Perpajakan
SISTEM PERPAJAKAN YANG EFEKTIF DIBIDANG PERTANAHAN
DALAM PROSES PERALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
* Oleh Bambang Syamsuzar Oyong
Pendahuluan
Sejak dahulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang biak serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia berhubungan dengan tanah. Dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia dan makluk hidup lainnya berhubungan dengan tanah. Setiap orang memerlukan tanah tidak hanya pada masa hidupnya tetapi pada saat meninggal pun manusia membutuhkan tanah guna akhir pada saat wafatnya. Karena pentingya tanah bagi kehidupan, maka manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasai tanah. Penguasaan tanah diupayakan semaksimal mungkin untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Berbagai upaya dilakukan manusia untuk dapat menguasai tanah dan tentunya mempertahankannya juga dari pihak lain.
Dengan kehidupan ekonomi masyarakat dewasa ini telah membuat tanah menjadi komoditas dan faktor produksi yang dicari oleh manusia. Peningkatan jumlah penduduk di setiap negara telah meningkatkan permintaan akan tanah guna keperluan tempat tinggal dan tempat usaha. Peningkatan permintaan tanah ini tidak diikuti oleh penyediaan tanah. Hal ini dapat dimengerti karena tanah bukan sumber daya yang dapat diperbaharui dengan mudah. Untuk itu penawaran tanah sangat terbatas bahkan bisa habis karena adanya erosi dan abrasi. Mengatasi hal tersebut, dimungkinkan adanya perubahan penggunaan tanah yang pada mulanya dari tanah pertanian menjadi tanah non pertanian (perumahan dan industri). Hal ini membuat tanah sesuai dengan hukum ekonomi, semakin meningkat nilainya dari waktu ke waktu.
Selain sebagai sumber produksi, tanah juga bagi kebanyakan orang merupakan simbol status yang untuk menunjukan “keberadaan” seseorang. Semakin banyak bidang tanah yang dimililki dan semakin luas tanah yang dimiliki oleh seseorang maka menunjukan bahwa orang tersebut semakin “berada” dan dihormati orang lain. Sebagai simbol status orang selalu menginginkan memiliki tanah yang luas, bidang tanah yang banyak, dan berada pada kawasan strategis. Hal inilah mendorong orang untuk menguasai tanah.
Selain benda yang penting bagi manusia, tanah dan bangunan menjadi lebih bernilai karena ia dapat beralih dari pemiliknya kepada pihak lian yang mengingkinkannya. Umumnya ada pengorbanan yang harus dikeluarkan oleh pihak yang menginginkan tanah dan bangunan tersebut. Untuk setiap peralihan tanah dan bangunan selalu berhubungan dengan ketentuan hukum yang mana gunanya untuk memberikan kepastian hukum bagi seseorang yang memperoleh tanah dan bangunan tersebut. Untuk itu setiap adanya peralihan hak atas tanah dan bangunan selalu berkaitan dengan 2 aspek, yaitu pihak yang mengalihkan dan pihak yang menerima peralihan hak. Pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan dapat berupa orang pribadi maupun badan yang sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku yang dapat memiliki suatu hak atas tanah dan bangunan.
Peralihan hak atas tanah dan bangunan sangat berkaitannya dengan hukum dan ditandai oleh adanya alat bukti. Bukti tersebut dapat berupa akta jual beli, hibah, tukar menukar, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang dan lain-lainnya. Peralihan hak ini bisa antar pribadi maupun antar negara dengan pribadi (orang atau badan hukum).
Untuk memberikan kepastian dan kekuatan hukum kepemilikan tanah dan bangunan maka setiap peralihan hak harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur setiap peralihan hak. Sesuai dengan ketentuan hukum bahwa perolehan hak yang didasari daari peralihan hak atas tanah harus dilakukan secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh Pejabat yang berwenang. Selanjutnya perolehan hak tersebut harus didaftar pada instansi yang berwenang yaitu pada Kantor Pertanahan setempat.
Untuk itu, sebagai upaya untuk memenuhi pengeluaran pemerintah berkaitan dengan tugasnya dalam rangka penyelenggarakan pemerintahan umum dan menuju proses pembangunan yang berkelanjutan, pemerintah menerapkan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Bila melihat perkembangan penerimaan pajak pada APBN maka tampak bahwa pajak telah menjadi primadona yang mendominasi penerimaan negara. Hal ini tentu cukup menggembirakan, karena adanya proses kemadirian bangsa dalam pembiayaa pengeluaraan negara yang menjadi tujuan reformasi perpajakan di Indonesia.
Dalam rangka peningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, pemerintah berupaya menggali potensi pajak. Salah satunya dengan cara mencari dan menerapkan jenis pajak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Berbagai jenis pajak diterapkan sesuai dengan kondisi masyarakat dimana pada suatu masa mungkin dipungut suatu jenis pajak tertentu, mungkin pada waktu berikutnya dihilangkan atau dihapus dengan berbagai pertimbangan, dan kemudian dipungut dan diberlakukan kembali. Salah satu jenis pajak yang baru adalah BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) yang mulai diberlakukan sejak tahun 1998, disamping jenis pajak lainnya. BPHTB sebenarnya merupakan jenis pajak lama yang pernah dipungut pada masa pemerintahan penjajah tetapi dihapuskan seiring dengan diberlakukannya UUPA.
BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangungnan. Jika kita lihat pada penjelasan UU mengenai Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) dalam UU No. 21 Tahun 1997 Tentang BPHTB, kemudian saat ini telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, disebutkan bahwa tanah sebagai bagian dari bumi merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki fungsi sosial, disamping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Disamping itu bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak.
Jika dikaitkan dengan salalah satu fungsi pajak sebagai alat memasukan penerimaan bagi negara (fungsi budgeter pajak), maka pemberlakuan BPHTB dilatarbelakangi oleh pemikiran untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama penerimaan daerah, dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini mendasari pemikiran bahwa subyek pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan mendapat keuntungan ekonomi dari pemilikan suatu tanah dan bangunan sehingga dianggap wajar apabila diwajibkan untuk menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada ngara melalui pembayaran BPHTB.
Walaupun demikian pengenaan BPHTB haruslah tetap memeperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat bagi golongan ekonomi lemah dan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan mengatur perolehan hak atas tanah dan bangunan yang “tidak dikenakan pajak”. Untuk itu, pemerintah menetapkan besaran tertentu nilai perolehan obyek pajak yang tidak dikenakan pajak, dimana apabila perolehan hak yang terjadi dengan nilai perolehan dibawah besaran tersebut maka perolehan hak tersebut tidak terutang pajak. Disisi lain apabila nilai perolehan yang terjadi di atas besaran tertentu maka pajak terhutang dihitung dari selisih antara nilai perolehan dengan besaran tertentu.
Dengan demikian terpenuhi keadilan dalan pengenaan pajak dengan tetap memperhatikan masyarakat kecil, dengan menetapak adanya perhitungan obyek pajak yang tidak kena pajak dengan berdasarkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Pada dasarnya dengan menetapkan tarif menurut UU BPHTB adalah sebesar 5 % dari Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP).
Aspek Hukum BPHTB
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dapat dikatakan sebagai jenis pajak yang terkait dengan proses pendaftaran tanah, karena secara eksplisit UU BPHTB mengatur ketentuan bahwa pembayaran BPHTB merupakan syarat ditandatangainya akta-akta peralihan hak yang ada. Yang mana selain BPHTB, jenis pajak yang terkait dengan proses pendaftaran tanah adalah Pajak Penghasilan dari hak atas tanah dan bangunan yang telah diatur dalam PP (peraturan Pemerintah) No. 48 tahun 1994, yang telah dirubah dengan PP No. 27 tahun 1996. Pajak ini meruapakan pajak Final yang kenakan sehubungan dengan penghasilan yang diperoleh dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan,
Cara pembayaran BPHTB maupun Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang di kaitkan dengan saat penandatangan akta atau risalah lelang dan saat dilakukannya pendaftaran hak atas tanah dan bangunan dalam rangka meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi perpajakan.
Prinsip-Prinsip Dalam UU BPHTB
Dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Banguna, pada tanggal 2 Agustus 2000. Ketentuan tersebut telah memuat prinsip utama yaitu dengan mengklasifikasikan bahwa pemunuhan kewajiban Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan berdasarkan self assessmen, yaitu Wajib Pajak menghitung dan membayar sendiri hutang pajaknya, dengan memberikan besarnya tarif pajak secara nasinal sebesar 5 % (lima prosen) dari Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Disamping itu agar pelaksanaan UU BPHTB dapat diberlakukan secara efektif, maka sanksi administrasi tidak hanya diberikan kepada Wajib Pajak namun juga kepada pejabat yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya yang telah di tentukan oleh UU BPHTB. Bahwa hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan Negara yang sebagian besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
Menurut ketentuannya yang menjadi obyek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa : tanah, termasuk tanaman di atasnya dan bangunan. Adanya ketentuan pemakaian kata perolehan didasarkan atas pertimbangan bahwa pengertian perolehan hak mempunyai cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan peralihan hak. Yang mana perolehan hak itu dapat meliputi baik perolehan hak yang sudah ada melalui pemindahan hak maupun perolehan hak baru melalui pemberian hak baru. Sedangkan peralihan hak pada hakekatnya hanya mencakup beralihnya hak yang sudah ada melalui pemindahan hak.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi :
a. Pemindahan hak, karena :
- jual beli;
- tukar menukar;
- hibah ;
- hibah wasiat;
- waris;
- pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
- pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
- penunjukan hak yang mengakibatkan peralihan;
- penunjukan pembeli dalam lelang;
- pelaksanaan putusan hakim yang memmpuinyai kekuatan tetap;
- penggabungan usaha;
- peleburan usaha;
- pemekaran usaha;
- hadiah;
b. pemberian hak baru karena :
- kelanjutan pelepasan hak, yang diartikan pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
- diluar pelepasan hak, yang diartikan adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Khusus untuk perolehan hak atas tanah tanah dan bangunan karena hibah wasit, pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga atau orang pribadi yang tidak mempu dan merupakan penghargaan dari pemberi hibah wasiat kepada penerima hibah wasiat, maka untuk lebih memberikan rasa keadilan, besarnya pengenaan BPHTB karena hibah wasiat di atur tersebiti dengan Peraturan Pemerintah.
Adapun hak-hak atas tanah yang diperolehnya menjadi obyek pajak adalah hak-hak atas tanah yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain dan perolehannya harus didaftarkan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Undang-Undang Tentang Rumah Susun, dan Peraturan Perundang-undang lainnya yaitu :
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan
d. hak pakai;
e. hak pakai;
f. hak milik atas satuan rumah susun;
g. hak pengelolaan.
Sebagaimana halnya pengaturan hibah wasiat, karena pada dasarnya hak pengelolaan diberikan kepada Pemerintah Daerah, Lembaga Pemerintah atau Lembaga lainnya yang mengemban misi khusus, maka pengenaan BPHTB karena pemberian hak pengelolaan dibedakan dan diatur tersendiri dengan peraturan pemerintah.
Disamping itu juga ada perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dikecualikan pengenaa. pajaknya adala pajak yang meliputi :
1. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbul balik;
2. negara untuk penyelenggaran pemerintah dan atau pelaksanaan guna kepnetingan umum; yaitu tanah dan atau bangunan yang digunakan unutk pnyelenggaran pemerintah baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan digunakan untuk intansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.
3. badan atau perwakilan organisiasi internasional yang di tetapkan oleh Menteri Keuangan;
4. orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah. Contoh : bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak baru, seperti hak milik dan hak guna bangunan. Perbuatan hukum lain, misalnya, memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan nama. Contoh : perpanjangan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Guna Usaha.
5. karena wakaf
6. karena warisan
7. untuk digunakan kepentingan ibadah.
Oleh karena pemenuhan kewajiban bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berdasarkan sistem self assessment, maka untuk kesederhanaan dan memberikan kemudahan bagi wajib pajak, tarif ditetap tungga, yaitu sebesar 5 % (lima persen).
Dasar Pengenaan dan Cara Penghitungan Pajak
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NJOP). NJOP dapat berupa harga transaksi atau nilai pasar objek pajak. Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Nilai pasal objek pajak adalah harga rat-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.
Harga transaksi digunakan untuk perolehan objek pajak karena jual beli dan penunjukan pembeli dalam lelang. Sedangkan nilai pasal pajak digunakan dalam hal tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan, pemisahan hak, peralihan hak kerena putusan hakim, dan pemberian hak baru.
Namun untuk kepastian hukum, apabila NPOP (harga transaksi atau nilai pasar objek pajak) tersebut di atas tidak diketahui atau lebih rendah dari nilai jual objek pajak pajak bumu dan bangunan (NJOP PBB), maka dasar pengenaan pajak yang digunakan NJOP PBB. Dalam hal NJOP PBB belum ditetap atas suatu tanah dan atau bangunan, Menteri Keuangan dapat menetapkan besarnya NJOP PBB-nya
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
Pengaturan tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya di atur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, yang mana dalam ketentuan pasal 7 disebutkan Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara “regional” paling banyak Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarh dalam garis keturunan lurus satu derajatke atas atau satu derjat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak di tetapkan secara regonal paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
Cara Penghitungan Pajak
Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalihkan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). NPOPKP adalah NPOP dikurangi dengan NPOPTKP. Sehingga cara penghitungan pajak yang terutang adalah :
BPHTB terhutang = NPOPKP X Tarif
= (NPOP – NPOPTKP)X Tarif
= (NPOP – Rp. 60.000.000,-) X 5 %
Pengurangan Pajak Terutang
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan Kepada Menteri Keuangan karena hal-hal tertentu.Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu adalah dalam hal tanah dan atau bangunan digunakan untuk tujuan tertentu yaitu untuk kegiatan soial dan pendidikan yang semata-mata tidak bertujuan mencari keuntungan atau kondisi tertentu tanah dan atau bangunan yang ada hubungannnya dengan Wajib Pajak.
Contoh :
a. tanah dan atau bangunan digunakan untuk mendirikan panti asuhan, panti jompo, rumah sakit, atau tempat ibadah.
b. Seorang Wajib Pajak yang memiliki tanah dibebaskan oleh Pemerintah untuk kepentingan Negara atau kepentingan umum, terhadap wajib pajak tersebut diberikan ganti rugi yang jumlahnya lebih rendah dari pada NJOP PBB, dan kemudian wajib pajak membeli tanah dan atau bangunan baru. Terhadap wajib pajak ini dapat diberi pengurangan pajak dengan permohonan, dalam jangka waktu tertentu setelah wajib pajak diberikan ganti rugi yang kurang dari NJOP yang dimaksud.
Pembagian Hasil Penerimaan
Penerimaan pajak dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan penerimaa Negara yang dibagi antara pemerintah pusat dan Pemerintah daerah sebagai pendapatan daerah yang bersangkuta.
a. Pemerintah Pusat sebesar 20 % (dua puluh persen)
b. Pemerintah Daerah sebesar 80 % (delapan puluh persen)
Bagian Pemerontah Pusat akan digunakan untuk perbaikan administarasi pertanahan, khususnya sertifikasi tanah. Sejalan dengan peningakatan penyelesaian sertifikasi tanah yang makin meningkat, maka bagian Pemerintah Daerah secara bertahap dapat ditingkatkan.
Penerimaan Bea Perolehan Hak ata Tanah dan Bangunan diarahkan untuk pembangunan daerah, khususnya untuk mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada Daerah Tingkat II, maka sekurang-kurangnya 80 % (delapan puluh persen) dari bagian Pemerintah Daerah merupakan hak PemerintahDaerah Tingkat II (64 % dari total penerimaan)
Agar pelaksanaan Undang-undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, maka selain kepada wajib pajak , maka kepada pejabat-pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang BPHTB dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini terlihat
a. Kepada para pejabat PPAT dan Notaris :
1. hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak (SSB). Saksi apabila melanggara ketentuan adalah sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5. 000.000,- (lima juta rupiah).
2. melaporkan pembuatan akta dimaksud kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. Sanksi apbila melanggar ketentuan adalah sanksi adminitrasi berupa denda sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
b. Kepada Kantor Lelang Negara :
1. hanya dapat menandatangani rislah lelang perolehan hak atas tanah atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak (SSB). Sanksi apabila melanggar ketentuan adalah sanksi administrasi beripa dengan
sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
2. melaporkan pembuatan risalah lelang dimaksudkan kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. Sanksi apabila melanggar ketentuan adalah sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
c. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah dan atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayran pajak (SSB). Sanksi apabila melanggar ketentuan dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain, Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pengawai Negeri Sipil.
Penutup
Dengan diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 tahun 1960), Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah yang didasarkan pada Ordonansi Bea Balik Nama (BBN) Staatsblad 1923 tidak dapat dipungut lagi, sedangkan ketentuan mengenai pengenaan pajak atas akta pendaftaran dan pemindahan kapal tetap masih berlaku.
Dengan pertimbangan hal tersebut di atas, maka dengan diundangkannya UU BPHTB, Ordonansi BBN Staatsblad 1924 Nomor 291 dengan segala perubahannya sepanjang mengenai pungutan BBN atas pemindahan harta tetap yang berupa tanah dan atau bangunan dinyatakan tidak berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1997.
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Pedata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, 2007.
Marohot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori dan Praktek, Raja Grfika Persada, Jakarta, 2003.
Diktat
Kerangka Kebijakan Pertanahan (KKPN) Tim Koordinasi dan Manajemen Pertanahan 2006
Artikel
Machfud Sidik, Judul Undang-Undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan Hubungannya dengan Proses Pendaftaran Tanah
Soelarman Brotosoelarno, Judul Aspek Teknis dan Yuridis Pendaftaran Tanah Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997
Undang-Undang
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tetang Undang-Undang Pokok Agraria
DALAM PROSES PERALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
* Oleh Bambang Syamsuzar Oyong
Pendahuluan
Sejak dahulu tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari dan merupakan kebutuhan hidup manusia yang mendasar. Manusia hidup dan berkembang biak serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap saat manusia berhubungan dengan tanah. Dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia dan makluk hidup lainnya berhubungan dengan tanah. Setiap orang memerlukan tanah tidak hanya pada masa hidupnya tetapi pada saat meninggal pun manusia membutuhkan tanah guna akhir pada saat wafatnya. Karena pentingya tanah bagi kehidupan, maka manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasai tanah. Penguasaan tanah diupayakan semaksimal mungkin untuk dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Berbagai upaya dilakukan manusia untuk dapat menguasai tanah dan tentunya mempertahankannya juga dari pihak lain.
Dengan kehidupan ekonomi masyarakat dewasa ini telah membuat tanah menjadi komoditas dan faktor produksi yang dicari oleh manusia. Peningkatan jumlah penduduk di setiap negara telah meningkatkan permintaan akan tanah guna keperluan tempat tinggal dan tempat usaha. Peningkatan permintaan tanah ini tidak diikuti oleh penyediaan tanah. Hal ini dapat dimengerti karena tanah bukan sumber daya yang dapat diperbaharui dengan mudah. Untuk itu penawaran tanah sangat terbatas bahkan bisa habis karena adanya erosi dan abrasi. Mengatasi hal tersebut, dimungkinkan adanya perubahan penggunaan tanah yang pada mulanya dari tanah pertanian menjadi tanah non pertanian (perumahan dan industri). Hal ini membuat tanah sesuai dengan hukum ekonomi, semakin meningkat nilainya dari waktu ke waktu.
Selain sebagai sumber produksi, tanah juga bagi kebanyakan orang merupakan simbol status yang untuk menunjukan “keberadaan” seseorang. Semakin banyak bidang tanah yang dimililki dan semakin luas tanah yang dimiliki oleh seseorang maka menunjukan bahwa orang tersebut semakin “berada” dan dihormati orang lain. Sebagai simbol status orang selalu menginginkan memiliki tanah yang luas, bidang tanah yang banyak, dan berada pada kawasan strategis. Hal inilah mendorong orang untuk menguasai tanah.
Selain benda yang penting bagi manusia, tanah dan bangunan menjadi lebih bernilai karena ia dapat beralih dari pemiliknya kepada pihak lian yang mengingkinkannya. Umumnya ada pengorbanan yang harus dikeluarkan oleh pihak yang menginginkan tanah dan bangunan tersebut. Untuk setiap peralihan tanah dan bangunan selalu berhubungan dengan ketentuan hukum yang mana gunanya untuk memberikan kepastian hukum bagi seseorang yang memperoleh tanah dan bangunan tersebut. Untuk itu setiap adanya peralihan hak atas tanah dan bangunan selalu berkaitan dengan 2 aspek, yaitu pihak yang mengalihkan dan pihak yang menerima peralihan hak. Pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan dapat berupa orang pribadi maupun badan yang sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku yang dapat memiliki suatu hak atas tanah dan bangunan.
Peralihan hak atas tanah dan bangunan sangat berkaitannya dengan hukum dan ditandai oleh adanya alat bukti. Bukti tersebut dapat berupa akta jual beli, hibah, tukar menukar, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang dan lain-lainnya. Peralihan hak ini bisa antar pribadi maupun antar negara dengan pribadi (orang atau badan hukum).
Untuk memberikan kepastian dan kekuatan hukum kepemilikan tanah dan bangunan maka setiap peralihan hak harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur setiap peralihan hak. Sesuai dengan ketentuan hukum bahwa perolehan hak yang didasari daari peralihan hak atas tanah harus dilakukan secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh Pejabat yang berwenang. Selanjutnya perolehan hak tersebut harus didaftar pada instansi yang berwenang yaitu pada Kantor Pertanahan setempat.
Untuk itu, sebagai upaya untuk memenuhi pengeluaran pemerintah berkaitan dengan tugasnya dalam rangka penyelenggarakan pemerintahan umum dan menuju proses pembangunan yang berkelanjutan, pemerintah menerapkan pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Bila melihat perkembangan penerimaan pajak pada APBN maka tampak bahwa pajak telah menjadi primadona yang mendominasi penerimaan negara. Hal ini tentu cukup menggembirakan, karena adanya proses kemadirian bangsa dalam pembiayaa pengeluaraan negara yang menjadi tujuan reformasi perpajakan di Indonesia.
Dalam rangka peningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, pemerintah berupaya menggali potensi pajak. Salah satunya dengan cara mencari dan menerapkan jenis pajak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Berbagai jenis pajak diterapkan sesuai dengan kondisi masyarakat dimana pada suatu masa mungkin dipungut suatu jenis pajak tertentu, mungkin pada waktu berikutnya dihilangkan atau dihapus dengan berbagai pertimbangan, dan kemudian dipungut dan diberlakukan kembali. Salah satu jenis pajak yang baru adalah BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) yang mulai diberlakukan sejak tahun 1998, disamping jenis pajak lainnya. BPHTB sebenarnya merupakan jenis pajak lama yang pernah dipungut pada masa pemerintahan penjajah tetapi dihapuskan seiring dengan diberlakukannya UUPA.
BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangungnan. Jika kita lihat pada penjelasan UU mengenai Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) dalam UU No. 21 Tahun 1997 Tentang BPHTB, kemudian saat ini telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, disebutkan bahwa tanah sebagai bagian dari bumi merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki fungsi sosial, disamping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Disamping itu bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka memperoleh hak atas tanah dan bangunan, wajar menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak.
Jika dikaitkan dengan salalah satu fungsi pajak sebagai alat memasukan penerimaan bagi negara (fungsi budgeter pajak), maka pemberlakuan BPHTB dilatarbelakangi oleh pemikiran untuk meningkatkan penerimaan negara, terutama penerimaan daerah, dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Hal ini mendasari pemikiran bahwa subyek pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan mendapat keuntungan ekonomi dari pemilikan suatu tanah dan bangunan sehingga dianggap wajar apabila diwajibkan untuk menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada ngara melalui pembayaran BPHTB.
Walaupun demikian pengenaan BPHTB haruslah tetap memeperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat bagi golongan ekonomi lemah dan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Hal ini dapat dilakukan dengan mengatur perolehan hak atas tanah dan bangunan yang “tidak dikenakan pajak”. Untuk itu, pemerintah menetapkan besaran tertentu nilai perolehan obyek pajak yang tidak dikenakan pajak, dimana apabila perolehan hak yang terjadi dengan nilai perolehan dibawah besaran tersebut maka perolehan hak tersebut tidak terutang pajak. Disisi lain apabila nilai perolehan yang terjadi di atas besaran tertentu maka pajak terhutang dihitung dari selisih antara nilai perolehan dengan besaran tertentu.
Dengan demikian terpenuhi keadilan dalan pengenaan pajak dengan tetap memperhatikan masyarakat kecil, dengan menetapak adanya perhitungan obyek pajak yang tidak kena pajak dengan berdasarkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Pada dasarnya dengan menetapkan tarif menurut UU BPHTB adalah sebesar 5 % dari Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP).
Aspek Hukum BPHTB
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dapat dikatakan sebagai jenis pajak yang terkait dengan proses pendaftaran tanah, karena secara eksplisit UU BPHTB mengatur ketentuan bahwa pembayaran BPHTB merupakan syarat ditandatangainya akta-akta peralihan hak yang ada. Yang mana selain BPHTB, jenis pajak yang terkait dengan proses pendaftaran tanah adalah Pajak Penghasilan dari hak atas tanah dan bangunan yang telah diatur dalam PP (peraturan Pemerintah) No. 48 tahun 1994, yang telah dirubah dengan PP No. 27 tahun 1996. Pajak ini meruapakan pajak Final yang kenakan sehubungan dengan penghasilan yang diperoleh dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan,
Cara pembayaran BPHTB maupun Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang di kaitkan dengan saat penandatangan akta atau risalah lelang dan saat dilakukannya pendaftaran hak atas tanah dan bangunan dalam rangka meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi perpajakan.
Prinsip-Prinsip Dalam UU BPHTB
Dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Banguna, pada tanggal 2 Agustus 2000. Ketentuan tersebut telah memuat prinsip utama yaitu dengan mengklasifikasikan bahwa pemunuhan kewajiban Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan berdasarkan self assessmen, yaitu Wajib Pajak menghitung dan membayar sendiri hutang pajaknya, dengan memberikan besarnya tarif pajak secara nasinal sebesar 5 % (lima prosen) dari Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Disamping itu agar pelaksanaan UU BPHTB dapat diberlakukan secara efektif, maka sanksi administrasi tidak hanya diberikan kepada Wajib Pajak namun juga kepada pejabat yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya yang telah di tentukan oleh UU BPHTB. Bahwa hasil penerimaan BPHTB merupakan penerimaan Negara yang sebagian besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah guna membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dalam rangka memantapkan otonomi daerah.
Menurut ketentuannya yang menjadi obyek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa : tanah, termasuk tanaman di atasnya dan bangunan. Adanya ketentuan pemakaian kata perolehan didasarkan atas pertimbangan bahwa pengertian perolehan hak mempunyai cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan peralihan hak. Yang mana perolehan hak itu dapat meliputi baik perolehan hak yang sudah ada melalui pemindahan hak maupun perolehan hak baru melalui pemberian hak baru. Sedangkan peralihan hak pada hakekatnya hanya mencakup beralihnya hak yang sudah ada melalui pemindahan hak.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi :
a. Pemindahan hak, karena :
- jual beli;
- tukar menukar;
- hibah ;
- hibah wasiat;
- waris;
- pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
- pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
- penunjukan hak yang mengakibatkan peralihan;
- penunjukan pembeli dalam lelang;
- pelaksanaan putusan hakim yang memmpuinyai kekuatan tetap;
- penggabungan usaha;
- peleburan usaha;
- pemekaran usaha;
- hadiah;
b. pemberian hak baru karena :
- kelanjutan pelepasan hak, yang diartikan pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
- diluar pelepasan hak, yang diartikan adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Khusus untuk perolehan hak atas tanah tanah dan bangunan karena hibah wasit, pada umumnya penerima hibah wasiat adalah orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga atau orang pribadi yang tidak mempu dan merupakan penghargaan dari pemberi hibah wasiat kepada penerima hibah wasiat, maka untuk lebih memberikan rasa keadilan, besarnya pengenaan BPHTB karena hibah wasiat di atur tersebiti dengan Peraturan Pemerintah.
Adapun hak-hak atas tanah yang diperolehnya menjadi obyek pajak adalah hak-hak atas tanah yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain dan perolehannya harus didaftarkan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Undang-Undang Tentang Rumah Susun, dan Peraturan Perundang-undang lainnya yaitu :
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan
d. hak pakai;
e. hak pakai;
f. hak milik atas satuan rumah susun;
g. hak pengelolaan.
Sebagaimana halnya pengaturan hibah wasiat, karena pada dasarnya hak pengelolaan diberikan kepada Pemerintah Daerah, Lembaga Pemerintah atau Lembaga lainnya yang mengemban misi khusus, maka pengenaan BPHTB karena pemberian hak pengelolaan dibedakan dan diatur tersendiri dengan peraturan pemerintah.
Disamping itu juga ada perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dikecualikan pengenaa. pajaknya adala pajak yang meliputi :
1. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbul balik;
2. negara untuk penyelenggaran pemerintah dan atau pelaksanaan guna kepnetingan umum; yaitu tanah dan atau bangunan yang digunakan unutk pnyelenggaran pemerintah baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan digunakan untuk intansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.
3. badan atau perwakilan organisiasi internasional yang di tetapkan oleh Menteri Keuangan;
4. orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah. Contoh : bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak baru, seperti hak milik dan hak guna bangunan. Perbuatan hukum lain, misalnya, memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan nama. Contoh : perpanjangan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Guna Usaha.
5. karena wakaf
6. karena warisan
7. untuk digunakan kepentingan ibadah.
Oleh karena pemenuhan kewajiban bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan berdasarkan sistem self assessment, maka untuk kesederhanaan dan memberikan kemudahan bagi wajib pajak, tarif ditetap tungga, yaitu sebesar 5 % (lima persen).
Dasar Pengenaan dan Cara Penghitungan Pajak
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NJOP). NJOP dapat berupa harga transaksi atau nilai pasar objek pajak. Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Nilai pasal objek pajak adalah harga rat-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.
Harga transaksi digunakan untuk perolehan objek pajak karena jual beli dan penunjukan pembeli dalam lelang. Sedangkan nilai pasal pajak digunakan dalam hal tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan, pemisahan hak, peralihan hak kerena putusan hakim, dan pemberian hak baru.
Namun untuk kepastian hukum, apabila NPOP (harga transaksi atau nilai pasar objek pajak) tersebut di atas tidak diketahui atau lebih rendah dari nilai jual objek pajak pajak bumu dan bangunan (NJOP PBB), maka dasar pengenaan pajak yang digunakan NJOP PBB. Dalam hal NJOP PBB belum ditetap atas suatu tanah dan atau bangunan, Menteri Keuangan dapat menetapkan besarnya NJOP PBB-nya
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
Pengaturan tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang sebelumnya di atur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, yang mana dalam ketentuan pasal 7 disebutkan Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara “regional” paling banyak Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarh dalam garis keturunan lurus satu derajatke atas atau satu derjat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak di tetapkan secara regonal paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
Cara Penghitungan Pajak
Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalihkan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). NPOPKP adalah NPOP dikurangi dengan NPOPTKP. Sehingga cara penghitungan pajak yang terutang adalah :
BPHTB terhutang = NPOPKP X Tarif
= (NPOP – NPOPTKP)X Tarif
= (NPOP – Rp. 60.000.000,-) X 5 %
Pengurangan Pajak Terutang
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan Kepada Menteri Keuangan karena hal-hal tertentu.Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu adalah dalam hal tanah dan atau bangunan digunakan untuk tujuan tertentu yaitu untuk kegiatan soial dan pendidikan yang semata-mata tidak bertujuan mencari keuntungan atau kondisi tertentu tanah dan atau bangunan yang ada hubungannnya dengan Wajib Pajak.
Contoh :
a. tanah dan atau bangunan digunakan untuk mendirikan panti asuhan, panti jompo, rumah sakit, atau tempat ibadah.
b. Seorang Wajib Pajak yang memiliki tanah dibebaskan oleh Pemerintah untuk kepentingan Negara atau kepentingan umum, terhadap wajib pajak tersebut diberikan ganti rugi yang jumlahnya lebih rendah dari pada NJOP PBB, dan kemudian wajib pajak membeli tanah dan atau bangunan baru. Terhadap wajib pajak ini dapat diberi pengurangan pajak dengan permohonan, dalam jangka waktu tertentu setelah wajib pajak diberikan ganti rugi yang kurang dari NJOP yang dimaksud.
Pembagian Hasil Penerimaan
Penerimaan pajak dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan penerimaa Negara yang dibagi antara pemerintah pusat dan Pemerintah daerah sebagai pendapatan daerah yang bersangkuta.
a. Pemerintah Pusat sebesar 20 % (dua puluh persen)
b. Pemerintah Daerah sebesar 80 % (delapan puluh persen)
Bagian Pemerontah Pusat akan digunakan untuk perbaikan administarasi pertanahan, khususnya sertifikasi tanah. Sejalan dengan peningakatan penyelesaian sertifikasi tanah yang makin meningkat, maka bagian Pemerintah Daerah secara bertahap dapat ditingkatkan.
Penerimaan Bea Perolehan Hak ata Tanah dan Bangunan diarahkan untuk pembangunan daerah, khususnya untuk mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada Daerah Tingkat II, maka sekurang-kurangnya 80 % (delapan puluh persen) dari bagian Pemerintah Daerah merupakan hak PemerintahDaerah Tingkat II (64 % dari total penerimaan)
Agar pelaksanaan Undang-undang BPHTB dapat berlaku secara efektif, maka selain kepada wajib pajak , maka kepada pejabat-pejabat umum yang melanggar ketentuan atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang BPHTB dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini terlihat
a. Kepada para pejabat PPAT dan Notaris :
1. hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak (SSB). Saksi apabila melanggara ketentuan adalah sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 5. 000.000,- (lima juta rupiah).
2. melaporkan pembuatan akta dimaksud kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. Sanksi apbila melanggar ketentuan adalah sanksi adminitrasi berupa denda sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
b. Kepada Kantor Lelang Negara :
1. hanya dapat menandatangani rislah lelang perolehan hak atas tanah atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak (SSB). Sanksi apabila melanggar ketentuan adalah sanksi administrasi beripa dengan
sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
2. melaporkan pembuatan risalah lelang dimaksudkan kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. Sanksi apabila melanggar ketentuan adalah sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
c. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah dan atau bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayran pajak (SSB). Sanksi apabila melanggar ketentuan dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain, Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pengawai Negeri Sipil.
Penutup
Dengan diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 tahun 1960), Bea Balik Nama atas harta tetap berupa hak atas tanah yang didasarkan pada Ordonansi Bea Balik Nama (BBN) Staatsblad 1923 tidak dapat dipungut lagi, sedangkan ketentuan mengenai pengenaan pajak atas akta pendaftaran dan pemindahan kapal tetap masih berlaku.
Dengan pertimbangan hal tersebut di atas, maka dengan diundangkannya UU BPHTB, Ordonansi BBN Staatsblad 1924 Nomor 291 dengan segala perubahannya sepanjang mengenai pungutan BBN atas pemindahan harta tetap yang berupa tanah dan atau bangunan dinyatakan tidak berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1997.
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Pedata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, 2007.
Marohot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori dan Praktek, Raja Grfika Persada, Jakarta, 2003.
Diktat
Kerangka Kebijakan Pertanahan (KKPN) Tim Koordinasi dan Manajemen Pertanahan 2006
Artikel
Machfud Sidik, Judul Undang-Undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan Hubungannya dengan Proses Pendaftaran Tanah
Soelarman Brotosoelarno, Judul Aspek Teknis dan Yuridis Pendaftaran Tanah Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997
Undang-Undang
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tetang Undang-Undang Pokok Agraria
Komentar
Posting Komentar