DALUWARSA DALAM HUKUM
DALUWARSA DALAM HUKUM
Oleh: Prof
Achmad Ali (Guru Besar Ilmu Hukum Unhas)
Setelah
penyidik mengetahui bahwa suatu tindak pidana yang dilaporkan telah daluwarsa,
maka tim penyidik; demi hukum, wajib menghentikan penyidikan dan menutup kasus
tersebut.////
Di dalam Hukum Pidana, dikenal adanya keadaan "hapusnya" kewenangan melakukan proses pidana dan penuntutan pidana bagi para penegak hukum (verval van het recht tot strafvordering en van de straf).
Salah satu alasan untuk hapusnya kewenangan penegak hukum untuk memproses pidana seseorang adalah yang dikenal dengan istilah: daluwarsa (baca: "Hukum Pidana: karya pakar hukum pidana terkemuka Jan Remmelink). Dalam bahasa Belanda: Daluwarsa disebut "Verjaring", atau verjaring stermijn (jatuh tempo).
Dan daluwarsa ini diberlakukan baik dalam Hukum Perdata maupun dalam Hukum Pidana. Dalam Hukum Pidana, daluwarsa berarti kewenangan penegak hukum memproses hukum suatu dugaan tindak pidana menjadi hilang, karena lewatnya tenggang waktu tertentu. Di dalam kawasan Mahkamah Konstitusi pun, lembaga "daluwarsa" itu digunakan. Contohnya ketika Mahkamah Konstitusi menolak suatu gugatan judicial review karena dianggap sudah daluwarsa.
Menurut Prof MR A Pitlo (dalam bukunya: Bewijs en Verjaring naar her Netherlands Burgelijk Wetboek) landasan filsafat hukumnya, mengapa ada lembaga daluwarsa dalam hukum, baik Hukum Perdata maupun Hukum Pidana adalah antara lain: "Hukum pada hakikatnya bersifat menyesuaikan diri untuk menerima keadaan yang ada.
Setelah jangka waktu yang lama, hukum menyingkir terhadap suatu keadaan yang nyata, yang tidak dipersoalkan selama tenggang-waktu tertentu; tidak peduli apakah tidak dipersoalkannya karena tindak pidana tersebut belum diketahui hingga lewat waktu tertentu, ataupun karena tidak ada yang mengadukan dugaan terjadinya tindak pidana hingga lewatnya waktu tertentu.
Di dalam Hukum Pidana Indonesia, ketentuan tentang daluwarsa ditentukan dalam pasal 78 KUH Pidana yang bunyinya:
(1) Kewenangan memproses pidana hapus karena daluwarsa;
1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, daluwarsanya setelah enam tahun.
3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun , daluwarsanya setelah dua belas tahun.
4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, daluwarsanya setelah delapan belas tahun.
(2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan, usianya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang waktu untuk daluwarsa di atas, dikurangi menjadi sepertiga.
Pasal 78 KUH Pidana itu diperkuat oleh yurisprudensi (putusan HR 3 Februari 1936) yang inti putusannya: Wewenang memproses pidana adalah wewenang negara untuk bertindak terhadap pelaku secara pidana, tanpa peduli alat negara manakah yang melakukannya.
Begitu suatu tenggang waktu menurut undang-undang berlaku, maka daluwarsa menggugurkan wewenang untuk memproses hukum terhadap pelaku, baik tenggang waktu itu berlaku sebelum perkara dimulai ataupun selama berlangsungnya tenggang waktu daluwarsa berada dalam stadium, bahwa alat penegak hukum tidak dapat lagi melakukan proses hukum.
Kapan mulai terhitungnya tenggang waktu untuk daluwarsanya suatu tindak pidana? Menurut pasal 79 KUH Pidana, terhitung sejak tindak pidana itu dilakukan. Kecuali untuk tindak pidana pemalsuan mata uang, dan untuk tindak pidana yang secara tegas (tidak boleh dianalogikan) dalam pasal-pasal 328, 329, 330 dan 333, serta untuk pelanggaran pasal 556 KUH Pidana.
Dengan kata lain, kecuali ketiga jenis tindak pidana yang dikecualikan itu, maka semua tindak pidana, berlaku ketentuan daluwarsa Pasal 78 dan awal pasal 79 bahwa daluwarsa terhitung sejak tindak pidana itu dilakukan.
Contohnya, jika tindak pidana pembunuhan (pasal 338 kalau pembunuhan biasa dan pasal 340 kalau pembunuhan berencana, terhitung satu hari setelah pelaku membunuh, demikian juga contohnya; kalau tindak pidana pemalsuan surat, misalnya pemalsuan ijazah, maka terhitung sejak satu hari setelah ijazah palsu (yang ditentukan pasal 263 KUH Pidana) yang isinya:
(1)Setiap orang yang membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk menggunakannya atau menyuruh orang lain menggunakan surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika penggunaannya tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan ancaman pidana paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Dengan demikian, jika tindak pidananya pemerkosaan, perhitungan daluwarsa dihitung sejak saat pemerkosaan (pasal 285 KUH Pidana) dilakukan pelaku; kalau mengenai tindak pidana pencurian (pasal 362 KUH Pidana), maka terhitung sejak pelaku melakukan pencurian itu.
Demikian juga untuk tindak pidana pemalsuan surat, termasuk ijazah tentunya (pasal 263 KUH Pidana), perhitungan daluwarsa terhitung sejak ijazah palsu itu mulai dibuat; bukan sejak ijazah palsu itu mulai digunakan.
Jadi contohnya dalam tindak pidana pemalsuan ijazah, ijazah palsunya dibuat pada tahun 1990, maka daluwarsa jatuh pada 1990 tambah 12 (dua belas tahun) menjadi 2002. Artinya sejak tahun 2002, kasus tersebut tidak berwenang lagi diproses oleh penegak hukum.
Setelah penyidik mengetahui bahwa suatu tindak pidana yang dilaporkan telah daluwarsa, maka tim penyidik; demi hukum, wajib menghentikan penyidikan dan menutup kasus tersebut.
Apa konsekuensinya jika setelah daluwarsa, penegak hukum tetap memproses perkara itu dan tidak segera menghentikannya? Konsekuensi pertama, berarti penegak hukumnya melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku; Konsekuensi kedua, penegak hukum dapat diadukan telah melakukan pelanggaran HAM tersangka, yang demi hukum, berhak diterapkannya ketentuan mengenai daluwarsa terhadap dirinya.
Ketentuan tentang daluwarsa ini memang jarang diketahui oleh masyarakat awam hukum maupun sebagian kalangan hukum, dan oleh karena itu menjadi kewajiban saya sebagai ilmuwan hukum untuk mensosialisasikannya kepada masyarakat luas dan kalangan penegak hukum.
Penegak hukum harus melaksanakan ketentuan perundang-undangan tanpa di bawah tekanan opini publik, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh James Fenimore Cooper: "It is besetting vice of democracies to substitute public opinion for law. This is the usual form in which masses of men exhibit their tyranny.
Artinya merupakan kepungan sifat buruk (euforia yang kebablasan) tentang demokrasi, untuk menggantikan hukum dengan opini publik (atau tekanan demo massa yang sifatnya politis). Ini adalah wujud yang umum, di mana orang menunjukkan tirani pemaksaan mereka. (**)
Di dalam Hukum Pidana, dikenal adanya keadaan "hapusnya" kewenangan melakukan proses pidana dan penuntutan pidana bagi para penegak hukum (verval van het recht tot strafvordering en van de straf).
Salah satu alasan untuk hapusnya kewenangan penegak hukum untuk memproses pidana seseorang adalah yang dikenal dengan istilah: daluwarsa (baca: "Hukum Pidana: karya pakar hukum pidana terkemuka Jan Remmelink). Dalam bahasa Belanda: Daluwarsa disebut "Verjaring", atau verjaring stermijn (jatuh tempo).
Dan daluwarsa ini diberlakukan baik dalam Hukum Perdata maupun dalam Hukum Pidana. Dalam Hukum Pidana, daluwarsa berarti kewenangan penegak hukum memproses hukum suatu dugaan tindak pidana menjadi hilang, karena lewatnya tenggang waktu tertentu. Di dalam kawasan Mahkamah Konstitusi pun, lembaga "daluwarsa" itu digunakan. Contohnya ketika Mahkamah Konstitusi menolak suatu gugatan judicial review karena dianggap sudah daluwarsa.
Menurut Prof MR A Pitlo (dalam bukunya: Bewijs en Verjaring naar her Netherlands Burgelijk Wetboek) landasan filsafat hukumnya, mengapa ada lembaga daluwarsa dalam hukum, baik Hukum Perdata maupun Hukum Pidana adalah antara lain: "Hukum pada hakikatnya bersifat menyesuaikan diri untuk menerima keadaan yang ada.
Setelah jangka waktu yang lama, hukum menyingkir terhadap suatu keadaan yang nyata, yang tidak dipersoalkan selama tenggang-waktu tertentu; tidak peduli apakah tidak dipersoalkannya karena tindak pidana tersebut belum diketahui hingga lewat waktu tertentu, ataupun karena tidak ada yang mengadukan dugaan terjadinya tindak pidana hingga lewatnya waktu tertentu.
Di dalam Hukum Pidana Indonesia, ketentuan tentang daluwarsa ditentukan dalam pasal 78 KUH Pidana yang bunyinya:
(1) Kewenangan memproses pidana hapus karena daluwarsa;
1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, daluwarsanya setelah enam tahun.
3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun , daluwarsanya setelah dua belas tahun.
4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, daluwarsanya setelah delapan belas tahun.
(2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan, usianya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang waktu untuk daluwarsa di atas, dikurangi menjadi sepertiga.
Pasal 78 KUH Pidana itu diperkuat oleh yurisprudensi (putusan HR 3 Februari 1936) yang inti putusannya: Wewenang memproses pidana adalah wewenang negara untuk bertindak terhadap pelaku secara pidana, tanpa peduli alat negara manakah yang melakukannya.
Begitu suatu tenggang waktu menurut undang-undang berlaku, maka daluwarsa menggugurkan wewenang untuk memproses hukum terhadap pelaku, baik tenggang waktu itu berlaku sebelum perkara dimulai ataupun selama berlangsungnya tenggang waktu daluwarsa berada dalam stadium, bahwa alat penegak hukum tidak dapat lagi melakukan proses hukum.
Kapan mulai terhitungnya tenggang waktu untuk daluwarsanya suatu tindak pidana? Menurut pasal 79 KUH Pidana, terhitung sejak tindak pidana itu dilakukan. Kecuali untuk tindak pidana pemalsuan mata uang, dan untuk tindak pidana yang secara tegas (tidak boleh dianalogikan) dalam pasal-pasal 328, 329, 330 dan 333, serta untuk pelanggaran pasal 556 KUH Pidana.
Dengan kata lain, kecuali ketiga jenis tindak pidana yang dikecualikan itu, maka semua tindak pidana, berlaku ketentuan daluwarsa Pasal 78 dan awal pasal 79 bahwa daluwarsa terhitung sejak tindak pidana itu dilakukan.
Contohnya, jika tindak pidana pembunuhan (pasal 338 kalau pembunuhan biasa dan pasal 340 kalau pembunuhan berencana, terhitung satu hari setelah pelaku membunuh, demikian juga contohnya; kalau tindak pidana pemalsuan surat, misalnya pemalsuan ijazah, maka terhitung sejak satu hari setelah ijazah palsu (yang ditentukan pasal 263 KUH Pidana) yang isinya:
(1)Setiap orang yang membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk menggunakannya atau menyuruh orang lain menggunakan surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika penggunaannya tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan ancaman pidana paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika penggunaan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Dengan demikian, jika tindak pidananya pemerkosaan, perhitungan daluwarsa dihitung sejak saat pemerkosaan (pasal 285 KUH Pidana) dilakukan pelaku; kalau mengenai tindak pidana pencurian (pasal 362 KUH Pidana), maka terhitung sejak pelaku melakukan pencurian itu.
Demikian juga untuk tindak pidana pemalsuan surat, termasuk ijazah tentunya (pasal 263 KUH Pidana), perhitungan daluwarsa terhitung sejak ijazah palsu itu mulai dibuat; bukan sejak ijazah palsu itu mulai digunakan.
Jadi contohnya dalam tindak pidana pemalsuan ijazah, ijazah palsunya dibuat pada tahun 1990, maka daluwarsa jatuh pada 1990 tambah 12 (dua belas tahun) menjadi 2002. Artinya sejak tahun 2002, kasus tersebut tidak berwenang lagi diproses oleh penegak hukum.
Setelah penyidik mengetahui bahwa suatu tindak pidana yang dilaporkan telah daluwarsa, maka tim penyidik; demi hukum, wajib menghentikan penyidikan dan menutup kasus tersebut.
Apa konsekuensinya jika setelah daluwarsa, penegak hukum tetap memproses perkara itu dan tidak segera menghentikannya? Konsekuensi pertama, berarti penegak hukumnya melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku; Konsekuensi kedua, penegak hukum dapat diadukan telah melakukan pelanggaran HAM tersangka, yang demi hukum, berhak diterapkannya ketentuan mengenai daluwarsa terhadap dirinya.
Ketentuan tentang daluwarsa ini memang jarang diketahui oleh masyarakat awam hukum maupun sebagian kalangan hukum, dan oleh karena itu menjadi kewajiban saya sebagai ilmuwan hukum untuk mensosialisasikannya kepada masyarakat luas dan kalangan penegak hukum.
Penegak hukum harus melaksanakan ketentuan perundang-undangan tanpa di bawah tekanan opini publik, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh James Fenimore Cooper: "It is besetting vice of democracies to substitute public opinion for law. This is the usual form in which masses of men exhibit their tyranny.
Artinya merupakan kepungan sifat buruk (euforia yang kebablasan) tentang demokrasi, untuk menggantikan hukum dengan opini publik (atau tekanan demo massa yang sifatnya politis). Ini adalah wujud yang umum, di mana orang menunjukkan tirani pemaksaan mereka. (**)
KADALUARSA MENURUT KUH PERDATA
BAGIAN 1
Lewat Waktu pada Umumnya
Lewat Waktu pada Umumnya
1946. Lewat waktu ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh
sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam
undang-undang.
1947. Seseorang tidak boleh melepaskan lewat waktu sebelum
tiba waktunya tetapi boleh melepaskan suatu lewat waktu yang telah
diperolehnya.
1948. Pelepasan lewat waktu dapat dilakukan secara tegas
atau secara diam-diam. Pelepasan secara diam-diam disimpulkan dari suatu
perbuatan yang menimbulkan dugaan bahwa seseorang tidak hendak menggunakan
suatu hak yang telah diperolehnya.
1949. Barangsiapa tidak diperbolehkan memindahtangankan
sesuatu, juga tidak boleh melepaskan lewat waktu diperolehnya.
1950. Hakim, karena jabatannya, tidak boleh mempergunakan
lewat waktu.
1951. Pada setiap tingkat pemeriksaan perkara, dapat
diajukan adanya lewat waktu, bahkan pada tingkat banding pun.
1952. Kreditur atau orang lain yang berkepentingan dapat
melawan pelepasan lewat waktu yang dilakukan oleh debitur yang secara curang
bermaksud mengurangi hak kreditur atau orang yang lain tersebut.
1953. Seseorang tidak dapat menggunakan lewat waktu untuk
memperoleh hak milik atas barang-barang yang tidak beredar dalam perdagangan.
1954. Pemerintah yang mewakili negara, Kepala Pemerintahan
Daerah yang bertindak dalam jabatannya, dan lembaga-lembaga umum, tunduk pada
lewat waktu sama seperti orang perseorangan, dan dapat menggunakannya dengan
cara yang sama.
1955. Untuk memperoleh hak milik atas sesuatu dengan upaya
lewat waktu, seseorang harus bertindak sebagai pemilik sesuai itu dengan
menguasainya secara terus-menerus dan tidak terputus- putus, secara terbuka di
hadapan umum dan secara tegas.
1956. Perbuatan memaksa, perbuatan sewenang-wenang atau
perbuatan membiarkan begitu saja, tidaklah menimbulkan suatu besit yang dapat
membuahkan lewat waktu.
1957. Seseorang yang sekarang menguasai suatu barang, yang
membuktikan bahwa ia menguasai sejak dulu, dianggap juga telah menguasainya
selama selang waktu antara dulu dan sekarang, tanpa mengurangi pembuktian hal
yang sebaliknya.
1958. Untuk memenuhi waktu yang diperlukan untuk lewat
waktu, dapatlah seseorang menambah waktu selama ia berkuasa dengan waktu selama
berkuasanya orang yang lebih dahulu berkuasa dari siapa ia telah memperoleh
barangnya, tak peduli bagaimana ia menggantikan orang itu, baik dengan alas hak
umum maupun dengan alas hak khusus, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban.
1959. Orang yang menguasai suatu barang untuk orang lain,
begitu pula ahli warisnya, sekali-kali tidak dapat memperoleh sesuatu dengan
jalan lewat waktu, berapa lama pun waktu yang telah lewat.
Demikian
pula seorang penyewa, seorang penyimpan, seorang penikmat hasil, dan semua
orang lain yang memegang suatu barang berdasarkan suatu persetujuan dengan
pemiliknya, tak dapat memperoleh barang itu
1960. Mereka yang disebutkan dalam pasal yang lalu dapat
memperoleh hak milik dengan jalan lewat waktu, jika alas hak besit mereka telah
berganti, baik karena suatu sebab yang berasal dari pihak ketiga, maupun karena
pembantahan yang mereka lakukan terhadap hak milik.
1961. Mereka yang telah menerima suatu barang, yang
diserahkan dengan alas hak yang dapat memindahkan hak milik oleh penyewa,
penyimpan dan orang-orang lain yang menguasai barang itu berdasarkan suatu
persetujuan dengan pemiliknya, dapat memperoleh barang tersebut dengan jalan
lewat waktu.
1962. Lewat waktu dihitung menurut hari, bukan menurut jam.
Lewat waktu
itu diperoleh bila hari terakhir dari jangka waktu yang diperlukan telah lewat.
BAGIAN 2
Lewat Waktu Sebagai Suatu Sarana Hukum untuk Memperoleh Sesuatu
Lewat Waktu Sebagai Suatu Sarana Hukum untuk Memperoleh Sesuatu
1963. Seseorang yang dengan itikad baik memperoleh suatu
barang tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus
dibayar atas tunjuk dengan suatu besit selama dua puluh tahun, memperoleh hak
milik atasnya dengan jalan lewat waktu.
Seseorang
yang dengan itikad baik menguasai sesuatu selama tiga puluh tahun memperoleh
hak milik tanpa dapat dipaksa untuk menunjukkan alas haknya.
1964. Suatu tanda alas hak yang batal karena suatu cacat
dalam bentuknya tidak dapat digunakan sebagai dasar suatu lewat waktu selama
dua puluh tahun.
1965. Itikad baik harus selalu dianggap ada, dan
barangsiapa mengajukan tuntutan atas dasar itikad buruk, wajib membuktikannya.
1966. Cukuplah bila pada waktu memperoleh sesuatu itu
itikad baik itu sudah ada.
BAGIAN 3
Lewat Waktu Sebagai Suatu Alasan untuk Dibebaskan dari Suatu Kewajiban
Lewat Waktu Sebagai Suatu Alasan untuk Dibebaskan dari Suatu Kewajiban
1967. Semua tuntuan hukum, baik yang bersifat kebendaan
maupun yang bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu
tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak
usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu
tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk.
1968. Tuntutan para ahli dan pengajar dalam bidang
kebudayaan dan ilmu pengetahuan, untuk pelajaran yang mereka berikan dalam
tiap-tiap bulan atau waktu yang lebih pendek;
tuntutan
para penguasa rumah penginapan dan rumah makan, untuk pemberian penginapan serta
makanan;
tuntutan
para buruh yang upahnya harus dibayar dalam bentuk uang tiap-tiap kali setelah
lewat waktu yang kurang dari satu triwulan, untuk mendapat pembayaran upah
mereka serta jumlah kenaikan upah itu menurut Pasal 1602q;
semua
tuntutan ini lewat waktu dengan lewatnya waktu satu tahun.
1969. Tuntutan para dokter dan ahli obat-obatan, untuk
kunjungan dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawatan dan pemberian
obat-obatan;
tuntutan
para juru sita, untuk upah mereka dalam memberitahukan akta-akta dan
melaksanakan tugas yang diperintahkan kepada mereka;
tuntutan
para pengelola sekolah berasrama, untuk uang makan dan pengajaran bagi
muridnya, begitu pula tuntutan pengajar-pengajar lainnya untuk pengajaran yang
mereka berikan;
tuntutan
pada buruh, kecuali mereka yang dimaksudkan dalam Pasal 1968, untuk pembayaran
upah mereka serta jumlah kenaikan upah itu menurut Pasal 1602 q;
semuanya
lewat waktu dengan lewatnya waktu dua tahun.
1970. Tuntutan para advokat untuk pembayaran jasa mereka dan
tuntutan para pengacara untuk pembayaran persekot dan upah mereka, hapus karena
lewat waktu dengan lewatnya waktu dengan lewatnya waktu dua tahun, terhitung
sejak hari diputusnya perkara, hari tercapainya perdamaian antara pihak-pihak
yang berperkara, atau hari dicabutnya kuasa pengacara itu.
Dalam hal
perkara yang tidak selesai, tak dapatlah mereka menuntut pembayaran persekot
dan jasa yang telah ditunggak lebih dari sepuluh tahun.
Tuntutan
para Notaris untuk pembayaran persekot dan upah mereka, lewat waktu juga dengan
lewatnya waktu dua tahun, terhitung sejak hari dibuatnya akta yang
bersangkutan.
1971. Tuntutan para tukang kayu, tukang batu dan tukang
lain untuk pembayaran bahan-bahan yang mereka berikan dan upah-upah mereka;
tuntutan
para pengusaha toko untuk pembayaran barang-barang yang telah mereka serahkan,
sekedar tuntutan ini mengenai pekerjaan dan penyerahan yang tidak mengenai
pekerjaan tetap debitur;
semua itu
lewat waktu dengan lewatnya waktu lima tahun.
1972. Lewat waktu yang disebutkan dalam keempat pasal yang
lalu terjadi, meskipun seseorang terus melakukan penyerahan, memberikan jasa
dan menjalankan pekerjaannya.
Lewat waktu
itu hanya berhenti berjalan, bila dibuat suatu pengakuan utang tertulis, atau
bila lewat waktu dicegah menurut Pasal 1979 dan 1980.
1973. Namun demikian, orang yang kepadanya diajukan lewat
waktu yang disebut dalam Pasal 1968, 1969, 1970 dan 1971, dapat menuntut supaya
mereka yang menggunakan lewat waktu itu bersumpah bahwa utang mereka
benar-benar telah dibayar.
Kepada para
janda dan para ahli waris, atau jika mereka yang disebut terakhir ini belum
dewasa, kepada para wali mereka, dapat diperintahkan sumpah untuk menerangkan
bahwa mereka tidak tahu tentang adanya utang yang demikian.
1974. Para Hakim dan Pengacara tidak bertanggung jawab atas
penyerahan surat-surat setelah lewat waktu lima tahun sesudah pemutusan
perkara.
Para juru
sita dibebaskan dari pertanggungjawaban tentang hak itu setelah lewat waktu dua
tahun, terhitung sejak pelaksanaan kuasa atau pemberitahuan akta-akta ditugaskan
kepada mereka.
1975. Bunga atas bunga abadi atau bunga cagak hidup;
bunga atas
tunjangan tahunan untuk pemeliharaan;
harga sewa
rumah dan tanah;
bunga atas
utang pinjaman, dan pada umumnya segala sesuatu yang harus dibayar tiap tahun
atau tiap waktu tertentu yang lebih pendek;
semua itu
lewat waktu setelah lewatnya waktu lima tahun.
1976. Lewat waktu yang diatur dalam Pasal 1968 dan
seterusnya dalam bab ini, berlaku bagi anak-anak yang belum dewasa dan
orang-orang yang berada di bawah pengampuan; hal ini tidak mengurangi tuntutan
mereka akan ganti rugi terhadap para ahli waris atau para pengampu mereka.
1977. Barangsiapa menguasai barang bergerak yang tidak
berupa bunga atau piutang yang tidak harus di bayar atas tunjuk, dianggap
sebagai pemiliknya sepenuhnya.
Walaupun
demikian, barangsiapa kehilangan atau kecurian suatu barang, dalam jangka waktu
tiga tahun, terhitung sejak hari barang itu hilang atau dicuri itu dikembalikan
pemegangnya, tanpa mengurangi hak orang yang disebut terakhir ini untuk minta
ganti rugi kepada orang yang menyerahkan barang itu kepadanya, pula tanpa
mengurangi ketentuan Pasal 582.
BAGIAN 4
Sebab-sebab yang Mencegah Lewat Waktu
Sebab-sebab yang Mencegah Lewat Waktu
1978. Lewat waktu dicegah bila pemanfaatan barang itu
dirampas selama lebih dari satu tahun dari tangan orang yang menguasainya, baik
oleh pemiliknya semula maupun oleh pihak ketiga.
1979. Lewat waktu itu dicegah pula oleh suatu peringatan,
suatu gugatan, dan tiap perbuatan-perbuatan berupa tuntutan hukum,
masing-masing dengan pemberitahuan dalam bentuk yang telah ditentukan,
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dalam hal itu atas nama pihak yang
berhak, dan disampaikan kepada orang yang berhak dicegah memperoleh lewat waktu
itu.
1980. Gugatan di muka Hakim yang tidak berkuasa, juga
mencegah lewat waktu.
1981. Namun lewat waktu tidak dicegah, bila peringatan atau
gugatan dicabut atau dinyatakan batal, entah karena penggugat menggugurkan
tuntutannya, entah karena tuntutan itu dinyatakan gugur akibat lewat waktunya.
1982. Pengakuan akan hak seseorang yang terhadapnya lewat
waktu berjalan, yang diberikan dengan kata-kata atau dengan perbuatan oleh
orang yang menguasainya atau dibitur, juga mencegah lewat waktu.
1983. Pemberitahuan menurut Pasal 1979 kepada salah seorang
debitur dalam perikatan tanggung-menanggung, atau pengakuan orang tersebut,
mencegah lewat waktu terhadap para debitur lain, bahkan pula terhadap para ahli
waris mereka.
Pemberitahuan
kepada ahli waris salah seorang debitur dalam perikatan tanggung- menanggung,
atau pengakuan ahli waris tersebut, tidaklah mencegah lewat waktu terhadap para
ahli waris debitur lainnya, bahkan juga dalam hal suatu utang hipotek, kecuali
untuk bagian ahli waris tersebut.
Dengan
pemberitahuan atau pengakuan itu maka lewat waktu terhadap para debitur lain
tidak dicegah lebih lanjut, kecuali untuk bagian ahli waris tersebut.
Untuk
mencegah lewat waktu seluruh utang terhadap para debitur lainnya, perlu ada
sesuatu pemberitahuan kepada semua ahli waris atau suatu pengakuan dari semua
ahli waris itu.
1984. Pemberitahuan yang dilakukan kepada debitur utama
atau pengakuan yang diberikan oleh debitur utama mencegah lewat waktu terhadap
penanggung utang.
1985. Pencegahan lewat waktu yang dilakukan oleh salah
seorang kreditur dalam suatu perikatan tanggung-menanggung berlaku bagi semua
kreditur lainnya.
BAGIAN 5
Sebab-sebab yang Menangguhkan Lewat Waktu
Sebab-sebab yang Menangguhkan Lewat Waktu
1986. Lewat waktu berlaku terhadap siapa saja, kecuali terhadap
mereka yang dikecualikan oleh undang-undang.
1987. Lewat
waktu tidak dapat mulai berlaku atau berlangsung terhadap anak-anak yang belum
dewasa dan orang-orang yang ada di bawah pengampuan, kecuali dalam hal-hal yang
ditentukan undang-undang.
1988. Lewat waktu tidak dapat terjadi di antara suami
istri.
1989. Lewat waktu tidak berlaku terhadap seorang istri
selama ia berada dalam status perkawinan:
1. bila
tuntutan istri tidak dapat diteruskan, kecuali setelah ia memilih akan menerima
persatuan atau akan melepaskannya
2. bila
suami, karena menjual barang milik pribadi istri tanpa persetujuannya, harus
menanggung penjualan itu, dan tuntutan istri harus ditujukan kepada suami.
1990. Lewat waktu tidak berjalan:
terhadap
piutang yang bersyarat, selama syarat ini tidak dipenuhi;
dalam hal
suatu perkara untuk menanggung suatu penjualan, selama belum ada putusan untuk
menyerahkan barang yang bersangkutan kepada orang lain;
terhadap
suatu piutang yang baru dapat ditagih pada hari yang telah ditentukan, selama
hari itu belum tiba.
1991. Terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu
warisan dengan hak istimewa untuk membuat pendaftaran harta peninggalan, tidak
dapat dikenakan lewat waktu mengenai piutang-piutangnya terhadap harta
peninggalan.
Lewat waktu berlaku
terhadap suatu warisan yang tak terurus, meskipun tidak ada pengampu warisan
itu.
1992. Lewat waktu itu berlaku selama ahli waris masih
mengadakan perundingan mengenai warisannya.
KETENTUAN PENUTUP
1993. Lewat waktu yang sudah mulai berjalan sebelum Kitab
Undang-undang Hukum Perdata ini diundangkan, harus diatur menurut undang-undang
yang pada saat itu berlaku di Indonesia.
Namun lewat
waktu demikian yang menurut perundang-undangan lama masih membutuhkan waktu
selama lebih dari tiga puluh tahun, terhitung sejak Kitab Undang-undang Hukum
Perdata ini diundangkan, akan terpenuhi dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun.
Komentar
Posting Komentar