DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS
DUGAAN TINDAK PIDANA TERHADAP NOTARIS[1]
Oleh Syafran Sofyan[2]
Pendahuluan.
Ketika seseorang memangku Jabatan Notaris, ia
tidak perlu lagi mengikuti suatu prosedur tertentu yang selama ini dilaksanakan
oleh Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk dapat
menjalankan kewenangannya di bidang pertanahan sebab sudah melekat dalam
Jabatan Notaris tersebut. Artinya, Notaris otomatis juga sebagai pejabat umum
yang dapat menjalankan kewenangan membuat akta di bidang pertanahan.
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengenai
PENGAMBILAN MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS berbunyi selengkapnya:
Pasal 66
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau
hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang
dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam
penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada
dalam penyimpanan Notaris.
(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.
Majelis Pengawas Daerah (MPD), di dalam menjalankan tugas dan kewajibannya,
haruslah perpedoman kepada Peraturan Menkumham Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007
tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris. Dalam hal ini
apabila penyidik, penuntut umum atau hakim untuk kepentingan proses peradilan
mengambil fotokopi minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta
atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dengan mengajukan permohonan
tertulis kepada Majelis Pengawas Notaris Daerah (MPD) ; Permohonan tersebut
tembusannya di sampaikan kepada Notaris; dan permohonan sebagaimana tersebut di
atas harus memuat alasan pengambilan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat
yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan
Notaris. Izin pemeriksaan terhadap notaris hanya berlaku dalam kapasitasnya
sebagai seorang notaris saja, artinya izin pemanggilan hanya diperlukan jika
dugaan tindak pidana berkaitan dengan Akta dan/ atau surat-surat yang
dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris,
seperti yang telah diatur di dalam Peraturan Menkumham Nomor : M.03.HT.03.10
Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris.
Adapun pengaturan di dalam Permenkumham tersebut yang berkaitan dengan adanya
dugaan tindak pidana, yang dapat disetujui oleh MPD, adalah apabila ada dugaan
tindak pidana (keterangan palsu) berkaitan langsung dengan minuta dan
atau surat-surat yang dilekatkan dengan minuta atau protokol, ada ahli
waris pembuat akta yang menyatakan bahwa pada tanggal pembuatan akta
pembuat akta telah meninggal dunia, di samping belum daluwarsa penuntutannya menurut
KUHP (Pasal 76 s/d Pasal 82), ada penyangkalan keabsahan tandatangannya, ada
dugaan pengurangan atau penambahan dari minuta atau ada dugaan Notaris
melakukan pemunduran tanggal Akta (antidatum), diluar hal-hal tersebut
maka MPD harus menolak atau tidak menyetujui terhadap Surat Permohonan dari
Penyidik, Jaksa, atau Hakim tersebut. Sebelumya Notaris yang bersangkutan juga
harus didengar keterangannya, dengan menunjukan bukti-bukti formil dalam
kaitannya dengan Akta yang telah dibuatnya.
Permasalahan
Permasalahan sekarang, antara lain masih adanya pemanggilan terhadap
Notaris oleh penyidik, penuntut umum, dan atau hakim melalui MPD yang
kedua kalinya, dalam kasus yang sama, padahal dalam panggilan pertama, sudah
ada keputusan MPD, bahwa surat permohonan dari penyidik tersebut tidak
disetujui?
Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa di Era globalisai dan dalam
masyarakat modern yang semakin kompleks, alasan bahwa akta
notaris seolah-olah tidak dapat diproses, digugat atau dituntut (untouchable)
dan harus dilindungi hukum “at all cost” karena notaris dalam memberikan
pelayanan hanyalah merupakan pihak yang menuangkan keinginan para pihak yang
menghadap kepadanya, bukan kehendak dirinya sendiri dan bersikap netral
atau tidak berpihak kepada salah satu penghadap, memang harus
ditegakkan, kecuali notaris telah melakukan hal-hal negatif seperti turut
melakukan atau menganjurkan atau membantu terjadinya suatu tindak
pidana. Dengan demikian alasan klasik tersebut harus dinilai kasus-per-kasus
atas dasar “concrete and circumstancial evidences” sebagaimana diatur
dalam Pasal 184 KUHAP. Notaris sebagai “pejabat umum” yang memiliki
kualitas intelektual yang memadai dan bukan sekedar “tukang” atau “juru tulis”
semata-mata harus juga berkewajiban menegakkan prinsip “good
governance” atau asas-asas umum pemerintahan yang baik (general
principles of good administration) yang meliputi : asas-asas yang
mengutamakan kepastian hukum; tertib peyelenggaraan negara; kepentingan umum;
keterbukaan; profesionalitas; proporsionalitas; efisisensi, efektivitas dan
akuntabilitas.
Hal ini terutama dalam membuat akta relaas atau akta pejabat (ambtelike
akten) yang hanya ditandatangani notaris dan tetap bersifat otentik
sekalipun tidak ditandatangani oleh para pihak misalnya laporan RUPS ,
sesuai dengan pengertian “relaas” sebagai “bericht, verslaag” atau
“report, written account” (laporan atau proses verbal seorang
pejabat). Dalam hal terjadi kesalahan, hal ini bisa merupakan malpraktek
(negligence) dengan parameter di atas akibat kurang pengetahuan atau kurang
pengalaman dengah konsekuensi sanksi admnistrasi, perdata atau etik, namun
bisa berakibat dengan konsekuensi sanksi pidana menurut KUHP apabila memenuhi
syarat-syarat pemidanaan tersebut di atas atas dasar kecurangan yang sengaja
dilakukan notaris, karena notaris harus “jujur, mandiri, tidak berpihak dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”.
