Mengkaji dan Meneliti Hukum Dalam Konsepnya Sebagai Realitas Sosial
Mengkaji dan Meneliti Hukum Dalam Konsepnya Sebagai Realitas Sosial
Soetandyo
Wignjosoebroto
Hakekat PenelitianPenelitian – yang di dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah research – pada hakikatnya adalah sebuah upaya pencarian. Lewat penelitian (research) orang mencari (search) temuan-temuan baru, berupa pengetahuan yang benar (truth, true knowledge), yang dapat dipakai untuk menjawab suatu pertanyaan atau untuk memecahkan sesuatu masalah. Dengan menemukan pengetahuan baru yang benar, berdasarkan metode-metode yang dipatuhi secara penuh disiplin, orang akan mencoba meniadakan ketidaktahuannya dan/atau mengatasi keragu-raguan yang selama ini menggelisahkan jiwanya dan mengganggu pikirannya. Seperti halnya dalam upaya-upaya pencarian lain yang diharapkan memberikan hasil, orang pertama-tama harus mengetahui terlebih dahulu informasi apa yang sesungguhnya ingin peroleh, dan di mana gerangan kira-kira letak sumber-sumber yang dapat digali untuk menghasilkan informasi atau data yang diperlukan, yang kemudian dapat digunakan untuk menyimpulkan pengetahuan-pengetahuan baru. Berikutnya, orang pun harus paham akan cara-cara metode pencarian/penemuannya, beserta keterampilan untuk mengaplikasikan metode itu.
Tentang
sumber-sumber ini, orang dapat membedakannya menjadi dua, yaitu sumber penyedia
pengetahuan yang siap pakai dan sumber yang cuma menyediakan materi-materi
mentah (data), yang masih harus diolah terlebih dahulu melalui metode tertentu,
sebelum bisa menghasilkan pengetahuan yang bisa dipakai untuk menjawab masalah
yang diajukan. Sumber utama yang sering banyak dikenal oleh mereka yang pemula
atau awam adalah para guru, atau tokoh-tokoh berwibawa lain yang dipandang
serba tahu dan mahatahu. Mereka yang pemula dan awam ini tinggal bertanya saja
secara langsung apa yang tak mereka ketahui. Pengetahuan yang mereka peroleh
menurut dan lewat cara ini umumnya – dapat diduga – adalah juga
pengetahuan-pengetahuan hasil olahan yang “telah jadi dan telah disiapkan”
(atau yang disebut parate kennis dalam bahasa Belanda).
Sumber lain
– dengan cara yang memerlukan motivasi dan aktivitas pencari pengetahuan yang
sedikit lebih besar – adalah pencarian jawab untuk mengatasi ketidaktahuan
lewat cara mencari dan membaca buku-buku referensi atau buku-buku teks (yang
umumnya juga ditunjukkan oleh guru). Mencari dan membaca buku untuk menelusuri
informasi-informasi yang termuat di dalamnya, untuk kemudian juga menseleksi
mana yang akan diperlukan, merupakan kegiatan yang lebih bersifat individual,
dan karena itu juga jelas memerlukan ketekunan yang lebih bersifat pribadi.
Sekalipun pengetahuan yang diperoleh di sini adalah pengetahuan yang umumnya
juga bersifat siap pakai, namun – berbeda dengan cara bertanya langsung –
mencari informasi dari sumber-sumber pustaka akan memberikan kesempatan kepada
para pencari informasi ini untuk membuktikan kemandiriannya, menguji
ketekunannya, mengembangkan imanjinasinya di dalam abstracto, dan
merasakan kepuasan, buah hasil suatu self-achievements.
Apabila yang
hendak dicari suatu kompleks informasi untuk menjawab permasalahan yang
sifatnya kompleks pula, acap kali sumber bacaan yang dicari tidaklah sebatas
satu-dua buku saja, melainkan sumber-sumber pustaka dalam jumlah yang banyak
dan saling merujuk. Pencarian sumber dan informasi yang dikandungnya memerlukan
kemampuan metodis untuk menelusuri sumber dan informasi itu sebagaimana telah
dikoleksi dan disimpan di perpustakaan. Metode penelusuran sumber di
perpustakaan – untuk menemukan data, informasi dan pengetahuan terolah –
disebut penelitian kepustakaan (library research).
Pada tingkat
kemahiran yang lebih lanjut, bertanya langsung kepada guru atau responden atau
informan atau pula menelusuri dan membaca buku-buku sumber yang diduga kaya
dengan berbagai informasi, tidaklah hendak dimaksudkan sebagai kegiatan final.
Kegiatan-kegiatan itu hanyalah dimaksudkan sebagai kegiatan awal saja, yaitu
kegiatan untuk memperoleh informasi-informasi sementara (alias “bahan mentah”
atau yang secara populer disebut data) guna diolah lebih lanjut secara kritis.
Dengan demikian, pengetahuan-pengatahuan yang benar dan sahih, tidaklah
dianggap telah diperoleh bagitu saja sewaktu diucapkan atau dituliskan oleh
(nara)sumber, melainkan dianggap baru diperoleh setelah selesai diolah dengan
cara-cara tambahan melalui prosedur dan proses tertentu yang bersifat lanjutan.
Adapun cara
orang mencari pengetahuan yang dinilai benar dan sahih untuk menjawab suatu
permasalahan – entah lewat cara yang masih dikatakan awal dan sederhana, entah
pula lewat cara yang lebih kritis dan canggih – menurut definisinya semua itu
adalah upaya-upaya yang boleh – dan bahkan harus dikualifikasi sebagai usaha
pencarian alias usaha search and research. Mengapa begitu? Karena dalam
upaya ini menurut kadar masing-masing, nyata-nyata terefleksikan adanya
serangkaian aktivitas searching yang diawali oleh keinginan seseorang
individu secara independen untuk ingin tahu dan ingin bertanya serta (bahkan)
mempertanyakan. Di sini tersimak adanya upaya aktif seseorang untuk belajar,
dan tidak untuk sebatas diajar dan diajar-ajari saja dalam posisinya yang
pasif. Maka peran narasumber di sini tidak lagi terpandang sebagai pemuka yang
harus diikuti dan dipercya serta diturut, melainkan sebagai pembimbing belaka,
dengan fungsinya yang jelas-jelas “cuma” sebagai fasilitator.
Dalam
tahap-tahap pendidikan keilmuan yang dini, meminta para pemula untuk searching
for the true answer sudahlah cukup apabila mereka itu tergalakkan untuk
banyak bertanya. Akan tetapi, amatlah lebih dipujikan lagi tatkala mereka ini
tidak hanya hendak bertanya saja – dalam kerangka searching for the true
answer itu – kepada guru-guru atau sumber-sumber yang berada dekat di
seklilingnya. Alih-alih begitu, mereka bergerak juga untuk banyak bertanya ke
berbagai sumber (manusia ataupun bahan-bahan pustaka) yang berada dalam suatu
kalangan yang luas, yang masih harus dikontak lewat usaha penelusuran yang
penuh jernih. Hasil dari berbagai sumber itulah yang kemudian diperbandingkan,
dinilai keakuratan serta keterandalannya, guna kemudian dianalisis sampai
menghasilkan simpulan akhir yang teruji sebagai tesis yang bernilai sebagai the
true answer.
Pada tahap
yang sudah boleh dibilang lanjut, minat menemukan pengetahuan yang benar itu
tentulah ikut diseyogyakan apabila usaha seperti itu juga diiringi dengan reserve
untuk tidak begitu saja menerima kebenaran apa yang dikabarkan sang sumber.
Pada tahapan yang masih lebih tinggi lagi, mereka yang membilangkan diri ke
dalam golongan peneliti (searcher/researcher) juga amat diharapkan
selalu bisa bersikap kritis dengan membangkitkan keberanian serta kemampuannya
untuk senantiasa mau menimbang-nimbang terlebih dahulu kecermatan, keterandalan
dan kesahihan informasi-informasi yang diberitakan oleh sang sumber itu. Pada
tahap ini, para peneliti perlu dibantu secara bersungguh-sungguh untuk
mengembangkan kemampuannya agar tidak hanya sebatas cakap mengajukan pertanyaan
dalam rangka proses tanya-jawab.
Maka
alih-alih demikian – lebih jauh dari itu – amat diharapkan bahwasannya para
peneliti itu juga mampu serta berani bersoal-jawab untuk menguji keterandalan
sumber atau narasumber yang telah dipilihnya itu. Tak salah lagi, modal utama
dalam langkah pertama suatu penelitian itu bukanlah “tak tahunya sama sekali”
si peneliti mengenai jawaban atas sesuatu masalah, begitu rupa sehingga ia
menggantungkan diri pada informasi yang diberikan sepenuhnya oleh sumber atau
narasumber. Modal penggerak pertama suatu proses pencarian itu tak lain yaitu
“keragu-raguan” si peneliti apakah pengetahuan atau jawaban yang ia punyai
tentang suatu masalah memang sudah betul ataukah masih mengandung cacat kekeliruan.
Pada taraf
pendidikan keilmuan yang lebih tinggi lagi, cara searching diharapkan
sudah akan meningkat lebih lanjut lagi. Metode searching-nya pun sudah
lebih prosedural lagi, dengan strategi-strategi yang dikontrol ketat dan tunduk
penuh pada hukum-hukum logika serta disiplin pengamatan dan/atau pengukuran.
Tidak hanya sampai di situ saja, temuan-temuan empiris itu masih harus
dilanjutkan lagi dengan proses-proses analisis – yang tak hanya logis tapi juga
imajinatif – untuk pada akhirnya tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang lebih
abstrak dan lebih umum sifatnya. Proses abstraksi demikian ini kadang-kala
bahkan dapat demikian teoretis dan imajinatif sifatnya sehingga hasilnya
seolah-oleh “berambisi” hendak menjurus dan menjangkau ke kasimpulan-kesimpulan
yang tidak cuma berlaku untuk menjawabi masalah-masalah setempat, akan tetapi
juga berlaku “umum” untuk menjawab permasalahan serupa di tempat lain dan di
kerangka waktu yang lain.
Model searching
for true answers sebagaimana yang telah dipaparkan secara berurut-turut di
muka – mulai dari yang awam sampai ke yang ilmiah – sesungguhnya mempunyai
derajat kesulitan yang sifatnya tidak prinsipil, melainkan cuma kuatitatif atau
gradual saja. Sekalipun demikian, researching untuk kepentingan ilmiah
jelas kalau mempersyaratkan tak hanya metode dan instrumen yang lebih tergarap
akan tetapi juga disiplin dalam hal berpikir dan dalam hal mendayagunakan
metode serta teknik. Semua itu demi kecermatan, keterandalan dan kesahihan
hasil-hasilnya. Metode diperlukan guna mengontrol sepanjang proses, apakah
data, informasi dan seluruh kesimpulan yang didapat benar-benar merupakan
kebenaran (truth) yang sungguh-sungguh berkebenaran alias “objektif”,
dan bukan cuma merupakan proyeksi-proyeksi subjektivitas para penelitinya saja.
Maka,
kemahiran metodologis para peneliti yang hendak mencari kebenaran ilmiah
tidaklah dapat diabaikan. Maka siapa pun – ilmuwan ataupun praktisi – yang
bermaksud secara bersungguh-sungguh mencari kebenaran ilmiah untuk menjawab
masalah yang tengah ia dihadapi, mau tak mau dan dapat tak dapat, mestilah
menguasai metode penelitian itu dengan benar. Sekalipun demikian, betapapun
pentingnya penguasaan metode demi terjaminnya hasil penelitian yang tak hanya
akurat dan berketerandalan (reliable) akan tetapi juga sahih (valid)
untuk menjawab masalahnya. Ketegasan definitif mengenai “apa sesungguhnya yang
tengah dijadikan masalah dan dicarikan jawabannya” itu haruslah ada terlebih
dahulu. Orang harus menegaskan dulu “apa” yang jawabannya tengah dicari sebelum
metode untuk menemukan jawaban itu dipastikan.
Itulah
sebabnya mengapa setiap penelitian selalu diawali dengan upaya menegaskan dulu
konsep dan/atau definisi objek atau objek-objek yang akan diteliti (alias yang
“misteri”nya akan diungkap dengan jalan mencari jawaban
kejelasan-kejelasannya). Penegasan konsep dimaksudkan agar orang tidak sampai
salah memilih cara atau metode penelitian/pencariannya, suatu kesalahan yang
akan menyebabkan kebenaran-kebenaran yang telah diperoleh melalui
penelitian/pencariannya, suatu kesalahan yang akan menyebabkan
kebenaran-kebenaran yang telah diperoleh melalui penelitian itu – sekalipun
akurat dan berketerandalan – tidak “laku” lagi (alias tidak sahih atau tidak
valid) untuk menjawab masalah yang tengah diajukan. Peringatan tentang hal itu
amat perlu untuk diperhatikan, khususnya dalam penelitian sosial dan lebih
khusus lagi di dalam penelitian-penelitian hukum, mengingat kenyataan bahwa
dalam ilmu dan kajian kedua bidang ilmu itu orang lebih banyak membicarakan
objek-objek yang tidak berwujud materi yang empiris dan kasat mata, melainkan
berupa fenomena-fenomena yang eksistensinya berada di suatu alam abstrak yang
dibangun lewat konstruksi-konstruksi rasional.
Metode Penelitian Hukum
Terjadinya
pengkotakan kajian hukum ke dalam spesialisasi yang amat dipisahkan seperti itu
sebenarnya bermula dari kehendak untuk membuat dan menegakkan batas yuridiksi
kewenangan yang jelas dan tegas demi kepentingan profesionalisme mereka yang
membilangkan diri ke dalam golongan the legal professionals atau the
lawyers yang spesialis pengkaji dan pengguna hukum yang murni alias
hukum yang formal-positif itu. Pengkotakan yang berawal dari persoalan
yurisdiksi kewenangan professional ini sebenarnya tidak ada hubungannya dengan
persoalan keilmuan, berikut metode dan metodologinya, yang harus
dipertimbangkan dan dibobot berdasakan makna akademisnya. Sekalipun demikian,
akan kita ketahui nanti bahwa pembedaan antara hukum yang terbentuk secara
formal sebagai norma positif dan hukum yang “terbiarkan” bebas sebagai nomos
sosial ini akan ada juga imbasnya dalam dunia pembelajaran hukum dan penelitian
hukum.
Namun
demikian, asal saja orang bersedia mencermati liku-liku metodologi sains yang
diperlukan untuk kajian-kajian saintik yang berobjek hukum sekalipun, orang
akan sadar dan mengetahui bahwa metode penalaran yang diperlukan – baik untuk
mempelajari norma (dengan mengikuti alur pemikiran kaum profesional yang
positivis) maupun untuk mempelajari nomos (dengan mengikuti alur
pemikiran para social scientists yang sebagian besar dari mereka
sesungguhnya terbilang kaum positivis juga) – tidaklah sekali-kali berbeda
secara mutlak. Keduanya diprasyaratkan untuk bekerja menurut disiplin prosedur
logika yang sama. Perbedaan hanyalah ada dalam ihwal prosedur teknis-teknisnya
saja, yaitu tatkala metode jenis kedua mulai harus dirancangkan dan
dilaksanakan untuk keperluan mencari informasi yang akurat, berketerandalan dan
sahih.
Dari sinilah
awal pembedaan model penelitian hukum, yang terspesialisasi pula menjadi dua,
yaitu antara penelitian hukum yang dikatakan normatif (khusus untuk meneliti
hukum sebagai norma positif as it is written in the books) dan
penelitian hukum yang dikatakan empiris (khusus untuk meneliti hukum dalam
wujudnya sebagai nomos, at it is observed in society).
Sekalipun pembedaan dua jenis penelitian hukum dengan penyebutan “penelitian
normatif” dan “penelitian empiris” ini telah terlanjur populer dan terus dipopulerkan
dalam wacana keilmuan hukum di Indonesia, namun sejak awal orang harus
mengetahui bahwa penyebutan seperti itu kurang tepat benar. Akan kita ketahui
nanti bahwa apa yang disebut “penelitian normatif” itu acap kali meninggalkan
tataran normatifnya yang positif untuk menggapai tataran-tataran doktrin (atau
ajaran) hukumnya juga. Sedangkan apa yang disebut “penelitian empiris” acap
kali mengajuk ranah-ranah simbolis yang ada di balik nomos yang tersimak
itu. Penyebutan “penelitian doktrinal” dan “penelitian nondoktrinal” – yang
pada kenyataannya nanti akan merupakan penelitan sosial mengenai hukum –
kiranya akan lebih tepat.
A. Penelitian Hukum Doktrinal
Penelitian
hukum doktrinal adalah penelitian-penelitian atas hukum yang dikonsepkan dan
dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengkonsep dan/atau sang
pengembangnya. Ada berbagai doktrin yang pernah dianut dan dikembangkan dalam
kajian-kajian hukum, mulai dari doktrin klasik – yang dikenali sebagai doktrin
(atau aliran) hukum alam kaum filosof dan doktrin (atau aliran) positifisme
para yuris-legis sampai ke doktrin historis dan doktrin realisme-fungsionalisme
para ahli hukum yang terbilang kaum realis. Berikut ini akan dipaparkan
berturut-turut metode doktrinal yang dikenal dalam aliran hukum alam, metode
doktrinal yang dianut kaum positivis (yang juga disebut kaum legis itu),
dan kemudian juga metode doktrinal yang ditradisikan di kalangan para ahli
hukum yang berpaham fungsionalis-realisme. Di Indonesia, metode doktrinal ini
terlanjur secara lazim disebut sebagai metode penelitian yang normatif, untuk
melawankan dengan metode penelitian yang dikatakan terbilang empiris (yang di
dalam literatur internasional disebut penelitian nondoktrinal).
Metode
Kajian Hukum dengan Hukum yang Dikonsepkan sebagai Asas Keadilan dalam Sistem
Moral Menuruti Doktrin Aliran Hukum Alam
Konsep hukum
tersebut pertama adalah konsep yang amat berwarna moral dan fisolofis, atau tak
jarang pula dalam masyarakat-masyarakat tertentu amat berwarna religius. Konsep
hukum yang demikian ini tak pelak lagi akan melahirkan cabang kajian hukum yang
amat religius (seperti semasa jaya-jayanya peran hukum kanonik Eropa pada
abad-abad pra-renesans) atau amat filosofis (seperti semasa merebaknya ajaran
hukum alam), atau yang moralistis (seperti pada era pengaruh ajaran hukum
positif tatkala orang mendambakan koreksi-koreksi terhadap kelugasan ius
constitutum dengan mengkonstruksikan apa yang mereka sebut ius
constituendum).
