PELAKSANAAN PENDIDIKAN FORMAL OLEH YAYASAN YANG BERBADAN HUKUM SAAT DIKELURKANNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGENAI BADAN HUKUM PENDIDIKAN
PELAKSANAAN PENDIDIKAN FORMAL OLEH YAYASAN YANG BERBADAN
HUKUM SAAT DIKELURKANNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
MENGENAI BADAN HUKUM PENDIDIKAN
(Bambang Syamsuzar Oyong)
I.
LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan
merupakan salah satu faktor utama untuk mencapai kemakmuran suatu negara,
sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Rupublik Indonesia 1945 atau disebut juga sebagai UUD 1945, yang
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Sedangkan
pada Ayat (2) dari Pasal tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar, dan
pemerintah wajib untuk membiayainya. Ayat (3) menetapkan bahwa pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta aklak yang mulia dalan rangka
mencerdasakan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Sedangkan
pada Ayat (4) menegaskan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20 % dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Apalagi sebagaimana
yang perah diungkapkan Prof Tatiek pada pengukuan jabatan Guru Besar, dimana
beluai pernah mengungkapkan bahwa setiap Negara wajib melaksanakan
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik dalam mencapai tujuannya kebijakan
politiknya . Untuk itu bidang pendidikan sebagimana yang dijabarkan pada
peraturan system pendidikan nasional harus mengarah pada kemandirian bangsa.[1]
Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan
diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang
dikelola masyarakat, serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan
umum.[2]
Dalam pencapaian
semua itu, pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang diundangkan pada tanggal 8 Juli 2003,
diumumkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003, Nomor 78.
UU Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 53 Ayat (1)
menyebutkan bahwa penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang
didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk Badan Hukum Hukum
Pendidikan (BHP). Begitu juga pada Ayat (4) ketentuan tentang Badan Hukum
Pendidikan diatur dengan Undang-Undang tersendiri.
Dengan adanya ketentuan tersebut, menjadi dasar dan
amanah dibentuknya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan. Maka pada tanggal 16
Januari 2009 diundangkanlah UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, diumumkan pada Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 10.
Adanya kebijakan pemerintah selaku eksekutif bersama
legislatif saat terbitkannya
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Badan Hukum
Pendidikan, tidak lepas dari amanah pemerintah yang telah dijabarkan sebelumnya
dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan “ Pemerintah Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial”.
Begitu juga
amanah yang tercantum pada UUD 1945 yaitu pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha esa, serta aklak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu pendidikan
nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan
mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi
tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan
global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana,
terarah, dan berkesinambungan, serta mewujudkan adanya fungsi dan tujuan
pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang meletakkan
nilai-nilai otonomi dan pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan
manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta
otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi.
Disamping itu juga UU Badan Hukum Pendidikan sebagai
ketentuan yang mengatur dan mewadahi penyelenggaraan pendidikan formal baik
yang dilaksanakan oleh Pemerintah maupun masyarakat. Sebelum adanya ketentuan Badan Hukum Pendidikan, penyelenggaraan
pendidikan formal oleh masyarakat dapat berbentuk Yayasan, Perkumpulan atau
badan hukum yang sejenis. Yayasan, Perkumpulan dan badan hukum sejenis yang
menyelenggarakan pendidikan formal dan telah melaksanakan tata kelola menjadi
Badan Hukum Pendidikan dengan nama Badan Hukum Pendidikan Masyarakat.
Oleh karena itu UU
Badan Hukum Pendidikan, pada Pasal 10, menyebutkan “ Satuan pendidikan yang didirikan setelah Undang-Undang ini
berlaku, wajib berbentuk badan hukum pendidikan”. Selanjutnya hal ini
ditegaskan lagi dari penjelasannya yang berbunyi “Setelah Undang-Undang ini
berlaku, Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau masyarakat yang akan
menyelenggarakan pendidikan formal tidak perlu lagi mendirikan Badan Hukum
Milik Negara (BHMN), Yayasan, Perkumpulan, atau badan hukum lain yang sejenis,
tetapi langsung mendirikan Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Pusat (BHPP),
Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD), atau Badan Hukum Pendidikan Masyarakat
(BHPM).
Disamping itu juga
Badan Hukum Pendidikan (BHP) dalam menjalankan fungsinya tetap menjunjung
tinggi prinsip-prinsip nirlaba dengan
mengelola dana secara mandiri gunanya memajukan satuan pendidikan tersebut.
Inilah yang pada akhirnya menempatkan
pendidikan nasional sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk
memberdayakan semua Warga Negara Indonesia.
Pengaturan Badan Hukum Pendidikan merupakan bagian dari
implementasi tanggung jawab Negara, yang mana tidak bermaksud untuk mengurangi
dari kewajiban konstitusional Negara dibidang pendidikan sehingga memberatkan
masyarakat dan atau peserta didik.
Pro dan kontra terhadap diundangkan UU Badan Hukum
Pendidikan, dan juga terhadap UU Sistem Pendidikan Nasional, berakibat adanya
permohonan pengujian materiil atas Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 dan
terhadap Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 terhadap UUD 1945 melalui Mahkamah
Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Maka melalui perkara
Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, yang diajukan oleh beberapa orang
pemohon untuk melakukan uji materil terhadap UU Badan Hukum Pendidikan maupun
UU Sistem Pendidikan Nasional apakah bertentangan dengan UUD 1945.
Maka pada tanggal 31 Maret 2010, Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (MKRI), melalui putusannya nomor 11-14-21-126 dan 136
/PUU-VII/2009, telah memutus antara lain :
-
Menyatakan Pasal 53 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003, Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4301) konstitusional sepanjang frase “badan hukum
pendidikan”dimaksud sebagai sebutuan fungsi penyelenggaraan pendidikan dan
bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu.
-
Menyatakan Penjelasan Pasal 53
ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sitem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003, Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-
Menyatakan Penjelasan Pasal 53
ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003, Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
-
Menyatakan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009, Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4965)
bertentangan dengan Undang_Undang Dasar Tahun 1945.
-
Menyatakan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009, Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4965)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan MK ini
juga berpengaruh terhadap Badan Hukum Pendidikan Penyelenggara (BHP
Penyelenggara) baik yang berbentuk
Yayasan, Perkumpulan dan/atau badan hukum lain yang sejenis yang telah
melaksanakan tata kelola untuk menjadi Badan Hukum Pendidikan Masyarakat
(BHPM). Karena di batalkanya UU Badan Hukum Pendidikan, menimbulkan pertanyaan bagaimana
kedudukan dan keberadaan Badan Hukum Pendidikan Masyarakat itu sendiri, dari
segi aturan hukum yang berlaku yang telah menyelenggarakan pendidikan formal
yang melaksanakan tata kelola yang berasal dari Yayasan dan Perkumpulan..
Mengingat sampai saat ini belum ada aturan hukum yang
dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai pengambil kebijakan akibat dibatalkannya UU
Badan Hukum Pendidikan berpengaruh secara langsung terhadap Yayasan atau
Perkumpulan yang telah melaksanakan tata kelola menjadi Badan Hukum Pendidikan
Masyarakat (BHPM) yang telah didirikan dan menyelenggarakan pendidikan formal.
Dengan adanya putusan MK yang menyatakan UU Badan Hukum
Pendidikan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan bertentangan dengan
UUD 1945, menimbulkan adanya kekosongan hukum terhadap segala hal yang
menyangkut Yayasan atau Perkumpulan yang telah melaksanakan tata kelola menjadi
Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM) sebagaimana yang di amanatkan oleh UU
Badan Hukum Pendidikan. Apakah Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM)
tersebut secara otomatis kemabli menjadi Yayasan atau Perkumpulan. Pada hal
pendiri Yayasan dan Perkumpulan telah melakukan perbuatan hokum untuk membubarkan
Yayasan atau Perkumpulan tersebut untuk menjadai BHPM.
II.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian
di atas, maka penulis menemukan beberapa permasalahan dalam penelitian ini
adalah :
- Apa yang harus dilakukan oleh pendiri Yayasan yang telah melaksanakan tata kelola sebagai Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM) saat dibatalkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
- Apa akibat hukumnya saat belum ada aturan yang mengatur perihal di batalkannya UU Badan Hukum Pendidikan saat telah dilaksanakannya tata kelola pendirian dari Yayasan atau Perkumpulan berubah status menjadi Badan Hukum Pendidikan Masyaraat (BHPM), bagiaman terhadap kebijakan yang telah dikeluarkannya, dan asset-asset badan hukum pendidikan tersebut.
III.
PEMBAHASAN
A. Subyek Badan Hukum
Badan hukum merupakan terjemahan istilah hukum Belanda atau yang lebih dikenal dengan
nama rechtspersoon. Badan hukum itu
juga selalu identik dengan subyek hukum. Subyek hukum itu adalah manusia yang
memiliki hak dan kewajiban. Tetapi manusia bukanlah satu-satunya subyek hukum,
karena masih ada subyek hukum lainnya yaitu segala sesuatu yang menurut hukum
dapat mempunyai hak dan kewajiban.
Untuk melilhat apa yang dimaksud dengan badan hukum itu,
ada beberapa pendapat para ahli mengemukakan tentang definisinya :
Wirjono Prodjodikoro,
mengemukakan pengertian dari badan hukum yaitu badan yang manusia
perseorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan mempunyai hak-hak
dan kewajiban-kewajiban dan berhubugan hukum terhadap orang lain atau badan
lain.[3]
Dari pengertian
tersebut, dapat disimpulkan tentang pengertian badan hukum sebagai subyek
hukum, yaitu :[4]
a.
Perkumpulan orang-orang.
b.
Dapat melakukan perbuatan hukum dalam
hubungan-hubungan dan hubungan-hubungan
hukum.
c.
Mempunyai hak dan kewajiban.
d.
Mempunyai harta kekayaan
sendiri.
e.
Dapat digugat atau menggugat di
depan Pengadilan
Oleh karena itu badan hukum adalah segala sesuatu yang
berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang demikian itu oleh hukum diakui
sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Walaupun secara
normatif, pengertian Badan Hukum memiliki batasan-batasan secara tegas, tetapi
secara resmi penggunaan atau penyebutan dengan tegas (eksplisit) kata Badan
Hukum telah disebutkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, misalnya
pada staatsblad 1870 Nomor 64
mengatur tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum.
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA), berbunyi :
“ Setiap orang dan badan
hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan
mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah
cara-cara pemerasan”.
Pada pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992
tentang Rumah Susun, yang berbunyi :
“ Perhimpunan penghuni
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberi kedudukan sebagai badan hukum
berdasarkan Undang-undang ini”
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi,
yang berbunyi
“ Koperasi memperoleh status
badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh Pemerintah”.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
tentang Yayasan, yang berbunyi
“Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang social,
keagamaan, dan kemanusaiaan, yang tidak mempunyai anggota”.
Pasal 1 angka 1
dari Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, berbunyi :
“ Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah
badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirkan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegitan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham
dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.[5]
Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu apa sebenarnya
badan hukum itu? Dalam hukum perdata bahwa manusia merupakan salah satu dari
subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban Manusia sebagai subyek hukum,
saat sudah dimulai sejak manusia masih dalam kandungan. Untuk itu kemampuan
menusia untuk menjadi subyek hukum yang penuh tidak dapat diwujudkan sepenuhnya
yang dibatasi dnegan aturan-aturan hukum.
Disamping itu batasan tersebut dapat terlihat dari
ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria,(UUPA), menentukan secara tegas bahwa
warga negara asing tidak boleh memiliki tanah di Indonesia. Begitu juga
perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak yang masih dibawah umur hanya dapat
dilakukan oleh walinya atau orang yang diberi kuasa.
Dari uraian tersebut dapat ditegaskan kembali, bahwa
badan hukum merupakan subyek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, yang
mana badan hukum ini sengaja dibuat oleh manusia dengan maksud dan tujuan
tertentu, mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah yang memiliki unsur :
1)
Adanya harta kekayaan yang terpisah.
2)
Mempunyai kepentingan sendiri.
3)
Mempunyai tujuan sendiri.
4)
Adanya organisasi yang
teraatur.
Jika dilihat dari ketentuan tersebut ada empat cara
terbentuknya badan hukum baik melalui pengesahan pejabat terkait yang diberi
wewenang untuk itu, ditentukan oleh UU yang mengatur, adanya penerpan dua
fariabel baik mengngunakan system pengesahan dan ditentuakn oleh UU maupun
adanya Yurisprudensi misalanya Yayasan menurut ketentuan Putusan Hogerchtshof 7888 (Mahkamah Agung Hindia- Belanda) yaitu : [6]
B. Teori Badan Hukum
Kehadiran badan hukum dalam pergaulan hukum
dimasyarakat, sejak abad 19 yang lalu sampai
sekarang, telah menarik perhatian para ahli-ahli hukum .Berbagai tokoh
dan pendukung dari aliran/ mazhab ilmu hukum telah mengemukakan pendapat
mengenai eksistensi badan hukum sebagai
subyek hukum diamping manusia. Sejauh ini persoalan bandan hukum menjadi
penelaahan filsafat hukum. Hal ini menjadi tugas filsafat hukum untuk mengetahui hakikat dariu apa yang
disebut badan hukum. Hasil pemikiran tentang hakikat badan hukum oleh filsafat
hukum dirumuskan dalam bentuk asas, nilai atau teori.Bentuk sumbangan yang
berharga dari filsafat hukum bagi pemecahan masalah terhadap badan hukum
tersebut adalah teori-teori tentang badan hukum.[7]
Teori-teori badan hukum yang ada, sebenarnya dapat
dihimpun pada dua golongan atau
pandangan yaitu :
1.
Yang menganggap bahwa badan
hukum itu sebagai wujud yang nyata, yang
selalu diidentikan dengan manusia.
2.
Yang menganggap, bahwa badan
hukum itu tidak sebagai wujud yang
nyata, tetapi badan hukum hanya merupakan
manusia yang berdiri di belakang badan hukum tersebut, artinya jika badan
hukum tersebut melakukan kesalahan, hak itu hanyalah kesalahan manusia-manusia
yantg berdiri dibelakang badan hukum tersebut secara bersama-sama
Ali Ridho, mengatakan mengenai perwujutan dari badan
hukum sudah lama menjadi persoalan. Ia mengatakan selama belum dapat
diketumukan suatu pandangan yang tepat dan benar di dalam metode dari
bentuk-bentuk pengertian dan tafsiran
peraturan perundang-undangan khususnya mengenai badan hukum, maka selama
itu tetap menjadi silang pendapat oleh
para ahli. [8]
Karena itu, yang mendorong terbentuknya suatu pengertian
badan hukum adalah, bahwa manusia dalam hubungan hukum privat tidak hanya
berhubungan terhadap sesame manusia, tetapi juga terhadap persekutuan perdata
tesrebut.
Dalam sejarah perkembangan badan hukum dewasa ini, ada
beberapa teori tentang badan hukum yang dipergunakan dalam ilmu hukum dan
perundang-undangan, yurisprudensi serta doktrin. Karena itu untuk mencari
dasar-dasar dari badan hukum, dapat dilihat dari beberapa teori :
a.
Teori Fiksi
b.
Teori Organ,
c.
Teori Harta Kekayaan.
d.
Teori Propriete celeective dari
Planio,
C. Pembagian
Badan Hukum Menurut Jenisnya
Menurut landasan
hukum di Indonesia
dapat dibedakan apa yang dinamakan badan hukum publik atau dapat juga disebut
badan hukum orisinil (murni) yang
dikenal dengan nama negara, dan badan hukum perdata.
Untuk menjawab letak perbedaan antara badan hukum publik
dan badan hukum perdata, harus dilihat pada tataran berupa bagaimana cara
pendirian badan hukum tersebut sebagaimana yang digariskan oleh pasal 1653 BW,
yaitu ada tiga macam kriteria dalam dalam tinjaunnya yaitu :
a.
badan hukum yang diadakan oleh
kekuasaan umum (pemerintah/negara) dalam hal ini dapat dicontohkan dibentuknya
Propinsi, Kota/Kabupaten, dan bank-bank yang didirikan oleh negara.;
b.
badan hukum yang diakui oleh
kekuasaan umum, hal ini dapat dicontohkan dibentuknya gereja-gereja,
perkumpulan muhammadiyah.
c.
badan hukum yang diperkenakan
dan yang didirikan dengan tujuan tertentu yang tidak bertentangan dengan
undang-undang atau kesusilaan, atau yang lebih dikenal dengan badan hukum
dengan konstruksi keperdataan. Oleh karena itu ada beberapa badan hukum perdata
yaitu :
1)
Perkumpulan (vereniging) diatur
dalam pasal 1653 BW, juga stb 1870-64 dan Stb 1939-570.
2)
Perseroan Terbatas (PT) diatur
dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.
3)
Koperasi diatur dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Koperasi.
4)
Yayasan, diatur dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan dirubah dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan, dan Peraturan Pelaksanaan (PP) Nomor 63 Tahun 2008
tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan.
D. Yayasan Sebagai Badan Hukum
Yayasan yang
sudah lama dikenal lama oleh masyarakat,
yang diistilah hukum dengan nama
“stichtin” dalam Bahasa Belanda dan “foundation”
dalam Bahasa Inggris.
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan, jo. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 tahun
2001 tentang Yayasan, jo Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan. Pada saat itu kelembagaan Yayasan
telah dikenal oleh masyarakat. Yayasan tumbuh dan berkembang dengan tujuan dan
kegiatan yang berbentuk non profit. Sebagaimana
diketahui, pada masa sebelum diundangkannya pengaturan mengenai Yayasan dalam
suatu kondifikasi Namun kenyataannya pasal-pasal tersebut sama sekali tidak
memberikan rumusan tentang pengertian, pendirian, dan maksud dan tujuannya dari
Yayasan. tersebut.
Yayasan merupakan salah satu kegiatan usaha yang
diarikan sebagai badan hukum yang terdiri atas kekayaaan yang dipisahkan dan
diperuntukan guna mencapai tujuan tertentu baik dibidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Sebagaimana dimaksud dalam pasal 1
angka 1 dari UU No, 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Pengaturan mengenai adanya pemisahan harta kekayaan
menunjukan bahwa Yayasan merupakan suatu usaha berbentuk badan hukum pada
umumnya, yang mana mempunyai harta kekayaan tersendiri. Apa yang dilihat dari
ketentuan tersebut bahwa terdapat dua aspek yang satu sama lain tidak dapat
dipisahkan yaitu adanya aspek kegiatan
usaha dari Yayasan dan adanya aspek Yayasan sebagai badan hukum. Pertama, pengertian
dari kata usaha yaitu “kegiatan yang mengerahkamn tenaga, pikiran atau badan
untuk mencapai sesuatu tujuan, dalam hal ini untuk menghasilkan sesutau
keuntungan yang dapat didirikan dalam bentuk usaha perseorangan maupun badan
hukum “
Pembentukan suatu Yayasan sebagai badan hukum lazimnya
untuk tujuan idiil yang meliputi terhadap kegaiatan sosial, keagamaan dan
kemanusiaan. [9]
1.
Dibidang sosial, berupa :
-
Lembaga formal dan nonformal;
-
Panti asuhan, Panti Jompo dan
Panti Wreda.
-
Rumah sakit, Poliklinik, dan
Laboratorium.
-
Pembinaan olahraga.
-
Penelitian di bidang Ilmu
Pengetahuan.
-
Studi banding.
2.
Dibidang Keagamaan, berupa :
-
Mendirikan sarana ibadah.
-
Menyelenggarakan pndok
pesantren dan madrasah.
-
Menerima dan menyalurkan amal
zakat, infak, dan sedekah.
-
Meningkatkan pemahaman
keangamaan.
-
Melaksanakan syair keagamaan.
-
Studi banding keagamaan.
3.
Dibidang Kemanusaiaan, berupa :
-
Memberi bantuan kepada korban
bencana alam.
-
Memberikan bantuan kepada
pengungsi akibat perang.
-
Memberikan bantuan kepada tuna
wisma, fakir mismin, dan gelandangan.
-
Mendirikan dan menyelenggarakan
rumah singah dan rumah duka.
-
Memberikan perlindungan
konsumen.
-
Melestarikan lingkungan hidup.
Secara yuridis, Yayasan termasuk ke dalam pengertian
“Badan Hukum” sehingga tidak berbeda dengan manusia, Koperasi dan Perseroan
Terbatas yang merupakan sebagai subyek
hukum. Sebagai badan hukum, Yayasan tentu memiliki harta kekayaan (hak-hak)
dengan tujuan tertentu yang terpisah dengan kekayaan pribadi para pendiri. Oleh
karena itu, menurut Chaatamarrasjid, menyimulkan terdapat perbedaan antara “Badan
Hukum” dengan Yayasan.[10]
Perbedaan itu terlihat bahwa badan hukum sebagaimana umunya terdapat adanya
anggota yang menyerahkan harta kekayaannnya sebagai modal usaha dengan
dikeluarkannya bukti secara otentik, baik dalam bentuk surat saham maupun dalam
bentuk surat
tercatat sebagai bukti. Hal tersebut tidak dikenal dengan Yayasan, karena
Yayasan berbeda perkumpulan sebagai
badan hukum, dan Perseroan Terbatas. Dikarenakan Yayasan tidak mempunyai
anggota atau pesero, karena dalam hal ini Yayasan dianggap sebagai badan hukum
dikarenakan mempunyai kekayaan berupa uang dan lainnya.[11]
Menurut ketentuan pasal 9 ayat 1 dari UU No. 16 Tahun
2001 tentang Yayasan, menyebutkan “Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih
dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendiri, sebagai kekayaan awal”.
Kekayaan awal Yayasan sebagaimana dimaksud menurut ketentuan pasal 6 ayat 1 dan
2, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63
tahun 2008 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Tentang Yayasan, menyebutkan jumlah kekayaan awal Yayasan yang
dirikan oleh Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan
pribadi paling sedikit senilai Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
Sedangkan kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang
Asing bersama Orang Indonesia yang berasal dari pemisahan harta kekayaan
pribadi pendiri, paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Untuk
itu pemisahan harta kekayaan tersebut harus disertai dengna adanya surat
pernyataan pendiri mengenai keabsahaan harta kekayaan yang dipisahkan tersebut
dan bukti merupakan bagian dari dokumen keuangn Yayasan.
Disamping itu kekayaan awal Yayasan sebagai harta
Yayasan dari hasil pemisahan harta pribadi dari pendiri Yayasan sebagai bentuk
kemandirian Yayasan dalam menyelenggarakan usaha Yayasan. Untuk itu kekayaan
Yayasan dapat diperoleh dari adanya :
a.
sumbangan atau bantuan yang
tidak mengikat ;
b.
wakaf ;
c.
hibah ;
d.
hibah wasiat; dan
e.
perolehan lain yang tidak
bertentangan dengan Anggaran Dasar Yayasan dan perturan perundang-undangan
lainnya.
Yayasan sebagai badan hukum tidak terlepas dari proses
pendirian Yayasan sebagai badan hukum, dengan dibuatkannya akta pendirian
Yayasan dihadapan notaries sebagai pejabat umum yang diberi wewenang oleh
undang-undang, yaitu dengan mengajukan permohonan pemakaian nama Yayasan
sebagaimana yang diinginkan oleh para pendiri. Pemakaian nama Yayasan ini
adalah identitas nama diri dari Yayasan yang satu dengan yang lainnya.
Pemakaian nama Yayasan ini pada dasarnya telah diatur sebelumnya pada UU No. 16
Tahun 2001, pada pasal 15 ayat 1, yang menerangkan bahwa Yayasan tidak boleh
memakai nama :
a.
telah dipakai secara sah oleh
Yayasan lain; atau
b.
bertentagan dengan ketertiban
umum dan atau kesusilaan.
Pemakian nama Yayasan ini diperjelas lagi dari ketentuan
pasal 2 ayat 1, 2 dan 3 dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 63 Tahun 2008 yang
menyebutkan :
1.
setiap Yayasan harus mempunyai
nama diri;
2.
nama Yayasan yang telah
didaftarkan dalam Daftar Yayasan tidak boleh dipakai oleh Yayasan lain;
3.
nama Yayasan dari Yayasan yang
telah berakhir status badan hukumnya harus diberitahukan kepada Menteri untuk
dihapus dari daftar Yayasan oleh likuidator, curator, atau Pengurus Yayasan.
Karena begitu pentingnya pemakaian nama Yayasan yang
gunanya untuk menghindari pemakaian nama Yayasan ganda oleh para pendiri.
Pemakaian nama Yayasan ini menjadi sesuatu yang wajib untuk ditindak lanjuti
sebelum dibuatnya akta pendirian Yayasan.
Nama Yayasan dapat saja ditolak jika :
a.
sama dengan Nama Yayasan lain
yang telah terdaftar lebih dahulu dalam Daftar
Yayasan; atau
b.
bertentangan dengan ketertiban
umun dan/atau kesusilaan.
Pengaturan badan
hukum pendidikan merupakan implementasi tanggung jawab negara dan tidak
dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindari dari kewajiban konstitusional
negara di bidang pendidikan sehingga pada akhirnya memberatkan masyarakat dan
peserta didik. Walaupun demikian keberadaan badan hukum pendidikan tidak
terlepas dari pencapaian peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pendidikan, pengendalian mutu, dan penyiapan dana pendidikan.
Apa yang
diamanahkan oleh pasal 53 dari UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang berbunyi :
(1)
Penyelenggara dan /atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarkat berbentu badan
hukum pendidikan.
(2)
Badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan
kepada peserta didik.
(3)
Badan hukum pendidikan
sebagaimana dimaksud dalama (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana
secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.
(4)
Ketentuan tentang badan hukum
pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.
Pengaturan yang mengamanatkan setiap penyelenggaraan dan
terhadap satuan pendidikan formal baik yang didirikan oleh pemerintah dan
masyarakat harus berbentuk bandan hukum pendidikan, tidak lain bagian untuk
memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada setiap badan hukum pendidikan
yang gunanya untuk menghidari pengaruh kekuatan ekonomi, politik, sosial dan
lainnya. Hal ini terlihat dari ketentuan pasal 24 ayat 2, pasal 50 ayat 6 dan
penjelasan pasal 50 ayat 6 dari UU Sistem Pendidikan Nasional.[12]
Oleh karena itu UU Sisdiknas dalam mewujutkan otonomi
tersebut dalam ketentuan pasal 53 UU Sisdiknas, yang mana setiap penyelenggara
dan atau satuan pendidikan formal yang yang
didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan,
yang mana diatur dengan ketentuan Undang-undang tersendiri.. Jadi Undang-undang Badan Hukum Pendidikan dapat juga sebagai
perintah dan amanat dari UU Sisdiknas.
Maka pada tanggal 16 Januari 2009, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 9
tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.
Pendidikan yang
merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses
pembelajaran dan/ atau dengan cara lain yang dikenal dan diakui oleh
masyarakat. Dengan pendidikan manusia dapat megembangkan potensi dirinya dengan
melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh
masyrakat.[13]
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Badan Hukum Pendidikan. Sebelumnya badan hukum yang menyelenggarakan pendidikan
formal dikenal dalam bentuk badan hukum Yayasan, Perkumpulan, atau badan hukum
lain yang sejenis. Diberlakukannya UU Badan Hukum Pendidikan, tetap mengakui
keberadaan Yayasan, Pekumpulan, dan badan hukum lainnya yang sejenis yang telah
menyelenggarakan pendidikan formal. Pengakuan
yang diberikan UU Badan Hukum Pendidikan itu yaitu menempatkan Yayasan,
Perkumpulan dan badan hukum lainnya yang sejenis dengan sebutan sebagai Badan
Hukum Pendidikan Penyelenggara (BHP Penyelenggara). Yang diartikan menurut
ketentuan Pasal 1 angka 5 joncto Pasal 8 ayat (3) yaitu Badan Hukum Pendidikan Penyelenggara adalah
Yayasan, Perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan
pendidilan formal dan diakui sebagai badan hukum pendidikan. Dengan
ditempatkannya Yayasan sebagai Badan Hukum Pendidikan Penyelenggara, diastu
sisi untuk memberikan kesempatan kepada pendiri Yayasan atau para perangkat
organ Yayasan baik itu Pembina, Pengurus dan Pengawan untuk bersama-sama
memikirkan keberadaaan Yayasan sebagai Badan Hukum Pendidikan Penyelenggara
untuk melaksanakan tata kelola menjadi Badan Hukum Pendidikan Masyarakat. Untuk
itu pelaksanaan tata kelola Yayasan untuk menjadi Badan Hukum Pendidikan Masyarakat
(BHPM) harus dilakukan paling lambat enam tahun setelah UU Badan Hukum
Pendidikan diundangkan. Untuk mengetahui semua itu terlihat pada ketentuan
Pasal 67 ayat (1) (2) (3) (4) dan (5),
yang berbunyi :
(1)
Yayasan, perkumpulan atau badan
hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan belum
menyesuaikan tata kelolanya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini tetap
dapat menyelenggarakan pendidikan .
(2)
Yayasan, perkumpulan atau badan
hukum lain sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyesuaikan tata
kelolanya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, paling lambat 6 (enam)
tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(3)
Yayasan, perkumpulan atau badan
hukum lain sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap memperoleh bantuan dana
pendidikan dengan mekanisme yang tetap paling lama 6 (enam) tahun selanjutnya
memperoleh bantuan dana pendidikan sesuai dengan pasal 40 ayat (5).
(4)
Penyesuaian tata kelola
sebagainana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mengubah akta pendiriannya.
(5)
Pemerintah dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan bantuan untuk biaya perubahan
akta pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Apa yang tercantum pada Pasal 67 tersebut.memberikan
jaminan kepada Yayasan, Perkumpulan atau
badan hukum lain sejenis yang diakui sebagai badan hukum pendidikan tidak perlu
mengubah bentuknya untuk jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam akta
pendirian Yayasan, Perkumpulan atau badan hukum lain sejenis.
Dari segala sesuatu yang terurai di atas, dapat kita
ketahui bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan, tidak hanya karena diperintah oleh pasal 53 dari Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, melainkan masih ada
alasan lainnya, yaitu untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
UU Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan dibentuknya
Badan Hukum Pendidikan yang berprinsip
nirlaba dan dapat mengelola secara mandiri dalam memajukan satuan pendidikan,
yang memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
Diundangkannya UU Badan Hukum Pendidikan sebagaimana
tersebut, sebagai amanah dari ketentuan pasal 53 ayat (1) dari UU Sistem
Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum pendidikan yang di atur dengan undang-undang tersendiri. Untuk itu
adanya tanggung jawab Pemerintah bersama legislatif untuk membuat
Undang-undangnya yang dikenal saat ini sebagai UU Badan Hukum Pendidikan.
Ketentuan mengenai
fungsi, tujuan dan Prinsip Badan Hukum Pendidikan telah diatur pada ketentuan
Pasal 2 sampai dengan Pasal 4 UU Badan Hukum Pendidikan.
Menurut
ketentuannya fungsi Badan Hukum Pedidikan adalah untuk memberikan pelayanan pendidikan
formal kepada peserta didik, sedangkan tujuannya adalah untuk memajukan
pendidikan nasional dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang
pendidikan tinggi.
Maka yang dimaksud
dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen
pendidikan pada satuan pendidikan yang dalam hal ini kepada sekolah/madrsah
dalam mengelola kegiatan pendidikan ; sedankan. Sedangka otonomi perguruan
tinggi adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembagnya.
Otonomi pendidikan merupakan hal yang sangat penting
dalam mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, dan otonomi ini dapat
mewujutkan, jika penyelenggara atau satuan pendidikan formal berbentu badan
hukum pendidikan.
Untuk melihat
prinsip-prinsip dari Badan Hukum Pendidikan berupa:
a.
Dalam pengelolaan dana
pendidikan dilakukan secara mandiri dan didasarkan pada prinsip nirlaba, yaitu
prinsip kegiatan yang tujuan utamanya tidak mencari laba, sehingga seluruh sisa
hasil usaha dari kegiatan badan hukum pendidikan harus ditanamkan kembali ke
dalam Badan Hukum Pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan
pendidikan.
b.
Dalam pengelolaan pendidikan
formal, didasarkan pada prinsip otonomi, akutabilitas, tranparansi, penjaminan
mutu, layanan prima, akses yang terkendali, keberagaman, keberlanjutan dan
partisipasi atas tanggung jawab negara.
E. Yayasan Sebagai Badan Hukum Pendidikan Masyarakat
a. Subyek Hukum
Dalam sistem hukum yang berlaku di negara kita dikenal
dua macam subyek hukum atau purusa hukum, yang tidak lain merupakan pendukung
hak dan kewajiban. Dua macam subyek hukum tersebut adalah manusia dan badan
hukum.
Berbeda dengan
manusia yang telah menjadi subyek hukum sejak kelahirannya, dan bahkan dalam
hal-hal tertentu sejak masih dalam kandungan ibunya, sepanjang dilahirkan dalam
keadaan hidup, sebagaimana terlihat pada pasal 2 KUH Perdata. Sedangkan untuk
menentukan status badan hukum suatu institus atau lembaga hukum memerlukan
beberapa persyaratan yang ditetapkan oleh hukum yang mengaturnya.[14]
Secara umum, untuk
mendapatkan status sebagai badan hukum dari suatu lembaga terjadi karena :
- Pengesahan oleh intansi yang berwenang, misalnya : pada Perseroan Terbatas (PT) yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, yang mana dalam ketentuan pasal 7 ayat (4) “ Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri menganai pengesahan badan hukum Perseroan.” Sedangkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tetang Yayasan, pada pasal 11 ayat (1) , menyebutkan “ Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) memperoleh pengesahan dari Menteri”. Sedangkan menurut ketentuan Peraturan Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereeningingen), Keputusan Raja 28 Maret 1870, S. 1870-64, menyebutkan “Perkumpulan orang-orang, diluar yang dibentuk menurut peraturan umum, bertindak selaku badan hukum, kecuali setelah diakui oleh Gubernur Jenderal atau oleh pajabat yang ditunjuk oleh Gubernur Jenderal.
- Ditentukan sendiri oleh peraturan perundang-undangan yang mengaturnya., misalnya : pengaturan perhimpunan penghuni pada satuan rumah susun, sebagaimana diatur menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, pada ketentuan pasal 19 ayat (2) menyebutkan “Perhimpunan penghuni sebagaimana dimaksud dalama ayat (1) diberi kedudukan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-undang ini. Yang mana pembentukan perhimpunan penghuni, harus dilalui dengan pembuatan akta yang disahkan Bupati atau Walikota Kepala Daerah Tingkat II, sedangkan untuk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, (Pasal 54 ayat (2), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun).
- Diakui oleh peraturan perundang-undangan, atau yang dikenal dengan sistem campuran, misalnya : Yayasan yang telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia atau Yayasan yang didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait, tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini, Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini, yaitu UU No. 16 Tahun 2001.
- Berdasarkan Yudisprudensi Mahkamah Agung, status badan hukum suatu lembaga karena adanya dari putusan yang berupa menjadi Yurisprudensi, misalnya Putusan Hogerchtshof 7884 (Mahkamah Agung Hindia – Belanda)
Untuk memperoleh status badan hukum tersebut diperlukan
beberapa unsur yang dipersyarakatkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengatur, adanya harta kekayaan yang terpisah dengan harta kekayaan pendiri,
mempunyai alat perlengkapan atau mempunyai organ dan mempunyai tujuan tertentu.
Dari beberapa ketentuan tersebut dapat kita ketahui
bahwa ada berbagai macam peraturan perundang-undangan tentang berbagai macam
pengaturan mengenai badan hukum, baik yang berkaitan dengan kelahiran,
kebendaan, hak dan kewajiban, aktifiktas
dan bahkan mengenai berakhirnya atau kematian. Namun kenyataanya sampai
saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus
mengenai badan hukum.
2. Jenis Badan Hukum
Badan hukum dibedakan menjadi dua macam yaitu badan
hukum publik dan badan hukum perdata
(privaat). Badan hukum publik adalah badan hukum yang didirikan oleh negara
, dimana badan hukum ini memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan publik
yang mengikat secara umum.
Sedangkan badan hukum perdata adalah badan hukum yang didirikan oleh masyarakat
dan diakui oleh negara, atau yang didirikan oleh negara tetapi tidak memilki
wewenang untuk menetapkan kebijakan
publik yang mengikat secara umum, misalnya Perseroan Terbatas, Yayasan,
Koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Hukum Milik Daerah (BHMD).[15]
Menurut ketentuan pasal 5 ayat (1) “Jenis badan hukum pendidikan terdiri dari atas Badan Hukum
Pendidikan Penyelenggara (BHP Penyelenggara) dan Badan Hukum Pendidikan Satuan
Pendidikan”. Badan Hukum Pendidikan
Penyelenggara adalah Yayasan, Perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang
telah menyelenggarakan pendidikan formal dan diakui sebagai badan hukum
pendidikan. Sedangkan Badan Hukum Pendidikan Satuan Pendidikan yaitu kelompok
layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan formal. Pengertian dari
pendidikan formal diartikan juga sebagai jalur pendidikan terstruktur dan
berjenjang meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
tinggi.
Disamping jenis
Badan Hukum Pendidikan telah kita ketahui sebelumnya. UU BHP juga membagi
bentuk badan hukum satuan pendidikan yang terdiri atas :
-
Badan Hukum Pendidikan Pusat
(BHPP).
-
Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD)
-
Badan Hukum Pendidikan
Masyarkat (BHPM)
Dari ketentuan yang ada pendirian Badan Hukum Pendidikan
Pusat (BHPP), didirikan oleh Pemerintah Pusat dengan adanya Peraturan
Pemerintah atas usul Menteri terkait. Pada Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah
(BHPPD), dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Daerah Tingkat I yaitu Gubernur,
maupun pada Peraturan Pemerintah Daerah Tingkat II yaitu Bupati/walikota.
Sedangkan Badan Hukum Pendidikan Masyarkat, dibentuk dengan adanya akta
pendirian yang dibuat oleh pejabat umum yang telah ditentuakan oleh
Undang-undang yaitu Pejabat Notaris, menurut ketentuan yang telah diatur dalam
ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris yaitu UU Nomor 20 Tahun 2004. Pendirian
BHPM ini dengan dibuatnya akta pendirian BHPM dihadapan notaris, akan menjadi
badan hukum setelah disahkan oleh Menteri yang ditunjuk untuk itu. Untuk itu
setelah diberlakukannya UU BHP ini, maka setiap satuan pendidikan harus
berbentuk badan hukum pendidikan.
Pasal 11 ayat (1) dari UU BHP, menyebutkan, setiap
pendirian badan hukum pendidikan, baik dalam bentuk BHPP, BHPPD, dan BHPM,
bahwa badan hukum pendidikan tersebut harus mempunyai :
a.
pendiri;
b.
tujuan di bidang pendidikan
formal;
c.
struktur organisasi ; dan
d.
kekayaan sendiri yang terpisah
dari kekayaan pendiri.
Jumlah kekayaan yang dipisahkan oleh pendiri sebagai
kekayaan badan hukum pendidikan, sebagaimana yang dimaksud tersebut harus
memadai untuk biaya investasi dan mencukupi untuk biaya operasional badan hukum
pendidikan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar Badan Hukum Pendidikan.
Pendirian BHP itu sendiri baik dalam bentuk BHPP, BHPPD, BHPM, yang
terlebih dahulu dilalui dibuatnya Peraturan Pemerintah untuk BHPP, Peraturan
Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota untuk BHPPD, dan atau akta Notaris
untuk BHPM
Anggaran Dasar BHP dapat juga diartikan suatu
rangkaian yang menjadi satu kesatuan utuh, saat
BHP menuju sebagai badan hukum. Untuk itu status sebagai BHPP mulai
berlaku saat tanggal Peraturan Pemerintah(PP) tentang pendirian BHPP ditetapkan
oleh Presiden. Sedangkan satus BHPPD, mulai berlaku saat tanggal Peraturan
Gubernur/Bupati/Walikota tentang pendirian BHPPD ditetapkan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota sesuai pada kewenangannya masing-masing. Sedangkan
pada BHPM, mulai berlaku pada saat tanggal akta notaries sebagai syarat
dibentuknya BHPM disahkan oleh Menteri.
Dari uraian
tersebut di atas dapat diketahui bahwa status badan hukum dari BHPP dan BHPPD
terjadi pada karena hukum sehingga tidak
memerlukan pengesahan dari pejabat terkait, dalam hal ini Menteri
Pendidikan. Hal ini berbeda untuk pendirian BHPM, akta notaries dalam pendirian
BHPM harus mendapatkan pengesahan oleh Menteri
(Pasal 13 ayat (3) UU BHP). Namun, penulis berpendapat apa yang
tercantum pada Pasal 13 ayat (3) UU BHP tersebut, kurang pas, sebab berdasarkan
peraturan perundang-undangan, yaitu pada
Pasal 1 angka 7 UU Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris, menyebutkan “Akta
Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut
bentuk dan tata cara yang ditetapkan
dalam Undang-Undang ini”. Artinya
akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna sehingga tidak
diperlukan pengesahan dari dan oleh
siapapun.
Pemakaian istilah
pengesahan, megesahkan, disahkan dan sejenisnya terhadap akta notaries, merupakan
pengulangan yang terjadi sebelumnya. Hal ini terlihat pada Pasal 7 ayat (6)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang telah dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, pada Pasal 7 ayat (4). Penggunaan
istilah pengesahan akta pendirian, berubah menjadi pengesahan pendirian, yang
memiliki makna yang berbeda.
Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah mengenai perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pendiri
dari dan untuk kepentingan BHPM, sebelum BHPM berstatus badan hukum. Karena
menyangkut tanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pendiri
yang berakibat bahwa pendiri dapat bertanggung jawab secara pribadi untuk
keseluruhan.
Sekalipun sampai
saat ini belum ada Undang-Undang yang mengatur tentang badan hukum, namun
sistem hukum kita mengakui bahwa badan hukum, baik yang berbentuk badan hukum
publik maupun badan hukum privat, secara umum tidak serta merta ada, atau
dengan sendirinya, melainkan karena didirikan sehingga ada yang mendirikan atau
pendirinya.
Hubungan dengan
pendirian badan hukum, hal yang selalu
diperhatikan yaitu tujuan dari para pendiri itu sendiri. Pada persyaratan
pendirian BHP, hal yang sangat pokok yang harus memiliki berupa :
- pendiri ;
- tujuan di bidang pendidikan formal;
- struktur organisasi;
- kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tujuan badan
hukum sebagaimana tercantum pada akta
pendirian tidak lain merupakan tujuan dari pendirinya, dan bahkan dikatakan
bahwa tujuan ini merupakan alasan pendirian suatu badan hukum. Tujuan itu
diartikan juga sesuatu yang hendak
dicapai.
Apa yang kita kenal sebelumnya, dari bentuk-bentuk badan
hukum pendidikan pada UU BHP adalah
BHPP, BHPPD dan BHPM. Yang mana pendiri pada BHPP adalah pemerintah pusat,
pendiri pada BHPPD adalah pemerintah daerah, sedangkan pendiri pada BHPM adalah
masyarakat diluar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Disamping itu pendiri
dapat juga diwakili oleh wakil pendiri yang diberi wewenang bertindak untuk dan
atas nama pendiri.
Pada BHPPD, sebagaimana disebutkan bahwa Gubernur,
Bupati/Walikota, atau yang mewakilinya sesuai dengan kewenangan masing-masing
berkedudukan sebagai wakil pendiri. Sedangkan pada BHPP yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi, adalah Menteri atau yang mewakilinya yang berkedudukan
sebagai wakil pendiri. Untuk BHPM, kedudukan dan kewenangan pendiri atau wakil
pendiri dalam organ representasi
pemangku kepentingan ditetapkan dalam Anggaran Dasar Badan Hukum Pendidikan
Masyarakat.
F. Kedudukan Yayasan Yang Menyelenggarakan Pendidikan Formal Sebagai Badan Hukum Pendidikan Penyelenggara
Apa yang menjadi cita-cita sebagaimana yang diamanatkan
Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang menyebutkan “
Yayasan, perkumpulan, atau badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan
satuan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan/atau pendidikan tinggi diakui
sebagai BHP Penyelenggara.
BHP Penyelenggara itu adalah Yayasan , Perkumpulan, atau
badan hukum lain sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan
diakui sebagai badan hukum pendidikan. Untuk itu, UU BHP telah menyikapi ketika
UU ini diberlakukan, terhadap Yayasan, Perkumpulan dan badan-badan hukum yang
sejenis yang menyelenggarakan pendidikan formal tetap diberikan tempat dan
diakui sebagai Badan Hukum Pendidikan
Penyelenggara. Karena Yayasan, Perkumpulan dan atau badan hukum lainnya sejenis
yang diakui sebagai badan hukum pendidikan tidak perlu mengubah bentuknya untuk
jangka waktu sebagai mana yang di tetapkan.
Jangka waktu yang
ditetapkan sebagaimana tersebut terhadap Yayasan, Perkumpulan atau badan hukum
lain yang sejenis harus menyesuaikan tata kelolanya paling lambat 6 (enam)
tahun sejak UU BHP diundangkan ( vide Pasal 67 ayat 2 UUBHP).
Tidak dapat dipungkiri diundangkannya UU BHP ini,
menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat. Untuk itu, sebagian kalangan
masyarakat mangajukan uji materiil terhadap UU BHP dan juga terhadap beberapa
pasal dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional jika dihubungkan dengan
Undang-Undang Dasar 1945. melalui Mahkamah Konstitusi.
Maka pada tanggal 31 Maret 2010, Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (MKRI), melalui putusannya nomor 11-14-21-126 dan 136
/PUU-VII/2009, telah memutus antara lain :
-
Menyatakan Pasal 53 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003, Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4301) konstitusional sepanjang frase “badan hukum
pendidikan”dimaksud sebagai sebutuan fungsi penyelenggaraan pendidikan dan
bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu.
-
Menyatakan Penjelasan Pasal 53
ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sitem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003, Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
-
Menyatakan Penjelasan Pasal 53
ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003, Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
-
Menyatakan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009, Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4965)
bertentangan dengan Undang_Undang Dasar Tahun 1945.
-
Menyatakan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009, Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4965)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan Mahkmah Konstitusi ini, telah menutup eksistensi
atau riwayat segala hal mengenai Badan Hukum Pendidikan (BHP), sebagai lembaga
yang menyelenggarakan pendidikan formal.
G. Paska Putusan Mahkamah Kontitusi Terhadap Badan Hukum Pendidikan
Masyarakat
Paska
dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Nomor
11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, pada tanggal 31 Maret 2010, yang menyatakan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) bertentangan dengan UUD 1945 dan
juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, telah menimbulkan
permasalahan tersendiri bagi dunia Pendidikan Nasional negeri ini. Hal ini tidak
terkecuali terhadap Perguruan Tinggi Negeri (PTN) baik yang tergabung dalam
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) maupun yang tidak terabung BHMN dan juga
terhadap Perguruan Tinggi Swasta (PTS).[16]
Permasalahan
kemudian timbul paska pembatalan terhadap UU Badan Hukum Pendidikan, terutama
yang mengenai kejelasan status Badan Hukum Pendidikan yang dikehendaki dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas), sebagai wadah yang diinginkan dalam rangka perwujudan visi dan misi
pendidikan melalui strategi tertentu yang telah ditetapkan sbelumnya dalam UU
Sisdiknas tersebut.
Yang pada intinya
menghendaki adanya penerapan prinsip-prinsip otonomi disetiap jenjang satuan
pendidikan nasional demi tercapainya tujuan pendidikan nasional tersebut. Untuk
itu pemerintah perlu bertindak cepat dalam mengatasi kevakuman hukum, agar lalu
lintas dunia pendidikan kita mendapatkan kepastian hukum terkait dengan status badan hukum atas satuan
pendidikan nasional disetiap jenjang .Apakah akan tetap mengikuti keadaan
semula yang sudah ada, dimana lembaga pendidikan dinyatakan tidak otonom karena
berada dalam kendali lembaga badan hukum penyelenggara. Ketidak ada kejalasan
oleh pemerintah ini pasca dibatalkannya UU Badan Hukum Pendidikan secara tidak
langusung akan berpengaruh pada dunia pendidikan itu sendiri.[17]
Oleh karena itu penulis berpendapat, pemerintah segera
membentuk Peraturan Pengganti
Perundang-udangan (Perpu), yang isinya dapat menjamin pelaksanaan lebih
lanjut program-program kerja yang telah dicanangkan dalam rencana dan strategi
jangka panjang pendidikan nasional. Perpu yang dikeluarkan pemerintah itu untuk
memberi payung hukum kepada setiap penyelenggara pendidikan kearah pemberian
otonomi pendidikan yang memiliki filosofi nonprofit. Ini penting agar pemberian
otonomi yang dimaksud dapat dipertanggungjawabkan.
Pembatalan UU Badan Hukum Pendidikan ini juga
berpengaruh juga terhadap proses status badan hukum yang ada sebelum UU Badan
Hukum Pendidikan dibatalkan oleh MK, walupun ada penyesuaian tata kelola .
Misalnya untuk satuan pendidikan tinggi swasta yang diselenggarakan oleh badan
hukum Yayasan.
Disatu sisi keberadaan UU Badan Hukum Pendidikan
mengakui keberadaan badan hukum Yayasan sebagai Badan Hukum Pendidikan
Penyelenggara (BHP Penyelenggara), akan tetapi wajib menyesuaikan tata
kelolanya paling lambat enam tahun sejak UU Badan Hukum Pendidikan diundangkan,
untuk menjadi Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM). Tata cata penyesuaian
tata kelola tersebut meliputi proses-proses dalam hal penyusunan rancangan
perubahan akta pendirian atau anggaran dasar, penempatan modal minimum pada
lembaga pendidikan tinggi yang diselenggarakan, pemisahan asset-aset dan
memasukan beberapa organ represetasi yang telah ditentukan sebelumnya dalam UU
Badan Hukum Pendidikan, dan memasukkannya kedalam struktur organisasi yang
sudah ada sebelumnya.
Disamping itu itu juga, putusan MKRI ini yang menyatakan
UU BHP tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan juga dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945, juga berpengaruh secara langsung terhadap keberadaan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik
Negara (PT. BHMN) yang telah menyelenggarakan pendidikan formal. Dengan adanya
amar putusan MKRI yang menyebutkan bahwa penjelasan dari Pasal 53 ayat (1) UU
No. 20 Tahun 2003, te;ah bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, dikarenakan Pejelasan Pasal 53 Ayat (1) tersebut
menyebutkan “Badan hukum pendidikan dimaksud sebagai landasan hukum bagi
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain, berbentuk Badan Hukum
Milik Negara (BHMN)”.
Salah satu hakim Mahkamah Konstitusi Bapak Akil Mochtar
berpendapat, mengenai keberadaan beberapa perguruan tinggi negeri yang ada
yaitu Universitas Indoensia, Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi Bandung,
Institut Pertanian Bogor, Universitas Airlangga, dan Universitas Pendidikan
Bandung yang berstatus BHMN. Dengan dikeluarkannya Putusan MK tersebut terhadap
keberadaan UU No. 9 Tahun 2009 dan beberapa pasal dari UU No. 20 tahun 2003,
maka status BHMN itu juga turut dihapuskan juga apabila pendiriannya yang
dijabarkan pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga mengacu pada ketentuan
Pasal 53 ayat (1) dan penjelasannya.
Sedangkan menurut pendapat Bapak Bambang Soedibyo,
mantan Menteri Pendidikan Nasional mengatakan, dengan dikeluarkannya Putusan
MKRI ini tidak berkaitan secara langsung dengan keberadaan BHMN, karena pada
dasarnya putusan MK ini tidak melarang adanya otonomi perguruan tinggi.
Keberadaan BHMN ini dipersamakan dengan Yayasan, Perkumpulan dan badan hukum
sejenis yang telah menyelenggarakan
pendidikan formal. Putusan MKRI ini hanya melarang adanya penyeragaman
bentuk-bentuk badan hukum didunia pendidikan.
Adanya perbedaan pendapat ini, dengan menafsirkan
sendiri dari putusan MK. Sampai saat ini Pemerintah sendiri belum mengambill
lagkah-langka politis dalam kebijakannya demi menyelamatkan keberadaan Badan
Hukum Pendidikan yang telah melaksanakan tata kelolanya, baik dari Badan Hukum
Pendidikan Pemerintah, Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah atau Yayasan,
Perkumpulan dan badan hukum yang sejenis yang dimiliki oleh masyarakat pada
umumnya yang telah menyesuaikan pada aturan-aturan hukum yang berlaku pada saat
itu untuk menjadikannya sebagai Badan Hukum Pendidikan.
Kelambanan Pemerintah untuk mengambil sikap mengenai
keberadaan aturan Badan Hukum Pendidikan, walupun disatu sisi putusan MKRI ini
tidak menyebutkan UU Nomor 9 Tahun 2009 batal demi hukum. Maksud dari kalimat
tersebut untuk meminta segera kepada Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah
kongrit untuk menghindari kevakuman hukum yang berkelanjutan. Langkah-langkah
hukum tersebut dapat berupa dibuatnya Undang-Undang yang baru yang mengatur hal yang sama dengan substansi
yang berbeda, atau mengeluarkan kebijakan darurat dengan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu terhadap Badan Hukum Pendidikan.
.
Jika hal ini tetap saja dibiarkan Pemerintah tanpa
mengambil kebijakan yang kongrit, disaat UU Badan Hukum Pendidikan dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 atau menyatakan bahwa UU Badan Hukum Pendidikan
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, maka keberadaan Badan Hukum
Pendidikan yang telah melaksanakan tata kelolanya atau telah menjadi Badan
Hukum Pendidikan, maupun juga terhadap Badan Hukum Milik Negara (BHMN) terhadap
beberapa perguruan tinggi negeri yang telah ditetapkan, perihal menyangkut
kebijakan yang dikeluarkannya baik keluar dan kedalam. Jika Badan Hukum
Pendidikan tidak memiliki status legal. Maka segala kebijakan dari Badan Hukum Pendidikan
tersebut dinyatakan illegal juga. Pertanyaannya adalah siapa yang bertanggung
jawa terhadap semua itu ? Apakah Menteri untuk Badan Hukum Pendidikan
Pemerintah (BHPP), Gubernur, Bupati atau Walikota untuk Badan Hukum Pendidikan
Pemerintah Daerah (BHPPD), atau pendiri dari Yayasan dan Perkumpulan atau badan
hukum yang sejenis terhadap Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM).
Karena sampai saat ini, semenjak adanya Putusan MK
terhadap UU BHP, dan beberapa pasal dari UU Sistem Pendidikan Nasional yang
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat dan juga dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945, yang berakibat tidak diberlakukan lagi pasal tersebut sebagai
aturan yang memiliki kekuatan mengikat. Pemerintah sampai saat ini belum
mengeluarkan satu peraturan pun, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden maupun Peraturan
Menteri terhadap Badan Hukum Pendidikan. Misalnya, mengenai keberadaaan Yayasan
sebagai badan hukum yang telah menyelenggarakan pendidikan formal, apakah sejek
adanya putusan MKRI, pengaturan mengenai Yayasan sebagai badan hukum kembali
begitu saja ke dalam aturan-aturan Yayasan yang di atur dalam UU Nomor 16 Tahun
2001, joncto UU Nomor 28 Tahun 2004 joncto PP Nomor 63 tahun 2008 ? Karena
sampai saat ini dari Kantor Kementrian Hukum Dan HAM RI, belum mengeluarkan
kebijakan tentang hal tersebut dalam bentuk Peraturan Menteri.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) pada
perkara nomor 11-14-21-126 dan
136/PUU-VII/2009 yang telah diputuskan pada tanggal 31 Maret 2010 yang lalu,
berimplikasi terhadap keberadaan Badan Hukum Pendidikan dalam menjalankan fungsinya sebagai Badan
Hukum Pendidikan (BHP) baik yang telah berbentuk, Badan Hukum Pendidikan
Pemerintah (BHPP), Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD), Badan Hukum
Pendidikan Masyarakat (BHPM).
Untuk beberapa perguruan tinggi Badan Hukum MIlik Negara
(BHMN) antara lain Universitas Indonesia,
Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Airlangga,
Universitas Pendidikan Bandung, yang telah menyelenggarakan pendidikan formal
sebelum UU BHP berlaku. Maka BHMN
tersebut harus mengubah bentuknya dan menyesuaikan tata kelolanya
sebagai Badan Hukum Pendidikan Pemerintah, (BHPP) palingg lambat 3 tahun sejak
UU BHP ini diundangkan. Sedangka untuk
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
sebelum UU BHP ini berlaku diakui keberadaannya
dab tetap dapat menyelenggarakan pendidikan formal. Untuk itu satuan
pendidikan yang dimaksud harus mengubah bentuknya menjadi dan menyesuaikan tata kelolanya sebagai Badan
Hukum Pendidikan Pemerintah (BHPP) dan Badan Hukum Pemerintah Daerah
(BHPPD) untuk jangka waktu paling lambat
empat tahun.
Begitu juga tethadap Yayasan, perkumpulan dan badan
hukum lainnya yang sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan
belum menyesuaikan tata kelolanya tetap dapat menyelenggarakan pendidikan.
Penyesuaikan tata kelola terhadap Yayasan, Perkumpulan dan badan hukum lainnya
yang sejenis menjadi Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM) untuk jangka
waktu paling lambat 6 tahun sejak UU BHP diundangkan.
Putusan MKRI terhadap UU BHP yang dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Hal ini akan berpengaruh secara langsung apabila Yayasan, Perkumpulan dan badan
hukum lainnya yang sejenis telah melaksanakan tata kelola atau mendirikan Badan
Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM) baru, dan telah mendapatkan pengesahannya
oleh Menteri Pendidikan Nasional sebagaimana yang disyaratkan saat UU BHP,
disaat UU BHP dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan
bertentangan dengan UUD 1945, bagaimana kedudukan Badan Hukum Pendidikan
Masyarakat (BHPM) tersebut ? Untuk
menjawab semua itu dibutuhkan kaidah yang dinamakan Exnunc yaitu suatu perbuatan dan akibat baik dari
akta/suat dianggap ada sampai saat dilakukan pembatalan. Atau juga menggunakan
kaidah Extunc yaitu perbuatan dan akibat dari akta/surat dianggap
tidak pernah ada.[18]
Karena pendirian Badan Hukum Pendidikan Masyarakat, didasarkan
pada akta pendirian sebagaimana yang termuat pada Anggaran Dasar Badan Hukum
Pendidikan Masyarakat dan telah mendapatkan pengesahan dari yang berwajib. Maka
Badan Hukum Pendidikan Masyarakat tersebut tetap mengikat secara keluar dan
kedalam maupun terhadap pihak ketiga. Walaupun UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
mengikat.
Sedangkan implikasi yang lain menyangkut kedudukan hukum
terhadap akta pendirian dan pengesahan pada saat dinyatakannya UU Badan Hukum
Pendidikan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Kedudukan tersebut tidak ada
aturan hukum lagi baik menyangkut teknis pendirian Badan Hukum Pendidikan
Masyarakat (BHPM) maupun pelaksanaan pengesahan dari yang berwajib.[19]
Inilah yang
dinamakan masa-masa transisi kedudukan Badan Hukum Pendidikan (BHP) disaat UU
Badam Hukum Pendidikan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat.
Kondisi tersebut harus segera ditindak lanjuti oleh Kantor Kementrian Pendidikan Nasional bersama Kantor Kementrian
Hukum Dan HAM RI, dengan mengeluarkan aturan hukum sebagai kebijakan politik
untuk menghindari timbulnya kevakuman hukum yang berkelanjutan.
IV.
KESIMPULAN
1.
Undang-Undang Nomor 9 tahun
2009 tentang Badan Hukum Pendidikan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi,
berakibat secara langsung terhadap badan hukum yang telah menyelenggarakan
pendidikan formal sebelumnya baik yang berbentuk Yayasan, Perkumpulan, dan
badan hukum lainnya yang sejenis yang didirikan oleh masyarakat yang telah
melaksanakan tata kelolanya sebagai Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM),
dan maupun juga terhadap Badan Hukum Milik Negara yang diberikan kepada
beberapa Perguruan Tinggi Negeri, menjadikan status badan hukum tersebut patut
dipertanyakan secara legalitas.
2.
Yayasan yang telah melaksanakan
tata kelolanya sebagai Badan Hukum Pendidikan Masyarakat (BHPM) saat
dibatalkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan, tidak serta merta Badan
Hukum Pendidikan Masyarkat berubah statusnya menjadi Yayasan yang diatur
menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 maupun berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan.
B. SARAN
1.
Dengan dibatalkannya
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi, untuk itu segera
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pengganti
Perundang-undangan (PERPU) untuk menghindari timbulnya kevakuman hukum
(kekosongan hukum) yang berkelanjutan.
2.
Dalam proses penyusunan kembali
Peraturan perundang-undangan mengenai Badan Hukum Pendidikan, tidak dibenarkan
lagi penyeragaman bentuk Badan Hukum Pendidikan dengan satu nama, badan hukum
pendidikan hanyalah penyebutan bagi Yayasan, Perkumpulan dan badan hukum
lainnya yang sejenis yang telah menyelenggarakan pendidikan formal dan telah
dinyatakan sebagai badan hukum, maka dinyatakan sebagai Badan Hukum Pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Amanat, Anisitus, 1996, Pembahasan Undang-Undang Perseroan Terbatas 1995 dan Penerapan dalam
Akta Notaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Hukum Perbankan Syariah,Undang-Undang No. 21 Tahun 2008, Bandun: Refika Aditama.
Adjie, Habib, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, Bandung: Refika Aditama.
---------, 2008 Status
Badan Hukum Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial, Bandung:
Mandar Maju
---------, 2008 Sekilas
Dunia Notaris dan PPAT, Bandung: Mandar Maju
---------, 2008, Sanksi
Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Bandung: Refika Aditama,
---------, 2009, Yayasan
Yang Menyelenggarakan Pendidikan Formal, Dan Mempunyai Izin, Penyelenggaraan
Pendidikan Formal Yang Masih Berlaku Tapi Tidak Berbadan Hukum Untuk
Melanjutkan satuan Pendidikan Formalnya Harus Mendirikan Badan hukum Pendidikan
Masyarakat (BHPM), Disampakan Dalam Acara Pembekalan Dan Penyegaran Dalam
Rangka Rapat Pleno Yang Diperluas
Pengurus Ikatan Noatris Indonesia, Denpasar: 30 Desember.
---------, 2010, 2010, Relasi Dan Solusi Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008,
Dengan Pendirian Yayasan (Baru) Paska Putusan MKRI Penyelenggara Pendidikan
Formal Oleh Swasta Kembali Ke Yayasan, Disampaikan Acara Pembekalan Dan
Penyegaran Pengetahuan Ikatan Notaris Indonesia, Batam: 2-3 Juli
Ali, Chidir, 1987,
Badan Hukum, Bandung:
Alumni.
Afandi, Wahyu,
1978, Hakim dan Hukum dalam Praktek, Bandung: Alumni
Borahima, Anwar, 2010, Kedudukan Yayasan di Indonesia, Eksistensi, Tujuan, dan Tangggung Jawab
Yayasan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Budiarto, Agus, 2002, Kedudukan Hukum, Tanggung Jawab
Pendiri Perseroan Terbatas, Jakarta: Ghalia.
Budiono, Herlien, 2007, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, , Bandung:
Citra Aditya.
Chatamarrasjid, 2006, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, Bandung:, Citra Aditya
Bakti
Barkatullah, Abdul Halim, 2009, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Transaksi E-Commerse, Lintas Negara di Indonesia. Yogyakarta: Pasca sarjana FH UII, FH UII Press.
Fuady,Munir, 2005, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Bandung:
Citra Adtya Bakti.
-----------, 1994, Hukum Bisnis, Dalam Teori dan Praktek (buku kesatu), Bandung; Citra Aditya
Bakti
Hernoko, Agus Yudha 2008, Hukum Perjanjian, Azas
Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta:
LaksBang Mediatama.
Gautama, Sudargo, 1995, Komentar Atas Undang-Undang Perseroan Terbatas (Baru) Tahun 1995 No. 1
Perbandingan dengan Peraturan Lama, Bandung; Citra Aditya Bakti
Gunadi, Ariawan, Pasca
Pembatalan UU BHP dan Akibat Hukum yang ditimbulkannya, Opini, Jakarta: Harian Ekonomi
Neraca.
Kemelo, Tan, 2006,
Hukum Jaminan Fidusia Suatu
Kebutuhan Yang di Dambakan, , Bandung:
Alumni.
Kansil, C.S.T, 1995, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum dalam Ekonomi), Jakarta;
Pradnya Parmita.
Kansil, C.S.T dan
Christine S.T Kansil, 2009, Seluk
Beluk Perseroan Terbatas, Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, Jakarta:
Rineka Cipta.
Kohar, A 1984, Notaris
Berkomunikasi, Bandung:
Alumni.
-----------,
1983, Notaris, DalamPeraktek Hukum,
Bandung: Alumni
Machsun, Miftachul,2009 Penyelenggara Pendidikan Formal Berikut Problem Yang Dihadapi Serta
Solusinya, Disampakan Dalam Acara Pembekalan Dan Penyegaran Dalam
Rangka Rapat Pleno Yang Diperluas
Pengurus Ikatan Noatris Indonesia, Denpasar:
30 Desember
Miru, Ahmadi, 2008, Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Marzuki, Peter Mahmdu, 2008, Penelitian Hukum, Jakarta:
Kencana Prenada Media.
Muhammad, Abdulkadir, 2005, Hukum Perjanjian (Busines Law S.B Marsh and J. Soulsby), Bandung: Citra Aditya
Bakti..
Mertokusumo, Sudikno, 2007 Penemuan Hukum, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
------------,
2007, Mengenal Hukum,,
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
Nasution, Bahdar Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung:
Mandar Maju.
Notodisoerjo, Soegondo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Prajitno, Agus, 2009, Hukum Fidusia, Problematika Yuridis, Pemberlakuan Undang-Undang No. 42
Tahun 1999, Malang:
Bayu Media
Panggabean, Henry Pandapotan, 2008, Peranan Mahkamah Agung Melalui
Putusan-Putusan Hukum Perikatan, Bandung:
Alumni
Purwasutjipto, 1992, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,
Bentuk Perusahaan, Jakarta:
Djembatan.
Prasetya, Rudhi, 1995, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Di Sertai Dengan Ulasan Menurut
Undang-Undang No. 1 tahun 1995, Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Prodjodikoro, Wirjono, 2000, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung: Mandar Maju,
Rasjidi, Lili, 1993, Filsafat Hukum, Apakah Hukum itu ?, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, 2007, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, , Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Rido, R. Ali Dkk, 1986, Hukum Dagang, tentang Aspek-aspek Hukum dalam Asuransi Udara, Asuransi
Jiwa dan Perkembangan Perseroan Terbatas, Bandung: Remadja Karya.
-----------, 1988, Hukum Dagang, tentang Surat Berharga, Perseroan Firma, Perseroan
Komanditer, Keseimbangan Kekuasaan dalam PT dan Penswastaan BUMN, Bandung:
Remadja Karya.
-----------, 1986, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi,
Yayasan, Wakaf, Bandung;
Almuni
Raharjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Saifullah, 2007, Refleksi
Sosiologi Hukum, Bandung;
Refika Aditama
Sukardono, R, 1991, Hukum Dagang Indonesia,
Jakarta:
Rajawali Pers.
Sidharta, Arif, 1982, Hukum Dan Logika, Bandung; Alumni.
Sri, Djatmiati Tatiek, Perizinan Sebagai Instrumen Yuridis Dalam Pelayan Publik, disampaikan
pada Pengukuhan Jabtan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Administrasi pada Fakultas
Hukum Airlangga di Surbaya pada hari sabtu, tanggal 24 November 2007.
Tanya, Bernard L., Yoan N. Simanjuntak, Markus Y.
Hage, 2007, Teori Hukum, Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Surabaya: CV. Kita.
Sembiring, Sentosa, 2006, Hukum Perusahaan,, Bandung:
Nuansa Aulia.
Salim, dan Budi Sutrisno, 2008, Hukum Investasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada.
Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus,
Jakarta:
Prenada Media,
Sjahdeini, Sutan Remy, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang, Bagi Para Pihak
Dalam Perjanjian Lredit Bank di Indonesia. Jakarta:
Institut Bankir Indonesia.
Syahrani, Riduan, 2009, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum,, Bandung: Alumni.
Sianturi, Purnama Tioria, 2008, Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak, Bandung: Mandar Maju.
Subki, Muhammad
Sukri dan Djumadi, 2007, Menyelesaikan Sengketa Melalui Pengadilan
Pajak, Jakarta: Alex Media
Komputindo.
Soewarso, Indrawati, 2003, Aspek Hukum Jaminan Kredit, Jakarta:
Institut Bankir Indonesia
Sutiyoso, Bambang, 2007, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujutkan Hukum yang Pasti dan
Berkadilan, Yogyakarta: UII Press
Untung, Budi, 2005, Hukum Koperasi dan Peran Notaris., Yogyakarta:
Andi Yogyakarta.
Usman, Rachmadi, 2003, Perkembangan Hukum Perdata Dalam
Dimensi Sejarah dan Politik Hukum di Indonesia, 2003, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Widjaja, I.G. Rai, 1996, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Khusus Pemahaman Atas Udang-Undang
Nomor 1 Tahaun 1995, Jakarta; Kesain Blanc.
Widjaja, Gunawan dan Yongki Angga, 2008, Real Estate Investment Trusts, Buku seri
aspek Hukum dalam Pasar Modal, Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi, 2003, Hapusnya Perikatan, sari hukum perikatan, Jakarta: Raja Grafino Persada.
Widjaja, Gunawan Tanya
Jawab tenteng Perseroan Terbatas, 2008, Jakarta:
Forum Sahabat.
Peraturan Perundang-Undangan
UUD 1945.
KUH Perdata.
KUH Dagang.
Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 1992 tentang Koperasi.
Undang-Undang RI Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Undang-Undang RI Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun
2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (telah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009, pada tanggal 31 Maret 2010)
Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan hukum
Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 2000 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan.
Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2009 tentang Mekanisme Pendirian
Badan Hukum Pendidikan Yang Menyelenggarakan Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah
Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Dasar Dan/Atau Menengah Sebagai Badan
Hukum Pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Mekanisme Pendirian
Badan Hukum Pendidikan, Perubahan Badan Hukum Milik Negara Atau Perguruan
Tinggi, Dan Pengakuan Penyelenggara Pendidikan Tinggi Sebagai Badan Hukum
Pendidikan.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009. tertanggal 31 Maret 2010
[1] Prof. Tatiek Sri Sjatmiati ,Perizinan
Sbagai Instrumen Dalam Pelayan Publik, disampaikan pada pengukuhan Jabatan
Guru Besar, pada tanggal 24 November 2007.
Komentar
Posting Komentar