UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS BEBERAPA PERUBAHAN SIGNIFIKAN YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004
TENTANG JABATAN NOTARIS
BEBERAPA PERUBAHAN SIGNIFIKAN YANG TERKANDUNG
DI DALAMNYA
oleh :

Miftachul Machsun

Pengantar

Alhamdulillah, akhirnya perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang telah kita tunggu selama ini terwujud juga, sehubungan dengan telah disetujuinya Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang tersebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama dengan Presiden (Menteri yang ditugasi) pada tanggal 17 Desember 2013.
Berdasar informasi dari Sekretariat Pengurus Pusat, Rancangan Undang-Undang tersebut telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 15 Januari 2014, dan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Sekalipun terdapat beberapa hal yang kita kehendaki belum terwujud, namun cukup banyak di antaranya telah diakomodasi di dalamnya, sehingga sudah selayaknya kita bersyukur.
Dari penjelasan umum dapat kita ketahui bahwa perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dimaksudkan untuk lebih menegaskan dan memantapkan tugas, fungsi, dan kewenangan Notaris sebagai pejabat yang menjalankan pelayanan publik, sekaligus sinkronisasi dengan Undang-Undang, yang dilakukan dengan :
1. Penguatan persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Notaris, antara lain, adanya surat keterangan sehat dari Dokter dan Psikiater serta perpanjangan jangka waktu menjalani magang dari 12 (dua belas) bulan menjadi 24 (dua puluh empat) bulan;
2. Penambahan kewajiban, larangan merangkap jabatan, dan alasan pemberhentian sementara Notaris;
3. Pengenaan kewajiban kepada calon Notaris yang sedang melakukan magang;
2
4. Penyesuaian pengenaan sanksi yang diterapkan pada pasal tertentu, antara lain, berupa pernyataan bahwa akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, peringatan lisan/peringatan tertulis, atau tuntutan ganti rugi kepada Notaris;
5. Pembedaan terhadap perubahan yang terjadi pada isi Akta, baik yang bersifat mutlak maupun bersifat relatif;
6. Pembentukan Majelis Kehormatan Notaris;
7. Penguatan dan penegasan Organisasi Notaris;
8. Penegasan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam pembuatan Akta otentik; dan
9. Penguatan fungsi, wewenang, dan kedudukan Majelis Pengawas.
Dalam tulisan sederhana ini, saya coba untuk membahas beberapa pasal tertentu, yang insya Allah memuat perubahan yang cukup signifikan, antara lain meliputi :
1. Penguatan dan penegasan Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia sebagai organisasi profesi jabatan notaris yang berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum, dan merupakan satu-satunya wadah profesi Notaris yang bebas dan mandiri, yang dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Notaris;
2. Pengaturan tentang sanksi, yang semula dikelompokkan dalam Bab XI yang memuat dua pasal, yaitu pasal 84 dan pasal 85, yang sering kali membingungkan dan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, sekarang diperjelas dengan menempatkannya dalam pasal-pasal yang mengatur yang bersangkutan.
3. Perlindungan hukum bagi Notaris; dan mengenai
4. Substansi beberapa pasal tertentu yang menimbulkan perbedaan pendapat tentang makna yang terkandung di dalamnya.
3
Perubahan atas Isi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tersebut dapat dibedakan menjadi :
1. Perubahan substansi, termasuk di dalamnya menyempurnakan susunan redaksionalnya;
2. Penambahan, termasuk di dalamnya Penyisipan; dan
3. Penghapusan.
Sebagai perwujudan rasa syukur dan tanggung jawab organisatoris atas disetujui dan disahkannya Rancangan Undang-Undang tersebut, sudah pada tempatnya Perkumpulan Ikatan Indonesia menyelenggarakan sosialisasi mengenai hal ihwal yang berkenaan dengan Undang-Undang termaksud, terutama namun tidak terbatas untuk keperluan menghindari terjadinya kesalahan dalam praktek, sehubungan dengan adanya beberapa pasal yang memerlukan pemahaman yang lebih mendalam, terlebih lagi bila kita ingat ketentuan yang tercantum dalam pasal II yang menyatakan bahwa ; “Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan”.
Mengingat sempitnya waktu, sekaligus keterbatasan ilmu dan pengalaman saya, maka analisa tentang beberapa materi yang hendak saya sampaikan dalam tulisan ini sangat dangkal, oleh karena itu saya berharap hendaknya rekan-rekan Notaris yang hadir dalam sosialisasi atas Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris ini berperan aktif, sehingga dapat kita temukan solusi terbaik dan benar.
Pada akhirnya perlu saya sampaikan bahwa makalah sederhana ini pada prinsipnya sama dengan yang telah saya sampaikan dalam Seminar Nasional Kenotariatan dengan thema “Analisis Kritis terhadap Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris”, yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta bersama-sama dengan Ikatan Notaris Indonesia, Kooddinator Wilayah Surakarta, yang berlangsung di Surakarta, pada hari Kamis, tanggal 16 Januari 2014, dengan beberapa penambahan.
-------------
4
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Perlunya Perubahan
Saya yakin setiap Notaris pasti telah mengetahui bahwa sejak bulan Oktober 2004 telah ada Undang-Undang Nasioanal yang mengatur tentang Jabatan Notaris, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, dan mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu pada tanggal 06 Oktober 2004.
Dengan tetap menghormati dan menjunjung tinggi semua pihak yang telah menghasilkan dan / atau berperan aktif dalam dan selama proses pembuatan Undang-Undang tersebut, sesungguhnya sejak Rancangan Undang-Undang termaksud disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden Republik Indonesia (atau Menteri yang ditugasi) pada tanggal 14 September 2004, telah dapat kita ketahui bahwa selain sekian banyak kelebihan yang terkandung di dalamnya bila dibandingkan dengan Reglement op Het Notaris-Ambt, Stb 1960, Nomor 3 yang digantikannya, ternyata masih terkandung beberapa macam kekurangan.
Sebagai wujud kepedulian, sekaligus tanggung jawab terhadap Notaris yang merupakan jabatan tertentu yang diadakan oleh negara dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, terutama dalam pembuatan alat bukti tertulis yang berupa akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan (sekarang penetapan) yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, mendorong anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, khususnya yang berprofesi sebagai Notaris maupun Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia untuk dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang di atas, yang atas dorongan mana ternyata ditindaklanjuti oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan mengusulkan Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris tersebut.
Beberapa macam kekurangan yang saya maksudkan, antara lain mengenai :
5
a. persyaratan pengangkatan sebagai Notaris;
b. kewajiban merahasiakan isi akta atau keterangan lain yang diperoleh dalam rangka pembuatan akta Notaris bagi Calon Notaris yang sedang magang maupun para saksi akta;
c. penegasan bahwa Ikatan Notaris Indonesia sebagai Organisasi Notaris yang dimaksud dalam undang-undang tersebut; dan
d. pengaturan tentang sanksi.
Sebagian besar dari kekurangan-kekurangan tersebut telah diperbaiki, antara lain dengan cara mengubah substansi, termasuk menyempurnakan susunan redaksinya; menambah, termasuk menyisipkan ketentuan tertentu; dan menghapuskan ketentuan yang telah ada, namun ternyata masih ada yang tersisa, antara lain mengenai bagian yang berkenaan dan / atau terkait dengan :
1) kewenangan dan kewajiban Notaris, misalnya : tata cara melakukan legalisasi atas surat di bawah tangan;
2) pembuatan akta yang berkenaan dengan pertanahan; dan
3) saat penulisan dalam repertorium sehubungan dengan laporan daftar wasiat;
4) kewajiban merahasikan jabatan bagi emiritus Notaris maupun saksi akta.
Lebih dari itu ternyata terdapat beberapa persoalan yang berkenaan dan / atau terkait dengan pengaturan yang baru ditetapkan, antara lain mengenai kewajiban untuk :
1) melekatkan surat dan dokumen, serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta; jumlah saksi, khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan;
2) dispensasi untuk tidak membacakan akta;
3) kewajiban calon Notaris yang magang untuk merahasiakan akta yang dibuatnya;
4) tempat kedudukan Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah, khususnya dalam keadaan di mana dalam satu kabupaten atau kota terdapat dua atau lebih kantor pertanahan; dan
5) pengaturan tentang tekhnik penterjemahan atau penjelasan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 43; dan
6) akta berita acara pembetulan salah ketik / tulis.
6
Sebagian di antara persoalan-persoalan tersebut akan saya coba uraikan pada bagian sesudah pendahuluan ini.
2. Pengaturan Tentang Sanksi Terhadap Notaris
Di antara sekian banyak perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, salah satu di antaranya yang cukup signifikan adalah perubahan yang berkenaan dengan pengaturan tentang sanksi.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, pengaturan tentang hal tersebut tercantum dalam satu bab, yaitu Bab XI, yang memuat dua pasal, yaitu pasal 84 dan pasal 85, yang secara berturut-turut berisi sebagai berikut :
Pasal 84
Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
Pasal 85
Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16 ayat (1). huruf b, Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63, dapat dikenai sanksi berupa :
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
Dari dua pasal di atas, yang paling membingungkan dan menimbulkan multi tafsir, bahkan dapat menimbulkan akibat hukum yang cukup signifikan adalah pasal 84, misalnya mengenai pelanggaran terhadap pasal 16 ayat (1) huruf i, yang mengatur tentang kewajiban mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen (sekarang kementerian) yang tugas dan
7
tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya.
Salah satu penafsiran atas ketentuan tersebut, yaitu manakala terjadi pelanggaran atas kewajiban mengirimkan daftar akta yang berkenaan dengan wasiat, maka akta wasiat umum, akta penyimpanan, atau akta pengalamatan, yang dibuat di hadapan Notaris menjadi hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau bahkan menjadi batal demi hukum, padahal sama sekali tidak mempunyai cacat dalam proses dan prosedur pembuatannya, sehingga kepentingan pemberi wasiat maupun penerima wasiat dapat dirugikan.
Sebagai seorang Notaris yang hanya mempunyai ilmu, pengetahuan, dan pengalaman yang sangat terbatas, saya tidak sependapat dengan penafsiran di atas, namun ternyata sedemikian sulit mencari solusi atas persoalan tersebut. Alhamdulillah, setelah lebih dari 5 tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, solusi tersebut dapat saya temukan, namun bisa jadi solusi yang saya maksudkan tersebut masih diperdebatkan.
Sekedar sebagai informasi, solusi yang saya maksudkan tersebut adalah dengan menggeser letak kalimat tentang “pelanggaran terhadap pasal 16 ayat (1) huruf i” dengan pelanggaran terhadap pasal-pasal lainnya, di mana akibat hukum terhadap akta bukan merupakan bagian dari pelanggaran terhadap pasal 16 ayat (1) huruf i tersebut.
Dengan diubahnya pengaturan tentang ketentuan sanksi, yaitu dengan menghapus Bab XI yang berisi dua pasal di atas, selanjutnya diatur secara langsung dalam pasal yang dilanggar atau dalam pasal tambahan, ketentuan tentang sanksi menjadi jelas, sekalipun mengenai isinya masih perlu dikaji lebih mendalam.
3. Saat Berlakunya Undang-Undang Nomor Tahun 2014
Berdasar informasi dari Sekretariat Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden
8
(Menteri yang ditugasi) pada tanggal 17 Desember 2013 telah disahkan oleh Presiden pada tanggal 15 Januari 2014.
Andaikata sampai dengan hari ke tiga puluh ternyata Rancangan Undang-Undang tersebut belum disahkan oleh Presiden, maka berdasar pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945, pada hari ke tiga puluh satu, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan, sehingga apabila sampai dengan tanggal 16 Januari 2014, Rancangan Undang-Undang tersebut belum disahkan Presiden, maka pada hari Jumat Legi, tanggal 17 Januari 2014, Rancangan Undang-Undang itu telah menjadi Undang-Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Apabila Rancangan Undang-Undang tersebut telah menjadi Undang-Undang, maka berdasar ketentuan yang tercantum dalam Pasal II, Undang-Undang tersebut berlaku pada tanggal diundangkan, sehingga sejak saat itu setiap Notaris dituntut dan wajib mentaatinya, satu dan lain dengan mengingat adanya beberapa pasal tertentu yang masih memerlukan peraturan pelaksanaan yang berdasar pasal 91 B harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaan jabatan Notaris, yang dapat menimbulkan akibat hukum yang sangat merugikan, baik terhadap diri Notaris maupun para pihak yang memerlukan jasa Notaris, maka setiap Notaris dituntut untuk memahami secara utuh tentang hal-hal yang berkenaan dengan Undang-Undang Jabatan Notaris maupun perubahannya.
Dengan pertimbangan antara lain namun tidak terbatas pada sempitnya waktu yang tersisa maupun masih banyaknya ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Jabatan Notaris maupun perubahannya yang masih memerlukan pemahaman lebih lanjut, maka sudah pada tempatnya Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia menyelenggarakan sosialisasi kepada para Notaris mengenai hal tersebut.
-------------
9
II. BEBERAPA KETENTUAN YANG MEMERLUKAN
PEMAHAMAN LEBIH MENDALAM
A. Penguatan Dan Penegasan Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia sebagai Organisasi Profesi Jabatan Notaris, dan merupakan satu-satunya wadah profesi Notaris
Sebelum menguraikan materi ini, terlebih dahulu mari kita jawab secara bersama-sama tentang pertanyaan “apakah Notaris merupakan suatu profesi ?” Pertanyaan selanjutnya adalah : “apakah Notaris mempunyai Kode Etik ?
Mengenai pertanyaaan kedua, saya yakin setiap Notaris telah mengetahuinya dan sependapat bahwa Notaris mempunyai dan bahkan memerlukan kode etik Notaris.
Selanjutnya mari kita bahas pertanyaan yang pertama, di mana pertanyaan ini timbul atau terjadi sehubungan dengan adanya pendapat dari sebagian Notaris bahwa Notaris adalah Pejabat Umum, dan bukan merupakan profesi. Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan profesi.
Dari berbagai macam pendapat para ahli, dapat saya simpulkan bahwa pada dasarnya yang dimaksud dengan profesi adalah suatu jenis pekerjaan yang karena sifatnya menuntut keahlian khusus, dalam arti pengetahuan yang tinggi dan mendalam yang berkenaan dengan bidang pekerjaan tersebut, disertai latihan yang sungguh-sungguh. Atas kesimpulan tersebut, insya Allah rekan-rekan Notaris sependapat. Adapun mengenai ciri-ciri kaum profesional dapat saya sampaikan sebagai berikut :
- dalam melaksanakan pekerjaaannya mendapatkan izin dari negara (instansi yang berwenang);
- menjadi anggota organisasi, yang tidak lain merupakan kelompok profesi yang terinstitusi;
- memiliki pengetahuan atau kecakapan esoterik (yang hanya diketahui dan dipahami oleh orang-orang tertentu);
- memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaan;
- menyampaikan janji di muka umum untuk memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan.
10
Dari uraian di atas, insya Allah kita sefaham bahwa Jabatan Notaris merupakan suatu profesi, terlebih lagi bila kita berkenan memperhatikan ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, yang secara tegas menyatakan bahwa Notaris merupakan profesi. Ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 1 angka 5 dan pasal 82 ayat (3), yang selengkapnya berisi sebagai berikut :
Pasal 1 angka 5 :
Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan notaris yang berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum.
Pasal 82 ayat (3) :
Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu-satunya wadah profesi Notaris yang bebas dan mandiri yang dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Notaris.
Pendapat yang menyatakan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum memang sangat tepat, berhubung Notaris merupakan jabatan tertentu yang diadakan oleh negara dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat, terutama dalam pembuatan alat bukti tertulis yang berupa akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. Selain itu, berdasar peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan berlaku sejak zaman kolonial Belanda maupun berdasar Undang-Undang Jabatan Notaris hasil karya bangsa Indonesia sendiri memang Notaris dinyatakan secara tegas sebagai Pejabat Umum.
Selanjutnya mengenai pengaturan bahwa Organisasi Notaris yang dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris sadalah Ikatan Notaris Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 82 ayat (2 - baru), yang selengkapnya berisi: “Wadah Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Ikatan Notaris Indonesia”, sesunggunya sekedar sebagai penegasan, sebab dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1 angka 5 dan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 juncto pasal 1 angka 7
11
Peraturan Menteri Hukum dan H.A.M. Nomor 1 Tahun 2006, telah dapat kita ketahui bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan Organisasi Notaris, tidak lain adalah Ikatan Notaris Indonesia.
Sekalipun sebagai penegasan, ketentuan tersebut harus kita syukuri, sebab dengan adanya ketentuan itu, insya Allah sudah tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.
B. Perlindungan Hukum Bagi Notaris
Insya Allah masih segar dalam ingatan kita bahwa dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal 28 (dua puluh delapan), bulan Mei, tahun 2013 (dua ribu tiga belas), telah diucapkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 49/PPU-X/2012, yang amarnya berbunyi sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya :
1.1. Menyatakan frasa”dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4432), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Menyatakan frasa”dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4432) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahhkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya”.