Dalam
perkembangan alam pemikiran Barat, konsep hukum sebagai asas moral keadilan itu
adalah konsep yang terbilang paling tua. Konsep ini berasal-mula dari masa
jaya-jayanya kekuasaan gereja dengan hukum kanonik atau ius novum-nya,
sepanjang era sebelum lahirnya negara-negara nasional di negeri-negeri Eropa
Barat. Asas dipungut dari dunia nilai (yaitu nilai moralitas) yang – sekalipun
tak selamanya dirumuskan secara tegas dan pasti oleh lembaga-lembaga kekuasaan
negara – tetap saja selalu diakui oleh masyarakat sebagai segugus pedoman
normatif yang hidup untuk menuntut perilaku-perilaku yang dipandang amat patut
di dalam masyarakat. Dalam kehidupan komunitas-komunitas lokal yang otohton,
yang di Indonesia dikenali sebagai masyarakat-masyarakat adat, asas-asas yang
hidup di dalam sanubari warga masyarakat sebagai bagian dari – yang oleh Eugen
Ehrlich disebut das lebend recht – “the living law”. Inilah yang
di dalam literatur-literatur hukum di Indonesia disebut hukum adat (dalam
asas-asasnya).
Asas-asas
keadilan (atau kearifan atau pula kepantasan) yang berada pada ranah moral ini
umumnya terumus amat umum, dan acap pula tidak tertulis, serta terbuka untuk
sembarang tafsir oleh siapa pun ketika akan diperlukan untuk menghukumi sesuatu
perkara yang konkret. Sekalipun terumus umum sebagai asas-asas belaka, namun
demikian norma-norma abstrak itu dalam praktik kehidupan dapat berfungsi juga
sebagai pedoman (kalaupun bukan sebagai aturan atau perintah berperilaku yang
eksplisit untuk memberi arahan tentang apa yang harus dilakukan para warga
dalam perilaku mereka sehari-hari). Kehidupan masyarakat awam dalam
kesehariannya, umumnya dipedomani oleh asas-asas umum semacam ini, seperti
misalnya “janji harus ditepati”, “suami-isteri harus saling mencintai”, “jangan
gampang-gampangan memutus persahabatan”, “menutut ilmu itu sesungguhnya
merupakan bagian dari ibadah dan karena itu harus dikerjakan sepanjang umur”,
dan seterusnya.
Di tangan
para elite pemuka masyarakat yang tampil sebagai eksponen-eksponen penegak
moral sosial – entah yang tetua adat, entah yang ulama atau yang dikenali
sebagai kaum brahman di India, entah filosof – semua asas-asas itu dihimpun
(kalaupun tak dikitabkan tentulah direkam dalam ingatan), untuk difungsikan
sebagai kekayaan rohani masyarakat, dan akan selalu dirujuk sebagai ajaran dan
pembenaran cara-cara bertingkah laku dan/atau tatacara-tatacara berperilaku.
Dalam riwayat berbagai bangsa, tak jarang ajaran-ajaran asasi ini dikabarkan
sebagai sesuatu yang sebenarnya tak sekali-kali berawal dan berasal dari
ranah-ranah manusiawi, melainkan dari ranah-ranah yang kodrati, supranatural,
superhuman, atau bahkan sesungguhnya Illahi. Dalam perkembangan kehidupan di
negeri-negeri Eropa Barat, para era sebelum lahirnya negara-negara nasional
yang tersentralisasi, asas-asas itu memiliki sifatnya sebagai asas-asas yang
kodrati dan – berikut semua hasil jabarannya – dipercaya sebagai bagian dari
hukum kodrat atau hukum alam.
Di tangan
ahli-ahli filsafat hukum alam, asas-asas yang diyakini sebagai bagian dari hukum
kodrati itu – demi keterpakaiannya untuk mengkaidahi perilaku warga masyarakat
dalam situasi-situasi konkret – masihlah harus diupayakan dan diputuskan dengan
melihat permasalahannya dari kasus ke kasus. Upaya intelektual di ranah
normatif ini – dari normanya yang abstrak (pada tataran asas) ke normanya yang
sungguh lebih konkret (pada tataran aturan berperilaku) – berlangsung lewat
proses-proses yang tunduk penuh pada aturan logika formal yang disebut
silogisme deduksi. Deduksi yang dikenal juga sebagai logika matematika ini
terdiri dari tiga premis: yang umum (mayor), yang khusus (minor) dan dan yang
simpulan (konklusi). Apabila “semua manusia mesti mati” (premis mayor), dan
“Socrates adalah manusia” (premis minor), maka “Socrates mesti mati” (premis konklusi).
Dalam
konstruksi silogisme deduksi sebagaimana digunakan dalam kajian hukum bermoral
keadilan ini, asas-asas atau postulat-postulat moral yang dipungut dari hasil
kontemplasi para pemikir filsafati (atau yang tak jarang sesungguhnya juga
dipungut dari moral masyarakat setempat) namun yang sering kali dinyatakan
sebagai sesuatu yang self-evident dan berlaku universal, akan diposisikan
sebagai premis mayor. Sementara itu, kasus-kasus perilaku yang hendak
dipertanyakan nilai normatifnya akan didudukan sebagai presis minornya. Maka,
tak ayal lagi, konklusi yang dapat ditarik sebagai premis penutup dalam
silogisme itu akan menyatakan apa yang menjadi norma hukum atau norma moralnya
untuk kasus perilaku yang ditanyakan itu. Sebagai ilustrasi dapatlah dikemukakan
contoh berikut ini. Apabila orang menanyakan: “apakah dasar moral dan/atau
bunyi hukumnya yang harus dipakai untuk membenarkan atau menyalahkan seseorang
yang tak menepati janji dalam kasus jual-beli karena ia merasa tertipu?”, lalu
apakah kira-kira jawabnnya? Dapatkah dicarikan (search and research)
jawaban untuk pertanyaan itu?
Di sini akan
dicari melalui konstruksi silogisme. Diketahui fakta bahwa ada orang yang tak
menepati janji karena ia merasa tertipu. Fakta khusus ini tak pelak harus
diposisikan sebagai premis minor. Asas moralnya yang berlaku umum harus dicari
melalui penelusuran. Search! Ditemukan asas moral bahwa semua janji dan
perjanjian harus dilandasi itikat baik agar melahirkan ikatan moral – atau
ikatan hukum yang bermoral – antara pihak-pihak. Maka simpulannya dapat
diharapkan dari konstruksi silogisme deduktif berikut ini: “Semua perjanjian
harus dilakukan atas dasar itikat moral yang baik agar dapat mengikat; a
concreto, semua perjanjian yang tak dilakukan atas dasar itikat moral yang
baik tidaklah akan mengikat”. Ini premis mayornya. “Si A mengikat diri ke dalam
ikatan perjanjian itu karena tertipu”. Ini premis minornya! Maka, premis
konklusinya adalah: “Si A yang tertipu (menurut asas moralnya) tak akan terikat
oleh perjanjian itu”.
Metode
Kajian Hukum dengan Hukum yang Dikonsepkan sebagai Kaidah Perundang-Undangan
Menurut Doktrin Aliran Positivisme dalam Ilmu Hukum
Berseiring
dengan pertumbuhan dan perkembangan negara-negara bangsa yang terpisahkan dari
kekuasaan Gereja di negeri-negeri Eropa Barat, yang dengan demikian telah
menyebabkan terjadinya proses sekularisasi kekuasaan negara di negeri-negeri
itu, terjad pula sekularisasi hukum-hukumnya. Hukum negara yang disebut juga
hukum nasional – kini tak lagi mengutamakan kandungan moral dan kebenaran moral
atau nilai rchtswaardigheid untuk menjamin legitimiasinya, melainkan
lebih mengutamakan kekuatan kepastian berlaku atau nilai rechtzekerheid.
Inilah proses sekularisasi yang disebut juga proses positivisasi hukum. “Hukum”
hanya akan boleh dipandang dan diakui sebagai hukum tatkala hukum itu secara
jelas merupakan perintah eksplisit. Hukumlah yang berdaulat, seperti yang
dikatakan Austin bahwa “(positive) law is the command of the
sovereign. Hukum bukan lagi asas-asas abstrak yang tak dapat ditunjukkan di
mana dan bagaimana rumusannya yang jelas dan tegas, dan bagaimana pula
ciri-cirinya yang menengarai bahwa “hukum” itu memang benar-benar hukum. Hukum
dan konsep kaum positivis ini bukan lagi cuma berupa ius, melainkan
harus benar-benar berciri sebagai lex
atau lege.
Sekalipun
dalam soal konsep tentang substansi hukum ada perbedaan yang cukup mendasar
antara puak pembela hukum dalam yang moralistis dan puak positivis yang
menyebut hukum adalah benar-benar the command of the sovereign – yang
oleh sebab itu dapat ditunjukkan bagaimana isi rumusannya dan kapan serta di
mana diperintahkannya (diundangkannya) itu – namun dalam soal metode searchings
and researchings-nya tidaklah ada perbedaan antara keduanya itu. Baik
penganut aliran hukum alam, maupun para penganut aliran positif, keduanya
sama-sama berlogika normatif dan karena itu kedua-duanya juga sama-sama
mendayagunakan silogisme deduktif untuk menemukan jawab mengenai “apa hukumnya
untuk mengkaidahi suatu kasus tertentu”. Hanya saja, tatkala para eksponen
aliran hukum alam mencari dan menemukan premis-premis mayornya dalam wujud
asas-asas yang terdapat dalam ajaran moral atau asas-asas filsafati yang konon
berlaku universal, para eksponen aliran positivisme hanya mau menggunakan
pasal-pasal dan ayat-ayat yang terdapat dalam undang-undang atau hukum
perundang-undangan (tentu saja secara selektif) sebagai premis-premis mayor.
