Sosialitas Kehidupan

SOSIALITAS KEHIDUPAN INDIVIDU, SOSIAL DAN BERNEGARA
DALAM TATARAN TEORI HUKUM GROTIUS
Oleh Bambang Syamsuzar Oyong

PENDAHULUAN

Pemikiran dalam ajaran teori hukum grotius tidak dapat dilepaskan dengan mulai berakhirnya krisis zaman pertengahan yang berlangsung hingga abad ke 15 dan ke 16 Masehi yaitu dengan mulainya suatu gerakan yang disebut Renaissance.
Kata renaissance berarti kelahiran kembali, yang secara historis Renaissance adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman dimana orang merasa dirinya telah dilahirkan kembali dalam keadaban. Di dalam kelahiran kembali itu orang kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan. Dengan demikian orang memiliki norma-norma yang senantiasa berlaku bagi hikmat dan kesenian manusia, dengan prinsip-prinsip humanisme.
Unsur yang terbesar timbulnya prinsip-prinsip humanime yaitu adanya kebangkitan untuk mempelajari sastra-sastra klasik dan adanya penyambutan yang semangat atas realitas kehidupan. Para humanis bermaksud untuk meningkatkan perkembangan yang harmonies dari sifat-sifat dan kecakapan-kecakapan alamiah manusia dengan mengusahakan adanya kepustakaan yang baik dengan mengikat jejak kebudayaan klasik.
Unsur yang utama yang mengilhami gerakan pembaharuan ini yaitu mulai berkembangnya nilai-nilai humanisme, dengan didukung adanya kebangkitan untuk mempelajari sastra-sastra klasik dengan semangat realitas kehidupan yang tinggi.
Di dalam Renaissance, dunia diterima seperti apa adanya sebab orang merasa kerasan (at home) di dunia dan menghargai sekali kapada hal-hal yang baik dari hidup ini. Selain dari pada itu karena adanya perspektif baru bagi kesenian-kesenian dan kesusasteraan maka orang makin menjadi optimis. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya penemuan-penemuan benua baru, yang mengakibatkan timbulnya pemikiran-pemikiran baru disegala bidang kehidupan.
Jika dilihat dari perbedaan pemikiran filsafati diabad pertengahan dengan pemikiran filsafati renaissance. Hal ini terlihat pada pencurahan perhatian, yang mana pemikiran filsafati di abad pertengahan lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat abstrak. Sedangkan hal-hal yang bersifat kongrit, yang tampak terlalu terabaikan. Johanes Duns Scotus, seorang pemikir diawal abad pertengahan misalnya, telah menunjukan bahwa hal-hal yang khusus juga memiliki nilai-nilia sendiri. Sedangkan William Ockham, menekankan kepada sifat-sifat individual realitas. Itulah sebabnya Ia juga telah menamakan perhatian-perhatian atas penilaian-penilaian positif.
Hal ini berbeda sekali perkembangan dalam pemikiran filsafati diabad renaissance, yang mana perhatiannya telah ditujukan kepada hal-hal yang bersifat konkrit terhadap adanya alam semesta dan kepada kemanusian didalamnya memuat sistem kehidupan dimasyarakat yang juga selalu berpegang pada nilai-nilai sejarah. Segi realitas ini dijadikan sasaran penyelidikan. Pada saat itu dapat dikatakan orang menemukan dua hal yang besar yaitu dunia dan diri sendiri. Adanya pengenalan akan diri sendiri meliputi bahwa orang mulai sadar akan nilai pribadinya dan akan kekuatan pribadinya.
Disamping itu juga penemuan akan kemampuan diri sendiri juga menimbulkan kerugian yaitu dimana manusia merasa bebas terhadap segala kuasa dan tradisi. Orang ingin mengikuti jalannya sendiri. Untuk itu hal yang terlihat pada zaman renaissance yaitu banyaknya penemuan-penemuan antara lain pada para tokoh. Nikolaus Kopernikus (1473-1543) seorang tokoh gerejani yang menemukan bahwa matahari berada dipusat jagat raya, dan bahwa bumi mempunyai dua macam gerak yaitu gerak berputar sehari-hari pada porosnya dan berputar tahunan mengitari matahari. Johanes Kepler (1571-1630) adalah seorang tokoh yang menemukan teori bahwa jagat raya berpusat kepada matahari yang memiliki tiga macam hukum.
Disamping perkembangan dibidang ilmu pengetahuan alam, pada zaman renaissance juga terdapat perkembangan dibidang ilmu negara, meskipun puncaknya baru terdapat pada awal abab ke 17 yang dipelopori oleh Hugo de Groot (1583-1645) dengan gagasannya tentang hukum internasional.

