Filsafat Hukum
Filsafat Hukum
Oleh : Prof. Frans Limahelu
Uniar Surabaya
Uniar Surabaya
1 Studi hukum
merupakan studi penuh tantangan dengan mengejar dan berusaha menerapkan cita
hukum. Awal studi hukum dimulai dengan mempelajari kenyataaan atau peristiwa, dalam alam semesta, kehidupan
mahluk, termasuk kehidupan dalam dirinya sendiri, disertai dengan
perubahan-perubahannya untuk mencari dan menemukan kebenaran melalui
pancaindera.
2. Gaya perenungan tentang kebenaran dari kenyataan
berlangsung dengan bebas tanpa dihalangi oleh kepentingan, kekuasaan, pantangan,
sakral dan dengan maksud tersembunyi. Kenyataan menjadi awal olahpikir
dalam upaya menemukan:
(a) suatu keutuhan kebenaran sebagai essensi;
(b) suatu
acuan yang berusaha melambangkan eksistensi;
(c)
kebudayaan suatu masyarakat atau
bangsa merupakan gejala alam
dengan
kehidupannya.
Pada tatap
muka semester ini tiga hal tersebut menjadi pembahasan lebih lanjut mengenai hakekat filsafat hukum.
3. Dalam
upaya menjadikan suatu keutuhan kenyataan sebagai essensi, maka seluruh
olahpikir lepas dan bebas dari keinginan akan kekuasaan, akan kemenangan,
kemuliaan atau kepiawaian manusia; meskipun demikian olahpikir tidak dengan
tujuan seenak hati, sembarangan, dan
arbitrer, tetapi dengan disiplin pikiran dan ikatan lahir batin yang
ketat. Filsafat menciptakan berpikir secara teoritis dengan pengetahuan yang
tersusun dengan tertib supaya menemukan keutuhan kebenaran sehingga terwujud
pada sikap manusia.
4. Sudah
diketahui bahwa dengan olahpikir dengan disiplin berpikir yang ketat
menimbulkan aliran-aliran berpikir filsafat yang masing-masing mencari keutuhan
kebenaran agar menjadi acuan atau tuntunan untuk kehendak dan sikap manusia.
Olahpikir mengarah pada suatu pendapat umum dunia, dan memberikan anjuran,
menyusun daftar tentang yang berharga dan tidak berharga dalam hidup supaya
membentuk kehendak dan sikap manusia supaya terlindungi dari dan oleh pendapat
dunia. Lain halnya, apabila filsafat yang mengungkapkan dan menciptakan pendapat umum dunia atau opini publik bukanlah
filsafat, tetapi hanya olahpikir logis atau sosiologis.
.
5. Dalam kehidupan
manusia dengan peradabannya, berkembang dari suatu
masyarakat kemudian terbentuk
bangsa atau negara, sehingga hal ini dapat dikatakan sebagai gejala
dalam kehidupan manusia , maka filsafat menjadi sumber pemikiran, sehingga
pengembangan filsafat, kemanusiaan mendapat tempat lebih banyak pemikiran dan
penulis buku, bila dibandingkan pemikiran awal filsafat. Disamping itu
pengembangan filsafat memberikan pengaruh negative dalam keutuhan kehidupan
manusia pada dunia dewasa ini, sehingga sudut pandang banyak diuraikan hanya
pada essensi atau eksistensi. Tidak mengherankan timbul banyak aliran olahpikir
filsafat, karena sasaran uraiannya menjadi serpihan dari filsafat dan pada saat
yang sama pembaca diharapkan menyusun serpihan olahpikir menjadi suatu keutuhan
berpikir. Pada akhir abad XX kemajuan tehnologi merupakan gejala yang mutakhir
dalam peradaban manusia, karena perubahan yang terjadi pada bagian dunia
manapun akan menjadi gejolak dunia dan mempengaruhi pembahasan perenungan
hakekat filsafat hukum.
.
6.
Pembahasan
mengenai hukum yang hendak mencari dan menemukan keutuhan kebenaran dari
kenyataan merupakan hakekat olahpikir manusia. Pembahasan essensi, eksistensi
dan gejala dari keutuhan kebenaran dari kenyataan menimbulkan banyak aliran
olahpikir filsafat yang mempengaruhi olahpikir filsafat hukum. Pada awalnya
tiga unsur hakekat yaitu essensi, eksistensi dan gejala menjadi suatu keutuhan
berpikir, akan tetapi dalam pengembangan olahpikir menjadi bagian-bagian lepas
satu sama lain dan bisa terjadi menjadi unsur penentu olahpikir tertentu supaya
membenarkan pembentukan/mempertahankan kekuasaan atau menggunakan kekerasan
dalam kehidupan masyarakat atau Negara tertentu. Hal ini terbaca dari sejarah
peradaban manusia mulai zaman Yunani sampai perang antara Israel dengan Palestina, antara
suku di Afrika, juga perang logika dan sosiologi tentang terorisme, distribusi
kekayaan Negara, pemerintahan Negara berkembang/Negara blok komunis dan world
climate change.
.
7. Terbentuknya
aliran olahpikir filsafat dan filsafat hukum karena pembahasan :
(1) essensi tentang jumlah, yang berwujud
monistis (tunggal) atau yang
berwujud
pluralistis (jamak);
(2) eksistensi
berupa keadaan tetap, atau kejadian yang berubah karena (a. terjadi suatu proses, misal sebab-akibat,
atau, b. suatu tujuan);
(3) dan gejala,
menguraikan bagaimana manusia mengetahui
sumber pengetahuan: a. manusia berpikir,
b. pengalaman, c. transendental berasal dari luar manusia).
8. Olahpikir filsafat hukum dengan dilandaskan
pada essensi, eksistensi dan gejala, perlu disusun keterkaitan satu sama lain supaya memudahkan alur
diskusi/diskursus dan juga menjadi awal dari timbulnya berbagai aliran olahpikir
filsafat hukum. Pilihan antara essensi hukum yang tunggal ataukah jamak dengan eksistensi keadaan tetap yang berlangsung
dalam suatu proses pemikiran, sedangkan proses dilandasi pada tujuan ataukah dilandasi
sebab - akibat. Pilihan tersebut apakah timbul atau ditentukan faktor gejala untuk
mengetahui sumber pengetahuan diawali/dikarenakan berpikir atau pengalaman atau
transendental ? Dengan kata lain,
filsafat hukum nampak dan terwujud dalam
kehidupan suatu masyarakat dan negara, supaya memahami perbedaan hukum dari
negara satu sama lain sebagai kenyataan dalam kehidupan sehari-hari dan
juga memahami seleksi atau perjoangan menjadi pimpinan masyarakat dan
negara .
9. Ini
berarti filsafat hukum membentuk karekter
dan sikap manusia pada umumnya tanpa memilih jabatan/status sosial sebagai
usaha meningkatkan taraf hidup, kematangan bersikap dan kebersamaan, dan bila
belum terbentuk akan menimbulkan pertanyaan bagaimanakah landasan kehidupan
masayrakat dan negara merupakan suatu masalah hakekat ataukah hanya satu unsur
dari hakekat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari; ataukah hanya untuk
mengejar pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehari-hari, dengan kata lain bukan
masalah filsafat hukum akan tetapi kembali pada asal mula manusia sebagai
mahluk alam seperti kehidupan manusia purba. Pembahasan hakekat pada filsafat hukum sebagai keutuhan olahpikir.
10. Tiga
unsur hakekat semuanya terkait satu sama lain dan tidak ada faktor penentu atau
titik awal, sehingga dapat mengarah pada :
(a) Kemungkinan pertama,
(i) essensi adalah tunggal yang memikirkannya sebagai kuantitas dari
hakekat terhadap kenyataan, dan (ii)
sifat/kualitas yaitu keadaan tetap yang merupakan eksistensi, (iii) serta
transendental yang merupakan cara mengetahui sumber pengetahuan dari metafisika;
(b) Kemungkinan kedua bahwa (I) essensi adalah jamak
yaitu yang memikirkan kuantitas, (ii) kejadian adalah sifat/kualitas sebagai
eksistensi (iii) cara mengetahui sumber pengetahuan dari pengalaman atau tujuan
atau sebab - akibat.
11. Kemungkinan pertama, pendekatan
filsafat hukum mengenai essensi hukum adalah tunggal oleh karena itu
eksistensinya tetap dari dahulu sampai kapanpun, mengapa demikian, sebab
berdasarkan gejala transendental yaitu ”given”. Kalau dikatakan dengan cara
demikian merupakan dalil, bahwa ”hukum dari dahulu sampai kapanpun adalah hukum
atau apapun keadaan masyarakat hukum adalah hukum”. Kalimat demikian itu
berusaha melingkupi idea of law, concept of law dan purpose of law, akan tetapi
istilah hukum masih memerlukan penguraian lebih lanjut.
Pilihan
pertanyaan tentang hukum dapat berupa (a) bagaimanakah menguraikan hukum ? dan
(b) apakah hukum itu menurut filsafat hukum ?
Dua pertanyaan itu tidak dapat dipisahkan, karena penguraian hukum dari dahulu sampai sekarang dicarikan dan ditemukan dari
janji yang dituangkan pada perjanjian, peraturan dan penyelesaian
sengketa.
Pemikiran
lanjutan yang timbul: bagaimana dan
mengapa hukum dipilah menjadi demikian itu,
karena kalau demikian maka tidak
cocok dengan pernyataan bahwa ”hukum itu tunggal, tidak berubah dan given”. Pasti pemilahan
hukum terjadi karena olahpikir tentang kenyataan untuk memperoleh kebenaran,
ini berarti bahwa hukum merupakan suatu aturan
mengenai sikap manusia dalam masyarakatnya, sehingga aturan yang
bagaimanakah dan apakah aturan mengenai sikap tersebut nampak sebagai kebenaran dari kenyataan. Pemilahan hukum kedalam bidang
perjanjian, peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan diperlukan
praktek menjadi bagian dari ilmu hukum.
Dengan demikian JANJI merupakan hakekat perenungan filsafat hukum, akan
tetapi tidak membahas penerapan janji
dalam praktek, karena menjadi bidang dari ilmu hukum.
12. Hukum yang merupakan aturan mengenai sikap manusia
dalam masyarakat, tanpa memperhatikan
pengalaman manusia dan masyarakat dimanapun dan kapanpun, menjadi hakekat
dan menelingkupi semua yang berada dalam lingkungan masyarakat tersebut,
sehingga aturan tersebut menjadi titik awal dari kehidupan manusia dan
masyarakat. Ini merupakan sesuatu given yang memerlukan penguraian rinci, bahwa
hampir dalam kehidupan setiap manusia berlangsung dengan janji yang mengikat pribadinya dan,atau mengikat dengan
orang lain, sehingga janjinya mau tidak mau dilaksanakan dengan segala risiko,
dan menjadi fundamental dari hidup manusia. Inilah merupakan KEBENARAN dari hakekat terhadap
kenyataan. Kebenaran menjadi nyata bila pendekatan olahpikir dari unsur proses,
janji merupakan awal dari timbulnya
aturan untuk pribadinya, dan masuk dalam kehidupan bermasyarakat, maka
janji menjadi sokoguru. Apabila janji dimulai pada diri pribadi seseorang dan
menjadi suatu aturan bagi dirinya sendiri dan karena berlaku untuk diri sendiri
merupakan moralitas atau hukum moral.
13. Bagaimanakah
janji sebagai moral pribadi masuk dalam pergaulan masyarakat ? Hal ini merupakan
awal dari peradaban manusia, karena peradaban memberikan nuansa baru bagi
kelanjutan hidup manusia dan masyarakatnya atau moral masyarakat, akan tetapi peradaban bukan suatu aturan hukum
melainkan sesuatu menjadi ukuran
kelanjutan hidup manusia dalam masyarakat. Apakah peradaban dikenal pada
zaman aufklarung di negara Eropa sama seperti yang terjadi pada waktu
masyarakat Asia menjadi sebuah negara? Secara hakekat, aufklarung tidak dapat
dibantah dan catatan yang menjadi perhatian bahwa kejadian aufklarung
disebabkan terjadi perubahan pada olahpikir dari Socrates dan Aquino menjadi manusia sumber pemikir, manusia
pengubah dunia menurut Hugo de Groot, Rousseau dan Descartes. Pemikir yang mengubah suatu bangsa dan masyarakat mereka, sehingga
mengarah pada terbentuk negara mereka antara lain, oleh pemikir John Locke dan
Montesqieu. Pemikir – pemikir itu melambungkan (i) manusia sebagai seorang
pribadi atau (ii) manusia sebagai individu dan masyarakat memerlukan manusia yang
diawali dengan aturan pribadi. Aturan pribadi yaitu janji yang mengikat
pemikiran dan tingkah laku mereka merupakan aturan moral yang berlaku pada diri
sendiri.
14. Bagaimanakah
janji menjadi hakekat pada kehidupan
manusia pribadi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat? Pergaulan antar
pribadi dengan aturan masing-masing dengan landasan aturan moral pribadi dapat
menggalang menjadi suatu aturan adat atau kebiasaan, atau dapat juga tidak
menjadi aturan adat atau kebiasaan. Benturan atau pilihan mengenai aturan adat
atau tidak mengarah pada terbentuknya peradaban manusia seperti yang dicetuskan
oleh Rousseau, Montesqieu dan Grotius. Peradaban manusia menjadi bertambah
kokoh dengan mengunggulkan manusia pribadi sebagai sokoguru dan bukan lagi aturan janji sebagai aturan
moral. Dengan kata lain eksistensi
manusia menjadi lebih penting dan mendasar daripada essensi aturan pribadi sebagai aturan moral dan kemudian menjadi
landasan utama dari peraturan perundang-undangan dan peradilan di negara Eropa,
termasuk Inggris, dan Amerika. Pemikiran tentang janji, peradaban, aturan
moral, aturan adat dan peraturan perundang-undangan serta peradilan yang saling
terkait menjadi kebenaran dari suatu
pemikiran untuk mencari dan menemukan hukum dari kenyataan kehidupan manusia. Janji sebagai kebenaran merupakan tunggal dan
tetap yang melingkupi segala sesuatu dalam kehidupan manusia. Kemudian menjadi
nyata yang diungkapkan dengan berbagai istilah, antara lain sepakat, setuju.
15. Pertanyaan yang timbul, bagaimanakah janji
adalah keutuhan kebenaran dari kenyataan ?
16.
Pemikiran dan pembahasan mengenai concept of law paling
tidak dipilah menjadi pemikiran ilmu hukum daripada filsafat hukum, karena
dipahami sebagai (a) concept of
positive law (hukum perundang-undangan) dan juga karena concept of law secara
induktif sebagai general concept yang bermuatan bermacam fenomena; (b) pemikiran filsafat hukum merupakan
hasil olahpikir manusia yang berwujud sebagai cultural concept yaitu concept of
a reality dikaitkan dengan nilai atau value yaitu kenyataan yang menopang atau berisikan nilai.
Menurut pendapat aliran pemikir filsafat hukum ini, bahwa hukum menekankan pada
kenyataan yang bermuatan nilai dan disebut idea of law. Bagaimanakah hukum yang
bermuatan idea of law? Ada pendapat,
bahwa idea of law bermuatan (a) keadilan; kemudian,(b) kebenaran, kepastian, ketertiban; (c) keadilan tidak
terlepas dari, terkait dengan kebenaran/ kepastian/ ketertiban.
17. Keadilan
sebagai idea of law. Keadilan dapat juga sebagai titik awal bagi the just, the
good or the beautiful yang merupakan nilai absolut, sehingga sebagai nilai yang
tidak terbantahkan dan tidak dapat disimpulkan lagi dari nilai lain. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa keadilan hanya merupakan suatu bentuk dalam
perwujudan moral. Jika ini benar, maka keadilan diartikan sebagai manusia
berkualitas atau kebajikan (virtue)
seperti dikatakan Ulpian, but law issues as from its mother, as it were,
so there has been justice prior to law. Dalam hal ini keadilan mengarah pada
rasa (sense) keadilan subyektif, seperti halnya janji sebagai aturan moral
pribadi, dan sulit diartikan sebagai perasaan yang mengarah pada keadilan
obyektif seperti halnya janji yang diarahkan pada pergaulan dalam masyarakat.
Keadilan sebagai idea of law merupakan keadilan obyektif, sehingga sasaran dari
keadilan obyektif yang dievaluasi tidak sama dan berbeda dengan sasaran nilai
moral pribadi. Jadi yang dikatakan bermoral adalah kehendak manusia, perasaan
manusia dan kepribadian, karena dalam hal ini adil, sebagai keadilan obyektif,
hanya berkaitan dengan pergaulan dalam masyarakat dan relasi antar manusia,
sehingga the ideal of justice terwujud pada ideal of social order.
18. Selain
itu, ada dua macam keadilan, dikatakan adil adalah (a) penerapan atau taat
hukum, yang dikatakan keadilan oleh hakim terhadap hukum, atau keadilan dinilai
oleh hukum positif, sehingga ini bukan keadilan tetapi lebih condong disebut sebagai righteousness;
(b) hukum/undang-undang, dan pada butir ini pembahasan ditekankan pada
bagaimana keadilan menilai hukum positif, dan disebut persamaan (equality).
Sama seperti keadilan, maka persamaan mengungkapkan bermacam-macam makna: (a)
persamaan sebagai obyek akan dikaitkan dengan benda atau orang: upah dikaitkan
dengan nilai pekerjaan sebagai adil, demikian juga hukuman berlaku sama
terhadap sesama manusia. (b) persamaan sebagai standar, maka persamaan adalah mutlak atau relatif; upah diterima
sesuai dan sama dengan pekerjaan, dan hukuman terhadap siapa saja adalah
sebanding dengan kesalahan mereka. Persamaan sebagai standar telah dibahas oleh
Aristoteles, absolute quality antar
benda yaitu antara upah dengan pekerjaan, atau antara kerugian dan kompensasi
yang disebut komutatif; sedangkan relative equality dalam perlakuan terhadap
bermacam-macam orang, misal reward and punishment yang disebut distributive
equality. Lebih lanjut justice dan equity sudah menjadi pembahasan Aristoteles
dengan memberikan pemecahan bahwa equity dan justice bukan merupakan nilai
(value) yang berbeda, tetapi cara-cara yang berbeda supaya terbentuk kesatuan
nilai. Justice mengarah pada kasus individual atau khusus atau tertentu dari
sudut pandang norma umum (general norm), lain halnya dengan equity mengarah
tiap-tiap kasus individual untuk mencari hukum yang tepat untuk kasus yang
dihadapi, meskipun demikian pada akhirnya dengan mudah digolongkan menjadi
hukum yang berlaku umum.
19. Keadilan
dengan redaksi dan tekanan lain dikatakan oleh Ulpian, pemikir Romawi, bahwa
keadilan bermuatan kehendak tetap dan terus-menerus yang memberikan kepada setiap
orang yang merupakan haknya. Pendapatnya, tersirat dari pemikiran Cicero, dan
kemudian mempengaruhi banyak sarjana dan terkenal dengan istilah ”suum cuique”
(”to each his due”). Istilah tersebut berasumsikan, that two persons to
whom the same things are ”due” are entitled to equality of treatment.
Lain halnya, Herbert Spencer bahwa
keadilan bermuatan freedom, dan bukan equality, yaitu setiap orang berhak
memperoleh manfaat dari sifat alamiah dan kemampuannya. Kebebasan dan hak
demikian itu dibatasi oleh kesadaran pribadi dan menghormati terhadap tidak
merintangi tingkahlaku orang lain yang sama kebebasannya. Kebebasan pribadi
hanya dibatasi oleh persamaan ”the equal liberties freedom”.
Dengan kata lain, ”Every man is free to do that which he wills, provided
he infringes not the equal freedom of any other man”. Immanuel Kant
senada pendapatnya dengan Spenser, that liberty was the only original,
natural right belonging to each man in his capacity as a human being. Kant
melanjutkan pendapatnya bahwa hukum adalah the totality of the conditions
under which the arbitrary will of one can coexist with the arbitrary will of
another under a general law of freedom.
20 Aristoteles,
Ulpian, Spencer dan Kant mendewakan
aturan atau moral pribadi yang juga menjadi landasan dari equality of
treatment dan general law of freedom. Tidak demikian dengan pemikir Amerika
Serikat memikirkan keadilan dalam pergaulan masyarakat, bahwa justice
consists in the enforcement by society of an artificial equality
in social conditions which are naturally unequal. Every individual,
regardless of sex, race, nationality, class, and social origin, was to be given
a full chance to make good in life and lead a worthwhile existence.Ward
menguraikan berkeyakinan bahwa that intelligence was unrelated to class
origin, an intelligent or well-informed class and an ignorant or uninformed
class. Sorley, pemikir Scotlandia, bukan membahas social origin, akan
tetapi berpendapat bahwa kebebasan dengan persamaan bagaikan dua majikan yang
berbeda dengan tujuan dan perlakuan berbeda pula dalam ketertiban pergaulan
masyarakat. A social system fixing upon freedom as the sole or almost exclusive
principle of governmental policy may produce wide differences of condition
between rich and poor, employers and employed, educated and uneducated (the
ideal of positive freedom). Sorley menguraikan persyaratan prinsipiil pada penerapan pemikirannya : (1) the development and direction of
human mental and physical powers by education; (2) such access to the materials
and instruments of production as would give suitable employment to people; (3)
the establishment of physical and social surroundings which will aid, not
hamper, individual develpoment.
20. Ketertiban/kepastian
sebagai idea of law. Pertanyaan awal tentang butir ini : apakah
ketertiban/kepastian merupakan suatu given ? Dengan mengkaitkan dengan
kemungkinan pertama pada butir 12, maka sudah terjawab yaitu given, apalagi
alam raya merefleksikan ketertiban dan kepastian sebagai suatu given. Kalau
tidak demikian, maka alam raya menjadi chaos dan kemudian punah. Apakah
manusia sama seperti alam? Esensi dan
eksistensi manusia sama seperti alam raya, bahwa ketertiban dan kepastian
adalah given, tetapi berbeda dari gejala. Dalam hal ini, gejala, memerlukan
penguraian yang rinci, bukan dalam arti sifat alamiah, tetapi mengenai
keteraturan yang melanjut atau tidak pada kesinambungan, sebagai bagian dari
ketertiban/kepastian. Pada keteraturan melanjut atau tidak pada kesinambungan
merupakan simpul yang menentukan baik untuk alam raya maupun manusia. Punah
alam raya dapat dipelajari dan diduga, sedangkan suatu masyarakat, bangsa atau
negara merupakan pemikiran bagaimana keteraturan mau tidak mau melanjut pada
kesinambungan, bila tidak mau menjadi punah. Kesinambungan dari keteraturan
akan nampak pada perwujudan janji sebagai aturan moral pribadi yang menjadi
landasan pergaulan dalam masyarakat,
21.
Relasi
antara ketertiban/kepastian dengan keadilan
21.1 A legal system in order to fulfill its
function properly, must aim at the creation of order as well the realization of
justice. This will be questioned, that
no human institution can serve two masters at the same time, if they pursue
entirely different objective, and give inconsistent and incompatible orders,
and find themselves at cross-purposes almost every time they work out on a
certain course of action ; but not if they strife for the same major goals,
cooperate in the pursuit of these goals, serve for one of them does not exclude
service for the other. In a healthy legal system the values of order and
justice are not normally at a cross road, but they are locked together in
higher union.
21.2 A legal system that cannot meet the basic
demands of justice will be unable to
provide order and peace for the body politic: but justice cannot be
accomplished without an orderly system of judicial administration which will
insure the equal treatment of equal situations. It is therefore that the
maintenance of order is to some extent conditioned by the existence of a
reasonably healthy system of law, while justice needs support of order to perform some of its
essential functions.
21.3 There will be occasions when order and
justice will part company. As a general rule in the interest of legal security
and calculability of the law, the existing positive structure of the law is
deemed the basis of legal administration and adjudication. Sometime unusual
situations may occur under special
political conditions where certain shortage and
insufficient of the enacted positive law become glaring and intolerable
that a breakthrough of elementary justice must be permitted as an ultima ratio
(validity of unjust law and standards of justice). Law constitutes a social
mechanism which was risen by a certain formalized procedure; as long as the
constitutional or institutional directives for the production of valid law are
observed, law has authoritative force and must be applied and obeyed regardless
of the reasonableness of the enacted measures. Justice is not an independent
criterion to be used in determining the “rightness “ of law, but the concept of
justice tends become completely blend in the view of positiveness and formal
legality; and if the term injustice is used in a sense which suggests
disagreements with the content of a legal norm, then it is held that its only
meaning can be the expression of a subjective and irrational preference by the
person of the criticism.
21.4 The view that assigned
to order and justice positions as of equivalence in accomplishing the
objectives of law is generally accepted.
Thomas Aquinas said that justice to be annul objective of law and consequently came to the conclusion that
an unjust law lacked the attribute of law; but, Kelson regarded law absolutely
as a system of order designed certainty and regularity to human relation and
said the problem of justice entirely to nonlegal and wholly subjective domain
of personal evaluation. Certainty and security is the primary and immediate
aims of law; and justice should be
sought as a remote and ultimate end. Law was born into human life to fulfill an
inescapable urgency for security and certainty in social life..
21.5 The statement that a social system
fulfilling the requirements of order and legal certainty can be effective
without presence of a substantial elements of justice have to taken into
serious consideration, because an order which does not have a substantial
anchorage in justice will rest on an
unsafe and risky basis. So that if the feelings of fairness of a large part of
the population are outraged by a system of law intended to establish orderly
conditions of life, it will be very difficult for the public authorities to
maintain such a legal system against attempts at evasion or effect of destruction. John Dickenson
points out “We come upon the need for not merely a system of fixed general
rules, but of rules based on justice or on a regard for certain demand and
capacities of human nature. Otherwise the system would not be workable, it
would be continually violated and so fail to yield the certainty which is the
excuse for its existence”
21.6 Historical instances of the lower classes
people have frequently born poverty, disease, and substandard conditions of
life without murmur or complaint. It was written that large masses of people have sometimes
humbly accepted misery, sufferings and deprivations by virtue of religious or
beliefs that it is unavoidable and God-given necessity of the existing order of
things. Assuming this belief was
unjustified and these disfavored classes
could actually have been accorded a greater share of rights and benefits than
they were permitted to enjoy. This explains merely that the sense of injustice
contains a subjective ingredient which requires consciousness of unreasonable
discrimination as a condition of its emergence. This meant, oppressed
minorities have sometimes caused serious difficulties to their oppressors.
21.7 Order and regularity are in another and equally significant sense
essential to the accomplishment of justice. Justice requires the equal treatment
of equal or substantially similar conditions.. There might be differences of
opinion between judges as to what situations require like or similar
decision, that the recognition of a body
of binding standards of similar adjudication is too important to be
without the proper discharge of the
judicial function. It is therefor
justice and the need for certainty join hands in calling for some measure of
normativeness in law . The notion of justice does not exhaust its vitality in
the postulate of equal treatment. It also requires an individualized treatment
of situations which exhibit unique or extraordinary features and cannot be
adequately handled by the application of strict rules or by comparing the case
before the court with previously decided cases (common law system).
21.8 Aristotle pointed that justice and certainty
joints together as follows : “when therefore the law lays down a general rule,
and thereafter a case arises which is an exception to the rule, it is then
right, where the lawgiver’s pronouncement because of its absoluteness and
defective and erroneous, to correct the defect by deciding as the lawgiver
would himself decide if he were present on the occasion, and would have enacted
if he had been conscious of the case in question”. We must be conscious, that
such an establishing judicial or qualification upon a previously existing rule
of law may in many cases be no more than
the initiation of a new normative standard to be applied to all similarly
situated cases in the future. The judge finds that the classifications and
differentiation by the lex lata are too crude or too sweeping, and they should
be replaced by more refined and highly restricted generalizations. This process
can be found in English contract law, that a specific performance is granted by
the judge based on equity or conscious, because the remedy of damages could not
adequately compensate the plaintiff for the harm inflicted to him by the
defendant’s breach of contract. The
specific performance when applied in other and similar cases which the remedy
at law was inadequate and became “a
rule of equity jurisprudence”.
Such development throw a
great deal of light on the nature of law
as a vehicle of what might be called progressive differentiation,
which is an increasing adaptation of the classifications and distinctions of
the law in te boundless complexities and variations of life.
22.
Kemungkinan kedua, bahwa pendekatan dan pembahasan filsafat hukum mengenai
essensi adalah jamak, sehingga berlangsunglah perubahan pada eksistensi, karena
terjadi atau berlangsung proses,
misalnya, sebab - akibat atau terjadi perubahan dalam rangka mengarah suatu
tujuan. Perubahan yang terjadi yang mengarah pada tujuan tertentu ataukah
perubahan terjadi dengan memperhatikan proses sebab-akibat. Bagaimanapun juga
dan apa perubahannya menjadi daya tarik untuk mencari dan menemukan sumber
pengetahuan dari perubahan-perubahan tersebut. Pembahasan kemungkinan kedua ini
membuat cakrawala bertambah "subtiel" jika dibandingkan dengan kemungkinan
pertama, meskipun demikian perubahan pada kemungkinan kedua ini lebih sulit
diduga arah perubahannya berlandaskan berlangsung proses sebab - akibat, kecuali jika tujuan telah
ditentukan terlebih dahulu. Pengecualian yang dimaksud ini akan mendekatkan
pada kemungkinan pertama, karena pada kemungkinan pertama ini sudah mutlak dan
tidak dapat dibantah; sedangkan tidak demikian dengan kemungkinan kedua. Ini
disebabkan pengalaman dan daya berpikir manusia yang tidak terbatas dalam
mencari dan menemukan sumber pengetahuan.
23.Kenyataan
mengenai janji seperti pada butir-butir lalu yang menegaskan kemungkinan
pertama, bahwa janji dijamin terlaksana dan dipertahankan dan hal ini adalah
mutlak dan tidak dapat dibantah. Lagi pula jaminan supaya pencapaiannya terlaksana
dari janji dengan dilandaskan pada good faith yang merupakan mutlak dan bagi
kepentingan masyarakat janji itu tetap dan terus menerus sehingga masyarakat
menjadi stabil, agar supaya kelancaran pergaulan atau relasi hukum . Bila janji
dibahas dari kemungkinan kedua , pertanyaan awal adalah good faith tidak mutlak
dan lebih banyak dipengaruhi oleh assumsi/dalil agama, dan bila dalam pergaulan
hukum good faith bukan mutlak, tetapi pelengkap dalam tradisi pergaulan
masyarakat yang mulanya merupakan informal. Kemudian menjadi formal sebagai
tradisi yang merupakan standar dari masyarakat hukum. Lebih lanjut bahwa
pelaksanaan janji mengenai apa dan atau terhadap apa, bagaimana cara
pelaksana?. Sampai tahap ini merupakan pertanyaan berkisar pada olahpikir dan
tidak mengarah pada implementasi atau perumusan pasal atau pembentukan
peraturan perundang-undangan, melainkan terlaksananya janji terhadap manusia
dan barang/benda.
24.
Manusia pribadi adalah bagian dari masyarakat, karena setiap manusia pribadi
berinteraksi dan bergaul dengan sesama manusia pribadi serta lingkungan
hidupnya, meskipun janjinya merupakan ikatan pada pribadinya dan tingkah
lakunya. Ikatan demikian itu terlihat pada kegiatan sehari-harinya dan bermuara
pada kepemilikan. Dengan kata lain, janji, kegiatan dan pemilikan merupakan
proses dari diri pribadi. Proses berlangsung karena ada kehendak yang merupakan
essensi dari diri pribadi, sehingga proses dan kehendak tidak terpisah dan saling terkait yang mengarah
pada kenyataan yaitu materi yang berupa pemilikan. Ini berarti bahwa janji,
tingkah laku dan kegiatan berawal dari kehendak pribadi dan bermuara pada
kenyataan dari janji yaitu pemilikan yang berupa kebendaan.
25
Kelanjutan olahpikir mengenai kenyataan pada tahap ini, bahwa kenyataan dari
janji itu bersegi dua atau dipilah
menjadi kuantitas dan sifat. (a) Janji mempunyai segi kuantitas, karena janji
tidak berhenti pada ucapan atau oral, tetapi akan berbentuk kebendaan dari diri pribadi. Jadi ada 2 (dua) unsur
pada kuantitas yaitu janji dan kebendaan, meskipun bersegi dua, tetapi janji
adalah tetap tunggal yang adalah pokok, lain halnya dengan kebendaan yang
berupa jamak, akan tetapi juga pokok meskipun jamak. (b) Bagaimana sifat
kenyataan dari janji yang dapat berupa keadaan dan kejadian! Kenyataan bukan
hanya diketahui dari atau melalui pancaindra, tetapi juga diketahui melalui
keadaan dan dapat berwujud zat, atau tidak berwujud. Keadaan yang dimaksudkan
ini lebih mudah diketahui bila membahas keadaan alam, misalnya udara atau air,
daripada keadaan manusia, misalnya kehendak atau cinta dan janji. Udara atau
air dapat tidak berwujud atau berwujud, karena udara atau air di alam mereka
tidak berwujud dan menjadi berwujud bila berada dalam suatu wadah. Lain halnya
dengan keadaan manusia, manakah yang menjadi tak berwujud dan berwujud dari
kehendak, cinta dan janji. Bagian kedua dari sifat kenyataan adalah kejadian
yang dapat berlangsung dengan sendirinya secara mekanistis dan kejadian yang
dapat berlangsung karena mempunyai tujuan yang sama.
26.
Radbruch mengemukakan contract, dalam hal ini adalah janji, sebagai chose in
action dan property sebagai statis. Janji berlangsung dalam suatu proses,
istilah Radbruch yaitu dinamis, dan bila janji dipenuhi, maka berubah malah
berakhir, dan tidak demikian dengan property, pemilikan, yang adalah tetap,
istilah Radbruch adalah permanen, meskipun telah terpenuhi. Selanjutnya
dikatakan, janji dan pemilikan merupakan unsur dalam kehidupan hukum menurut
sistim hukum alam.
Janji merupakan pokok, baik dalam
kehidupan pribadi dan masyarakat maupun hukum (pribadi dan masyarakat),
sehingga janji selalu dinamis dan menimbulkan pergerakan, mulai pengucapan,
sikap sampai pada berbagai macam tindak-tanduk atau perbuatan. Pada tahapan ini
sifat janji menjadi perhatian bila sudah sampai terpenuhi menjadi
kenyataan-kejadian dan lebih dari itu menjadi kebendaan. Proses pergerakan
sudah berubah dengan membuahkan kenyataan-kejadian-kebendaan, ini mengakibatkan
terjadi perubahan dari proses pergerakan menjadi sesuatu permanen/benda. Proses
perubahan demikian dapat terjadi pada sesama orang pribadi dengan pribadi dalam
pergaulan masyarakat yang terbatas atau sering dikatakan kehidupan masyarakat
sederhana. Pergaulan masyarakat demikian ini dapat berlangsung pada masa lalu
dan juga pada pergaulan masyarakat dewasa ini, karena dinamika pergaulan dengan
hasil pergaulan tidak dibatasi oleh waktu dan tempat, melainkan pada ruang
lingkup janji dan kebendaan.
27.
Pendekatan dan pembahasan kemungkinan kedua dikatakan jamak, karena janji
mempunyai dua sisi yaitu pribadi (contracts of private law) dan masyarakat
(social contract) dengan pengaturan hukum yang sesuai pada tujuannya.
Pergeseran dan perubahan yang berlangsung menjadi uniek dengan memperhatikan tujuan yang digarap ataukah ditentukan.
Pertanyaan tentang mengapakah Radbruch dan Pound sampai pada menguraikan
teori-teori tentang kontrak merupakan suatu tantangan pemikiran filsafat hukum
? Apakah pendekatan kemungkinan pertama atau kedua yang menjadi landasan
penguraian mereka, dan apalagi titik tolak penguraian mereka dari hukum
alam.
28.
Pemilikan merupakan hasil kebendaan dari janji, dan Radbruch berpendapat bahwa
pemilikan merupakan suatu pengalaman atau kemampuan olah pikir yang ingin
mencari dan menemukan sumber dan hasil akhir dari janji. Radbruch berpikir
bahwa dengan pemilikan seorang pribadi dapat menikmati penggunaannya dan
memilah-milah penggunaan pemilikannya yang disebut dengan property rights
(macam/jenis hak). Selanjutnya dikatakan bahwa pemilikan ”is a form of thought
indispensable to the legal approach”, suatu pemahaman pemilikan merupakan
diluar jangkuan pemikiran hukum, ”ownership is an a priori legal
catagory”. Pemilikan bagaikan sesuatu
yang tak terbantahkan oleh siapapun dan terlepas dari nilai atau manfaat
ekonomi dan budaya, sehingga berbeda dengan pemikiran milik pribadi dan atau
milik masyarakat yang merupakan pemikiran hukum. Kalau mendekati dari
kemungkinan bahwa essensi adalah jamak, pendapat Radbruch ini akan sulit
dipahami, karena pemilikan merupakan tunggal dan given yaitu tidak
terbantahkan, akan tetapi pemilihannya, property rights, memberikan arah pada essensi jamak. Uraian
lebih lanjut dari Radbruch sudah mengarah pada penjelasan/penguraian ilmu
hukum.
29. Pound memilih istilah property daripada ownership
karena menekankan pada perbuatan sebagai kelanjutan dari janji untuk memperoleh
property. Pound menggunakan istilah
impresif daripada janji yaitu klaim dan tidak cukup atau sekedar janji
pribadi, akan tetapi klaim pribadi untuk kepentingannya maupun klaim terhadap
intervensi atau keikutsertaan masyarakat dan pihak lain yang mengadakan relasi
mengenai property. Klaim pribadi menjadi lebih penting dalam masyarakat maju
dan dirinci dengan klaim (a) mengawasi dan menetapkan tujuan pribadi atas
penemuan dan (b) terhadap mereka yang menghalangi pemilikan atas hasil
karyanya; (c) terhadap yang diperoleh pada relasi dengan masyarakat. Klaim yang
dikatakan pada huruf (a) dan huruf (b) menurut Pound merupakan suatu given,
karena sudah sejak zaman Romawi. Pengaruh Stoa menjelaskan huruf (c), karena
kebendaan tertentu tidak dapat dimiliki secara pribadi dan disebut sebagai res
extra commercium. Mengapa demikian, karena sifat kebendaan itu hanya
dipergunakan dan bukan untuk dimiliki secara pribadi, sehingga kebendaan demikian itu adalah untuk
kepentingan masyarakat, res communes; dan yang ketiga adalah
untuk kepentingan atau tujuan umum yang ditentukan oleh pejabat masyarakat, res
publicae.
Dengan
munculnya pejabat masyarakat (sebagai gejala) nampak ketidakjelasan mengenai
pengaturan antara hasil karya (imperium) dan pemilikan (dominium) property dari
perusahaan negara. Pound berusaha
mencari jalan 3 (tiga) keluar terhadap
gejala tersebut, dan juga pembatasan terhadap gejala penemuan dan okupasi dari
res nullius menjadi res publicae serta pembatasan kepentingan pribadi atas res
communes. Uraian dari Pound lebih lanjut dengan 6 (enam theory) memerlukan
pemahaman lebih mendalam dengan uraian dari Radbruch mengenai ownership dengan
property sebagai essensi, eksistensi dan gejala. Uraian tentang pemahaman teori
menurut Radbruch dan Pound merupakan sinonim dari filsafat hukum ataukah sudah
memasuki ranah ilmu hukum.
30. Pemikiran
Pound menekankan bahwa tujuan hukum lebih banyak merupakan pembahasan di bidang
politik daripada filsafat, meskipun demikian hal ini menjadi materi perdebatan mengenai dasar dari kekuasaan hukum mulai
pemikir Yunani. Mengapa demikian, karena pada pembentukan hukum atau menemukan
hukum diasumsikan bahwa niat merupakan suatu usaha mencari dan menemukan hukum.
Dalam usaha itu diharapkan supaya nature of law akan memetakan tujuan hukum,
sehingga dapat diketahui apakah hukum itu (pengertian hukum) dan untuk apa cita
hukum itu, oleh karena itu dapat dipahami mengapa tujuan hukum menjadi
perdebatan politik, sebab untuk mencari dan menemukan apakah hukum itu
diperlukan pada pembentukan hukum atau pembuatan undang-undang, sebab penemuan
apakah hukum itu adalah langkah awal untuk mengarah pada tujuan hukum. Kemudian
Pound menguraikan bahwa ada 12 (duabelas) pengertian hukum (apakah hukum itu)
dimulai dengan hukum Musa atau undang-undang
Hammurapi sampai pada hukum mengenai ekonomi dan peraturan undang-undang
sosial mengenai tingkahlaku manusia dalam masyarakat.
31. Sesudah
menguraikan 12 (duabelas) pengertian hukum, kemudian dicarikan persamaannya,
antara lain bahwa semua pengertian hukum menjelaskan mengenai dasar fundamental
menghadapi perubahan pemikiran terhadap kehidupan manusia; bahwa menjelaskan
mengenai menentukan titik awal yang
pasti dan absolut dari penemuan hukum atau pembuatan undang-undang. Kemudian
dari persamaan pengertian hukum, maka dijelaskan mengenai tujuan hukum yang
meliputi, bahwa eksistensi hukum adalah mempertahankan keadaan aman dan damai
dari suatu masyarakat; bahwa essensi hukum adalah menjamin hak azasi dan
perlindungan lingkungan hidup dan sumber alam. Perubahan pemikiran dari tujuan
hukum merupakan kelanjutan dari pengertian hukum, karena pada awalnya hanya
menekankan keinginan (wills) berubah menjadi pemenuhan kehendak (wants) yang
bermuatan elemen psikologi, dan menentukan kriteria pada pembuatan peraturan
perundang-undangan dan doktrin hukum.
Komentar
Posting Komentar