “Anthony Giddens”,
Kompas (28 Juni
2000).
Witdarmono,
H. “Lebih Jauh dengan Anthony Giddens”, <http://www.kompas.com>,
30 Januari 2000.
Yaffe,
David, et al. Mc Global:
Globalisasi dalam Perspektif Sosialis. Yogyakarta: Cubuc dan Sumbu,
2001.
Komentar
Posting Komentar