Lepas dari
soal apa yang akan dijadikan premis mayor, tak adalah beda lebih jauh mengenai
pendayagunaan silogisme deduksi itu, oleh mereka yang berada di pihak paham
hukum alam dan mereka yang berada di pihak paham hukum positif. Dengan
menempatkan fakta “duduk perkaranya” sebagai premisnya yang minor, kaum
positivis dengan mudah akan menemukan lewat penarikan simpulan (premis
konklusi) mengenai apakah bunyi hukumnya in concreto untuk suatu perkara
tetentu. Peragaannya dalam sidang-sidang pengadilan yang menaati ajaran hukum
kaum positivis (yang di dalam bahasa Hans Kelsen disebut reine Rechtslehre)
adalah sebagai berikut: apabila hakim menemukan bunyi hukumnya in abstracto
– seperti misalnya yang kira-kira dirumuskan dalam pasal 362 KUHP – bahwa
“barangsiapa mengambil barang milik orang lain, sebagai atau seluruhnya, dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
maka ia akan dihukum karena pencurian sebanyak-banyaknya X tahun” (ini premis
mayor), dan dalam pemeriksaan perkara sang hakim ini menerima bukti bahwa “si A
mengambil sebagian dari milik orang lain dengan maksud untuk menguntungkan
anaknya” (ini logikanya) bahwa “si A harus dihukum karena mencuri.
Pada masa
awal perkembangan kehidupan bernegara, yaitu tatkala positivisasi hukum baru
berada pada tahap-tahap awalnya, dan ketika tertib kehidupan bermasyarakat
masih pula lebih banyak dikuasai oleh tuntutan-tuntutan asas-asas moral dan
mores sebagaimana yang lebih banyak dikontrol oleh elite-elite masyarakat ulama
dan tokoh-tokoh penegak moral sosial daripada oleh the positive command of
the sovereign sebagai dikontrol oleh the legal professional (juristen
dan/atau lawyer), kebutuhan untuk menginventarisasi bahan-bahan hukum
primer, yang dapat difungsikan sebagai sumber formil bagi setiap usaha
penciptaan hukum baru (yang abstrak maupun yang konkrit) tidaklah sekali-kali
terasa mendesak. Sementara itu, jumlah produk hukum perundang-undangan belum
seberapa banyak, dan belum terasa perlu diinventarisasi, dikoleksi dan
diorganisasi dengan teknik-teknik dan prosedur-prosedur yang khusus. Sehubungan
dengan kenyataan itu, kebutuhan untuk mengembangkan metode dan teknik guna
keperluan pembinaan serta pendayagunaan koleksi bahan-bahan primer pun lalu tak
terlampau banyak dirasakan.
Namun kini
keadaan telah berubah. Perkembangan hidup bernegara dan berhukum (yang tak
hanya menghendaki keadilan akan tetapi juga kepastian), telah kian kompleks dan
telah menyebabkan meningkatnya produksi perundang-undangan dan seterusnya juga
meningkatkan pergandaannya dalam bentuk peraturan-peraturan pelaksanannya dan
dalam berbagai bentuk keputusan pengadilan yang menetap sebagai yurisprudensi.
Positivisasi hukum, dengan penolakan untuk mengakui asas-asas moral dan
asas-asas filsafat sebagai hukum yang berlaku, telah meningkatkan produksi
hukum positif. Multiplikasi hukum positif (yang terumus in abstracto maupun
yang terlafalkan in concreto) dan meningkatnya kebutuhan akan informasi
hukum positif untuk praktik maupun untuk studi, tentu saja akan meningkatkan
pula kebutuhan akan metode dan teknik yang tepat guna menjamin terwujudnya
koleksi bahan-bahan hukum yang lengkap. Seluruh kerja inventarisasi itu tentu
saja meliputi pula usaha-usaha untuk mengorganisasi bahan-bahan hukum itu ke
dalam suatu sistem informasi yang komprehensif dan yang terkembang demikian
rupa sehingga memudahkan penelusuran kembali bahan-bahan hukum tersebut secara
efisien.
Kecuali
mengerjakan inventarisasi bahan-bahan primer – dalam wujud hukum
perundang-undangan, untuk kemudian mengorganisasinya ke dalam suatu koleksi
yang memudahkan penelusurannya kembali – kajian-kajian doktrinal dalam ranah
hukum positif ini juga meliputi usaha-usaha untuk mengkoleksi bahan-bahan hukum
lain yang sekalipun tak terbilang primer. Akan tetapi – dibilangkan sebagai
bahan-bahan hukum yang sekunder – bernilai penting juga untuk mengembangkan
hukum dan ilmu hukum. Bahan-bahan sekunder ini umumnya terdiri atas karya-karya
akademis – mulai dari yang diskriptif sampai yang berupa komentar-komentar
penuh kritik – yang memperkaya pengetahuan orang tentang hukum positif yang
berlaku (ius constitutum) dan/atau yang seharusnya berlaku (ius
constituendum). Dalam maknanya yang formil, bahan-bahan hukum yang sekunder
ini memang bukan hukum yang berlaku akan tetapi, dalam maknanya yang materiil,
bahan-bahan sekunder itu memang bahan-bahan yang berguna sekali untuk
meningkatkan mutu hukum positif yang berlaku.
Bahan-bahan
sekunder itu berguna untuk dirujuk pertama-tama sebagai sumber guna
meningkatkan mutu interpretasi atas hukum positif yang berlaku. Lebih lanjut
lagi, bahan-bahan sekunder itu juga berguna untuk mengembangkan hukum sebagai
suatu sistem normatif yang komprehensif dan tuntas, baik dalam maknanya yang
formil maupun dalam maknanya yang materiil. Bahan-bahan sekunder adalah hasil
kegiatan teoretis-akademis yang mengimbangi kegiatan-kegiatan praktik
legislatif (atau praktik yudisial juga), sedemikian rupa sehingga produk-produk
praktik yang nampaknya fragmentaris dan mosaik itu akhirnya bisa terpola
menjadi suatu sistem yang utuh dengan komponen-komponen yang tak saling
bertentangan, dan karena itu menyebabkan seluruh sistem hukum positif menjadi
bersifat rasional serta pasti. Sementara itu, hasil-hasil studi yang telah
terkoleksi sebagai hahan-bahan sekunder ini lazim pula dikaji para praktisi,
yang akan mampu merawat serta mengembangkan kaidah positif secara lebih baik.
Inventarisasi
dan koleksi bahan-bahan hukum tersebut dimuka (baik yang primer untuk
difungsikan sebagai sumber formil maupun yang sekunder untuk difungsikan
sebagai sumber materiil) banyak dikerjakan oleh para pekerja yang bertugas
dalam bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi, serta pengarsipan hukum.
Menggembirakan sekali, akhir-akhir ini perkembangan metode dan teknik untuk
maksud itu telah banyak terbantu oleh prekembangan teknik dan prosedur di dalam
cabang ilmu khusus yang dinamakan “informatika”, dan kemudian juga – setelah
meluasnya penggunaan teknologi elektronik – oleh salah satu cabang kajian yang
khusus tetapi penting di dalam Metodologi Penelitian Hukum, yaitu apa yang
disebut-sebut dengan nama yurimetri. Namun, dalam soal pendayagunaan kemampuan
informatika dan yurimetri. Namun, dalam soal pendayagunaan kemajuan informatika
dan yurimetri itu, (sayang sekali), di Indonesia usaha-usaha di bidang itu ini
belum banyak ditangani secara serius, dan prosedural serta struktur koleksinya
pun belum dibakukan secara cukup tuntas. Komputerisasi koleksi malahan belum
dimulai secara berarti, sedangkan personil-personilnya yang terlatih untuk
bidang itu pun belum pula memadai, baik dalam hal jumlah maupun dalam hal mutu
ketrampilannya.
Metode Kajian
Hukum dengan Hukum yang Dikonsepkan sebagai Keputusan Hakim in Concreto
Menuruti Doktrin Fungsionalisme Kaum Realis dalam Ilmu Hukum
Kegiatan
jenis ketiga dalam penelitian-penelitian hukum, dengan hukum yang menurut
doktrinnya dikonsepkan sebagai hukum positif ini, adalah penelitian-penelitian
dan kajian-kajian yang dikerjakan dengan hukum yang dikonsepkan pertama-tama
sebagai keputusan hakim in concreto. Inilah hukum yang dikenali sebagai judge-made
law, yang sekalipun semula dimaksudkan hanya untuk memutus perkara hukum
yang tengah menjadi kasus, akan tetapi karena adanya doktrin stare decisis
berikut asas precedencenya maka hukum seperti itu pada saat tertentu
juga bisa berlaku in abstracto. Hukum dan kajian hukum yang dikembangkan
atas dasar doktrin seperti itu dikenal marak di negeri-negeri yang bersistem common
law (khususnya di Amerika Serikat), di mana hakim menurut doktrinnya tidak
cuma hendak menemukan hukum akan tetapi terlebih-lebih harus dapat menciptakan
hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus hukum in concreto. Kegiatan
penelitian hukum jenis ketiga di Amerika Serikat ini umumnya dilakukan oleh
para ahli hukum praktisi, khususnya para pengacara, serta pula para teoretisi
yang mem-back-up para pengacara itu untuk melakukan studi-studi guna
memperkirakan apa kira-kira yang akan diputuskan hakim olah pengadilan dan/atau
juri, lewat studi-studi. Berbeda dengan apa yang dipraktikkan di negeri-negeri
penganut tradisi civil law system Eropa Kontinental, di mana para
ahli hukum dengan sepenuhnya hati memandang law as it is in the books
sebagai model normologis yang sempurna untuk mengontrol seluruh kehidupan,
dengan kewajiban hakim untuk (bak mulut yang tugasnya cuma membunyikan apa yang
tertulis dalam undang-undang) memutus perkara-perkara dengan menemukan hukum
dari produk-produk legislatif – di negeri-negeri Anglo-Saxon (lebih-lebih di
Amerika Serikat yang terkenal pragmatismenya itu) yang hendak dipentingkan
bukanlah the codified law itu, melainkan the judge-made law.
