Harga Pasar Wajar atau NJOP
Harga Pasar Wajar atau NJOP
Kamis, 22 Mei 2014 - 10:05
Oleh Aidin
Fathur Rahman, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Terhitung
sejak 1 Januari 2014 kemaren, DJP telah menyerahkan semua wewenang dan
tanggungjawab Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2)
kepada pemerintah kota dan kabupaten di seluruh Indonesia sebagaimana amanat UU
PDRD. Dengan demikian penetapan Nilai Jual Objek Pajak juga telah menjadi
wewenang Pemerintah Daerah. Sementara dalam prakteknya, pemutakhiran data NJOP
(Nilai Jual Objek Pajak) di berbagai wilayah pemerintah daerah yang tahun-tahun
sebelumnya sudah melaksanakan pemungutan PBB P2 hampir dipastikan atau sebagian
besar tidak dilakukan padahal pada masa dibawah wewenang DJP, NJOP sebagai
patokan harga pasar suatu nilai properti belum sepenuhnya mendekati assessment
sales ratio yang ideal.
Bisa
dibayangkan jika penentuan NJOP setelah rezim UU PDRD jika tidak terkontrol
dengan baik maka akan menimbulkan bias yang sangat besar antar daerah kabupaten
atau kota di seluruh Indonesia dan jika dikaitkan dengan potensi PPh maupun PPN
yang terutang atas transaksi properti maka akan menjadi suatu potential loss
yang besar bagi penerimaan pajak. Sebagaimana diketahui bahwa atas transaksi
properti terdapat pajak yang menyertainya sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 71 tahun 2008 yaitu PPh Final bagi penjual yaitu sebesar 5%
dari jumlah bruto nilai pengalihan.
Nilai
pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta
Pengalihan Hak dengan NJOP tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan. Sementara
untuk PPN atas penjualan properti tertentu dikenakan terhadap kegiatan
penjualan bangunan baik berupa rumah, apartemen, kondominium maupun jenis-jenis
lainnya. Yang menjadi dasar pengenaan PPN tersebut adalah nilai transaksi
sebenarnya, namun apabila nilai transaksi tersebut di bawah NJOP, maka yang
menjadi dasar pengenaannya adalah NJOP tersebut. Sementara itu jika melihat
perkembangan pasar properti di Indonesia, bisnis ini terus tumbuh seiring dengan
bertambahnya kebutuhan masyarakat akan perumahan dan ruang usaha atau
perkantoran.
Bisa dilihat
secara kasat mata bahwa di kota-kota di Indonesia terutama kota-kota dengan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangunan perumahan, ruko atau rukan sangat
pesat. Geliat pertumbuhan investasi di sektor properti tidak hanya terjadi di
Jabodetabek saja. Banyak daerah-daerah di luar Pulau Jawa yang sektor
propertinya mulai berkembang, seperti Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan,
dan Sulawesi Utara. Banyak kalangan pengamat properti meramalkan bahwa kurang
dari sepuluh tahun ke depan, sektor properti di Indonesia bakal turut berperan
sebagai salah satu sumber kekuatan ekonomi dunia. Indonesia pada tahun 2021
diperkirakan menjadi negara dengan nilai kontribusi industri properti terbesar
ke tujuh di dunia, mengalahkan Korea Selatan, Kanada, dan Jepang.
Data REI
menyebutkan bahwa nilai kapitalisasi sektor properti di Indonesia sepanjang
tahun 2013 menembus angka 219 Triliun yang mana tumbuh sekitar 15 % dari tahun
2012. Sementara itu, data DJP sendiri mencatat bahwa penerimaan pajak dari
sektor properti mencapai angka 56 Triliun pada tahun 2013 dengan pertumbuhan
sebesar 28% atau yang tertinggi dibanding sektor lainnya. Dengan kenyataan ini,
maka penerimaan pajak dari sektor properti menjadi relevan untuk tetap
diperhatikan oleh DJP dalam rangka menyumbang pengamanan target penerimaan
pajak yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dalam praktek di lapangan
banyak transaksi properti yang boleh dikatakan sebagai tax evasion karena dasar
pengenaan pajak yang hanya berdasarkan antara akta dan NJOP.
Dapat
dicontohkan di sini misalnya sebuah ruko 3 lantai di Jalan Imam Munandar
Pekanbaru dari beberapa harga penawaran didapatkan nilai pasar wajar Rp. 900
juta. Sedangkan NJOP-nya melihat dari SPPT PBB hanya Rp. 240 juta. Dengan
berpatokan pada NJOP ini, kecenderungan yang terjadi dalam pencantuman angka
transaksi (nilai pengalihan) adalah sedikit di atas NJOP atau sekitar Rp. 250
juta sampai dengan Rp. 300 juta. Kecenderungan tersebut adalah karena baik
penjual maupun pembeli properti selalu mempertimbangkan biaya Notaris/PPAT,
biaya pengurusan sertifikat dan tentunya BPHTB maupun PPh. Dengan demikian ada
loss sekitar Rp. 30 juta dari satu transaksi properti karena adanya gap antara
NJOP dengan nilai wajar atas properti tersebut yang mana DJP juga tidak
mempunyai instrument yang memadai untuk mengkoreksi bahwa transaksi yang wajar
atas transaksi tersebut adalah Rp. 900 juta. Sementara itu jika mengandalkan
pemerintah daerah kabupaten atau kota untuk terus menjaga atau meng-update NJOP
yang mendekati harga pasar wajar tampaknya masih mempunyai kendala mengingat
sumber daya pemerintah daerah terutama SDM yang ahli dalam penilaian properti
masih kurang.
Dapat
dibayangkan berapa nilai potential loss penerimaan PPh Final maupun PPN dari
transaksi-transaksi properti jika NJOP menurut SPPT PBB P2 terjadi stagnan
dalam dua bahkan hingga lima tahun sementara pertumbuhan pasar properti yang
selalu meningkat berikut kenaikan harganya. Mengingat hal tersebut di atas, DJP
perlu segera merumuskan kembali aturan dasar pengenaan pajak untuk transaksi
properti yaitu nilai pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak
hanya berdasarkan NJOP atau nilai akta tetapi harus menurut nilai riil atau
harga yang wajar sesuai dengan penilaian oleh DJP. Penentuan harga pasar wajar
ini mungkin bisa menggunakan instrument seperti SK Menteri Keuangan tentang
Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan PBB yang dulu lebih
dikenal dengan SK Klasifikasi PBB. Dalam SK Klasifikasi yang bisa diberi nama
SK Indikasi Nilai Pasar Wajar Properti atau apapun namanya, paling tidak
berisikan informasi atau patokan zona-zona nilai tanah terutama di
wilayah-wilayah pengembangan pembangunan suatu kota atau kabupaten.
Selain zona
nilai tanah juga diklasifikasikan nilai bangunan menurut tipe, kegunaan
(properti hunian atau properti komersial). Informasi standar tersebut juga bisa
langsung menyebutkan nama jalan, zona, jenis properti (tanah, rumah, apartemen,
ruko, rukan, tipe) dan lain sebagainya yang dianggap perlu sebagai acuan dalam
mengoreksi kepatutan harga atas transaksi properti atau real estate tertentu.
Nilai suatu bangunan juga sepatutnya dapat di klasifikasikan dengan suatu
indikasi nilai biaya pembangunan baru atau pengganti sebagai acuan dalam
pengenaan PPN kegiatan membangun sendiri. Nilai indikasi harga wajar bangunan
tersebut dapat mengacu pada Harga Satuan Bangunan Gedung Negara
(PER-25/PJ/2012) maupun dengan Daftar Biaya Komponen Bangunan (KEP-533/PJ/2000).
Satu hal yang tidak kalah penting adalah klasifikasi nilai sewa wajar atas
properti pada setiap zona sebagai instrument yang mendukung untuk menentukan
besarnya PPh Final atas sewa tanah dan/atau bangunan.
Dengan
mengoptimalkan tenaga Fungsional Penilai yang ada, DJP diharapkan dapat selalu
meng-update nilai pasar wajar properti yang mana informasi data harga pasar
suatu properti sekarang lebih mudah didapatkan baik melalui iklan media,
jual-beli online, brosur-brosur, agen-agen properti dan lainnya. Dengan
instrumen SK Klasifikasi Nilai Pasar Wajar Properti yang selalu ter-update baik
per-semester atau per-tahunnya, memberikan jalan bagi DJP atau dalam hal ini
Kantor Pelayanan Pajak untuk dapat mengkoreksi baik transaksi jual-beli
properti atau transaksi sewa properti yang terkait dengan kewajiban PPh maupn
PPN sehingga memaksimalkan potensi penerimaan pajak pada sektor properti yang
terus berkembang. Instrumen ini juga dapat memberikan kepastian hukum ataupun
akuntabilitas dalam proses pemeriksaan pajak maupun proses verifikasi dalam
rangka menerbitkan surat ketetapan pajak khususnya pada sektor properti yang
dapat menghindari negoisasi-negoisasi negatif antara Wajib Pajak dan fiskus.
Dengan
instrument ini, indikasi nilai pasar wajar ditetapkan pada suatu nilai tertentu
pada suatu harga pasar yang mana di lapangan selalu mempunyai rentang nilai
yang cukup bervariatif. Manfaat lain yang diharapkan adalah bahwa tidak menutup
kemungkinan instrumen tersebut digunakan oleh seluruh pemerintah daerah di
Indonesia sebagai acuan dalam penentuan NJOP sebagai dasar pengenaan PBB P2
maupun BPHTB sehingga dapat memaksimalkan penerimaan kedua pajak daerah
tersebut. Manfaat lainnya yaitu akan terciptanya pengenaan pajak yang adil dan
seimbang baik pajak pusat maupun pajak daerah di setiap wilayah NKRI sesuai
dengan kondisi dan potensinya masing-masing sehingga memberikan rasa adil bagi
masyarakat yang dampaknya akan meningkatkan kepercayaan dan tingkat partisipasi
yang lebih besar dari masyarakat untuk membayar pajak untuk membangun Indonesia
yang lebih maju dan sejahtera.
*) Tulisan
ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana
penulis bekerja
Komentar
Posting Komentar