Pengawasan Notaris

PENGAWASAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM
SEBELUM DAN SESUDAH DIBERLAKUKANNYA
UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004

I. Latar Belakang Masalah
Notaris sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yaitu sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Jabatan Notaris.
Negara Republik Indonesia adalah sebagai negara hukum. Yang mana prinsip-pinsip negara hukum itu tidak lain adalah adanya kepastian hukum, ketertiban, dan adanya perlindungan hukum yang berintikan adanya kebenaran dan keadilan. Untuk menciptakan adanya kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum dalam sistem lalu lintas hukum dimasyarakat mau tidak mau dibutuhkan adanya adanya kepastian alat bukti yang otentik atau sebagai alat bukti yang sempurna. Yang mana fungsi keberadaannya telah memberikan hak dan kewajiban masing-masing pihak selaku subyek hukum dalam lingkup kehidupan masyarakat.
Penciptaan sebagai alat bukti otentik sebagaimana yang di maksud yaitu dengan dibuatnya akta otentik oleh pejabat yang berwenang yang ditunjuk oleh undang-undang. Pejabat yang dimaksud oleh undang-undang adalah pejabat Notaris di samping adanya pejabat lainnya yang kewenangannya telah diatur.
Undang-Undang tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004, adalah sebagai prodak hukum yang telah dikondifikasi untuk dan kepentingan para Notaris dalam menjalankan jabatannya, yang mana sebelumnya dikeluarkannya peraturan megenai segala hal tentang Jabatan Notaris, telah diatur dalam peraturan perundang-undangan lain yang mana merupakan peninggalan zaman kolonial dan sebagian lagi merupakan peraturan perundang-undangan nasional, hal ini terliha pada peraturan :i :
1. Regelement op Het Notaris Ambt In Indonesia (stb 1866:3) sebagaimana telah di ubah dan terakhir dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 101;
2. Ordonantie 16 september 1931 tentang Honoraium Notaris;
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara 1954 Nomor 101);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379) dan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah Jabatan Notaris.
Namun kenyataannta dari berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sebagian besar sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia yang ada saat ini. Oleh karena itu perlu diadakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-undang yang mengatur tentang Jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum sebagai sesuatu yang berlaku untuk semua para notaris dalam menjalankan jabatannya, baik untuk fungsi dan keberadaannya maupun yang juga berhubungan terhadap pengawasan notaris dalam menjalankan jabatan terhadap jabatan.
UUJN yang ada saat ini memuat secara rinci tentang jabatan umum yang dijabat oleh seorang Notaris, sehingga diharapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris mampu menjamin adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum, baik dalam bentuk minuta akta, grosse akta, dan salinan akta, maupun kutipan akta notaris. Mengingat akta notaris sebagai akta otentik yang merupakan sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh. Disamping itu dalam UUJP mengatur juga tentang segal hak yang berhubugan dengan adminitrasi kenotariatan sebagai bagian arsip negara yang harus dijaga dalam sebuah protokol notaris.
Dengan dikeluarkannya UUJN telah menjadi satu-satunya undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, dan berdasarkan pasal 92 UUJN tersebut diberlakukan dalam jangka waktu saat ketika mulai UUJN itu diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004. Diberlakuknnya UUJN notaris saat mulai diundangkannya pada tanggal 6 Oktober 2004 yang lalu, menunjukan kepada setiap notaris dalam jabatannya untuk selalu siap menerima segala pembaharuan pengaturan notaris. Karena menjalankan jabatan notaris juga menjalankan jabatan yang selalu menekankan nilai-nilai kejujuran yang selalu berpegang pada aturan hukum yang berlaku. Pembaharuan yang sangat terasa sebagai mana diberlakuknaya UUJN dapat terlihat dalam pemberian penedefinisian pada notaris itu sendiri. Seperti dalam Peraturan Jabatan Notaris Indonesia (PJN) stablaat 1860, nomor 3 , disebutkan notaris adalah pejabat umum, khusus (satu-satunya yang) berwenang untuk membuat akta-akta otentik tentang semua tindakan-tindakan, perjanjian-perjanjian dan keputusan-keputusan, yang diharuskan oleh perundang-undangan umum untuyk dikehendaki oleh yang berkepentingan bahwa hal itu dinyatakan dalam surat otentik, menjamin tanggalnya, menyimpan akta-akta dan mengeluarkan grosse (salinan sahih) salinan-salinan (turutan-turuan) dan kutipan-kutipannya, semuanya itu apabila pembuatan akta-akta demikian itu, karena perundang-undangan umum, tidak pula diwajibkan atau khusus kepada pejabat-pejabat atau orang-orang lain.
Dari ketentuan definisi notaris tersebut adanya penegasan yang meyebutkan notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang membuat akta otentik. Namun kenyataannya hal ini berbeda menurut ketentuan pasal 1 dari UUJN yang tidak lagi memberikan atribut(sebutan) kepada notaris sebagai satu-satunya pejabat umum yang berwenang membuat akta-akta otentik. Namun masih ada pejabat lain yang keberadaan dalam pembuat akta-akta otentik juga pengaturannya diatur dalam undang-undang. Misalanya dalam peraturan yang mengatur keberadaan Pajabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) seperti dalam Paraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1997 yang menyebutkan PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Disamping itu dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf mengenal adanya Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAW) yaitu pejabat yang berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
Ketentuan itu pada akhirnya akan memperjelas kedudukannya dalam menjalankan jabatannya selaku notaris sebagai pejabat umum bukan satu-satunya yang berwenang melainkan adanya juga pejabat lain yang diberi wewenang oleh peraturan hukum yang berlaku yaitu baik itu PPAT maupun PPAW. Bisa diilustrasikan notaris dalam jabatan sebaga pejabat umum bukan sebagai PPAT dan begitu juga PPAT bukan sebagai pejabat notaris, maupun bukan juga pejabat PPAW.
Disamping itu pembaharuan yang terasa dengan diundangkannya UUJN yaitu adanya pengaturan yang berhubungan dengan pengawasan terhadap notaris dalam menjalankan jabatannya, dan juga adanya penegasan pemberian sanksi kepada notaris baik secara perdata maupun secara administrasi. Dan hal ini tidak diatur sebelumnya dalam Peraturan Jabatan Notaris pada statblaat 1860 No. 3.
Membicarakan mengenai pengawasan notaris pada UUJN yang mana hal ini terlihat pada ketentuan bab IX Bagian Pertama pasal 67 sampai dengan pasal 81. Pada pasal 67 ayat 1 berbunyi “ Pengawasan luas Notaris dolakukan oleh Menteri” . Dihubungan dengan pasal 67 ayat 2 berbunyi “Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri membentuk Majelis Pengawas”. Sedangkan pasal 67 ayat 3 berbunyi “Manjelis Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2) berjumlah 9 (sembilan) orang terdiri atas unsur : a. pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang, b. organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang dan c. ahli/akdemisi sebanyak 3 9tiga) orang.
Apa yang tercantum dalam bab IX Bagian Pertama pasal 67 sampai dengan pasal 81 UUJN yang membahas perihal pengawasan notaris. Dalam pengawasan tersebut berhubungan keberadaan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Oleh karena itu Menteri membentuk suatu badan yang dikenal dengan nama Majelis Pengawas Notaris yang terdiri dari adanya Mejelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Mejelis Pengawas Pusat. Majelis Pengawas Daerah dibentuk di Kabupaten dan Kota, Majelis Pengawas Wilyah dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Propinsi, sedangkan Mejelis Pengawas Pusat dibentuk dan berkedudukan di Ibukota Negara.
Mejelis Pengawas Notaris secara umum mempunyai ruang lingkup atau berwenang menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris. Yang mana di setiap jenjang dari Majelis Pengawas Notaris tersebut mempunyai wewenang masing-masing dalam melakukan pengawasan dan untuk menjatuhkan dalam pemberian saksi. UUJN tidak memberikan kewenangan kepada MPD menjatuhkan sanksi apapun terhadap Notaris, tetapi sanksi tersebut diberikan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Mejelis Pengawas Pusat.
Adanya ketentuanj pengawasan dalam UUJN yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris tersebut, jika hal ini pada akhirnya si Notaris yang bersangkutan telah melanggar dari ketentuan UUJN dan aturan Kode Etik Notaris dari hasil sidang Mejelis Pengawasn Notaris yang bersangkutan. Dari ketentuan pasal 85 UUJN, Notaris akan dijatuhi sanksi berupa :
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis ;
c. Pemberhentian sementara;
d. Pemberhentian dengan hormat; dan
e. Pemberhentian tidak hormat.
Ketentuan saksi yang terdapatr dalam pasal 85 UUJN dapat dikategorikan sebagai sanksi administratif. Sedangkam ketentuan saksi dapal ketentuan pasal 84 UUJN apabila notaris melanggar melanggar ketentuan yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (1), huruf 1, pasal 16 ayat (1) huruf k, pasal 41, pasadl 44, pasal 48, pasal 49, pasal 50, pasal 51, atau pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris yang bersangkutan . Inilah yang dikenal sebagai sanksi perdata.
Proses pengawasan Notaris tersebut sebagaimana telah di atur secara jelas dalam UUJN. Sebelum diberlakukannya UUJN proses pengawasan notaris telah diatur dalam Peraturan Jabatan Notaris PJN) Statblaad 1860, nomor 3 yaitu pada pasal 50 sampai dengan pasal 60. Titik tolak dari ketentuan pengawasan dari pasal 50 sampai dengan 60 tersebut adanya peran pengawasan dari lembaga peradilan umum yaitu pengadilan negeri setempat dimana keberadaan notaris tersebut dalam menjalnkan jabatannya.
Dominannya peran lembaga peradilan umum untuk melakukan pengawasan notaris dimana notaris tersebut menjalankan jabatannya. Hal ini tidak terlepas dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1984 Tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap Notaris. Dikeluarkannya Surat Edaran MA tersebut mulai dilaksanakan pemeriksaan dalam proses pengawasan terhadap notaris dalam menjalankan jabatannya oleh Pengadilan Negeri secara terartur sesuai sebagaimana yang dimanatkan oleh Surat Edaran MA tersebut.
Dikeluarkannya Surat Edaran MA itu tidak lepas dari peran proses pengawasan yang terjadi pada tahun 1983 oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yaitu Bapak Sudiono, SH, yang mana pada tahun tersebut mulai berinisiatif untuk mengambil keputusan untuk melakukan haknya memeriksa beberapa kantor notaris di Jakarta pada saat itu. Pada hal sebelumnya Direktur Jendral Hukum Dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dalam suratnya No. JHA 5/13/18 tertanggal 17 Februari 1981 telah meminta kepada semua Ketua Pengadilan Negeri untuk seluruh Indonesia akan kewajibannya non judisialnya memeriksa para notaris.
II. Rumusan Masalah
Dalam penulisan ini dibatasi adanya rumusan masalah pada tradisi keiluman hukum itu sendiri dengan memandang keberadaan notaris selaku pejabat umum yang diberi wewenang oleh undang-undang dalam hal ini Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yang juga memuat dalam ketentuan Bab IX dari UUJN memuat proses pengawasan notaris dan pengawasan notaris ini juga berhubungan dengan pemberian sanksi apabila notaris pada nantinya terbukti melanggara dari ketentuan UUJN dan Kode Etik Notaris yang diberlakukan. UUJN yang terdiri dari tiga belas bab yang memuat 192 pasal yang penjelasan bab-bab tersebut berupa :
a. Bab I Ketentuan Umum ;
b. Bab II Pengangkatan Dan Pemberhentian Notaris ;
c. Bab II Kewenangan, Kewajiban, dan Larangan ;
d. Bab IV Tempat Kedudukan, Formasi, dan Wilayah Jabatan Notaris ;
e. Bab V Cuti Notaris dan Notaris Pengganti ;
f. Bab VI Honorarium ;
g. Bab VII Akta Notaris ;
h. Bab VIII Pengabilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris ;
i. Bab IX Pengawasan ;
j. Bab X Organisasi Notaris ;
k. Bab XI Ketentuan Sanksi
l. Bab XII Ketentuan Peralihan ; dan
m. Bab XIII Ketentuan Penutup.
Notaris sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Notaris selaku pejabat umum tersebut dalam pembuatan akta otentik maka terlebih dahulu dalam telaan apa istilah pejabat umum tersebut . Dari bukunya Dr. Habib Adjie, SH., M. Hum dalam judul sanksi Perdata dan Adminitratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, disebutkan istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam pasal 1 PJN dan pasal 1868 KUH Perdata.
Sedangkan menurut Kamus Hukum salah satu arti dari Ambtenaren adalah seorang Pejabat. Dengan demikian Openbare Ambtebaren adalah pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga tepan jika Openbare Ambtenaren diartikan sebagai pejabat publik. Khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang dierahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan publik, dan kulifikasi tersebut diberikan kepada seorang Notaris.
Karena notaris sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan dalam pembuatan akta otentik yang gunanya sebagai alat pemberian bukti yang sempurna bagi para-para pihak yang membuatnya dan dipatuhi. Dan oleh Pengadilan keberadaan alat bukti berupa akta otentik sebagai alat pembutian sempurna. Mengingat akta notaris sebagai akta otentik merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh. Dengan akta tersebut mampun menjamin kepastian tanggalnya, kepastian para pihakanya, kepastian isinya dan adanya kepastian tandatangannya.
Maka segala ketentuan yang berhubugan dalam pekerjaan notaris sebagai pejabat umum harus selalu diawasi. Pengawasan itu sendiri sebenarnya telah diatur dalam UUJN dari ketentuan pasal 67 sampai dengan 81 dengan dibentuknya Majelis Pengawas Notaris. Hal ini sangat berbeda dengan sebelum diberlakukannya UUJN. Yang mana pengawasan notaris dilakukan lembaga peradilan umum atau pengadilan negeri setempat dimana notaris tersebut berada.
Hal ini dapat terlihat bahwa sebelum UUJN, pengawasan, pemeriksaan, dan penjatuhan sanksi terhadap notaris dilakukan oleh badan peradilan yang pada waktu itu. Sebagaimana pernah diatur dalam pasal 140 Reglement op de Rechtelijke Organisatie en Het Der Justitie (stbl 1847 No. 23), dan pasal 96 Reglement Buitegewesten, pasal 3 Ordonantie Buitegerechtelijke Verrichtingen (Lembaran Negara 1946 Nomor 135, dan pasal 50 PJN. Kemudian Pengawasan terhadap Notaris dilakukan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sebagaimana disebut dalam pasal 32 dan 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Perdailan Umum dan Mahkamah Agung. Juga pada Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1984 tentang Tata Cara Pengawasan Terhadap Notaris, maupun pada Keputusan Bersama Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Nomor KMA/006/SKB/VII/1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris.
Dari ketentuan tersebut apakah dengan diberlakukannya UUJN yang ada saat ini yaitu dengan dibentuknya Majelis Pengawas Notaris yang terdiri dari Majelis Pengawas Pusat, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah . Dengan ketentuan tersebut apakah proses pengawasan noatris itu dapat dinilai efektif dan dapat berjalan secara baik sebagaimana yang diharapkan.
Perbandingan dalam menilai dari segi aturan hukum yang berlaku baik setelah diberlakukannya UUJN maupun sebelum diberlakukannya UUJN, memang terdapat beberapa perbedaan, dari segi lembaga pengawasan maupun tekins aturannya. Inilah yang membatasi rumusan masalah dalam penulisan ini.
III. Tujuan Penulisan
Penulisan ini berusaha mencari perbandingan dalam menemukan efektifitas dalam proses pengawasan setelah diberlakukannya UUJN dengan dibentuknya Majelis Pengawas Notaris, yang dibentuk baik ditingkat pusat, propinsi, dan daerah tingkat II, yang dihubungkan dengan pemberian sanksinya. Apakah dengan dibentuknya lembaga Majelis Pengawas Notaris yang keanggotaan terdiri dari unsur pemerintah, akademisi dan unsur notaris sendir, proses pengawasan Notaris ebagai pejabat umum dapat berjalan sebagaimana yang amanatkan UUJN. Notaris sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk membuat akta otentik, sebagai alat pembutian sempurna yang harus menekan pada aturan hukum yang berlaku pada pembuatan akta otentik sebagaimana yang diamanatkan, dengan berasakan kejujuran, adil dan tidak memihak.


Bambang Syamsuzar Oyong

Sebagai draf awal tugas penulisan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS