Ultimum Remedium dan Premium Remedium



Ultimum Remedium dan Premium Remedium

  • Latar Belakang
Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya, yaitu straf . Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana. Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan hukum perdata.
Indonesia adalah merupakan negara hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum“. Hukum Pidana adalah salah satu hukum yang ada di negara Indonesia, pengaturan tertulisnya dituangkan dalam KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) sebagai salah satu hukum positif. Seperti halnya ilmu hukum lainnya Hukum Pidana mempunyai tujuan umum, yaitu menyelenggarakan tertib masyarakat. ([1])
Kemudian tujuan khususnya adalah untuk menanggulangi kejahatan maupun mencegah terjadinya kejahatan dengan cara memberikan sanksi yang sifatnya keras dan tajam sebagai perlindungan terhadap kepentingan – kepentingan hukum yaitu orang ( martabat, jiwa, harta, tubuh, dan lain sebagainya), masyarakat dan negara.([2])
Hukum Pidana dengan sanksi yang keras dikatakan mempunyai fungsi yang subsider artinya apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru dipergunakan Hukum Pidana, sering juga dikatakan bahwa Hukum Pidana itu merupakan ultimum remedium atau obat terakhir. Persoalan Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium perlu dikaji lebih lanjut, yaitu mengenai penerapannya dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim serta perkembangannya saat ini.
Maka makalah yang kami tulis dengan judul “Karakteristik Hukum Pidana dalam Konteks Ultimum Remedium”, diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan yang lebih sesuai dengan judul yang bersangkutan.
1.2 Identifikasi Masalah
  1. Apakah yang dimaksud dengan ultimum remedium?
  2. Bagaimana karakteristik Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium?
  3. Bagaimana penerapan ultimum remedium dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim?
  4. Bagaimana perkembangan Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium saat ini?
1.3 Tujuan
  1. Untuk mendeskripsikan pengertian ultimum remedium.
  2. Untuk mendeskripsikan krakteristik ultimum remedium dalam konteks Hukum Pidana.
  3. Untuk mendeskripsikan penerapan ultimum remedium dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim.
  4. Untuk mendeskripsikan perkembangan Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium saat ini.
Ultimum Remedium dan Premium Remedium
Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan. Secara tradisional definisi hukum ini dianggap benar sebelum hukum pidana berkembang dengan pesat. Menurut Pompe hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum yang mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dari aturan pidananya.([3])
Sedangkan menurut Prof. Moetjatwa, S.H. hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku disaat Negara mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
    1. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sangsi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggara larangan tersebut.
    2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi pidana.
    3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka melanggar larangan tersebut.([4])
Tujuan hukum pidana tidak melulu dicapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan. Perlu pula dibedakan antara pengertian pidana dan tindak pidana.([5]) hukuman pidana melindungi baik kepentingan yang dilaksnakan oleh peraturan hukum privat maupun kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan hukum publik. Kitapun harus mengingat bahwa dengan ketentuan pidana itu tidaka harus diartikan bahwa semua pelanggaran atasnya berakhir dengan penjatuhan pidana.
Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuata karena melakukan suatu delik. Ini bukan merupakan tujuan akhir tetapi tujuan terdekat. Inilah perbedaan antara pidana dan tindakan karena tindakan dapat berupa nestapa juga tetapi bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat. Jika seorang anak dimasukan ke pendidikan paksa maksudnya ialah untuk memperbaiki tingkah lakunya yang buruk.([6])
  1. Ultimum Remedium
Van Bemmelen berpendapat bahwa yang membedakan antara Hukum Pidana dengan bidang hukum lain ialah sanksi Hukum Pidana merupakan pemberian ancaman penderitaan dengan sengaja dan sering juga pengenaan penderitaan, hal mana dilakukan juga sekalipun tidak ada korban kejahatan. Meskipun Van Bemmelen tidak menyebutkan hukum pidana sebagai hukum publik secara tegas, namun ia mengatakan antara lain bahwa dengan mengancam pidana tingkah laku manusia berarti Negara mengambil alih tanggungjawab mempertahankan peraturan-peraturan yang telah ditentukan. ([7])
Tidak lagi diserahkan kepada orang pribadi. Dengan ditetapkannya ancaman pidana dalam masyarakat, maka Negara memikul tugas menyidik dan menuntut pelanggaran peraturan yang berisi anacaman pidana.([8]) Van Bemmelen menunjukan bahwa hukum pidana itu sama saja dengan bagian lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum menentukan peraturan untuk menegakan norma-norma yang diakui oleh hukum. Akan tetapi dalam satu segi, hukum pidana menyimpang dari bagian lain dari hukum, yaitu dalam hukum pidana dibicarakan soal penambahan penderitaan dengan sengaja dalam bentuk pidana, juga walaupun pidana itu mempunyai fungsi yang lain daripada menambah penderitaan.
Tujuan utama semua hukum adalah mnejaga ketertiban, ketenangan, kesejahteraan, dan kedamaian dalam masyarakat tanpa dengan sengaja menimbulkan penderitaan. Selanjutnya Van Bemmelen mengajukan pendapat bahwa hukum pidana itu merupakan ultimum remedium atau obat terakhir. Sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu tidak cukup untuk menegakan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana diterapkan. Ia menunjuk pidato menteri kehakiman belanda Mr. Modderman pada waktu KUHP belanda dibicarakan di DPR sebagai berikut :
“ Pembicaraan yang terhormat ( Mackay ) menerangkan bahwa dalam rencana Undang-undang, beliau dengan susah payah mencari suatu pokok mengenai dapat dipidana atau tidaka dapat dipidana suatu perbuatan atau pengabaian. Saya sangka bahwa asas poko tidak hanya dapat dibaca diantara garis-garis rencana itu. Akan tetapi juga berkali-kali diucapkan dalam bentuk lain ( memang begitu, karena pekerjaan menyusun memori penjelasan dibagi-bagi ).
Asas-asas pokok itu adalah yang dapat dipidana hanya :
  1. pertama adalah orang yang melanggar hukum ,ini adalah suatu syarat mutlak (condition sine qua non )
  2. kedua adalah bahwa perbuatan itu melanggar hukum, yang menurut pengalaman tak dapat dicegah dengan sarana apapun (tentu dengan memperhatikan keadaan masyarakat tertentu)
Ancaman pidana harus tetap merupakan suatu ultitum remedium. Memang terhadap setiap ancaman pidana ada keberatannya. Setiap orang yang berpikiran sehat akan dapat mengerti hal itu tanpa penjelasan lebih lanjut. Ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan ,tetapi selalu harus mempertimbangkan untung dan rugi ancaman pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat penyakit.([9])
Perbedaan demikian menjadi alasan untuk menganggap Hukum Pidana itu sebagai ultimum remedium, yaitu usaha terakhir guna memperbaiki tingkah laku manusia, terutama penjahat, serta memberikan tekanan psikologis agar orang lain tidak melakukan kejahatan. Kejahatan yang dilakukan oleh seseorang merupakan hal yang dapat merugikan orang lain dimana orang tersebut telah merampas hak orang lain. ([10])
Sudah selayaknya apabila orang yang melakukan tindak pidana mendapatkan hukuman yang setimpal terhadap perbuatannya merugikan orang lain. Oleh karena sanksinya bersifat penderitaan istimewa, maka penerapan hukum pidana sedapat mungkin dibatasi dengan kata lain penggunaannya dilakukan jika sanksi-sanksi hukum lain tidak memadai lagi. (Andi Zainal Abidin: 1987:16). Hukuman selain pidana tidak ada lagi untuk diberikan kepada orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Tetapi ini tidak berarti bahwa hukum pidana tidak memperhatikan kepentingan orang pribadi. Orang pribadi itu dapat menjadi pihak penuntut perdata dalam perkara pidana khususnya dalam ganti kerugian.([11]) Hal semacam ini telah dikemukakan didalam KUHAP tentang gabungan ganti kerugian didalam perkara pidana.
Istilah ultimum remedium digunakan oleh Menteri Kehakiman Belanda untuk menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen bernama Meckay dalam rangka pembahasan rancangan KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana), yang antara lain menyatakan bahwa:
“Asas tersebut ialah bahwa yang boleh dipidana yaitu mereka yang menciptakan “onregt” (perbuatan melawan hukum).
Hal ini merupakan condito sine qua non. Kedua, ialah bahwa syarat yang harus ditambahkan ialah bahwa perbuatan melawan hukum itu menurut pengalaman tidaklah dapat ditekan dengan cara lain.([12])
Pidana itu haruslah tetap merupakan upaya yang terakhir. Pada dasarnya terhadap setiap ancaman pidana terdapat keberatan-keberatan. Setiap manusia yang berakal dapat juga memahaminya sekalipun tanpa penjelasan. Hal itu tidak berarti bahwa pemidanaan harus ditinggalkan, tetapi orang harus membuat penilaian tentang keuntungan dan kerugiannya pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari pada penyakit”. Upaya ultimum remedium merupakan hal yang dijadikan alasan bahwa hukuman pidana merupakan obat akhir untuk mengobati para pelanggar pidana.
Setelah tidak ditemukannya hala lain yang tidaka dapat mengganti akibat yang terjadi dari perilaku tindak pidana maka hukuman secara pidana dijadikan obat mujarab.
Memang harus diakui pula, bahwa tidak semua sarjana hukum memandang pidana itu sebagai ultimum remedium. Misalnya L.H.C. Huleman dalam pidato penerimaan jabatannya sebagai Guru Besar di Rotterdam pada tahun 1965 dan A. Mulder dalam pidato perpisahannya di Leiden mengemukakan bahwa Hukum Pidana sama halnya dengan hukum lain bertujuan untuk mempertahankan hukum, dan oleh karenanya Hukum Pidana itu tidak mempunyai sifat yang berdiri sendiri.([13])
Jadi sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa dalil ultimum remedium ini diperlukan untuk mempertimbangkan dahulu penggunaan sanksi lain sebelum sanksi pidana yang keras dan tajam dijatuhkan, apabila fungsi hukum lainnya kurang maka baru dipergunakan Hukum Pidana. Berkaitan dengan karakteristik Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium ini bahwa penegakan Hukum Pidana dengan sanksi yang keras dan tajam tetap harus diusahakan agar sedapat mungkin mengurangi penderitaan bagi pelaku.
Mengenai penerapan ultimum remedium dalam penjatuhan sanksi pidana oleh hakim dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, setiap kegiatan yang mengacu kepada penerapan prinsip penjatuhan pidana penjara sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) tersebut sangat mendukung pelaku tindak pidana, karena sebelum sanksi pidana yang keras dijatuhkan, penggunaan sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata didahulukan sehingga ketika fungsi sanksi – sanksi hukum tersebut kurang baru dikenakan sanksi pidana.( [14])
Namun melihat sisi lainnya melalui pendapat Van Bemmelen bahwa penerapan ultimum remedium ini harus diartikan “upaya” (middel), bukanlah sebagai alat untuk memulihkan ketidakadilan atau untuk memulihkan kerugian, melainkan upaya untuk memulihkan keadaan yang tidak tenteram di dalam masyarakat, yang apabila tidak dilakukan sesuatu terhadap ketidakadilan itu, dapat menyebabkan orang main hakim sendiri.
  1. Primum Remedium
Seperti yang telah kami paparkan bahwa sanksi  pidana merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium) dari rangkaian tahapan penegakan suatu aturan hukum. “Obat terakhir” ini merupakan jurus  pamungkas jika mekanisme penegakan pada bidang hukum lain tidak bekerja efektif. Namun, dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, sanksi  pidana dalam beberapa kasus tertentu bergeser kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai primum remedium (obat yang utama). ([15])
Posisi primum remedium dalam konteks hukuman bukan lagi menjadi obat terkahir melainkan menjadi obat pertama untuk membuat jera orang yang melakukan pelanggaran yang bersiafat pidana. Hukuman pidan adijadikan hal yang paling penting untuk menghukum pelaku yang dapat merugikan atau pun mengganggu ketentraman umum.
Ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai primum remedium ini dapat dilihat dalam UU mengenai terorisme dan tindak pidana korupsi. Dari perspektif sosiologis hal ini dikarenakan perbuatan yang diatur dalam dua UU tersebut merupakan tindakan yang “luar biasa” dan besar dampaknya bagi masyarakat. Sehingga dalam hal ini tidak lagi mempertimbangkan penggunaan sanksi lain, karena mungkin dirasa sudah tepat apabila langsung menggunakan atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana tersebut. ([16])
Kini faktanya sanksi pidana itu bukan merupakan “obat terakhir” (ultimum remedium) lagi,  banyak perbuatan – perbuatan yang bertentangan dengan aturan UU yang berlaku dan masyarakat merasa dirugikan, maka yang diberlakukan adalah sanksi pidana sebagai pilihan utama (premium remedium). ([17])
Misalnya penjatuhan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan pencurian atau perbuatan melawan hukum lainnya, adalah tidak mudah untuk menerapkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium bagi mereka, mengingat adanya Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak membolehkan adanya pejatuhan pidana penjara terhadap anak yang berumur 12-18 tahun, kemudian masyarakat menganggap keadilan tidak ditegakkan apabila anak yang melakukan kejahatan tidak dipidana, dan masyarakat menganggap bahwa siapapun yang melakukan suatu tindak pidana maka wajib dikenai sanksi berupa pidana penjara agar pelaku jera dan tidak mengulangi perbuatannya, hakim masih sering menganggap anak sebagai penjahat yang harus dibalas agar jera dan tidak mengulangi perbuatannya.
Jadi melihat hal tersebut di atas, bahwa dalam perkembangannya penerapan dalil ultimum remedium ini sulit diterapkan karena masih banyak mengalami kendala – kendala, dan faktor – faktor lain salah satunya adalah karena Hukum Pidana memiliki UU yang mengatur setiap tindak kejahatan dan pelanggaran dan tentunya di dalam penerapan sanksi Hukum Pidana tersebut tidak mengenal kompromi atau kata damai.([18])
Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahtan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manafaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar.( [19])
Vos menunjukan bahwa teori pembalasan atau absolute ini terdiri atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan Subjektif adalah pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Sementara pembalasan Objektif adalah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku didunia luar. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Selanjutnya Vos menunjukan contoh pembalasan objektif, dimana dua orang pelaku yang seorang menciptakan akibat lebih serius dari yang lain dan akan dipidana lebih berat.([20])
Kant menunjukan bahwa pidana merupakan suatu tuntutan etika. Setiap kejahatan harus disusul dengan pidana. Jadi menurut Vos pendapat Kant hanya mengenai pembalasan subjektif. Pidana adalah tuntutan keadilan etis. Sebaliknya Hegel memandang perimbangan antara pembalasan subjektif dan pembalasan objektifdalam suatu pidana.([21] )
BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan

Karakteristik Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium ini dapat diartikan bahwa keberadaan pengaturan sanksi pidana diletakkan atau diposisikan sebagai sanksi terakhir. Artinya, dalam suatu UU yang pertama kali diatur adalah sanksi administratif atau sanksi perdata, kemudian baru diatur tentang sanksi pidana. Jadi  apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mencukupi untuk mencapai tujuan memulihkan kembali keseimbangan di dalam masyarakat, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai senjata terakhir atau ultimum remedium.
Penerapan ultimum remedium ini dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, mengingat sanksi pidana itu keras dan tajam jadi selalu diusahakan menjadi pilihan terakhir setelah sanksi lain dirasakan kurang. Namun memang dalam perkembangannya penerapan ultimum remedium ini mengalami kendala – kendala karena apabila suatu perbuatan sudah dianggap benar – benar merugikan kepentingan negara maupun rakyat baik menurut UU yang berlaku maupun menurut perasaan sosiologis masyarakat, maka justru sanksi pidanalah yang menjadi pilihan utama (premium remedium).
Dalam proses pidana seseorang diberi hukuman supaya dapat mempertanggung jawabkan kesalahannya ataupun kekeliruannya dihadapan masyarakat yang telah di rugikan olehnya. Pidana dapat dijadika obat utama dan dapat pula dijadika obat terakhir bagi proses hukuman kepada para pelangarnya.
  1. Saran
Ada beberapa saran yang tim penulis sertakan di antaranya :
  • jangan sampai menggunakan Hukum Pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan dengan pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian oleh tindak pidana yang akan dirumuskan;
  • jangan menggunakan Hukum Pidana apabila pengguanaannya diperkirakan tidak efektif;
  • jangan menggunakan Hukum Pidana untuk mempidana perbuatan yang tidak jelas korban dan kerugiannya;
  • jangan menggunakan Hukum Pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat yang kuat;
  • jangan menggunakan Hukum Pidana dengan cara emosional.
DAFTAR PUSTAKA
-Hamzah ,A, Asas-asas hukum pidana, Jakarta : rineka cipta. Edisi revisi.
-Artikel hukum “ultimum remedium”, oleh LBH PERS Dr. Yenti Garnasih S.H.
-Chazawi, Adami. 2005. Pelajaran Hukum Pidana. Cetakan I. Jakarta : PT Rajagrafindo.
-Masriani Tiena, Yulies. 2006. Pengantar Hukum Indonesia. Cetakan II. Jakarta: Sinar Grafika.
Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.
-Hamzah ,A, Asas-asas hukum pidana, Jakarta : rineka cipta. Edisi revisi.
[1]) Chazawi, Adami. 2005. Pelajaran Hukum Pidana. Cetakan I. Jakarta : PT Rajagrafindo.
[2] )ibid
[3] ) Alpitra ,Diktat hukum pidana ………
[4] )ibid,..
[5] )andi hamzah, asas-asas hukum pidana ,2008. Hal.27
[6]) Amol A Loewy, Criminal Law, 1987, hal.2,dst
[7])Masriani Tiena, Yulies. 2006. Pengantar Hukum Indonesia. Cetakan II. Jakarta: Sinar Grafika.
[8] )Van Bemmelen, Ons Strafrecht 1, 1986 hlm.14
[9] ) J.M.Van Bemmelen, Op.Cit., hlm.7 dst
[10] )http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/12/01/pengaturan-sanksi-pidana-dalam-ketentuan-uu-bagian-1
[11] )D. Hazewinkel-Suringa, Op,cit., hlm.6-7
[12] ) Artikel hukum “ultimum remedium”, oleh LBH PERS Dr. Yenti Garnasih S.H.
[13] ) Chazawi, Adami. 2005. Pelajaran Hukum Pidana. Cetakan I. Jakarta : PT Rajagrafindo.
[14] ) http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=22360&cl=Berita
[15] )Artikel hukum “ultimum remedium”, oleh LBH PERS Dr. Yenti Garnasih S.H.
[16] ) http://www.google.co.id
[17] )Artikel hukum “ultimum remedium”, oleh LBH PERS Dr. Yenti Garnasih S.H.
[18] ) http://www.adln.lib.unair.ac.id/
[19] ) http://azamul.blogspot.com/2009/01/pidana-mati.html
[20] )H.B. Vos , leerboek van Nederlands Strafrecht, Haarlem; H.D.Tjeenk Willink, 1950,Hal.10
[21] ) andi hamzah, asas-asas hukum pidana ,2008. Hal.30 dst

tulisan bersumber : http://lbhmatahati.org/ultimum-remedium-dan-premium-remedium/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS