DEMOKRASI, PEMILU DAN KPU
DALAM KEBIJAKAN POLITK HUKUM

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tentang Penyelenggara Penyelenggara Pemilihan Umum pada tanggal 19 April 2007 yang lalu. Yang mana sebelumnya ketentuan penyelenggara pemilihan umum terdapat dalam pasal 22 huruf E Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Rakyat Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Maka menurut ketentuan pasal 132, pada Bab X dari UU No. 22 Tahun 2007 saat diberlakukannya UU ini perihal yang mengatur tentang lembaga peyelenggara dan pangawasan pemilu dinyatakan tidak diberlakukan lagi.
Apa yang telah dijelaskan bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujutan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peyelenggaraan pemilihan umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dapat terwujut apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilihan umum yang mempunyai nilai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Untuk itu secara intitusional, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ada sekarang merupakan KPU periode ketiga yang dibentuk di era reformasi. KPU pertama tahun (1999-2001) dibentuk dengan Keputusan Presiden (Kepres) No. 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 anggota KPU yang berasal dari unsur pemerintah dan partai politik, saat itu dilantik oleh Presiden BJ. Habibie. KPU kedua tahun (2001-2007) dibentuk dengan Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2001, yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademisi yang dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 11 April 2001. Sedangkan KPU yang ada saat ini, adalah KPU ketiga periode tahun 2007 sampai tahun 2012, yang dibentuk berdasarkan Kepres No. 101/P/2007 beranggotakan 7 orang. Keanggotaan tersebut berasal dari KPU Propinsi, akademisi, peneliti dan birokrat.
Memang keberadaan KPU periode kedua yang sebagian besar anggotanya banyak terlibat kasus korupsi, yang berakibat mempengaruhi kinerja KPU itu sendiri. Skeptisme masyarakat tidak dapat dihindari dengan kondisi yang ada saat itu. Maka wajar akhirnya keanggotaan KPU periode ketiga ini harus menciptakan image yang baik dalam demokratisasi masyarakat melalui pemilihan umum yang akan diselenggarakan pada tahun 2009 nanti. Penyelenggaraan pemilihan umum haruslah tetap berpedoman kepada azas dan nilai-nilai kemandirian, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efeisiensi dan efektivitas.
Memang tidak mudah untuk menciptakan image dalam hal yang telah terjadi. Namun pelaksanaan pemilihan umum yang akan dilaksanakan pada tahun 2009 nanti tetaplah menjadi pijakan dalam memberikan nilai-nilai yang luhur pada sebuah demokrasi itu sendiri di negara Indonesia. Disinilah peran KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum harus bekerja keras. Karena proses pemilihan umum itu, tidak lain bagian demokrasi dari rakyat untuk rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat.
Kembali pada pengaturan yang tercantum dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang Peyelenggara Pemilihan Umum. Dalam UU tersebut memuat tugas dan wewenang KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai peyelenggara pemilihan umum dan didukung dengan keberadaan Badan Pengawas Pemilu atau yang disingkat dengan Bawaslu sebagai badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang mana dalam tugasnyanya Bawaslu juga dibantu oleh Panita Pengawas Pemilih Propinsi dan Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/kota atau yang disingkat dengan Panwaslu Propinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota yang menyelenggarakan pengawasan pemilihan umum diwilayah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Keterpadauan antara KPU dan Panitia pengawas pemilu haruslah sejalan baik ditingkat Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota guna memperkecil timbulnya konflik dalam pemilihan umum itu sendiri.

PEMILU DAN PILKADA

Ambil contoh misalnya pelaksanaan pilkada secara langsung yang yang sudah mulai dilaksanakan didaerah-daerah. Ini merupakan disain kelembagaan untuk mempercepat proses demokrasi di daerah. Disain ini dimunculkan setelah melihat realitas bahwa penguatan parlemen (DPRD) tidak mampu dalam meningkatkan kualitas demokrasi secara subtasnsial. Sebagaimana di tingkat nasional, adanya pemilu yang demokratis dari sistem multi partai telah meningkatkan adanya sistem perwakilan yang melibatkan banyak kekuatan. Namun kenyataan, corak sistem perwakilan itu, ditambah kekuasaan otoritas yang dimiliki tidak lantas membuat adanya interaksi yang lebih baik antara rakyat dan para wakil rakyat. Yang terjadi adalah adanya pergeseran proses politik saja, dari sebelumnya berpusat dieksekutif sekarang ke eksekutif-legislatif. Sifat proses politiknya sediri tetap sama, elitis. Maka pemilihan umum pada pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung dimaksud untUk meminimalisasi kecenderungan tersebut.
Proses pilkada disejumlah daerah berlangsung secara mulus tanpa adanya gangguan yang relatif berarti. Meskipun demikian sebagian telah memuculkan sejumlah masalah teknis seperti dari pendaftaran pemilih sampai dengan adanya aksi kekerasan yang melibatkan massa dan mengarah pada pengerusakan aset-asEt daerah. Kalau kita mengikuti alur pentahapan di dalam pilkada, masalah yang muncul bahkan menyeluruh di setiap tahapan pelaksanaan pilkada, baik itu dari masa persiapan, penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan Penetapan calon, sampai pada masa kampanye, pencoblosan, penghitungan suara, penetapan hasil, dan pelantikan calon terpilih.
Pada masa persiapan pilkada misalnya, jenis kasus yang timbul adalah minimnya peroses pemantauan, dan mepetnya pembentukan Panwas, Panitia Pemilih Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Sedangkankan pada masa penetapan daftar pemilih, kasus yang timbul adalah kacaunya data pemilih sehingga banyak masyarakat yang tidak masuk DPT (Daftar Pemilih Tetap), disamping minimnya dana pemutahiran data pemilih.
Untuk tahapan pilkada pada pendaftaran dan penetapan calon, jenis kasus yang timbul adalah adanya perbedaan pasangan calon oleh partai, dan adanya penolakan calon tertentu oleh massa. Dan begitu juga pada tahapan kampanye, yang terjadi adalah curi start kampanye oleh masing-masing calon, adanya money politcs, lemahnya transparansi dana kampanye, black campain, maupun adanya pengerusakan atribut kampanye. Inilah yang selalu menjadi tugas utama KPU baik ditingkat Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk meminimalkan pada pilkada yang akan datang. Sehingga konflik yang timbul pada setiap pilkada dapat diminimalkan. Bagitu juga pada proses pencoblosan, kendala yang selalu timbul adanya pemilih ganda, pemilih yang tidak berhak memilih dan adanya pemberian kupon hadiah.
Pada tahapan penghitungan suara dan penetapan hasil, kendala yang selalu terjadi adalah, pihak yang kalah tidak mau menandatangani BAP, adanya massa yang tidak menerima kekalahan, disamping adanya gugatan oleh pasangan calon yang tidak mau menerima hasil pemungkutan suara terakhir. Begitu juga pada tahap pelantikan calon terpilih, kendala yang selalu timbul adanya timbulnya penolakan dari lembaga legislatif, dan adanya penundaan pelantikan.
Apa yang penulis paparkan di atas, sebagai penilaian, bahwa pelaksanaan pilkada didaerah selalu menimbulkan konflik. Dan konflik ini harus bisa diminilisasikan oleh penyelenggara pemilu di daerah baik oleh KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Salah satu kasus yang menyedihkan adalah adanya pembakaran sejumlah kantor pemerintah di Kabupaten Kaur, Propinsi Bengkulu beberapa waktu yang lalu. Aksi kekerasan ini muncul karena adanya kekecewaan dari pasangan calon beserta pendukungnya yang kalah didalam pemilihan Bupati Kaur tanggal 27 Juni 2005 yang lalu. Dalam aksi ini, gedung DPRD, kantor KPUD, dan kantor Camat Kaur Selatan dibakar. Tidak hanya itu, massa juga menjarah dan menghancurkan isi gedung, termasuk dokumen-dokumen penting yang didalamnya. Selain itu massa juga membakar rumah dinas Ketua DPRD, Kantor Urusan Agama, dan Dinas Pekerjaan Umum. Aksi ini jelas mencoreng makna pilkada itu sendiri. Pertanyaannya adalah apa yang salah pada sistemnya, apakah KPUD memang tidak berperan sebagaimana yang diharapkan sebagaimana tugas, wewenang dan tanggung jawabnya, atau memang masyarakat (massa) pasangan calon yang tidak siap untuk menerima kekalahan sehingga kekesalan tersebut membawa massa untuk melaksanakan pengerusakan atas aset daerah dengan dalil pilkada yang tidak demokratis.
Aksi kekerasan sebagaimana yang terjadi pada Kabupaten Kaur pada pilkada daerah, juga terjadi di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Dan yang baru-baru ini pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan. Apa yang dipaparkan tersebut bisa saja terjadi didaerah kita sendiri, jika kita tidak segera mengantisipasinya.
Munculnya konflik politik pada saat pilkada memang sudah diperkirakan jauh hari sebelum pelaksanaannya. Adanya rentang daerah pemilihan yang pendek dan terbatas, memungkinkan lebih mudahnya terjadi akumulasi perbedaan yang berujung pada tingginya intensitas konflik yang meningkat.
Selain itu, perundang-undangan yang mengatur pilkada secara langsung juga memiliki cela bagi lahirnya konflik yang menjurus ke arah kekerasan. Misalnya pada pencalaonan pilkada hanya melalui partai politik atau gabungan dari partai politik. Aturan demikian hanya memungkinkan tokoh-tokoh yang dekat dengan partai politik saja yang bisa menjadi calon. Padahal, dibanyak daerah ditemui tokoh-tokoh lokal yang popular dan dipandang memiliki kualifikasi baik yang tidak berafiliasai dengan partai politik tertentu.
Inilah salah satu kerja keras yang dijalankan KPU, baik di Pusat, Propinsi dan Daerah. Konfilik-konflik yang timbul didaerah dari proses adanya pilkada bisa menjadi bahan pembelajaran didaerah. Karena pada visi dari KPU itu sendiri adalah terwujutnya KPU itu sebagai penyelenggara pemilu yang memiliki integritas, profesioanal, mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi di Indonesia yang berkualitas dengan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagaimna pada misi yang dijalankan KPU adalah :
1. membangun lembaga penyelenggara pemilihan umum yang memiliki kompentensi kredibilitas dan kapabilitas dalam penyelenggarakan pemilihan umum;
2. menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan wakil Presiden, serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edekatif dan beradab;
3. meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemiliha umum yang bersih, efisien dan efektif;
4. melayani dan memperlakukan setiap peserta pemilihan umum secara adil dan setarah dengan menegakkan peraturan pemilihan umum secara konsiten sesuai dengan peraturan perundan-unangan yang berlaku;
5. meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpatisipasi aktif dalam pelihan umum demi terwujutnya cita-cita masyarakat yang demokratis.




BAMBANG SYAMSUZAR OYONG, SH



Sumber bacaan :

1. Undang-Undang NO. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
2. Artikel Judul “Resiko Politik, Biaya Ekonomi, Akuntabilitas Politik, Dan Demokrasi Lokal”, oleh Prof. Dr. Kacung Marijan, disampaikan pada In-house Discussion Komunikasi Dialog Partai Politik yang diselenggarakan oleh Komunitas Indonesia Untuk Demokrasi (KID) di Jakarta, 16 November 2007.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS