PEMBUKAAN DATA REKENING NASABAH ANTARA KENISCAYAAN
PEMBUKAAN
DATA REKENING NASABAH
ANTARA KENISCAYAAN
Saat
akan berakkirnya program amnesty Pajak (Tax Amnesty) pada tanggal 31 Maret 2017
yang akan datang, sebagai amanah pada ketetuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2016 tentang Pengampunan Pajak, pertanyaan yang paling mendasar apakah program
yang dicanangkan Pemerintah ini berhasil atau tidak ? Pertanyaan ini timbul
disaat Pemerintah ingin mewacanakan
dengan mengeluarkan PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang)
sebagai syarat pertukaraan data pajak dengan maksud untuk membuka data nasabah
perbankan. Sekali lagi pertanyaannya adalah apakah memang dinegara kita ini tidak ada lagi nilai kerahasian
tersebut. Seolah-olah begitu mudahnya data pribadi seseorang diumbar untuk
kepentingan kebijakan politik, ekonomi, sosial atau hukum yang ada saat ini.
Khususnya dunia perbankan selalu menekankan pada sisi kerahasian data, keamanan
data nasabah yang selalu didengungkan oleh setiap perbankan moderen. Karena
perbankan beranggapan kerahasian adalah bagian pokok, yang harus selalu dijaga gunanya
untuk memberi rasa aman bagi nasabah.
Dunia
perbankan selalu menekankan pada prinsip-prinsip dalam melakukan penilaian terhadap nasabah. Maka bank selalu menerapkan empat prinsip
dasar perbankan yang ada saat ini. Keempat prinsip tersebut adalah prinsip
kepercayaan (fiduciary relation principle),
prinsip kehati-hatian (prudentian
principle), prinsip kerahasian (secrecy principle) dan prinsip mengenal
nasabah (know how costemer princile).
Keempat
prinsip tersebut merupakan hal yang umum ada setiap perbankan, sehingga
kegiatan perbankan baik selaku menghimpun data masyaraat maupun penyaluran dana
kepada masyarakat, selalu berjalan pada keempat prinisip ini. Karena Bank dan nasabah adalah suatu mitra yang
saling membutuhkan pada lalulintas perekonomian saat ini. Bank tidak mungkin besar
tanpa masyarakat selaku nasabah dan begitu juga masyarakat disektor ekonomi
selalu membutuhkan perbankan yang sehat dari sistem neraca keuangan dan
penerapan teknologi yang memudahkan bagi nasabah bertaransaksi dalam menjalan
usahanya sehari-hari. Empat prinsip utama tersebut dapat dikatakan pilar utama
perbankan jika perbankan tersebut ingin bersaing diantara bank satu dengan
lainnya.
Kerahasian
Mungkin
kita mendengar banyak para pengusaha-pengusaha besar Nasional menyimpan dananya
pada bank-bank yang ada diluar Indonesia. Ada yang beranggapan juga sebagian
kecil saja dana nasabah besar tersebut disimpan pada bank Nasional saat ini.
Negara Swiss, salah satunya, adalah tempat bank-bank Internasional berada,
disanakah para pengusaha besar menyimpan dananya untuk kepentingan keamanan
data yang memeng sangat mereka butuhkan. Karena para pengusaha tersebut
beranggapan bahwa perbankan Internasional selalu menekankan pada sisi
kerahasian data nasabah, apapun bentuknya. Ingat ketika adaya keinginan
Pemerintah Pusat yang ingin berusaha menarik dana simpanan mantan Presiden RI
di negara Swiss ? Sampai saat ini pun belum bisa terlaksana berapa besarnya dana
tersebut ada.
Prinsip
kerahasian pada perbankan itu selalu dijaga dengan cara berlapis, dengan maksud
untuk fungsi kerahasian data. Inilah yang menjadi dasar mengapa para pengusaha
besar masih menyimpan dananya pada perbankan Internasional.
Ini tidak bisa
dipungkiri, karena masih adanya anggapan dari para pelaku ekonomi Indonesia
bahwa perbankan yang ada dinegara kita tidak
prudent dari sisi aturan, yang bisa setiap saat berubah, disamping masih rentannya pengaruh isu yang bisa setiap
saat mempengaruhi manajemen perbankan tersebut. Sistem perbankan harus selalu
berlandaskan pada kepercayaan (trust). Jika keprcayaan itu tidak ada, maka berakibat
perbankan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Karena itu Pemerintah
mengeluarkan aturan-aturan yang berhubungan dengan kepercayaan pada bank dengan
membentuk adanya Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), dengan dasar Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan
Simpanan, yang berlaku secara efektif pada tanggal 22 September 2004.
Namun LPS itu sendiri bukan dalam arti semua dana nasaba dapat dijaminkan, melainkan
hanya terhadap simpanan dana nasabah secara terbatas.
Dibentuknya LPS
itu sendiri tidak terlepas dari adanya kondisi krisis moneter pada saat itu,
ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank, yang mengakibatkan menurunnya tingkat
kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan Nasional. Untuk mengatasi krisis
yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan disektor ekonomin dan hukum
diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk
simpanan masyarakat (balanket guarantee). Hal ini
ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang
Jaminan Terhadap Kewajiban Pembaran Bank Prekreditan Rakyat.
Dalam
pelaksanaannya balanket guarantee memang dapat menumbuhklan kembali
kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Dikarenakan ruang lingkup
penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari
sisi pengelolaan bank maupun masyarakat. Namun pemerintah tidak mau kecolongan
lagi dari kebijakan yang telah dibuat, dengan menerapkan sistem penjaminan yang
terbatas. Karena itu LPS sesuatu keniscayaan disaat adanya keinginan pemerintah
ingin membuka gombok data rahasia nasabah pada bank untuk kepentingan peningkatan
penerimaan negara di sektor pajak. Apakah ini memang telah ditinjau dari segi
hukum dan ekonomi jika kita memandang masih rapuhnya industri perbankan nasional
saat ini. Apakah ini tidak akan menjadi bumerang bagi pemerintah karena
sebagian besar dana-dana nasabah potensial selalu menginginkan rasa aman dari
sistem perbankan yang ada. Jika seandainya data nasabah tersebut terbuka tanpa
atas keinginan nasabah yang bersangkutan apakah ini akan menimbulkan masalah
baru dimana nasabah sangat mungkin akan menggugat bank yang bersangkutan. Ini
yang harus dicarikan jalan keluarnya. Bisa saja suatu saat nasabah-nasabah
potensial akan memindahkan dana-dananya ke negara lain yang memang prudent dari
sisi keamanan. Karena kita tahu kelembahan dunia perbankan kita saat ini belum
berjalnnya prinsip tata kelola perbankan dengan menerapkan prinisp Good
Corporate Governance. Bank yang ada dikita saat ini masih sangat mengharap
adanya dukungan yang kuat dari pemerintah. Ini seperti mengkondisikan pilihan
yang rumit dilakukan pemerintah. Apakah pemerintah saat ini hanya fokus dalam
peningkatan penerimaan negara di sektor pajak dengan membuat beberapa regulasi
yang ada. Pada akhirnmya mengkorbankan bisnis perbankan yang menekannya pada
prinsip kepercayaan (fiduciary relation principle) dan,
prinisp kerahasian (secrecy principle).
Pilihan
yang memang sulit dilakukan pemerintah saat ini. Dikeluarkannya Perppu untuk
membuka data nasbah pada perbankan akan mereduksi bebrapa peraturan lainnya
yang mau tidak mau harus segera direvis pemerintah sebagai payung hukum
diterapkannya Perppu tersebut, dengan merevisi UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), UU Pajak
Penghasilan (Pph), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPn), UU Perbankan, UU Perbankan
Syariah, UU Pasar Modal dan beberapa lainnya.
Pilihan ini
semakin sulit disaat Pemerintah telah menandatangani keikut sertaan pada
pertukuaran informasi pajak otomintis atau Automatic Exchange of Finacial Account
Information (AEOI) dalam ghlobal
forum yang mana harus segera diterapkan paling lama pada tanggal 30 Juni 2017
nanti. Keterlambatan Indonesia memenuhi apa yang disyaratkan tersebut akan
mengakibatkan pada dua dampak yaitu
adanya sanksi penurunan rating oleh Global Forum, dan opportunity loss dari
kehilangan p[otensial perpajakan. Mengingat akan berakhirnya program tax
amnesty yang memang teryanta tidak cukup optimal dalam menarik dana
Indonesia yang berada diluar Negeri.
Karena pemerintah penasaran ingin memulangkan dana WNI diluar negeri yang
diperkirakan mencapai 4000 trilyun yang sebagian besar adalah illicit
fund (dana ilegal).
Karena itu,
rencana pemerintah mengeluarkan Perpu yang berhubungan dengan pembukaan data
nasabah pada perbankan untuk kepentingan peningkatan penerimaan negara di
sektor pajak, dengan asumsi masih dimungkinkannya menarik dana nasabah yang
belum melaporkan secara menyeluruh pada program tax amnesty, patut
dipertanyakan efektifitasnyah. Apakah
ini tidak berakibat akan menimbulkan masalah baru yang mengakibatkan pada
pemilik dana akan memindahkannya dananya ke negara luar. Karena uang pada
prinsipnya tidak mengenal bangsa dan negara. Dimana dia aman disitu dia berada.
Bambang
Syamsuzar Oyong
Notaris PPAT
Kota Banjarmasin
Komentar
Posting Komentar