Maka searching
for law dalam tradisi penelitian hukum di Amerika Serikat ini akan segera
bermakna sebagai the searching for what the judge will decide as law. Kerja
pencarian hukum di sini lalu tak cuma hendak dilakukan untuk menemukan apakah
bunyi hukum in abstracto-nya saja, untuk kemudian
mendeduksikannya berdasarkan silogisme logika formal, melainkan dengan cara
menspekulasikan secara teoretis – dan kemudian menghipotesiskan – apa kira-kira
yang akan diputuskan oleh juri dan hakim. Diketahui bahwa hakim di mana-mana
tidak akan mungkin – dan memang juga tidak akan diharapkan – untuk cuma sekadar
menemukan lafal-lafal hukum in abstracto tersebut menjadi lafal-lafal
yang in concreto, sine ira. Di mana-mana hakim itu selalu mengimbuhkan
suatu pertimbangan pribadi yang extra-legal sifatnya, dengan cita-cita
bahwa keputusan-keputusan yang dibuatnya itu akan lebih fungsional bagi
kehidupan. Maka pengalaman yang tersimak dalam kehidupan akan dapat lebih mampu
menjawab persoalan hukum dan akan dapat lebih cermat menduga arah keputusan hakim-hakim
daripada logika-logika hukum. Berkatalah Holmes – yang merintis aliran realisme
dalam ilmu hukum di Amerika Serikat – dalam hubungan ini bahwa the life of
law has not been logic, it is experience.
Ajaran legal
realism atau the functional jurisprudence rintisan Holmes ini
bukannya mengabaikan sifat kajian-kajian hukum yang normatif-deduktif dan
doktrinal, akan tetapi sesungguhnya cuma hendak menegaskan bahwa dalam setiap
penciptaan hukum in concreto itu selalu terjadi apa yang disebut judgements,
yaitu keputusan-keputusan yang diinfiltrasi oleh pertimbangan-pertimbangan
pribadi yang bersifat extra legal (bukan yang illegal). Roscoe
Pound – dengan paham sociological jurisprudence-nya malahan
menganjurkan dikerjakannya judgements seperti itu oleh para hakim agar
hukum dan keputusan-keputusan hukum tidak hanya fungsional dalam masyarakat
akan tetapi juga secara pro-aktif dapat merekayasa perubahan masyarakat. Tak
pelak lagi, di negeri-negeri dengan tradisi common law di mana para
hakim akan agak terbebaskan dari imperatif silogisme deduktif, agar dapat lebih
memenuhi fungsi “menyelesaikan sengketa dari kasus ke kasus” daripada
melebihkan fungsinya sebagai “penerap atau bahkan penegak hukum bersumberkan
perintah undang-undang” (sekalipun langit akan runtuh), kemungkinan mencapai
kesimpulan dengan cara induksi, seraya banyak mempertimbangkan tuntutan
kenyataan – akan menjadi lebih besar. Maka, mungkin saja bukan hal yang
kebetulan apabila dasar-dasar ide paham sociological jurisprudence
atau the functional school of jurisprudence itu lebih mudah diterima dan
dimengerti, untuk kemudian berkembang marak di negeri-negeri dengan sistem common
law – lebih-lebih lagi yang berpaham pragmatis, seperti Amerika Serikat.
Kajian-kajian
yang induktif-nomologis mengenai proses sosio-psikologis terjadinya judgements
hakim banyak muncul dalam penelitian-penelitian tentang apa yang didalam
literatur Amerika Serikta disebut court behaviors. Kondisi-kondisi
sosio psikologis yang riil dan berpengaruh pada perilaku para juri dan hakim
atau pula pada para pengacara – serta pula proses-proses interaktif
antara-mereka, telah menjadi topik-topik utama dalam kajian-kajian court/judicial
behaviors. Studi tentang afiliasi politik para hakim (demokrat ataukah
republikan), misalnya, dikaji dalam kaitan dengan keputusan-keputusan yang akan
dijatuhkan dalam perkara diskriminasi dan segregasi rasial. Perbedaan jenis
kelamin atau golongan etnis/ras para anggota juri atau hakimnya, sebagai misal
yang lain, dikaji apakah akan ada pengaruh dalam ihwal keputusan-keputusan yang
akan dijatuhkan dalam perkara perkosaan. Demikian seterusnya.
Sejauh
studi-studi itu berkaitan erat dengan soal opini-opini (hakim) tentang
substansi hukum perundang-undangan dan/atau keputusan-keputusan para hakim
terdahulu yang berkekuatan sebagai preseden-preseden, tidaklah ada salahnya
kalau studi-studi tersebut tetap dikategorikan sebagai studi-studi doktrinal.
Akan tetapi, studi-studi tentang perilaku hukum di ruangan-ruangan pengadilan
sulitlah kalau dikategorikan sebagai studi tentang doktrin-doktrin hukum.
Variabel-variabel yang extra-legal itu jelaslah kalau eksis ke luar
ranah doktrin, dan penelitian-penelitian serta studi-studinya tak ayal lagi
sudah terbilang ke dalam kategori non doktrinal, dengan menggunakan metode-metode
dan idiom-idiom yang non doktrinal pula. Dalam perkembangan berikutnya,
metode-metode nondoktrinal ini dimanfaatkan oleh ilmu hukum, tidak hanya untuk
mengkaji the extra-legal factors, akan tetapi juga untuk
mempelajari the real social factors dalam konteks legal hehaviors as
it is in society. Dengan sekali langkah, the sociological jurisprudence
sudah menjadi the sociology of law dengan segala konsekuensinya. Tidak
cuma konsekuensi paradigma substantifnya akan tetapi juga konsekuensi
metodologisnya.
2.
Metode Penelitian Non-doktrinal
Di dalam
kehidupan yang mulai banyak mengalami perubahan-perubahan transformatif yang
amat cepat, terkesan kuat bahwa hukum (positif) tak dapat berfungsi efektif
untuk menata perubahan dan perkembangan. Tak ayal lagi, berbagai cabang
ilmu-ilmu sosial – khususnya sosiologi yang akhir-akhir ini mulai banyak
mengkaji dan meneliti ihwal perubahan-perubahan sosial – “dipanggil” untuk ikut
menyelesaikan berbagai masalah dan perubahan sosial yang amat relevan dengan
permasalahan hukum. Ilmu-ilmu sosial – yang mulai “ditengok” dalam kerangka
ajaran sociological jurisprudence mulai banyak pula dimanfaatkan untuk
memungkinkan usaha memperbaharui dan memutahirkan norma-norma hukum.
Kajian-kajian sociology of law – dengan metode sosialnya yang
nomologis-induktif – kini dikembangkan dan dimanfaatkan untuk menganalisis dan
memberikan jawaban tentang masalah keefektifan bekerjanya seluruh struktur
institusional hukum.
Maka di
sini, tak terelakan lagi hukum pun lalu dikonsepkan secara sosiologis sebagai
suatu gejala empiris yang dapat diamati di dalam kehidupan. Hukum tidak lagi
dikonsepkan secara filosofi-moral sebagai norma ius constituendum atau law
as what ought to be, dan tidak pula secara positivistis sebagai norma ius
constitutum atau law as what it is the books, melainkan secara
empiris yang teramati di alam pengalaman. Hukum tidak lagi dimaknakan sebagai
norma-norma yang eksis secara eksklusif di dalam suatu sistem legitimasi yang
formal. Dari segi substansinya, kini hukum terlihat sebagai suatu kekuatan
sosial yang empiris wujudnya, namun yang terlihat secara sah, dan bekerja –
dengan hasil yang mungkin saja efektif akan tetapi mungkin pula tidak – untuk
memola perilaku-perilaku aktual warga masyarakat. Sementara itu, dari segi
strukturnya, hukum kini terlihat sebagai suatu institusi peradilan yang
kerjanya mentransformasi masukan-masukan (tegasnya materi hukum in abstracto,
yaitu produk sistem politik) menjadi keluaran-keluaran (tegasnya
keputusan-keputusan in concreto), yang dengan cara demikian mencoba
mempengaruhi dan mengarahkan bentuk serta proses interaksi sosial yang
berlangsung di dalam masyarakat.
Karena
dikonsepkan sebagai gejala yang berada, bergerak atau beroperasi di dunia
empiris, hukum – baik sebagai substansi kekuatan sosial maupun sebagai struktur
institusi pembuat keputusan in concreto yang berkekuasaan – dari
perspektif ini kini hukum akan menampakkan diri sebagai fakta alami yang
tentunya akan tunduk kepada keajegan-keajegan (regularities, nomor) atau
keseragaman-keseragaman (uniformities). Dengan demikian, menurut
konsepnya, hukum akan dapat diamati. Kalau demikian halnya, hukum yang
dikonsepkan secara sosiologis ini akan dapat dijadikan objek penelitian yang
dikerjakan secara saintifik, non-doktrinal, dan tidak akan lagi dijadikan
“sekadar” objek penggarapan untuk menyusun sistem normatif yang koheren belaka
(atas daar prosedur logika yang deduktif semata-mata, dengan premis-premis yang
diperoleh dari bahan-bahannya (yang primer atau yang sekunder) atau dari
sumber-sumbernya di ranah normatif (baik yang formil maupun yang matriil).
Perubahan konsep hukum – dari konsep positivistis ke konsep empiris-sosilologi
– ini tak pelak akan menimbulkan konsekuensi metodologis yang cukup jauh juga,
yaitu digunakannya metode saintifik untuk pengkajian dan penelitiannya.
Adapun ciri
metode yang saintifik ini tampak jelas perama-tama pada peran logika induksi
yang amat mengedepan untuk menemukan asas-asas umum (empirical uniformities)
dan teori-teori (baik yang miniatur atau yang middle range maupun yang grand)
melalui silogisme induksi. Dalam silogisme induksi ini, premis-premis (kecuali
tentu saja konklusinya) selalu berupa hasil pengamatan yang diverifikasi. Di
sinilah letak bedanya dengan model penelitian doktrinal yang dikerjakan oleh
para filosof-moralis ataupun teoretis positivis untuk menemukan asas-asas umum
hukum positif. Penelitian-penelitian doktrinal selalu bertolak secara deduktif
dari noma-norma yang kebenarannya bernilai formal, dan tidak berasal dari hasil
pengamatan yang kebenaran materialnya selalu dipersoalkan dan karenanya selalu
dicek. Kedua, karena menggunakan silogisme induksi dan memperoleh
simpulan-simpulan dari suatu proses induksi, simpulan-simpulan yang diperoleh
sebagai conclusio di dan dari dalam silogisme induksi, selalulah berupa
diskripsi atau eksplanasi tentang ada-tidaknya hubungan (entah kausal atau
entah korelatif) antara berbagai variabel sosial-hukum.
Ilustrasi
berikut ini dapatlah dikemukakan untuk menggambarkan perbedaan ancangan antara
metode doktrinal yang normatif-normologis pada silogisme deduktif itu dengan
metode nondoktrinal yang empiris-nomologis pada silogisme yang induktif. Dengan
metode yang normologis-deduktif itu, bertolak dari premis “peradilan harus
cepat dan murah” (bunyi pasal 14 Undang-Undang Pokok Kehakiman), orang akan
menyimpulkan bahwa “peradilan dalam perkara warisan, pun di mana-mana di
Indonesia, akan berlangsung cepat dan murah”. Namun, dengan metode yang
nomologis-induktif, orang akan menemukan simpulan hubungan kausal antara
kecepatan proses peradilan itu dengan gejala-gejala lain di dalam masyarakat,
yang mungkin sekali lain dengan apa yang telah disimpulkan lewat proses deduksi
di muka. Sebagai contoh: apabila di alam amatan “besar (atau kecil)-nya, jumlah
harta warisan yang dipersengketakan di muka pengadilan” selalu berseiring atau
selalu diikuti oleh fakta “cepat (atau lambat) nya penyelesaian perkara
warisan, maka dengan mengamati frekuensi keseiringan itu di berbagai situasi,
maka dapat disimpulkan bahwa ada buhungan antara jumlah harta warisan yang
dipertaruhkan dengan kecepatan pengadilan untuk menyelesaikan perkara.
Penelitian-penelitian
nondoktrinal yang sosial dan empiris atas hukum akan menghasilkan teori-teori
tentang eksistensi dan fungsi hukum dalam masyarakat, berikut
perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses-proses perubahan sosial.
Teori-teori ini dikembangkan dari hasil-hasil penelitian yang beruang lingkup
luas, makro, dan umumnya juga amat kuantitatif untuk mengelola data amat
massal, terorganisasi dalam suatu gugus yang disebut the social theories of
law. Seluruh hasil kajian disistematisasikan ke dalam suatu cabang
kajian khusus yang terkategorikan tidak hanya sebagai cabang kajian ilmu-ilmu
sosial akan tetapi juga tengah diperjuangkan agar boleh juga diaku sebagai
bagian dari kajian ilmu hukum, yang disebut dengan nama kajian Law in
Society yang di Amerika Serikat lebih dikenal dengan nama Law and
Society. Penelitian-penelitian empiris cabang kajian ini lazim disebut socio-legal
research, yang pada hakikatnya – seperti telah disebutkan berulangk ali di
muka – merupakan bagian dari penelitian sosial. Di sini metode penelitian yang
konvensional, seperti yang banyak dipraktikkan di berbagai cabang ilmu-ilmu
sosial, yang suka mengkuantifikasi datanya, akan lazim dipakai.
Pendekatan
Makro Teori Struktural-Fungsional: Hukum Dikonsepkan sebagai Institusi Sosial
yang Objektif
Dalam
kajian-kajian ilmu hukum, penganut paham positivisme yang mengkonsepkan law
in book sebagai model nomologis untuk mengontrol kehidupan yang riil, yang
karena itu – demi terwujudnya tertib sosial – hukum harus diaati penuh, entah
karena sanksi-sanksi koersifnya, entah karena kesadaran warga untuk bersikap
patuh secara volunter. Dalam kajian hukum yang sociological jurisprudence
maupun yang sosilogis-nondoktrinal, konsep mengenai fungsi hukum yang demikian
itu terasa tetap dominan juga, sehingga paham sosiologis tentang hukum yang
demikian – entah paham konseptual yang mengatakan bahwa law is a tool of
social engineering, entah yang berpaham bahwa law is government’s social
control, dalam perkembangan teori-teori sosial tentang hukum sekarang ini
digolongkan ke dalam kelompok paham kaum strukturalis yang berwawasan
teknokratis. Menurut konsep kaum ini, hukum – sebagai alat dan sarana untuk
merekayasa tertib kehidupan dalam masyarakat – adalah hukum perundang-undangan
yang telah dibuat secara baik dan layak sebagai refleksi kebijakan proaktif
yang lahir dari pemikiran para pakar dan pemuka yang tentunya tak akan (banyak)
mengandung cacat cela. Dalam hubungan ini, kewajiban rakyat awam tidak lain
adalah menerima dan menaati hukum undang-undang yang telah dibuat dan
diundangkan secara benar.
Akhir-akhir
ini, seiring dengan perkembangan teori-teori sosial yang lebih melebihkan makna
aksi-aksi individual dan interaksi-interaksi antar-individu (daripada
melebih-lebihkan makna struktur kekuasaan) sebagai determinan utama eksistensi
kehidupan bermasyarakat, berkembang pula teori-teori sosiologi hukum yang
berparadigma baru, dengan konsekuensi metodologinya yang – karena hendak lebih
mengkaji aksi-aksi individu dengan makna-makna simbolis yang direfleksikannya –
akan lebih bersifat kualitatif daripada kuantitatif. Kelompok teoretis yang
terbilang ke dalam aliran paham aksi dan interaksionisme ini berpendapat bahwa
realitas kehidupan itu tidaklah muncul secara empiris dalam alam amatan, dan
menampak dalam ujud perilaku yang terpola dan terstruktur secara objektif
(apalagi normatif), dan karenanya bisa diukur-ukur. Menurut kaum interaksionis
ini, realitas kehidupan itu sesungguhnya hanya eksis dalam alam makna yang
simbolis, yang karena itu akan sulit ditangkap” lewat pengamatan dan pengukuran
begitu saja dari luar. Alih-alih begitu – demikian menurut kaum interaksionis-simbolis
ini – realitas-realitas itu hanya mungkin “ditangkap” lewat pengalaman dan
penghayatan-penghayatan internal yang membuahkan gambaran kemafhuman yang utuh
dan lengkap (verstehen), dan tidak cukup kalau cuma diperoleh lewat
ukuran beberapa indikator yang cuma terlihat di permukaan.
Karena
realitas adalah bagian dari alam makna/simbolis yang hanya dapat dipahami lewat
pengalaman intern para subjek pelaku, maka menurut para interaksionisme ini
tidaklah akan mungkin lain daripada apa yang dijumpai para subjek pelaku lewat
partisipasi, pengalaman dan penghayatan mereka dalam kehidupan yang dijalani.
Maka, masalah yang akan terlihat oleh subjek-subjek pengamat (bukan pelaku)
yang non-partisipan, betapapun tinggi keahlian, dan betapapun pula besar
kewenangannya di dalam hal pengendalian sistem, bukanlah hasil yang mereka
peroleh lewat pengamatan. Dalam hal demikian, kaum interaksionis mengklaim
bahwa masalah yang sebenar-benarnya masalah tidaklah akan mungkin didefinisikan
oleh para pengamat dan penganalisis, melainkan hanya akan mungkin dipaparkan
dan dijabarkan oleh mereka yang mengalami dan menjalaninya dalam kehidupan
untuk kemudian melilitnya. Maka yang harus ia lakukan adalah “masuk” dan
berpartisipasi di dalam kehidupan yang akan dikajinya itu guna menemukan
masalah “dari dalam” lewat pengalaman dan penghayatan dalam kehidupan setempat.
Atau, kalau tak ingin menempuh proses panjang berlama-lama lewat partisipasi
seperti itu, dapatlah ia menanyai secara intensif dan in depth para
warga yang menjadi partisipan budaya dan kehidupan sosial dan kehidupan hukum
setempat, dengan sikap-sikap yang empatik.
Perbedaan
dan silang selisih konseptual antara kedua paham yang berbeda paradigma
sebagaimana diutarakan di atas, dapatlah diilustrasikan dengan jelas dalam
persoalan berikut ini. Dalam kasus-kasus hukum berkaitan dengan pencabutan hak
atas tanah penduduk di kota-kota yang dilaksanakan dalam rangka peningakatan
fungsi kota dalam tatanan ekonomi nasional, para pejabat yang duduk di kursi
pemerintah umumnya melihat setiap masalah hak penguasaan atas tanah dari sudut
hukum positif dan hak-hak yuridis (yang terelasisasi ipso jure).
Sementara itu, orang-orang awam kebanyakan melihat dari sudut tradisi bahwa hak
menguasai tanah ditentukan oleh ketekunan dan jerih orang (ipso facto)
menggarap dan/atau merawat tanahnya itu.
Perbedaan
metodologi yang tak dapat dielakkan – sehubungan dengan perbedaan paradigmatis
dalam hal mengkonsepkan masalah sebagaimana dipaparkan berulangkali di muka –
kini telah banyak disadari orang. Orang pun menyadari pula bahwa sehubungan
dengan kenyataan itu dua metode yang pada prinsipnya memiliki asumsi, strategi
dan prosedur berbeda, haruslah dikembangkan secara tersendiri; yaitu metode
kuantitatif yang theory testing untuk meneliti dan memecahkan
masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat analisa yang makro sebagai
realitas empiris, dan metode kualitatif yang theory building untuk
meneliti dan memecahkan masalah-masalah yang dikonsepkan pada tingkat analisis
mikro sebagai realitas simbolis. Metode kuantitatif adalah metode yang klasik
dan konvensional, dikenal orang sejak masa silam yakni semasa orang
menganalogkan sistem kehidupan manusia ke sistem kehidupan non manusia, yang
alami atau kodrati dan yang hayati maupun yang non hayati (anorganik). Metode
ini semula memang terbukti efektif untuk meneliti fenomena alam yang “tak
memiliki kehendak bebas” di dalam berbagai cabang ilmu alam kodrat dan ilmu
hayat. Penerapan metode ini tanpa reserve juga untuk memahami liku-liku
dan permasalahan kehidupan manusia pada mulanya juga disambut dengan baik dan
dipandang efektif juga, namun di bawah kondisi bahwa manusia-manusia boleh
diasumsikan sebagai oknum-oknum yang tak akan mengembangkan kemauan pribadi
yang berkebebasan untuk melawan kodrati dan sistem kehidupan.
Metode
kuantitatif yang klasik itu bukannya tak mampu mengungkapkan pola-pola yang
berkepanggahan tingi dalam tatanan perilaku dan kehidupan manusia – juga
perilaku dan kehidupan hukumnya – di tengah masyarakatnya, dan kemudian daripada
itu juga melahirkan asa-asas, dalil-dalil, atau teori-teori. Akan tetapi,
ketika studi-studi tentang masyarakat manusia hendak mengungkapkan pula
aspek-aspek nilai, ide, makna, kepercayaan dan keyakinan (dan hukum itu
sesungguhnya tak cuma berupa realitas struktural melainkan juga nilai, ide,
makna dan keyakinan yang individualized), dan apa pun pula yang
tersembunyi di dalam benak dan relung-relung perasaan para warga yang menjadi
partisipan-partisipan budaya dan subjek-subjek hukum di dalam masyarakat, dan
pula ketika studi-studi sosial kian banyak yang bersifat lintas-kultural atau
lintas-etnis, metode kuantitatif yang klasik itu terbukti tidak lagi dapat
banyak membantu. Untuk mengkompensasikannya orang pun serta merta mulai mencoba
mengembangkan metode-metode penelitian yang baru, yakni metode penelitian yang
kini dikenal dengan nama metode penelian kualitatif.
Berbeda
dengan metode kuantitatif yang telah mulai lebih awal, metode penelitian
kualitatif umumnya merupakan inovasi baru, yang baru memperoleh kemapanannya
pada akhir tahun 1970-an, dan belum begitu banyak dipelajari dan dikenal orang.
Membedakan diri dari metode kuantitaif yang efektif untuk mereduksi gejala
kehidupan manusia ke dalam angka-angka untuk kemudian digarap dalam
analisis-analisis statistikal, metode kualitatif dikembangkan untuk mengkaji
kehidupan manusia dalam kasu-kasus terbatas, kasuistis sifatnya, namun mendalam
(in depth) dan total/menyeluruh (holistik). Dalam arti tak mengenal
pemilahan-pemilahan gejala secara konseptual ke dalam aspek-aspeknya yang
eksklusif, yang kita kenali dengan sebutan variabel. Dalam hubungan ini, metode
kualitatif juga dikembangkan untuk mengungkap gejala-gejala kehidupan
masyarakat seperti yang dipersepsi oleh warga-warga masyarakat dan dari kondisi
mereka sendiri yang tak diintervensi oleh pengamat penelitinya (naturalistis).
Metode kualitatif ini tak sekali-kali menganjurkan dikembangkannya perspektif
konseptual dari sudut amatan para pakar penelitian, atau dari sudut
penglihatan/kepentingan para elite pengendali struktur, yang dikhawatirkan
sekali akan selalu mengandung bias teoretis dan mungkin juga asumsi-asumsi
pemecahan masalah secara a priori.
Karena
memiliki kegunaan sendiri-sendiri, dengan keefektifan masing-masing yang
digantungkan dari asumsi paradigmatis teori-teori, yang dipilih dan dipakai,
temuan-temuan kedua jenis metode itu tentu saja akan mensugestikan jawaban
permasalahan yang terkonsepkan secara berbeda pula. Maka apabila langkah yang
pertama bersifat teknokratis dan penuh intervensi perekayasaan secara sepihak
terhadap objek, langkah yang kedua lebih cenderung bersifat kondusif dan “cuma”
bermaksud menginputkan faktor-faktor yang diduga akan menimbulkan keberdayaan
yang mandiri dalam diri “si objek”. Langkah kedua ini berkesan lebih
partisipatif dan mengundang partisipasi pelaku-pelaku sosial secara berkerelaan
(volunter). Manakah dari dua pilihan itu yang paling tepat diambil – khususnya
di dalam ranah kehidupan hukum yang telah berformat nasional dewasa ini –
tentulah akan amat bergantung tidak hanya pada paradigma awal yang kita pilih,
akan tetapi juga pada pemihakan moral kita. Dalam alam kehidupan yang kian
demokratis dan people centered ini, kiranya kajian-kajian yang
kualitatif tentang berbagai permasalahan sosial dan kehidupan manusia – agar
dapat lebih mengungkap alam pikiran dan isi nurani massa awam – pantaslah kalau
lebih banyak dicoba. Penelitian-penelitian hukum yang nondoktrinal-kualitatif
dengan ancangan paradigmatisnya yang beranjak dari teori yang mikro dan pro
populus, dapatlah kiranya banyak memberikan sumbangannya yang berarti.
Ada Tidaknya
Hubungan Berdasarkan Logika Induksi Analisis
Telah kita
ketahui dari kajian-kajian terdahulu mengenai penelitian hukum, bahwa ada
berbagai aliran paham dalam ilmu hukum, masing-masing dengan metode kajiannya
sendiri yang khusus. Aliran positivisme mengembangkan pemahamannya tentang
hukum dengan metode khusus, yang oleh alam kepustakaan internasional disebut
metode doktrinal. Metode ini bertumpu pada kebenaran-kebenaran formal yang
diproses melalui hukum logika deduksi. Tak pelak ilmu hukum begini ini hanya
mungkin berkembang kalau proses pengkajinya bersedia berasumsi secara
menyebelah bahwa hukum positif adalah premis nonmetif yang kebenarannya tak
boleh dibantah, dan keputusan-keputusan hukum hanya dapat disimpulkan melalui
silogisme deduksi dari premis tersebut.
Perbincangan
kita hari ini tidak berkaitan dengan seluk-beluk pendekatan positivistis dengan
metodenya yang doktrinal itu. Kita akan sedikit keluar dari tradisi materi dan
metode kajian hukum aliran positivisme ini, untuk juga mempelajari hukum
sebagai kenyataan sosial dan “bermain” sebagai salah satu kekuatan yang dipakai
dalam berbagai proses interaksi dalam masyarakat (ekonomi, politik, sosial,
ataupun budaya). Sebagai kenyataan, hukum adalah suatu variabel (suatu gejala
dengan nilai yang bisa bervariasi) dengan keefektifan yang tentu saja belum
tentu bisa dipastikan. Keniscayaan menurut logika formal (deduksi) acap kali
tidak terbukti demikian adanya berdasarkan amatan dan penyimpulan menurut
logika materiil (induksi) yang berangkat dari penyimakan ke alam kenyataan.
Celah yang
menggambarkan adanya selisih (gap) antara apa yang secara normatif
diyakini sebagai sesuatu yang niscaya dengan apa yang secara aktual dan faktual
teramati sebagai sesuatu yang ternyata nisbi dan tak menentu (tak mesti
logika), akhir-akhir ini mengundang banyak pengkaji hukum untuk juga
mempelajari dari perspektif lain. Tidak cuma menurut ajaran hukum murni,
pengkaji-pengkaji hukum baru ini mulai mencoba melihat hukum sebagai institusi
sosial yang “perilaku”-nya tunduk pada pola-pola yang harus dipelajari secara
tersendiri.
Dalam kajian
baru seperti ini, pertanyaan-pertanyaan yang mengedepan bukan lagi tersusun
dalam pertanyaan “bagaimana seharusnya” menurut ketentuannya yang formal atau
hipotetis, akan tetapi yang secara kritis mempertanyakan, “apakah gerangan
sesungguhnya yang menjadi sebab-musababnya sebagaimana tersimak di alamnya yang
empiris”. Cara bepikir dan berlogika lalu berubah dari upaya mencari
dasar-dasar pembenaran dan keabsahan ke upaya mencari penjelasan apa disebabkan
apa dan/atau apa menyebabkan apa.
Cara
berpikir tersebut akhir inilah yang disebut “berpikir eksplanatif dan “larinya”
akan tak pelak lagi akan menuju ke upaya menemukan hubungan sebab akibat,
hubungan pengaruh. Eskplanasi seperti ini tak akan mungkin diperoleh
dengan/melalui logika deduksi. Akan gantinya, orang harus segera beralih ke
silogisme induksi yang (sayang) belum masuk ke dalam silabus pengajaran dan pembelajaran
logika di fakultas-fakultas hukum atau fakultas-fakultas lain yang tidak
terbilang fakultas sains. Di fakultas-fakultas hukum hal ini terjadi sehubungan
masih diabaikannya kajian-kajian hukum sebagai realitas sosial.
Berpikir
korelatif atau kausal – alias berpikir dalam rantai hubungan antar variabel –
adalah berpikir menurut pola pikir silogisme induksi. Formulanya tergambar
sebagai berikut:
Premise I
Si A diancam
sanksi, si B diancam sanksi, si C diancam sanksi, si D diancam sanksi, si E diancam
sanksi, si F diancam sanksi, (dan seterusnya).
Premise II
Si A menjadi
taat, si B menjadi taat, si C menjadi taat, si D menjadi taat, si E menjadi
taat, si F menjadi taat, (dan seterusnya).
Premise III
(kesimpulan)
Jadi, di
mana ada ancaman sanksi, di situ akan ada ketaatan (artinya, ada hubungan
antara ancaman sanksi dan ketaatan).
Formula
demikian itu disebut formula “cannon of agreement“. Hadirnya suatu
variabel tertentu (X), apabila dalam situasi apa pun selalu seiring atau selalu
diikuti oleh munculnya variabel tertentu yang lain (Y), maka berdasarkan logika
dapatlah disimpulkan bahwa X menyebabkan Y, atau setidak-tidaknya ada hubungan
antara X dan Y. Formula serupa, juga dalam bentuk silogisme, cuma saja dengan
ekspresi negatif (disebut “negative cannon of agreement“), dapat pula
dipakai untuk menguji ada tidaknya hubungan antara X dan Y itu. Apabila
tiadanya sesuatu variabel tertentu selalu diikuti atau selalu berseiring dengan
tiadanya sesuatu variabel tertentu yang lain, maka secara logika dapatlah
disimpulkan bahwa antara kedua variabel itu ada hubungan (kausal ataupun
pengaruh).
Prinsip atau
formula ketiga adalah formula “cannon of difference” atau “cannon of
joint occurrence”. Formula ini adalah formula gabungan kedua cannon yang
disebut dimuka. Dikatakan, bahwa tatkala ada X akan ada Y, sedangkan kalau
tidak ada X akan tidak ada Y, maka menurut logika induksi ada hubungan antara X
dan Y. Formula ketiga ini dapat pula disebut “cannon of concomittance
variation”, terjadi tatkala variabel-variabel yang tersimak dan dijadikan
anasir dalam silogisme itu bisa diukur secara kuantitatif. Apabila demikian
halnya, maka formulanya terbaca sebagai berikut: Apabila makin tinggai
kuantitas X akan makin tinggi (atau rendah) kuantitas Y, sedangkan makin rendah
kuantitas X akan makin rendah (atau tinggi) pula kuantitas Y.
Hubungan
antara dua variabel yang masing-masing disebut X dan Y itu dapat pula
digambarkan di dalam bentuk suatu bagan (dan tidak sekadar diuraikan secara
verbal dalam bentuk kalimat atau uraian saja). Bagan itu tampak dalam bentuk
tabel (disebut tabel silang, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 1 di dalam
lampiran naskah ini). Sementara itu, tatkala variabel-variabel X dan Y
masing-masing memiliki nilai yang bisa dikuantifikasikan, (tercatat sebagai
data interval atau data rasio berdasarkan logika concomintant co-variation),
dan tidak/bukan terbatas sebagai data kualitatif yang tak bisa
dikuantifikasikan (tercatat sebagai data nominal atau data ordinal berdasarkan
logika joint occurrence), maka bagan itu malah dapat dilukiskan dalam
bentuk bagan grafik (lihat gambar 2)
Apa pun
formulanya, semua prinsip itu menyatakan bahwa hubungan tersebut hanya mungkin
terjadi dalam hubungan antar-variabel. Di sini semua prinsip bisa dikembalikan
ke prinsip dasar bahwa logika hanya bisa menyimpulkan ada-tidaknya hubungan
kalau amatan menemukan data adanya perubahan pada variabel yang satu yang lain
berseiring dengan adanya perubahan pada variabel yang lain. Maka, logika
induksi ini hanya bisa didayagunakan dan dioperasikan untuk menggerakkan
pengujian-pengujian dalam penelitian-penelitian keilmuan, tatkala objek bisa
dikonsepkan terlebih dahulu sebagai suatu variabel yang tentu mempunyai
nilai-nilai atau kualitas-kualitas yang dapat divariasikan. Sebagai contoh,
dapatlah dikemukakan mengenai ihwal hakim sebagai berikut.
Hakim,
misalnya, hanya bisa dikaji secara induksi (dalam hubungannya dengan fakta
lain) tatkala bisa “divariabelkan”. Dalam eksistensinya sebagai variabel, hakim
itu, misalnya saja, bisa adil tetapi juga bisa tak adil, kalau hakim harus
dikonsepkan sebagai sosok yang – menurut ketentuan normatifnya yang pasti –
niscaya dan selalu secara kontan adil (tak mungkin tidak), maka hakim yang
dikonsepkan seperti itu tidaklah akan mungkin dijadikan objek penelitian
induktif. Sejauh-jauhnya hanya dapat dijadikan rujukan pemerkuat keyakinan.
Sedangkan apa yang sudah keyakinan yang sudah dikukuhkan tidaklah mungkin
dijadikan unsur dalam kajian dengan langkah silogisme induksi untuk menemukan
faktor penyebab (penyebab mengapa adil mengapa tidak adil).
Mengubah-ubah
nilai variabel dalam banyak penelitian empiris yang mendayagunakan logika
induksi itu dilakukan lewat rancangan-rancangan kerja yang disebut rancangan
eksperimental. Penelitian seperti ini dapat dilakukan secara fisik-manipulatif,
dengan memasukan suatu variabel fisik ke dalam suatu proses yang sengaja
diupayakan, dan dapat pula dilakukan secara statistik (terhadap
kejadian-kejadian yang telah berlangsung scara”alami”, ex post facto).
Penelitian-penelitian
dengan/tentang objek-objek non-manusia umumnya dapat dikerjakan secara
eksperimental dengan cara memanipulasi secara fisik masuk-tidaknya (untuk
memungkinkan terlihat ada-tidaknya) variabel X, untuk mengamati akan terjadinya
atau tidak akan terjadinya variabel Y. Eksperimen seperti ini sempurnanya
dikerjakan dengan membuat dua kelompok yang serupa ( kalaupun tak mungkin sama
sepenuhnya). Yang satu disebut (kelompok kontrol) akan dikontrol agar tidak
kemasukan variabel X, sedangkan yang satunya lagi (disebut kelompok
eksperimental) akan dengan sengaja dimasuki – atau dibiarkan agar dimasuki –
variabel X, untuk kemudian disimak lewat pengukuran atau assessments
apakah variabel Y akan muncul dalam the after situation of the
experimental group itu. Apabila dalam after situation di kelompok
eksperimental itu terbukti “ada X dan Y”, sedangkan dalam after situation
di kelompok kontrol itu “tidak ada X dan tidak ada Y” maka menurut logikanya
yang induksi ini antara X dan Y ada hubungan. Dan karena hadirnya Y lebih
kemudian dari pada X. Maka boleh disimpulkan lebih lanjut bahwa X alalah sebab
hadirnya Y, yang harus dibilang sebagai akibat.
Sementara
itu, penelitian mengenai objek-objek manusia sungguhnya sulit untuk bisa
dikerjakan dengan eksperimen-eksperimen yang manipulatif. Maka, akan ganti
operasionalisasi prinsip-prinsip logika induksi menurut strategi ekperimental,
sebagaimana dikatakan di muka, yang dikerjakan dengan cara memanipulasi
kelompok-kelompok. Apa yang bisa dikerjakan dalam penelitian dengan/tentang
manusia dan perilakunya (termasuk perilaku hukum) tidak lain adalah upaya untuk
tetap mengoperasionalisasikan prinsip-prinsip induksi itu, namun menurut
strategi yang kuasi-eksperimental saja, yang tidak berangkat dari before
situation ke after situation, melainkan “bergerak mundur”, ex-post
facto, dari yang after ke yang before. Umumnya berupa
amatan-amatan saja atas suatu peristiwa yang non-manipulatif, dengan
hasil-hasil amatan (data) yang diorganisasi (secara manipulatif-imajinatif)
atas dasar prinsip-prinsip logika yang disebut cannon di muka.
Gambar 1
Komentar
Posting Komentar