Putusan sebagaimana terurai di atas merupakan putusan yang diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi, pada hari Selasa, tanggal 26 (dua puluh enam), bulan Maret, tahun 2013 (dua ribu tiga belas) atas permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh sodara Kant Kamal.
Sebagai akibat dari putusan tersebut, maka redaksi pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 menjadi berbunyi dan harus dibaca sebagai berikut :
12
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
Putusan di atas hampir bisa dipastikan menimbulkan kekecewaan bagi seluruh atau sekurang-kurangnya sebagian besar Notaris, antara lain karena alasan kurang mendapatkan perlindungan hukum dalam pelaksanaan tugas jabatannya. Hal ini patut dimaklumi, mengingat tugas Notaris adalah untuk memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan alat bukti tertulis, khususnya yang berupa akta otentik. Untuk keperluan itu, Undang-Undang memberikan wewenang kepada Notaris untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan (sekarang penetapan) yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, serta kewenangan-kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Apabila semua pihak berkenan menganalisa secara objektif atas ketentuan yang tercantum dalam pasal 66 ayat (1) di atas, insya Allah akan berkesimpulan bahwa pengaturan tersebut wajar, dan bahkan dapat membantu kepentingan penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, maupun hakim untuk keperluan proses peradilan, sebab apabila tidak demikian, niscaya setiap Notaris akan menggunakan ketentuan tentang kewajiban ingkar dan hak ingkarnya, sehingga penyidik, penuntut umum maupun hakim akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan informasi dari Notaris atau dalam mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris. Oleh karena itu, sesungguhnya persetujuan Majelis Pengawas Daerah adalah sebagai kunci pembuka atas kewajiban ingkar dan hak ingkar yang harus ditegakkan oleh Notaris.
13
Ketentuan yang mengatur tentang kewajiban ingkar dan hak ingkar Notaris tercantum dalam :
1. Undang-Undang Jabatan Notaris :
Pasal 4 ayat (2) :
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
"Saya bersumpah/berjanji :
.... bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.
Pasal 16 ayat (1) huruf e :
Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban :
.... e. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
Pasal 54
Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 85
Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam .... Pasal 16 ayat (1) huruf e ...., Pasal 54 ...., dapat dikenai sanksi berupa :
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pemberhentian sementara;
d. pemberhentian dengan hormat; atau
e. pemberhentian dengan tidak hormat.
2. K.U.H. Pidana :
Pasal 322
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpan karena jabatan atau mata perncariannya, baik yang sekarang maupun dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.
(2) Apabila kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu.
3. K.U.H. Acara Pidana :
Pasal 170
(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari
14
kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
4. K.U.H. Perdata dan H.I.R. :
Pasal 1909 dan Pasal 146
Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, wajib memberikan kesaksian di muka Hakim.
Namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajiban memberikan kesaksian :
1. siapa saja yang mempunyai pertalian keluarga sedarah dalam garis ke samping derajat kedua atau keluarga semenda dengan salah satu pihak;
2. siapa saja yang mempunyai pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis ke samping dalam derajat kedua dengan suami atau isteri salah satu pihak;
3. siapa saja yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya diwajibkan undang-undang untuk merahasiakan sesuatu, namun hanya mengenai hal-hal yang dipercayakan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan dan jabatannya itu.
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
Pasal 89
(1) Orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian ialah :
a. saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak;
b. setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan atau jabatannya itu.
(2) Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, diserahkan kepada pertimbangan Hakim.
6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
Pasal 35 ayat (2)
Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan”.
Dari ketentuan-ketentuan yang terurai di atas, sesungguhnya sangat sulit bagi kita untuk memisahkan antara hak dengan kewajiban
15
ingkar, sebab hak ingkar baru ada dan mempunyai arti setelah ada kewajiban ingkar. Oleh karena itu, sesungguhnya yang utama bagi Notaris atau siapapun yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dibebani kewajiban ingkar.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagian dari Majelis Pengawas Daerah kurang profesional dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, sehingga Lembaga Majelis Pengawas dijadikan dan berfungsi sebagai pembela Notaris, oleh karena itu yang semestinya harus dibenahi adalah orang-orang yang duduk dan menjabat pada Majelis Pengawas Daerah, dan bukannya terhadap kewenangan yang diamanatkan oleh Undang-Undang kepada Majelis tersebut.
Dengan alasan-alasan sebagaimana terurai di atas, sudah pada tempatnya apabila dalam Undang-Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, pasal 66 diubah dan disisipkan satu pasal di antara pasal 66 dan 67, yaitu pasal 66 A. Secara berturut-turut, perubahan pasal 66 dan pasal 66 A tersebut adalah sebagai berikut :
Pasal 66
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.
(3) Majelis kehormatan Notaris dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permintaan persetujuan.
(4) Dalam hal majelis kehormatan Notaris tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), majelis kehormatan Notaris dianggap menerima permintaan persetujuan.
Pasal 66A
(1) Dalam melaksanakan pembinaan, Menteri membentuk majelis kehormatan Notaris.
(2) Majelis kehormatan Notaris berjumlah 7 (tujuh) orang, terdiri atas unsur:
a. Notaris sebanyak 3 (tiga) orang;
16
b. pemerintah sebanyak 2 (dua) orang; dan
c. ahli atau akademisi sebanyak 2 (dua) orang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi, syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian, struktur organisasi, tata kerja, dan anggaran majelis kehormatan Notaris diatur dengan Peraturan Menteri.
Apabila kita perhatikan, maka materi muatan pasal 66 (baru) tersebut merupakan materi muatan pasal 66 (lama) ditambah materi muatan pasal 12 dan pasal 18 Peraturan Menteri Hukum Dan H.A.M. Nomor : M.03.HT.03.10 TAHUN 2007. Sedangkan Lembaga yang memberikan persetujuan kepada Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim adalah lembaga yang baru akan dibentuk, yaitu Majelis Kehormatan Daerah, yang komposisi keanggotaannya berbeda dengan keanggotaan Majelis Pengawas Daerah.
Setiap anggota Majelis Kehormatan Daerah dituntut tidak hanya menguasai peraturan perundang-undangan tentang jabatan Notaris, melainkan harus menguasai juga berbagai macam ketentuan hukum acara maupun hukum materiil yang terkait dengan permintaan persetujuan yang dihadapi, sehingga putusannya diharapkan rasional, berkualitas, objektif, dan benar.
Selanjutnya yang perlu kita fikirkan bersama, sekalipun bukan tugas dan kewajiban Notaris, adalah mengenai hal-hal yang berkenaan dengan tempat kedudukan dan wilayah kewenangan Majelis Kehormatan Notaris, yang apabila sudah kita sepakati, kita usulkan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai hal-hal yang, berhubung berdasar ketentuan yang tercantum dalam pasal 66 A ayat (1), yang membentuk Majelis Kehormatan Notaris adalah Menteri, dalam hal ini Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang hukum.
Menurut hemat saya, mengenai tempat kedudukan dan wilayah kewenangan tersebut terdapat dua pilihan, yaitu :
a. berkedudukan di ibukota Propinsi, dan kewenangannya meliputi satu wilayah propinsi;
b. berkedudukan di Kota/Kabupaten; dan kewenanganya meliputi wilayah Kota / Kabupaten.
17
Dalam setiap pilihan tersebut terkandung kelebihan, sekaligus kekurangan. Kelebihan dan kekurangan yang saya maksudkan adalah sebagai berikut :
a. Pilihan Pertama :
1) Kelebihannya : meminimalisasi terjadinya perbedaan penafsiran atas hal-hal yang terkait dengan permohonan pemanggilan Notaris dan pengambilan fotokopi minuta akta maupun dokumen yang dilekatkan pada minuta akta oleh penyidik, penuntut umum atau hakim untuk keperluan proses peradilan, sehingga dalam pertimbangan maupun diktum putusannya diharapkan objektif;
2) Kekurangannya : prosesnya memerlukan waktu yang lebih lama, baik karena alasan jarak dari tempat kedudukan Notaris ke tempat kedudukan Majelis, maupun karena banyaknya permohonan yang perlu diproses.
b. Pilihan Kedua :
1) Kelebihannya : prosesnya lebih cepat, berhubung tempat kedudukan Notaris dengan tempat kedudukan Majelis Kehormatan Notaris berada dalam satu kota / Kabupaten, atau lebih dari satu kota tetapi jaraknya berdekatan, di samping karena jumlah permohonan yang diproses lebih sedikit bila dibandingkan dengan apabila Majelis Kehormatan Notaris berpusat di ibu kota Propinsi;
2) Kekurangannya : pertimbangan maupun diktum ptusannya, baik berupa persetujuan, penolakan, maupun yang belum atau tidak dapat menerima dapat berbeda-beda, walaupaun kasusnya sama.
