Ilmu Hukum dan Ilmu Sosial Tentang Hukum: Perbedaan Konsepsi dan Konsekwensi Metodeny
Ilmu Hukum dan Ilmu Sosial Tentang Hukum: Perbedaan
Konsepsi dan Konsekwensi Metodenya
Soetandyo Wignjosoebroto
Ilmu Hukum sebagai Seni Berpikir
Mengikuti tradisi reine Rechtslehre
atau rechts-geleerdheid atau jurisprudence, ilmu hukum
sebagaimana diajarkan di fakultas-fakultas hukum di Indonesia sesungguhnya
tidaklah terbilang ke dalam kerabat sains. Ilmu hukum (di) Indonesia tidaklah
ditradisikan dalam alur sains sebagai legal science. Sekalipun ilmu
memnag benar bekerja dengan berpangkal dari – serta berseluk-beluk dengan –
proposisi-proposisi hukum yang positif, akan tetapi apa yang dimaksud dengan positive
legali di sini bukanlah hasil observasi-observasi dan/atau
pengukuran-pengukuran atas gejala-gejala dunia empiris, melainkan hasil positive
judgements-baik in abstracto maupun in concerto-oleh
otoritas-otoritas tertentu yang berkewenagan. (Kata “positif” di sini nyata
kalau lebih dekat ke makna “non-moral” atau “netral” daripada ke makna
“empiris” atau “sesuatu yang observable”).
Berihwal demikian, ilmu hukum dalam
artinya sebagai reine Rechtslehre itu sesunggunya tak memiliki (dan
merasa tak perlu memiliki) data, yang dipunyai sebagai kekayaan intelektualnya
adalah suatu khazanah proposisi dan/atau premis yang – masing-masing – lewat
silogisme deduksi dan silogisme induksi dapat menghasilkan konklusi-konklusi,
baik yang praktis dan fungsi sebagi sunber hukum yang bersifat formil (yang di
negeri-negeri penganut Civil Law dihimpun sebagai yurisprudensi dan di
negeri-negeri pengabut Common Law dihimpun dalam wujud
judge-made law), maupun yang teoretis dan berfungsi sebagai sumber
hukum yang bersifat materiil (berupa asas-asas).
Tak pelak lagi, dalam tradisi Rechtslehre
seperti ilmu hukum lalu lebih banyak terlihat sebagai suatu seni berpikir
khusus yang dimaksudkan guna menemukan aturan-aturan yang dapat diterapkan in
concero dari dalam system peraturan-peraturan positif yang telah disusun
secara logis, koheren, d alam jenjang-jenjang hierarki (stuffen), namun
terkucil dan terasing insulated dari alam amatan. Maka, mengembangkan
seni berpikir menurut ajaran (ilmu) hukum-yang dahulu disebut juridisch
denken – adalah semisal berpikir menurut logika aturan main catur (schaakdenken),
di mana dunia berpikir menurut aturan ini bersifat tersendiri dan eksklusif,
dan karena itu pun tak perlu bertaat asas pada prinsip-prinsip logika yang
menguasia alam kenyataan (the natural logic).
Hukum dan Sains, Bagaikan Minyak dan Air
Beberapa dari tradisi Rechtslehre
atau Jurisprudence, ilmu-ilmu sosial bekerja dalam tradisi berpikir dan
bermetode sains (dan karena itulah ilmu-ilmu sosial sejak awal mula tanpa ragu
menamakan dirinya social science). Perbedaan berpikir dan bermetode
dalam Rechtslehre dan social sciences sesungguhnya tidaklah
terletak pada silogisme-silogisme logika yang dipakainya. Dalam hubungan ini
perlu tetap diperhatikan bahwa kedua-duanya, lebih-lebih yang berkembang dalam
system Common Law, sebenarnya sama-sama menggunakan car-cara silogisme
deduksi dan induksi. Perbedan asasinya rupanya harus di cari tidak pada
metodenya itu, melainkan pada sumsi-asumsi dasarnya mengenai postulat apa yang
seharusnya dipakai sebagai pangkal tolak berpikir itu. Dalam ajaran hukum di
fakultas-fakultas hukum, premis-premis itu haruslah merupakan hasil judgements
otoritas yang berkewenangan dan/atau derivate-derivat yang bisa diperoleh
daripadanya, ipso jure. Sementara itu, dalam kajian ilmu-ilmu sosial di
fakultas-fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, premis-premis itu haruslah
merupakan hasil amatan (yang dijaga agar berkecermatan, berketerandalan, dan
sahih, dengan bantuan instrument-instrumen perekan atau pengukur), dan/atau
derivate-derivat yang bisa ditarik daripadanya, ipso factoi.
Dari penjelasan ini nyata sudah
bahwasanya ajaran (hukum) dan sains (sosial) itu merupakan dua dunia yang
terpisah. Dalam ajaran hukum tidaklah akan ada hukum yang mungkin terbit begitu
saja, ipso facto. Sedangkan dalam statemen yang boleh dinilai betul (true)
begitu saja lantaran adanya tuntutan-tuntutan otoritas, ipso jure.
Pemisahan demikian ini memang-tanpa dapat dihindari-terjadi sebagai akibat
kepercayaan berlakunya metodendualismus Kantian dalam dunia berpikir
Barat moder yang sekuler, yang secara setia dianut di kalangan intelektual
Barat berikut anak-anak didiknya yang juga membiak secara merata di
negeri-negeri Dunia Kegita (dan tak kurang-kurangnya juga di Indonesia).
Bersetia kepada paham perpikir metodendualismus ini (tak salah lagi)
ajaran hukum dan sains sosial akan terus ko-eksis-walaupun sudah amat
ber-dekatan bagaikan minyak dan air.
Perbedaan Konsep dan Konsekunsi Praktiknya
Apabila orang cuma mau berkiblat ke
kepetingan-kepetingan kesarjanaan secara miopik dan egosentris, metodendualismus
yang fungsional dalam kajian-kajian teoristis murni itu pastilah akan
terbawa-bawa pula ke dunia praktiknya kaum praktisi (yang mestinya sudah harus
lebih sadar untuk berkiblat kea lam permasalahan, berikut realitas
pemecahannya). Ini telah sering kali terjadi, bukan karena sebab kecemburuan
atau kompetisi status yang berkelanjutan dan dalam kadarnya yang terkadang
keterlaluan, melinkan lebih bersebab pada tiadanya pengenalan terhadp system
konseptual masing-masing, dengan akibat tiadanya kemampuan mereka bersama untuk
“saling menyapa” secara konstruktif.
Perspektif yang berbeda tak hanya akan
melahirkan konsep-konsep epitemologis yang berbeda, akan tetapi juga
metode-metode berpikir dan metode-metode penelitian yang berbeda pula. Dan
bahkan mungkin juga perbedaan perspektif seperti itu akan dapat melahirkan
kepribadian yang berbeda pula, yaitu antara yuris yang umumnya gampang tampil
dalam sosok kepribadian seorang eksponen yang senditif, dan ilmuwan sosial yang
umumnya gampang tampil dalam sosok kepribadian seorang narrator atau analis
tulen akan berkecenderung mempercayai dan mengukuhi model-model perilaku
tertentu, dan denngan semangat universalisme yang cukup tinggi mau memaksa ke
dunia kehidupan sehari-hari agar selalu paruh mengikuti imperati model-model
itu. Sementara itu seorang analis sosial yang tulen akan cederung mempersepsi
pola-pola perilaku dalam kehidupan sehari-hari sebagai variable-variabel
histories yang sifatnya partikularistid, dan oleh karena itu harus dipandang
lumrah kalau sifatnya juga nisbi.
Digambarkan lebih lanjut secara
dikotomis seperti itu, tampkanya juga menunjukkan polarisasi sikap dan
pemihakan di kalangan para yuris di satu pihak dan para ilmuwan sosial di pihak
lain dalan hubungan mereka dengan para penguasa pemerintah. Para yuris yang
cederung bersetia pada model-model sentral umumnya bersedia pula dengan suka
cita dan penuh cita-cita menerima (dan malahan mungkin bersikap memihak)
hadirnya otoritas-otoritas sentral (yang otoritarian sekalipun) yang telah
menugasi diri untuk secara koersif merekayasa keterlibatan dan
ketentraman umum. Dalam konsep kelompok ini, apa yang disebut social order itu
tak lain daripada a normativepre-established order.
Sementara itu, dip pihak lain, para
ilmuwan sosial (yang sosiologi ataupun yang antropologi) tanpa engan cenderung
menenggang keragaman gerak arus bahwa yang sering menafikan model-model yang
dipaksakan berlakunya dengan topangan kekuasaan-kekuasaan sentral yang acap
bersifat eliter dan otoritarian. Di mata analitis ilmuwan sosial itu,
lebih-lebih yang penganut pandangan teori simbolik-interaksinis, di zaman yang
ditengarai sudah masuk ke dekapan paham postomodernisme, setiap penyimpangan
dan pelangaran boleh jadi malahan tampak sebagai ulah-ulah improvisasi yang tak
cuma kreatif dan spontan (yang tentulah akan melahirkan perubahan dan pembaruan
yang unik dan menarik), akan tetapi juga amat efektif demi survival pada
peringkat lokal. Maka, kalau para yuris klasik cederung untuk berpandangan
bahwa pelaku-pelaku dalam struktur-struktur supra pemerintah yang harus
ditegakkan, maka para ilmuwan sosial – lebih-lebih yang secara progresif
mengikuti pemikiran-pemikiran kontemporer – amat gampang untuk bercederung
memilih posisinya sebagai pengembira terjadinya perkembangan-perkembangan
struktur-struktur infra dalam masyarakat dan komunitas-komunitas.
Perbedaan Asal Usul
Tradisi pendidikan hukum untuk
penegakan hukum (di) Indonesia berakar pada tradisi penyelenggaraan tata hukum
dan pendidikan hukum Negeri Belanda, yang pada gilirannya berakar pada system
hukum yang terbilang kerabat hukum Romano – Germanic (yang sudah pada
abad 18 menjadi hukum legislative – positi berformat nasional). Para bestuursambtenaaren
dan rechtsambtenaaren colonial yang akan dikirim ke Indonesia
(dahulu: Tanah Hindia atau Hindia Belanda), sekalipun sebelum dinyatakan lulus grootambtenaar
examen, harus sudah pernah belajar sampai khatam dalam mata ajaran-ajaran
non-hukum (seperti bahasa daerah, budaya serta adat-istiadat pribumi,
pranata-pranata Islam, dan sebagainya), pada dasarnya mereka itu harus lebih
banyak mempelajari hukum positif sebagaimana telah ditulis secara rapi dalam
kitab-kita (law askriptif it is written in the books),. Hukum – beserta
konsep-konsepnya – yang dipelajari ini sekali-kali bukanlah hukum Islam atau
hukum tradisi masyarakat Timur melainkan yang Romano – Germanic
sebagaimana telah diseuh dengan ide-ide liberal Revolusi Prancis abad 18).
Ketika sebagian dari program pendidikan
hukum mulai diselenggarakan di Indonesia untuk menciptakan sebarisan Inlandsche
Rechtskundingen (yang diperlukan guna mengawaki peradilan landraad),
gravitasi pendidikan hukum pun tak ayal lagi masihlah tetap saja berorientasi
ke hukum abad dan system hukum Barat yang bertegak untuk menegakkan kekuasan
colonial di bumi Timur. Bisa dimengerti (sine ira et studio) bahwasanya
tradisi berpikir dan pelaksanaan praktik dalam hukum di Indonesia ini adalah
tradisi colonial yang otoritarian dan sentralistis, dengan berbagai metode
berpikir yang deduktif – matematis yang lugas, bertolak tanpa ayal barang
sedikitpun dari norma-norma yang diperlukan sebagai premis mayor, yang – dasar
keabsahan formalnya maupun hakikat kebenaran subtanstifnya-sudah tak boleh
dipertahankan lagi.
Bagaimana dengan perkembangan ilmu-ilmu
sosial? Ilmu-ilmu sosial berkembangan juga sejak zaman pemerintahan kolonial,
namun sebagai bagaian dari upaya pengembangan saran-sarana bantu saja, yaitu
sehubungan dengan kebijakan kolonila Belanda yang mencoba menguasai tanah
jajahannya melalui cara indirect rule yang melahirkan dengan segera
suasana dualisme, dengan struktur supra yang Barat dan dengan struktur infra
yang pribumi. Ilmu-limu sosial (khususnya abtropologi-yang waktu itu juga
mencakup ilmu bahasa dan pengetahuan budaya pada umumnya-dan ekonomi
bangsa-bangsa Timur) dipakai untuk mengkaji dan memahami serta megelolah masyarakat
dan budaya pribumi, sedangkan ilmu hukun dipakai untuk menyelenggarakan
pemerinthan kolonila yang Eropa-sentris. Maka komitmen ilmu-ilmu sosial untuk
lebih memperhatikan kesejateraan tte civil society dari pada kepetingan the
state di negeri ini bolehlah dibilang sudah bermula sejak lama,
setidak-tidaknya sudah sejak tahun-tahun menjelang Van Vollenhoven “menemukan
hukum adat”, yaitu ketika kaum petikularis (seperti misalnya, antara lain,
Snouck Hurgronje) menentang kebijakan-kabijakan politik kolonial kaum
universalis.
Kebiasan untuk lebih menengok dan
melongok ke peristiwa-peristiwa yang berproses di ranah struktur-struktur infra
daripada berpartisipasi di ranah struktur-struktur supra ternyata terus
bersinambungan selepas berakhirnya kekuasaan colonial di Indonesia. Banyaknya
para pelajar Indonesia yang mulai banyak mengalir ke Amerika Serikat daripada
ke Negeri Belanda pada tahun-tahun 1950-an dan 1960-an, dan massalisasi
pendidikan di dalam negeri dengan diverifikasi ilmu yang ditempuh, yang tak
semata-mata dimaksudkan untuk berkidmat ke kepentingan pemerintah dan
pemerintah secara langsung, telah melanjutkan kecederungan seperti itu.
Ilmu-ilmu sosial yang pada masa colonial cuma dikaji dan dipelajari dalam
kedudukannya sebagai bagain saja dari kemahiran yang disyarakatkan untuk
menempuh groot-ambtenaar examen, dan tidak sebagai bagaian yang integral
dan dominant di dalam ilmu hukum, kini telah memperoleh status dan peranannya
sendiri yang otonom serta bermakna. Dan taatkala ilmu-ilmu sosial ini (entah
teorinya entah metodenya) juga didayagumakan untuk mengidentifikasi dan
memecahkan permasalahan hukum dan keterlibatan sosial, maka berbagai cabang
ilmu ini mempelajari hukum sebagai law askriptif it is in society.
Mengaburnnya Batas
Perkembangan selepas saat lahirnya Orde
Baru, yaitu ketika seluruh usaha nasional dikonsentrasikan untuk membangun
ekonomi Indonesia dengan tolak keberhasilan yang dapat diukur dengan melihat
indicator empiris yang disebut GNP dan/atau Indeks Gini, langkah-langkah untuk
merekayasa masyarakat tak lagi hendak didomisasi oleh imperative –
imperative ideologis atau yang serba formal yuridis. Pertimbangan dan
perhitungan yang harus mendasarkan diri pada hukum dan sebab-akibat, tidak
hanya dalam soal mengeantisipasi perilaku ekonomi dan politik akan tetapi juga
dalam soal mengantisipasi perilaku sosial dan budaya, kini banyak menyerukan ke
depan.
Dalam suasanan pemikiran professional
dan intelektual seperti itu, kecenderungan berpikir para yuris untuk tidak lagi
menyemmpitkan wawasan ke gaya yang serba formal-legistis tercatat mulai nyata
dan membesar. Dunia kerja para yuris (yang pada masa itu mulai lebih dikenal
sebagai sarjana hukum daripada Meester in de Rechten, suatu pergantian s
ebutan yang mestinya tak Cuma bermakna nominal), pun tak lagi dibatasi pada
dunia kehukuman aplikatif dan kehakiman saja. Kenyataan-kenyataan ini telah
mengharuskan para yuris – kalau toh tak harus belajar di
fakultas-fakultas – mencoba mencari tambahan wawasan dan kajian di luar kampus,
yaitu semasa mereka telah harus bergelut dengan masalah-masalah praktis di
tengah masyarakat (yang pada era republik ini telah menjadi kian kompleks,
dengan perkembangan-perkembangan yang tak selamanya mudah diduga).
Perkembnagan demikian menjadi lumrah,
tatkla hukum tidak lagi merupakan ilmu dan kiat seni kehakiman yang berpusar di
seputar persoalan litigasi semata. Tatkala hukum telah pula berkembang menjadi
ilmu dan kiat kemahiran membela hak-hak warga masyarakat sipil, tidak saja dalam
perkara-perkara pidana di sidang-sidang pengadilan akan tetapi juga sebagai
bagian dari upaya-upaya bantuan yang ruang lingkupnya menjejas permasalahan
structural di luar proses-proses litigasi? Tatkala hukum juga mulai amat jelas
terlibat sebagai bagian dari bargaining power yang dinamis, namun di
lain pihak juga telah kian nyata terlihat – tidak cuma di ruang-ruang sidang
parlemen akan tetapi juga lama sebelumnya di lading-ladang dan tanah lapang –
sebagai bagain dari ekspresi kolektif warga bangsa dalam soal keadilan. Tatkala
hukum mulai dibaca dengan dalih bahwa hukum selama ini cuma merefleksikan
ide-ide dan kepentingan para elite di kota-kota yang maunya cuma memaksakan
rekayasa, dan bukannya nurani dan kearifan massa ramai di desa-desa?
Dari sinilah mulai lahir perhatian
orang untuk melihat hukum tidak cuma sebagai permainan juridisch denden akan
tetapi juga sebagai kekuatan riil yang berproses kearah tertatanya kehidupan
yang lebih demokrasi dan adil. Konsep law askriptif what it is the books
secara berangsur mulai dilengkapi dan diimbuhi dengan konsep komplementernya law
askriptif whaht it iis functioning in society. Kajian-kajian ilmu hukum –
sekalipun di kampus-kampus dan di kurikulum fakultas-fakultas hukum hingga kini
masih terkesan memberatkan aspek-aspeknya yang klinis – dalam praktik mulai
banyak juga mengungkap matra-matranya yang struktural, institusional dan
bahkan akhir-akhir ini juga behavioral (yang mengkonsep hukum sebagai law is
it is embedded in human mind, and manifested in their actions and
interactions).
Untuk memahami lebih jauh liku-liku
permasalahan hukum yang bermanifestasi sebagai peristiwa sosial atau perilaku
interaktif antar-warga masyarakat ini para pengkaji mau tak mau harus mulai mau
bersikap untuk mendayagunakan teori-teori sosial, dengan berbagai varisi
paradigmatisnya, mulai dari teori struktur Durkhemian yang makro dan klasik
sampai ke teori aklsi dan interaksi simbolis yang mikro, terus ke teori
struktur Giddensian yang mutakhir. Adapun metode kajian/penelitian yang hendak
dipakai tentu aja juga bukan lagi metode normatif (atau yang tepatnya
seyogianya dinamakan metode doctrinal) yang dikembangkan untuk kajian-kajian reine
Rechtslehre yang klasik itu, yang sesungguhnnya juga amat berpengaruh di
dalam dunia pemikiran serta penelitian hukum adat.
Apabila hukum juga sudah dikonsepkan
sebagai institusi alias gejala sosial yang empiris, atau sebagai makana-makna
simbolis yang termanifestasi tidak di kitab-kita undang-undang atau
berkas-berkas keputusan hakim melainkan di dalam tindakan/aksi interaksi warga
masyarakat dalam kehidupam mereka sehari-hari, maka tak terelakkan lagi metode
penelitian sosial yang empiris-kualitatif atau simbolis-kualitatif itulah yang
akan dipakai. Dalam hubungan ini, kajian-kajian dan penelitian-penelitian hukum
rakyat pun tak akan lagi berlanngsung menuruti metode klasik yang dikembangkan
ter Haar dan murid-muridnya (bertolak dari beslissingsleer yang
diintroduksi Logemann), atau apalagi yang dipakai oleh Djajadiningrat yang terbukti
amat normative dan bersetia pada cara berkonsepsi kaum yuris-potivis. Alih-alih
begitu, kajian-kajian dan penelitia-penelitian hukum rakyat akan lebih
dilakukan bersarana metode-metode antropologi yang mutakhir. Apabila hukum
rakayat (yang dulu lebih popular disebut “hukum adat”) telah mulai banyak
dikonsepkan sebagai produk (inter)-aksi(-inter)-aksi sosial – yang sarat dengan
makna-makna yang berasal dari dunia simbolis para pelaku sosial
(bukan dari dunia simbolis para penguasa pembuat undang-undang atau refleksi
kebijakan para elit politik atau para elite kehakiman, naik yang berkedudukan
sebagai aparat pusat yang formal maupun yang berstatus sebagai elite lokal yang
formal)-maka tak ayal lagi metode penelitian yang refleksi dan
interpretative-kualitatif-lah (yang tak cuma untuk mencoba pengobservasi apa
yang tengah diperlakukan melainkan untuk memahami apa sesunggunya yang tengah
digagas dan menjadi sumber-sumber motif menentukan keputusan), yang akan banyak
dipakai.
Keniscayaan Saling Menyapa dan Transaksi
Gambaran adanya polarisasi wawasan,
cara kerja, dan sikap pemihakan yang berbeda antara para yuris/sarjana hukum
dan para ilmuwan sosial dari berbagai aliran paham kini-di banyak kegiatan
profesi-telah kian mengabur. Banyak yuris telah menerima kenyataan dan lebih
lanjut lagi bahkan juga telah mengakui-bahwa mempelajari hukum sebagai dari
logika, tanpa mengkaji relevansinya dengan dunia pengalaman, baik pengalaman
kehidupan yang makro maupun yang mikro, adalah suatu aktivitas yang (ditangah-tangah
era pembangunan yang penih perubahan dan pergolakan sosial dewasa ini) akan
merupakan kagiatan yang amat steril. Adagium pada awal abad (berasal dari
lingkungan common law lewat ucapan Holmes) bahwa the life of law is
not logic, but experience menjadi terpopulerkan, sekalipun bersamaan dengan
tu adagium law is a tool of social engineering yang terkesan
kontradiktif (lewat ucapan Pound) ikut dipopulerkan juga. Studi-studi law
and society, sosiologi hukum, antropologi hukum, law and behavior, metode
penelitian hukum (tidak hanya yang doctrinal, maupun yang kualitatif), mulai
memperoleh perhatian, sekalipun dalam porsi yang masih terbatas, dan yang
sayangnya akhir-akhir ini malah agak tergusur dan terabaikan dari kurikulum di
banyak fakultas hukum. Topic-topik socio-legal justru telah banyak pula
dipilih, tidak hanya untuk dan di dalam skripsi-skripsi para mahasiswa para
mahasiswa fakultas hukum, melainkan sudah mulai marak dalam berbagai diskusi,
seminar, dan berbagai polemik di luar kampus.
Maka bolehlah diduga bahwa pendekatan
atau ancangan sosial dalam ilmu hukum, yang akan mengubah kajian hukum (dalam
arti ajaran hukum alias Rechtslehre) menjadi bagain integral ilmu-ilmu
sosial, untuk sementara ini masih dipandang terlalu berlebihan. Upaya untuk
mempertahankan ilmu hukum dalam karalternnya sebagai Rechtslehre, sekalipun
tak lagi mesti Rein, masih inngat kuat bertahan karena bagaimanapun juga
menurut paham ini, ilmu hukum masihlah harus dipertahankan sebagai kiat
kemahiran profesi kehukuman dan kehakiman, dan tidak terdeprofesionalisasi
menjadi bagain dari massa awam di lapangan, di luar tembok-tembok pengadilan
dan/atau di luar kantor-kantor pengacara. Namun, mengabaikan sama sekali
hasil-hasil penelitian sosial dan kajian-kajian ilmu sosial (khususnnya
sosiologi dan antropologi hukum) sebagai masukan untuk membuat Illegal Judgements
yang lebih realities dan menjamin rechtsdoelmatigheid-nya (sekalipun
mungkin akan sedikit mengganggu rechtszekerheid-nya), adalah juga kurang
bijaksana.
Pendekatan untuk saling menyapa dan
bertransaksi antara ilmu hukum dan ilmu sosial terjadi di sana sini, dari waktu
ke waktu dan dalam wujud lintasan-lintasan dua arah. Para sarjana dan praktisi
hukum telah banyak dipaksa dan terpaksa menimbah fakta-fakta temuan yang
berketerandalan tinggi dari berbagai upaya penelitian sosila untuk membuat legal
judgements yang lebih relaitis, tidak hanya dalam proses-proses penciptaan
hukum in abstracto akan tetapi juga dalam prose-proses penemuan (atau
bahkan juga penciptaan?) hukum in concerto. Sementara itu, pihak
upaya-upaya agar hasil-hasil temuan penelitian sosial, yang bermakna untuk
menata dan meningkatkan taraf kesejateraan masyarakat, dapat mencapai dan
diperhatikan para pengambil keputusan. Sehingga temuan-temuan yang baik itu
tidak hanya terhenti dalam wujudnya sebagai fakta sementara, akan tetapi juga
ikut terproses menjadi sejumlah judgements yang tak hanya sah menurut
hukunya akan tetapi juga jujur menurut kriteria moral sosilanya, untuk
mempengaruhi perilaku dan pola perilaku sosial.
Penutup: Menuju Integrasi?
Simpulkan yang dapat ditarik dari
seluruh uraian di muka ialah, bahwa ilmu hukum tidaklah akan mungkin
menggunakan ancangan, perspektif, atau cara pendekatan yang ditradisikan dalam
ilmu-ilmu sosial secara lengkap dan konsekeun, kecuali apabila ilmu hukum itu
siap ditransformasikan menjadi suatu cabang ilmu sosial (dengan variable hukum
sebagai objek khususnya). Atau, kalau tidak demikian, ilmu hukum tetap saja
ditampilkan dalan kepribadiannya yang semula jadi sebagai jurisprudence
atau Rechtslehre, namun dengan kesedian untuk menanggalkan tekad dan
komitmennya yang sudah ketinggalan zaman sebagai ajaran hukum yang murni, agar
dengan begitu bisa mulai berubah wujud dan berkepribadian sebagai apa yang
diintroduksikan oleh Pound dengan nama sociological jurisprudence
jurispridenc.
Di tengah-tengah situasi krisis yang
menuntut kesediaan beradaptasi, ilmu hukum dewasa ini-harus bersedia
mengembangkan tata hukum yang menjadi objek norma yang tak lagi berwatak
positif yang sempit, dan melainkan suatu sebgai s istem perkaidahan yang
tertutup, melinkan suatu system yang terbuka. Sebagai system terbuka, hukum
akan mudah bertransaksi dengan lingkungan sosial (yang menjadi objek kajian
ilmu-ilmu s osil), dalam ihkwal meng-input-kan fakta sosial,
memprosesnya di dalam system sebagai throughputs yang secara sosial
relevan, untuk sebgai kemudian meng-output-kan kembali ke tengah
masyarakat sebagai suatu socio-legal judgements yang benar-benar fungsional.
Pertanyaan apakah dimasa mendatang ilmu
hukum akan berkembang menjadi ilmu/sain sosial, ataukah “hanya” berkembang
sejauh capaiannya sebagai sociological, haruslah dijawab oleh para
turidis itu sendiri. Namun perlu dicatat dan diingatkan terlebih dahulu, bahwa
yang dimaksudkan dengan “para turis” disini bukanlah hanya mereka yang
berkhidmat di kampus-kampus fakultas hukum dan di semua jurusannya yang klasik
tapi juga mereka yang berkhidmat di profesi-profesi praktis, yang di dalam
menghadapi masalah-masalah hukum tidak hanya harus mendayagunakan logika
berfikirnya yang formal-deduktif. Menghadapi masalah-masalah hukum yang riil
dan beraspek sosio – cultural, kemahiran metodologis untuk melakukan observasi
berikut analisis-analisisnya – entah yang kuantitatif entah pula yang
kualitatif – mesti pula benar-benar taat kepada silogisme induksi.
Komentar
Posting Komentar