HUKUM DAN DIMENSI SPIRITUAL
HUKUM DAN DIMENSI SPIRITUAL
(Perspektif Positivis, Pospositivis dan Spiritualisme)
Oleh : Absori[1]
Abstrak
Tulisan ini akan mencoba menggambarkan hukum dan spiritualisme. Kajian hukum di sini dimaksudkan untuk menggambarkan hukum atau ilmu hukum melalui pendekatan perspektif historis, yakni pada era positivisme yang melahirkan hukum modern pada masyarakat liberal. Pada saat semacam itu nilai-nilai spiritual yang meliputi: etika moral dan agama tidak mendapat tempat sehingga hukum modern mengalami krisis spiritual. Dalam perkembangannya kemudian muncul gerakan pemikiran kritis yang post pisitivis yang berupaya untuk melepaskan diri dan menggugat pemikiran positivis. Pemikiran semacam itu berangkat pada pemahaman hukum yang tidak hanya bersifat formal, yang mementingkan peraturan, prosedur dan logik, tetapi lebih menekankan pada perkembangan mutahir ilmu pengetahuan (the pronter changing of science), yang memahami ilmu sebagai satu kesatuan (the unity of knowledge) yang tidak lepas dari fakta emfirik dan realitas alam dan perilaku sosial yang berkaitan dengan nilai-nilia yang menyertaainya, seperti etik, moralitas dan nilai-nilai spiritual.
Kata kunci: ilmu hukum, positivis, pospositivis, spititualisme
A. Pendahuluan
Garis depan ilmu senantiasa berubah (the changing of science). Ilmu berusaha
mencari dan mengungkap kebenaran, tetapi pada waktu yang sama menyadaari
keterbatasannya. Ilmu tidak dapat berpretensi (telah) menemukan kebenaran
absolut. Ilmu sennatiasa merupakan proses pencarian terhadap kebenaaran.
Berangkat dari uraian di atas, maka tidaklah mengherankan bahwa garis depan
ilmu selalu berubah-ubah dan bergeser[2].
Kebenaran Kebernaran ilmiah tidaklah bersifat mutlak (absolut), berubah-ubah
dan tidak abadi. Ia bersifat nisbi, sementara dan kira-kira[3].
Namun kebanyakan ilmuwan mengakui adanya kebenaran mutlak yang merupakan otoritas dari Al-khaliq. Kebenaran
mutlak merupakan kebenaran tunggal yang sering disebut sebagai kebenaran hakiki yang substanstif dan
esensial, yang tampil dalam bentuk keteraturan alam semesta.
Kebenaran hasil olah pikir manusia
bersifat relatif, namun dimungkinkan
manusia dapat mejangkau lebih luas lagi samudra kebenaran yang dibentangkan melalui kekuasaan Allah baik yang tersurat
dalam Al-kitab dan ciptaan-Nya yang tergelar di alam semesta maupun yang
melalui kreasi potensi manusia, berupa akal, budi dan indera. Dimungkinkan
manusia akan mampu meraih kebenaran yang lebih tinggi dalam wujud kebenaran
transendental yang vertikal.
Menurut Liek Wilardjo teori itu, dan
dengan sendirinya juga konsep yang terkandung di dalamnya, akan diterima
sebagai secara ilmiah benar dan baik dalam pengertian bahwa ia bermanfaat
dalam menyingkapkan beberapa
butiran-butiran kebenaran yang tersembunyi dalam perbendaharaan alam, walaupun
hanya berarti penegasan-penegasan yang dapat diuji secara emfiris pada umumnya[4].
Dalam bahasa Thomas Khun, ilmu dari waktu ke waktu mengalami revolusi dimulai dengan perubahan dalam paradigma yang digunakan. Salah satu peristiwa besar dalam dunia ilmu pengetahuan adalah berakhirnya era Newton melalui suatu revolusi dan untuk waktu yang lama diterima sebagai keunggulan ilmu pengetahuaan yang mampu mengakhiri keterbatasannya untuk menjelaskan dan mempetakan alam. Sejak fisika dan paradigma Newton yang baru itu, maka seluruh alam dianggap telah dapat dilihat dalam suatu susunan yang tertib. Tetapi era Newton bukan akhir segalanya, alam masih menyimpan kompleksitas yang tidak dapat dijelaskan atau dijangkau oleh teori Newton[5].
Kini garis depan ilmu telah berubah. Era Newton diganti teori Relativitas Einstein yang lebih mampu mengamati fenomena alam yang kompleks. Menurut Phillip Clayton[6] era sains telah berubah, yakni telah menerima keterbatasan-keterbatasan dalam prediksi (mekanika kuantum), aksiomatisasi, determinisme, atomisme maupun pemahaman berdasar hukum atas perilaku manusia. Teori Emergensi kini menyarankan bahwa alam terbuka ke atas. Hakikat kesadaran manusia terbuka ke atas yang menerima getaran-getaran keabadian transendental, memberi model yang sangat kuat bagi integrasi antara jiwa dan roh. Sebuah gambaran yang persis sama dengan apa yang diajarkan oleh agama, baik Yahudi, Kristen maupun Islam.
Di sini tampak menunjukan bahwa ilmu pada hakikatnya satu (the unity of Knowledge) yang dikonsepkan dalam istiah “Consilience”. Pergantian paradigma dalam ilmu fisika daari mekanik ke teori kuantum yang lebih komplek, memberi pelajaran sangat berharga kepada studi hukum atau ilmu hukum. Memahami hukum tidak cukup hanya menggunakan pendekatan positivis-analitis, dilihat secara linier dan mekanik. dengan perlengkapan peraturan dan logika, kebenaran tentang kompleksitas hukum tidak dapat muncul. Hukum telah direduksi menjadi institusi normative yang sangat sederhana. Kebenaaran anthropologi, sosiologi, ekonomi, psikologis, managerial dan lain-lain tidak (boleh) ditampilkan. Batas antara oder dan disorde dilihat seara hitam putih[7].
Dalam kesimpulan tulisannya Philip Calyton mengatakan bahwa kini kita mulai melihat suatu renaisans, kebangkitan kembali metafisika (transendental), dari repleksi sistematik mengenai hakikat dan kreativitas Tuhan. Positivis boleh saja mengumamkan bahwa metefisika (transcendental) sudah mati, akan tetapi, rasanya kini justru positivisme logislah yang duluan mati. Sangat menarik perhatian bahwa era pemikir teisme dari Muslim, Yahudi dan Kristen kini kembali terlibat dlam eksplorasi yang sangat luas terhadap gagasan “hipotesis Tuhan”[8].
Tulisan ini akan mencoba menggambarkan hukum dan spiritualisme. Kajian hukum di sini dimaksudkan untuk menggambarkan hukum atau ilmu hukum melalui pendekatan perspektif historis, yakni pada era positivisme yang melahirkan hukum modern pada masyarakat liberal. Pada saat semacam itu nilai-nilai spiritual yang meliputi: etika moral dan agama tidak mendapat tempat sehingga hukum modern mengalami krisis spiritual. Dalam perkembangannya kemudian muncul gerakan pemikiran kritis yang post pisitivis yang berupaya untuk melepaskan diri dan menggugat pemikiran positivis. Pemikiran semacam itu berangkat pada pemahaman hukum yang tidak hanya bersifat formal, yang mementingkan peraturan, prosedur dan logik, tetapi lebih menekankan pada perkembangan mutahir ilmu pengetahuan (the pronter changing of science), yang memahami ilmu sebagai satu kesatuan (the unity of knowledge) yang tidak lepas dari fakta emfirik dan realitas alam dan perilaku sosial yang berkaitan dengan nilai-nilia yang menyertaainya, seperti etik, moralitas dan nilai-nilai spiritual.
B. Positivis dan Perkembangannya
Sebelum membicarakan berbagai
perkembangan yang berkaitan dengan paradigma positivis, maka perlu dikemukakan
terlebih dulu beberapa hal yang berkaitan dengan hukum alam (nature) yang keberadaannya dianggap amat
penting sebagai pijakan dalam pengembangan filsafat positivis.
Hukum alam sesungguhnya
merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori. Berbagai anggapan dan
pendapat yang dikelompokkan dalam hukum alam ini bermunculan. Istilah hukum
alam dituangkan dalam berbagai arti oleh berbagai kalangan pada masa yang
berbeda. macam-macam anggapan tersebut di antaranya, pertama merupakan ideal yang menuntun perkembangan hukum dan
pelaksanaannya; kedua suatu dasar
dalam hukum yang bersifat moral yang menjaga jangan sampai terjadi suatu
pemisahan secara total antara yang ada sekarang dan yang seharusnya; ketiga suatu metode untuk menuntun hukum
yang sempurna; keempat isi dari hukum
yang sempurna yang dapat didiskusikan secara akal, dan kelima suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.[9]
Dalam perkembangannya, bidang hukum
menunjukkan perubahan yang paradigmatic.
Hukum tidak lagi dibangun, dan dijabarkan sesuai dengan tatanan nilai yang
bersifat transendental atau berasal dari hukum alam, tetapi telah bergeser pada
pandangan yang melihat peran manusia begitu dominan dalam merumuskan ketentuan
aturan hukum. Tokoh pendekatan ini di antaranya Hugo de Graat atau Grotius yang
memunculkan pemahaman hukum alam bersifat sekuler. Menurut paham ini, hukum
berasal dari alam dan keberadaannya tidak bergantung dari Tuhan. Adanya hukum
alam tidak bergantung pada eksistensi Tuhan. Hukum alam akan tetap ada terlepas
ada tidaknya Tuhan. Hukum yang berlaku di suatu masyarakat merupakan bagian
dari hukum alam. Karena itu, hukum alam oleh para pendukungnya dianggap berjasa
dalam meletakkan landasan ideal nilai-nilai atau norma universal, seperti hak
asasi manusia (HAM), persamaan derajat manusia, perlakuan yang sama dihadapkan
hukum, dan lain-lain.
Kelemahan hukum alam adalah karena ide
atau konsep tentang apa yang disebut hukum bersifat abstrak. Hal ini akan
menimbulkan perubahan orientasi berpikir dengan tidak lagi menekankan pada
nilai-nilai yang ideal dan abstrak, melainkan lebih mempertimbangkan persoalan
yang nyata dalam pergaulan masyarakat. Latar belakang ini yang pada akhirnya
melahirkan aliran hukum positif.[10]
Aliran hukum positif berangkat dari
pandangan bahwa hukum tidak berasal dari Tuhan atau alam, melainkan dari
manusia sendiri berdasarkan kemampuannya untuk merumuskan ketentuan hukum yang
sumbernya dapat saja digali dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
Hukum lahir untuk mengikat masyarakat karena adanya perjanjian sosial (social contract), manusia sendirilah
yang memang menghendaki. Aliran hukum positif memandang perlu untuk memisahkan
secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kacamata positivis, tiada hukum
kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivitas legalisme menganggap bahwa
hukum identik dengan undang-undang.
Pengaruh positivis modern telah memasuki
segala sektor keilmuan. Ditandai dengan kebangkitan semangat Eropa, melalui Renaisance, sebagai abad pencerahan yang
diyakini akan mampu membawa harapan melalui ilmu pengetahuan pada orde
peradaban yang dapat memecahkan segala persoalan hidup manusia. Besamaan dengan
ini itu teknologi (spiritualisme)
menjadi semakin memudar karena keberadaannya dianggap sudah tidak mampu
mengatasi persoalan-persoalan hidup yang nyata. Implikasi semangat positivis
telah membawa pembaharuan di berbagai bidang ilmu pengetahuan sosial, politik,
ekonomi, hukum dan bidang-bidang lain.
Di bidang hukum sejak lebih kurang 200
tahun, negara-negara di dunia menggunakan konsep hukum modern. Praktis, hukum
menghadapi pertanyaan yang spesialistik, teknologis, bukan pertanyaan moral. Keadaan
yang demikian itu sangat kuat nampak pada hukum sebagai profesi. Kaum
professional adalah orang-orang yang ahli dalam perkara perundang-undangan,
tetapi jangan ditanyakan kepada mereka tentang urusan moral atau moralitas.
Ekses hukum di Amerika yang sudah menjadi bisnis mengundang orang untuk
berkomentar bahwa sifat kesatrian, professional oblesse, menolong orang yang susah sudah semakin luntur. Tipe
bantuan hukum yang demikian itu disebut sebagai penembak bayaran.[11]
Hukum positif muncul bersamaan dengan
berkembangnya tradisi keilmuan yang mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah
umat manusia yang semula terselubung cara-cara pemahaman tradisional. Hukum
positif mengajarkan bahwa hukum
positiflah yang mengatur dan berlaku dibangun di atas norma yuridis yang telah
ditetapkan oleh otoritas negara yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk
memisahkan antara kebijaksanaan dengan
etika dan mengindentikkan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan
norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalam terdapat
kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan
mengindentikkan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan atas aturan-aturan yang
ditetapkan oleh penguasa negara. John Austin menggambarkan hukum sebagai suatu
aturan yang ditentukan untuk membimbing makhluk berakal oleh makhluk berakal
yang telah memiliki kekuatan untuk mengalahkannya. Oleh karena itu, hukum harus
dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya kebenaran hukum harus disandarkan
pada ide-ide baik dan buruk yang didasarkan pada ketetapan kekuasan yang
tertinggi.[12]
Positivisme adalah aliran yang mulai
menemui bentuknya dengan jelas melalui karya Agust Comte (1798-1857) dengan
judul Course de Philoshopie Positive.
Positivisme hanya mengikui fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa
diobservasi dengan hubungan obyektif fakta-fakta ini dan hukum-hukum yang
menentukannya, meninggalkan semua penyelidika menjadi sebab-sebab atau
asal-usul tertinggi. Agus Comte membagi evolusi menjadi tiga tahap, pertama,
tahap teologis dimana semua fenomena dijelaskan dengan menunjukkan kepada
sebab-sebab supernatural dan intervensi yang bersifat ilahi; kedua tahap metafisika. Pada tahap ini,
pemikiran diarahkan menuju prinsi-prinsip dan ide-ide tertinggi yang dipahami
sebagai ada di bawah permukaan sesuati,
dan ketiga, tahap positif yang
menolak semua konstruksi hipotesis dalam filsafat dan membatasi diri pada
observasi empirik dan hubungan fakta-fakta di bawah bimbingan metode-metode
yang dipergunakan dalam ilmu-ilmu alam.[13]
Garis besar ajaran positivisme berisi
sebagai berikut: pertama, hanya
ilmu yang bebas nilai yang dapat
memberikan pengetahuan yang sah; kedua, hanya fakta (ikhwal/peristiwa
empiris) yang dapat menjadi obyek ilmu; ketiga,
metode filsafat tidak berbeda dengan metode filsafat tidak berbeda dengan
metode ilmu; keempat, tugas filsafat
adalah menemukan asas-asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan menggunakan
asas-asas tersebut sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadikan landasan
bagi semua organisasi sosial; kelima,
semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan hanya pada pengalaman
(empiris verifikatif), keenam,
mengacu pada ilmu-ilmu alam, dan ketujuh berupaya memperoleh suatu pandangan
tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia fisik maupun dunia manusia melalui
aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan hasil-hasil ilmu alam.[14]
Positivisme oleh Hart diartikan sebagai
berikut: pertama, hukum adalah
perintah, kedua, analisis terhadap
konsep-konsep hukum adalah suatu yang berharga untuk dilakukan; ketiga, keputusan-keputusan dapat
didedukasikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih
dahulu tanpa menunjukkan kepada
tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas; keempat, penghukuman secar moral tidak dapat ditegakkan dan
dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian, dan kelima, hukum sebagaimana diundangkan,
ditetapkan harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya
diciptakanyang diinginkan. Inilah yang sekarang sering diterima sebagai
pemberian arti terhadap positivisme.[15]
Positivisme merupakan suatu paham yang
menuntut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran
hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif yang
harus dilepaskan dari sembarang macam prokonsepsi metafisis yang subjektif
sifatnya. Pada saat diaplikasikan ke dalam pemikiran hukum, positivisme
menghendaki dilepaskannya pemikiran yuridis mengenai hukum sebagaimana dianut
olehpara eksponen aliran hukum kodrat. Oleh sebab itu, setiap norma hukum
haruslah eksis dalam alamnya yang
objektif sebagai norma-norma yang positif ditegaskan sebagi wujud kesepakatan
kontraktual yang kongkrit antara warga masyarakat. Hukum bukan lagi mesti
dikonsepkan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat
keadilan, melainkan sesuatu yang telah menjalani positivisasi sebagai legee
atau lex guna menjamin kepastian mengenai apa pula yang sekalipun normatif
harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.[16]
Dalam negara modern, hukum positif
dibuat oleh penguasa yang berdaulat. Penguasa digambarkan sebagai manusia
superior yang bersifat menentukan. Penguasa ini mungkin seorang individu,
sebuah lembaga, atau sekelompok individu. Menurut John Austin, karakteristik hukum positif
terletak pada karakteristik imperatifnya. Artinya, hukum dipahami sebagai suatu
perintah dari penguasa. Pemikiran semacam itu kemudian dikembangkan Rudolf van
Hearinga dan George Jellinek yang menekankan pandangan pada orientasi untuk mengubah
teori-teori negara berdaulat sebagai gudang dan sumber kekuasaan hukum.[17]
Paham positivisme mempengaruhi kehidupan
bernegara untuk mengupapayakan positivisasi norma-norma keadilan agar segera
menjadi norma perundang-undangan untuk mempercepat terwujudnya negara bangsa
yang diidealkan. Paham ini mempunyai struktur yang terintegrasi kukuh secara
sentral dan berotoritas sentral yang tidak bisa dijabarkan, positivisasi hukum
selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum di
negara-negara yang tumbuh modern dan menghendaki kesatuan dan atau menyatukan.
Tidak Cuma yang menuju ke nation state, melainkan juga yang dulu menuju ke
colonial state. Tak ayal pula, positivisasi hukum selalu berhakikat sebagai
proses nasionalisasi dan etaisasi hukum menuju kemampuan negara dan pemerintah
untuk monopoli kontrol sosial yang formal lewat pendayagunaan hukum positif.[18]
Hukum adalah perintah penguasaan negara.
Hakikat hukum menurut John Austin terletak pada unsur perintah. Hukum dipandang
sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Karena itu, pihak
penguasalah yang menentukan apa yang diperbolehkan dan yang tidak
diperbolehkan. Kekuasaan dari penguasa dapat memberlakukan hukum dengan cara
menakuti dn mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkan.
John Austin, pada mulanya, membedakan
hukum dalam dua jenis, yaitu hukum dari Tuhan untuk manusia dan hukum yang
dibuat oleh manusia dapat dibedakan dengan hukum yang sebenarnya dan hukum yang
tidak sebenarnya. Hukum yang sebenarnya inilah yang disebut sebagai hukum
positif yang meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun
oleh manusia secara individual untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan
kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa
sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Hukum yang sebenarnya
memiliki empat unsur yaitu perintah (Command),
sangsi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (soveignty).[19]
Sementara menurut Hans Kelsen, hukum
harus dibersihkan dari anasir-anasir non yuridis seperti unsur sosiologis,
politis, historis, bahkan nilai-nilai etis. Pemikiran inilah yang dikenal
dengan teori hukum murni (reine rechlehre).
Jadi hukum adalah suatu kategori keharusan (sollens
kategorie) bukan kategori factual (sains
kategorie). Hukum baginya merupakan suatu keharusan yang mengatur tingkah
laku manusia sebagai makhluk rasional.
Teori hukum murni boleh dilihat bagai
suatu pembangunan yang amat seksama dari aliran positivisme. Ia menolak ajaran
yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu
dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Teori hukum ini adalah teori tentang
hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan apakah
hukumnya dan bukan bagaimana hukum yang seharusnya. Karena itu, menurut Hans
Kelson keadilan sebagaimana lazimnya dipertanyakan hendaknya dikeluarkan dari
ilmu hukum. Ia adalah suatu konsep. Ideologis, suatu ideal yang irasional.
Pendapat yang mengemukakan bahwa keadilan itu ada, ternyata tidak dapat
memberikan batasan yang jelas sehingga menimbulkan keadaan yang kontradiktif.
Bagaimanapun keadilan itu tidak dapat dilepaskan dari kehendak dan tindakan
manusia. Ia tidak bisa menjadi subjek ilmu pengetahuan. Apabila dipandang dari
sudut pengetahuan rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan. Oleh karena
itu, hanya ada konflik kepentingan-kepentingan.[20]
Dasar-dasar pokok pikiran teori Hans
Kelsen adalah sebagai berikut: pertama,
tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu adalah untuk mengurangi
kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity);
kedua, teori hukum adalah ilmu, bukan
kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada bukan tentang
hukum yang seharusnya ada; ketiga,
ilmu hukum adalah normatif bukan ilmu alam, keempat,
sebagai suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara
pengaturan dari sisi yang berubah-ubah menurut jalan atau cara yang spesifik,
dan keenam, hubungan antara teori
hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum
yang mungkin dan hukum yang ada.[21]
Hans Kelsen juga dikenal sebagai
pencetus teori berjenjang, (stuffen
theory) teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari
susunan norma berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan
dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma akan semakin
abstrak sifatnya dan sebaliknya semakin rendah kedudukannya akan semakin
kongkrit. Norma yang paling tinggi menduduki puncak piramida yang disebut norma
dasar (grund norm). teori berjenjang
ini kemudian dikembangkan oleh Hans Nawasky. Namun, lebih mengkhususkan pada
pembahasan norma hukum saja. Sebagai penganut dari aliran positif, hukum
dipahami identik dengan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh penguasa.[22]
C.
Pospositivis dan Dekonstruksi
Dalam perkembangannya, muncul aliran
yang merupakan reaksi dari dominasi pemikiran rasionalisme yang dianggap
mempunyai banyak kelemahan yang didasarkan pada pemikiran yang hanya terpaku
pada nilai-nilai atau asumsi-asumsi yang bersifat khayal. Karena itu, akhirnya
melahirkan aliran sejarah (historis) yang menginginkan suatu teori harus
didasarkan pada kenyataan-kenyataan atau fakta. Tokoh dari aliran sejarah ini
diantaranya adalah Von Savigny yang menolak untuk mengagung-agungkan akal seseorang.
Hukum, baginya tidak dibuat tapi tumbuh dan ditemukan dalam masyarakat.
Menurut Von Savigny, hukum timbul bukan
karena perintah penguasa atau kebinasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang
terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber
hukum. Karena itu, Savigny mengeluarkan pendapatnya yang amat terkenal bahwa
hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh bersama masyarakat. Pendapat Savigny amat
bertolak belakang dengan pandangan positivisme, sebab mereka berpendapat bahwa
dalam membangun hukum maka studi terhadap sejarah atau bangsa mutlak
diperlukan. Pendapat tersebut oleh Puchta dibenarkan dan dikembangkan dengan
mengajarkan bahwa hukum suatu bangsa serikat pada jiwa bangsa yang
bersangkutan.
Teori hukum lain yang lahir dari proses
dialetika antara tesis positivisme hukum dan antitesis aliran sejarah, yaitu sociological juris-prudence yang
berpendapat bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat. Teori ini memisahkan secara tegas antara hukum positif
dengan hukum yang hidup. Tokoh aliran ini terkenal di antaranya adalah Eugen
Ehrlich yang berpendapat bahaw hukum positif baru akan berlaku secara efektif
apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (Lili
Rasyidi, 1988: 55). Tokoh lain yaitu Roscoe Pound yang mengeluarkan teori
hukum adalah alat untuk merekayasa sisial (law
as a tool of social engineering).
Roscoe Pound juga mengajurkan supaya ilmu sosial didayagunakan untuk
kemajuan dan pengembangan ilmu huikum[23].
Penggunaan paradigma rekayasa sosial
menekankan pada efektivitas hukum, yang umumnya diabaikan pada studi hukum
tradisional yang lebih menekankan pada struktur dan konsistensi rasional dari
sistem hukum. Dengan memperhatian perihal efektivitas hukum, maka perhatian
studi hukum menjadi melebar dan melampaui kajian tradisional yang hanya
menekankan pada masalah legalitas dan legitimasi saja. Memebicarakan
efektivitas hukum hanya dapat dilakukan dengan pendekataan sosiologis, yaitu
mengamati interaksi antara hukum dengan lingkungan sosialnya. Hukum tidak
dilihaat sebgaai institusi yang stiril, melainkan senantiasa diuji kehadirannya
dan karya-karyanya dari hasil dan akibat yang ditimbulkannya dalam kehidupan
masyarakat luas[24].
Bersamaan dengan itu, berkembang juga
aliran realisme hukum. Menurut aliran ini, hukum itu adalah hasil dari
kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Ciri-ciri ajaran realisme
sebagaimana dikemukakan oleh Karl. N. Liewellyn adalah sebagai berikut: pertama, tidak ada mahzab realis.
Realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja tentang hukum, kedua, realisme adalah konsep hukum
yang harus diuji tujuan dan akibat-akibatnya. Realisme mengandung konsepsi
tentang masyarakat yang berubah lebih cepat dari pada hukum; ketiga, realisme menganggap adanya
pemisahan sementara antara hukum yang ada dan hukum yang seharusnya untuk
tujuan-tujuan studi: keempat,
realisme tidak percaya pada ketentuan dan konsepsi hukum sepanjang
menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan dan orang, dan kelima realisme menekankan evolusi tiap
bagian dari hukum dengan mengingatkan akibatnya.[25]
Pospositivis dapat dipahami sebagai mode
pemikiran atau dapat juga merupakan tahapan dalam lintasan sejarah.
pospositivis secara umum dapat dikatakan sebagai gugatan terhadap positivis
yang bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal yang telah mencapai
status hegemonis di dunia. Kalau positivis melahirkan modernisme, maka post
positivisme akan melahirkan pikiran post modernisme.
Era pospositivisme sering dipahami
sebagai gejala berkembangnya pemikiran yang memberontak pada tatanan
positivisme dengan indikasi bersifat anti rasionalisme. Dengan demikian,
berarti telah peluang dan tempat berkembangnya pemikiran non rasional. Inilah
yang oleh Jacques Derrida disebut sebagai dekontruksi,
yakni pembongkaran cara berpikir yang logis dan rasional. Dekonstruksi
membongkar unsur-unsur kekuasaan yang muncul dalam kesadaran. Dekontruksi
dilakukan terhadap pemikiran-pemikiran yang dianggap dominan dan benar, karena
yang dianggap benar selama ini, ternyata tidak membahagiakan manusia.
Dekontruksi telah membongkar positivisme
yang selama ini dalam bidang hukum dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat
modern. konsepsi kebenaran hukum merupakan nilai yang teramat penting
menunjukkan kencenderungan yang relatif dan kabur. Nilai kebenaran dipahami
dengan menggunakan pandangan yang berbeda dan mengarah pada suatu pemahaman
bahaw kebenaran itu ukurannya menurut persepsi pembuat hukum. Pembuat hukum
didasarkan atas kemauan pihak penguasa yang ditopang kelompok politik mayoritas
dengan dituangkan dalam bentuk undang-undang. Padahal, kehendak dan pandangan
politik kelompok mayoritas belum tentu mencerminkan kebenaran.
Dalam bidang hukum publik, khususnya
hukum ketatanegaraan, demokrasi dengan sistem perwakilan dianggap sebagai
sistem yang terbaik dalam negara modern. namun dalam perkembangannya sudah
mulai dipertanyakan. Mereka menganggap bahwa representasi amat penting bagi
modernisasi, organisasi, struktur politik dan filsafat yang mendasarinya. Akan
tetapi, representasi adalah asing dan berlawanan dengan apa yang dipandang
bernilai menurut pola post modernisme.
Dalam
alam positivisme, perspektif spiritual dengan segala aspeknya seperti
keagamaan, etika, dan moral diletakkan sebagai bagian yang terpisah dari satu
kesatuan pembangunan peradaban modern. Karena itu, hukum modern dalam
perkembangannya telah hilang unsur yang esensial yang berupa nilai
transedental. Hal ini terjadi sebagai akibat cara berpikir yang didasari dari
pandangan keduniaan yang diurus oleh kaisar dan keagamaan yang diserahkan pada
tokoh agama (pendeta, rahib dan ulama). Cara berpikir seperti itu muncul
bersamaan dengan runtuhnya kekuasaan Romawi dan berdirinya negara-negara bangsa
di Eropa melalui perjanjian West Phalia tahun 1648 M yang dianggap sebagai awal
kebangkitan Eropa, yang memunculkan etika protestan sebagai kekuatan yang
mempengaruhi kapitalis Barat.
D.
Spiritualisme dan Dialog Nilai
Corak spiritual dalam alam
pospositivisme dapat dilihat pada jangkauan yang lebih luas yang berupa agama,
etika, dan moralitas. Agama, etika dan moralitas tidak lagi dipahami dalam satu
aspek saja, yaitu aspek yang terkait dengan persoalan teologi dan keinginan
semata yang dapat dilihat melalui doktrin-doktrin dan peribadatan, tapi lebih
dari itu persoalan nilai-nilai tersebut dapat didialogkan dengan persoalan
pengembangan keilmuan, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum. Sebab krisis
masyarakat barat yang dianggap sebagai kegagalan peradaban modern karena pemikiran
modern telah memisahkan spiritualisme dengan segala aspeknya dalam satu
kesatuan pembangunan peradaban yang dibangun.
Danah Zohar dan Ian Marshall dalam
bukunya “Spiritual Intellegence, The
Ultimate Intellegence”, mengkritisi kegagalan peradaban barat dengan
mengenalkan berpikir spiritual (spiritual
tinking) dengan menggunakan pendekatan kecerdasan spiritual (spiritual quition), yang akan diperoleh
kecerdasan yang paling sempurna (ultime
intelegen), dilakukan dengan cara menerabas garis-garis formalisme (existing rule) dan transendental,
sehingga akan dapat diperoleh pemikiran baru yang mendekataai kebenaran yang
hakiki (the ultimate truth).
Pemikiran semacam itu sangat menarik untuk kajian hukum dalam rangka untuk
menempatkan hukum pada hakikatnya dan menjadikan hukum dapat membahagiakaan
Manusia perlu spiritual quotient karena di masyarakaat
barat telah terjadi makna hidup di dunia modern (the crisis of meaning). Spitual quiation merupakan alat bagi
manusia untuk dapat membangun berbagai perspektif baru dalam kehidupan, mampu
menemukan cakrawala luas pada dunia yang sempit dan bisa merasakan kehadiran
tuhan tanpa bertemu dengan Tuhan. SQ dapat digunakan untuk membangkitkan
potensi-potensi kemanusiaan yang terpendam, membuat diri manusia semakin
kreatif dan mampu mengatasi problem-problem esensial. SQ juga merupakan
petunjuk ketika manusia berada di antara order
dan chaos, memberikan intuisi tentang
makna daan nilai[26].
Keceerdasan spiritual
tidak ingin dibatasi patokan (relu-bound),
juga tidaak hanya bersifat kontektual, tetapi ingin keluar daari situasi yang
ada dalam ussaha untuk mencari keebenaran, makna atau nilai yang lebih dalam.
Dengan demikian berpikir menjadi suatu infite game. Ia tidak ingin diikat dan
dibatasi paatokan yang ada, tetapi ingin melampaui dan menembus situasi yang
ada (transendental). Kecerdasaan spiritual tidak berhenti menerima keadaan dan
beku, tetapi kreatif dan membebaskan. Dalam kreativitasnya, ia mungkin bekerja
dengan mematahkan patokan yang ada (rule
breaking) sekaligus membentuk yang baru (rule
making). Kecerdasan spiritual sama sekali tidak menyingkirkan potensi
intelegen dan emosi yang ada, tetapi meningkatkan kualitasnya, sehingga
mencapai tingkat keccerdasaan sempurna (ultimate
intelligence)[27].
Penemuan SQ yang dilakukan melalui penelitian
berbagai tempat, seperti di Meksiko dan Swedia menunjukan bahwa
spiritualisme dan perspektifnya menjadi
alternatif mutahir untuk menungkinkan manusia modern bisa keluar dari
rasa keterasingan di tengah keramaian untuk menemukan jati diri sebagai manusia dengan pendekatan spiritual,
yang di dalamnya ditemukan integrasi nilai secara subtantif. Di sini menunjukan
bahwa temuan ilmiah tidak harus bersifat rasional dan logik, tetapi bisa juga
sarat dengan nuasa nilai yang tidak dapat dijelaskan secara rasional tetapi
dapat dirasakan melalui intuisi batin manusia. Perspektif spiritual menjadi
penting dalam dunia ilmu atau pengembangan ilmu untuk menjadi ilmu lebih
bermakna bagi kehidupan manusia.
Menurut Kenneth Boulding, Ilmu itu sarat dengan nilai. Kebahagiaan yang amat besar dari keberhasilan masyarakat keilmuan dalam memajukan ilmu pengetahuan adalah berkat sistem nilainya, di mana suatu pengabdian yang impersonal kepada kebenaran dianggap sebagai nilai tertinggi, kepada siapa kebanggan pribadi maupun kebanggaan nasional harus menundukan dirinya. Edward Teller menyebut, ciri utama dari ilmu “ialah bahwa ia menuntut disiplin mental yang besar, dan bahwa ia membawa kepada pencapaian intelektual yang akrab hubungannya dengan keserasian dan keindahan”[28]
Mill dan Brandt dalam teori moralnya, mengatakan tindakan benar yang baik adalah tidakan yang menghasilkan kebaikan pada lebih banyak orang[29]. Immanuel Kant mengemukakan manusia berkewajiban melaksanakan moral imperatif, agar masing-masing bisa bertindak baik yang dilakukan karena kesadaran bukan pemaksaan[30]. A.I. Melden mengatakan hak moral kebebasan individu mempunyai saling keterkaitan antar individu, hak atas kebaikan komunitas dibutuhkan, termasuk hak memberitahu produk Iptek yang merugikan komunitas. Ilmu diarahkan pada keutamaan dan kebaikan sosial dalam suatu komunitas. Kebaikan yang dimaksud bukan sekedar kebaikan fisik, melainkan kebaikan memberi kebahagiaan non fisik[31].
Dalam perjalanan sejarah dan pengalaman emfirik, sering dijumpai adanya pandangan bahwa kebenaran ilmu hanya untuk ilmu, bahkan lebih pragmatis lagi, yakni tergantung kepada berbagai kepentingan, termasuk kepentingan ideologi dan politik, Kebenaran ilmu menjadi buta karena para ilmuwan penemunya tak beretika dan tak bermoral, sehingga tidak heran kalau hasil temuannya digunakan untuk kepentingan yang tidak bertangungjawab, ilmunya menjadi tidak bermanfat dan mendatangkan bencana kemanusiaan.
Namun demkian ilmu dan pengembangannya tidak bisa lepas dari etika dan moral. Sekalipun sering dicampuradukan dalam penggunaannya, tetapi persoalan baik-buruk, sopan, jujur, patriotik, solider adil, teguh pada pendirian yang benar, mencintai keindahan, dan lain lain, kesemuannya akan berkaitan dalam pengembangan ilmu dan perilaku keseharian seorang ilmuwan. Karena itu pengembangan ilmu menuntut value, etika dan moralitas memanusiakan manusia sampai pelestarian lingkungan. Demikian juga amat dibutuhkan produk seni berupa keindahan dan keharmonisan, serta moralitas yang mensucikan batin.
Demikian juga menurut Liek Wilardjo keterikan ilmu kepada nilai-nilai membuatnya tidak dapat dipisahkan dari etika. Perkataan “etis” menunjuk kepada bagaimana suatu budaya berpendapat seharusnya bertingkah laku. Etika memberi nasehat mengenai tingkah laku, biasanya dalam bentuk pernyataan, semboyan, pepatah, peribahasa dan sebagainya, yang mengandung arti, tetapi tidak menyatakan dengan tuntas, tujuan-tujuan yang baik dan didambakan, yang diharapkan bisa dicapai dengan mengikuti nasehat-nasehat, serat akibat-akibat buruk bila melanggar nasehat-nasehat tersebut[32].
Dalam situasi hipotesis yang delematis harus dipahami bahwa kebenaran merupakan suatu nilai, demikian juga kebaikan dan kemaslahatan. Ketiganya tidak bisa dilepas dalam bagian-bagian tersendiri, tetapi berkaitan yang menampilkan pandangan bahwa “ilmu yang tidak bebas nilai”. Seorang ilmuwan dalam menyampakan kebenaran tidak bisa lepas dari tata nilai keyakinan dan intiusi hati nurani yang menyuarakan etik kemanusiaan dan moral, serta nilai-nilai yang digali dari relung-relung kehidupan masyarakat (budaya) dan kemanfatannya untuk umat manusia..
Kebenaran spirituall selama ini sengaja atau tidak disengja dijauhi oleh para ilmuwan, karena dianggap lekat dengan wilayah kajian teologi (agama). Pertanyaan muncul, kenapa Allah menurukan agama yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan. Lebih rumit lagi pemahaman dan penafsiran antar agama terhadap suatu nilai sering kali berbeda. Inilah barang kali pentingnya dilakukan diolog agama atau nilai, dalam rangka mencari dan menghubungkan titik-titik persamaan menjadi konfigurasi tatanan nilai yang amat dibutuhkan manusia yang mendambakan terciptanya ketenteraman dan kedamaain kehidupan manusia.
Ilmu tidak boleh tinggal diam untuk mendialogkan persoalan nilai, dan tidak boleh menganggap bahwa persolan nilai dianggap bukan wilayahnya. Ilmu perlu didorong lagi untuk memasuki wilayah-wilayah seperti itu dan memfasilitasi dalam bentuk memberikan sumbangan kelebihan (metodelogi) yang dimiliki, dalam rangka untuk melakukan konvergensi atau titik temu antara persoalan kebenaran ilmu dan kebenaran ilahiah yang vertikal. Inilah tugas kita bersama sebagai seorang ilmuwan.
Alam pemikiran spiritual
Islam misalnya, tumbuh tidak lepas dari proses asimilasi dan akulturasi antara
kebudayaan Islam dan kebudayaan Yunani. Dalam
Al-Qur’an sendiri tidak ditemukan kata filsafat (al-falsafah), karena Al-Qur’an menggunakan bahas arab asli,
sementara al-falsafah merupakan bahasa arab bentukan yang sudah terpengaruh
kata filsafat dari bangsa Yunani. Filsafat sebagai ilmu hakikat, dalam Al-Quran
disebut dengan kata hikmah, atau al-hikmah. Al-Quran berisi kumpulan tertulis mengenai
wahyu Tuhan, sedang hikmah atau filsafat adalah
ilmu mengenai hakikat sesuatu[33].
Menurut Ali Ashraf, Ilmu
berangkat dari nilai atau moral Al-Qur’an dan Hadits, yang mana keduanya bukan
hanya menampilkan ayat-ayat (bukti kebenaran), tetapi juga hudan (pedoman kebijakan), juga rakhmah
(anugerah Allah). Karena itu ilmu bukan hanya mencari kebenaran yang didasarkan
pada penalaran dan diskursus, melainkan juga mencari kebijakan, kemaslahatan,
ridha dan kasih sayang Allah[34].
Dalam perspektif Islam, ilmu secara
aksiologis tidak hanya sekedar untuk ilmu, tetapi lebih dari itu ilmu harus
bermanfaat untuk kemaslahatan, yakni kepentingan orang banyak. Ilmu ada dan
ditemukan di dalam alam kehidupaan masyarakat Manusia disuruh untuk menggunakan
potensinya, yakni akal dan hati untuk memahaminya. Dalam Islam akal (al-aql) menempati kedudukan yang
teramat penting, disamping hati (kalbu)
dan indera yang lain. Karena itu firman Allah yang pertama kali turun melalui
Nabi Muhammad SAW adalah surat Al-Alaq yang dikenal dengan surat Iqra
(membaca), disebutkan dalam Al-Qur’an “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang
menciptakan”, “Bacalah dan Tuhanmu yang paling pemurah”. (QS Al-Alaq, ayat
1 dan 3).
Dengan potensi yang dimiliki,
manusia diperintahkan membaca kekuasaan Allah yang ada di alam ini, sebagaimana
disebutkan dalam Al-Quran “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal” (QS Ali-Imran, ayat
190). “Diantara tanda-tanda kekuasaan
Allah, ialah menciptakan langit dan bumi dan bangsa berlain-lain bahasa dan
warna kulit. Sesungguhnya yang demikian ini terdapat tanda-tanda bagi orang
yang mengetahui (berilmu)” (QS Ar-Ruum ayat 22).
Ilmu dalam Islam disamping bisa
digali berdasarkan Al-Quran dan Hadits juga terdapat Maslahat Mursalah, yang merupakan sumber hukum tambahan berdasarkan
penelitian impiris (istiqra), yang
diperoleh dari penonena alam dan peerilaku masyarakat, ditemukan dengan tujuan
untuk kemaslahatan kehidupan manusia. Hal tersebut didasarkan pada Al-Quran
yang menyebutkan “Dan tiadalah Kami
mengutus kamu (nabi), melainkan untuk menjadi rakhmat bagi alam semesta”
(QS Al-Anbiya, ayat 107)
Kemaslahatan dapat
ditangkap secara jelas oleh orang yang mempunyai dan mau berfikir, sekalipun
dalam kasanah pemikiran Islam terdapat perbedaan dalam memahami hakikat
maslahat. Perbedaan tersebut bermula
dari perbedaan kemampuan intelektualitas orang perorang dalam menafsirkan
ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Quran dan hadits, dimana masing-masing ahli
pikir mempunyai keterbatasan, sehingga tidak mampu memahamai hakikat maslahat
secara sama, karena adanya perbedaan yang bersifat temporal dan kondisi daerah
(lokal) yang tidak sama.
Demensi spiritual bisa
dilihat pada ajaran yang paling dasar, yakni aqidah, yang mengajarkan pemahaman hubungan antara manusia dengan
alam dan dengan Tuhannya. Manusia dan alam pada hakikatnya adalah makhluk yang
bersifat fana, sementara Tuhan adalah
penguasa atas alam semesta beserta
isinya (robbul alamin) yang bersifat
kekal (baqa). Kebahagian terbesar
seorang muslim mana kala dia mampu pasrah secara tolalitas mematuhi perintah
(hukum-hukum) Allah yang bersifat kodrati (sunnahtullah),
baik yang bersifat umum ataupun yang terperinci, sebagai konsekwensi dari
pengakuannya bahwa Allah Maha Esa, penguasa segalanya, dan segala makhluk
bergantung padanya (Q. S. 112 : 1-2)
Segala bentuk penghambaan
manusia terhadap makhluk, baik alam (gunung, matahari, angin dll) atau kepada
penguasa, pembesar, atasan kerja dll adalah syirik yang tidak diperbolehkan
oleh Allah. Karena syirik merupakan perbuatan yang merendahkan martabat
manusia, yang mestinya manusia hanya melakukan penghambaan dan pertolongan
hanya pada Allah semata. Hanya kepada-Mu aku menyebah dan hanya
kepada-Mu aku mohon pertolongan (Q.
S. 1 : 5).
Sikap tersebut sebagai
konsekwensi bahwa manusia sebagai khalifah
di muka bumi (fil ard) (Q. S. 2 : 30),
semata-mata dalam rangka melakukan pengahambaan atau pengabdian kepada Allah
(Q. S. 51 : 56). Manusia yang diperintahkan oleh oleh untuk menjadi penguasa di
muka bumi, mempunyai tugas (amanah)
pertama, menjaga dan memlihara bumi dan isinya dari kerusakan, kedua, melakukan
pengelolaan alam lingkungan untuk kesejahteraan manusia secara berkelanjutan (sustainable), ketiga, melakukan tugas
risalah, yakni melakukan penegakan aturan (hukum) terhadap segala bentuk
kemungkaran dan perusakan terhadap alam, dan keempat, semua yang dilakukan
manusia dalam menjalankan hidup, kehidupan dan penghidupan akan dikembalikan
atau diminta pertangungjawabannya kepada Allah.
Konsekwensi lebih lanjut
manusia tidak diberbolehkan berbuat kerusakan (fasad), berbuat tidak seraakah (eksploitatif) tidak adil (dzalim) dan tidak boleh berbuat kesombongan (sum’ah), serta tidak boleh perbuat boros atau konsumtif (di’a). Tetapi sebaliknya harus berbuat
baik (ikhsan), berperilaku santun dan
bersahabatn. Semuanya itu dalam rangka untuk meujudkan kedamaian di bumi ini (islah).
Karakteristik alam pada
hakikatnya mengikuti ketentuan sunnahtullah, yang bercirikan pertam, bersifat
pasti (exact), yakni semua yang
diciptakan Allah berada dalam keadaan seimbang (QS. 67 : 3-4 ), dan segalanya ada di alam diciptakaan menurut
ukuran yang sudah ditentukan dan ditetapkan (QS. 54 : 3). Kedua, alam bersifat
tetap (immutable), yakni matahari,
bintang, dan bulan bererilaku patuh (istiqomah) bergerak menurut garis edarnya
(QS. 36 : 40), dan berisfat tetap tidak berubah dan tidak ada yang
merubah-rubah (QS 6 : 115). Ketiga, sifat
alam tak mengenal siapapun (obyektif),
yakni Allah menurunkan hujan dari langit ke bumi dan tumbuh tumbuh-tumbuhan,
tanaman untuk keseluruhan kesejahteraan manusia (QS 16 : 14-18). Allah mencipta
makhluk, termasuk manusia dalam keadaan berpasang-pasangan (QS. 36 : 36), dan
semuanya akan memperoleh rizki berdasarkan ikhtiar yang dilakukannya.
Agar manusia bisa menjalankan
fungsinya maka diciptakan aturan hukum yang bersifat kongkrit. Menurut Ziauddin
Sardar, hukum adalah suatu pusat nilai yang berisi aturan, yang bertujuan untuk
kesejahteraan umum yang universal bagi semua makhluk, mencakup kesejahteraan
manusia untuk saat sekarang dan yang akan datang serta di alam baka nanti. Dengan syariat manusia akan mengetahui
rambu-rambu antara yang dibolehkan (halal) dan dilarang (haram), antara
perbuatan merusak (fasad), kedamaian dan kebaikan (iksan).
Hukum yang mengatur masalah
alam diturunkan oleh Allah melalui
firma-Nya lebih banyak bersifat global . Ketentuan hukum tersebut mengatur
masalah seperti alam semesta, astronomi, penciptaan bumi, kemakmuran bumi,
keaneragaman hayati, berupa plora dan fauna. Semua kemakmuran alam lingkungan diperuntukan untuk manusia, dan manusia sebagai khalifah diperintahkan
oleh Allah untuk menjaga, memakmurkan dan melestarikannya.
Bagi umat Islam aturan hukum
pengelolaan alam dan upaya penegakan hukumnya dalam rangka menjaga dari
kerusakan yang diakibatkan oleh perusakan dan pencemaran alam lingkungan
bukanlah persoalan yang terpisah dari perintah ajaran Islam, tetapi merupakan
satu kesatuan (integral) ajaran dan
perintah agama, yang hukumnya wajib untuk dilaksanakan. Sebab ajaran Islam
tidak membedakan antara urusan atau kepentingan dunia dan akherat, sebagaimana
yang dikenal dalam masyarakat barat (sekuler). Dengan demikian upaya
pengelolaan alam yang berkelanjutan pada hakikatnya adalah kreatifitas ibadah.
Perspektif spiritual Ilmu,
termasuk ilmu hukum bukan hanya didasarkan pada kebenaran yang qauliyyah, yang tingkat kebenarannya
pada taraf haqq al-yakin, yang
terhimpun dalam Al-Qur’an dan Hadits, tetapi juga berdasarkan kebenaran yang
diperoleh dengan kemampuan potensi manusia melalui ulum naqliyyah, yakni perenungan, penalaran dan diskursus yang
berkembang di masyarakat. Manusia
menggali, mengolah dan merumuskan ilmu dengan tujuan tidak semata untuk
ilmu tetapi juga untuk kebijakan, kemaslahatan masyarakat luas, dengan
ridha, dan kasih sayang Allah.
Melalui dialog nilai, Philip Clayton
menawarkan paradigma saints yang berangkat pada filsafat emergence. Pada era
sekarang manusia menyadari bahwa kejadian-kejadian dunia alamiah tidak dapat
dijelaskan hanya mereduksi pada komponen-komponen terkecilnya, tetapi juga
harus dikaitkan dengan obyek-obyek dan kejadian-kejadian lain dalam konteks
yang lebih luas dimana mereka menjadi bagiannya. Di sini paradigma hukum
mempunyai makna baru ketika kita mendaki tangga kemunculan berikutnya pada
tataraan wujud yang mempunyai kehendaak bebas sseperti kita[35].
Filsafat emergence menawarkan cara-cara untuk melengkapi
karya-karya para ilmuwan yang ada sebelumnya, dengan menunjukan cara baru
bagaimana sains, filsafat dan teologi dapat saling berhubungan secara harmonis.
Mendialogkan antara iman dan sains, hukum wahyu dan hukum dunia menjadi
penting, sekalaipun barangkali masih belum diperoleh titik temu, sampai kita
mampu belajar lebih jauh melalu repleksi yang modelnya sudah dilakukan para
ilmuwaan terdahulu sseperti ibnu Sina (Avicenna) dan Ibnu Rusyd (Averoes).
Dialog nilai merupakan sumbangan pemikiran yang amat mnjanjikan di masa mendatang.
Cara yang dilakukan dengan
mendiskusikan kembali secara intens dan mendalam sampai alam tataran konseptual
tipe hukum, yakni hukum tabiat Ilahi, hukum wahyu, hukum alam, hukum tabiat
manusia dan perilakunya, serta hukum moral. Kegiatan-kegiatan seperti itu dapat
membuktikan bahwa sesungguhnya tidak lagi diperlukan ketegangan antara
kepercayaan kepada Tuhan dengaan sains.
Tugas bersama yang perlu kita pikul adalah memperlihatkan bahwa kepercayaan
kepada Tuhan sesungguhnya akan mendukung hasil-hasil sains, dan kepercayaan
kepada Tuhan merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar yang diajukan ilmuwan,
tetapi tidak dapat dijawb olehnya[36].
E. Penutup
Dari uraian tersebut dapat dirumuskan
beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
- Pemahaman hukum positivis berangkat dari pandangan bahwa hukum tidak berasal dari Tuhan atau alam, melainkan dari manusia sendiri berdasarkan kemampuannya untuk merumuskan ketentuan hukum. Positivis memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Hukum. bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal. Dalam kaca mata positivis tiada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivis legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang. Hukum dipahami dalam perpektif yang rasional dan logik Keadilan hukum bersifat formal dan prosedural..
- Dalam positivis, dimensi spiritual dengan segala perpektifnya seperti agama, etika dan moralistas diletakkan sebagai bagian yang terpisah dari satu kesatuan pembangunan peradaban modern. Hokum modern dalam perkembangannya telah kehilangan unsur yang esensial, yakni nilai-nilai spiritual.
- Pospositivisme secara umum dapat dikatakan sebagai reaksi atau gugatan terhadap positivisme. Pospositivis mempunyai ciri dekonstruktif, relatifis, dan pluralis. Pada pemahaman hukum pospositivisme, spiritualisme dapat dipahami dalam berbagai makna sebagai spirit (ruhaniyah) yang berkaitan dengan substansi ajaran agama dan hal-hal yang berhubungan dengan etika dan moral.
- Terdapat kecenderungan kuat untuk memahami hukum tidak hanya dipandang dari segi normatif yang positivis, tapi lebih dari itu hukum harus dilihat dalam wajah yang utuh menyuruh. Kajian seperti itu mulai terasa dan mendapat tempat alam post positivis. Upaya untuk mengkaji dan memahami hukum harus lebih menekankan hal yang sifatnya substantif dan transendental dengan mendasarkan pada fakta sosial yang tidak lepas dari nilai-nilai agama, etik dan moral.
- Filsafat emergence, yang menawarkan cara-cara untuk melengkapi karya-karya para ilmuwan yang ada sebelumnya, dengan menunjukan cara baru bagaimana sains, filsafat dan teologi dapat saling berhubungan secara harmonis. Mendialogkan antara iman dan sains, hukum wahyu dan hukum dunia menjadi penting, sekalipun barangkali masih belum diperoleh titik temu. Dialog nilai merupakan sumbangan pemikiran yang amat menjanjikan di masa mendatang.
- Upaya untuk mendiskusikan kembali secara intens dan mendalam persoalan hukum, agama, etik dan moral menjadi teramat penting. .Kegiatan seperti itu dapat membuktikan bahwa sesungguhnya tidak lagi diperlukan ketegangan antara kepercayaan kepada Tuhan dengan ilmu hukum. Melalui upaya seperti itu dapat memperlihatkan bahwa kepercayaan kepada Tuhan sesungguhnya akan mendukung hasil-hasil pengembangan ilmu hukum, dan kepercayaan kepada Tuhan merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar yang diajukan ilmuwan, tetapi tidak dapat dijawab olehnya.
DAFTAR PUSTAKA
Clayton,
Philip, Memebaca Tuhan dalam Keteraturan
Alam, Repleksi Ilmiah dan Religius, Makalah Disampaikan pada Intrnasional
Conference on Religion and Scieence in the Post-Colonial Word, Yogyakarta,
2003.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. 1995. Pokok-pokok Filsafat Hukum. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Friedman, W. 1990.Teori
dan Filsafat Hukum. Telaah Krisis
Atas Teori-teori Hukum, Terjemahan M. Arifin. Jakarta: Rajawali.
Muslehuddin, Muhammad. 1991. Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis. Yogyakarta: PT.
Tiara Wacara.
Peursen, C.A. Van. 1991. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia.
Pizzi,
William T, Trials Without Truth, Why Our
System of Ciminal Trials has Become an Expensive Failure and we Need to Do to
Rebuild It, New York University Press, 1999.
Rahardjo, Satjipto, 2002, Sosiologi Hukum, Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah,
Surakarta, Muhammadiyah University Press.
------------------, 1991. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
____________. “Paradigma Hukum Indonesia dalam Perspektif
Sejarah”, Makalah. Symposium Nasional
Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas
Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998.
____________. 1997. Negara
Hukum dan Deregulasi Moral. Jakarta: Kompas.
------------------, Menjalankan
Hukum dengan Kecerdasaan Spiritual, Kompas, 30 desember 2002.
Ritzer, George (Penyadur Aliman). 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma
Ganda. Jakarta: Rajawali Press.
Sidharta, Arief. 1996. “Refleksi Tentang Fundamental dan
Sifat Keilmuwan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional
Indonesia”, Disertasi. Fakultas Hukum, Universitas
Padjadjaran, Bandung. 1996.
____________, “Paradigma Hukum Indonesia dalam Perspektif
Sejarah”, Makalah. Symposium Nasional
Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas
Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998.
Wignjosoebroto, Soetandyo, 2002, Hukum, Paradigma, Metode
dan dinamika Masalahnya, Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM).
.
-------------------, 1995. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Jakarta Rajawali Press.
____________, “Permasalahan Paradigma dalam Ilmu Hukum”, Makalah. Symposium Nasional Ilmu Hukum
Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas Hukum UNDIP,
Semarang, 10 Pebruari 1998.
Wison, Edward O, Concilience, The Unity of Knowlwdge,
Alfred A. Knopf, New York, USA, 1998.
Wilardjo, Like, Realita dan Desiderata, Duta Wacana
University Press, Yogyakatra, 1990.
Zohar, Danah dan Marhal Ian, Spiritual Intellegence, The Ultimate
Intellegence, Bloomsbury, Landon, 2000.
Law
and Society, Review The Journal of the Law and Society Association, Volume 31
No. 2. 1997.
[1] Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan
Program Pascasarjana Ilmu Hukum (S2) Universitas Muhammadiyah Surakarta
[2] Satjipto Rahardjo, Merintis
Visi Program Doktor Hukum UNDIP, Semarang, 2003, hal 8
[3] Liek Wilardjo, Realita dan
Desiderata, Duta Wacana University Press, Yogyakarta,
1990, hal 272.
[4] Liek Wilardjo, Ibid, hal 272.
[5] Satjipto Rahardjo, op Cit,
hal 9.
[6] Philip Clayton adalah seoraang guru besar dan ketua Jurusan
Filsafat California State university, Sonoma, USA : Principle Investigaator,
Science and the Spiritual Quees Project, artikelnya diberi judl Membaca Tuhan dalam Keetarutaran Alam,
Repleksi Ilmiah dan Religius, UGM,
Yogyakarta, 2003, hal 10.
[7] Satjipto raharjo, Op Cit,
hal 10.
[8] Philip clayton, Op Cit,
hal 10.
[9] Lihat Dias dalam Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1991, hal. 161
[10] Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 22.
[11] Lihat Satjipto Raharjo, Negara Hukum dan Deregulasi Moral,
Kompas, Jakarta, 13 Agustus,1997.
[12] J. Austin dalam M. Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran
Orientalis, PT. Tiara Wacana, Yogyakarta. 1991. Hal.28
[13] M. Muslehuddin, Ibid, Hal.29.
[14] Arief Sidharta, Paradigma Ilmu Hukum Indonesia dalam Perspektif Positivis, Makalah
Simposium Nasional Tentang Paradigma Ilmu Indonesia, Program Doktor Fakultas
Hukum UNDIP, Semarang, 1998, hal. 1.
[15] Lihat Hart dalam Satjipto Rahardjo, Ibid, Hal.268.
[16] Soetandyo Wignjosoebroto, Permasalahan
Paradigma dalam Ilmu Hukum, Makalah Simposium Nasional Tentang Paradigma Ilmu Indonesia,
Program Doktor Fakultas Hukum UNDIP, Semarang,
1998, hal. 2.
[17] M. Muslehuddin, Op. Cit.
Hal.29.
[19] Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum , PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, Hal.98.
[20] Lihat Bodenhaimer dalam Satjipto Raharjo,
Op. Cit., hal. 272-273.
[22] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. Cit. Hal.99.
[23] Sutamdyo,
Hukum dalam Ralitas Perkembangan
Sosial Politik dan Perkembangan Pemikiran kritis-Teoritik yang Mengiringi
mengenai fungsinya, Surabaya, 2003, hal 8.
[24] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Perkembangan, Metode dan Pilihan Masalah,
Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2002, hal 83.
[26] Danah Zohar dan Iaan Marshall, Spiritual
Intelligence, the Ultimate Intellegience, Bloomsbury,
Landon, 2000.
[27] Danah Zohan dan Ian Mashal dalam Satjipto
Rahardjo, Menjalankan Hukum dengan
Kecerdasan Spiritual, Kompas, 30, Desember 2002.
[28] Liek Wilardjo, op cit, hal 272.
[29] Michael Williams dalam Noeng Muhadjir, ibid, hal 16-17.
[30] Ibid, hal 279.
[31] Ibid, hal 279.
[32] Op cit, hal 273.
[33] Musya Asy’arie, Filsafat islam suatu
Tinjuan Antologis, dalam Filsafat Islam
suatu Tinjuan Antologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis dan Prospektif,
Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta, 1992, hal 14.
[34] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Edisi II, Rake Sarasin, Yogyakarta, 2001, hal 66-67.
[35] Philip Clayton, Op Cit,
hal 8.
[36] Ibid, hal 9.
Komentar
Posting Komentar