C. Substansi Beberapa Pasal Tertentu Yang Berpotensi Menimbulkan Perbedaan Pendapat Tentang Makna Yang Terkandung Di Dalamnya
Perlu saya sampaikan terlebih dahulu bahwa materi yang hendak kita analisa bersama pada sub bagian ini tidak terbatas pada pasal-pasal yang telah diubah, oleh karena itu terdapat beberapa pasal Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang tidak termasuk dalam ketentuan yang ikut diubah.
18
Beberapa pasal yang saya maksudkan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pasal 1 angka 8
Dalam pasal ini diatur tentang pengertian Minuta Akta yang relatif lebih lengkap, tegas, dan jelas bila dibandingkan dengan pengaturan sebelumnya. Dalam pengaturan yang baru dinyatakan bahwa Minuta Akta adalah : “Minuta Akta adalah asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris”, sedangkan dalam pengaturan sebelumnya adalah : “asli Akta Notaris”.
Dari pengertian tersebut terkandung kehendak bahwa dalam Minuta Akta, Undang-Undang Jabatan Notaris tidak memperkenankan adanya Cap Ibu Jari atau Sidik Jari, yang selama ini dianggap sebagai pengganti tanda tangan.
Sekalipun lebih lengkap, tegas, dan jelas bila dibandingkan dengan pengaturan sebelumnya, sesungguhnya dalam pengaturan tersebut masih terkandung kekurangan, sebab tidak diatur tentang kemungkinan adanya suatu minuta tanpa tanda tangan penghadap, berhubung satu-satunya penghadap atau seluruh penghadap tidak dapat membubuhkan tanda tangan. Oleh karena itu, sesungguhnya pengertian tentang Minuta Akta ini tidak bisa dipisahkan atau terkait dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf c.
Berkaitan dengan pengertian Minuta di atas, timbul pertanyaan yang harus kita jawab, yaitu berkenaan dengan akta yang dibuat dalam originali, dan akta berita acara.
Mengenai akta dalam originali timbul pertanyaan, apakah diperlakukan sama dengan Minuta ? Dalam menjawab pertanyaan ini kita harus cermat, sebab apabila tidak demikian, bisa jadi kita akan tersesat.
Insya Allah telah kita fahami bahwa yang dimaksud dengan akta dalam bentuk originali adalah akta yang dibuat Notaris, di mana aslinya diserahkan kepada pihak yang bersangkutan, oleh karena itu perbedaan pokok antara keduanya adalah mengenai
19
penyimpanannya, di mana akta yang dibuat dalam minuta disimpan dan merupakan bagian dari protokol Notaris, sedangkan akta yang dibuat dalam originali, aslinya diserahkan kepada pihak yang bersangkutan.
Mengenai bentuk dan sifat, demikian pula proses dan prosedur pembuatan kedua akta tersebut sama, yaitu sebagaimna diatur dalam pasal 38 s/d pasal 53.
Mengenai akta berita acara harus kita perhatikan bersama ketentuan yang tercantum dalam pasal 46 yang menyatakan bahwa :
“(1) Apabila pada pembuatan pencatatan harta kekayaan atau berita acara mengenai suatu perbuatan atau peristiwa, terdapat penghadap yang :
a. menolak membubuhkan tanda tangannya; atau
b. tidak hadir pada penutupan akta, sedangkan penghadap belum menandatangani akta tersebut,
hal tersebut harus dinyatakan dalam akta dan akta tersebut tetap merupakan akta otentik.
(2) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan dalam akta dengan mengemukakan alasannya”.
Dari ketentuan di atas, insya Allah dapat kita fahami bahwa untuk akta berita acara tidak tunduk pada ketentuan tentang minuta, sebab penghadap diperkenankan tidak menandatangani akta, baik karena menolak atau karena tidak hadir pada waktu penutupan akta.
Penyimpangan atas ketentuan pasal 1 angka 8 ini adalah wajar, sebab akta berita acara merupakan akta relaas, di mana Notaris tidak hanya bertanggung jawab atas awal akta dan akhir akta, melainkan harus bertanggung jawab pula pada isi akta. Tanggung jawab tersebut bisa diminimalisasi dengan turut sertanya penghadap dalam menandatangani akta.
2. Pasal 3 huruf f
Ketentuan dalam pasal 3 huruf f (baru) lebih berat dan lebih baik bila dibandingkan dengan ketentuan tentang jangka waktu magang dalam pengaturan sebelumnya, antara lain karena waktu magang yang hanya selama 1 tahun, sedangkan dalam ketentuan
20
yang baru selama 2 tahun berturut-turut setelah lulus strata dua kenotariatan.
Magang pada kantor Notaris bisa dilakukan atas prakarsa Calon Notaris sendiri, artinya Calon Notaris dapat memilih sendiri di kantor Notaris yang diinginkan dengan tetap mendapatkan rekomendasi dari Organisasi Notaris, atau atas rekomendasi Organisasi Notaris. Oleh karena itu tidak bisa seenaknya sendiri, Notaris menerima magang bagi Calon Notaris, demikian pula Calon Notaris tidak boleh sekehendak hatinya untuk magang di Kantor Notaris tertentu.
Bagi Organisasi Notaris, sesungguhnya magang dan sertipikat yang diperoleh melalui ujian kode etik mempunyai makna yang sedemikian penting dalam melakukan pembinaan kepada Calon Notaris, sehingga nantinya dapat diharapkan menjadi Notaris yang profesional, dalam arti mumpuni dalam hal ihwal yang berkenaan atau terkait dengan pelaksanaan tugas jabatannya selaku Notaris, sekaligus integritasnya tidak diragukan, sehingga sudah selayaknya apabila Organisasi Notaris menyiapkan kurikulum untuk keperluan magang yang harus difahami oleh para Notaris yang menerima magang bagi Calon Notaris.
Selain itu, dengan tetap diperlukannya rekomendasi Organisasi Notaris dalam hubungannya dengan magang bagi Calon Notaris, Organisasi Notaris dapat memilah, selanjutnya memilih, dan menetapkan para Notaris yang sudah layak untuk menerima magang bagi Calon Notaris, sehingga ancaman sanksi terhadap Notaris yang menolak Calon Notaris untuk magang (vide ayat „13‟) karena alasan kurang mampu, atau alasan-alasan lainnya yang bersifat objektif dapat dihindari.
Bagi Notaris yang menerima magang maupun Calon Notaris yang magang harus diingat bahwa terhadap Calon Notaris dibebani kewajiban merahasiakan, sebagaimana diatur dalam pasal 16 A.
Amat disayangkan, ternyata kewajiban merahasikan bagi Calon Notaris yang magang tidak diikuti dengan kewajiban bagi
21
saksi akta untuk merahasiakan segala sesuatu yang berkenaan dengan akta yang pembacaannya disaksikan, sebab hampir dipastikan bahwa kewajiban merahasiakan yang harus ditaati oleh Notaris dan Calon Notaris yang magang menjadi kurang mempunyai arti.
3. Pasal 15 ayat (1)
Bila kita perhatikan perubahan yang terjadi pada pasal 15 ayat (1), sebenarnya hanya menyangkut penggunaan istilah “Ketetapan”, yang diubah menjadi ”Penetapan”. Pertanyaan : “apakah perubahan tersebut mempunyai makna yang cukup signifikan ?“ Jawaban atas pertanyaan tersebut, menurut hemat saya adalah “Ya”, berhubung dua istilah itu mempunyai makna yang berbeda.
Ketetapan mempunyai makna “hasil dari perbuatan menetapkan”, sedangkan Penetapan mempunyai makna “perbuatan menetapkan”.
Dalam hubungannya dengan proses dan prosedur pembuatan Akta Notaris, penggunaan istilah “penetapan” adalah lebih tepat, sebab istilah tersebut menunjukkan keaktifan penghadap.
4. Pasal 15 ayat (2) huruf a
Sekalipun pasal yang mengatur tentang “Legalisasi” ini tidak ikut diubah, namun sangat perlu untuk kita cermati bersama, sebab sepengetahuan saya selama ini sering terjadi kekurangtepatan dalam praktek.
Istilah yang digunakan dalam pasal 15 ayat (2) huruf a adalah “mengesahkan tanda tangan”, sedangkan istilah legalisasi tercantum dalam penjelasan ayat tersebut yang menyatakan bahwa : “Ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat Sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris”. Penjelasan tersebut diperkuat pasal 60 ayat (2) yang menyatakan : ”Surat di bawah tangan yang disahkan dan surat di bawah
22
tangan yang dibukukan, dicatat dalam daftar surat di bawah tangan yang disahkan dan daftar surat di bawah tangan yang dibukukan”.
Sekalipun dalam hukum acara perdata, demikian pula dalam K.U.H. Perdata yang mengatur tentang “Alat Bukti” tidak tercantum istilah legalisasi, namun dari ketentuan-ketentuan di dalamnya dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertian tentang legalisasi, yang selama ini telah dipakai dalam praktek peradilan maupun pada lembaga kenotarisan, vide pasal 1874 dan 1874 a K.U.H. Perdata, pasal 286 dan pasal 287 R.Bg. maupun dalam pasal 1 Stb. Tahun 1916 Nomor 46.
Dalam Stb. Tahun 1916 Nomor 46 yang berjudul “Waarmerken van Onderhandse Akten …. ” hanya dipakai satu istilah “waarmerken”, namun di dalamnya terkandung dua kegiatan, yaitu : “Verklaring van visum dan “legalisasi”. Dalam verklaring van visum terkandung pengertian waarmerken, yang tidak lain memberi tanggal pasti (date certain), yaitu dengan memberikan keterangan bahwa notaris telah melihat (gezien) akta di bawah tangan yang bersangkutan pada hari itu, Sedangkan legalisasi adalah suatu perbuatan hukum yang harus memenuhi beberapa syarat, yaitu :
- Notaris mengenal orang yang membubuhkan tanda tangan;
- isi surat / akta di bawah tangan yang bersangkutan telah diterangkan atau dijelaskan (voorhouden) kepada orang yang berkepentingan;
- orang termaksud membubuhkan tanda tangan atau cap jari (ibu jari) nya di atas surat di bawah tangan tersebut di hadapan notaris;
- tidak terbatas pada kepentingan dari orang-orang yang bisa membaca dan menulis serta bertanda tangan.
Dari bunyi ketentuan yang tercantum dalam pasal 15 ayat (2) huruf a di atas dikaitkan dengan bunyi penjelasannya maupun dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam pasal 1874 dan 1874 a K.U.H. Perdata, pasal 286 dan pasal 287 R.Bg. serta pasal 1 Stb. Tahun 1916 Nomor 46., terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
23
- tanggal penandatanganan dan tanggal surat harus sama;
- mengingat undang-undang ini atau penjelasannya tidak mengatur tentang redaksi dan tata cara dalam melakukan legalisasi, termasuk di dalamnya bagi orang-orang yang tidak bisa membubuhkan tanda tangan, maka sudah pada tempatnya setiap Notaris menggunakan redaksi dan tata cara yang mengatur tentang legalisasi yang telah berlaku selama ini, yaitu dalam Stb. 1916 Nomor 46 atau dalam pasal 1974 dan pasal 1974 a K.U.H. Perdata, serta pasal 286 dan pasal 287 R.Bg. Apabila tidak dilakukan berdasar atau sesuai dengan ketentuan pasal-pasal tersebut, bukan mustahil apabila kekuatan pembuktiannya lebih lemah bila dibandingkan dengan legalisasi dengan menggunakan tata cara sebagaimana yang diatur dalam Stb. 1916 Nomor 46, K.U.H. Perdata, dan R.Bg. tersebut.
- tidak ada kemungkinan untuk melakukan legalisasi atas surat di bawah tangan yang telah ditandatangani;
- Notaris dilarang melakukan legalisasi surat-surat di bawah tangan yang tidak atau belum bermeterai secukupnya;
- pendaftaran atas surat di bawah tangan dalam buku yang khusus untuk keperluan itu harus dilakukan segera sesudah legalisasi dilakukan;
- beban pembuktian atas kebenaran isi surat di bawah tangan yang dilegalisasi berada pada pihak yang mengingkari / menyangkalnya.
5. Pasal 16 ayat (1) huruf c, k, m, dan n
Pertama-tama mari kita bahas ketentuan yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c, yang mewajibkan Notaris untuk “melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta”. Menurut hemat saya, makna yang terkandung dalam ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
a. surat dan dokumen yang berkenaan atau berkaitan dengan identitas penghadap; demikian pula
b. dokumen yang memuat sidik jari penghadap;
24
harus dilekatkan pada Minuta Akta.
Disadarai atau tidak disadari oleh pembuat Undan-Undang, penggunaan istilah surat dan dokumen dalam ketentuan di atas dapat merepotkan, oleh karena itu mari kita cari bersama tentang makna yang terkandung dalam kedua istilah tersebut, kesemuanya dalam ruang lingkup ketentuan di atas.
Menurut hemat saya, surat merupakan tulisan yang mengandung arti, baik yang dimaksudkan sebagai alat bukti maupun yang tidak dimaksudkan sebagai alat bukti, yang dibuat di atas kertas atau sarana lainnya. Sedangkan dokumen merupakan semua tulisan, gambar, atau barang cetakan yang dapat digunakan untuk suatu kepentingan.
Dengan makna tersebut, insya Allah kita sefaham bahwa pengertian dokumen lebih luas bila dibandingkan dengan surat, sebab dalam dokumen termasuk gambar, foto, dan sebagainya.
Selanjutnya mari kita bahas tentang makna yang terkandung dalam kalimat “melekatkan sidik jari penghadap”. Dengan segala keterbatasan yang ada, kalimat tersebut saya tafsirkan sebagai melekatkan dokumen yang memuat sidik jari penghadap, berhubung :
- penggunaan istilah melekatkan sidik jari pada minuta akta adalah tidak lazim, sebab yang lazim dilekatkan pada Minuta Akta adalah akta, surat, dan dokumen;
- apabila yang dimaksudkan adalah melekatkan sidik jari, maka istilah yang digunakan bukan melekatkan, melainkan membubuhkan;
- melekatkan dokumen yang memuat sidik jari penghadap tidak bisa dipisahkan dari pengertian tentang Minuta Akta, di mana secara tegas diatur bahwa yang dibubuhkan oleh penghadap, saksi, dan Notaris adalah tanda tangan, bukan sidik jari;
- pada bagian penutup akta Notaris, sebagaimana diatur dalam pasal 38 ayat (4) huruf b, yang diuraikan adalah tentang penandataanganan dan tempat penandatanganan, tidak
25
menyinggung sama sekali tentang pembubuhan sidik jari, demikian pula yang diatur dalam pasal 44.
Persoalan selanjutnya adalah mengenai dokumen sidik jari siapa yang dilekatkan pada Minuta Akta. Terhadap persoalan ini belum terjadi kesepakatan di antara para Notaris, di mana sebagian di antaranya beranggapan bahwa dokumen sidik jari tersebut adalah sidik jari seluruh seluruh penghadap, sedangkan sebagian lainnya adalah terbatas pada sidik jari penghadap yang tidak bisa membubuhkan tanda tangan.
Mengenai persoalan tersebut, saya sependapat dengan pendapat yang kedua, di mana kewajiban melekatkan tersebut sebatas pada dokumen sidik jari penghadap yang tidak bisa membubuhkan tanda tangan, dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. bahwa dalam peraturan perundang-undangan tentang jabatan Notaris, baik yang termuat dalam Reglement op Het Notaris-Ambt maupun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tidak ada pengaturan, apalagi perintah bagi Notaris untuk meminta penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya dalam Akta Notaris diganti dengan pembubuhan sidik jari. Sekalipun demikian, dalam praktek ternyata selain surogat, para Notaris meminta orang yang tidak bisa membubuhkan tanda tangan untuk membubuhkan sidik jari (cap ibu jari);
b. bahwa Undang-Undang Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 bermaksud menghentikan praktek yang tidak mempunyai dasar hukum tersebut, terbukti dari definisi tentang Minuta Akta yang tercantum dalam pasal 1 angka 8;
c. bahwa sekalipun bagi penghadap yang tidak bisa bertanda tangan dapat diganti dengan surogat, namun mengenai bukti kehadirannya di hadapan Notaris masih dipandang perlu, terutama apabila satu-satunya penghadap atau seluruh penghadap tidak bisa membubuhkan tanda tangannya. Alat bukti tersebut adalah dokumen yang berisi sidik jarinya (sidik
26
jari mereka), sekalipun akta otentik yang bersangkutan sudah merupakan alat bukti otentik.
d. bahwa apabila kewajiban untuk melekatkan dokumen sidik jari tersebut diwajibkan kepada penghadap yang bisa membubuhkan tanda tanggannya, niscaya kewajiban tersebut diperlakukan juga terhadap para saksi, sebab keberadaan para saksi merupakan salah satu di antara persyaratan otentisitas suatu Akta Notaris;
e. bahwa dapat kita bayangkan betapa anehnya, apabila terjadi suatu keadaan di mana misalnya seorang yang bertugas mewakili suatu Bank dalam menandatangani perjanjian kredit berikut perjanjian ikutannya diwajibkan membubuhkan sidik jarinya. Bukan mustahil kulit jarinya akan terkelupas, berhubung setiap hari tidak kurang dari 25 kali melakukan pembubuhan sidik jarinya. Oleh karena itu, hampir pasti keadaan seperti ini tidak diinginkan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris;
f. bahwa memang benar, melekatkan dokumen sidik jari setiap penghadap ada manfaatnya dan merupakan sikap kehati-hatian, tetapi menjadikan sesuatu yang tidak diwajibkan menjadi suatu kewajiban dapat menimbulkan akibat hukum yang sangat merugikan bagi Notaris;
g. bahwa berdasar hukum perdata dan hukum acara perdata, cap jari (ibu jari) yang dibubuhkan dalam surat di bawah tangan tidak mempunyai arti untuk keperluan pembuktian, kecuali telah dilegalisasi.
Mengenai apa yang dimaksud dengan sidik jari, saya sendiri tidak mempunyai keahlian, oleh karena itu tentang sidik jari mana yang dibubuhkan dalam dokumen sidik jari, saya tidak bisa berkomentar, hanya saja dalam berbagai terjemahan atas pasal 1 Stb. 1916 Nomor 46, pasal 1874 B.W.; pasal 286 R.Bg. mengenai sidik jari ini digunakan istilah cap jempol (cap ibu jari).
Persoalan selanjutnya adalah berkenaan dengan akta berita acara, di mana mengenai hal ini timbul pertanyaan : “Apakah dalam akta berita acara, di mana penghadap menolak bertanda
27
tangan atau tidak hadir dalam penutupan akta diwajibkan untuk membubuhkan cap ibu jarinya (cap ibu jari mereka) dalam kertas tersendiri untuk dilekatkan pada minuta akta ?”
Mengenai jawaban atas pertanyaan tersebut, saya berpendapat tidak perlu, berhubung tidak menandatangani akta saja diperkenankan, sehingga untuk apa mewajibkan mereka untuk membubuhkan cap ibu jari. Namun untuk memenuhi asas kehati-hatian, tiada salahnya apabila Notaris mengusahakan agar mereka berkenan membubuhkan cap ibu jari mereka.
Persoalan lain yang harus kita jawab juga adalah mengenai akta yang dikeluarkan dalam originali, dalam arti : “apakah pembubuhan cap ibu jari dalam suatu kertas tersendiri, yang selanjutnya dilekatkan pada akta tersebut merupakan kewajiban ?”.
Berhubung pengaturan mengenai bentuk dan sifat, serta proses dan prosedur pembuatan akta dalam minuta dan dalam originali tidak berbeda, maka kewajiban tersebut tetap berlaku.
Pertanyaan selanjutnya adalah : “apakah dokumen sidik jari (cap ibu jari) tersebut ikut diserahkan kepada pihak yang berkepentingan yang menerima akta originali tersebut ?”. Menurut hemat saya tidak ikut diserahkan, sebab surat, dokumen (termasuk dokumen sidik jari) merupakan dokumen yang sangat penting bagi Notaris, dan bagian dari protokol Notaris, sehingga harus disimpan Notaris, dan andaikata mereka membutuhkan, seyogyanya yang diserahkan sebatas dan terbatas pada fotokopinya. Lebih dari itu, apabila dokumen tersebut ikut diserahkan, niscaya akan mengalami kesulitan, apabila aktanya dibuat lebih dari satu.
Pertanyaan selanjutnya adalah : “bagaimana uraian pada bagian penutup akta dalam hal terjadi keadaan di mana ada penghadap yang tidak membubuhkan tanda tangan ?”
Menurut hemat saya, uraian pada penutup akta seperti yang telah dilakukan oleh para Notaris selama ini, hanya saja tidak ada uraian tentang pembubuhan sidik jari (cap ibu jari) pada minuta, misalnya :
28
“Setelah saya, Notaris bacakan akta ini kepada penghadap A, dan penghadap B serta para saksi, segera sesudah itu, penghadap A, dan penghadap B, serta para saksi dan saya, Notaris, menandatangani akta ini, sedangkan penghadap C tidak membubuhkan tanda tangannya berhubung menurut keterangannya tidak dapat membaca dan menulis”.
atau
“Setelah saya, Notaris bacakan akta ini kepada penghadap A, dan penghadap B serta para saksi, segera sesudah itu, penghadap A, dan penghadap B, serta para saksi dan saya, Notaris, menandatangani akta ini, sedangkan penghadap C tidak membubuhkan tanda tangannya berhubung menurut keterangannya tidak dapat membaca maupun menulis, dan sebagai bukti kehadirannya, yang bersangkutan membubuhkan cap ibu jarinya di atas lembar tersendiri yang dilekatkan pada minuta akta ini”.
Perlu saya sampaikan juga bahwa kewajiban melekatkan surat dan dokumen (termasuk dokumen sidik jari) tidak mempunyai pengaruh sama sekali terhadap otentisitas suatu akta, berhubung kewajiban tersebut bukan merupakan bagian dari bentuk dan sifat akta maupun proses dan prosedur pembuatan akta.
Selanjutnya mari kita analisa ketentuan yang tercantum dalam pasal 16 ayat (1) huruf k, yang mengatur tentang kewajiban mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat, di mana berdasar ayat ini dilakukan pada setiap akhir bulan.
Pengaturan mengenai waktu pencatatan tersebut ternyata berbeda dengan yang tercantum dalam penjelasan ayat yang bersangkutan, di mana dalam penjelasan dinyatakan bahwa : “Pencatatan dalam repertorium dilakukan pada hari pengiriman, hal ini penting untuk membuktikan bahwa kewajiban Notaris sebagaimana dimaksud dalam huruf f dan huruf g telah dilaksanakan”.
29
Sekalipun hanya dalam penjelasan, namun sesungguhnya ketentuan yang termuat di dalamnya lebih tepat dan lebih pasti, sebab pencatatan dalam repertorium dilakukan pada hari pengiriman, sedangkan dalam ayat yang dijelaskan hanya disebut pada setiap akhir bulan. Pertanyaan yang timbul adalah pada akhir bulan yang mana ? Apakah pada akhir bulan dibuatnya akta wasiat ataukah pada akhir bulan berikutnya ?
Apabila dicatat pada akhir bulan dibuatnya akta, niscaya belum bisa, karena pengiriman daftar akta wasiat baru dilakukan pada bulan berikutnya, sedangkan apabila dibuat pada akhir bulan sesudahnya, bisa jadi pencatatan tersebut tidak pernah dilakukan, misalnya karena Notaris yang bersangkutan sudah berhenti sebagai Notaris, sedang cuti, atau sudah pindah tempat kedudukan.
Selanjutnya mari kita bahas ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf m, yaitu tentang kewajiban membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Pembuat Undang-Undang, sesungguhnya dalam ketentuan tersebut terkandung kerancuan, sebagaimana tersebut dalam kalimat “4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan”, dan untuk lebih jelasnya akan saya uraikan sebagaimana di bawah ini.
Insya Allah telah kita ketahui bersama bahwa pada pokoknya pembuatan testamen dibedakan menjadi tiga macam, yaitu wasiat olografis, wasiat umum, dan wasiat rahasia, vide pasal 931 K.U.H. Perdata.
Wasiat olografis merupakan wasiat yang seluruhnya harus ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris. Selanjutnya harus dititipkan oleh pewaris kepada Notaris untuk disimpan, baik yang diserahkan dalam keadaan terbuka maupun tertutup.
30
Dengan menggunakan prosedur sebagaimana diatur dalam pasal 932 K.U.H. Perdata, Notaris yang menerima penitipan dan menyimpan wasiat tersebut membuat akta penitipan atau akta penyimpanan (akta van depot).
Wasiat Umum adalah wasiat yang dibuat dengan akta yang dibuat di hadapan Notaris, dengan menggunakan tata cara atau prosedur sebagaimana diatur dalam pasal 939 K.U.H. Perdata.
Wasiat Rahasia merupakan wasiat yang harus ditandatangani sendiri pewaris. Adapun mengenai penulisan wasiatnya dapat dilakukan sendiri atau ditulis oleh orang lain atas perintahnya. Kertas yang memuat penetapan-penetapannya, atau kertas yang dipakai untuk sampul, bila digunakan sampul, harus tertutup dan disegel, dan diserahkan kepada Notaris. Selanjutnya Notaris membuat akta pengalamatan, dengan menggunakan prosedur sebagaimana diatur dalam pasal 340 K.U.H. Perdata.
Dari uraian di atas, insya Allah dapat kita simpulkan bahwa pembuatan wasiat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dengan surat di bawah tangan dan dengan akta Notaris. Yang masuk golongan wasiat di bawah tangan adalah wasiat olografis dan wasiat rahasia, sedangkan wasiat umum yang dibuat dengan akta yang dibuat di hadapan Notaris. Sekalipun wasiat olografis dan wasiat rahasia tidak dibuat dengan akta Notaris, namun untuk mempunyai kekuatan sebagai wasiat harus dibuat akta penitipan dan akta pengalamatan yang dibuat di hadapan Notaris.
Berdasar uraian di atas, insya Allah kita sefaham bahwa, sesungguhnya yang dimaksud dengan Akta Wasiat di bawah tangan dalam ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf m adalah akta penitipan dan akta pengalamatan.
Yang harus kita perhatikan dan kita taati adalah jumlah saksi dalam akta penitipan, yang berdasar Pasal 932 K.U.H. Perdata hanya dua saksi, dengan adanya ketentuan di atas menjadi sama dengan akta pengalamatan, yaitu 4 (empat) orang saksi.
31
Mengenai urut-urutan penandatangan akta penitipan dan akta pengalamatan, K.U.H. Perdata mengatur sebagai berikut :
a. akta penitipan : pertama-tama Notaris, kemudian pewaris, dan yang terakhir para saksi, vide pasal 932 K.U.H. Perdata;
b. akta pengalamatan : pertama-tama Pewaris, kemudian Notaris, dan yang terakhir para saksi, vide pasal 940 K.U.H. Perdata;
c. akta wasiat umum : pertama-tama Pewaris, kemudian Notaris, dan yang terakhir para saksi, vide pasal 939 K.U.H. Perdata.
Dalam pasal 16 ayat (1) huruf m di atas diatur bahwa urut-urutan pendatanganan surat wasiat di bawah tangan (akta penitipan dan akta pengalamatan) ternyata berbeda dengan yang diatur dalam pasal 932 dan pasal 940 K.U.H. Perdata, melainkan menggunakan ketentuan yang tercantum dalam pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu : penghadap, para saksi, dan Notaris.
Terhadap urut-urutan penandatangan yang berbeda dengan ketentuan yang termuat dalam pasal 932 dan pasal 940 K.U.H. Perdata tersebut, pada mulanya saya beranggapan bahwa dalam hal ini Pembuat Undang-Undang khilaf, tetapi setelah saya perhatikan secara cermat tentang urut-urutan penandatanganan dalam dua pasal K.U.H. Perdata tersebut ternyata berbeda satu dengan yang lain, sehingga pada akhirnya saya berpendapat bahwa pengaturan urut-urutan penandatanganan dalam pasal 16 ayat (1) huruf m memang sengaja dibuat seperti itu. Hal mana bisa jadi dimaksudkan untuk meminimalisasi terjadinya kesalahan.
Dengan adanya pengaturan tentang urut-urutan penandatanganan di atas, maka :
a. untuk akta wasiat umum adalah : pewasiat, Notaris, dan para saksi; sedangkan
b. untuk akta penitipan dan akta pengalamatan adalah : Pewasiat, para saksi, dan Notaris.
32
6. Pasal 16 ayat (3) s/d ayat (5)
Ketentuan pada ayat (3) s/d ayat (5) pasal 16 ini mengatur tentang akta in originali, yang tidak lain sebagai akta otentik yang dibuat Notaris dengan menyerahkan aslinya kepada pihak yang bersangkutan. Sebagai konsekuensi logis dari pengertian tersebut berarti Notaris tidak menyimpan minuta aktanya, sehingga Notaris tidak dapat mengeluarkan salinan atas akta tersebut, berhubung salinan hanya dapat dikeluarkan berdasarkan Minuta Akta, vide pasal 16 ayat (1) huruf d.
Andaikata terjadi pembuatan akta in originali yang berjumlah lebih dari satu, di mana salah satu di antaranya disimpan oleh Notaris, misalnya dalam pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan versi Peraturan Kepala B.P.N. Nomor 8 Tahun 2012, maka yang harus kita perhatikan dalam hal ini adalah keharusan untuk membuat klausul pada setiap akta tersebut, yang berisi kata-kata “BERLAKU SEBAGAI SATU DAN SATU BERLAKU UNTUK SEMUA.
7. Pasal 16 ayat (7) dan Ayat (8)
Ayat (7) dan ayat (8) pasal 16 mengatur tentang kelonggaran dari kewajiban untuk membacakan akta, sebagaimana yang diwajibkan pada ayat (1) huruf m. Berdasar ayat (7), kelonggaran atas kewajiban membacakan ini baru bisa dilakukan apabila penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
Dari ketentuan tersebut yang harus kita perhatikan adalah :
- kehendak penghadap (para penghadap);
- penghadap harus bisa membaca dan menulis (tidak buta huruf), dapat melihat, dan mampu membubuhkan tanda tangan dan paraf;
- Notaris dituntut mengetahui secara objektif bahwa penghadap memahami isi akta;
33
- Harus diperhatikan menegenai rentang waktu pembacaan dan penandatanganan akta, misalnya jumlah lembar akta sebanyak 30 halaman, namun hanya dibaca selama 5 menit, maka hal ini tidak mungkin.
Berbeda dengan pengaturan sebelum dilakukan perubahan yang tidak diperlukan pembacaan sama sekali oleh Notaris, maka setelah dilakukan perubahan, Notaris tetap berkewajiban untuk membacakan kepala Akta, komparisi, penjelasan pokok Akta secara singkat dan jelas, serta penutup Akta.
Lebih dari itu, harus kita perhatikan pula bahwa kelonggaran kewajiban untuk tidak membacakan akta tidak bisa diperlakukan terhadap pembuatan akta wasiat, vide ayat (10). Pengaturan seperti ini adalah sangat wajar, sebab akta wasiat baru berlaku setelah pewasiat meninggal dunia, sehingga pewasiat harus betul-betul memahami, berhubung tatkala pewasiat telah meninggal dunia, wasiat tersebut tidak dapat diubah.
8. Pasal 16 A
Terhadap ketentuan yang tercantum dalam pasal 16 A ayat (2) yang menyatakan bahwa : “Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon Notaris juga wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta”, perlu saya beri catatan bahwa Calon Notaris pasti tidak membuat akta, sehingga sangat aneh apabila berkewajiban merahasialan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya. Apabila dia membuat akta, pasti bukan dalam posisi sebagai Calon Notaris yang sedang magang, melainkan sebagai Notaris Pengganti, dan apabila hal ini yang di maksud, maka mengenai hal itu sudah diatur dalam pasal 33 ayat (2), yang menyatakan bahwa : “Ketentuan yang berlaku bagi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 berlaku bagi Notaris Pengganti dan Pejabat Sementara Notaris, kecuali Undang-Undang ini menentukan lain”
34
9. Pasal 17 ayat (1) huruf g
Sebagai sorang Notaris, saya sangat bersyukur atas ketentuan yang tercantum dalam Pasal 17 ayat (1) huruf g, yang secara tegas mengatur bahwa Notaris dilarang merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris, namun bila dikaitkan dengan tempat kedudukan P.P.A.T. dapat menimbulkan persoalan tersendiri. Hal tersebut bisa terjadi berhubung dalam Peraturan Jabatan P.P.A.T. yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, yang dilaksanakan dengan Peraturan Kepala B.P.N. Nomor 1 Tahun 2006 ternyata hanya diatur tentang Daerah Kerja P.P.A.T., yaitu satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kebupaten/Kota, sedangkan mengenai tempat kedudukannya tidak diatur atau sekurang-kurangnya tidak diatur secara tegas.
Yang merepotkan adalah apabila dalam suatu Kota atau Kabupaten terdapat dua Kantor Pertanahan, seperti yang terjadi di Kota Surabaya, khususnya dalam kedudukannya selaku P.P.A.T., oleh karena itu sudah selayaknya ketentuan yang tercantum dalam pasal 15 ayat (2) huruf f, secepatnya ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah, sebagaimana diamanatkan oleh dan dalam pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
10. Pasal 43
Sehubungan dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 43 ayat (6), yang menyatakan bahwa : “Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran terhadap isi akta sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka yang digunakan adalah akta yang dibuat dalam bahasa Indonesia”, timbul persoalan yang berkenaan dengan tekhnik penterjemahan atau penjelasan tentang isi akta, dalam arti “apakah penterjemahan atau penjelasan tersebut harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh penghadap (para penghadap), para saksi, penterjemah, dan Notaris ?”
35
Dengan mengacu pada ketentuan ayat (6) semestinya harus dibuat secara tertulis, sebab apabila tidak demikian, niscaya akan sulit membandingkan antara keduanya, terlebih lagi bila perbedaan penafsiran tersebut terjadi dalam waktu yang cukup lama sejak pembuatan akta tersebut. Mengenai penandataanganan penterjemahan atau penjelasan tersebut perlu saya uraikan sebagai berikut :
Berbeda dengan akta yang dibuat dalam bahasa asing, yang penandatanganannya dilakukan secara berturut-turut oleh penghadap, Notaris, saksi, dan penterjemah resmi, mengenai siapa yang menandatangani penterjemahan atau penjelasan yang dimaksud pada ayat (2) tidak jelas, namun apabila kita analogkan dengan ketentuan yang diatur pada ayat (3), maka maka yang menandatangani adalah penghadap, Notaris, saksi, dan penterjemah resmi. Apabila hal ini dilakukan dapat menimbulkan persoalan, berhubung bisa jadi para saksi, demikian pula Notaris tidak memahami bahasa yang digunakan dalam penterjemahan atau penjelasan tersebut. Oleh karena itu, menurut pendapat saya, yang perlu membubuhkan tanda tangan pada penterjemahan atau penjelasan tersebut adalah Notaris (dalam hal otaris yang menterjemahkan atau menjelaskan) atau penterjemah resmi (dalam hal diterjemahkan atau dijelaskan oleh penterjenah resmi) dan penghadap (para penghadap) yang bersangkutan.
Selanjutnya perlu saya tegaskan bahwa pengaturan tentang perbedaan penafsiran di atas hanya dalam hal akta dibuat dalam bahasa Indonesia, sedangkan mengenai akta yang dibuat dalam bahasa asing tidak diatur. Hal ini adalah wajar, sebab pada dasarnya setiap akta harus dibuat dalam bahasa Indonesia, dan hanya bisa dibuat dalam bahasa asing, apabila peraturan perundang-undangan tidak melarangnya.
11. Pasal 48 s/d Pasal 50
Sebagian dari Notaris ada yang berkeberatan atas ketentuan yang mengatur tentang akibat hukum atas pelanggaran terhadap larangan untuk melakukan perubahan atas
36
isi akta yang diatur dalam pasal-pasal tersebut, khususnya yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Berdasar ketentuan yang tercantum dalam pasal 48, larangan tersebut meliputi :
a. penggantian;
b. penambahan;
c. pencoretan;
d. penyisipan;
e. penghapusan; dan/atau
f. penulisan tindih.
Perubahan terhadap akta atau isi akta dapat digolongkan menjadi :
3) Pencoretan;
4) Penambahan;
5) Penghapusan; dan
6) Penulisan tindih.
Pencoretan bisa berupa pencoretan dengan penggantian, yang biasa disebut penggantian, dan pencoretan tanpa gantian yang biasa disebut penggantian. Ada perubahan yang diperkenankan, sepanjang memenuhi syarat yang diatur dalam undang-undang, dan ada pula perubahan yang tidak diperkenankan sama sekali, yaitu penghapusan dan penulisan tindih.
Berdasar pasal 48 ayat (2), Perubahan isi Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dapat dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Timbul pertanyaan : ”Apakah penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan karena tidak dapat membaca dan menulis harus membubuhkan paraf atau memberi tanda pengesahan lain ?”
Menurut saya, sekalipun pada ayat di atas tidak diatur pengecualian, paraf atau tanda pengesahan lain tersebut tidak diperlukan, berhubung sudah diganti surogat dan uraian tentang ada atau tiadanya perubahan pada penutup akta.
37
Setiap perubahan atas Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dibuat di sisi kiri Akta, namun apabila tidak dapat dibuat di sisi kiri Akta, perubahan tersebut dibuat pada akhir Akta, sebelum penutup Akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan.
Pencoretan kata, huruf, atau angka harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi kiri Akta
Dalam hal terjadi perubahan lain terhadap pencoretan sebagaimana yang sudah ada, perubahan itu dilakukan juga pada sisi kiri Akta.
Pada penutup setiap Akta dinyatakan tentang ada atau tidak adanya perubahan atau pencoretan.
Selanjutnya mari kita bahas bersama tentang akibat hukum terhadap perubahan yang tidak sesuai dengan yang diatur dalam pasal 48 s/d pasal 50 :
c. untuk perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal, dan aktanya hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta di bawah tangan;
d. untuk perubahan lainnya mengakibatkan aktanya hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta di bawah tangan.
Akibat hukum yang terurai di atas tersebut adalah sangat wajar, mengingat :
1) setiap perubahan harus dilakukan dengan menunjuk bagian yang diubah, sehingga dapat diketahui secara jelas dan pasti bagian mana yang diubah, sekaligus pembetulannya, apabila ada;
2) pembubuhan paraf atau tanda pengesahan lain atas perubahan tersebut merupakan tanda persetujuan penghadap dan pembenaran terjadinya perubahan tersebut oleh para saksi dan Notaris;
38
3) penyebutan tentang ada atau tiadanya perubahan pada bagian akta merupakan klarifikasi tentang ada atau tiadanya perubahan pada akta;
4) adanya perubahan, sekalipun tidak memenuhi prosedur yang diatur dalam pasal-pasal di atas menunjukkan bahwa penghadap (para penghadap) tidak atau sekurang-kurangnya belum menyetujui bagian akta yang hendak diubah, oleh karena itu tidak pada tempatnya akta otentik mengalami cacat seperti itu, sehingga sudah selayaknya akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti halnya akta di bawah tangan.
Hal lain yang perlu kita perhatikan sehubungan dengan larangan untuk melakukan perubahan yang diatur dalam pasal-pasal di atas adalah akibat hukum sehubungan dengan terjadinya penulisan tindih dan penghapusan, yang ternyata tidak diatur.
Apabila kita berpedoman atau menganalogkan dengan akibat hukum dari pelanggaran lainnya yang diatur dalam pasal 48 s/d pasal 50, maka sudah pada tempatnya bila penulisan tindih dan penghapusan tersebut batal, sedangkan aktanya hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta di bawah tangan.
12. Pasal 51
Sebelum membahas pasal 51, mari kita fahami terlebih dahulu mengenai kesalahan yang terjadi dalam akta, yang dapat kita bedakan menjadi dua, yaitu kesalahan yang bersifat mutlak, dan kesalahan yang bersifat relatif.
Kesalahan yang bersifat mutlak adalah kesalahan yang menyangkut substansi akta, termasuk kewenangan penghadap dan / atau pihak yang diwakili, maupun Notaris, sedangkan kesalahan yang bersifat relatif adalah kesalahan selainnya, termasuk kesalahan ketik / tulis.
Terhadap kesalahan ketik / tulis, sepenuhnya merupakan kesalahan Notaris, sehingga sudah pada tempatnya yang membetulkan adalah Notaris. Timbul pertanyaan : “Apakah
39
pembetulan tersebut dilakukan dengan akta otentik ataukah dengan akta di bawah tangan ?”
Apabila kita mengacu pada ketentuan yang tercantum dalam pasal 52 yang menyatakan bahwa : “Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa”, maka semestinya akta tersebut dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan yang dibuat di hadapan penghadap, dan berupa akta berita acara.
-------------
40
PENUTUP
Berbekal kesadaran akan kurangnya ilmu pengetahuan maupun pengalaman, terutama namun tidak terbatas pada hal-hal yang berkenaan atau terkait dengan Notaris, menimbulkan keyakinan pada diri saya bahwa dalam tulisan sederhana ini terkandung berbagai macam kekurangan, oleh karena itu sudah pada tempatnya saya berharap adanya berbagai macam masukan, baik berupa kritik, komentar, maupun saran dari para Notaris maupun pihak lain untuk keperluan perbaikan penulisan saya di masa yang akan datang.
Semoga ada manfaatnya, dan Allah meridloi. Amin.
Surabaya, 23 Januari 2013
Penulis,
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS