Alternative Dispute Resolution

LEMAHNYA MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF
(ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION)
DALAM ELECTRONIC A COMMERCE

I. PENDAHULUAN

Perdagangan merupakan salah satu sektor jasa yang menunjang kegiatan ekonomi antar anggota masyarakat dan antar bangsa. Bagi Indonesia dengan ekonominya yang bersifat terbuka, perdagangan sangatvital bagi upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi sekaligus guna memelihara kemantapan stabilitas nasional.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna merealisasikan pertumbuhan ekonomi adalah melalui proses pengintegrasian antara sistem perekonomian, termasuk perdagangan dengan perkembangan teknologi informasi. Hal ini sejalan dengan apa yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJMN) 2004-2009 yang menyebutkan . Sejalan dengan paradigma baru di era globalisasi yaitu Tekno-Ekonomi (Techno-Economy Paradigm), teknologi menjadi faktor yang memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan kualitas hidup suatu bangsa. Implikasi paradigma ini adalah terjadinya proses transisi perekonomian dunia yang semula berbasiskan pada sumber daya (Resource Based Economy) menjadi perekonomian yang berbasiskan pengetahuan (Knowledge Based Economy/KBE). Pada KBE, kekuatan bangsa diukur dari kemampuan IPTEK sebagai faktor primer ekonomi menggantikan modal, lahan dan energi untuk peningkatan daya saing.
Pengembangan dan penerapan teknologi informasi di sektor ekonomi dalam beberapa waktu belakangan ini berjalan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Pengembangan dan penerapan teknologi informasi telah mengakibatkan semakin mudahnya arus informasi diserap, sekaligus memudahkan orang untuk melakukan komunikasi tanpa terkendala batas ruang dan waktu.
Pada permulaan abad ke- 20, salah satu penemuan revolusioner di bidang teknologi informasi yang sangat mempengaruhi perkembangan perekonomian adalah ditemukannya Internet (Interconnection Networking), sebagai media komunikasi yang cepat dan handal. Sistem perdagangan dengan memanfaatkan Internet telah mengubah wajah dunia bisnis dari pola perdagangan tradisional kebentuk yang lebih modern, yaitu secara virtual. Mengenai hal ini Alinafiah dan Prasetyo menyatakan: E.commerce lahir selain disebabkan oleh adanya perkembangan teknologi informasi, juga karena tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang serba cepat, mudah, praktis, dan menghendaki kualitas lebih yang baik. Seperti halnya dinegara-negara maju, perkembangan e. commerce di Indonesia dari waktu ke waktu menunjukan peningkatan yang sangat signifikan, sekalipun dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Pasific, seperti Malaysia, Filipina, Singapura, Australia, Taiwan, perkembangan penggunaan Internet di Indonesia masih jauh tertinggal. Teknologi Internet memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perdagangan global dalam hal layanan (service). Kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain:
1. Electronic commerce memiliki kemampuan untuk menjangkau lebih banyak pelanggan dan setiap saat pelanggan dapat mengakses seluruh informasi yang terus menerus;
2. Electronic commerce dapat mendorong kreatifitas dari pihak penjual secara cepat dan tepat dan pendistribusian informasi yang disampaikan berlangsung secara periodik;
3. Electronic commerce dapat menciptakan efisiensi yang tinggi, murah serta informatif;
4. Electronic commerce dapat meningkatkan kepuasan pelanggan, dengan pelayanan yang cepat, mudah, aman dan akurat.
Transaksi perdagangan melalui internet sangat menguntungkan banyak pihak, sehingga transaksi perdagangan ini sangat diminati, tidak saja bagi produsen tetapi juga konsumen. Bagi konsumen electronic commerce telah mengubah cara konsumen dalam memperoleh produk yang diinginkan, sedangkan bagi produsen, electronic commerce telah mempermudah proses pemasaran suatu produk.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh sebuah lembaga internasional, telah banyak kasus yang merugikan konsumen sebagai akibat dari penggunaan media internet dalam transaksi perdagangan, sebagai contoh: satu dari setiap sepuluh kasus pengiriman barang dapat dipastikan terlambat atau tidak sampai kepada konsumen, dua orang pembeli (buyers) dari Hongkong dan Inggris menunggu sampai lima bulan untuk mendapatkan refund (pembayaran kembali) dari barang yang dibeli tapi tidak sesuai dengan pemesanan dan barangnya tidak dikirim, banyak penjual (suppliers atau sellers) yang tidak mampu memberikan kuitansi atau bukti transaksi dan lain-lain.5 Kondisi ini tentunya akan merugikan baik bagi produsen terlebih konsumen yang memiliki posisi tawar (bargaining position) lebih rendah.
Apabila permasalahan-permasalahan di atas tidak segera diselesaikan secara memadai tidak tertutup kemungkinan kepercayaan masyarakat pada sistem e. commerce akan hilang, akibatnya pertumbuhan ekonomi akan berjalan lambat. Salah satu upaya yang dapat ditempuh guna menyelesaikan masalah-masalah di atas adalah dengan digunakannya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien, disertai biaya murah.
Penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien sertaberbiaya murah merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda lagi realisasinya guna terwujudnya kepercayaan para pihak (produsen/merchant dan konsumen) pada sistem electronic commerce. Pentingnya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien, dan berbiaya murah agar segera diterapkan, dilatarbelakangi kenyataan bahwa transaksi electronic commerce sangat rentan terhadap lahirnya berbagai sengketa/masalah diantara para pihak, sebagai akibat dari saling berjauhannya domisili para pihak yang bertransaksi serta bahasa, budaya dan sistem hukum yang berbeda.
Di samping itu, adanya keinginan untuk menyelesaikan setiap sengketa melalui mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution), dilatarbelakangi masih banyaknya ditemukan berbagai kelemahan dari penyelesaian sengketa melalui sistem peradilan (litigasi), seperti:
1. Litigasi memaksa para pihak berada pada posisi yang ekstrim dan memerlukan pembelaan (advocacy);
2. Litigasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, sehingga mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan terhadap kelemahan-kelemahan pihak lainnya;
3. Proses litigasi memakan waktu yang lama dan memakan biaya yang mahal;
4. Hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian suatu masalah hukum baru.
Dari berbagai kelemahan di atas jelas bahwa penyelesaian melalui jalur peradilan/litigasi sangat berlawanan dengan hakikat dari electronic commerce sebagai suatu sistem perdagangan virtual (maya) yang membutuhkan sistem yang efektif dan efisien. Mekanisme penyelesaian sengketa (bisnis) yang sifatnya
konvensional/tradisional sangat dibatasi oleh letak geografis dan hukum tempat aktivitas bisnis dilakukan. Penentuan mengenai hukum serta pengadilan (yurisdiksi) manakah yang berwenang memeriksa/mengadili suatu sengketa, sering menjadi masalah pada saat para pihak akan membuat suatu kontrak, sekalipun akhirnya, dalam transaksi konvensional penentuan hukum mana yang akan berlaku relatif lebih mudah ditentukan.
Kondisi di atas sangat berlainan pada saat transaksi perdagangan terjadi di dunia maya (cyberspace), pertanyaan yang sering timbul adalah hukum serta yurisdiksi manakah yang akan digunakan apabila dikemudian hari muncul sengketa di antara para pihak, sedangkan dalam cyberspace setiap interaksi tidak dibatasi oleh batas wilayah (borderless). Oleh karena itu, adanya kebutuhan terhadap suatu lembaga yang bertugas untuk menyelesaikan setiap sengketa bisnis (e. commerce) merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda lagi pelaksanaannya. Di Amerika Serikat, sebagai negara pertama yang mengembangkan media Internet dalam aktivitas perdagangan, eksistensi lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa secara on line banyak bermunculan, sehingga bermunculan situs-situs seperti, Cybersettle.com, e-Resolutions.com, iCourthouse, dan Online Mediators.
Bahkan, The American Arbitration Association, yang biasanya menyediakan jasa arbitrase secara off line, telah mengumumkan bahwa mereka menawarkan jasa mediasi dan arbitrase berkenaan dengan aktivitas di Internet. Contoh-contoh di atas membuktikan bahwa pemilihan Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternatif Dispute Resolution) dalam transaksi electronic commerce bukan sekedar harapan tetapi lebih merupakan suatu kebutuhan bagi para pelaku usaha dalam upaya memperoleh jaminan kenyamana dan keamanan dalam bertransaksi.

II. PERMASALAHAN
Dengan mengacu pada hal tersebut di atas, ada beberapa permasalahan yang selalu timbul berupa yaitu:
1. Faktor-faktor apakah yang mendorong para pihak untuk memilih Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam menyelesaikan sengketa yang timbul dalam transaksi electronic commerce?
2. Bagaimanakah praktek penerapan Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam sengketa transaksi electronic commerce?
3. Bagaimanakah kekuatan mengikat dari putusan yang dikeluarkan oleh lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam kaitannya dengan sengketa transaksi electronic commerce?

III. PEMBAHASAN

A. Faktor Pendorong dipilihnya Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) dalam penyelesaian sengketa electronic commerce

Dipilihnya Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution) sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa memang bukanlah tanpa sebab, banyak faktor yang menjadi penyebab para pihak memililih mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan para pihak memilih
lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution) untuk menyelesaian sengketa yang timbul dalam transaksi electronic commerce, yaitu:
a. Murah, transaksi yang dilakukan oleh para pihak tujuannya tidak lain adalah untuk memperoleh uang (investasi), sehingga dalam penentuan cara penyelesaian sengketa pun, faktor ekonomi, dalam hal ini murahnya biaya yang dikeluarkan, menjadi bahan pertimbangan yang utama. Kenyataan membuktikan, penyelesaian sengketa melalui lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) relatif lebih murah dibandingkan penyelesaian melalui lembaga pengadilan (litigasi). Murahnya biaya yang dikeluarkan dalam setiap penyelesaian sengketa melalui mekanisme ini tidak terlepas dari cepatnya proses pengambilan keputusan yang dihasilkan. Pada saat penyelesaian sengketa berlangsung, para pihak tetap dapat melanjutkan aktivitasnya masing-masing tanpa takut terganggu oleh proses pemeriksaan sengketa, hal yang mustahil terjadi apabila sengketa diselesaikan melalui proses pengadilan. Perlu ditambahkan, dengan dipergunakannya lembaga peradilan dalam penyelesaian suatu sengketa, memungkinkan para pihak untuk menempuh upaya hukum lain (banding, kasasi, atau peninjauan kembali) apabila salah satu pihak tidak puas dengan keputusan yang dihasilkan. Akibatnya, proses penyelesaian sengketa menjadi semakin lama dan tentunya membutuhkan penambahan biaya.
b. Cepat dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur pengadilan (litigasi) tentunya Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) relative lebih cepat dan tidak bertele-tele. Lamanya proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan terjadi mulai saat menunggu kepastian kapan sengketa akan diperiksa/disidangkan hingga eksekusi putusan, yang seringkali memerlukan waktu yang sangat lama. Di samping itu, adanya beberapa upaya hukum (Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) yang menjadi hak dari para pihak yang bersengketa, terlebih apabila hak tersebut dipergunakan, semakin menambah lamanya proses penyelesaian sengketa. Kondisi ini tentunya dapat menjadi penghambat bagi para pihak dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Oleh karena itu, dengan dipergunakannya mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) diharapkan lamanya waktu pemeriksaan sengketa dapat dikurangi, karena prosedur pemeriksaan sengketa ditentukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga.


B. Penerapan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) dalam Sengketa Transaksi Electronic Commerce

Di Indonesia, proses pemeriksaan sengketa secara online melalui lembaga arbitrase belum dilaksanakan secara menyeluruh. Suatu proses pemeriksaan dikatakan menyeluruh apabila seluruh proses dilakukan secara online, mulai dari pemilihan lembaga yang khusus menyediakan jasa online Alternative Dispute Resolution, perjanjian arbitrase, prosedur beracara, hingga penyampaian putusan dilakukan secara online pula.
Sekalipun demikian, Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan kemungkinan dipergunakannya e.mail dalam proses penyelesaian sengketa, sekalipun baru dalam tahap penyampaian surat. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berbunyi: “Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimil, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi kainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.”
Pemilihan lembaga Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif (ADR) baik yang sifatnya offline maupun online untuk menjadi lembaga yang akan menyelesaikan setiap masalah yang timbul dalam transaksi electronic commerce, didasarkan pada adanya perjanjian (clausule) di antara para pihak (baik sebelum maupun setelah terjadinya sengketa) yang intinya menyatakan akan membawa sengketa kepada lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif atau Arbitrase, apapun alat (means) yang dipergunakan untuk menyatakan perjanjian tersebut.
Dalam kaitan dengan penyelesaian sengketa alternatif yang sifatnya offline, khususnya melalui lembaga Arbitrase, adanya perjanjian yang mendasari dipilihnya lembaga tersebut untuk menyelesaikan sengketa (arbitration clause) dengan jelas dapat dilihat pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyebutkan: Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. (huruf miring dari penulis), sedangkan perjanjian yang menjadi dasar dipilihnya lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif untuk menyelesaikan sengketa dapat dilihat dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan: Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hokum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternative penyelesaian sengketa.

IV. KESIMPULAN
Sampai saat ini perlindungan hokum bagi konsumen dalam transaksi e-comerce dalam lintas Negara dalam hokum nasional dan internasional belum memberikan perlindungan hokum yang maksimal dan komprehensif terhadap hak-hak konsumen. Khususnya di Indonesia belum memberikan perlindungan hokum bagi transaksi e-comerce lintas Negara.


Bambang Syamsuzar Oyong

Sebagai tugas Mata Kuliah Program Mageister Ilmu Hukun UNLAM Banjarmasin
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Dosen
DR. Masdari Tasmin, SH. MH
Drs. Werhan Asmin, SH. MH
Tavinayati, SH. MH

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS