Perkawinan dibawah umur
POLEMIK PERKAWINAN DIBAWAH UMUR
DAN PERKAWINAN POLIGAMI
Baru-baru ini kita dikejutkan adanya pernikahan antara Sjehk Puji yang berusia di atas 40 tahun dengan seorang yang bernama Ulfa seorang anak yang masih umur 12 tahun. Perkawinan itu sendiri dalam terminologi hukum baik dalam ketentuan Hukum Islam maupun ketentuan yang di atur dalam KUH Perdata, jika memenhi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan menjadi sesutu yang sangat terbiasa terjadi.
Sebenarnya Perkawinan dalam bahasa arab yang disebut nikah sesuatu yang mempunyai art luas, akan tetapi dalan hukum Islam mempunyai arti tertentu, di mana sebutkan nikah adalah suatu perjanjian untuk mensyahkan hubungan kelamin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk melanjutkan keturunan. Nikah secara Islam dilaksanakan menurut ketentuan melaksanakan suatu ikatan atau persetujuan (akad) antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan wali pihaknya. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa nikah itu harus didasari adanya persetujuan masing-masing pihak, adanya kerelaan dan kesukaan dari kedua belah pihak untuk melakukan nikah, dan nikah tersebut harus dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh agama yang terdapat dalam hukum figih. Sedangkan pengertian perkawinan dalam KUH Perdata (BW) walaupun tidak secara sepesifik mendefinisikannya, namun dari beberapa ketentuan pasal-pasal yang mengatur, misal pasal 104 dan pasal 209 sub 3, sangat jelas disebutkan perkawinan harus dilakukan pada suatu saat tertentu, dimana adanya persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama.
Disamping itu juga pemerintah telah mengeluarkan UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanannya. Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 memberikan definisi bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang berdasarkan ketuhan Yang Maha Esa. Dari ketentuan tersebut terkadung makna adanya asas monogami yaitu dimana seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ketentuan asas ini tidaklah bersifat mutlak adanya, dalam ketentuan pasal 1 ayat 2 menyebutkan pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutanyang dikenal dengan ketentuan perkawinan poligami.
Timbulnya dua asas perkawinan tersebut tidak dapat dilepaskan dengan kondisi bangsa Indonesia yang ada saat ini, yang mana penduduknya memiliki pluralitas agama yang berlainan dan juga adat istiadat. Mamang dalam dunia moderen sekarang ini, perkawinan yang dipandang baik dan ideal adalah perkawinan yang “monogaam”, bahkan sampai bangsa-bangsa yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam membolehkan berpoligami sekalipun berpendapat, perkawinan “monogaam” adalah perkawinan yang terbaik dan ideal. Kita bisa melihat bagaimana ketika terjadi adanya perkawinan poligami dilingkungan masyarkat hal ini bisa menimbulkan gunjingan dikalangan kita sendiri.
UU No. 1 tahun 1974 memberikan persayaratan yang sangat ketat untuk melakukan poligami dan pengadilan akan memberikan izin bila mana memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, seperti adanya persetujuan dari istri/istri-istrinya, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isrti-istri dan anak-anak mereka. Ketetnya pemberian izin untuk berpoligami oleh pengadilan dikarenakan pengadilan tidak begitu saja menerima permohonan untuk berpoligami yang diajukan oleh seseorang, sebelum syarat-syarat sebagaimana tersebut di dapatkan. Hal ini menimbulkan tingginya praktek-praktek poligami illegal dilingkungan kita, misalnya hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah, bagi yang beragama Islam melakukan berpoligami tanpa dilakukan pencatatan nikah.
PERKAWINAN DI BAWAH UMUR
Memang manarik pemberitaan perkawinan antara Sjehk Puji yang berusia 48 tahun dengan seorang anak yang berumur 12 tahun yang bernama Ulfa. Apa yang bisa kita petik dari pemberitaan tersebut sampai-sampai Komnas Perlindaungan Anak, Kak Seto turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan itu. Adanya pro dan kontra perkawinan itu tidak dapat dihindari. Pemberitaan yang terakhir menyebutkan Sjehk Puji bersedia mengembalikan istrinya yang masih di bawah umur tersebut kepada orang tuanya walaupun status perkawinannya tetap. Ini sesuatu yang sangat realita yang terjadi dilingkungan kita yang sempat terkuak dihadapan publik. Dan masih banyak lagi perkawinan-perkawinan dibawah umur lainya dikarenakan pemahaman terhadap nilai-nilai perkawinan yang lemah dan mengenai aturan hukum perkawinan yang berlaku. Selama ini ketentuan yang mengatur mengenai hal-hal mengenai perkawinan baik yang menyangkut syarat-syarat sahnya perkawinan, pencegahan perkawinan dan batalnya perkawinan telah diatur secara jelas di UU No. 1 tahun 1974 tersebut. Jika hal ini dapat dipandang secara bijak untuk kepentingan fisikoligi jiwa si anak, perkawinan itu dapat dihindari karena tidak memenuhi syarat usia untuk kawin dan secara pisikologis tidak mampu untuk menjadi seorang istri.
Pertanyaannya adalah apakah perkawinan dibawah umur dapat dibenarkan menurut ketentuan hukum yang berlaku saat ini ? Menurut ketentuan pasal 85 KUH Perdata, disebutkan perkawinan-perkawinan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana yang ditetapkan maka perkawinana tersebut dapat dibatalkan (vernietiegbaar). Sedangkan pasal 22 UU No. 1 tahun 1974 disebutkan perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat-syarat perkawinan itu padal Pasal 6 UU No. 1 tahun 1974, perkawinan harus didasari atas persetujuan kedua calon mempelai, untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuaa, dan lainnya. Kedua ketentuan tersebut di atas adalah hal yang sangat pokok untuk menentukan sahnya perkawinan itu.
Dari ketentuan syarat sahnya perkawinan itu adanya kata sepakat di antara para pihak, walaupun dalan UU No. 1 tahun 1974 tidak disebutkan secara jelas ketentuan kata sepakat tersebut, namun kita dapat melihat ketentuan kata sepakat tersebut sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan dalam ketentuan pasal 28 KUH Perdata. Pasal ini menyebtukan kata sepakat (vrije toestemming) adalah hakekat dari perkawinan. Bilamana hal ini tidak ada, maka menurut ketentuan pasal 87 KUH Perdata maka keabsahan dari perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Vrije toestemming menurut pendapat beberapa pakar hukum menyebutkan vrije toestemming tersebut walaupun ada akan tetapi tidak bebas apabila memilki unsur ancaman, kekhilafan atau adanya unsur penipuan. Apakah anak dibawah umur dapat melakukan tindakan hukum yang belum memenuhi syarat kedewasan untuk bertindak sebagaimana yang di atur dalam UU Perkawinan maupun dalam ketetuan KUH Perdata, apabila ini terjadi maka perkawinan itu dapat dibatalkan. Apa yang tercantum dalam pasal 27 KUH Perdata, mengenai syarat sahnya perkawina harus adanya kecakapan masing-masing pihak dan tidak berada dibawah pengampuan, dan belum memenuhi syarat kawin dalam pencapaian usia.
Apa yang diatur dalam syarat sahnya perkawinan baik dalam UU Perkawinan maupun dalam ketentuan KUH Perdata sudah jelas adanya. Perihal siapa yang dapat mengajukan pembatalan tersebut, dalam UU Perkawinan pada pasal 23 yaitu para keluarga dalam garis keturuan ke atas dari suami atau istri, suami atau istri dan pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputus.
Perkawinan terhadap anak dibawah umur sebenarnya telah melanggar dari ketentuan UU Perkawinan, KUH Perdata maupun dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana di atur pada Intruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991.
Pada Convention On The Right Of The Child pada tahun 1989, yang telah disetujui oleh Mejelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989 disebutkan beberapa prinsip-prinsip dasa terhadap pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarga manusia sebagai landasan dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di seluruh dunia. Disamping itu itu juga disebutkan pada Konvensi Hak-Hak Anak, bahwa anak demi pengembangan kepribadiannya secara penuh dan serasi, hendaknya tumbuh kembang dalam suatu lingkungan keluarga, dalam suatu lingkungan yang bahagia, penuh kasih sayang dan pengertian. Begitu juga dalam Deklarasi Hak-Hak Anak pada tahun 1959 disebutkan anak kerena ketidak matangan jamani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran. Itulah beberpa poin yang dapat dipetik.
Adanya Convention on the right of the Child pada tahun 1989, untuk itu pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 telah menjadi sebagai salah satu prodak hukum di negeri ini. Untuk itu pemerintah dan kita semua bertanggung jawab terhadap permasalahan hak-hak anak.
Adanya perkawinan dibawah umur yang baru-baru ini terjadi, seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi kita semuanya. Sejahu mana kita dapat menempatkan dan memberikan perlindungan yang layak terhadap hak-hak anak untuk proses pencapaian cita-citanya di masa depan. Itu menjadi tanggung jawab kita semua.
BAMBANG SYAMSUZAR OYONG
Notaris Banjarmasin
catatan : tulisan ini telah dimuat di Harian Banjarmasin Post, tanggal 19 November
2008
DAN PERKAWINAN POLIGAMI
Baru-baru ini kita dikejutkan adanya pernikahan antara Sjehk Puji yang berusia di atas 40 tahun dengan seorang yang bernama Ulfa seorang anak yang masih umur 12 tahun. Perkawinan itu sendiri dalam terminologi hukum baik dalam ketentuan Hukum Islam maupun ketentuan yang di atur dalam KUH Perdata, jika memenhi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan menjadi sesutu yang sangat terbiasa terjadi.
Sebenarnya Perkawinan dalam bahasa arab yang disebut nikah sesuatu yang mempunyai art luas, akan tetapi dalan hukum Islam mempunyai arti tertentu, di mana sebutkan nikah adalah suatu perjanjian untuk mensyahkan hubungan kelamin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk melanjutkan keturunan. Nikah secara Islam dilaksanakan menurut ketentuan melaksanakan suatu ikatan atau persetujuan (akad) antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan wali pihaknya. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa nikah itu harus didasari adanya persetujuan masing-masing pihak, adanya kerelaan dan kesukaan dari kedua belah pihak untuk melakukan nikah, dan nikah tersebut harus dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh agama yang terdapat dalam hukum figih. Sedangkan pengertian perkawinan dalam KUH Perdata (BW) walaupun tidak secara sepesifik mendefinisikannya, namun dari beberapa ketentuan pasal-pasal yang mengatur, misal pasal 104 dan pasal 209 sub 3, sangat jelas disebutkan perkawinan harus dilakukan pada suatu saat tertentu, dimana adanya persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama.
Disamping itu juga pemerintah telah mengeluarkan UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanannya. Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 memberikan definisi bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang berdasarkan ketuhan Yang Maha Esa. Dari ketentuan tersebut terkadung makna adanya asas monogami yaitu dimana seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ketentuan asas ini tidaklah bersifat mutlak adanya, dalam ketentuan pasal 1 ayat 2 menyebutkan pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutanyang dikenal dengan ketentuan perkawinan poligami.
Timbulnya dua asas perkawinan tersebut tidak dapat dilepaskan dengan kondisi bangsa Indonesia yang ada saat ini, yang mana penduduknya memiliki pluralitas agama yang berlainan dan juga adat istiadat. Mamang dalam dunia moderen sekarang ini, perkawinan yang dipandang baik dan ideal adalah perkawinan yang “monogaam”, bahkan sampai bangsa-bangsa yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam membolehkan berpoligami sekalipun berpendapat, perkawinan “monogaam” adalah perkawinan yang terbaik dan ideal. Kita bisa melihat bagaimana ketika terjadi adanya perkawinan poligami dilingkungan masyarkat hal ini bisa menimbulkan gunjingan dikalangan kita sendiri.
UU No. 1 tahun 1974 memberikan persayaratan yang sangat ketat untuk melakukan poligami dan pengadilan akan memberikan izin bila mana memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, seperti adanya persetujuan dari istri/istri-istrinya, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isrti-istri dan anak-anak mereka. Ketetnya pemberian izin untuk berpoligami oleh pengadilan dikarenakan pengadilan tidak begitu saja menerima permohonan untuk berpoligami yang diajukan oleh seseorang, sebelum syarat-syarat sebagaimana tersebut di dapatkan. Hal ini menimbulkan tingginya praktek-praktek poligami illegal dilingkungan kita, misalnya hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah, bagi yang beragama Islam melakukan berpoligami tanpa dilakukan pencatatan nikah.
PERKAWINAN DI BAWAH UMUR
Memang manarik pemberitaan perkawinan antara Sjehk Puji yang berusia 48 tahun dengan seorang anak yang berumur 12 tahun yang bernama Ulfa. Apa yang bisa kita petik dari pemberitaan tersebut sampai-sampai Komnas Perlindaungan Anak, Kak Seto turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan itu. Adanya pro dan kontra perkawinan itu tidak dapat dihindari. Pemberitaan yang terakhir menyebutkan Sjehk Puji bersedia mengembalikan istrinya yang masih di bawah umur tersebut kepada orang tuanya walaupun status perkawinannya tetap. Ini sesuatu yang sangat realita yang terjadi dilingkungan kita yang sempat terkuak dihadapan publik. Dan masih banyak lagi perkawinan-perkawinan dibawah umur lainya dikarenakan pemahaman terhadap nilai-nilai perkawinan yang lemah dan mengenai aturan hukum perkawinan yang berlaku. Selama ini ketentuan yang mengatur mengenai hal-hal mengenai perkawinan baik yang menyangkut syarat-syarat sahnya perkawinan, pencegahan perkawinan dan batalnya perkawinan telah diatur secara jelas di UU No. 1 tahun 1974 tersebut. Jika hal ini dapat dipandang secara bijak untuk kepentingan fisikoligi jiwa si anak, perkawinan itu dapat dihindari karena tidak memenuhi syarat usia untuk kawin dan secara pisikologis tidak mampu untuk menjadi seorang istri.
Pertanyaannya adalah apakah perkawinan dibawah umur dapat dibenarkan menurut ketentuan hukum yang berlaku saat ini ? Menurut ketentuan pasal 85 KUH Perdata, disebutkan perkawinan-perkawinan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana yang ditetapkan maka perkawinana tersebut dapat dibatalkan (vernietiegbaar). Sedangkan pasal 22 UU No. 1 tahun 1974 disebutkan perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat-syarat perkawinan itu padal Pasal 6 UU No. 1 tahun 1974, perkawinan harus didasari atas persetujuan kedua calon mempelai, untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuaa, dan lainnya. Kedua ketentuan tersebut di atas adalah hal yang sangat pokok untuk menentukan sahnya perkawinan itu.
Dari ketentuan syarat sahnya perkawinan itu adanya kata sepakat di antara para pihak, walaupun dalan UU No. 1 tahun 1974 tidak disebutkan secara jelas ketentuan kata sepakat tersebut, namun kita dapat melihat ketentuan kata sepakat tersebut sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan dalam ketentuan pasal 28 KUH Perdata. Pasal ini menyebtukan kata sepakat (vrije toestemming) adalah hakekat dari perkawinan. Bilamana hal ini tidak ada, maka menurut ketentuan pasal 87 KUH Perdata maka keabsahan dari perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Vrije toestemming menurut pendapat beberapa pakar hukum menyebutkan vrije toestemming tersebut walaupun ada akan tetapi tidak bebas apabila memilki unsur ancaman, kekhilafan atau adanya unsur penipuan. Apakah anak dibawah umur dapat melakukan tindakan hukum yang belum memenuhi syarat kedewasan untuk bertindak sebagaimana yang di atur dalam UU Perkawinan maupun dalam ketetuan KUH Perdata, apabila ini terjadi maka perkawinan itu dapat dibatalkan. Apa yang tercantum dalam pasal 27 KUH Perdata, mengenai syarat sahnya perkawina harus adanya kecakapan masing-masing pihak dan tidak berada dibawah pengampuan, dan belum memenuhi syarat kawin dalam pencapaian usia.
Apa yang diatur dalam syarat sahnya perkawinan baik dalam UU Perkawinan maupun dalam ketentuan KUH Perdata sudah jelas adanya. Perihal siapa yang dapat mengajukan pembatalan tersebut, dalam UU Perkawinan pada pasal 23 yaitu para keluarga dalam garis keturuan ke atas dari suami atau istri, suami atau istri dan pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputus.
Perkawinan terhadap anak dibawah umur sebenarnya telah melanggar dari ketentuan UU Perkawinan, KUH Perdata maupun dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam sebagaimana di atur pada Intruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991.
Pada Convention On The Right Of The Child pada tahun 1989, yang telah disetujui oleh Mejelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989 disebutkan beberapa prinsip-prinsip dasa terhadap pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut yang dimiliki oleh seluruh anggota keluarga manusia sebagai landasan dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di seluruh dunia. Disamping itu itu juga disebutkan pada Konvensi Hak-Hak Anak, bahwa anak demi pengembangan kepribadiannya secara penuh dan serasi, hendaknya tumbuh kembang dalam suatu lingkungan keluarga, dalam suatu lingkungan yang bahagia, penuh kasih sayang dan pengertian. Begitu juga dalam Deklarasi Hak-Hak Anak pada tahun 1959 disebutkan anak kerena ketidak matangan jamani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran. Itulah beberpa poin yang dapat dipetik.
Adanya Convention on the right of the Child pada tahun 1989, untuk itu pemerintah melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 telah menjadi sebagai salah satu prodak hukum di negeri ini. Untuk itu pemerintah dan kita semua bertanggung jawab terhadap permasalahan hak-hak anak.
Adanya perkawinan dibawah umur yang baru-baru ini terjadi, seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi kita semuanya. Sejahu mana kita dapat menempatkan dan memberikan perlindungan yang layak terhadap hak-hak anak untuk proses pencapaian cita-citanya di masa depan. Itu menjadi tanggung jawab kita semua.
BAMBANG SYAMSUZAR OYONG
Notaris Banjarmasin
catatan : tulisan ini telah dimuat di Harian Banjarmasin Post, tanggal 19 November
2008
Komentar
Posting Komentar