MENGENAL LEBIH JAUH HUGO DE GROOT (GROTIUS)

Hugo De Groot atau yang lebih dikenal dengan nama Grotius yang hidup dari tahun 1583 sampai 1645 di negeri Belanda. Ia pernah mengikuti perjalanan Oldebarneveld ke Prancis. Pernah pula Ia pada tahun 1673 dijatuhi hukuman seumur hidup, karena Ia merupakan penganut kaum Remonstran. Akan tetapi pada tahun 1621 Ia dapat melarikan diri dari Loevestein ke Prancis. Dalam penjara itu, Ia telah mulai menulis buku yang karangannya yang terkenal pada saat itu berjudul DE JURE BELLI AC PACIS (Hukum Perang dan Damai) yang akan dipersembahkannya kepada raja Prancis Louis XIII.
Dengan bukunya itulah Grotius menjadi seorang ahli pemikir besar tentang negara dan hukum, serta dianggap sebagai peletak dasar pertama, atau pelopor, bahkan pencipta dari pada hukum alam moderen. Meskipun Grotius adalah seorang pemeluk agama yang tekun, dan percaya sekali dengan adanya Tuhan, namun dalam pengantar dari bukunya terlihat keangkuhan serta kelantangan dalam ucapannya sebagai berikut : “bahwa Tuhan sendiri tak dapat mengadakan perubahan suatu apapun pada kebenaran, bahwasanya dua kali dua itu adalah empat. Dengan demikian dapatlah ditunjukkan suatu lapangan yang berlaku umum, disamping keadaan terpecah belah di lapangan agama itu. Hukum alam itu adalah suatu peraturan dari akal murni dan karena demikian tetapnya, hingga Tuhan sendiri tak dapat merubahnya. Sebab bagaimanakah bisa terjadi bahwa Yang Maha Esa dapat bertindak bertentangan dengan apa yang patut menurut akal. Dalam kekuasaan pikiran itu manusia mendapat kunci untuk pedoman hidup yang bernilai moril. Bahkan, seandainya Tuhan itu tidak ada, atau tidak memperdulikan manusia, maka akal itu akan dapat memimpin manusia. Akal itu berlaku dengan tiada bergantung pada kekuasaan yang gaib”.
Dengan demikian maka filsafat Grotius tentang negara dan hukum adalah suatu usaha untuk mengatasi segala perpecahan di kalangan agama, dengan berdasarkan pada akal manusia yang berlaku umum. Bahkan tidak hanya terbatas pada kaum Kristen saja, melainkan juga berlaku untuk dan mengikat semua orang kafir dan atheis.
Meskipun Grotius dianggap sebagai pencipta dari pada ajaran hukum alam modern, namun ajarannya itu banyak diilhami pada hukum alam yang langsung berhubungan dengan : hukum alam jaman kuno (yunani kuno dengan tokohnya Aristoteles), kaum stoa (Zeno), dan Cicero, dari pada dengan Thomas Aquinas dan Francesco Suarez.
Dalam menetapkan dasar-dasar modern untuk pemikiran tentang negara dan hukum, misalnya, Crotius sangat terpengaruh oleh ajaran Aristoteles, bahwa manusia itu adalah makhluk sosial, sehingga karena itu Ia selalu mempunyai hasrat untuk hidup bermusyawarah. Akan tetapi demikian menurut Grotius, manusia itu memiliki akal rasio. Hal ini berbeda jika dibandingakan dengan binatang. Dengan akal dan rasionya itu manusia dapat menetapkan mana untuk kepentingan pribadi dan mana untuk kepentingan umum.
Grotius dalam menguraikan tentang apa yang disebut hukum alam itu sebenarnya ada hubungannya dengan soal lain, yaitu dengan hukum perang dan hukum damai. Disini dia mencari bukti bahwa antara negara-negara yang masing-masing mempunyai hukum sendiri-sendiri, ada unsur-unsur yang mengikat negara-negara tersebut, baik dalam keadaan damai dan dalam keadaan perang. Maka ia lalu mencari hakekat dari hukum tersebut. Mula-mula hukum itu berlaku untuk negara itu sendiri, tetapi menurut Grotius hukum tersebut juga dihormati oleh negara-negara lain. Hanya dalam keadaan perang kadang-kadang negara-negara itu dapat bertindak sendiri-sendiri.
Hukum antar negara yang dibicarakan oleh Grotius lebih mengarah pada norma-norma apa yang berlaku diantara dua negara atau lebih, maupun dalam soal apa saja, baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang. Sebab kalau masing-masing negara itu berdaulat, maka harus ada yang membatas. Karena tidak mungkin kalau masing-masing negara itu bertindak sendiri-sendiri semaunya, tanpa menghiraukan akan kepentingan negara lain. Hal itu tentu ada yang membatasi agar dalam negara-negara itu tercipta perdamaian.
Grotius juga menyatakan bahwa yang mengikat antar negara-negara itu, yaitu suatu norma tertentu walaupun tidak dalam bentuk tertulis atau tidak ditetapkan dalam hukum negara. Namun kenyataannya norma itu tetap berlaku dan dipatuhi. Jadi sebenarnya menurut Grotius norma-norma itu bukan sebenarnya buatan negara tetapi dari hukum alam kodrat.
Jadi menurut Grotius hukum alam itu adalah suatu ketentuan yang benar dan baik menurut rasio, dan tidak mungkin salah, dan memiliki nilai-nilai keadilan berupa :
1. Orang harus menghormati milik orang lain.
2. Orang harus menghormati orang lain.
3. Orang harus menepati janji.
4. Orang harus mengganti kerugian yang ditimbulkan karena kesalahannya.
5. Orang harus mengembalikan milik orang lain yang ada padanya secara tidak syah.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas sudah berlaku dan terdapat di dalam sanubari manusia. Disamping itu ada ketentuan-ketentuan lainnya yang sesuai dengan rasio. Dan inilah yang disebut hukum alam oleh Grotius. Jadi hukum alam itu adalah hukum yang berdasarkan atas rasio.

TEORI HUKUM GROTIUS

Apa yang pernah diungkapkan oleh Grotius pada bukunya De Jure Belli Ac Pacis (Hukum Perang Dan Hukum Damai). Walaupun Ia seorang yang sangat taat akan agamanya dan percaya sekali tentang adanya Tuhan, namun kenyatannya terlihat keangkuhannya yang mengatakan “Tuhan sendiri tak dapat mengadakan perubahan suatu apapun pada kebenaran“. Dari apa yang diungkapkannya itu, dan sebagai pelopor hukum alam modern Grotius, ciri utama adanya nilai-nilai Rasionalistik yang memiliki sifat "alamiah" dari hukum kodrat menjadikan tidak diperlukannya lagi legitimasi teologis. Bagi Grotius : "Tuhan tidak dapat merubah kategori jahat menjadi tidak jahat".
Karena perkembangan pemikiran hukum alam modern ini atau yang dikenal sebagai hukum kodrat yang dipelopori dari beberapa tokoh. Teori hukum Grotius mengenai sosialitas ini, juga didasari dari perkembangan ciri Individualistik yang akarnya pada Protagoras yang mana menyebutkan, "Manusia adalah ukuran bagi segala hal". Pandangan anthroposentris ini didampingi oleh metafisika manusia yang memandang hubungan individu sosial sebagai suatu bentuk "kontrak asli". Pilar penting : Thomas Hobbes. Dan adanya nilai-nilai Radikalistik teori Hukum Kodrat Modern pada dasarnya merupakan pembelaan radikal terhadap hak-hak individu, yang dipahami sebagai hak-hak yang tidak dapat dipindah-tangankan. Pemahaman ini pula yang dijadikan sebagai dasar bagi pemberontakan terhadap penindasan hak-hak individu. Bagi Hobbes, ius tidak sama dengan lex, rights berbeda dengan law. Fakultas agendi (hak berbuat tidak sama dengan norma agendi (aturan berbuat). Jadi pada ketentuan tersebut perkembangan hukum kodrat yang dibawa oleh para tokoh tersebut memberikan kesimpulan :
1. Berkurangnya kekuasaan langsung gereja atas negara (perpecahan lembaga gereja).
2. Adanya kecenderungan memisahkan hukum positif dengan hukum agama (kristen).
3. Adanya kerinduan kembali untuk mengkaji karya-karya sebelum agama kristen.
Hukum kodrat sebagai sesuatu yang rasional, sekular. Grotius mengembangkan teori hukum kodrat rasionalistik. Rasio (akal manusia) termasuk bagian yang hakiki dari kodrat, sehingga hukum kodrat masih tetap berlaku sekalipun seandainya Tuhan tidak ada (Namun, Grotius masih mengakui Tuhan sebagai pencipta alam ).
Prinsip rasional yang utama yaitu setiap orang mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan orang lain secara damai. Manusia adalah makluk yang bermartabat, yang berbeda dari makluk lain karena hasrat untuk bermasyarakat. Grotius menentang pendapat bahwa perbuatan manusia didorong oleh kepentingan individu dan hukum merupakan kebiasaan, bukan rasa keadilan. Bagi Grotius, manusia adalah makhluk sosial dan sosialitas itu ada untuk perdamaian. Damai merupakan nilai dan syarat yang diperlukan untuk mengikat tujuan-tujuan khusus perorangan (Prolegomena, sec.6).
Prinsip-prinsip itu adalah kau punya ku punya, kesetiaan pada janji, anti rugi, perlunya hukuman, de facto diterima semua bangsa. Oleh Grotius prinsip-prinsip tersebut merupakan dasar umum, suatu sensus communis, common sense yang merupakan pijakan yang penting bagi ius gentinum, ius hominis, yang berlaku pada societas humana.
Dasar berlaku hukum kodrat di masyarakat adalah perjanjian bebas yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan (individu maupun negara). Syarat agar kodrat manusia tetap seperti apa adanya : adanya jaminan atas hak milik, adanya kepercayaan, dan pemeliharaan yang layak serta adanya persetujuan umum tentang penyimpangan perbuatan manusia dan akibat yang ditimbulkannya. Mutual relations of society is the mother of law of nature. Atas dasar mutual relations of society, ius gentinum maupun civil law dijabarkan dengan memberi ruang bebas pada tiap kelompok individu atau negara untuk menentukan atasan-batasan sesuai dengan prinsip utilitas masing-masing.
Grotius juga mengajukan teori tentang Hak Azasi (natural rights) berupa adanya hak berkuasa atas diri sendiri, atau hak atas kebebasan, hak berkuasa atas lain, hak berkuasa sebagai tuan/majikan. Hukum kodrat oleh Grotius juga dipilih atas dasar cakupan hak sempit, menjadi hukum karena menciptakan hak untuk menuntut apa yang menjadi haknya. Misalnya hak dilunasi, lunas hanya menciptakan hak berupa kepantasan, keadilan distrubtutif yang bentuk lebih sebagai keharusan moral.
Sebagaimana telah disebut dalam karyanya De jure Belli ac Pacis (On the Law of War and Peace) yang terbit pada tahun 1625. Grotius berpendapat bahwa kebiasaan-kebiasaan yang ada yang mengatur hubungan antara bangsa memiliki daya paksa secara hukum dan mengikat mereka yang ada di dalamnya kecuali jika bertentangan dengan keadilan alami atau hukum alam (natural law), yang merupakan hukum tertinggi yang tidak dapat disimpangi yang mengatur keseluruhan perilaku manusia. Pengaruh pemikiran Grotius sangat besar terhadap urusan-urusan internasional dan penyelesaian peperangan, sehingga sering disebut sebagai ‘bapak hukum internasional’. Gagasan-gagasannya menjadi batu penjuru sistem internasional yang dibangun oleh Perjanjian Perdamaian Westphalia (1648), sebuah perjanjian yang mengakhiri Perang Tiga puluh Tahun.

APLIKASI SECARA FAKTUAL

Sebelumnya tahun 1609, Grotius melalui bukunya Mare Liberium (The Free Sea) menentang klaim negara manapun terhadap laut terbuka sebagai milik eksklusif negara. Klaim semacam itu menurut Grotius, bertentangan dengan hukum alam dan hukum-hukum dasar kemanusiaan. Menurutnya laut tidak dapat dimiliki karena laut tidak dapat didiami sebagaimana tanah yang didiami oleh manusia. Pasca Grotius : berkembang pemikiran “positivis”namun dalam pengaruh hukum alam. Konflik ini masih berlanjut sampai sekarang terutama berkaitan dengan masalah jus cogens. Abad XIX : Kemunculan negara kuat, ekspansi keluar Eropa, Modernisasi transportasi, Perang modern & Penemuan baru. Kebutuhan aturan & prinsip hukum internasional.
Namun dalam perkembangannya hukum internasional itu sendiri baru terasa ketika memasuki di awal abad XX dengan lahirnya beberapa lembaga internasional, sebagai bagaian eksistensi antar bangsa-bangsa yang saling terikat berupa :
1. Mahkamah Arbitrase Permanen (1899) ;
2. Mahkamah Internasional Permanen (1921), kemudian Mahkamah Internasional atau International Court of Justice/ICJ (1946).
3. Pembentukan Liga Bangsa-bangsa yang diganti oleh Perserikatan Bangsa-bangsa.
4. Organisasi Buruh Dunia.
5. Organisasi Penerbangan Sipil Internasional., dll.

Ciri penting politik internasional Abad XX :
1. Kemunculan negara-negara merdeka di Asia dan Afrika. Perubahan dominasi pemikiran hukum internasional dari pemikir Barat.
2. Positivisme hukum internasional. Kekuatan senjata nuklir, Asosiasi-asosiasi negara, Instabilitas politik negara berkembang di dunia ketiga.
3. Pembentukan organisasi internasional yang permanen (PBB; WTO; dll) yang berhubungan dengan negara.
4. Gerakan perlindungan hak asasi manusia secara global, termasuk pengadilan internasional terhadap kejahatan perang. (muncul hukum pidana internasional). Hukum Internasional menjadi syarat bagi satu negara untuk masuk dalam pergaulan antar bangsa.
5. Traktat pembuatan hukum (law making treaties); Peraturan internasional (international legislation).
6. Popularitas arbitrasi. Kemantapan ICJ. Peran International Law Commission. Kehadiran WTO dengan dispute settlement procedure yang efektif.
Sedangkan kritik atas Hukum Internasional dapat berupa :
• Penegakan hukum internasional sulit dilakukan karena negara adalah kekuatan berdaulat yang akan lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan internasional. Selain itu, mekanisme penegakan masih muda dan belum mapan;
• Pelanggaran-pelanggaran yang menimbulkan perang sering dianggap bentuk runtuhnya hukum internasional;
• Aturan-aturan hukum internasional hanyalah untuk menjaga perdamaian;
• Sebagian besar hukum internasional tidak terkait dengan perang. Tapi sedikit mengalami publisitas;
• Hukum internasional terkait pula dengan masalah kewarganegaraan, ganti kerugian orang asing, deportasi, ekstradisi, perdagangan, keuangan, dll.
Tujuan Hukum Internasional :
1. Menyelesaikan masalah-masalah dalam lingkup regional atau global (seperti polusi lingkungan atau global warming), meregulasi wilayah-wilayah yang berada di luar sebuah negara (seperti luar angkasa dan laut bebas), dan mengadopsi aturan-aturan bersama bagi kegiatan multinasional (seperti jasa penerbangan udara dan pos).
2. Juga dimaksudkan untuk Memelihara PERDAMAIAN.
3. Membentuk kerangka kerja yang memudahkan pergaulan internasional.
4. Menghindari penderitaan yang tidak perlu akibat perang dan meningkatkan kondisi hidup manusia dalam masa damai.
5. Membentuk sistem hukum yang sempurna. (Beckett)

ANALISIS (PENDAPAT PENULIS)

Grotius adalah penganut humanisme, yang mencari dasar baru bagi hukum alam dalam diri manusia sendiri. Manusia memiliki kemampuan untuk mengerti segala-galanya secara rasional melalui pemikirannya menurut hukum-hukum matematika dan hukum-hukum eksakta. Manusia dapat menyusun daftar hukum alam dengan menggunakan prinsip-prinsip a priori yang dapat diterima secara umum. Hukum alam tersebut oleh Grotius dipandang sebagai hukum yang berlaku secara real sama seperti hukum positif.
Sebagaimana yang dia kemukakan bahwa hukum alam tetaplah berlaku seandainya Allah (Tuhan) tidak ada. Sebabnya dalam hukum alam berupa akal dan budi manusia sebagai bagian dari hakekatnya.
Dilain pihak Grotius tetap mengaku, bahwa Allah adalah pencipta alam semesta. Oleh karena itu secara tidak langsung Allah tetap merupakan pundamen hukum alam. Hak-hak alam yang ada pada manusia adalah hak untuk berkuasa atas diri sendiri, yakni hak atas kebebasan. hak untuk berkuasa atas orang lain hak untuk berkuasa sebagai majikan, dan
hak untuk berkuasa atas milik dan barang-barang.
Grotius juga memberikan prinsip yang menjadi tiang dari seluruh sistem hukum alam yakni prinsip ku punya dan kau punya. Milik orang lain juga harus dijaga. Prinsip kesetiaan pada janji, prinsip ganti rugi, prinsip perlunya hukum karena pelanggaran atas hukum alam.
Sebagaimana telah di utarakan di muka, hukum alam ini selalu dapat dikenali sepanjang abad-abad sejarah manusia, oleh karena ia merupakan usaha manusia untuk menemukan hukum dan keadilan yang ideal. Mazhab Formalistis Hukum dan moral merupakan dua bidang terpisah dan harus dipisahkan. Salah satu cabang dari aliran yang menganut pendapat diatas adalah mazhab formalistik yang teorinya lebih dikenal dengan nama analytical jurisprudence. Diantara tokoh terkemuka dari mazhab ini adalah John Austin dan Hans Kelsen.
Sejak dahulu, manusia hidup bersama, berkelompok membentuk masyarakat tertentu, mendiami suatu tempat, dan menghasilkan kebudayaan sesuai dengan keadaan dan tempat tersebut. Manusia secara kodrati adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Tiap manusia mempunyai sifat, watak, dan kehendak sendiri. Namun dalam masyarakat manusia mengadakan hubungan satu sama lain, mengadakan kerjasama, tolong menolong, bantu membantu untuk memperoleh keperluan hidupnya. Setiap manusia memiliki kepentingan, dan acap kali kepentingan tersebut berlainan bahkan ada juga yang bertentangan, sehingga dapat menimbulkan pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama.
Apabila ketidak-seimbangan perhubungan masyarakat yang menjadi perselisihan itu dibiarkan, maka mungkin akan timbul perpecahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, dari pemikiran manusia dalam masyarakat dan makhluk sosial, kelompok manusia menghasilkan suatu kebudayaan yang bernama kaidah atau aturan atau hukum tertentu yang mengatur segala tingkah lakunya agar tidak menyimpang dari hati sanubari manusia.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, kebudayaan manusia mengalami perkembangan pula. Termasuk perkembangan hukum. Peradaban yang semakin berkembang membuat kehidupan manusia sangat membutuhkan aturan yang dapat membatasi perilaku manusia sendiri yang telah banyak menyimpang seiring dengan perkembangan pemikiran manusia yang semakin maju.
Dalam perkembangannya aturan-aturan dalam hukum tersebut mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kemajuan zaman. Untuk itu, suatu negara hukum sangat perlu mengadakan pembangunan terutama di bidang hukum. Mengenai pembangunan hukum ini tidaklah mudah dilakukan. Hal ini disebabkan pembangunan hukum tersebut tidak boleh bertentangan dengan tertib hukum yang lain.
Untuk itu penerapan manusia “egois” cara model Thomas Hobbes, sangat berseberangan dengan cara prinsip sosialita Grotius. Yang selalu menekankan setiap manusia atau orang mempunyai kecenderungan hidup bersama. Tidak hanya itu, manusia yang diberikan kelebihan dari makluk hidup lainnya berupa “ratio” secara kodrati manusia juga ingin hidup secara damai. Begitulah Grotius menjadikan sosiabilitas manusia sebagai landasan ontologi dan fondasi segala hukum. Menurutnya, hukum itu asalnya dari kesadaran “manusia sosial” yang gunanya agar sosialitas tetap terjaga.
Bahwa kemungkinan hidup penuh kekacauan seperti yang digambarkan Hobbes, hal ini pada dasarnya tidak disangkal oleh Grotius. Tetapi kekacauan itu menurut Grotius bukanlah bawaan manusia. Kekacauan itu terjadi karena semata-mata adanya gesekan-gesekan sosial dalam hidup bersama yang dikarenakan “tidak adanya aturan main”. Orang bisa saja mengambil milik hak orang lain, ataupun dalam wujud ingkar janji.
Jika hal itu terjadi menurut Grotius, yang dibutuhkan adalah agar setiap orang kembali pada kodrat sebagai manusia sosial yang berbudi. Yang mana menempatkan hukum sebagai “pengawal” dalam sosiabilitas manusia untuk menjamin agar prinsip-prinsip individu sosial yang berbudi itu tetap tegak.

PENUTUP

A. Kesimpulan
Manusia secara kodrati adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu manusia mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Apabila tidak adanya kesimbangan dalam kedudukannya tersebut baik sebagai makhluk sosial dan makhluk individu. Maka hal ini akan menimbulkan pertentangan dan pertikaian yang pada akhirnya akan menggangu keserasian hidup bersama. Untuk itu dibutuhkan hukum sebagai pengawal yang juga didalamnya memuat aturan main bersama. Tidak hanya untuk individu, masyarakat maupun juga untuk bangsa-bangsa yang berhubungan.

B. Saran
Apa yang tergambarkan pada prinsip-prinsip pemikiran Grotius pada teori sosilitas yang menjadi dasar pemikiran dari teorisasi Grotius yaitu pada tingkatan tataran sosialitas. Ini bisa menjadi pegangan bersama dalam meningkatkan nilai-nilai kebersamaan, baik ditingkat individu, sosial dan bernegara. Karena saat ini makin terkikisnya nilai-nilai kebersamaan itu sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Bernanrd L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, 2007, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya.
Harun Hadiwijono, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Kanisius, Yogyakarta.
Harun Hadiwijono, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta
Imran Nating, 2001, Perkembangan Pemikiran Hukum Dari Berbagai Mazhab atau Aliran (Artikel), Jakarta.
Soehino, 1982, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta.

Catatat : Sebagai tugas mata kuliah Teori Hukum oleh Bapak DR. Abdurahman, SH. MH
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS