KETENTUAN WARIS SECARA PERDATA
KETENTUAN WARIS SECARA PERDATA
Definisi
hukum waris adalah :
= hukum
yang mengatur perpindahan hak atas harta dari seseorang yang meninggal dunia
kepada seseorang atau beberapa orang.
- Harta yang
dimaksud dapat berupa benda bergerak (seperti : mobil, perhiasan) maupun tidak
bergerak (seperti : tanah, bangunan)
- Menurut Pasal
830 KUHPerdata, pewarisan terjadi karena kematian. Artinya bila seseorang
telah meninggal dunia, barulah terjadi pewarisan.
- Sistem hukum yang berlaku di Indonesia merupakan peninggalan penjajahan Belanda, di mana dalam Indische Staatsregeling Pasal 131 I.S. jo. Pasal 163 I.S. terdapat tiga golongan penduduk, yaitu :
- Golongan Timur Asing Tionghoa dan non-Tionghoa (Arab, Pakistan, India, dll.)
- Golongan Bumiputera
- Golongan Eropa
Pada saat
seseorang meninggal dunia, maka ia akan meninggalkan warisan. Untuk menentukan
kewarisan, harus dilihat subjek hukum Pewaris. Bisa saja ia
merupakan WNI keturunan Tionghoa, Bumiputera Muslim, Bumiputera Nasrani, atau
Timur Tengah.
- Dasar pembuatan surat keterangan ahli waris tidak diatur dalam UU Jabatan Notaris, melainkan dalam surat Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Direktorat Jenderal Agraria, Direktur Pendaftaran Tanah tanggal 20 Desember 1969 Nomor : 12/63/12/69 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 111 ayat 1 c butir 4.
- Mengapa dasar pembuatan surat keterangan ahli waris tidak diatur dalam UU Jabatan Notaris?
Hal ini berawal pada saat Peraturan Jabatan Notaris Staatsblad 1860 Nomor 3 (singkatnya : "PJN") diubah menjadi UU Jabatan Notaris. Dalam pembahasan RUU Jabatan Notaris, sebenarnya terdapat wacana akan dimasukkannya wewenang Notaris untuk membuat SKHM tersebut, namun tidak jadi karena : (1) Indonesia menganut asas konkordansi, yaitu peraturan yang berlaku di negeri Belanda akan berlaku pula di wilayah jajahannya. Sedangkan di dalam PJN tersebut tidak dibahas, sehingga tidak perlu diatur dalam UUJN. (2) Di sisi lain, dahulu dikenal adanya Buku Besar Piutang Negara Kepada Pemerintah (di bawah pengawasan Departemen Dalam Negeri) -- jika ada Pewaris meninggal dunia, Notaris dapat membuat SKHM. Hal ini menunjukkan Notaris dapat memberikan hak mewaris pada berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia. Hal ini ditentang oleh pembuat undang-undang. Kemudian pembuat undang-undang mengambil jalan tengahnya, yaitu dengan menentukan kewenangan Notaris dilihat dari subjek hukumnya saja, dan karena buku tersebut berada di bawah pengawasan Depdagri (belum ada BPN), maka kewenangan Notaris dalam membuat SKHM juga terikat pada peraturan Depdagri, tidak dalam UU JN. Di dalam PMNA/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 111 ayat 1 c butir 4 tersebut, dibagi wewenang Notaris berdasarkan subjek hukumnya.
Selain itu hukum adat sifatnya kompleks; meskipun sudah ada hukum nasional. Dikaitkan dengan membuat surat keterangan waris, menjadi alasan mengapa kewenangan Notaris dalam membuat surat keterangan waris tidak diatur dalam UUJN. Karena jika diatur demikian, maka Notaris harus menguasai aneka hukum waris yang berlaku di Indonesia, mengingat di Indonesia ada berbagai macam hukum adat.
LANGKAH-LANGKAH NOTARIS DALAM PEMBUATAN SKHM
- Dalam praktek, bila ada seseorang yang menghadap kepada Notaris untuk minta dibuatkan Surat Keterangan Hak Mewaris (SKHM), maka langkah-langkah yang harus diperhatikan adalah :
a. Memperhatikan golongan orang tersebut (dengan cara melihat akta kelahirannya)
- Dasar pembuatan surat keterangan ahli waris tidak diatur dalam UU Jabatan Notaris, melainkan dalam surat Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Direktorat Jenderal Agraria, Direktur Pendaftaran Tanah tanggal 20 Desember 1969 Nomor : 12/63/12/69 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 111 ayat 1 c butir 4.
- Mengapa dasar pembuatan surat keterangan ahli waris tidak diatur dalam UU Jabatan Notaris?
Hal ini berawal pada saat Peraturan Jabatan Notaris Staatsblad 1860 Nomor 3 (singkatnya : "PJN") diubah menjadi UU Jabatan Notaris. Dalam pembahasan RUU Jabatan Notaris, sebenarnya terdapat wacana akan dimasukkannya wewenang Notaris untuk membuat SKHM tersebut, namun tidak jadi karena : (1) Indonesia menganut asas konkordansi, yaitu peraturan yang berlaku di negeri Belanda akan berlaku pula di wilayah jajahannya. Sedangkan di dalam PJN tersebut tidak dibahas, sehingga tidak perlu diatur dalam UUJN. (2) Di sisi lain, dahulu dikenal adanya Buku Besar Piutang Negara Kepada Pemerintah (di bawah pengawasan Departemen Dalam Negeri) -- jika ada Pewaris meninggal dunia, Notaris dapat membuat SKHM. Hal ini menunjukkan Notaris dapat memberikan hak mewaris pada berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia. Hal ini ditentang oleh pembuat undang-undang. Kemudian pembuat undang-undang mengambil jalan tengahnya, yaitu dengan menentukan kewenangan Notaris dilihat dari subjek hukumnya saja, dan karena buku tersebut berada di bawah pengawasan Depdagri (belum ada BPN), maka kewenangan Notaris dalam membuat SKHM juga terikat pada peraturan Depdagri, tidak dalam UU JN. Di dalam PMNA/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 111 ayat 1 c butir 4 tersebut, dibagi wewenang Notaris berdasarkan subjek hukumnya.
Selain itu hukum adat sifatnya kompleks; meskipun sudah ada hukum nasional. Dikaitkan dengan membuat surat keterangan waris, menjadi alasan mengapa kewenangan Notaris dalam membuat surat keterangan waris tidak diatur dalam UUJN. Karena jika diatur demikian, maka Notaris harus menguasai aneka hukum waris yang berlaku di Indonesia, mengingat di Indonesia ada berbagai macam hukum adat.
LANGKAH-LANGKAH NOTARIS DALAM PEMBUATAN SKHM
- Dalam praktek, bila ada seseorang yang menghadap kepada Notaris untuk minta dibuatkan Surat Keterangan Hak Mewaris (SKHM), maka langkah-langkah yang harus diperhatikan adalah :
a. Memperhatikan golongan orang tersebut (dengan cara melihat akta kelahirannya)
- Stbl. 1917 No. 130 jo. 1919 No. 81 (untuk golongan Tionghoa) --> Golongan ini yang menjadi subjek hukum pembuatan SKHM Notaris, jadi camkan dan ingat baik-baik nomor Stbl-nya!
- Stbl. 1920 No. 751 jo. 1927 No. 564 (untuk golongan Bumiputera Muslim) --> dibuat oleh Lurah/Camat
- Stbl. 1933 No. 75 jo. 1936 No. 607 (untuk golongan Bumiputera Nasrani) --> dibuat oleh Lurah/Camat
Notaris
dapat membuat SKHM untuk pencairan deposito pada bank, sedangkan dalam hal
balik nama sertifikat yang berwenang adalah BPN.
b. Minta
surat/akta kematian kepada Kantor Catatan Sipil. Apabila Pewaris meninggal
di luar negeri (seperti Singapura atau Penang), maka surat keterangan
kematian (Certificate of Death) yang dikeluarkan oleh rumah sakit
setempat sudah cukup.
c. Minta
akta perkawinan Pewaris dengan istrinya yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan
Sipil. Menurut Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya". Dengan demikian pencatatan di Kantor Catatan Sipil
mutlak dilakukan agar perkawinan tersebut menjadi sah. Pada
masyarakat di beberapa daerah seperti Singkawang, biasanya mereka hanya kawin
secara agama di hadapan pejabat (di gereja ataupun kelenteng) dan tidak
memiliki akta perkawinan yang dicatatkan secara resmi di Kantor Catatan Sipil;
dengan demikian mereka tidak dianggap sebagai suami istri sehingga tidak dapat
saling mewaris.
d. Minta
surat keterangan ganti nama apabila Pewaris telah mengganti nama (yang
dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, seksi Pusat Wasiat)
e. Minta
akta lahir anak-anaknya (bila ada). Biasanya setelah tahun 1980-an,
anak-anak keturunan Tionghoa telah memiliki nama Indonesia.
f. Mengirim
surat kepada Kementerian Hukum dan HAM seksi pusat wasiat untuk menanyakan
apakah almarhum meninggalkan surat wasiat. Dalam waktu empat minggu akan
dijawab (karena setiap bulan sebelum tanggal 5 setiap Notaris akan melaporkan
kepada Pusat Wasiat apakah ia membuat surat wasiat atau tidak). Dalam hal
Notaris lalai untuk melaporkan, maka Notaris yang bersangkutan harus segera
mengirimkan kepada Menhukham dalam bentuk susulan.
[ Indonesia
menandatangani Konvensi Internasional Hukum Perdata, di mana untuk wasiat atas
benda tetap di luar negeri, wajib dibuat di luar negeri, sedangkan untuk warga
negara asing yang mempunyai aset di Indonesia, wasiatnya harus dibuat di
Indonesia. Seorang Notaris yang membuatkan surat wasiat untuk warga negara
asing, wajib melaporkan wasiat tersebut pada kedutaan besar orang asing
tersebut]
Setelah
semua persyaratan ini dipenuhi, Notaris membuat akta notariil dengan judul "PERNYATAAN".
Isinya adalah : ahli waris (boleh semua atau salah satu saja) yang menyatakan
bahwa : mereka adalah seluruh ahli waris dari almarhum Tuan X, minta dibuatkan
Surat Keterangan Hak Mewaris. Setelah itu Notaris akan membuat Surat
Keterangan Hak Mewaris di bawah tangan, yang menerangkan bahwa ahli
waris Tuan X adalah A, B, C, D, E, dan sebagainya.
MACAM-MACAM AHLI WARIS
Dalam hukum
waris dikenal ahli waris dalam garis lurus, yaitu urutan derajat antara
orang-orang yang satu adalah keturunan dari yang lain. Garis lurus dibagi
menjadi :
- Garis lurus ke atas : hubungan seseorang dengan ayah dan ibunya serta nenek moyangnya.
- Garis lurus ke bawah : hubungan seseorang dengan keturunannya. Menurut istilah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ada 11 (sebelas) sebutan untuk garis lurus ke bawah secara berurutan, yaitu : (1) anak, (2) cucu, (3) buyut), (4) canggah, (5) wareng, (6) udeg-udeg, (7) gantung siwur, (8) goprak sento, (9) kandang bubrah, (10) debog bosok, (11) galih asem,
Ahli waris
dalam garis samping : urutan
derajat antara orang-orang yang satu bukan dari keturunan yang lain, tetapi
orang-orang itu mempunyai nenek moyang yang sama.
Hubungan
semenda : hubungan
yang terjadi karena perkawinan antara suami/istri dengan keluarga sedarah dari
suami/istri.
Catatan :
Notaris dilarang membuat akta bila Penghadap masih mempunyai hubungan sampai
derajat ketiga dan hubungan semenda.
PERJANJIAN KAWIN PISAH HARTA
- Diatur
dalam Pasal 29 UU No. 1/1974 jo. PP No. 9/1975 yang mulai berlaku pada tanggal
1 Oktober 1975.
- Syaratnya :
- dibuat secara notariil
- harus dibuat sebelum pasangan suami-istri melakukan pencatatan nikah (baik di Kantor Catatan Sipil maupun Kantor Urusan Agama)
- wajib dicatatkan (baik di Kantor Catatan Sipil maupun Kantor Urusan Agama)
- Perjanjian
kawin pisah harta tidak boleh dibuat setelah perkawinan dilangsungkan, karena
dapat merugikan pihak ketiga.
Sebagai
contoh :
Pasangan
suami istri menikah pada bulan Oktober 2010 dengan tidak membuat perjanjian
pisah harta, sehingga terjadi percampuran harta (Pasal 119 KUHPerdata). Dengan
demikian untuk tindakan hukum dari masing-masing pasangan suami-istri tersebut
harus mendapat persetujuan dari kawan nikahnya. Apabila ada sertifikat atas
nama suami yang hendak dialihkan (dijual) atau dijaminkan, maka persetujuan istri
mutlak diperlukan. Persetujuan tersebut dapat dilakukan dengan cara istri
memberikan persetujuan secara tertulis, baik notariil maupun di bawah tangan
yang dilegalisasi Notaris.
Apabila pada
tahun 2013 pasangan suami istri ini minta dibuatkan akta perjanjian pisah harta
yang intinya dengan pisah harta, masing-masing pihak, baik suami atau istri,
berwenang untuk melakukan kegiatan hukum seorang diri, maka akan timbul masalah
dengan akta-akta yang dibuat mereka sebelum tahun 2013.
Dalam hal
Notaris hendak membantu klien untuk mengikat perjanjian, maka harus
ditanyakan/diketahui dahulu mengenai :
- Status perkawinan
- Jika sudah menikah, ditanyakan apakah pernah membuat perjanjian kawin atau tidak. Hal ini terkait erat dengan Pasal 36 UU Perkawinan :
- ayat 1 : harta bersama suami-istri (harta yang diperoleh setelah perkawinan, atau lebih dikenal sebagai harta gono-gini), sehingga diperlukan persetujuan kawan nikah dalam bentuk tertulis (notariil/di bawah tangan dengan legalisasi Notaris)
- ayat 2 : harta bawaan (harta yang dimiliki sebelum perkawinan dilangsungkan; boleh dialihkan tanpa persetujuan kawan nikah)
- Menurut
ketentuan hukum waris yang berlaku bagi golongan Tionghoa, ahli waris yang
berbeda agama, baik dengan Pewaris maupun saudara kandung, tetap sah sebagai
ahli waris. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang berlaku bagi Muslim, di mana
ahli waris yang bukan Muslim tidak berhak mewaris dari Pewaris beragama
Islam.
Contoh
: A meninggal dunia, meninggalkan 5 orang anak dan masing-masing anak
berbeda agama. Ada yang beragama Buddha, Hindu, Kristen, Muslim, dan Khonghucu.
Kelima-limanya sah sebagai ahli waris.
- Sesuai
dengan ketentuan Pasal 119 KUHPerdata, suami-istri yang menikah sesuai
ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan, apabila mereka menikah dengan tidak membuat
perjanjian kawin pisah harta, maka berlaku persatuan harta dalam
perkawinan. Apabila salah seorang dari suami atau istri meninggal, maka dari
persatuan harta setengah bagian menjadi hak janda/dudanya, sedangkan sisa
(setengah) dari percampuran harta merupakan harta peninggalan almarhum
yang akan dibagikan kepada janda/dudanya bersama anak-anaknya. Sedangkan bila
suami-istri menikah dengan perjanjian pisah harta dan kemudian salah seorang
dari mereka meninggal dunia, maka harta peninggalan Pewaris hanya akan dibagi
kepada anak-anaknya saja.
Contoh soal
:
A meninggal
dunia, meninggalkan istri B dan dua anak kandung (C dan D). A dan B menikah
tanpa membuat perjanjian kawin (terjadi percampuran harta).
Jawaban
:
B = 1/2,
sehingga sisa Harta Peninggalan = 1- 1/2 = 1/2
Pembagian
harta peninggalan :
B = 1/3 x 1/2
= 1/6
C = 1/3 x
1/2 = 1/6
D = 1/3 x
1/2 = 1/6
Jadi : B =
1/2 + 1/6 = 4/6, C = 1/6, D = 1/6
Bila menikah
dengan perjanjian pisah harta, Pewaris adalah C dan D (masing-masing 1/2)
- Ada tiga
macam perjanjian kawin pisah harta, yaitu :
- Perjanjian kawin untung-rugi
- Perjanjian kawin hasil dan pendapatan
- Perjanjian sama sekali terpisah, baik harta bawaan maupun harta yang diperoleh selama perkawinan
- Yang lazim
dibuat dalam perjanjian pisah harta yaitu perjanjian sama sekali terpisah, baik
harta bawaan maupun harta yang diperoleh selama perkawinan
- Notaris
wajib hati-hati dan membaca secara cermat bila menerima akta perjanjian kawin,
mengingat ada tiga macam perjanjian kawin pisah harta, karena bisa jadi yang
dipisahkan hanyalah harta bawaan dan tidak termasuk dengan gono-gini (alias
terjadi percampuran harta)
AKTA KESEPAKATAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA (GONO-GINI)
- Akta cerai
hanya dikeluarkan oleh 2 (dua) lembaga, yaitu Kantor Catatan Sipil dan Kantor
Urusan Agama (untuk golongan yang tunduk pada hukum Islam)
- Penetapan
cerai yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri harus segera didaftarkan kepada
Kantor Catatan Sipil, karena bila tidak didaftarkan dalam jangka waktu 3 bulan
maka penetapan tersebut akan gugur.
- Penetapan
cerai yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri hanya memutuskan hubungan
perkawinannya saja, tetapi tidak mengatur mengenai pembagian hartanya. Di sini
peranan Notaris untuk menghitung pembagian harta. Notaris wajib untuk membuat
akta kesepakatan pembagian harta bersama (gono-gini), isinya adalah sebagai
berikut :
Penghadap A
(mantan suami, sebagai pihak pertama) dan Penghadap B (mantan istri, sebagai
pihak kedua).
Premis :
- Bahwa A
dan B adalah pasangan suami istri yang telah melakukan perkawinan di Kantor
Catatan Sipil (atau Kantor Urusan Agama), sesuai dengan akta perkawinan
tertanggal ... Nomor ... (atau akta nikah tertanggal ... Nomor ...)
- Bahwa para
Penghadap telah bercerai sesuai dengan akta perceraian yang dikeluarkan oleh
Kantor Catatan Sipil Nomor .. tertanggal ... (atau Pengadilan Agama Nomor ...
tertanggal ...)
- Bahwa para
Penghadap tersebut hendak membagi harta yang mereka miliki selama perkawinan,
baik bergerak maupun tidak bergerak sebagai berikut :
Pasal 1
-
Barang-barang tidak bergerak maupun barang bergerak milik Pihak Pertama berupa
:
- Sertifikat Hak Milik Nomor : .../..., terletak di ...
- Mobil ... Nomor : ...
- Apartemen ..., terletak di ...
- Deposito sejumlah ... di Bank ...
semuanya
diserahkan dan menjadi hak Pihak Pertama.
Pasal 2
-
Barang-barang tidak bergerak maupun barang bergerak milik Pihak Kedua berupa :
- Sertifikat Hak Milik Nomor : .../..., terletak di ...
- Mobil ... Nomor : ...
- Apartemen ..., terletak di ...
- Deposito sejumlah ... di Bank ...
semuanya
diserahkan dan menjadi hak Pihak Kedua.
Pasal 3
- Bahwa Pihak
Pertama dengan ini memberikan kuasa kepada Pihak Kedua, demikian pula Pihak
Kedua memberikan kuasa kepada Pihak Pertama, agar pihak Penerima Kuasa dapat
melakukan perbuatan hukum, baik menjual maupun mengagunkan milik masing-masing
pihak.
Pasal 4
- Bahwa
kuasa yang disebut dalam akta ini tidak akan berakhir karena Pasal 1813 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
- Suatu
kuasa yang merupakan bagian dari perjanjian induk, dapat mengesampingkan
ketentuan dalam Pasal 1813 KUHPerdata.
Misalnya
dalam hal jual beli aset. Dengan adanya kesepakatan pembagian harta bersama,
maka salah satu pihak dapat menjual asetnya. Dalam hal jual beli dibayar lunas,
dapat dibuatkan perjanjian pengikatan jual beli bila belum memenuhi persyaratan
jual beli (seperti : sertifikat belum dibalik nama atau masih diagunkan).
Notaris (PPAT) hanya boleh membuatkan akta jual beli hanya setelah
persyaratannya telah dipenuhi. Perjanjian pengikatan jual beli dibuat untuk
melindungi pembeli dari perubahan harga objek jual beli.
AHLI WARIS
YANG MENINGGAL BERSAMAAN TIDAK SALING MEWARIS
- Pasal 831
KUHPerdata : ahli waris yang meninggal secara bersamaan, dianggap tidak saling
mewaris. Ketentuan ini berlaku untuk ahli waris menurut undang-undang.
- Pasal 894
KUHPerdata : ahli waris yang meninggal secara bersamaan dan menerima wasiat,
dianggap tidak saling mewaris.
- Seseorang
diangkat menjadi ahli waris dapat karena kedudukan sendiri maupun melalui
wasiat (testamen).
- Seseorang
dapat membuat surat wasiat dengan menghadap kepada Notaris, menyampaikan
kehendaknya, dan kemudian Notaris membuatkan aktanya. Bisa pula Pewaris membuat
surat wasiat yang ditulis tangannya sendiri kemudian ditandatangani, dimasukkan
ke dalam amplop tertutup, dititipkan kepada Notaris untuk disimpan oleh Balai
Harta Peninggalan (dikenal sebagai surat wasiat rahasia atau superscriptie).
- Namun bila
ada klien yang menitipkan surat wasiat rahasia, sebaiknya Notaris tersebut
menolaknya, karena rentan menimbulkan masalah di kemudian hari dan belum tentu
wasiat tersebut sesuai dengan undang-undang (contoh : terkait dengan legitime
portie alias bagian dari ahli waris yang tidak dapat dikesampingkan).
Selain itu juga terkait dengan subjek hukum; apabila Penghadap merupakan
Bumiputera Muslim (bukan golongan Tionghoa), maka hal ini juga menjadi masalah
mengingat baginya berlaku hukum waris Islam (faraid).
- Notaris juga harus memahami segala
aspek hukum dan perundang-undangan, termasuk pula hukum waris Islam. Sebagai
contoh, dalam hukum waris Islam diatur Q.S. IV : 12, apabila seorang pria
meninggal dunia dan masih meninggalkan orang tua, maka bagian orang tua
ditentukan masing-masing 1/6. Dikaitkan dengan surat keterangan waris, tentu
tidak boleh diserahkan kepada lurah/camat saja, karena belum tentu ahli di
bidangnya. Selain itu dalam hukum Islam tidak mengenal adopsi (Q.S. 33 : 4-5),
sehingga Notaris tidak boleh membuat akta adopsi untuk Bumiputera Muslim. Pasal
209 KHI juga menentukan bahwa harta yang boleh diwasiatkan maksimal hanya
sebesar 1/3.
TIDAK PATUT
MEWARIS (onwaardigheid)
- Pasal 838 KUHPerdata mengatur ahli
waris yang tidak patut mewarisi warisan dari Pewaris (onwaardigheid),
oleh sebab-sebab sebagai berikut :
- Yang bersangkutan dihukum karena membunuh atau mencoba membunuh Pewaris.
- Yang bersangkutan melakukan fitnah kepada Pewaris, bahwa Pewaris pernah melakukan perbuatan pidana dengan ancaman penjara 5 tahun atau lebih. Misalnya Pasal 263 atau 264 KUHP, di mana ahli waris memfitnah Pewaris pernah melakukan perbuatan pidana pembuatan akta (deposito atau sertifikat) palsu. Hal ini haruslah tidak terbukti.
- Dengan kekerasan mencegah Pewaris untuk mencabut wasiat atau membuat wasiat. Selama Pewaris masih hidup, ia bisa dengan bebas mencabut atau mengubah wasiat. Namun bisa ada ahli waris yang mencoba mengancam Pewaris yang hendak mengubah atau membuat wasiatnya, maka ia dapat dianggap tidak patut untuk mewaris.
- Menggelapkan, merusak, dan memalsukan surat wasiat Pewaris. Ketentuan ini hanya dapat terjadi apabila Pewaris membuat surat wasiat di bawah tangan.
- Anak-anak
dari orang tua yang tidak patut mewaris akan menjadi ahli waris secara
pribadi/berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofde), bukan sebagai
pengganti.
HUKUM WARIS
PERDATA BARAT TIDAK MEMBEDAKAN BAGIAN UNTUK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
LARANGAN
UNTUK MEMBUAT PERJANJIAN ATAS DASAR WARISAN YANG BELUM TERBUKA
- Pasal 1334
ayat 2 KUHPerdata mengatur adanya larangan untuk membuat perjanjian atas dasar
warisan yang belum terbuka. Hal ini disebabkan suatu warisan baru terbuka bila
ada yang meninggal dunia. Apabila ada perjanjian yang melanggar ketentuan
ini, maka akan batal demi hukum.
SAISINE
- Saisine berasal dari bahasa Perancis, yaitu le mort saisit le viv, yang berarti harta peninggalan Pewaris menjadi milik ahli waris saat Pewaris meninggal dunia. Berarti ahli waris secara hukum memperoleh hak milik atas segala hak, piutang, dan hutang-hutang Pewaris (Pasal 833 KUHPerdata).
- Beralihnya hak peninggalan Pewaris ke ahli waris dapat terjadi secara undang-undang maupun karena testamen. Hal ini diatur dalam Pasal 955 KUHPerdata.
HEREDITATIS PETITIO
- Diatur dalam Pasal 834 KUHPerdata,
yang berarti gugatan untuk memperoleh warisan dari Pewaris atau hak ahli waris
untuk menuntut bagian warisan yang seharusnya diperolehnya dari Pewaris.
- Tuntutan ini kadaluwarsa setelah 30 tahun (Pasal 835 KUHPerdata)
MENOLAK WARISAN
- Tuntutan ini kadaluwarsa setelah 30 tahun (Pasal 835 KUHPerdata)
MENOLAK WARISAN
- Harus dilakukan
dengan suatu pernyataan yang dibuat di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dalam
daerah hukumnya telah terbuka warisan.
- Penolakan warisan terjadi karena :
- Penolakan warisan terjadi karena :
- Hutang Pewaris sangat besar, sehingga ahli waris tidak sanggup melunasinya.
- Ahli waris yang menolak warisan sudah cukup memiliki harta, sehingga warisan yang diterimanya diserahkan kepada ahli waris lain (saudara/orangtua) yang masih memerlukannya
- Ahli waris yang bersangkutan telah menjadi warga negara asing dan yang bersangkutan melakukan penolakan sebagai ahli waris agar harta peninggalan Pewaris tidak gugur menjadi tanah negara (sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat 3 mengenai Hak Milik dan Pasal 36 ayat 2 mengenai Hak Guna Bangunan dalam UU Pokok Agraria).
- Yang
menolak warisan, tidak dianggap sebagai ahli waris (Pasal 1058 KUHPerdata).
- Bagian
ahli waris yang menolak, jatuh pada ahli waris yang tidak menolak (Pasal 1059
KUHPerdata)
PEMELIHARAAN ANAK (PLEEGKIND)
= seorang
anak yang dibesarkan oleh keluarga lain, dengan ketentuan bahwa hubungan hukum
anak tersebut masih tetap dengan kedua orang tua asal.
Contoh :
sepasang suami-istri A dan B, mempunyai seorang anak C. C dipelihara dan
dibesarkan oleh keluarga lain, yaitu pasangan suami-istri X dan Y. Dalam hal
ini status hukum dari C tetaplah ahli waris dari pasangan suami-istri A dan B.
-
Pemeliharaan anak dilakukan dalam masyarakat, di mana suatu keluarga telah
menikah sekian lama namun belum mempunyai anak, sehingga mereka memelihara anak
dari keluarga (saudara) sebagai "pancingan".
PENGANGKATAN
ANAK (ADOPSI)
- Diatur
dalam Staatsblad 1917 Nomor 129. Ketentuan tersebut berlaku untuk golongan
Tionghoa saja, guna melanjutkan keturunan pasangan suami-istri yang telah
menikah dan tidak dikaruniai anak laki-laki. Semula yang dapat diadopsi
hanyalah anak laki-laki, dengan ketentuan usia anak yang diadopsi harus
mempunyai rentang usia cukup jauh. Selanjutnya dalam perkembangan, selain anak
lelaki, anak perempuan juga bisa diadopsi.
- Akta
adopsi dibuat secara notariil. Anak yang diadopsi menjadi anak sah dari yang
mengadopsi.
Contoh :
sepasang suami-istri A dan B mempunyai seorang anak C. C diadopsi oleh pasangan
suami-istri X dan Y. Secara hukum C menjadi ahli waris dari X dan Y, dan
hubungan hukum C dengan orang tua asal (A dan B) menjadi putus. Selanjutnya C
memakai nama marga dari orang tua yang mengadopsi.
-
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6/1983 tanggal
30 September 1983, untuk melakukan adopsi sekarang harus melalui Penetapan
Pengadilan Negeri, dan maksimal usia anak yang diadopsi adalah 5 tahun.
Ketentuan ini diatur karena Indonesia menandatangani konvensi internasional
mengenai anak adopsi 1983 di Den Haag untuk menghindari perdagangan manusia (human
trafficking), khususnya anak-anak yang dipelihara untuk dijual organ
tubuhnya .
- Dalam
hukum Islam tidak mengenal adopsi, sesuai dengan surat Q.S. 33 ayat 4 dan 5.
Dalam hukum
waris dikenal :
a. Mewaris
secara langsung untuk diri sendiri (uit eigen hoofde)
b. Mewaris
karena penggantian (plaatsvervulling)
ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI SAH, TIDAK DAPAT MENGGANTIKAN AYAH ATAU IBUNYA
SEBAGAI AHLI WARIS
ANAK SAH DARI ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI SAH, DAPAT MENGGANTIKAN KEDUDUKAN
AYAH ATAU IBUNYA SEBAGAI AHLI WARIS
LEGITIEME PORTIE (BAGIAN MUTLAK DARI AHLI WARIS)
- Legitieme
Portie diatur dalam Pasal 914 KUHPerdata, yaitu bagian yang tidak boleh
dihilangkan.
GOLONGAN AHLI WARIS
- Ada 4
(empat) golongan ahli waris, yakni :
1. Golongan
I (Pasal 852-852a KUHPerdata) :
- Anak-anak atau sekalian keturunannya, serta kawan nikah yang masih hidup
2. Golongan
II (Pasal 854-855 KUHPerdata) :
- Pasal 854 ayat 1 KUHPerdata : ayah dan ibu mewaris bersama satu orang saudara (laki-laki atau perempuan) dari Pewaris, masing-masing mewaris sebesar 1/3
- Pasal 854 ayat 2 KUHPerdata : ayah dan ibu masing-masing mewaris sebesar 1/4, bila mewaris bersama lebih dari satu orang saudara (laki-laki atau perempuan) dari Pewaris
- Pasal 855 KUHPerdata :
- ayah atau ibu yang hidup terlama mewaris sebesar 1/2, bila mewaris bersama satu orang saudara dari Pewaris.
- ayah atau ibu yang hidup terlama mewaris sebesar 1/3, bila mewaris bersama dua orang saudara dari Pewaris.
- ayah atau ibu yang hidup terlama mewaris sebesar 1/4, bila mewaris bersama tiga orang saudara atau lebih dari Pewaris.
- Di dalam
menentukan bagian warisan yang diterima ayah atau ibu yang mewaris bersama
saudara Pewaris, tidak dibedakan saudara kandung ataupun saudara tiri (mendapat
bagian yang sama)
3. Golongan
III (Pasal 853 KUHPerdata) :
Ahli waris
golongan ketiga, yaitu keluarga sedarah garis lurus ke atas, baik garis ayah
maupun garis ibu. Di dalam pewarisan golongan ketiga otomatis terjadi pemisahan
(kloving), yakni setengah bagian untuk keluarga ayah dan setengah bagian
untuk keluarga ibu.
4. Golongan
IV (Pasal 858 KUHPerdata) :
Apabila
tidak ada anak dan suami/istri (golongan I), orang tua dan saudara (golongan
II), serta sanak saudara dalam salah satu garis lurus ke atas (golongan III),
maka 1/2 bagian warisan menjadi bagian para keluarga saudara garis lurus ke
atas yang masih hidup dan 1/2 bagian lainnya menjadi bagian para keluarga
saudara dalam garis lainnya.
LEBIH DARI DERAJAT KE ENAM, TIDAK SALING MEWARIS
- Pasal 861
KUHPerdata mengatur bahwa keluarga sedarah, yang dengan si meninggal bertalian
keluarga dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke enam, tidak mewaris.
·
Awal
·
Berita
- Sanksi BPJS untuk Pemberi Kerja Mulai Juli 2015
- Sekali Lagi, Pro Kontra Remisi untuk Napi Koruptor
- Pembahasan RUU JPSK Bergantung Kesiapan Pemerintah
- Ini Ketua Umum PERADI Pilihan Pembaca
- MA Telusuri Dugaan Kasus Ketua Kamar Pengawasan
- Ini Cara Merawat Batu Akik ala Advokat
- Dengan Alasan Keamanan, Munas PERADI Kembali Ditunda
- Bonaran Situmeang Pinjam Uang dari Klien Kantor Hukumnya
- KPK-DPD Sepakat Cegah Korupsi Sektor SDA
- Seknas Fitra Anggap Dana Aspirasi Akal-Akalan
Indeks Berita
<a
href='http://ads.hukumonline.com/www/delivery/ck.php?n=a137b0da&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE'
target='_blank'><img src='http://ads.hukumonline.com/www/delivery/avw.php?zoneid=14&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&n=a137b0da'
border='0' alt='' /></a>
<a
href='http://ads.hukumonline.com/www/delivery/ck.php?n=acc2db6a&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE'
target='_blank'><img src='http://ads.hukumonline.com/www/delivery/avw.php?zoneid=15&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&n=acc2db6a'
border='0' alt='' /></a>
Selasa, 04
Pebruari 2014
Ahli
Sarankan Kasus Untag Gunakan UU Yayasan
Usai
melaporkan ketua yayasan ke kepolisian, forum peduli Untag mengumpulkan
sejumlah ahli hukum.
ALI
Dibaca: 3307
Tanggapan: 0
Para pembicara dalam seminar "Korupsi dan
Pencucian Uang di Perguruan Tinggi Swasta" (kiri-kanan) Abdullah, Winanto
Wiryomartani (Notaris), Tuswoyo Giri Atmojo (Moderator) dan TB Adhi Faiz (Dosen
FH Universitas Pancasila), Jakarta (4/02). Foto: RES
BERITA
TERKAIT
- Yayasan Universitas Pramita Lolos dari Permohonan Pailit
- Yayasan Jurnal Perempuan Tersandung Sengketa Ketenagakerjaan
- Eksekusi Libatkan TNI, Usakti Mengadu ke KY
- Substansi RUU Badan Hukum Pendidikan Timbulkan Pro Kontra
Ahli
Sarankan Kasus Untag Gunakan UU Yayasan
- Usai melaporkan ketua yayasan ke kepolisian, forum peduli Untag mengumpulkan sejumlah ahli hukum
Ribut-ribut
Yayasan Universitas 17 Agustus (Untag) Jakarta telah berujung ke Kepolisian.
Ketua Yayasan Untag Rudyono Dharsono dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri dan
Polres Jakarta Utara sekaligus. Tak tanggung-tanggung, Rudyono dilaporkan atas
dugaan penggelapan, pemalsuan hingga pencucian uang.
Notaris senior Winanto Wiryomartani menyarankan agar masing-masing pihak mencermati kasus tersebut dengan menggunakan UU Yayasan.
“Permasalahan yang terjadi di Untag masuk ranah hukum yang mana? Coba lakukan pencermatan legalitas hukum pengurus yayasan dulu, apakah sudah sesuai AD/ART atau tidak,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Masyarakat Peduli Untag, di Jakarta, Selasa (4/2).
Winanto menuturkan bila pengurus yayasan – dalam hal ini Ketua Yayasan – melakukan tindakan yang melebihi kewenangannya (ultra vires), maka perbuatan hukum itu bisa batal. “Makanya, harus dipelajari dulu. Itu yang paling penting,” ujarnya.
Berdasarkan UU Yayasan, lanjut Winanto, pengurus yayasan berwenang mewakili yayasan, dengan catatan untuk tindakan tertentu harus memperoleh izin dari badan pembina. “Fokusnya di situ,” tegasnya.
Bila ternyata izin dari pembina telah dikantongi, maka perlu dilihat lebih lanjut bagaimana prosedur pemberian izinnya. Bila pembina berjumlah tunggal atau satu orang, maka izin itu akan mudah diberikan. Namun, bila pembina yayasan terdiri dari banyak orang, maka izin itu harus memenuhi kuorum yang ditetapkan UU.
“Undang-undang bilang kalau pembinanya banyak, minimal 2/3 dari mereka setuju. Mungkin ada izin tapi tak sesuai dengan kuorum. Itu yang harus dicermati,” ujarnya.
Winanto juga mengutip Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan yang berbunyi “Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan UU ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada pembina, pengurus dan pengawas.”
Hukuman pelanggaran aturan ini tak tanggung-tanggung, yakni berupa pidana penjara maksimal lima tahun serta kewajiban mengembalikan uang, barang atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
Salah seorang pembicara dalam diskusi ini, Abdullah mengatakan bahwa kasus ini sangat rumit. Meski yang dirugikan secara langsung adalah individu-individu, tetapi dampaknya kepada masyarakat secara luas. Ia menuturkan dalam kasus ini ada unsur penggelapan, pencucian uang hingga pemalsuan surat.
“Tinggal dipikirkan yang mana yang mau digunakan terlebih dahulu,” ujar Abdullah yang didaulat berbicara menggantikan Pakar Hukum Pencucian Uang Yenti Ganarsih yang berhalangan hadir.
Sementara, Dosen FH Universitas Pancasila yang juga mantan Direktur Litigasi BPPN TB Adhi Faiz berbicara dari sudut penipuan dan penggelapan.
Sebagai informasi, Forum Masyarakat Peduli Untag telah melaporkan Ketua Yayasan Untag Rudyono Dharsono ke Bareskrim Mabes Polri atas tuduhan penggelapan aset yayasan senilai Rp35 miliar dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Selain itu, Rudyono juga dilaporkan oleh PT Graha Mahardika atas dugaan pemerasan ke Polres Jakarta Utara.
Pada 2000 lalu, Yayasan Untag sepakat menjual asetnya berupa tanah seluas 31.096 m2 kepada PT Graha Mahardika senilai Rp 91,1 Miliar. Namun, Ketua Yayasan Rudyono Dharsono melaporkan kepada internal Yayasan Untag bahwa jual beli itu senilai Rp 65,6 Miliar berdasarkan pada akte perjanjian pada 1999. Rudyono berdalih ada harta pribadinya senilai Rp 31,9 yang telah dikeluarkan untuk mengurus jual beli tersebut.
Notaris senior Winanto Wiryomartani menyarankan agar masing-masing pihak mencermati kasus tersebut dengan menggunakan UU Yayasan.
“Permasalahan yang terjadi di Untag masuk ranah hukum yang mana? Coba lakukan pencermatan legalitas hukum pengurus yayasan dulu, apakah sudah sesuai AD/ART atau tidak,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Masyarakat Peduli Untag, di Jakarta, Selasa (4/2).
Winanto menuturkan bila pengurus yayasan – dalam hal ini Ketua Yayasan – melakukan tindakan yang melebihi kewenangannya (ultra vires), maka perbuatan hukum itu bisa batal. “Makanya, harus dipelajari dulu. Itu yang paling penting,” ujarnya.
Berdasarkan UU Yayasan, lanjut Winanto, pengurus yayasan berwenang mewakili yayasan, dengan catatan untuk tindakan tertentu harus memperoleh izin dari badan pembina. “Fokusnya di situ,” tegasnya.
Bila ternyata izin dari pembina telah dikantongi, maka perlu dilihat lebih lanjut bagaimana prosedur pemberian izinnya. Bila pembina berjumlah tunggal atau satu orang, maka izin itu akan mudah diberikan. Namun, bila pembina yayasan terdiri dari banyak orang, maka izin itu harus memenuhi kuorum yang ditetapkan UU.
“Undang-undang bilang kalau pembinanya banyak, minimal 2/3 dari mereka setuju. Mungkin ada izin tapi tak sesuai dengan kuorum. Itu yang harus dicermati,” ujarnya.
Winanto juga mengutip Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan yang berbunyi “Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan UU ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada pembina, pengurus dan pengawas.”
Hukuman pelanggaran aturan ini tak tanggung-tanggung, yakni berupa pidana penjara maksimal lima tahun serta kewajiban mengembalikan uang, barang atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
Salah seorang pembicara dalam diskusi ini, Abdullah mengatakan bahwa kasus ini sangat rumit. Meski yang dirugikan secara langsung adalah individu-individu, tetapi dampaknya kepada masyarakat secara luas. Ia menuturkan dalam kasus ini ada unsur penggelapan, pencucian uang hingga pemalsuan surat.
“Tinggal dipikirkan yang mana yang mau digunakan terlebih dahulu,” ujar Abdullah yang didaulat berbicara menggantikan Pakar Hukum Pencucian Uang Yenti Ganarsih yang berhalangan hadir.
Sementara, Dosen FH Universitas Pancasila yang juga mantan Direktur Litigasi BPPN TB Adhi Faiz berbicara dari sudut penipuan dan penggelapan.
Sebagai informasi, Forum Masyarakat Peduli Untag telah melaporkan Ketua Yayasan Untag Rudyono Dharsono ke Bareskrim Mabes Polri atas tuduhan penggelapan aset yayasan senilai Rp35 miliar dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Selain itu, Rudyono juga dilaporkan oleh PT Graha Mahardika atas dugaan pemerasan ke Polres Jakarta Utara.
Pada 2000 lalu, Yayasan Untag sepakat menjual asetnya berupa tanah seluas 31.096 m2 kepada PT Graha Mahardika senilai Rp 91,1 Miliar. Namun, Ketua Yayasan Rudyono Dharsono melaporkan kepada internal Yayasan Untag bahwa jual beli itu senilai Rp 65,6 Miliar berdasarkan pada akte perjanjian pada 1999. Rudyono berdalih ada harta pribadinya senilai Rp 31,9 yang telah dikeluarkan untuk mengurus jual beli tersebut.
Komentar
Posting Komentar