Pengenaan Pajak Atas Harta Warisan/Hibah dalam Rangka Tax Amnesty
Pengenaan Pajak Atas Harta
Warisan/Hibah dalam Rangka Tax Amnesty
Oleh : Erikson Wijaya & Hadi Nur
Sudah hampir dua bulan sejak kebijakan Amnesti Pajak diberlakukan. Beberapa
isu mulai bermunculan. Satu diantaranya adalah bagaimana perlakuan yang
diberikan ketentuan Amnesti Pajak terhadap harta warisan yang diperoleh Wajib
Pajak/masyarakat dari pendahulunya. Harta warisan tersebut dapat berupa aset
tetap atau aset bergerak dan dipertahankan ahli waris tetap dalam bentuk yang
sama, namun dapat terjadi pula suatu kondisi dimana ahli waris menjualnya untuk
kemudian hasil penjualannya dimanfaatkan untuk memperoleh aset berbentuk
lainnya. Dua macam kondisi ini dapat menimbulkan polemik tersendiri yang
seyogyanya harus dipertegas secara bijak oleh pemerintah supaya tidak
menimbulkan kesalahpahaman di lapangan atau multitafsir yang dapat merugikan
negara.
Waris dan Hibah Bukan Objek Pajak
Pada dasarnya Pasal 24 dan Pasal 25 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2016 telah memberikan
petunjuk yang terbatas tentang pengungkapan Harta Tambahan berupa
tanah/bangunan dan saham yang masih belum diatasnamakan langsung sebagai
status hak milik Wajib Pajak/masyarakat peserta Amnesti Pajak.
Masalah muncul pada kasus semacam ini karena pada dasarnya menurut
ketentuan Pasal 4 Ayat (3) huruf a angka 2 dan huruf b UU Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan (PPh) menyebutkan bahwa harta hibah dan warisan bukan
objek pajak. Pengecualian ini secara legal didasarkan pada adanya Akta Hibah
atau Akta Waris yang sah terbitan Notaris dan dibuat sebelum pengakuan
kepemilikannya.
Sehingga penetapan harta yang diperoleh melalui warisan atau hibah
sebagai harta yang dapat diakui dan diungkap dalam Surat Pernyataan Harta dalam
rangka Amnesti Pajak tidak sejalan dengan amanat UU PPh tersebut. Ketika
berhadapan dengan Wajib Pajak/masyarakat yang minim pengetahuan legal
perpajakannya maka kondisinya akan lebih pelik lagi, sebab bisa dipastikan
bahwa kelompok ini tidak memiliki dokumen legal yang dapat membuktikan sumber
perolehan harta tambahannya adalah dari waris atau hibah keluarga pendahulunya.
Menyikapi isu semacam ini seharusnya pemerintah memfasilitasi Wajib
Pajak/masyarakat untuk melegalkan kepemilikannya agar secara konsisten dapat
dinyatakan tetap bersumber dari waris atau hibah sehingga sejalan dengan
prinsip pengecualian menurut UU PPh. Adapun pemikiran yang menganggap bahwa
harta tersebut ketika masih dipegang oleh pendahulunya belum dikenakan pajak
sehingga ketika telah diwariskan menjadi beban pajak pewarisnya (sekalipun
melalui skema Amnesti Pajak) adalah pendapat yang keliru karena pada prinsipnya
kewajiban perpajakan seseorang sudah terhenti ketika ia meninggal sekalipun
mungkin negara belum mengoptimalkan pengawasan dan pengenaan pajak
terhadapnya.
Amnesti Pajak sepatutnya tidak melanggar rumusan dasar ini. Jika
dipaksakan, maka tak pelak kebijakan Amnesti Pajak seperti hendak memberikan
pengampunan terhadap Wajib Pajak/masyarakat yang telah meninggal dunia melalui
pewarisnya. Amnesti Pajak akan lebih simpatik jika sekaligus dimanfaatkan
sebagai momentum memfasilitasi kondisi semacam ini tentunya dengan melibatkan
instansi terkait.
Analisis Skema Pengungkapan
Ada isu yang berkembang di masyarakat pasca berlakunya kebijakan Amesti
Pajak yaitu seberapa besar sebaiknya harta diungkapkan? Sebagian, seluruh, atau
tidak sama sekali? Kondisi ini salah satunya disebabkan kebingungan Wajib
Pajak/masyarakat atas harta-harta yang diperolehnya dari warisan. Namun
demikian keputusan harus dibuat.
Keputusan yang secara ekonomis harus disandingkan dengan kebijakan sanksi
yang ditetapkan pemerintah yakni jika dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh
Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai
Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta
dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta
dimaksud dan akan ditagihkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar yang meliputi sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus
persen).
Sementara itu terhadap Wajib Pajak/masyarakat yang tidak menyampaikan Surat
Pernyataan Harta (SPH) sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir,
berlaku ketentuan jika ditemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib
Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31
Desember 2015 dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan,
atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi
mengenai Harta dimaksud dan akan ditagihkan melalui penerbitan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar yang meliputi sanksi administrasi berupa berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan yang dihitung sejak saat ditemukannya data dan/atau
informasi mengenai Harta yang belum atau kurang dilaporkan dalam SPT PPh
Terakhir sampai dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak kurang bayar.
Berdasarkan ketentuan penerapan pengenaan sanksi administrasi tersebut maka
dalam sebuah ilustrasi dapat disusun tiga skema yang kemungkinan akan diambil
Wajib Pajak/ masyarakat dalam mengikuti kebijakan Amnesti Pajak:
Tuan Soni memiliki harta yang belum diungkapkan sebesar 10.000. Skema
pertama Tuan Soni ikut Amnesti Pajak dan memutuskan untuk mengungkap
seluruh hartanya yang 10.000 pada September 2016. Sehingga Tuan Soni wajib
membayar uang tebusan 2% x 10.000 = 200 dan dijamin tidak dilakukan pemeriksaan
sampai dengan tahun pajak terakhir sebelum ikut Amnesti Pajak.
Bagaimana jika Tuan Soni hanya mengungkap 50% saja atau setara dengan 5.000
(skema kedua)? Maka Tuan Soni membayar uang tebusan 2% x 5.000= 100. Dan
jika suatu hari nanti negara menemukan harta Tuan Soni yang 50% lainnya, maka
harta itu dianggap sebagai penghasilan pada saat ditemukan dan Tuan Soni
dikenakan tarif umum PPh (asumsi tingkat maksimal 30%) plus sanksi kenaikan
200% sehingga atas temuan ini beban pajak meliputi 5.000 x 30% = 1.500 dan
sanksi administrasi berupa kenaikan 200% x 1.500 = 3.000. Akibatnya total beban
pajak Tuan Soni adalah 100 + 1500 + 3000 = 4.600.
Bagaimana jika Tuan Soni tidak ikut Amnesti Pajak (skema ketiga)?
Jika fiskus menemukan harta Tuan Soni yang 10.000 tersebut maka harta tersebut
dianggap penghasilan dan dikenakan tarif umum PPh dengan sanksi 48%. Sehinngga
perhitungan beban pajak menjadi 30% x 10.000 = 3.000 dan sanksi berupa bunga
2%/bulan maksimal 24 bulan atau 48% x 3.000 = 1.440 dan jumlah total beban
pajak mencapai 4.440.
Jika harta 10.000 itu memang dari penghasilan Tuan Soni yang selama ini
belum ia laporkan dan bayarkan pajaknya, pengenaan beban pajak sebesar 4.600
atau 4.440 kepada Tuan Soni tentunya tidak menjadi masalah baginya. Tapi
bagaimana jika Tuan Soni adalah seorang rakyat yang tidak mengerti pajak dan harta
tersebut adalah harta warisan dari leluhurnya? Jika demikian, dengan Amnesti
Pajak negara meminta Tuan Soni menebus harta warisan leluhurnya dari negara.
Ada banyak Wajib Pajak/masyarakat di negeri ini memiliki pola yang sama dengan
Tuan Soni. Hal ini harus bijak disikapi pemerintah dengan bijak, mengingat
Amnesti Pajak tidak membatasi siapapun wajib pajaknya dan apapun jenis
hartanya.
Rekomendasi Solusi
Kebijakan yang dapat ditempuh oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan
perangkat aturan yang ada adalah dengang mengeluarkan surat penegasan yang pada
intinya menegaskan maksud dari kata “penghasilan” dalam kalimat “ … atas Harta
dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak …” yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2016 dan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 44 ayat (1) huruf a PMK
118/PMK.03/2016 sebagai penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
Undang-Undang nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh.
Hal demikian juga koheren dengan penggunaan tarif PPh dalam pengenaan pajak
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 UU 11 Tahun 2016, Pasal 43 dan
Pasal 44 PMK 118/PMK.03/2016. Dengan diberikannya penegasan tersebut, dimana
penghasilan adalah penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU PPh, maka
penghasilan tersebut akan digolongkan menjadi Penghasilan yang merupakan objek
pajak, penghasilan yang telah dikenakan PPh Final, dan penghasilan yang bukan
merupakan objek Pajak, sehingga pengenaan pajaknya akan tepat sasaran
Komentar
Posting Komentar