Pembahasan
Pasal 1868 KUHP Perdata Jo. Pasal 1 angka (1) UUJN yang menyatakan bahwa
notaris adalah pejabat umum yang mempunyai wewenang umum untuk membuat akta
otentik. Menurut Pasal 1 ayat (7) UUJN Jo. Pasal 1870 dan 1871 KUH Perdata akta
otentik adalah alat pembuktian yang sempurna dan merupakan bukti yang lengkap
dan mengikat karena kebenaran dari yang tertulis di dalamya; jadi kalau
ada orang atau pihak lain, termasuk Penyidik menyangkal atas kebenaran dari
akta tersebut, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan sebaliknya,
apa-apa yang ia sangkalkan terhadap akta tersebut.
Pasal 16 huruf (a) UUJN menegaskan bahwa notaris diharapkan dapat bertindak
jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang
tekait dalam perbuatan hukum; Notaris juga adalah jabatan kepercayaan yang
wajib menyimpan rahasia mengenai akta yang dibuatnya, kecuali undang-undang
memerintahkannya untuk membuka rahasia kepada yang memintanya. Hal ini
dilindungi oleh Pasal 4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN
yang mengatur “hak ingkar” (verschoningsrecht); Dalam kaitan dengan
menjaga rahasia isi akta, juga berlaku juga kepada MPD, di dalam hasil
pemeriksaannya (Pasal 71 huruf c UUJN); jadi MPD harus juga dapat merahasiakan
hasil pemeriksaannya terhadap notaris kepada pihak lain, termasuk
berkas-berkas, dan atau fotocopi minuta/salinan yang diminta dari notaris untuk
keperluan pemeriksaan. Untuk menghindari hal-hal tersebut diatas, sebaiknya
dalam pemeriksaan terhadap notaris yang terindikasi adanya dugaan tindak pidana
oleh penyidik, sebaiknya cukup Minuta akta, dan atau salinan akta diperlihatkan
saja oleh notaris kepada MPD, dan atau penyidik. Dalam praktek masih ada MPD
yang setiap pemeriksaan terhadap notaris meminta minuta akta dicopikan terlebih
dahulu dan dilegalisir oleh notaris untuk diserahkan ke MPD? Hal tersebut
menurut saya sudah dapat dikategorikan melanggar UUJN, khususnya tentang
rahasia jabatan notaris, dan juga harus di ingat, bahwa MPD juga merupakan
Subjek TUN, yang mana kalau tidak berhati-hati, juga dapat dituntut oleh
pihak-pihak yang berkepentingan yang merasa dirugikan.
Jadi dalam kaitan dengan adanya permintaan terhadap Grosse Akta, salinan
Akta, dan Kutipan akta (Pasal 54 UUJN), maka baik Notaris, maupun MPD, haruslah
berhati-hati di dalam memenuhi permintaan tersebut, kalau tidak tentunya dapat
digugat atau dituntut oleh para pihak; Dalam hal ini Notaris hanya dapat
memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, salinan
Akta atau Kutipan Akta, hanya kepada orang yang berkepentingan langsung pada
akta (para pihak), ahli waris, atau yang memperoleh hak, kecuali ditentukan
lain oleh peraturan perundang-undangan. Jadi dalam hal ini, khususnya kepada
MPD, harus berhati-hati, dan selalu berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, di dalam mengambil keputusan, maupun di dalam
menanggapi permohonan penyidik, jaksa, atau hakim, termasuk terhadap laporan
masyarakat. Jangan sampai pula masing-masing anggota MPD, termasuk Ketua
sekalipun mengambil keputusan di luar prosedur, maupun keputusan lain diluar
rapat pleno, karena setiap anggota MPD mempunyai hak yang sama, dan setiap
keputusan berdasarkan kolektif, kolegial, hasil dari rapat pleno.
Bagaimana pemanggilan terhadap Notaris oleh MPD yang kedua kalinya, dalam
kasus yang sama, padahal dalam panggilan pertama, sudah ada keputusan MPD,
bahwa surat permohonan dari penyidik tersebut tidak disetujui?
Terhadap Majelis Pengawas Daerah Notaris (MPD) yang telah memeriksa Notaris
dalam memenuhi panggilan penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim, dan telah diputus
oleh MPD, maka kasus tersebut tidak dapat diajukan kedua kalinya (asas ne
bis in idem), agar adanya kepastian hukum. Keputusan MPD tersebut bersifat
final, dan mengikat, untuk itulah pula agar MPD di dalam mengambil keputusan
haruslah hati-hati, cermat, teliti, dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, dan Notaris juga dalam hal ini dapat menjelaskan kepada MPD,
bahwa kasus tersebut sudah pernah diperiksa, dan diputus, agar tidak perlu lagi
untuk memenuhi permintaan pihak penyidik tersebut. MPD dalam peristiwa ini agar
segera menjelaskan melalui surat tertulis kepada pihak penyidik bahwa
terhadap kasus yang sama terhadap orang yang sama, kasus tersebut tidak dapat
diajukan untuk kedua kalinya (asas nebis in idem), sebab kalau tidak, maka
pihak penyidik dapat menggunakan aturan yang memberlakukan kalau lewat 14 hari
dari surat diterima, maka pihak MPD dianggap menyetujui, berarti penyidik dalam
hal ini dapat segera memanggil langsung Notaris yang bersangkutan.
Keberadaan Jabatan PPAT
Berbagai cara telah dilakukan untuk menemukenali permasalahan dan sumber
permasalahan pertanahan serta solusi penyelesaiannya, namun konflik dan
sengketa pertanahan tersebut masih terus berlangsung. Kegelisahan dan kegalauan
merasuki benak kita semua, kenapa permasalahan yang paling pokok dalam
keberlangsungan kehidupan manusia itu tidak pernah terselesaikan dengan baik.
Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan misalnya, lebih sering menimbulkan ekses lain, seperti perlawanan dari pihak yang kalah, bahkan tidak jarang terjadi tindakan anarkis dalam setiap pelaksanaan eksekusi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam kondisi demikian, Prof. Maria S.W Sumardjono,dalam bukunya Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang diterbitkan oleh Penerbit Kompas, Jakarta tahun 2008 halaman 123, menyarankan agar perlu terus diupayakan penyelesaian melalui cara-cara penyelesaian sengketa alternatif. Upaya penyelesaian melalui jalur Pengadilan seyogyanya ditempuh sebagai upaya terakhir bila semua upaya telah gagal.
Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan misalnya, lebih sering menimbulkan ekses lain, seperti perlawanan dari pihak yang kalah, bahkan tidak jarang terjadi tindakan anarkis dalam setiap pelaksanaan eksekusi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam kondisi demikian, Prof. Maria S.W Sumardjono,dalam bukunya Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, yang diterbitkan oleh Penerbit Kompas, Jakarta tahun 2008 halaman 123, menyarankan agar perlu terus diupayakan penyelesaian melalui cara-cara penyelesaian sengketa alternatif. Upaya penyelesaian melalui jalur Pengadilan seyogyanya ditempuh sebagai upaya terakhir bila semua upaya telah gagal.
Salah satu penyebab sulitnya menyelesaikan masalah pertanahan, adalah
ketidakmampuan UUPA menjadi landasan hukum untuk mengatasi berbagai konflik dan
sengketa pertanahan itu sendiri, sehingga menganggap perlu untuk segera
dibentuk Undang-Undang Pertanahan yang baru, yang dianggap dapat menjadi solusi
penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan. Walaupun sesusungguhnya beberapa
pendapat yang mengemuka, bahwa UUPA masih dianggap relevan untuk menjadi dasar
hukum pertanahan nasional, sehingga yang dibutuhkan hanyalah penyempurnaan
peraturan pelaksanaannya tanpa harus menggantinya dengan undang-undang yang
baru. Misalnya, adanya inisiatif dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk
mengajukan RUU tentang Hak atas Tanah sebagai salah satu bagian dari UUPA, yaitu
Hak-hak atas Tanah.
Selain identifikasi tentang penyebab dan upaya penyelesaian konflik
pertanahan, salah satu tema yang dianggap penting dan juga terkait dengan
masalah pertanahan, adalah keberadaan profesi PPAT di tengah kontroversi payung
hukum. Tema tersebut menjadi menarik menyusul keberadaan Pasal 15 ayat (2)
huruf "f" Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(selanjutnya disingkat UUJN), yang menyatakan bahwa "Notaris berwenang
pula membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan". Penjelasan dari Pasal
15 ayat (2) huruf "f" UUJN tersebut dinyatakan cukup jelas.
Ketentuan tersebut kemudian memunculkan perdebatan dari berbagai kalangan,
khususnya pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah, DPR, Notaris dan PPAT,
serta Badan Pertanahan Nasional sendiri maupun masyarakat secara luas. Padahal,
tujuan dibuatnya suatu undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya
dimaksudkan untuk dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang
berintikan kebenaran dan keadilan.
Demikian juga dengan PPAT sebagai jabatan yang memang sejak semula
dimaksudkan untuk membuat akta mengenai perbuatan hukum dengan objek hak atas
tanah dan hak jaminan atas tanah sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum tersebut. Eksistensi PPAT harus memiliki landasan hukum yang kuat dan
jelas sehingga akta yang dilahirkan dari pelaksanaan jabatan tersebut, tidak
dipermasalahkan di kemudian hari dan tidak menimbulkan kerugian kepada
masyarakat yang berhubungan dengan jabatan tersebut.
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dikenal sejak berlakunya
Peratusan Pemerintah No 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai
peraturan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dikenal dengan UUPA), walaupun
tidak disebutkan secara eksplisit dengan nama PPAT, tetapi hanya disebut
sebagai Pejabat/ Namun jika melihat cakupan kewenangan dari Pejabat yang
ditentukan dalam peraturan pemerintah tersebut semuanya terkait dengan
perbuatan hukum mengenai tanah. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa Pejabat yang
dimaksud adalah Pejabat yang bertugas dan berwenang membuat akta tanah atas
perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang bersangkutan.
Kedudukan PPAT termasuk akta-akta yang dilahirkannya, bentuk dan blangko
aktanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan pendaftaran
tanah sebagaimana sejak semual telah ditentukan dalam PP No 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah. Dalam PP tersebut dikenal dengan istilah pejabat
dengan lingkup kewenangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19.
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat PP No 10 Tahun 1961) yang mengatur
mengenai Pejabat, yaitu:
1. Pasal 19: "Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas
tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah. menggadaikan tanah atau meminjam
uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu
akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria
(selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut sebagai Pejabat). Akta
tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria".
2. Pasal 38: "Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 19 wajib menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya, menurut bentuk yang ditetapkan oleh Menteri Agraria serta wajib pula menyimpan asli akta-akta yang dibuatnya.
Penunjukan Pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah no 10 Tahun 1961 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agraria No 10 Tahun 1961 (TLN 2344). Dalam Pssal 3 ayat (1) Peraturan Menteri tersebut, disebutkan bahwa yang dapat diangkat sebagai Pejabat adalah:
a. Notaris;
b. Pegawai-pegawai dan bekas pegawai dalam lingkungan Departeman Agraria yang dianggap mempunyai pengetahuan yang cukup tentang peraturan- peraturan Pendaftaran Tanah dan peraturan-peraturan lainnya yang bersangkutan dengan persoalan peralihan hak atas tanah;
c. Para pegawai pamongpraja yang pernah melakukan tugas seorang pejabat;
d. Orang-orang lain yang telah lulus dalam ujian yang dilakukan oleh Menteri Agraria.
Dalam peraturan perundang-undangan tersebut diatas, belum disebut secara
eksplisit bahwa Pejabat yang dimaksudkan disebut dengan nama PPAT. Penyebutan
secara eksplisit pertama kali ditemukan dalam Surat Edaran Menteri Pertanian
dan Agraria No 10 Tahun 1961: ".....apabila untuk suatu kecamatan belum
ditunjuk seorang pejabat khusus, maka Asisten Wedana "ambsthalve"
menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah.....".
Dalam Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1961 sebagai peraturan pelaksanaan PP No. 10 Tahun 1961 tersebut diatur secara detail tentang pelaksanaan pembuatan akta di hadapan "pejabat". Setiap pembuatan akta di hadapan "pejabat", harus menggunakan formulir-formulir yang tercetak atau formulir yang diketik dnegan ukuran kertas tertentu dan harus mendapat persetujuan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah dan formulir-formulir tecetak hanya dapat dibeli di kantor-kantor pos.
Pengaturan demikian dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa pada waktu itu sebagian besar PPAT dijabat oleh Camat yang karena jabatannya (ex officio) menjalankan sementara Jabatan PPAT, agar dapat memudahkan pelaksanaan jabatannya termasuk petunjuk pengisian formulir atau blangko akta tersebut.
Peraturan tersebut ternyata masih dipertahankan sampai saat ini berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Menurut peraturan ini disebutkan bahwa akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah harus dibuat dengan menggunakan blangko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional yang telah dicetak
lebih dahulu. Artinya PPAT tidak boleh membuat bentuk akta sendiri karena harus menggunakan blangko yang sudah disediakan oleh Badan PertanahanNasional.
Dalam Peraturan Menteri Agraria No. 10 Tahun 1961 sebagai peraturan pelaksanaan PP No. 10 Tahun 1961 tersebut diatur secara detail tentang pelaksanaan pembuatan akta di hadapan "pejabat". Setiap pembuatan akta di hadapan "pejabat", harus menggunakan formulir-formulir yang tercetak atau formulir yang diketik dnegan ukuran kertas tertentu dan harus mendapat persetujuan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah dan formulir-formulir tecetak hanya dapat dibeli di kantor-kantor pos.
Pengaturan demikian dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa pada waktu itu sebagian besar PPAT dijabat oleh Camat yang karena jabatannya (ex officio) menjalankan sementara Jabatan PPAT, agar dapat memudahkan pelaksanaan jabatannya termasuk petunjuk pengisian formulir atau blangko akta tersebut.
Peraturan tersebut ternyata masih dipertahankan sampai saat ini berdasarkan Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Menurut peraturan ini disebutkan bahwa akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah harus dibuat dengan menggunakan blangko akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional yang telah dicetak
lebih dahulu. Artinya PPAT tidak boleh membuat bentuk akta sendiri karena harus menggunakan blangko yang sudah disediakan oleh Badan PertanahanNasional.
Mengapa demikian? Sebab fungsi blangko akta PPAT secara tegas dinyatakan
sebagai syarat untuk dapat digunakan sebagai dasar pendaftaran perubahan data
pendaftaran tanah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 96 ayat (1-3) Peraturan
Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Sehingga
syarat ini harus disesuaikan dengan maksud pelaksanaan tugas Jabatan PPAT
tersebut.
Pasal dalam UUPA yang terkait dengan keberadaan Jabatan PPAT tersebut dapat
ditemukan di Pasal 26 ayat (1) UUPA dan Pasal UUPA. Pasal 26 ayat (1) UUPA
menyatakan bahwa jual-beli, tukar-menukar dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Demikian halnya Pasal 19 UUPA yang menginstruksikan
kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudiandiganti dengan PP No. 24 Tahun
1997.
UUPA memang tidak menyebut secara tegas tentang Jabatan PPAT, namun
penyebutan tentang adanya Pejabat yang akan bertindak untuk membuat akta
terhadap perbuatan hukum tertentu mengenai tanah, dinyatakan dalam Pasal 19 PP
No 10 Tahun 1961, sebagai peraturan pelaksanaan UUPA. Dengan menggunakan metode
interpretasi sistematis, serangkaian ketentuan yang berkaitan satu sama lain
tersebut sudah cukup untuk memberikan pemahaman, bahwa keberadaan Jabatan PPAT
bersumber pada UUPA, sehingga memiliki landasan hukum yang kuat. Metode
interpretasi sistematis adalah penafsiran yang menghubungkan antara pasal yang
satu dengan pasal yang lainnya dalam suatu peraturan perundang-undangan atau
dengan peraturan perundang-undangan yang lain, serta membaca penjelasannya
sehingga dapat dipahami maksudnya. Kemudian dalam perkembangannya, kedudukan
PPAT sebagai pejabat umum lebih dipertegas dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang terbit kemudian, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, memuat ketentuan
tentang keberadaan PPAT, sebagaimana diatur dalam PAsal 10 ayat (2) yang
menyatakan pemindahan hak sebagaimanan ditentukan dalam ayat (1) dilakukan
dengan akta PPAT yang didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten dan Kotamadya
yang bersangkutan menurut Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud alam Pasal
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Penjelasan ayat (1) tersebut menyatakan:
"Sebagai bukti bahwa telah dilakukan pemindahan hak diperlukan adanya akta
Pejabat Pembuat AKta Tanah, sedang untuk peralihan hak karena pewarisan tidak
diperlukan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pendaftaran peraliran hak dalam
pewarisan cukup didasarkan pada surat keterangan kematian pewaris atau surat
wasiat atau surat keterangan waris yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Di dalam UU Rumah Susun yang baru, yaitu UU Nomor 20 tahun 2011 tentang
Rumah Susun tidak ditemukan penyebutan PPAT dalam pasal-pasalnya. Penyebutan
PPAT ada di pasal penjelasannya saja. Pasal 44 ayat (1) menyebutkan bahwa
proses jual-beli yang dilakukan sesudah pembangunan rumah susun selesai,
dilakukan melalui akta jual-beli (AJB). Di dalam penjelasan pasal itu
disebutkan bahwa AJB dibuat dihadapan "notaris PPAT" untuk SHM Sarusun,
dan "notaris" untuk SKBG (sertifikat kepemilikan bangunan gedung)
Sarusun sebagai bukti peralihan hak.
2. Undang-Undang No.21 Tahun 1997 yang telah diubah dengan Undang-Undang
No. 21 Tahun 2000 tentang Bea Peroleh Hak atas Tanah dan Bangunan. Pasal 24
ayat (1) menyatakan bahwa PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta
pemindahan hak atas tanah dan bangunan setelah wajib pajak menyerahkan
bukti pembayaran pajak.
3. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disebut UU Hak Tanggungan)
menegaskan siapa PPAT dan bagaimana kedudukan PPAT sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 1 angka 4, yaitu: "Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu
pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah,
akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak
Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku".
4. Selain dalam UU Hak Tanggungan tersebut, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, juga
menyebutkan PPAT sebagai pejabat umum. Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa PPAT
adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah.
5. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang
Pandaftaran Tanah sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961, juga menyebut PPAT
sebagai pejabat umum, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 24:
"Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum
yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu".
6. Kemudian dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan PPAT (selanjutnya disingkat PP No. 37 Tahun 1998) menegaskan kembali
bahwa PPAT sebagai pejabat umum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 1
bahwa yang dimaksud dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan
untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak
atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut diatas secara tegas
menyatakan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang
No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu: "Notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini".
+
Penyebutan PPAT sebagai pejabat umum dengan sendirinya mempertegas
kedudukan PPAT itu sendiri. Apa yang dimaksud dengan pejabat umum dalam UU
tersebut tidak dijelaskan. Istilah pejabat umum diterjemahkan dari istilah
"openbare Ambtenaren" yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan
Notaris di Indonesia (reglement op het Notaris-ambt in Indonesie) S.1860-3
sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 No. 101 dan
pasal 1868 BW.
Menurut E.Utrecht, seperti dikutip di dalam Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Ikhtiar, Jakarta, tahun 1963, halaman
159, "jabatan" (ambt) adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring
van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara
(kepentingan umum). Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
"lingkungan pekerjaan tetap" ialah suatu lingkungan pekerjaaan yang
sebanyak-aanyaknya dapat dinyatakan dengan tepat-teliti/ seakurat mungkin
(zoveel mogelijk nauwkeurig omschreven) dan yang bersifat duurzam (tidak dapat
diubahbegitu saja). Oleh karena itu, maka jabatan merupakan subjek hukum
(person), sehingga kekuasaan tidak diberikan kepada orang penjabat, tetapi
diberikankepada jabatan (lingkungan pekerjaan). Sebagai pendukung hak dan
kewajiban, maka jabatan itu dapat menjamin kesinambungan hak dan kewajiban,
walaupun pejabatnya berganti-ganti.
Pembentukan payung hukum secara spesifik yang mengatur tentang Jabatan PPAT
dengan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT
(selanjutnya disingkat PP No. 37 Tahun 1998) jika dilihat dasar pembentukannya
bersumber pada Pasal 7 ayat (3) PP No. 24 Tahun 1997, yang berinduk pada UUPA,
bahwa: "Peraturan Jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah". Di dalam pasal 7 ayat (1) PP Nomor 24 tahun
1997 disebutkan bahwa "PPAT sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2)
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
Sedangkan "Peraturan Pemerintah" yang dimaksud adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat AKta
Tanah, serta peraturan pelaksanaannya yang diatur di dengan Peraturan menteri
Agraria/ Kepala BPN Nomor 4 tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat AKta
Tanah.
Pada Konsideran Menimbang huruf "b" PP No. 37 Tahun 1998 tersebut
secara tegas dinyatakan bahwa pertimbangan pembentukan Peraturan Pemerintah
tersebut yaitu dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah, dengan menetapkan
jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diberi kewenangan untuk membuat alat
bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak Milik
atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar pendaftaran.
Dengan demikian, maka pembentukan PP No. 37 Tahun 1998 tersebut adalah
memberikan dasar hukum dalam rangka pelaksanaan tugas jabatan PPAT untuk
membantu sebagian kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal
2 PP No. 37 Tahun 1998, yaitu: "PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian
kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan-perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan sebagai dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum
itu".
Perbuatan hukum yang dimaksudkan tersebut adalah sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 37/1998, yaitu:
a. Jual beli;
b. Tukar-menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. Pembagian hak bersama;
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
a. Jual beli;
b. Tukar-menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. Pembagian hak bersama;
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
Dalam ketentuan dalam pasal selanjutnya dinyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (2) tersebut di atas mengenai hak atas atas dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Sedangkan "PPAT Khusus" hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukkannya.
Peran PPAT dalam membantu sebagian kegiatan pendaftaran tanah itu disebutkan di dalam pasal 6 ayat (2) PP Nomor 24 tahun 1997 yaitu, "Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan."
Dengan demikian, jika mencermati keseluruhan peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan tersebut di atas, semakin mengukuhkan kedudukan Jabatan PPAT sebagai suatu jabatan tersendiri dengan kewenangan yang melekat padanya sesuai peraturan perundang-undangan.
KONTROVERSI PAYUNG HUKUM
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa sesungguhnya keberadaan Jabatan PPAT sudah tegas dan jelas sebagai suatu jabatan tersendiri yang terpisah dengan jabatan lainnya dengan kewenangan yang sudah jelas pula sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan.
Menyusul diundangkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004, kedudukan PPAT pun kemudian dipermasalahkan karena dinyatakan telah melekat secara otomatis pada Jabatan Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" tersebut. Ketentuan hukum tersebut menimbulkan konflik dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur kewenangan PPAT sebagai pejabat yang diberikan kewenangan membuat akta-akta tanah atau yang berkaitan dengan tanah.
Dengan demikian jika terjadi konflik hukum yang mengatur hal yang sama,
dapat diselesaikan dengan menggunakan asas hukum, yaitu:
a. Lex porteriori derogate legi priori, artinya peraturan atau undang-undang yang terbaru mengesampingkan peraturan atu undang-undang yang lama yang mengatur hal yang sama.
b. Lex superior derogate legi inferiori, artinya jika terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah, maka yang tinggilah yang harus didahulukan.
Kedua asas hukum tersebut, secara otomatis mengesampingkan peraturan Jabatan PPAT yang diatur dalam peraturan sebelumnya, apalagi PP No. 37/1998 tentang Jabatan PPA kedudukannya lebih rendah dari UUJN karena bentuknya hanya Peraturan Pemerintah. Tetapi di sisi lain, dapat juga menggunakan asas hukum "lex specialis derogate legi generale", sehingga peraturan khusus akan mengesampingkan peraturan umum yang mengatur hal yang sama. Artinya PP No. 37 Tahun 2008 yang secara khusus mengatur Jabatan PPAT yang berlaku saat ini dapat dikategorikan sebagai lex specialis.
a. Lex porteriori derogate legi priori, artinya peraturan atau undang-undang yang terbaru mengesampingkan peraturan atu undang-undang yang lama yang mengatur hal yang sama.
b. Lex superior derogate legi inferiori, artinya jika terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah, maka yang tinggilah yang harus didahulukan.
Kedua asas hukum tersebut, secara otomatis mengesampingkan peraturan Jabatan PPAT yang diatur dalam peraturan sebelumnya, apalagi PP No. 37/1998 tentang Jabatan PPA kedudukannya lebih rendah dari UUJN karena bentuknya hanya Peraturan Pemerintah. Tetapi di sisi lain, dapat juga menggunakan asas hukum "lex specialis derogate legi generale", sehingga peraturan khusus akan mengesampingkan peraturan umum yang mengatur hal yang sama. Artinya PP No. 37 Tahun 2008 yang secara khusus mengatur Jabatan PPAT yang berlaku saat ini dapat dikategorikan sebagai lex specialis.
Dalam kondisi demikian, mana yang harus diikuti, tidak memberikan
penyelesaian dan kepastian hukum. Untuk itu memang dibutuhkan adanya
harmonisasi hukum dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan.
Kontroversi terhadap kedudukan PPAT sebagai jabatan inhern dalam Jabatan
Notaris dipicu oleh keberadaan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" UUJN
tersebut. Ini kelihatannya akan segera berakhir karena dalam RUU Jabatan
Notaris pengganti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
ketentuan tersebut sudah dihapus dalam Panja V tanggal 9 Januari 2012.
Sementara itu Fraksi Partai Golkar tidak setuju dan menghendaki tetap pada
rumusan UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Namun demikian tetap menarik untuk mencermati ketentuan dalam UUJN tersebut, walaupun sesungguhnya antara Jabatan PPAT dan Jabatan Notaris adalah dua jabatan yang sejak semula sudah berbeda dan memiliki kewenangan yang berbeda pula, walaupun dua jabatan itu dapat disandang oleh seorang penjabat karena pada umumnya seorang Notaris juga adalah PPAT. Masyarakat awam pun selalu menganggap kedua jabatan ini satu.
Indikasi pemisahan dua jabatan tersebut justru diamini oleh UUJN sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yang menyatakan:
Namun demikian tetap menarik untuk mencermati ketentuan dalam UUJN tersebut, walaupun sesungguhnya antara Jabatan PPAT dan Jabatan Notaris adalah dua jabatan yang sejak semula sudah berbeda dan memiliki kewenangan yang berbeda pula, walaupun dua jabatan itu dapat disandang oleh seorang penjabat karena pada umumnya seorang Notaris juga adalah PPAT. Masyarakat awam pun selalu menganggap kedua jabatan ini satu.
Indikasi pemisahan dua jabatan tersebut justru diamini oleh UUJN sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN yang menyatakan:
"Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan
perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta,
menyimpan akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan
akta, memberikan grosse, salinan atau kutipan akta, semuanya itu sepanjang
pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang".
Membaca ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN tersebut, maka UUJN sendiri
mengaku keberadaan suatu jabatan tertentu yang telah ditetapkan dengan
undang-undang. Misalnya pembuatan akta yang pemindahan hak atas tanah dan/atau
akta pembebanan Hak Tanggungan yang telah ditentukan dalam UU Hak Tanggungan
yang harus dibuat dengan akta PPAT.
Selain itu, Pasal 17 UUJN yang mengatur tentang larangan Notaris, pada huruf "g" yang melarang Notaris merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris.
Ketentuan Pasal 17 UUJN sendiri yang kemudian membuat perbedaan antara Jabatan Notaris dan Jabatan PPAT. Pengakuan adanya pembedaan Jabatan Notaris dengan Jabatan PPAT dalam Pasal 17 UUJN tersebut menjadi tidak konsisten dengan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" itu sendiri yang jika ditafsirkan sudah otomatis melekat Jabatan PPAT dalam Jabatan Notaris sekaligus, sehingga wilayah jabatan Notaris juga adalah wilayah jabatan PPAT, sehingga tidak perlu muncul larangan seperti itu.
Memang jika dibaca secara seksama bunyi ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" maka sendirinya kita akan mengakui bahwa pada jabatan Notaris otomatis melekat Jabatan PPAT, karena kewenangan yang diberikan oleh UUJN tersebut.
Selain itu, Pasal 17 UUJN yang mengatur tentang larangan Notaris, pada huruf "g" yang melarang Notaris merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris.
Ketentuan Pasal 17 UUJN sendiri yang kemudian membuat perbedaan antara Jabatan Notaris dan Jabatan PPAT. Pengakuan adanya pembedaan Jabatan Notaris dengan Jabatan PPAT dalam Pasal 17 UUJN tersebut menjadi tidak konsisten dengan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" itu sendiri yang jika ditafsirkan sudah otomatis melekat Jabatan PPAT dalam Jabatan Notaris sekaligus, sehingga wilayah jabatan Notaris juga adalah wilayah jabatan PPAT, sehingga tidak perlu muncul larangan seperti itu.
Memang jika dibaca secara seksama bunyi ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" maka sendirinya kita akan mengakui bahwa pada jabatan Notaris otomatis melekat Jabatan PPAT, karena kewenangan yang diberikan oleh UUJN tersebut.
Penjelasan pasal tersebut yang menyatakan "cukup jelas", membawa
pesan bahwa ketika seseorang telah diangkat menjadi Notaris, maka secara
otomatis dalam jabatan Notaris juga melekat kewenangan untuk membuat akta di
bidang pertanahan, yang selama ini menjadi kewenangan PPAT.
Konsekuensi hukumnya adalah ketika seseorang memangku Jabatan Notaris, maka ia tidak perlu lagi mengikuti suatu prosedur tertentu yang selama ini dilaksanakan oleh Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk dapat menjalankan kewenangannya di bidang pertanahan sebab sudah melekat dalam Jabatan Notaris tersebut. Artinya, Notaris otomatis juga sebagai pejabat umum yang dapat menjalankan kewenangan membuat akta di bidang pertanahan.
Konsekuensi hukumnya adalah ketika seseorang memangku Jabatan Notaris, maka ia tidak perlu lagi mengikuti suatu prosedur tertentu yang selama ini dilaksanakan oleh Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk dapat menjalankan kewenangannya di bidang pertanahan sebab sudah melekat dalam Jabatan Notaris tersebut. Artinya, Notaris otomatis juga sebagai pejabat umum yang dapat menjalankan kewenangan membuat akta di bidang pertanahan.
Namun jika dicermati lebih lanjut, ternyata ketentuan Pasal 15 ayat (2)
huruf "f" tidak memberikan kepastian hukum. karena tidak mampu
memberikan penjelasan lebih lanjut tentang apa saja yang dimaksud dengan
kewenangan di bidang pertanahan tersebut dan bagaimana kewenangan di bidang pertanahan
itu dilaksanakan. Karena penjelasan pasal tersebut menyatakan sudah jelas.
Padahal beberapa pertanyaan dapat saja muncul, misalnya, apakah wilayah jabatan
Notaris secara otomatis juga menjadi wilayah jabatan PPAT. Jika demikian,
mengapa harus ada lagi ketentuan Pasal 17 huruf "g" dalam UUJN
tersebut.
Selain itu secara kelembagaan, juga akan menimbulkan permasalahan, sebab
selama ini dua jabatan tersebut berada pada instansi pemerintahan yang berbeda
termasuk pengangkatan dan pemberhentiannya serta hal hal yang terkait dengan
pelaksanaan jabatan tersebut, termasuk pengawasannya.
Memang dapat dipahami bahwa terjadi ketidakpastian hukum dan menimbulkan
penafsiran yang beragam terhadap ketentuan pasal tersebut, sebab tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai maksud pasalnya karena dianggap cukup jelas,
termasuk bagaimana ketentuan itu dilaksanakan secara operasional.
Seharusnya pelaksanaan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" tersebut didelegasikan pada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, yaitu dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Misalnya tata cara pelaksanaan kewenangan Notaris di bidang pertanahan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Atau setidaknya menjelaskan dalam penjelasan pasalnya tentang apa yang dimaksud dengan kewenangan di bidang pertanahan tersebut, sebab bidang pertanahan sangat luas dan beberapa perbuatan hukum yang berkaitan dengan pertanahan, tidak selalu dibuat aktanya oleh PPAT. Misalnya, Akta Pengikatan Jual Beli, Akta Sewa Menyewa.
Pelaksanaan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" UUJN, sampai saat ini tidak dapat diterapkan, karena dianggap berkonflik dengan peraturan perundang-undangan yang lain yang mengatur hal yang sama. Dalam kondisi demikian, maka terjadi kondisi "contra conseutudinem non obligat" yaitu peraturan yang bertentangantidak mengikat.
Seharusnya pelaksanaan ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" tersebut didelegasikan pada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, yaitu dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Misalnya tata cara pelaksanaan kewenangan Notaris di bidang pertanahan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Atau setidaknya menjelaskan dalam penjelasan pasalnya tentang apa yang dimaksud dengan kewenangan di bidang pertanahan tersebut, sebab bidang pertanahan sangat luas dan beberapa perbuatan hukum yang berkaitan dengan pertanahan, tidak selalu dibuat aktanya oleh PPAT. Misalnya, Akta Pengikatan Jual Beli, Akta Sewa Menyewa.
Pelaksanaan Pasal 15 ayat (2) huruf "f" UUJN, sampai saat ini tidak dapat diterapkan, karena dianggap berkonflik dengan peraturan perundang-undangan yang lain yang mengatur hal yang sama. Dalam kondisi demikian, maka terjadi kondisi "contra conseutudinem non obligat" yaitu peraturan yang bertentangantidak mengikat.
Bagaimanapun kontroversi harus diakhiri, sehingga kita harus sepakat untuk
membedah polemik ini secara jernih berdasarkan kaidah-kaidah pembentukan
peraturan perundang-undangan yang baik. Apalagi saat ini sedang berlangsung
pembahasan RUU Jabatan Notaris sebagai penggnati UU No. 30 Tahun 2004. Demikian
halnya jika hendak memberikan pengukuhan terhadap jabatan PPAT, maka memang
sudah pada saatnya kita merekomendasikan untuk mengajukan RUU Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.
Namun demikian, pengajuan tersebut tidak dilandasi oleh pertimbangan yang emosional atas reaksi dari adanya polemik terhadap jabatan PPAT, tetapi harus didasarkan pada pertimbangan bahwa keberadaan jabatan PPAT semakin dibutuhkan dan jelas eksistensinya seiring dengan perkembangan kesadaran hukum masyarakat yang semakin memahami pentingnya akta PPAT tersebut. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf "e" Undang-undangNomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang harus berisi"pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarkat".
Namun demikian, pengajuan tersebut tidak dilandasi oleh pertimbangan yang emosional atas reaksi dari adanya polemik terhadap jabatan PPAT, tetapi harus didasarkan pada pertimbangan bahwa keberadaan jabatan PPAT semakin dibutuhkan dan jelas eksistensinya seiring dengan perkembangan kesadaran hukum masyarakat yang semakin memahami pentingnya akta PPAT tersebut. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf "e" Undang-undangNomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang harus berisi"pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarkat".
Selain itu, suatu peraturan perundang-undangan harus memuat asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, seperti yang telah diatur
dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yaitu:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau pejabat pebentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan;
g. Keterbukaan.
Sementara materi peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keteritban dan kepastian hukum, dan/ atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan (Pasal 6).
Jika berdasarkan pada berbagai undang-undang tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Jabatan PPAT tetap terpisah dengan Jabatan Notaris,
sehingga seseorang yang diangkat menjadi Notaris tidak akan otomatis merangkap jabatan PPAT atau tidak otomatis melekat jabatan PPAT.
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau pejabat pebentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan;
g. Keterbukaan.
Sementara materi peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, keteritban dan kepastian hukum, dan/ atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan (Pasal 6).
Jika berdasarkan pada berbagai undang-undang tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Jabatan PPAT tetap terpisah dengan Jabatan Notaris,
sehingga seseorang yang diangkat menjadi Notaris tidak akan otomatis merangkap jabatan PPAT atau tidak otomatis melekat jabatan PPAT.
Penutup.
Didalam menyikapi terhadap pemanggilan dari Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim
adanya dugaan tindak pidana kepada Notaris, melalui MPD setempat, hendaklah
Notaris didalam hal tersebut tidak usah terlalu takut, sepanjang Notaris
tersebut telah menjalankan jabatan profesinya secara baik dan benar. Kedepan
perlu kiranya agar Notaris, dan juga penyidik, mempelajari, dan mengetahui
sejauh mana tugas dan kewenangannya, agar tidak melakukan kesalahan, atau
perbuatan melanggar hukum, sehingga diharapkan akan terjalin hubungan yang
serasi. Dan juga buat MPD yang duduk sebagai anggota, didalam menjalankan
tugas, jabatannya haruslah berpegang/berdasarkan UUJN, dan Permenkumham, agar
betul-betul memahami terhadap peraturan tersebut, dan juga mengetahui tugas dan
kewenangan Notaris/PPAT didalam menjalankan tugas jabatannya tersebut, sehingga
di dalam memutus kalau ada surat permintaan dari penyidik, penuntut umum atau
hakim adanya dugaan tindak pidana terhadap notaris/PPAT, betul-betul dapat
dijalankan dengan baik, berdasarkan peratur perundang-undangan yang berlaku,
dan tidak mudah mendapat tekanan, ancaman, dari pihak manapun. Perlu juga
kedepan ditingkatkan peran dari Organisasi Profesi (INI) agar memberikan
sosialisasi kepada semua anggota dalam kaitan dengan proses penyidikan, baik di
MPD, maupun di Kepolisisan, dan Pengadilan, dan juga di dalam menjalankan
jabatannya Notaris juga mematuhi Kode Etik Profesi, di samping Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku.
Kepada para penyidik Polri, juga harus memperhatikan Tugas, dan kewenangan
Notaris/PPAT, sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, dan MOU yang
telah dibuat oleh kedua Organisasi antara INI, IPPAT, dengan Kapolri, agar
terjalin kerja-sama yang harmonis, khususnya dalam menjalankan penegakan hukum.
[1] Pelatihan Penyidikan Tindak Pidana Pertanahan Tahun 2012.
[2] Nara-Sumber/Dosen Lemhannas RI,Tenaga Profesional Bidang Hukum & HAM
Lemhannas RI, Dosen Pasca sarjana Hukum Univ.Jayabaya, Dosen Magister
Kenotariatan Univ Brawijaya, Dosen/Nara Sumber di Kemhan, MA/Pengadilan, Mabes
TNI, Dosen Fak.Hukum Univ.Semarang,Dosen Diklat Perbankan/BUMN,Nara-Sumber
Jimly School at Law & Government, Pendiri/Ketua ISHI(Ikatan sarjana Hukum
Indonesia),Saksi Ahli di Pengadilan,Majelis Pengawas Daerah Notaris,
Notaris/PPAT di Jakarta.
Komentar
Posting Komentar