Tentang Teori, Konsep, dan Paradigma dalam Kajian Tentang Manusia, Masyarakat, dan Hukumnya
Tentang Teori, Konsep, dan Paradigma dalam Kajian
Tentang Manusia, Masyarakat, dan Hukumnya
Soetandyo Wignjosoebroto
Sesungguhnyalah tidak ada satu konsep semata wayang tentang apa yang disebut
hukum itu. Maka pula, apabila diketahui bahwa apa yang disebut konsep itu
sesungguhnya merupakan penentu suatu bangunan teori – seperti yang dikatakan
dalam kepustakaan berbahasa Inggris bahwa ‘concepts is the building blocks
of theories’, haruslah disimpulkan di sini bahwa “tiadanya kesamaan konsep
akan berkonsekuansi pada akan tiadanya satu teori semata tentang apa yang
disebut hukum itu”. Hukum yang dikonsepkan sebagai ‘aturan-aturan
undang-undang’ tentulah akan diteorikan lain dari hukum yang dikonsepkan
sebagai ‘seluruh hasil proses yudisial yang berujung pada putusan hakim’, dan
akan lain pula apabila hukum dikonsepkan dalam ujud realitas atau realisasinya
yang tertampak sebagai ‘keteraturan perilaku manusia dalam kehidupan
bermasyarakatnya’.
Tentang apa
yang dimaksud dengan ‘konsep’ dan ‘teori’ yang lazim dirujuk dalam berbagai
wacana akademik pada umumnya. Karena perbincangan tentang ‘teori’ ini tak
hanya akan menyangkut ihwal strukturnya saja, akan tetapi juga ihwal
perkembangannya — yang tak selamanya lancar-lanacar saja melainkan acap benar
banyak mengalami berbagai gejolak dan konflik pemikiran – maka persoalan
‘paradigma’sudah selayaknya kalau juga dipaparkan dan dijelaskan di bab pertama
ini. Relevansi perbincangan tentang ‘konsep, teori dan paradigma’ dengan
permasalahan dalam kajian hukum akan dibicarakan di bab-bab
berikutnya.
Tentang
Konsep
Dalam bahasa
sehari-hari, apa yang disebut ‘konsep’ itu tak lain daripada ‘kata’. Di sebut
dalam batasan tertentu yang definitif, apa yang disebut konsep secara
umum ini tak lain daripada apa yang disebut ‘terma’ dalam logika dan apa yang
disebut ‘istilah’ dalam setiap perbincangan keilmuan. Apapun sebutannya
dalam berbagai perbincangan, secara umum dapatlah dikatakan per definisi bahwa
‘konsep’ itu ialah simbol tertentu yang digunakan sebagai representasi objek
yang diketahui dan/atau dialami oleh manusia dalam kehidupan
bermsyarakatnya. Sebagai simbol bermakna, setiap konsep bermukim di alam numenon,
ialah alam ide yang imajinatif, sedangkan objek yang diwakili berada
di alam phenomenon, ialah alam fakta-aktual yang indrawi.[1]
Kucing sebagai hewan berkaki empat sebagaimana yang kita lihat sehari-hari di
sekitar rumah kita dengan segala ulah lakunya, misalnya, adalah objek amatan
mata kita. Sebagai objek, kucing berada di alam fenomenon yang sekaligus juga
indrawi. Tetapi kata’kucing’ (dalam bahasa Indonesia) atau yang boleh
juga diganti dengan kata ‘cat’ (dalam bahasa Inggris) adalah suatu
simbol representatif yang berada di alam nomenon yang sekaligus juga
imajinatif. Sebagai simbol representatif yang berada di alam nomenon, dan
yang sekaligus juga imajinatif itu, kata atau terma ‘kucing’ ini akan bersifat
abstrak dan umum, yang akan tergambar secara berlain-lainan dalam imajinasi
para pewacana, dan akan “terlukis” berbeda-beda di alam imajinasi dari orang ke
orang.
Konsep dalam alam imajinasi yang abstrak ini sebenarnya masih
berjenjang-jenjang, terkategorikan ke dalam kelas-kelas, dari yang relatif
lebih kongkrit sampaipun ke yang lebih – atau bahkan bisa yang jauh lebih –
abstrak dan bermakna lebih umum atau luas. ‘Kucing’, misalnya, adalah
konsep yang abstrak, tetapi ‘binatang’ adalah konsep yang lebih abstrak dan
‘makhluk’ adalah konsep yang jauh lebih abstrak lagi. Makin abstrak, akan
makin luas cakupan representasinya. Kata ‘binatang’ sebagai konsep jelas
tidak akan mencakup apa yang kita kenali lewat amatan sebagai ‘kucing’ saja,
akan tetapi juga mencakupi hewan-hewan lain seperti harimau, anjing, kambing,
ayam, buaya, ikan dan lain-lain ad infinitum. Lebih abstrak daripada
konsep ‘binatang’, tentu saja konsep ‘makhluk hidup’, dan masih lebih abstrak
lagi adalah konsep ‘semua makhluk’.
Sementara
itu, di tingkat abstraksi manapun, sesuatu konsep bisa direduksi kembali agar
lebih kongkrit dengan menambahkan kata sifat atau kata keterangan lain yang
berefek mengkhususkan. Kembali pada kata ‘kucing’ sebagai contoh, ‘kucing
hitam’, misalnya adalah terma atau konsep yang lebih kongkrit daripada ‘kucing’
begitu saja. ‘Kucing hitam yang kakinya pincang dan yang kemarin saya
beri makan’ tak pelak lagi adalah terma yang jauh lebih kongkrit lagi.
Dalam kajian zoologi, segala macam hewan tersebut di muka, yang dicakup dalam
konsep animal kingdom, bisa saja direduksi secara konseptual ke dalam
dua divisi animalea yang bercakupan lebih sempit dan saling membedakan,
misalnya ke dalam ‘hewan yang menyusui (mamalia) dan ‘bertelur’; yang menyusui
masih akan bisa dikongkritkan lagi secara konseptual ke dalam ‘yang pemakan
daging (karnivora)’ dan ‘yang pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora)’, dan
seterusnya. Begitulah kita dapati dalam perbincangan keilmuan, kali ini
mengambil zoologi sebagai contoh, adanya berbagai konsep – animalea, mamalia,
herbivora – yang berbeda-beda tingkat abstraksinya, yang dengan demikian juga
luas-sempit atau umum-khusus taraf cakupannya.
Dalam ilmu
pengetahuan sosial, objek-objek yang terjumpai dalam kehidupan sosial pun harus
dibataskan secara definitif kedalam konsep-konsep, dan persoalan yang berkenaan
dengan taraf abstraksinya akan pula mesti diperhatikan. Hanya saja, cukup
berbeda dari kajian-kajian ilmu hayat dengan objek hewan atau tumbuh-tumbuhan
yang lebih kasat mata, kajian-kajian ilmu pengetahuan sosial akan lebih banyak
berkenaan dengan objek-objek yang tak secara langsung berkategori kasat
mata. Kelas sosial (yang atas, yang tengah atau yang bawah, misalnya
adalah konsep yang tak bisa dibataskan berdasarkan kerja “sekali amatan yang
direk”, melainkan mesti dikerjakan dengan memperhatikan tengara-tengaranya (the
signs) yang manifes di alam indrawi, yang oleh sebab itu dapat didatakan;
misalnya tingkat pendapatannya, tingkat pendidikan dan keterpelajarannya,
tingkat kekayaannya, dan apapun lainnya lagi.
Berbeda
dengan ilmu hayat atau ilmu alam kodrat lainnya, yang seabstrak apapun
simbol-simbol yang dipakai sebagai konsep, selalu saja konsep-konsep itu gampang
menunjukkan objek-objek rujukannya dengan sekali amatan, tidaklah demikian
halnya dengan kajian ilmiah yang berobjek manusia berikut masyarakatnya.
Akan diketahui nanti bagaimana dalam kajian dengan objek manusia dan/atau
masyarakatnya ini – baik yang dikenali sebagai ilmu pengetahuan sosial maupun
yang dikenali sebagai ilmu hukum – konsep-konsep yang dikembangkan akan condong
lebih bersifat abstrak, imajinatif, dan merupakan konstruksi-konstruksi
rasional dalam alam pikiran daripada lebih bersifat hasil abstraksi yang
berpadanan langsung dengan objek yang terjumpai sebagai fenomenon/na di
alam indrawi ini. Dengan demikian, ilmu pengetahuan sosial dan ilmu hukum
itu boleh dikatakan lebih gampang dicenderungkan ke gambarannya yang ideal
dengan blue-sky concepts-nya daripada kajian-kajian ilmu alam kodrat (natural
and life sciences) yang nyata lebih down to earth, punya padanannya
yang nyata dan direk di alam indrawi.
Tentang
Teori
‘Teori’ – berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti
‘perenungan’, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa
Yunani yang berarti ‘cara atau hasil pandang’[2] — adalah suatu konstruksi di alam
ide imajinatif manusia tentang realitas-realitas yang ia jumpai dalam
pengalaman hidupnya. Adapun yang disebut pengalaman ini tidaklah hanya
pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia dari alam kehidupannya yang
indrawi, tetapi juga diperoleh dari alam kontemplatif-imajinatifnya, khususnya
dalam ilmu pengetahuan yang berobjek manusia dalam kehidupan
bermasyarakatnya. Apapun sumbernya, apakah pengalamannya yang indrawi
ataukah pengalamannya yang kontemplatif-imajinatif murni, teori itu adalah
suatu himpunan konstruksi yang dibangun oleh konsep-konsep yang berada di alam
ide imajinatif manusia,
Berada di alam imajinatif, teori adalah gambaran — atau hasil penggambaran
– secara reflektif fenomena yang dijumpai dalam alam pengalaman indrawi
manusia, dibangun dengan bahan-bahan pembangun yang – sebagaimana kita ketahui
— disebut konsep. Betullah apa yang dikatakan secara ringkas dalam kepustakaan
berbahasa Inggris, seperti yang telah dikatakan di awal bab ini, bahwa concepts
is the building blocks of theories. Didefinisikan dalam rumusan yang
demikian, berbicara tentang ‘teori’, tak pelak lagi orang niscaya akan
diperjumpakan dengan dua macam realitas. Yang pertama adalah realitas in
abstracto yang berada di alam idea yang imajinatif, dan yang kedua adalah
padanannya yang berupa realitas in concreto yang berada di alam
pengalaman yang indrawi. Di dalam bahasa falsafati, sementara orang
mengatakan bahwa realitas pertama disebut ‘realitas nomenon’ (atau ‘nomena’
apabila jamak), sedangkan yang tersebut kedua disebut ‘realtas fenomenon’ (atau
‘fenomena’ apabila jamak).
Berhakikat sebagai realitas yang berada di alam nomena yang imajinatif itu,
teori hanya bisa dijembatani dengan padanannya yang berada di alam realitas
fenomena, vise versa, bersaranakan simbol-simbol yang – dalam ilmu bahasa —
disebut ‘kata-kata’ — atau rangkaiannya yang disebut ‘kalimat’.
Ringkasnya kata, teori itu terdiri dari sehimpunan konsep berikut
rangkaian-rangkaiannya yang disebut ‘hukum’ (dalam artinya yang umum dan
luas). Adapun yang disebut hukum dalam artinya yang umum dan luas ini tak
lain daripada kalimat-kalimat pernyataan tentang adanya keniscayaan dalam dua
rupa. Yang pertama ialah keniscayaan faktual yang berasal dari hasil amatan
indrawi di alam fenomena (disebut nomos atau keteraturan empirikal yang
objektif); sedangkan yang kedua ialah keniscayaan moralitas yang berasal dari
segugus ajaran yang diyakini kebenarannya sebagaimana yang bermaqom di alam
nomena (disebut norma, atau pula aturan yang secara subjektif membedakan
mana yang baik, yang karena itu wajib dijalani, dan mana pula yang buruk, yang
karena itu wajib dijauhi).
Keniscayaan tersebut pertama, apabila telah teruji dan terverifikasi
berdasarkan data — ialah ‘informasi yang dihimpun secara terukur dari alam
empirik berdasarkan metode sains’ — akan disebut hukum alam atau hukum kodrat,
atau yang didalam bahasa Inggris disebut the scientific laws of
nature. Hukum kodrat adalah suatu rangkaian kata yang secara
afirmatif menyatakan adanya teori tentang ada-tidaknya hubungan kausal atau
korelatif antara fenomenon yang telah dikonsepkan. Misalnya tentang
adanya hubungan antara ‘permintaan atas suatu komoditas’ dan ‘harga komoditas
itu’ ; kian tinggi jumlah ‘permintaan’ akan kian tinggi pula ‘harga’;
demikian sebaliknya, kian rendah jumlah ‘permintaan’ akan kian rendah pula
‘harga yang ditawarkan’. Teori aakan tervalidasi secara ilmiah manakala
konstruksi rasionalnya seperti yang disebutkan di muka itu konform dengan data
empirik yang bisa dan telah diperoleh lewat observasi, untuk selanjutnya
diabstrakkan sebagai asas atau dalil yang akan menjelaskan sejumlah amatan yang
serupa, di manapun dan kapanpun, yang terjadi di alam fenomena.
Berbeda dengan keniscayaan tersebut pertama, keniscayaan tersebut kedua
tidaklah memerlukan verifikasi pembenaran dari konsep-konsep yang diperoleh
sebagai hasil observasi. Alih-alih, kebenaran keniscayaan tersebut kedua
ini berpangkal pada konsep-konsep abstrak yang disebut bahan-bahan ajaran, yang
hadirnya sebagai realitas tidaklah dibenarkan atas otoritas data empirik
melainkan, melainkan atas dasar asas-asas yang diyakini sebagai ‘yang telah
benar dengan sendirinya (self-evident)’. Kalaupun toh diperlukan
dasar pembenar yang lebih bersifat in personam, amatlah lazim kalau
orang mengklaim bahwa asas-asas itu datang dari sumber kekuasaan yang teramat
sentral, baik yang abstrak (wahyu Tuhan atau tradisi ajaran nenek moyang)
ataupun yang lebih kongkrit dan struktural (titah raja atau putusan suatu badan
legislatif).
Mana yang akan dipilih dan diyakini sebagai dasar pembenar pengetahuan berikut
teori-teori yang dibangun olehnya itu akan tergantung dari paradigmanya.
Paradigma yang mensyaratkan kebenaran pengetahuan itu mesti didasarkan pada
kebenaran faktual yang diperoleh dari hasil amatan indrawi yang aktual akan
disebut paradigma nomotetik atau kebenaran fenomenologik, sedangkan paradigma
kedua yang mensyaratkan agar kebenaran pengetahuan itu harus diniscayakan
berdasarkan ajaran moral, entah yang bersumber wahyu entah pula yang bersumber
tradisi akan disebut kebenaran normatif atau kebenaran menologik.
Sehubungan dengan kontroversi antara dua ragam dasar pembenar pengetahuan yang
disebut paradigma itu, maka memperbincangkan kebenaran pengetahuan dan/atau
teori-teorinya itu, tak pelak lagi, orang mestilah akan juga memperbincangkan
ihwal ‘paradigma’. Apakah paradigma itu?
Tentang
Paradigma
Apakah yang dinamakan’paradigma’ itu? Paradigma adalah suatu istilah yang
kini amat populer dipakai dalam berbagai wavana di kalangan para akademisi
untuk menyebut adanya “suatu pangkal(an) atau pola berpikir yang akan
mensyarati kepahaman interpretatif seseorang secara individual atau
sekelompok orang secara kolektif pada seluruh gugus pengetahuan berikut
teori-teori yang dikuasainya”. Istilah ini berasal muasal dari
bahasa Yunani klasik, paradeigma, dengan awal pemaknaannya yang
filosofik, yang berarti ‘pola atau model berpikir’.
Dari
pangkalan berpikir yang berbeda inilah, sekalipun melihat objek yang sama,
orang tak ayal lagi akan memandang objek yang sama itu dengan persepsi
interpretatif — dan akhirnya juga dengan simpulan dan pandangan – yang
berbeda. Segelas air, sebagai misal, di satu pihak dapat dipersepsi
sebagai sebuah gelas yang berisi air, tetapi di lain pihak dapat
pula dipersepsi sebagai sejumlah air yang tengah berada di dalam
sebuah gelas. Seseorang yang religius – untuk menyebut misal lain –
akan cebnderung melihat manusia sebagai ruh yang terpenjara dalam tubuh yang
fisikal, sedangkan seseorang yang lebih berorientasi sekular akan lebih
cenderung untuk melihat manusia sebagai tubuh fisikal yang berfungsi secara
bio-khemikal sebagai konverter energi yang memungkin terjadinya berbaagai
gerakan.
Seseorang ahli sejarah ilmu pengetahuan bernama Thomas Kuhn menggunakan istilah
paradigma itu tidak hanya untuk mengisyaratkan adanya pola atau pangkal
berpikir yang berbeda, akan tetapi juga adanya potensi dan proses konflik
antara berbagai pola berpikir yang akan melahirkan apa yang disebut paradigm
shift. Dijelaskan olehnya[3] bahwa, sepanjang sejarah
peradabannya yang panjang, komunitas-komunitas manusia itu hanya akan dapat
mempertahankan eksistensinya atas dasar kemampuannya mengembangkan pola atau
model berpikir yang sama untuk mendefinisikan pengetahuan-pengetahuannya, dan
menstrukturkannya sebagai ilmu pengetahuan yang diterima dan diyakini bersama
sebagai “yang normal dan yang paling benar”, untuk kemudian didayagunakan
sebagai penunjang kehidupan yang dipandangnya “paling normal dan paling benar”
pula. Tetapi bersikukuh pada satu gugus pengetahuan dengan keyakinan
paradigmatik tak selamanya bertahan dalam jangka panjang. Dari sejarah
ilmu pengetahuan diketahui bahwa selalu terjadi pergeseran atau beringsutnya
suatu komunitas dengan segala pengetahuan dan ilmunya itu dari satu paradigma
ke lain paradigma. Inilah yang disebut the paradigm shift itu.
Demikianlah
pola berpikir alias paradigma yang mendefinisikan pengetahuan suatu komunitas
sebagai pengetahuan yang “normal dan normal” ini hanya bisa bertahan sepanjang
kurun waktu tertentu, sampai ….. sampai suatu ketika tatkala datang krisis;
ialah ketika seluruh gugus teori pengetahuan yang “normal” ternyata tak lagi
dapat didayagunakan secara memuaskan untuk menjawabi persoalan hidup yang
bermunculan, demikian rupa sehingga terjadi kegelisahan yang mendorong orang
untuk mencari teori-teori pengetahuan baru untuk menjawabi banyak persoalan
yang tak bisa dipecahkan bersaranakan pengetahun-pengethuan berparadigmaa lama,
dengan “beringsut untuk beralih” ke pengetahuan-pengetahuan baru yang dibangun
atas dasar paradigma yang baru. Terjadilah di sini pergeseran dari pola
berpikir paradigmatik yang lama ke yang baru.
Kuhn (1922- ), seorang ahli fisika, dalam kapasitasnya sebagai
pengkaji sejarah ilmu pengetahuan mengatakan bahwa perkembangan intelektual
dalam peradaban manusia itu tidaklah pernah berlangsung secara lempang-lempang
saja dalam satu alur arus linier yang berotoritas besar (a mainstream).
Alih-alih, dalam perkembangan selalu saja terjadi kritik yang mengundang
gejolak, ialah tatkala paradigma lama — sebagai “ilmu yang dipandang normal dan
berlegitimasi pada masanya” — gagal menjawabi masalah-masalah baru yang timbul,
dan selanjutnya hanya akan menerbitkan anomali-anomali saja. Keadaan
seperti itu akan mengundang paradigma baru yang bisa menawarkan
alternatif. Apabila diterima, paradigma baru ini akan menjadi sumber
terjadinya arus pemikiran baru, yang tak hanya akan menyandingi melainkan juga
sampai bisa menandingi mainstream lama. Apabila berhasil,
paradigma baru akan dominan sebagai mainstream yang meminggirkan
paradigma lama, walau mungkin saja yang lama ini tidak akan lenyap begitu saja
dari percaturan.
Konsep paradigm shifts membuka kesadaran bersama bahwa para
pengkaji ilmu pengetahuan itu tak akan selamanya mungkin bekerja dalam suatu
suasana “objektivitas” yang mapan, yang bertindak tak lebih tak kurang hanya
sebagai penerus yang berjalan dalam suatu alur progresi yang linier
belaka. Para pengkaji dan peneliti ilmiah yang sejati selalu saja
memiliki subjektivitas naluriah untuk bergerak secara inovatif guna mencari dan
menemukan alur-alur pendekatan baru, atau untuk mempromosikan cara pendekatan
yang sampai saat itu sebenarnya sudah ada namun yang selama ini terpendam dan
terabaikan oleh kalangan yang selama ini berkukuh pada paradigma lama yang
diyakini telah berhasil menyajikan sehimpunan pengetahuan yang “normal dan tak
lagi diragukan legitimasinya”. Kehendak untuk mencari dan menemukan
alur pendekatan baru yang berbau bid’ah ini selalu saja terjadi dalam sejarah
falsafati dan keilmuan manusia, khususnya apabila terjadi perubahan besar yang
mendasar pada kehidupan sosial-politik, yang menghadapkan manusia warga
masyarakat politik pada banyak permsalahan baru yang menghendaki jawaban-jawaban
yang baru pula.
Konflik
Paradigma Yang Klasik:
Kebenaran
Teologik Versus Kebenaran Saintifik
Dalam kajian
filsafat sosial dan ilmu pengetahuan sosial, yang kelak meliput juga kajian
tentang hukum nasional yang modern, ada dua paradigma yang sejak lama berebut
dan silih berganti merebut posisi dominan, baik dalam percaturan akademik
maupun dalam pemecahan masalah kehidupan sehari-hari. Adapun kedua
paradigma itu ialah paradigma teologik yang etik-normatif dan paradigma
saintifik yang logik-empirik. Paradigma tersebut pertama tampil sebagai mainstream
yang dominan sejak dari era falsafati kaum Stoa di masa sejarah Yunani
kuno, sebagaimana yang diwakili antara lain oleh Aristoteles (384-322 s.M.),
sedangkan paradigma yang kedua datang mencabar pada masa yang jauh lebih
kemudian, ialah masa datangnya ajaran tentang kebangkitan rasio manusia yang
dikenali sebagai era renesans, sebagaimana yang diwakili antara lain oleh
Galileo dari Galilea (1564-1642).
Paradigma
Aristotelian:
Paradigma
Aristotelian berpangkal pada kepahaman bahwa alam semesta ini berhakikat
sebagai suatu keteraturan atau suatu tertib (disebut‘order’ dalam bahasa
Inggris) yang sudah pre-establihed, dalam arti bahwa
‘sudah tercipta dan menjadi ada sejak awal mulanya’. Alam semesta
itu sudah ada di idea Tuhan yang normatif sebelum ada dalam wujudnya yang
empirik dalam alam amatan manusia. Lebih lanjut lagi alam pemikiran
Aristoteles, semesta itu tidaklah cuma merupakan sesuatu “ada sebelum ada” (pre-established),
akan tetapi juga disifati oleh hadirnya keselarasan (harmony) yang
final dan sekaligus juga merupakan suatu rancangbangun tatanan yang terwujud
hanya karena adanya suatu penciptaan oleh Yang Maha Sempurna, yang oleh sebab
itu juga mengisyaratkan adanya tujuan subjektif Sang Maha Sempurna yang final (causa
finalis) pula, ialah kesempurnaan yang tak akan dapat diganggu.
Episteme Aristotelian — yang memahamkan
semesta sebagai suatu tertib tunggal yang pre-established, finalistik,
serba berkelarasan dan teleologik (<teleos = tujuan) – ini,
menggambarkan semesta ini sebagai suatu tertib kodrati yang telah sempurna,
yang tidak hanya ‘tak akan dapat diganggu’ akan tetapi juga ‘tak boleh
diganggu’. Tak ayal lagi, alam semesta ini lalu juga dipahamkan sebagai
suatu alam yang berkeniscayaan mutlak karena bersumber dari moral kesempurnaan
Tuhan, yang dalam kekuasaannya sebagai Sang Khalik adalah pencipta kebaikan dan
keindahan yang tak terbantah. Semesta merupakan ekspresi kecerdasan dan
kearifan illahi, dan setiap elemen dalam tatanan moral seperti ini (yang
anorganik maupun yang organik, tak kurang-kurangnya juga manusia) sudah
dikodratkan dan karena itu haruslah pula berulahlaku menuruti keniscayaan yang
sudah kodrati itu, deikian rupa agar keteraturan dan keselarasan dalam tertib
semesta ini akan senantiasa terjaga.
Nama Gotfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) barangkali dapatlah disebut
sebagai salah seorang representasi paham Aristotelian dari masa yang boleh
dibilang sezaman dengan maraknya paham Galilean yang dikatakan sebagai perintis
peletakan dasar-dasar ontologik dan epistimologik bagi perkembangan ilmu
pengetahuan fisika modern. Sebagai pemikir dalam garis Aristotelian, alam
pemikiran Leibniz tak terlalu berbeda dengan episteme Aristotelian yang
dikuasai oleh pemikiran metafisikal yang meyakini kebenaran konsep, bahwa
kehidupan semesta ini telah dikuasai sejak awal mula oleh suatu imperativa
keselarasan. Dengan perkataan lain, alam semesta ini pada hakikatnya
adalah suatu tertib berkeselarasan yang telah terwujud secara pasti sejak awal
mulanya sebagai suatu pre-established harmonius order yang tak
sekali-kali mengenal adanya pertentangan.
Leibniz menggambarkan hadirnya keselarasan semesta semisal hadirnya keselarasan
yang dimainkan oleh suatu paduan orchestra. Sekian banyak pemusik (ialah
satuan-satuan yang oleh Leibniz disebut monad yang independen) telah
“memainkan” bagian masing-masing yang sekalipun masing-masing bertindak
sendiri-sendiri secara mandiri, namun secara total terwujudlah suatu berkeselarasan.
Dipahamkan bahwa keselarasan itu terwujud tak lain karena adanya partitur yang
telah ada dan tercipta serta ditetapkan sejak awal mula oleh sang komposer,
lama sebelum musik dimainkan oleh para monad itu dan tersaksikan secara
indrawi.. Partitur itu telah hadir sebagai bagian yang inheren di dalam
setiap diri satuan (pemain) yang sama-sama hadir di dalam totalitas sistem
(orkestra).
Paradigma
Galilean:
Paradigma
Galilean, yang mencabar paradigma lama yang Aristotelian, marak pada
suatu zaman tatkala sejumlah manusia pencari kebenaran mencoba memahami
keteraturan alam semesta ini tidak lagi berhakikat sebagai a harmonious
pre-established God’s order. Paradigma baru ini mengetengahkan
pemikiran bahwa seluruh tertib semesta ini sesungguhnya merupakan himpunan
fragmen variabel dalam jumlah yang tak terhingga, yang secara terus-menerus
berhubungan secara interaktif dalam suatu proses kausalitas di ranah indrawi,
yang sekalipun tampak seperti suatu kekisruhan (chaos), yang berlangsung
secara berterusan seolah tanpa mengenal titik henti yang final, namun yang
sesungguhnya — di tengah situasi yang secara indrawi tampak kisruh itu — sedang
berproses secara progresif dengan keniscayaan yang tinggi, bergerak dari suatu
situasi keseimbangan yang semula ke suatu situasi keseimbangan berikutnya, ad
infinitum. Inilah yang kelak, dalam sains fisika, disebut
homeostasis..
Demikianlah akan dikatakan secara paradigmatik dalam pemikiran yang Galilean
ini bahwa semesta itu adalah sesungguhnya suatu jaringan variabel yang
interaktif, yang bergerak secara dinamik dan progresif di tengah alam indrawi
yang objektif, tunduk pada imperativa kausalitas yang berada di luar
rencana dan kehendak sesiapapun. Imperativa kausalitas ini meniscayakan terjadinya
keterulangan hubungan interaktif antar-variabel yang progresif, yang oleh sebab
itu akan memungkinkan para pemantau yang dengan tekun menyimaknya
untuk menengarai adanya universalitas dalam hubungan antar-variabel itu, yang
pada gilirannya akan memungkinkan para pemantau ini dapat membuat prediksi apa
yang akan terjadi apabila satu variabel dikontrol dan/atau dihadirkan terhadap
variabel yang lain.
Di sinilah
letak keistimewaan paradigma Galilean yang non-teologik melainkan saintifik,
yang memungkinkan terjadinya “transfer” dari episteme (pengetahuan yang
murni dengan idiom-idiomnya yang normatif) ke techne (pengetahuan yang
aplikatif dengan idiom-idiomnya yang lugas dan rasional untuk mengatakan apa
adanya). Dari paradigma yang tak hanya mengetengahkan perlunya mengetahui
berbagai peristiwa kausalitas di alamnya yang objektif dan “buta nilai”,
melainkan yang juga menyadari adanya kemungkinan mengontrol sebab untuk
memproduksi dan mereproduksi akibat inilah lahirnya ilmu pengetahuan (science>sains)
berikut berbagai metodenya untuk memanipulasi hubungan-hubungan sebab-akibat ke
arah ragam-ragamnya yang tak hanya bernilai ilmiah/saintifik tetapi juga yang
teknologik.
Pengetahuan
Tentang Manusia Berikut Perilakunya:
Manusia
Seperti ‘Apa Adanya’ Sebagai Objek Kajian Sains
Berabad
lamanya pemikiran dalam rangka pencarian pengetahuan yang benar tentang ihwal
manusia, berikut kebenaran perilakunya, tak pernah dilepaskan dari
pengkategoriannya ke dalam rumpun episteme Aristotelian yang
normatif-moralistik. Dalam kategori rumpun ini, kebenaran tentang ihwal
manusia secara kategorikal akan masuk dalam perbincangan tentang rightness yang
dilawankan dengan wrongdoing, dan bukan tentang persoalan factual
truth yang harus dilawankan dengan falseness atau the untruth.
Maka, tatkala kehidupan fauna dan flora mulai diminati sebagai objek kajian
life sciences, yaitu suatu kajian dalam tradisi dan strategi Galilean
yang saintifik, manusia sebagai makhluk hidup tidaklah serta merta dipandang
patut untuk dikaji dalam eksistensi jasmaniahnya yang faktual itu.
Vesalius, misalnya, memperoleh reaksi keras ketika ia membedah mayat untuk
mempelajari anatomi tubuh manusia, yang ternyata berkemiripan dengan anatomi
makhluk-makhluk hewani lainnya. Reaksi muncul karena konsep tentang
manusia pada masa itu mengunggulkan manusia sebagai makhluk tercipta dalam
kualitasnya yang paling sempurna di antara makhluk-makhluk yang lain.
Dalam pembedahan anatomik, tatkala Vesalius mengatakan kesaksiannya bahwa ia
tidak menemukan apapun yang boleh disebut ‘ruh’ di dalam tubuh yang ia bedah
itu, dan apa yang ia temukan tak berbeda secara kualitatif dengan apa yang ada
di dalam tubuh-tubuh hewan, sang dokter pembedah ini mendapatkan reaksi dan
dakwaan yang amat keras sebagai pengganggu kepercayaan umat yang selama ini
meyakini kesempurnaan Tuhan dan refleksiNya pada makhluk-makhluk ciptaannya.
Reaksi keras juga diserukan terhadap teori evolusi yang dikemukakan Charles
Darwin tentang The Origin of Species dua abad kemudian. Reaksi
tidak hanya dimaksudkan untuk menyangkal tesis Darwin bahwa jenis-jenis makhluk
yang ada di permukaan bumi saat ini merupakan produk proses sebab-akibat yanag
acak, yang berlangsung secara evolusioner, antara berbagai unsur dinamik yang
ada di dalam tubuh makhluk (potensi mutasi) dan yang ada di luar tubuh
(lingkungan yang menuntut kemampuan adaptif makhluk). Lebih lanjut dari
itu, reaksi terutama juga sehubungan dengan tersiratnya asumsi dalam teori
Darwin, bahwa evolusi yang menjelaskan asal-muasal primordial makhluk-makhluk
hidup itu boleh juga dipakai untuk menjelaskan asal-muasal
manusia (yang mungkin sekali primordial juga, dan tidak sempurna sejak awal
mulanya).
Apapun juga kerasnya reaksi dan keberatan yang diserukan atas digunakannya
pendekatan scientism dengan paradigma Galilleannya itu, tanpa bisa
ditahan-tahan lagi pemikiran pada alur scientism — yang meragukan
kesempurnaan sistem semesta sejak awal penciptaannya – mulai masuk juga ke alam
pemikiran mereka yang menempatkan manusia dan kehidupan kolektifnya sebagai
objek pemikiran dan/atau kajiannya. Inilah pemikiran yang terbilang
eklektik dan merupakan pengkajian yang tergolong sekular, dalam arti bahwa dan nomos
an norma adalah identik, dalam arti bahwa apapun yang merupakan
‘keteraturan umum’ yang terjadi dalam kehidupan manusia, suatu nomos yang
tersimak dalam wujud pola perilaku (pattern of behavior) manusia adalah
sesuatu yang secara normatif harus dibilang wajar dan manusiawi, dan karena itu
ya “baik-baik saja”..
Pola perilaku manusia yang mencerminkan adanya naluri egosentrik untuk
mempertahankan eksistensinya yang jasmaniah, misalnya, oleh Adam Smith
dikatakan secara jelas sebagai pola perilaku individual yang – sekalipun pada
dasarnya adalah perilaku yang berangkat dari usaha memperjuangkan
kepentingannya sendiri – adalah sesuatu fenomen yang wajar, yang oleh sebab itu
tak tercela, dan harus dibilang etis jugalah adanya. Menurut Smith, dalam
bukunya The Wealth of Nations (1776), justru self-interest itulah
yang mendorong manusia-manusia bekerja keras untuk memperoleh meningkatkan
kesejahteraan jasmaninya, dan secara total akan meningkatkan pula kesejahteraan
bangsa. Perilaku yang berbasis self-interest namun mampun
mendatangkan kesejahteraan bangsa inilah yang mendorong Smith untuk
menggolongkan manusia bermotif ekonomi ini tidak hanya hadir sebagai Homo
economicus.tapi juga sebagai Homo ethicus.
Pola perilaku manusia yang berbasis kepentingan pribadi tatkala berupaya memenuhi
kebutuhan jasmaninya– yang toh dikonsepkan juga sebagai perilaku etik
oleh Adam Smith — itu tersimak dalam ujud fakta–fakta lugas dalam kehidupan
manusia. Proses interaktif antar-manusia ke arah tertetapkannya nilai dan
harga suatu barang adalah salah satu contohnya.. Nomos yang di
kemudian hari dinamakan ‘hukum permintaan-penawaran’ menggambarkan
dengan jelas perilaku individual manusia, namun yang kemudian berlangsung
interaktif di pasar dalam suasana yang bebas, tanpa adanya order (perintah
normatif), telah berproses secara acak ke terbentuknya suatu order
(keteraturan nomotetik) yang berkeniscayaan. Naiknya
permintaan niscaya akan menaikkan harga, dan, pada gilirannya, naiknya harga
akan menaikkan penawaran. Apabila penawaran akan terus naik, maka harga
akan turun, dan turunnya harga akan menaikkan permintaan. Demikianlah
“goncangan chaotic” itu akan terus berlangsung sampai terjadi
keseimbangan baru (yang pada saatnya akan mengalami goncangan chaotic baru
oleh sebab tertentu, yang niscaya akan menjurus ke keseimbangan – yang
menggambarkan suatu tertib – yang baru pula).
Positivisme
Yang Berparadigma Galilean Abad 18-19:
Paham
Falsafati Untuk Mendasari Kajian
Tentang
Hadirnya Keteraturan Dalam Kehidupan Bermasyarakat Manusia
Pada belahan awal abad 19, marak suatu pemikiran falsafati yang dikenali dengan
sebutan paham positivisme. Positivisme adalah suatu paham falsafati dalam
alur tradisi Galilean yang muncul dan berkembang .pada abad 18.
Positivisme – yang berkembang sebagai hasil pemikiran falsafati perintisnya
yang bernama Auguste Comte (1798-1857) — mencoba mendayagunakan paradigma
Galilean ini untuk menjelaskan kehidupan manusia dalam
masyarakatnya. Menurut Comte – yang berlatarbelakangkan kesarjanaan
matematika dan fisika itu – konsep dan metode ilmu alam kodrat dapat juga
dipakai untuk menjelaskan kehidupan kolektif manusia. Menurut Comte,
kehidupan manusia itu — sebagaimana peristiwa-peristiwa yang berlangsung
“seperti apa adanya” di kancah alam benda-benda anorganik yang tak bernyawa –
pun terjadi di bawah imperativa hukum sebab akibat dengan segala kondisi dan
faktor probabilitasnya. Hubungan sebab-akibat antar-variabel seperti itu
nyata kalau terlepas dari sembarang kehendak atau rencana yang berkesengajaan
yang sifatnya subjektif.
Sebagaimana halnya kejadian-kejadian di alam semesta yang tunduk pada
suatu hukum yang terbit dari suatu proses acak yang tak berada di bawah
imperativa suatu grand design, menurut Comte kehidupan manusia itu
selalu saja dapat dijelaskan sebagai proses-proses aktualisasi hukum
sebab-akibat yang serba berdasarkan hal-hal yang tak deterministic pula
sifatnya. Setiap kejadian dan/atau perbuatan dalam kehidupan manusia –
yang kasuistik sekalipun — selalu saja dapat dijelaskan dari sisi
sebab-sebabnya yang rasional dan alami, dan yang karena itu bersifat ilmiah/scientific.
Setiap perbuatan tidaklah dapat dimaknakan dari substansinya yang berupa niat
dan tujuannya sendiri yang moral-altruistik yang metafisikal itu.
Berpenjelasan seperti itu, berangkat dari paradigma Gallilean yang semula
didayagunakan untuk menjelasakan alam tak bernyawa saja, positivisme harus
dikatakan sebagai paham monisme dalam ihwal metodologi keilmuan. Artinya,
bahwa hanya ada satu metode saja dalam kajian sains yang lugas itu, baik yang
akan didayagunakan dalam kajian ilmu pengetahuan alam dan hayat (natural and
life sciences) maupun yang akan didayagunakan dalam kajian ilmu
pengetahuan sosial (social sciences). Menurut kaum positivis ini,
mempelajari perilaku benda-benda mati dalam fisika dan mempelajari perilaku
manusia yang mempunyai jiwa dan ruh tidaklah perlu dibedakan. Dua macam
perilaku dalam ranah yang berbeda ini dikatakan sama-sama dikontrol oleh hukum
sebab-akibat yang dapat dijelaskan sebagai imperativa-imperativa yang berlaku
secara universal.
Perkembangan konsep dan metodologi seperti ini, yang menggambarkan
terjadinya order – ialah suatu keteraturan yang tertib yang terwujud
sebagai produk interaksi atau hasil transaksi antar-manusia – tertemui juga
kemudian dalam upaya para pemikir untuk menjelaskan kehidupan berhukum-hukum di
tengah suasana kehidupan yang sedang go national di negeri Barat pada
masa itu. Di sini, di tengah kehidupan yang kian berkembang dalam
konfigurasinya yang baru sebagai organisasi negara bangsa, kekuatan pengatur
yang bisa difungsikan untuk mengontrol ketertiban dalam kehidupan yang baru
inipun dikonsepkan sebagai hasil tawar-menawar antar manusia warga
bangsa. Transaksi lewat “suatu pasar politik” antar-manusia dan/atau
antar-golongannya itulah nanti yang akan menentukan hukum baru apa yang akan
diterima dan berlaku.
Di “pasar politik” — yang di masyarakat-masyarakat demokratik diinstitusikan
sebagai parlemen, kalaupun sekali-sekala bisa melimpah juga ke jalanan — inilah
terjadinya interaksi dan transaksi antar-manusia warga bangsa untuk menemukan
“kompromi harga”. Warga bangsa dan/atau organisasi politiknya,
masing-masing dengan latar belakang kepentingan dan/atau keyakinannya,
menyepakatkan macam keseimbangan baru, yang didokumentasikan secara tertulis,
yang di dalam kajian-kajian scientific atau quasi-scientific tentang
hal ini disebut lex atau lege, (yang di dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan ‘undang-undang’). Dalam kehidupan kebangsaan, yang
dikonsepkan sebagai hasil proses sejarah sebagaimana berlangsung sebagai proses
acak, (tidak menuruti suatu grand design melainkan by accidents and
chances), hukum yang berfungsi sebagai penata tertib kehidupan kebangaan
itu pun nyata kalau terwujud dan tersimak sebagai hasil proses sejarah, yang
acak dan tidak bisa diniscayakan karena adanya suatu grand design yang
final.
Di sinilah awal perkembangan suatu cabang ilmu dan ajaran baru tentang sarana
pengontrol ketertiban yang – menurut paradigmanya – merupakan hasil proses
interaktif antar-warga sendiri. Inilah ilmu (nomologik<nomos+logika)
dengan segala teorinya, yang menjadi dasar suatu ajaran baru dengan
segala ragam doktrinnya (yang normatif) tentang penerapannya guna mengontrol
ketertiban masyarakat demi terwujudnya kehidupan yang lebih
berketeraturan. Tanpa hendak membedakan peristilahannya, seluruh teori
dan ajaran itu disebut jurisprudence (di dalam bahasa Inggris), atau rechtswetenschap
(dalam bahasa Belanda), dan Rechtswissen-schaft (dalam bahasa
Jerman), yang kemudian diterjemahkan dan dipopulerkan dengan penamaan ‘ilmu
hukum’ dalam bahasa Indonesia.(***)
[1] Nomenon (atau nomena
kalau plural) itu berasal dari bahasa Yunani klasik yang berarti
‘buah gagasan’,. Nomenon itu sendiri berasal dari kata nonein yang
berarti ‘berpikiran’, yang pada gilirannya juga berasal dari kata nous yang
berari ‘alam gagasan’. Sementara itu, phenomenon (atau phemomena
dalam bentuknya yang plural) juga berasal dari bahasa Yunani klasik yang
berari ‘fakta yang segera terlihat’. Fenomenon itu sendiri berasal dari kata phanesthai
yang berarti ‘menampak’, yang pada gilirannya berasal dari kata phainein
yang berarti ‘memperlihatkan’ atau ‘menunjukkan’. Demikianlah, dari
arti kata-kata itu jelas sudah apa yang dimaksud dengan ‘realitas nomena’ yang
bermaqom di alam imajinasi manusia dan apa pula yang dimaksud dengan ‘realitas
fenomena’ yang berada di alam indrawi manusia.
[2] Dari kata dasar thea
ini pulalah datangnya kata modern ‘teater’ yang berarti ‘pertunjukan’
atau ‘tontonan’ yang berkonotasi dengan pengertain ‘apa yang dilhat’..
[3]: Thomas S. Kuhn, The
Structure of Scientific Revolutions (Chicago: Chicago University Press,
1962). Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia dikerjakan oleh Tjun
Surjaman, Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (Bandung: Remaja
Karya, 1986).
Komentar
Posting Komentar