BEBERAPA CATATAN MENGENAI BEDING DENDA

BEBERAPA CATATAN MENGENAI BEDING DENDA
Dr. Herlien Budiono, S.H.

 I. Pendahuluan
Di dalam suatu perjanjian seringkali kita menemukan beding denda yang dianggap sebagai lembaga yang ideal dan effisien. Tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak adalah, agar debitor membayar ganti rugi kepada kreditor dalam hal debitor telah melakukan wanprestasi. Dengan menjanjikan beding denda dapat dihindari ketidakpastian suatu prosedur pengadilan yang relatif mahal dan lama. Lagipula “ancaman” beding denda seringkali dapat memberi tekanan kepada pihak lawan untuk lebih hati-hati di dalam memenuhi prestasi yang telah saling diperjanjikan. sehingga cukup beralasan bagi kreditor untuk memperjanjikan besarnya denda dalam hal debitor telah wanprestasi. Singkat kata, beding denda memberikan kepastian hukum karena menghindari “ ketidak pastian” hasil proses pengadilan.
Apa yang disebutkan di atas adalah segi positif dari beding denda. Selain itu ada pula segi negatifnya yang bukan saja bagi pihak debitor yang harus membayar denda yang diperjanjikan tetapi juga bagi pihak kreditor. Pihak kreditor yang nota bene aktif telah menyusun beding denda dan memperhitungkan akan “bertambahnya kekayaan” dapat mengalami kekecewaan karena kurang teliti di dalam menyusun beding denda sehingga tidak dapat memperoleh hasil maksimal atas tuntutan dendanya. Dengan redaksi dan formulasi yang cermat dan tepat dari beding denda dapat dihindari ketidak pastian yang dimaksud.
Perlu diperhitungkan adanya kewenangan hakim untuk menyesuaikan (matigings- en aanvullingsbevoegdheid) besarnya denda yang dituntutkan oleh kreditor kepada debitor.
II. Hak kreditor terhadap debitor ingkar janji (wanprestasi)
Jual beli beli mobil antara A dan B telah terjadi dimana A harus menyerahkan mobil tersebut pada tanggal 11 Pebruari 2013 dan ternyata A tidak melakukannya.
Wujud debitor telah ingkar janji disebabkan karena debitor telah:
– sama sekali tidak memenuhi perikatan;
– terlambat memenuhi perikatan;
– keliru atau tidak sempurna memenuhi perikatan.
Secara teoretis mudah menentukan kapan debitor telah ingkar janji tetapi di dalam praktek tidaklah mudah. Bahkan untuk perikatan dengan ketetapan waktu yang tidak menangguhkan perikatan melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya (Pasal 1268 KUHPerd) tidak serta merta wanprestasi terjadi dengan sendirinya karena prestasi tidak dapat ditagih sebelum waktu yang ditentukan tiba.
Dalam hal debitor telah ingkar janji, hak kreditor adalah :
– Hak menuntut pemenuhan prestasi;
– Hak menuntut pemenuhan perikatan dan ganti rugi;
– Hak menuntut pemutusan perikatan atau pada perikatan timbal balik, menuntut pembatalan perikatan;
– Hak menuntut ganti kerugian;
– Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dan ganti rugi.
III. Sifat dan ruang lingkup beding denda
Beding denda adalah setiap janji yang telah ditentukan bahwa dalam hal debitor kurang sempurna di dalam memenuhi perikatannya, berjanji untuk memberikan sejumlah uang atau memberikan prestasi lainnya tanpa memperhitungkan apakah hal tersebut bertujuan sebagai penggantian atas kerugian yang diderita (kreditor) atau semata-mata sebagai pendorong agar (debitor) memenuhi kewajibannya .
Terhadap suatu perikatan, dapat disamping perjanjian pokok (primaire) diperjanjikan perikatan secundaire yang bersifat accessoire, di mana debitor berkewajiban untuk membayar sejumlah uang, dalam hal perjanjian pokoknya tidak atau terlambat atau tidak sempurna/sesuai pemenuhan prestasinya. Perjanjian accessoire ini menjamin kepastian dilaksanakannya perjanjian pokok, serta jumlah uang yang diperjanjikan (atau prestasi lainnya) sebagai denda karena tidak dipenuhinya perjanjian pokok.
Beding denda mempunyai dua fungsi :
• Pertama, fungsi penentu kerugian dimana beding denda primer merupakan pengganti kerugian sebagai akibat tidak dipenuhinya prestasi yang diperjanjikan. Dengan adanya beding denda, para pihak segera mengetahui jumlah ganti rugi yang harus dibayar oleh debitor kepada kreditor jika memang ada kekurangan di dalam prestasi yang harus dipenuhi, sehingga tidak diperlukan bantuan hakim untuk menentukan besarnya ganti kerugian.
• Kedua, beding denda seringkali dimaksudkan sebagai perangsang agar prestasi dipenuhi secara tepat; beding denda berfungsi sebagai pendorong.
Para pihak memperjanjikan suatu jumlah yang besarnya mungkin melebihi kerugian yang diderita, atau memperjanjikan suatu jumlah yang harus dibayar dalam hal prestasi tidak dipenuhi, lepas dari kerugian yang diderita.
Beding denda sebagai beding denda “murni” dapat dituntutkan sebagai denda yang diperjanjikan disamping menuntut pula ganti rugi menurut undang-undang (Pasal 1246 KUHPerd).
Beding denda diatur di dalam ketentuan Pasal 1249 KUHPerd dan Pasal 1304 – Pasal 1312 KUHPerd. Ketentuan Pasal 1249 KUHPerd menentukan jika dalam suatu perikatan ditentukan, bahwa pihak yang lalai memenuhi prestasi yang telah dijanjikan harus membayar sejumlah uang tertentu sebagai ganti rugi. Dengan lain kata, beding tersebut harus diarahkan pada kelalaian dan kewajiban untuk memenuhi prestasi segera kelalaian tersebut menjadi fakta.
Janji di dalam perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus (Pasal 1250 ayat (1) KUHPerd).
Adapun Pasal 1304 KUHPerd lebih berfungsi sebagai perangsang/ancaman agar debitur memenuhi janjinya.
Ada kemungkinan bahwa tujuan ketentuan mengenai denda tidak semata-mata sebagai ganti kerugian tetapi dijanjikan bahwa apabila debitor wanprestasi maka akan dibayarkan denda dengan tidak mengurangi hak kreditor untuk menuntut ganti kerugian yang diderita karena tidak dipenuhinya perikatan pokok (Pasal 1307 ayat (1) KUHPerd). Perlu diperhatikan bahwa menuntut dipenuhinya perikatan pokok bersama-sama menuntut hukumannya tidak dapat dilakukan kecuali apabila hukuman tersebut semata-mata untuk terlambatnya pemenuhan saja (Pasal 1307 ayat (2) KUHPerd).
Singkat kata, tujuan dari beding denda adalah ditentukannya terlebih dahulu sejumlah uang sebagai ganti rugi dalam hal debitor melakukan wanprestasi. Dengan adanya penentuan denda tersebut maka tidak diperlukan lagi penyelidikan atau penelitian mengenai besarnya kerugian yang diderita oleh kreditor. Kreditor dibebaskan dari pembuktian mengenai besarnya kerugian yang dideritanya. Dalam hal demikian, kreditor tidak akan menerima jumlah lebih kecil dari denda yang telah diperjanjikan, dan pihak debitor tidak diwajibkan membayar lebih besar dari denda tersebut. Inilah yang dimaksudkan dengan denda oleh Pasal 1249 KUHPerd
Secara umum di dalam ketentuan perundang-undangan telah ditentukan kapan dapat dituntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga yakni apabila para pihak telah tidak memperjanjikan beding denda maka penggantian biaya, ganti rugi dan bunga baru dapat dituntut jika pihak lawan telah dapat dipertanggung jawabkan mengenai kelalaiannya serta telah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya (Pasal 1243 KUHPerd). Dalam hal telah diperjanjikan lain disamping denda yang diperjanjikan, kreditor masih dapat menuntut dipenuhinya prestasi, ganti rugi atau pembatalan perjanjian.
IV. Sifat accessoir dari beding denda
Pada perikatan dengan beding denda dijanjikan prestasi yang berlaku dalam hal perikatan pokok (primaire) tidak dipenuhi. Apabila perikatan pokoknya ternyata batal karena bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka dari beding denda yang merupakan perikatan secundaire dan bersifat accessoire menjadi tiada. Dengan kata lain, apabila perikatan pokoknya batal, maka beding dendanya juga akan batal (Pasal 1305 KUHPerd).
Beding denda tergantung pada perikatan pokok, namun ketergantungan tersebut relatif sifatnya. Ada kemungkinan walaupun perikatan pokok batal atau dibatalkan, beding denda tetap berlaku dan tidak mengikuti nasib dari perikatan pokoknya.
Keadaan tersebut mungkin terjadi walaupun perjanjian pokoknya batal atau dibatalkan muncul kewajiban penggantian kerugian. Perikatan yang batal berdasarkan Pasal 1468 KUHPerd atau Pasal 1471 KUHPerd, demikian pula perjanjian yang dibatalkan karena ketidak cakapan, paksaan, kekeliruan atau tipuan dapat menuntut akan penggantian biaya, kerugian dan bunga (Pasal 1453 KUHPerd). Oleh karena undang-undang telah mengaturnya maka para pihak dapat pula memperjanjikan denda sebagai penggantian kerugian apabila batal/dibatalkannya perjanjian pokok (primaire)nya.
Sebagaimana kita ketahui, dalam hal perikatan tidak dipenuhi (wanprestasi) maka kreditor dapat memilih: apabila prestasi masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak debitor untuk memenuhi perikatan, memenuhi perikatan dengan ganti rugi, ganti kerugian saja, ataukah akan menuntut pembatalan perjanjian, dengan disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga. Hal yang mirip dengan peristiwa tersebut adalah pembatalan perjanjian berdasarkan wanprestasi dimana disamping adanya pembatalan dapat dituntutkan pula penggantian kerugian sebagaimana dimaksudkan Pasal 1267 KUHPerd. Apabila memang maksud para pihak adalah pembatalan beserta tuntutan ganti rugi maka hal tersebut tergantung pada penjelasan, dan apabila memang demikian halnya maka walaupun perikatan pokok batal/dibatalkan beding denda akan tetap berlaku dan penggantian kerugian yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh para pihak dapat dituntutkan.
V. Perikatan dengan beding denda, perikatan alternatif, fakultatif, bersyarat dan jual beli dengan uang panjar
Suatu perikatan dengan beding denda harus dibedakan dengan perikatan alternatif, fakultatif, bersyarat dan jual beli dengan uang panjar:
a. “Een alternatieve verbintenis is een verbintenis, waarbij de schuldenaar verplicht is tot het verrichten van één of twee of meer verschillende prestaties, ter keuze hetzij van hem zelf, hetzij van de schuldeiser, hetzij van een derde, met dien verstande dat door het verrichten van deze ene prestatie aan de verbintenis is voldaan” .
Perikatan alternatif adalah perikatan dimana debitor berkewajiban untuk memenuhi satu atau dua atau lebih prestasi atas pilihan apakah oleh debitor sendiri, oleh kreditor, oleh pihak ketiga dengan ketentuan bahwa dengan telah dipenuhinya prestasi (yang dipilih) berarti perikatan telah selesai.
Pada perikatan alternatif (Pasal 1272 KUHPerd) diperjanjikan beberapa prestasi yang dapat dipilih oleh debitor atau oleh kreditor atau pihak ketiga . Prestasi-prestasi tersebut semuanya “sama nilainya”, misalnya janji untuk memberikan sebuah mobil atau uang Rp.200.000.000,-(dua ratus juta rupiah). Pada perikatan alternatif hanya ada satu perikatan tetapi ada dua (atau lebih) prestasi yang harus dipilih salah satunya.
Perjanjian dengan beding denda terdiri atas dua perikatan, primaire dan secundaire. Apabila diperjanjikan untuk memberikan sebuah mobil, dan dalam hal tidak dapat menyerahkan mobil tersebut maka dikenakan denda sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Debitor berkewajiban menyerahkan mobil yang dapat dituntutkan oleh kreditor. Apabila debitor tidak dapat menyerahkan mobil tersebut muncullah perikatan secundaire yakni pembayaran Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah. Ini berarti, kreditor menuntut penyerahan mobil, dan apabila pada tanggal yang diperjanjikan belum juga menyerahkan mobil tersebut dapat dituntutkan denda (Rp 200.000.000,-) yang diperjanjikan selain masih berhak atas penyerahan mobil tersebut.
Perbedaan yang penting lainnya adalah, apabila mobil yang dijanjikan musnah sebelum debitor dinyatakan lalai, maka perikatan primaire menjadi batal demikian pula perikatan secundairenya. Perikatan dengan beding denda hanya berlaku sepanjang kepada debitor dapat dipertanggung jawabkan kelalaian tersebut. Apabila obyek perjanjian ternyata musnah diluar kesalahan/kekuasaan debitor (overmacht) maka baik perikatan pokok maupun perikatan secundairenya menjadi tidak dapat dituntutkan, kecuali oleh para pihak diperjanjikan bahwa denda tetap diberlakukan dengan mengeyampingkan alasan apapun juga.
b. “ Een facultatieve verbintenis is een verbintenis die slechts één prestatie tot voorwerp heeft, maar waarbij de schuldenaar zich kan kwijten door – ter keuze van hemzelf, de schuldenaar of een derde – in plaats van de prestatie een andere, bepaald aangeduide, prestatie te verrichten” .
Perikatan fakultatif adalah perikatan yang hanya mempunyai satu prestasi sebagai obyeknya, dimana debitor dapat memenuhi prestasi dengan – atas pilihannya sendiri, oleh debitor atau pihak ketiga – memenuhi prestasi lain tertentu selain dari prestasi yang telah disetujui.
Perikatan fakultatif tidak diatur secara khusus di dalam KUHPerd, dan menunjukan kemiripan dengan perikatan alternatif. Perikatan alternatif mempunyai lebih dari satu prestasi sebagai objeknya dengan pengertian hanya satu prestasi yang dipilih dan harus dipenuhi. Pada perikatan fakultatif sebaliknya hanya mempunyai satu prestasi sebagai objeknya yang sejak semula sudah diperjanjikan. Kepada debitor (apabila disetujui) diberi kebebasan untuk memberikan prestasi lainnya selain prestasi yang telah disetujui. Apabila perikatan fakultatif tersebut bersumber pada perjanjian, maka ini berarti bahwa kreditor sejak semula telah menyimpang dari ketentuan Pasal 1389 KUHPerd yakni kreditor menyetujui dipenuhinya prestasi yang lain daripada prestasi yang telah disepakati . Namun sebaliknya apabila kewenangan untuk menentukan prestasi pengganti ada pada pihak kreditor maka debitor harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada kreditor untuk penggantian prestasi selain dari prestasi yang telah disetujui semula.
Pada perikatan alternatif yang kewenangan untuk memilih prestasi berada pada pihak debitor, tidak memberi hak kepada kreditor untuk menuntut pelaksanaan prestasi manapun selama debitor belum memilih dan lagipula kreditor hanya dapat menuntut pelaksanaan satu prestasi saja. Demikian pula dalam hal kewenangan memilih berada pada pihak debitor mengakibatkan kreditor hanya dapat menuntut prestasi yang menjadi objek perikatan dan hakim hanya dapat mewajibkan dipenuhinya prestasi tersebut walaupun debitor dapat membebaskan dirinyanya dengan memenuhi prestasi lainnya .
Perikatan fakultatif mempunyai hanya satu objek yakni menyerahkan mobil tetapi dengan tidak mengurangi hak debitor (atau kreditor) untuk mengganti prestasi tersebut dengan misalnya, pembayaran uang Rp.200.000.000,-(dua ratus juta rupiah).
Persamaan dengan beding denda adalah apabila debitor memilih penyerahan mobil dan ternyata mobil musnah, mengakibatkan debitor tidak berkewajiban untuk membayar uang Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Perbedaannya adalah jika debitor telah memilih penyerahan mobil, kreditor tidak dapat lagi menuntut uang Rp.200.000.000,-. Demikian pula kreditor tidak dapat lagi menuntut uang Rp.200.000.000,- sebagai ganti penyerahan mobil selama debitor belum dinyatakan lalai .
c. “Een verbintenis is voorwaardelijk, wanneer bij rechthandeling haar werking van een toekomstige en onzekere gebeurtenis afhankelik is gesteld” .
Suatu perikatan adalah bersyarat manakala terbentuknya perbuatan hukum digantungkan pada peristiwa yang masih akan datang dan kejadian yang masih belum tentu akan terjadi.
Perikatan bersyarat diatur di dalam Pasal 1253-Pasal 1267 KUHPerd. Dimungkinkan untuk memperjanjikan, bahwa perikatan akan terbentuk, apabila kejadian yang belum tentu itu terjadi. Perikatan bersyarat digantungkan hingga terjadinya suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi berupa yang menunda/menangguhkan atau membatalkan perikatan. Seorang ayah berjanji untuk memberi anaknya sebuah mobil apabila anak tersebut lulus ujian sarjana. Pemberian mobil tersebut hanya akan terjadi apabila anaknya lulus ujian sarjana. Perjanjian ini dikenal dengan perjanjian dengan syarat menangguhkan (opschortende voorwaarde).
Perikatan dengan syarat membatalkan (ontbindende voorwaarde) berarti bahwa perikatan tersebut sudah terjadi, dan akan dibatalkan apabila kejadian yang belum tentu itu terjadi, misalnya saya mengizinkan A untuk memakai rumah saya di Bandung dengan ketentuan perjanjian tersebut berakhir apabila saya ditempatkan kembali di Bandung.
Pada perikatan dengan mencantumkan denda jelas tidak menyebabkan bahwa perikatan (pokok)nya menjadi perikatan bersyarat. Memang perikatan dengan beding denda nampaknya sekilas sebagai bersyarat dan baru mengikat tatkala perikatan pokoknya tidak dipenuhi.
Saya akan memberikan uang Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) apabila A diterima sebagai mahasiswa di universitas tertentu, maka disini ada perikatan dengan syarat menangguhkan dan bukan suatu beding denda. Hanya ada satu perikatan yakni membayar uang Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) yang digantungkan pada syarat (tangguh) yang belum tentu terjadi dikemudian hari. Lain halnya apabila saya berjanji untuk menyerahkan mobil dan apabila ternyata tidak melakukannya akan membayar uang Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Dalam hal ini terdapat dua perikatan, yakni perikatan pokok (yang tidak bersyarat) untuk menyerahkan mobil dan perikatan (accessoir) yang berkaitan dengan perikatan pokok tersebut berupa beding denda. Pertama, tuntutan akan penyerahan mobil dapat dilakukan dan kedua, dengan pembuktian akan wanprestasi berlaku perjanjian kedua yakni pembayaran denda .
d. “Het beding van straf is zoodanige bepaling waarbij iemand tot zekerheid van de uitvoering van eenre verbintenis tot iets bapaalds verpligt is, in geval dezelde niet nagekomen wordt.” (Pasal 1340 BW lama).
Ancaman hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian rupa dengan mana seorang untuk jaminan pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu, manakala perikatan itu tidak dipenuhi (Sebagaimana diterjemahkan oleh R.Subekti-R.Tjitrosudibio sebagai Pasal 1304 KUHPerd yang sama dengan Pasal 1340 BW lama).
Perikatan dengan beding denda (hukuman) menimbulkan perikatan secundaire yang berarti bahwa perikatan secundaire baru timbul apabila perikatan pokok (primaire) nya tidak dipenuhi.
Perikatan dengan beding denda jelas bukan merupakan perikatan yang dendanya merupakan syarat. Memang perikatan tersebut akan mirip dengan perikatan bersyarat mengingat denda tersebut baru dituntutkan apabila perikatan pokok (primaire)nya tidak dipenuhi. Manakala saya menjanjikan Rp. 200.000.000 (dua juta rupiah) apabila mobil tidak dapat diserahkan pada tanggal tertentu, maka dalam hal ini merupakan perikatan mandiri dengan syarat menangguhkan yang potestatif dan bukan merupakan perikatan dengan beding denda. Hanya ada satu perikatan yakni pembayaran Rp. 200.000.000 (dua juta rupiah) yang tergantung pada peristiwa dikemudian hari yang belum pasti. Penyerahan akan mobil tidak dapat dituntutkan.
Di pihak lain, apabila saya berjanji untuk menyerahkan mobil dan juga untuk dalam hal tidak melakukan hal tersebut akan membayar Rp. 200.000.000 (dua juta rupiah). Disini terdapat perikatan pokok yang tidak bersyarat yakni untuk menyerahkan mobil dan sekaligus dalam hal tidak melakukan penyerahan tersebut membayar denda Rp. 200.000.000 (dua juta rupiah). Penyerahan mobil dapat dituntutkan dan apabila wanprestasi maka perikatan kedua (secundaire) akan berlaku.
e. Kemiripan ada antara perikatan dengan beding denda (hukuman) dan jual beli yang dibuat dengan memberi uang panjar. Pada jual beli dengan uang panjar, tak dapat salah satu pihak meniadakan atau membatalkan perjanjian jual beli tersebut dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang panjarnya (Pasal 1464 KUHPerd) kecuali hal tersebut telah diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak. Uang panjar merupakan tanda dan berfungsi sebagai konfirmasi telah terjadinya perjanjian secara definitif (arrha confirmatoria) . Bandingkan pula dengan Pasal 1601e ayat (2) KUHPerd. Jelaslah bahwa uang panjar tidak dapat diartikan sebagai beding denda dan tidak dapat berfungsi sebagai denda.
VI. Daya kerja beding denda
Dari daya kerja beding denda dapat dikemukakan:
a. Dalam hal debitor wanprestasi, kreditor dapat menuntut agar debitor memenuhi perikatan daripada menuntut dendanya.
Beding denda tidak menghalangi kreditor untuk menuntut debitor memenuhi perjanjian pokoknya. Seandainya tidak diperjanjikan denda, maka dalam hal debitor wanprestasi pihak kreditor dapat memilih antara pemenuhan prestasi dan ganti kerugian; demikian pula manakala beding denda telah diperjanjikan, pilihan antara tuntutan pelaksanaan prestasi dari perikatan pokok dan beding denda. Beding denda tidak menghalangi adanya tuntutan pemenuhan perikatan pokok dengan memanfaatkan undang-undang yang tersedia. Berdasarkan Pasal 1241 KUHPerd, kreditor malahan dapat dikuasakan agar supaya dia sendiri mengusahakan pelaksanaan prestasi yang diperjanjikan atas biaya debitor. Beding denda mempunyai daya kerja sejauh dapat menjamin dipenuhinya perikatan.
b. Kreditor tidak dapat sekaligus menuntut pemenuhan perikatan pokok dan menuntut hukumannya (dendanya) kecuali denda ditetapkan semata-mata untuk keterlambatan pemenuhan perikatan pokok tersebut (Pasal 1307 ayat (2) KUHPerd).
Penetapan hukuman dimaksudkan sebagai ganti kerugian, yang diderita kreditor karena tidak dipenuhinya perikatan pokok.
c. Beding denda tidak menyebabkan kreditor terhalang untuk menuntut pembatalan.
Adanya beding denda tidak menghalangi kreditor pada perjanjian timbal balik untuk menuntut pembatalan (Pasal 1267 KUHPerd). Oleh para pihak dapat diperjanjikan secara tegas atau secara diam-diam bahwa kreditor hanya dapat menuntut denda dan bukan pembatalan, namun secara umum dapat dikatakan bahwa melepaskan hak menuntut pembatalan tidak sekaligus berarti melepaskan hak tuntut atas denda.
Asser-Hartkamp berpendapat bahwa, kreditor bebas untuk menuntut denda tanpa menuntut pembatalan demikian pula apabila telah tidak diperjanjikan denda, ganti rugi dapat dituntutkan tanpa tuntutan pembatalan.
d. Kreditor berhak atas ganti kerugian disamping denda, atau menuntut denda sebagai ganti dari penggantian kerugian.
Denda bertujuan menggantikan ganti kerugian sebagaimana dinyatakan Pasal 1307 ayat (1) KUHPerd:
“ Penetapan hukuman adalah dimaksudkan sebagai ganti penggantian kerugian, yang diderita oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya perikatan pokok”
Kepada kreditor tidak dapat diberikan jumlah lebih daripada yang telah ditentukan sebagai gantinya dalam hal debitor lalai. Demikianpun apabila kreditor dapat membuktikan telah menderita kerugian yang lebih besar; pada asasnya kreditor disamping hukuman tidak dapat menuntut penggantian kerugian.
Beding denda membebaskan kreditor terhadap pembuktian adanya kerugian yang telah diderita namun dilain pihak dia harus puas untuk menerima pembayaran denda yang telah disetujui. Kreditor tidak memiliki pilihan antara tuntutan pembayaran denda dan ganti kerugian; kreditor hanya dapat menuntut denda.
Kreditor tidak dapat menuntut dipenuhinya perikatan pokok dan hukumannya, kecuali apabila hukuman ditetapkan semata-mata untuk terlambatnya pemenuhan saja.
Kreditor tidak dapat menuntut ganti kerugian sebagai ganti dari denda.
Pasal 1249 dan Pasal 1307 KUHPerd bukan merupakan pasal-pasal yang bersifat memaksa. Ini berarti bahwa oleh para pihak dapat diperjanjikan bahwa debitor dengan hilangnya denda dapat menuntut dipenuhinya penggantian kerugian atau apabila jumlah denda ternyata terlalu rendah atas adanya kerugian yang diderita dapat menuntut penggantian kerugian.
VII. Bentuk beding denda dan penafsiran
a. bentuk beding denda
Beding denda tidak ditentukan bentuknya, namun merujuk pada ketentuan Pasal 1601u ayat (1)KUHPerd dapat diambil kesimpulan bahwa denda diperjanjikan dalam perjanjian yang dibuat tertulis .
Bentuk ganti rugi yang lazim dipergunakan adalah uang yang menurut ahli hukum perdata maupun yurisprudensi dianggap merupakan alat yang praktis dan paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sengketa. Selain uang ada bentuk lain sebagai ganti rugi, yakni pemulihan ke keadaan semula dan larangan untuk mengulangi yang dapat diperkuat dengan uang paksa yang bukan merupakan wujud ganti rugi .
Beding denda harus diformulasikan dengan cermat dan tidak dubius sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh para pihak supaya kepastian hukum mengenai tidak dibayarnya denda dapat dihindari. Arres Haviltex memberikan formulasi prinsipil, bahwa, “arti ketentuan-ketentuan suatu perjanjian adalah ditentukan menurut pengertian yang saling diberikan oleh para pihak pada suatu keadaan dan atas dasar tersebut apa yang sepatutnya dapat saling mereka harapkan” .
Menyusun redaksi dengan bahasa hukum/akta untuk istilah, frasa dan pengertian sangat penting, apakah denda harus dibayar dalam hal terlambatnya penyerahan bendanya dihitung per hari kalender atau per hari kerja atau denda keterlambatan juga dapat dituntut sejak saat penyerahan yang tepat waktu tetapi tidak sempurna pelaksanaannya. Selain mengenai pelaksanaan prestasi yang tidak sempurna apakah keterlambatan tersebut sedemikian rupa sehingga kreditor sama sekali atau tidak secara maksimal dapat menikmati prestasi yang telah dilakukan debitor yang justru merupakan dasar dikenakan dendanya, dan berapa jumlah ganti rugi yang harus dibayar.
b. penafsiran perjanjian
Di dalam perjanjian diperjanjikan denda sebesar 10% dari harga jual beli untuk keterlambatan penyerahan secara yuridis sebuah bangunan oleh penjual yang sekaligus pemborong bangunan selambat-lambatnya pada tanggal tertentu dan pada tanggal mana dibayar harga jual belinya oleh pembeli. Pembeli telah siap dan bersedia membayar harga jual beli yang telah disepakati tetapi pejabat pembuat akta tanah belum dapat melaksanakan jual belinya karena ternyata pada tanggal yang dijanjikan sertipikat dari persil tersebut belum tertulis atas nama penjual. Apakah pembeli dalam hal ini telah lalai? Merujuk pada ketentuan Pasal 1244 KUHPerd makja dalam hal ini pembeli yang tidak memenuhi perikatan disebabkan suatu hal yang tidak terduga tak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Apabila undang-undang tidak memberikan petunjuk atau apabila tidak cukup jelasnya suatu ketentuan atau syarat di dalam perjanjian maka atas ketentuan atau syarat tersebut perlu dilakukan penafsiran . Penafsiran perjanjian harus memakai dasar kepatutan dan kelayakan . Perjanjian terjadi karena adanya pernyataan kehendak dan tercapainya kata sepakat di antara para pihak. Menafsirkan suatu perjanjian adalah menentukan arti pernyataan kehendak yang dilakukan para pihak. Diasumsikan bahwa isi suatu perjanjian ditentukan oleh apa yang telah disepakati oleh para pihak. Hipotesa ini tidak sesuai dengan apa yang terjadi di dalam praktik. Sering kali oleh para pihak pada waktu menutup perjanjian tidak membayangkan luas dan akibat atau konsekuensi perjanjian yang telah disepakati.
Penafsiran tidak semata-mata pada tata bahasa, tetapi penafsiran secara yuridis dengan akibat hukum menurut hukum objektif yang bersifat yuridis normatif. Ini berarti, yuridis normatif adalah penafsiran atas pernyataan dengan memberikan pengertian yang menyimpang dari tujuan yang dapat diharapkan oleh para pihak mengingat maksud tujuan dari para pihak akan bertentangan dengan hukum obyektif .
Pasal 1342 KUHPerd menjelaskan bahwa jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya yang berarti para pihak terikat pada perjanjian tersebut. Pembuat undang-undang beranjak pada pendapat bahwa hanya pernyataan yang kurang jelas harus ditafsirkan. Berbagai penafsiran dalam perjanjian dapat diberikan terhadap kata-kata, yakni harus dipilih dengan menyelidiki maksud kedua belih pihak yang menutup perjanjian itu daripada berpegang teguh arti kata-kata menurut huruf (Pasal 1343 KUHPerd).
Oleh Asser-Rutten/Hartkamp diberikan definisi penafsiran sebagai berikut:
“Penafsiran perjanjian adalah menentukan pengertian terhadap pernyataan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, yang mempunyai hubungan dengan keadaan dari suatu peristiwa nyata berkaitan dengan dan karenanya menentukan dari pernyataan-pernyataan tersebut akibat hukum yang ditimbulkan.”
Pasal 1349 KUHPerd:
“Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu”.
Disini diterapkan asas contra-proferentem yakni atas semua ketentuan diterapkan asas bahwa beding denda yang tidak jelas maksudnya harus diartikan/ditafsirkan untuk keuntungan pihak debitor .
VIII. Beding denda dan pertanggungjawaban
Redaksi beding denda harus jelas apakah klausula denda hanya diberlakukan dalam hal terjadi kekurangan yang dapat dipertanggungjawabkam atau juga dalam keadaan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Apabila klausula tersebut tidak jelas Pasal 1243 KUHPerd akan mengambil alih dimana penggantian biaya, rugi dan bunga baru mulai diwajibkan apabila debitor telah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya. Lembaga pernyataan lalai (ingebreke stelling) merupakan upaya hukum untuk tiba pada fase dimana debitor dinyatakan telah ingkar janji.
Keadaan bahwa seseorang berada dalam keadaan lalai merupakan peringatan dari kreditor tentang saat terakhir debitor masih dapat memenuhi prestasi, termasuk mengingatkan agar debitor secara patut memenuhi perikatan. Dengan dilampaui waktu tersebut berarti bahwa debitor telah ingkar janji (wanprestasi). Adapun cara pemberitahuan tersebut dilakukan, diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerd.
Apabila kreditor menuntut pemenuhan prestasi, maka pernyataan lalai tidak diperlukan. Hak untuk mendapatkan pemenuhan prestasi sudah ada dalam perikatan itu sendiri sedangkan hak untuk minta ganti rugi atau pemutusan perikatan pada dasarnya apabila telah dilakukan wanprestasi oleh debitor. Di dalam praktek apabila kreditor menuntut pemenuhan prestasi, pernyataan lalai tetap diperlukan .
Beberapa hal perlu diperhatikan , yakni:
– Apabila debitor keliru melakukan prestasi yang telah dilakukan secara itikad baik, pernyataan lalai diperlukan, tetapi kalau kelirunya terjadi karena itikad buruk tidak diperlukan lagi pernyataan lalai.
– Perikatan yang dilakukan dengan jangka waktu tertentu dengan dilampauinya waktu yang diperjanjikan berarti debitor telah wanprestasi.
– Apabila pemenuhan prestasi tidak mungkin dilaksanakan, tidak diperlukan pernyataan lalai, misalnya kewajiban untuk menyerahkan kuda tetapi sebelum diserahkan ternyata kudanya mati.
Pernyataan lalai tidak diperlukan untuk menuntut denda yang diperjanjikan apabila pemenuhan
prestasi pada perikatan primaire telah melampaui termin yang fatal, atau perikatan untuk membayar ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum atau wanprestasi tidak segera dipenuhi atau kreditor telah dapat mengambil kesimpulan bahwa debitor akan tidak memenuhi perikatannya.
Pasal 1243 KUHPerd merupakan pasal yang sifatnya mengatur sehingga ketentuan adanya pernyataan lalai terlebih dahulu oleh para pihak dapat dikesampingkan sebelum dapat dituntutkan penggantian biaya, rugi dan bunga. Cukup dengan frasa “(…) denda dapat segera dituntutkan tanpa diperlukan adanya surat perintah atau akta/surat sejenis telah dinyatakan lalai”.
Hal tersebut adalah untuk menghindari janji diantara para pihak yang tidak jelas sehingga perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya (kreditor) suatu hal (beding denda) dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya (debitor), demikian Pasal 1349 KUHPerd). Kesukaran akan timbul dalam hal perjanjian timbal balik.
Menurut Schelhaas , ketentuan mengenai penyimpangan tersebut tidak jelas dan pernyataan lalai tetap harus dimintakan sebelum dapat menuntut dendanya. Bukankah debitor baru berada dalam keadaan lalai setelah adanya pernyataan lalai ? Denda yang diperjanjikan dan “segera dapat dituntutkan” tidak berarti bahwa pernyataan lalai tidak diperlukan.
Antara ingkar janji dengan kerugian harus merupakan sebab dan akibat (kausal) agar tuntutan akan ganti rugi dapat dituntutkan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1248 KUHPerd . Undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang ukuran untuk menentukan adanya hubungan sebab-akibat.
Lazim telah diterima teori adequate yang menjelaskan bahwa suatu peristiwa sebab akibat ditentukan pada suatu peristiwa yang menurut pengalaman manusia normal diharapkan patut (naar redelijkheid) akan menimbulkan akibat tertentu.
– 0 –
(Sumber : Majalah MINUTA terbitan September 2013)

Peran Badan Usaha Di Luar Perseroan Terbatas Dalam Memberikan Kontribusi Bagi Peningkatan Eonomi Nasional
 (Oleh : Dr.Herlien Budiono, S.H.)


Herlien Budiono
I. Pendahuluan
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, demikian salah satu konsideran dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT).
Badan usaha berbentuk PT telah diatur tersendiri di dalam UUPT. Maatschap masih diatur di dalam Bab Kedelapan, bagian kesatu, buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerd) dengan judul “Tentang Perseroan” (Pasal 1618 – Pasal 1652 KUHPerd). Fa dan CV diatur di dalam bab Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHDag) dengan judul “Tentang perseroan firma dan tentang perseroan secara melepas uang yang juga disebut perseroan komanditer” (Pasal 16 – Pasal 35 KUHDag).
Secara yuridis, Pasal I Aturan Peralihan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, menegaskan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Penyusun konstitusi Indonesia menyadari adanya beberapa persoalan hukum yang belum diatur oleh perundang-undangan nasional, sehingga untuk menghindari kekosongan hukum, produk peninggalan pemerintah kolonial Belanda masih diterapkan. Dengan perkembangan laju perekonomian nasional, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur badan usaha di luar PT dan masih mendasarkan pada peninggalan kolonial perlu ditinjau kembali. Peninjauan tersebut berkaitan tidak saja dengan dasar berpijaknya badan usaha di luar PT selain pada landasan filosofis, landasan yuridis dan landasan sosiologis tetapi juga perlu adanya tinjauan teoretis-praktis keberadaan badan usaha tersebut sehingga dapat diperoleh kajian tentang manfaat dan kontribusi dari keberadaan badan usaha di luar PT bagi perekonomian nasional, khususnya bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Untuk lebih memfokuskan peran badan usaha di luar PT, penulis membatasi pada uraian mengenai sejarah maatschap, badan hukum, hakekat maatschap yang merupakan dasar dari badan usaha di luar PT, khususnya ciri-ciri, bentuk dan jenisnya, dan secara singkat Fa dan CV. Diakhiri dengan perubahan dan perkembangan badan usaha di luar PT di Nederland.
Di dalam tulisan ini akan menggunakan istilah maatschap atau persekutuan perdata dan sekutu atau pesero.
II. Sejarah perkembangan maatschap
Hukum perseroan dimulai dengan societas pada zaman Romawi yang berbeda bentuknya dengan perseroan perdata (maatschap) sebagaimana dikenal sekarang. Pada mulanya bentuk societas adalah kebersamaan dalam hal pemililikan bersama harta kekayaan keluarga untuk meneruskan perusahaan pewaris oleh para ahliwarisnya yang tidak mendasarkan pada suatu hubungan kerja sama serta tidak mempunyai tujuan bersama. Baru kemudian societas didasarkan pada perjanjian dengan memasukkan uang, benda dan tenaga bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan membagi kerugian bersama yang merupakan perserikatan kekayaan (vermogensgemeenschap) . Berkat Pothier (1699-1772) dengan tulisannya, Traité du contrat de société, dan Code Civil (1804), societas ini pada tahun 1838 diatur di dalam Burgerlijk Wetboek Nederland (oud=lama, Pasal 1655-Pasal1689) dengan judul “Van maatschap of vennootschap” . Istilah-istilah tersebut adalah sinonim dan merupakan terjemahan dari societas .
Pada abad ke 13 dan ke 14 muncul di kota-kota Italia-Utara dan juga beberapa tempat di Eropa bentuk perjanjian kerja sama yang memenuhi kebutuhan perdagangan pada waktu itu:
1. kontrak dimana dua atau lebih pedagang mengikatkan diri untuk bersama menjalankan perusahaan dibawah satu nama (nama dagang). Pada asasnya kontrak ini mempunyai daya kerja keluar: tiap peserta berwenang menurut hukum untuk mewakili peserta lainnya terhadap pihak ketiga, kecuali kewenangan ini dibatasi di dalam kontraknya. Tanggung gugat para peserta terhadap pihak ketiga adalah secara tanggung renteng sedangkan kekayaan perseroan terutama adalah untuk memperkuat tuntutan dari pihak kreditor perusahaan.
2. kontrak dimana seseorang memberikan/menyerahkan secara kepercayaan sejumlah uang atau barang kepada seorang pedagang untuk menjalankan suatu perusahaan dengan memperoleh keuntungan dengan risiko adanya kemungkinan mengalami kerugian yakni hilangnya uang/barang yang diserahkan. Kontrak semacam ini di Italia dikenal diantaranya sebagai commenda (commendare=toevertrouwen (mempercayai)) .
Pada abad pertengahan para ahli hukum Romawi memandang bentuk kerja sama ini sebagai bentuk khusus dari societas, sebagai perseroan dagang (handelsvennootschappen) dan hingga kini Fa dan CV dianggap sebagai bentuk khusus dari maatschap. Sifat kerja sama antar orang atau asosiasi perorangan (personen-associaties) adalah perusahaan perorangan dengan tanggung gugat secara tanggung renteng. Perseroan akan berakhir dengan meninggalnya salah seorang peserta .
Dari bentuk societas sebagai pemilikan kekayaan bersama, tumbuh suatu bentuk kerja sama. Mendasarkan pada perjanjian diantara peserta/pemilik bersama lahir pula janji-janji bahwa dengan bantuan dari para peserta hendak dicapai tujuan bersama, yakni tercapainya suatu keuntungan.
III. Badan usaha sebagai badan hukum
A. Badan hukum
Manusia (natuurlijk persoon) adalah pendukung hak dan kewajiban. Dalam dunia hukum dan pergaulan hukum dikenal istilah subyek hukum (subjectum juris). Manusia bukan satu-satunya subyek hukum, karena masih ada subyek hukum lainnya yakni segala sesuatu yang menurut hukum dapat mempunyai hak dan kewajiban, termasuk yang dinamakan badan hukum (rechtspersoon). Teori hukum mengenai apa subyek hukum dan siapakah subyek hukum merupakan persoalan teori dari hukum positif. Teori hukum bertanya akan kebenaran, merupakan suatu ajaran dan pengetahuan tetapi bukan suatu perintah. Walaupun teori hukum mempunyai lingkup sendiri, hukum positif akan tunduk pada teori hukum karena dengan adanya gejala baru yang timbul, teori hukum akan dapat memaksa untuk dilakukan peninjauan atau pembaharuan hukum .
Kehadiran badan hukum dalam pergaulan hukum sejak permulaan abad ke-19 menarik perhatian kalangan ahli hukum. Teori-teori dan pendapat mengenai eksistensi badan hukum sebagai subyek hukum disamping manusia menjadi penelaahan filsafat hukum . Menurut Van Schilfgaarde dan Van Solinge, badan hukum bukan merupakan kategori dari hukum positif tetapi suatu perkembangan konstruksi pada hukum positif yang ditujukan dan cocok untuk dapat mengerti beberapa bagian dari hukum positif dan membawa keteraturan tertentu di dalam hukum positif tersebut .
B. Syarat-syarat badan hukum
Kapan dapat dikatakan adanya badan hukum tergantung pada syarat mana telah dipenuhi oleh badan usaha dan dapat dikaji dari sumber hukum formal, yakni:
1. telah dipenuhi syarat yang diminta oleh perundang-undangan, atau
2. telah dipenuhi syarat yang diminta oleh hukum kebiasaan, atau
3. oleh yurisprudensi, atau
4. doktrin .
Pasal 1 angka 1 UUPT secara tegas menyatakan, bahwa PT adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UUPT serta peraturan pelaksanaannya. Demikian pula halnya dengan yayasan yang merupakan badan hukum menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan (UUYay). Dengan demikian, PT dan yayasan adalah badan hukum setelah dipenuhi syarat yang diminta oleh perundang-undangan.
Kebiasaan dan yurisprudensi merupakan sumber hukum formal sehingga jikalau tidak ditemukan syarat-syarat badan hukum dalam perundang-undangan dan doktrin, maka dicari sumbernya pada kebiasaan dan yurisprudensi. Yayasan sebelum berlakunya UUYay telah diakui eksistensinya di dalam pergaulan hukum, sebagai badan hukum berdasarkan kebiasaan dan yurisprudensi. Pada umumnya doktrin mendasarkan pada syarat-syarat (unsur-unsur) yang dapat dipakai sebagai kriteria untuk menentukan adanya kedudukan sebagai badan hukum, yakni:
a. adanya harta kekayaan yang terpisah;
b. mempunyai tujuan tertentu;
c. mempunyai kepentingan sendiri;
d. adanya organisasi yang teratur.
III. Persekutuan Perdata (maatschap)
Empat faset dari pengertian maatschap .
1. maatschap sebagai perjanjian dalam artian suatu tindakan hukum dimana para sekutu/pesero saling mengikatkan diri untuk melakukan beberapa hubungan hukum, demikian Pasal 1633 KUHPerd: ”Jika di dalam perjanjian persekutuan (…)”;
2. maatschap sebagai lahirnya sejumlah hubungan hukum diantara para sekutu/pesero dengan mendasarkan pada perjanjian, demikian diantaranya Pasal 1624 KUHPerd:” Persekutuan mulai berlaku sejak saat perjanjian (…)”;
3. maatschap sebagai kesatuan para sekutu/pesero yang satu sama lain terikat dalam hubungan hukum di dalam persekutuan. Dengan kata lain, suatu persekutuan orang bukan persekutuan modal; Pasal 1629 KUHPerd: ”Jika seorang sekutu telah menerima seluruh bagiannya dalam suatu piutang bersama, (…)”;
4. maatschap sebagai kekayaan bersama dari persekutuan/perseroan, sebagaimana dimaksud Pasal 1651 ayat kedua KUHPerd: ”(…) atas pembagian persekutuan (…)”.
Pasal 1618 KUHPerd yang merupakan terjemahan dari Pasal 1832 Code Civil memberikan gambaran mengenai maatschap sebagai suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya . Maatschap adalah suatu perjanjian (obligatoir) timbal balik dengan tujuan utama adalah hubungan kerja sama dan membagi keuntungan (voordeel) bagi para sekutu/peseronya. Pada perjanjian timbal balik yang umum terjadi adalah bahwa dengan telah dipenuhi prestasi yang dijanjikan, maka perjanjian telah selesai/berakhir. Hal mana berbeda dengan perjanjian (timbal balik) pada maatschap. Memang ada prestasi timbal balik yang dijanjikan diantara para sekutu, yakni menjanjikan pemasukan sesuatu atau inbreng tetapi tidak dalam artian tukar menukar. Mereka memasukkan sesuatu (inbreng) sebagai bagian kebersamaan (in gemeenschap). Inbreng yang digabungkan harus diusahakan oleh para sekutu/pesero untuk memperoleh keuntungan bersama. Ciri yang substansial adalah timbulnya kerja sama antar sekutu/pesero sebagai mata rantai antara inbreng dan keuntungan.
Sebagai bukti, bahwa maatschap merupakan perjanjian timbal balik yang mempunyai ciri ”khusus” adalah putusan Hoge Raad (HR 3 desember 1948, NJ 1949, 358; Gelders Dagblad) bahwa walaupun maatschap merupakan perjanjian timbal balik, tetapi ketentuan Pasal 1266 KUHPerd (syarat batal dianggap selalu dicantumkan pada perjanjian timbal balik) tidak dapat diterapkan pada hubungan (hukum) persekutuan (vennootschapsrelatie) karena jikalau salah satu sekutu/pesero telah ingkar janji, dan perjanjian maatschap menjadi batal maka kepentingan para sekutu/pesero lainnya dan juga pihak ketiga akan dirugikan. Melihat pada sifat yang menyimpang dari perjanjian timbal balik yang ”umum”, dan juga hal lain seperti adanya hubungan kerja sama antar sekutu/pesero, maka perjanjian untuk ”berdirinya” maatschap seharusnya merupakan ”Gesamtakt” atau tindakan hukum yang membentuk kebersamaan (gemeenschapsvormende rechtshandeling) . Maatschap an sich sebenarnya tidak didirikan seperti halnya pendirian PT; hubungan kerja sama lahir dengan adanya perjanjian .
Maatschap adalah bukan badan hukum. Pada badan hukum maka primer orang akan teringat pada organisasi, adanya organ-organ yang secara teratur bekerja untuk mencapai tujuan badan usaha. Adapun organ yang pada badan hukum tergantung pada ketentuan perundang-undangan seperti pada PT diharuskan adanya direksi, dewan komisaris dan rapat umum para pemegang saham. Pada yayasan ada keharusan organ seperti pembina, pengurus, dan pengawas. Apabila maatschap hendak dikategorikan sebagai badan hukum, maka perlu adanya organ “pengurus”. Kolektivitas atau kebersamaan para pengurus (collectiviteit van bestuurders) adalah tidak sama dengan college (=organ) pengurus. Dengan demikian, kolektivitas atau pengurus yang harus bertindak bersama-sama adalah tidak sama dengan collegiaal (organiek) pengurus yang (dapat) diputuskan berdasarkan korum tertentu. Keberadaan suatu organ pengurus tidak tergantung pada kebersamaan para pengurus, hal mana berbeda dengan kolektivitas .
IV. Ciri-ciri perjanjian maatschap
A. Unsur-unsur essentialia
Berdasarkan definisi Pasal 1618 KUHPerd maka maatschap mempunyai ciri-ciri :
1. Unsur perjanjian dan syarat sahnya perjanjian harus dipenuhi.
2. Pemasukkan (inbreng)
Tiap sekutu/pesero mengikatkan diri dan wajib memasukkan sesuatu dan menjadi kekayaan bersama. Memasukkan berarti tidak saja tindakan memasukkan tetapi juga obyek yang dimasukkan yang dapat berupa uang, benda, hak kenikmatan dari kebendaan atau tenaga/keahlian para sekutu/pesero (Pasal 1610 ayat kedua KUHPerd). Obyek yang dimasukkan adalah barang – benda atau hak – yang nantinya menjadi bagian dari kekayaan maatschap.
3. Membagi keuntungan (bersama)
Kewajiban untuk melakukan inbreng adalah dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya diantara para sekutu/persero. Ada dua tujuan yakni (1) memperoleh keuntungan dan (2) membagi keuntungan bersama.
Keuntungan dalam arti luas tidak saja berupa penambahan harta yang bersifat kebendaan (stoffelijk) tetapi juga dalam artian menghindari pengurangan harta, penghematan biaya. Sebagai contoh, beberapa pengacara bersama-sama membuka kantor dengan menggunakan gedung, perlengkapan kantor, karyawan bersama tetapi masing-masing berpraktek dan memperoleh penghasilan sendiri.
Masih dapat ditambahkan sebagai unsur (essentialia) tambahan :
4. Aktivitas
Aktivitas adalah bertindak dalam arti ekonomis yakni bekerja sama secara aktif di bidang lalu lintas ekonomi. Para sekutu/pesero berjanji untuk bersama-sama melakukan “sesuatu” dengan maksud memperoleh keuntungan. Inbreng hanya merupakan instrumen bantuan. Sebagaimana diucapkan oleh Ulpianus bahwa tidak akan ada societas kalau tidak ada affectio societatis (keinginan untuk bekerja sama, keinginan untuk membentuk maatschap).
5. Hak menentukan
Semua sekutu/pesero mempunyai hak menentukan mengenai segala hal berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai, kegiatan serta keuntungan dan penggunaannya. Undang-undang mengenai hak berpendapat ini hanya mengatur berkaitan dengan kewenangan pengurusan oleh para sekutu/pesero di dalam Pasal 1636-Pasal 1639 KUHPerd. Hak menentukan para sekutu/pesero tidak sama dengan hak menuntut prestasi pada suatu perikatan karena sifatnya adalah selain hak tuntut berdasar hukum perikatan juga ada hak menentukan yang bersifat keorganisasian (organisatierechtelijke trekken).
6. Kedudukan yang sama.
Dikatakan bahwa maatschap adalah bentuk kerja sama. Agar para pihak di dalam maatschap dapat bekerja sama maka diperlukan adanya kedudukan yang sama diantara para sekutu/pesero, tidak adanya hubungan atasan-bawahan. Hubungan diantara para sekutu/pesero bersifat sangat pribadi (hoogstspersoonlijk). Kedudukan yang sama diantara para sekutu/pesero tidak secara tegas disebutkan di dalam undang-undang, hanya beberapa putusan Hoge Raad menunjukan adanya kedudukan sama dari para sekutu/pesero . Justru di dalam literatur dan pendapat beberapa ahli hukum , perjanjian perburuhan dan perjanjian maatschap merupakan dua bentuk perjanjian yang bertolak belakang karena justru pada hubungan buruh-majikan tidak nampak adanya kedudukan yang sama diantara mereka. Memang pada semua perjanjian diperlukan “kerja sama” diantara para pihak agar terbentuk perjanjian tersebut tetapi bukan itu maksud hakekat dari suatu kerja sama.
B. Bentuk dan jenis persekutan perdata (maatschap)
Maatschap adalah perjanjian konsensuil yang bentuknya bebas sehingga maatschap dapat terbentuk karena kesepakatan yang tercapai secara lisan atau secara diam-diam. Biasanya perjanjian maatschap dibuat secara tertulis, dalam bentuk di bawah tangan atau dengan akta notaris.
Pasal 1620 KUHPerd menyebutkan adanya persekutuan penuh (algeheel) dan persekutuan khusus (bijzonder).
1. Persekutuan penuh (Pasal 1622 KUHPerd) adalah adanya perjanjian diantara para sekutu/pesero dengan tujuan memperoleh keuntungan mengenai segala apa dan dengan nama apapun yang diperoleh sebagai hasil dari kerajinan mereka (Pasal 1622 KUHPerd). Di dalam bentuk persekutuan penuh dimasukkan seluruh kerajinan dari para sekutu/pesero.
2. Persekutuan khusus (bijzonder) menurut Pasal 1623 KUHPerd adalah persekutuan yang hanya mengenai barang tertentu saja atau pemakaian atau hasil-hasil dari barang-barang itu atau mengenai suatu perusahaan maupun mengenai menjalankan suatu perusahaan (bedrijf) atau pekerjaan tetap (beroep).
Seringkali menjadi pertanyaan apakah antara suami-istri boleh membentuk maatschap, yang oleh Mohr dikatakan, bahwa hal tersebut dimungkinkan asalkan sekurangnya salah seorang suami atau istri memiliki kekayaan pribadi . Perlu diingat bahwa tidak diperbolehkan antara suami-istri mengadakan perjanjian yang dapat mengakibatkan pergeseran kekayaan (Pasal 149 KUHPerd) . Demikian pula Hoge Raad 24 Januari 1947, NJ 1947, nr 71, mengatakan bahwa dengan inbreng dimaksudkan untuk memperoleh alat (modal) bagi perseroan tanpa dengan demikian menyebabkan terjadinya pergeseroan kekayaan diantara para pesero .
C. Pekerjaan tetap (beroep) dan menjalankan perusahaan (bedrijf)
Undang-undang tidak memberikan batasan dari kedua pengertian bedrijf dan beroep. Di dalam masyarakat dikenal sebagai (vrije atau zelfstandige) beroep yakni dokter, pengacara, konsulen pajak dan notaris yang menjalankan suatu pekerjaan tetap (beroep). Pabrikan, menjalankan toko/warung atau restoran/cafe dikatakan bahwa mereka menjalankan suatu perusahaan (bedrijf). Selain perbedaan tersebut, masih dikenal pula perbedaan spesifik di dalam beroep, yakni dokter dan pengacara menjalankan pekerjaan atas dasar kualitas perorangan sedangkan notaris, juru sita atau hakim disamping adanya kualitas perorangan juga didasarkan pada kedudukan mereka sebagai pejabat .
Melakukan pekerjaan atas dasar dan alasan idiil yang secara teratur dan mandiri dalam bidang tertentu yang memiliki kualitas pribadi yang sangat terpelajar (hoogontwikkelde persoonlijke kwaliteiten) dalam bidangnya, digolongkan pada menjalankan pekerjaan tetap (beroep). Menjalankan perusahaan (bedrijf) adalah mereka yang secara teratur melakukan pekerjaan terutama atas dasar dan alasan materiil mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, serta tidak semata-mata mendasarkan pada kualitas perorangan dari orang yang menjalan perusahaan tersebut .
D. Perseroan firma (Fa) dan perseroan komanditer (CV)
Ketentuan perundang-undangan mengenai Fa dan CV boleh dikatakan sederhana, yakni di Bagian Kedua KUHDag, Pasal 16 hingga Pasal 35 KUHDag. Di dalam praktek beberapa ketentuan diabaikan seperti pendaftaran dikepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukumnya perseroan bertempat kedudukan dan pengumuman dalam Berita Negara walaupun ada sanksi sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 29 KUHDag.
1. Perseroan firma (Fa)
Perseroan firma adalah tiap-tiap perserikatan yang didirikan untuk menjalankan sesuatu perusahaan di bawah satu nama bersama (Pasal 16 KUHDag).
Ada tiga unsur Fa yakni:
a. Maatschap;
Fa adalah bentuk khusus dari persekutuan perdata (maatschap) sehingga unsur-unsur dari maatschap sebagaimana telah disebutkan di atas berlaku pula bagi Fa. “Aktivitas” Fa adalah menjalankan perusahaan.
b. Menjalankan perusahaan;
Bedrijf adalah semacam beroep, suatu species dari genus beroep. Bedrijf adalah aktivitas yang dilakukan secara teratur dan terbuka serta menjalankan perusahaan sebagai nafkahnya. Menjalankan perusahaan merupakan kegiatan yang dimana lebih diutamakan terhadap benda/barangnya ketimbang pada pedagangnya.
c. Di bawah satu nama bersama
“Di bawah satu nama” merupakan ciri dari sifat terbuka suatu Fa yang kepada pihak ketiga diperkenalkan bahwa perusahaannya menggunakan satu nama. Di dalam praktek seringkali menggunakan nama salah seorang pesero/firmant atau nama fantasi atau kombinasi dari nama-nama para pesero.
Seringkali oleh ahli hukum ditambahkan unsur satu lagi, yakni:
d. Bukan merupakan perseroan komanditer .
“Bukan merupakan CV” cukup signifikan untuk ditambahkan mengingat definisi Pasal 16 KUHDag menyebutkan bahwa “Fa ialah tiap-tiap perserikatan yang (…)” teks aslinya berbunyi “De vennootschap onder eene firma is de maatschap, tot (…)” . Unsur keempat dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa CV adalah pula suatu maatschap tetapi berbeda dengan Fa.
Pendirian Fa menurut Pasal 22 KUHDag, Fa dilakukan dengan akta otentik. Apakah dengan demikian akta otentik merupakan syarat mutlak untuk terbentuknya Fa? Anak kalimat dari Pasal 22 KUHDag mengatakan bahwa ”akan tetapi ketiadaan akta yang demikian tidak dapat dikemukakan untuk merugikan pihak ketiga”. Ini berarti bahwa akta otentik berfungsi sebagai alat bukti jikalau seorang pesero/firmant harus membuktikan dirinya terhadap pesero/firmant lainnya (misalnya, hak subrogasi dan regres dalam hal pesero telah membayar utang perseroan) atau terhadap pihak ketiga (misalnya jikalau pesero/firmant atas nama perseroan menuntut pelaksanaan prestasi dari pihak ketiga dari perjanjian yang telah dibuat oleh salah seorang pesero/firmant).
2. Perseroan komanditer (CV)
CV yang juga dikenal sebagai perseroan dengan pesero pelepas uang merupakan bentuk khusus dari maatschap. Pasal 19 ayat kesatu KUHDag menyebutkan CV sebagai perseroan secara melepas uang yang didirikan antara satu orang atau beberapa pesero yang secara tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya pada pihak satu, dan satu orang atau lebih sebagai pelepas uang pada pihak lain.
Adapun unsur CV adalah:
a. maatschap;
b. menjalankan perusahaan;
c. di bawah satu nama bersama;
d. satu atau lebih pesero pengurus dengan satu atau lebih pesero komanditer yang hanya memasukkan modal.
Dari unsur CV tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa segala unsur dan persyaratan sahnya serta ketentuan lainnya dari maatschap berlaku pula untuk CV. Sebagaimana halnya dengan menjalankan perusahaan di bawah satu nama bersama berlaku keterangan mengenai Fa tersebut pada sub b dan sub c. Perbedaan utama dengan Fa adalah adanya dua jenis pesero pada CV yakni pesero pengurus yang mengurus dan mewakili perseroan, bertanggung jawab renteng dan pesero komanditer atau pesero diam yang hanya memasukkan modal dengan tidak diperbolehkan melakukan pengurusan dan tidak menanggung kerugian lebih daripada modal yang telah disetorkan.
CV sebagai bentuk varian dari maatschap dapat dihindari praktek woeker karena pesero komanditer atau pesero diam tidak meminjamkan uangnya dengan bunga akan tetapi memasukkan modal dengan mendapatkan keuntungan tetapi ikut serta mengambil risiko hilangnya modal yang dimasukkan tersebut.
V. Perubahan dan perkembangan badan usaha di luar PT
Terhadap ide dari pemberian kedudukan badan hukum kepada badan usaha yang menurut yurisprudensi dan doktrin belum dapat digolongkan sebagai badan hukum Mohr berpendapat, bahwa pemberian kedudukan suatu badan usaha sebagai badan hukum bukan merupakan suatu perubahan yang spektakuler. Kedudukan sebagai badan hukum berarti tidak lebih dari pengakuan akan adanya entitas di dalam lalu lintas hukum; yakni sebagai subyek hukum pendukung hak dan kewajiban. Tidak berarti, bahwa keterikatan para pesero akan tanggung gugat secara langsung terhadap perikatan yang dilakukan oleh perseroan akan hilang. Hubungan obligatoir diantara para pesero secara internal tetap eksis dan tidak membawa konsekuensi apapun terhadap kebadan hukumannya karena akan tetap tunduk pada perjanjian yang terjadi diantara para pesero. Kedudukan sebagai badan hukum hanya berakibat terhadap kekayaan perseroan yang bukan lagi merupakan pemilikan harta kekayaan bersama tetapi merupakan kekayaan dari perseroan. Hal tersebut penting berkaitan dengan posisi hak tuntut para kreditor dari perseroan.
Diusulkan sebagai titel 13 buku 7 BW, mengenai Vennootachap yang akan memperbaharui seluruh peraturan perundang-undangan tentang maatschap, Fa dan CV., maka vennootschap akan terdiri atas dua kategori pokok yakni perseroan modal (kapitaalvennootschap) dan perseroan perorangan (personenvennootschap). Di dalam perseroan modal terdapat Besloten Vennootschap (BV) dan Naamloze Vennootschap (NV).
Perseroan (vennootschap) adalah perjanjian untuk bekerja sama dari dua orang atau lebih serta bertanggung jawab bersama, dengan tujuan untuk dari pemasukan (inbreng) memperoleh keuntungan bersama. Unsur-unsurnya adalah perjanjian, bekerja sama, bertujuan memperoleh keuntungan bersama, dan kewajiban akan pemasukan (inbreng).
Tujuan dari perubahan perundang-undang ini adalah fleksibilitas tentang pemberian status badan hukum dengan kebebasan untuk memilih perseroan perorangan (personenvennootschap) dengan status badan hukum atau tidak yakni dengan mencantumkannya di dalam akta perjanjian perseroan tersebut .
A. Perseroan terbuka (openbare vennootschap) dan perseroan diam (stille vennootschap)
Oleh Wessels dan Verheij dijelaskan adanya dua kategori utama pada perseroan perorangan (personenvennootschap), yakni perseroan terbuka (openbare vennootschap) dan perseroan diam (stille vennootschap). Kategori perseroan terbuka terdiri dari empat subkategori. Diharapkan dikemudian hari, pembagian perseroan perorangan (personenvennootschap) adalah sebagai berikut:
– perseroan diam (stille vennootschap) dan
– perseroan terbuka (openbare vennootschap) yang dibagi lagi menjadi:
a. perseroan terbuka ”biasa” (”gewone” openbare vennootschap)
b. perseroan terbuka berbadan hukum (openbare vennootschap rechtspersoon)
c. CV (commanditaire vennootschap)
d. CV berbadan hukum (commanditaire vennootschap rechtspersoon)
Setiap perseroan yang bukan merupakan perseroan terbuka (openbare vennootschap) adalah perseroan diam (stille vennootschap).
1. Perseroan terbuka adalah badan hukum jika di dalam perjanjian perseroan yang di buat dengan akta notaris dengan jelas menunjukan keterangan yang relevan kepada pihak ke tiga, didaftarkan pada register perdagangan, menjalankan suatu beroep atau bedrijf dengan melakukan pekerjaan/tindakan yang jelas, teratur dan terang-terangan dengan menggunakan satu nama dengan mencantumkan dibelakang nama perseroan “Openbare Vennootschap” disingkat OVR. Pada perseroan terbuka maka para peseronya bertindak dan mewakili atas nama perseroan sebagai suatu entitas.
Pemberian kedudukan sebagai badan hukum bagi perseroan terbuka merupakan hal yang dianggap maju dan baru. Alasan yang utama terletak pada kebutuhan di dalam praktek yakni kemungkinan untuk memperoleh kedudukan sebagai badan hukum dan kedudukan badan hukum tidak sembarangan diberikan kepada semua perseroan. Keuntungan yang diperoleh berkaitan dengan kedudukan badan hukum bagi perseroan terbuka adalah di bidang hukum kebendaan dimana kekayaan merupakan kekayaan perseroan yang terpisah dari kekayaan para pesero bersama. Hal tersebut berakibat terhadap kekayaan perseroan yang tidak terganggu dengan keluarnya, penggantian atau masuknya para pesero dari perseroan. Tentu keadaan ini sangat penting bagi pihak ketiga berkaitan dalam hak tuntut mereka terhadap perseroan. Para kreditor prive/pribadi dari pesero tidak dapat menuntut kekayaan perseroan; perseroan bukan debitor dari kreditor prive/pribadi tersebut.
2 Perseroan yang tidak terbuka adalah perseroan diam (stille vennootschap). Jikalau suatu perseroan tidak memenuhi salah satu unsur dari perseroan terbuka, maka perseroan akan digolongkan pada perseroan diam (stille vennootschap). Jikalau perseroan ikut serta di dalam lalu lintas hukum, tidak menggunakan satu nama, menjalankan suatu beroep atau bedrijf, maka perseroan tersebut adalah perseroan diam (stille vennootschap.
3. Perseroan komanditer digolongkan pada perseroan terbuka dimana disamping adanya seorang atau lebih pesero ada seorang atau lebih pesero komanditer. Dibutuhkan syarat agar dapat digolongkan pada CV yakni bahwa pemasukkan oleh pesero komanditer tidak boleh hanya berupa tenaga, pesero komanditer tidak boleh melakukan tindakan hukum atas nama perseroan dan hanya bertanggung jawab hingga jumlah modal yang dimasukkan. Jikalau pada suatu waktu tidak ada pesero komanditer maka bukan merupakan CV lagi tetapi merupakan perseroan terbuka.
C. Perseroan (maatschap) dengan tanggung jawab terbatas (Limited Liability Partnership disingkat LLP)
Tanggung gugat merupakan masalah yang krusial pada suatu bentuk usaha. Oleh Wessels diusulkan untuk mendasarkan pada ketentuan Pasal 6:110 BW bentuk maatschap diberi kemungkinan untuk membatasi tanggung gugat yang diwajibkan oleh undang-undang yakni membatasi kerugian yang menurut kelayakan jauh melampaui ganti rugi yang dapat ditutup oleh asuransi, ditentukan berdasarkan peraturan pemerintah. Beliau memberi contoh bahwa pada kertas surat suatu kantor pengacara di Nederland dibubuhkan catatan:
“Semua pekerjaan yang diterima dan dikerjakan dilakukan dengan ketentuan bahwa tanggung gugat dibatasi sejauh ditanggung oleh asuransi yang diwajibkan terhadap tanggung gugat melakukan pekerjaan (beroepsaansprakelijkheid)” .
Latar belakang dari bentuk LLP adalah menciptakan adanya kemungkinan membatasi tanggung gugat terhadap ganti rugi diluar proporsi. Dengan cara pembatasan tanggung gugat ini berakibat, bahwa kesalahan yang dibuat oleh rekan/sekutu tidak akan membebani rekan/sekutu lainnya dan idealnya adalah tanggung gugat tidak akan melampaui ganti rugi sesuai dengan kepatutan/kelayakan yang dapat ditutup asuransi. LLP dikenal di Negara-negara Anglo-Amerika tetapi telah diikuti pula oleh Jerman. Diusulkan oleh Wessels untuk menyesuaikan ketentuan mengenai BV (Besloten vennootschap = PT di Indonesia) dengan LLP.
VII. Kesimpulan
Perundang-undangan kita mengenal empat bentuk kerja sama di bidang komersial, yakni persekutuan perdata (maatschap), perseroan firma (Fa), perseroan komanditer (CV) dan perseroan terbatas (PT). Bentuk badan usaha tersebut semuanya mempunyai kesamaan seperti kewajiban para pesero melakukan pemasukan (inbreng), dan (dengan bekerja sama) membagi keuntungan diantara mereka.
PT sudah terinstitutional dan mempunyai kedudukan sebagai badan hukum. Tiga bentuk badan usaha di luar PT mendasarkan keberadaannya pada perjanjian dan pada asasnya bersifat sangat pribadi (hoogstpersoonlijk) yang hanya dapat berfungsi dengan baik jikalau para pesero mempunyai cara berpikir atau paham yang sama. Usahanyapun dijalankan bersama sehingga dari hal-hal tersebut menyebabkan tidak mudahnya para anggota mengalihkan posisinya kepada orang lain. Kontinuitas badan usaha di luar PT sangat dipengaruhi oleh pribadi perorangan. Walaupun badan usaha di luar PT dianggap mempunyai ”kekayaan sendiri” yang menjadi jaminan tanggung gugat kreditor namun karena bukan badan hukum, maka tidak dapat memiliki hak dan kewajiban sebagaimana halnya pada suatu badan hukum.
Kegiatan beroep dan bedrijf dibawah satu nama dilakukan oleh perseroan di luar PT. Bentuk dan prosedur pendirian badan usaha di luar PT lebih sederhana, tidak memerlukan modal relatif besar, serta memenuhi falsafah kekeluargaan sebagai prinsip kebersamaan. Pemberian status badan hukum bagi perseroan tertentu akan memberi kepastian hukum yang berakibat antara lain bahwa kekayaan perseroan bukan lagi merupakan kekayaan bersama para pesero sehingga tidak mengganggu kelangsungan ”hidup” perseroan berkaitan dengan keluar-masuknya atau penggantian (para) pesero.
Perubahan dan perkembangan yang terjadi di di Nederland terhadap perubahan dan perkembangan badan-badan usaha di luar PT, dapat memberi inspirasi untuk membentuk undang-undang tentang badan usaha di luar PT baru yang paling sesuai bagi iklim ekonomi nasional.
Melihat pada adanya perkembangan terhadap pemberian status badan hukum pada perseroan di luar PT, maka dengan mengingat dianutnya demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan dan kesatuan ekonomi nasional, maka atas dasar tersebut bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) perlu diberi peluang untuk berusaha dengan badan usaha di luar PT sebagai bentuk kerja sama yang diberi status badan hukum.
Singkat kata:
1. Menyusun undang-undang badan hukum;
2. Menentukan batasan yang jelas antara pekerjaan tetap (beroep) dan menjalankan perusahaan (bedrijf);
3. Meninjau kembali ketentuan mengenai maatschap, Fa dan CV guna menyesuaikan dengan kebutuhan ekonomi nasional terutama bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) antara lain mengenai unsur-unsurnya, para pesertanya, tata cara/prosedur pendirian, tanggung gugat eksternal dan internal sehingga jelas perbedaannya dengan yayasan, perkumpulan dan koperasi, dengan
4. Membentuk undang-undang tentang badan usaha di luar PT yang baru.
– 0 –
(Sumber : Majalah MINUTA terbitan Mei 2013)


Notaris Tidak Berwenang Membuat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), Berdasarkan Perkaban Nomor 8/2012, Tapi Berwenang Membuat Akta Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (AKMHT) Berdasarkan Pasal 15 Ayat (1) Dan Pasal 38 UUJN
 (Oleh : Dr. Habib Adjie, SH, MHum)

Habib Adjie
Pasal 15 ayat (1) undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah menegaskan bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT. Dengan demikian kewenangan untuk membuat SKMHT ada pada Notaris dan PPAT.
Dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) bahwa Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat akta, dan syarat serta ketentuan akta Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 38 UUJN. Kalau kita kaji lebih dalam ternyata awal dan akhir dari SKMHT yang sekarang ini dibuat di hadapan Notaris, tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN, artinya tidak memenuhi syarat sebagai akta Notaris.
Sekarang timbul pertanyaan, apakah akibat hukum dari akta Notaris yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN ?. Kalau kita membaca Pasal 84 UUJN mengenai sanksi perdata terhadap Notaris dan Pasal 85 UUJN mengenai sanksi administratif terhadap Notaris, maka tidak ada sanksi bagi Notaris jika akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris tidak memenuhi ketentuan Pasal 38 UUJN. Meskipun UUJN tidak mengatur sanksi bagi Notaris yang membuat akta tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN, maka dalam hal ini harus dikaitkan dengan aturan hukum lain yang ada hubungannya dengan akta Notaris, dalam hal ini yaitu Pasal 1868 dan 1869 Kitab Undang-undang-undang Hukum Perdata (KUHPer).
Pasal 1868 B.W. merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a. akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum.
b. akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,
c. Pejabat Umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut..
Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Akta yang dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum.
Pasal 38 UUJN yang mengatur mengenai Sifat dan Bentuk Akta tidak menentukan mengenai Sifat Akta. Dalam Pasal 1 angka 7 UUJN menentukan bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN.
Akta yang dibuat oleh (door) Notaris dalam praktek Notaris disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris, dalam praktek Notaris disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris..
Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atu kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Notaris.
Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta Notaris, tidak berarti Notaris sebagai pelaku dari akta tersebut, Notaris tetap berada di luar para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan Notaris seperti itu, sehingga jika suatu akta Notaris dipermasalahkan, maka tetap kedudukan Notaris bukan sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai Tergugat atau Turut Tergugat dalam perkara perdata. Penempatan Notaris sebagai pihak yang turut serta atau membantu para pihak dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan Notaris sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, maka hal tersebut telah mencederai akta Notaris dan Notaris yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta Notaris dan Notaris di Indonesia. Siapapun tidak dapat memberikan penafsiran lain atas akta Notaris atau dengan kata lain terikat dengan akta Notaris tersebut.
Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta Notaris dan Notaris, jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka :
1. para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.
2. jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan ? Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hakim.
Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta Notaris. Dalam kedua posisi tersebut, penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta Notaris.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
Ketika kepada para Notaris masih diberlakukan Peraturan Jabatan Notaris (PJN), masih diragukan apakah akta yang dibuat sesuai dengan undang-undang ? Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie voor de Notarissen Residerende in Nederlands Indie dengan Stbl. No. 11, tanggal 7 Maret 1822, kemudian dengan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb.1860 : 3), dan Reglement ini berasal dari Wet op het Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi PJN. Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara kelembagaan dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta Notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN.
c. Pejabat umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu :
1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu;
Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga berwenang membuatnya disamping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang Notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Pasal 15 UUJN telah menentukan wewenang Notaris. Wewenang ini merupakan suatu batasan, bahwa Notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan di luar wewenang tersebut. Tindakan Notaris diluar wewenang yang sudah ditentukan tersebut, dapat dikategorikan sebagai perbuatan di luar wewenang Notaris. Jika menimbulkan permasalahan bagi para pihak yang menimbulkan kerugian secara materil maupun immateril dapat diajukan gugatan ke pengadilan negeri.
2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Meskipun Notaris dapat membuat akta untuk setiap orang, tapi agar menjaga netralitas (imparsial) Notaris dalam pembuatan akta, ada batasan bahwa menurut Pasal 52 UUJN Notaris tidak diperkenankan untuk membuat akta untuk diri, sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu di buat.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu di buat. Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai dengan keinginannya mempunyai tempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota (Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Pengertian pasal-pasal tersebut bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah jabatan seluruh propinsi, misalnya Notaris yang berkedudukan di Kota Surabaya, maka dapat membuat akta di kabupaten atau kota lain dalam wilayah Propinsi Jawa Timur. Hal ini dapat dijalankan dengan ketentuan :
a. Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta) di luar tempat kedudukkanya, maka Notaris tersebut harus berada di tempat akta akan dibuat. Contoh Notaris yang berkedudukan di Surabaya, akan membuat akta di Mojokerto, maka Notaris yang bersangkutan harus membuat dan menyelesaikan akta tersebut di Mojokerto.
b. Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten) pembuatan dan penyelesaian akta.
c. Menjalankan tugas jabatan diluar tempat kedudukan Notaris dalam wilayah jabatan satu propinsi tidak merupakan suatu keteraturan atau tidak terus-menerus (Pasal 19 ayat (2) UUJN).
Ketentuan tersebut dalam praktek memberikan peluang kepada Notaris untuk merambah dan melintasi batas tempat kedudukan dalam pembuatan akta, meskipun bukan suatu hal yang dilarang untuk dilakukan, karena yang dilarang menjalankan tugas jabatannya di luar wilayah jabatannya atau di luar propinsi (Pasal 17 huruf a UUJN), tapi untuk saling menghormati sesama Notaris di kabupaten atau kota lain lebih baik hal seperti itu untuk tidak dilakukan, berikan penjelasan kepada para pihak untuk membuat akta yang diinginkannya untuk datang menghadap Notaris di kabupaten atau kota yang bersangkutan. Dalam keadaan tertentu dapat saja dilakukan, jika di kabupaten atau kota tersebut tidak ada Notaris.
4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan berhalangan untuk menjalankan tugas jabatannya. Agar tidak terjadi kekosongan, maka Notaris yang bersangkutan dapat menunjuk Notaris Pengganti (Pasal 1 angka 3 UUJN).
Seorang Notaris dapat mengangkat seorang Notaris Pengganti, dengan ketentuan tidak kehilangan kewenangannya dalam menjalankan tugas jabatatannya, dengan demikian dapat menyerahkan kewenangannya kepada Notaris Pengganti, sehingga yang dapat mengangkat Notaris Pengganti, yaitu Notaris yang cuti, sakit atau berhalangan sementara, yang setelah cuti habis protokolnya dapat diserahkan kembali kepada Notaris yang digantikannya, sedangkan tugas jabatan Notaris dapat dilakukan oleh Pejabat Sementara Notaris hanya dapat dilakukan untuk Notaris yang kehilangan kewenangannya dengan alasan :
a. meninggal dunia;
b. telah berakhir masa jabatannya;
c. minta sendiri;
d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;
e. pindah wilayah jabatan;
f. diberhentikan sementara, atau
g. diberhentikan dengan tidak hormat;
Untuk Notaris Pengganti Khusus berwenang untuk membuat akta tertentu saja yang disebutkan dalam surat pengangkatannya, dengan alasan Notaris yang berada di kabupaten atau kota yang bersangkutan hanya terdapat seorang Notaris, dan dengan alasan sebagaimana tersebut dalam UUJN tidak boleh membuat akta yang dimaksud. Ketidakbolehan tersebut dapat didasarkan kepada ketentuan Pasal 52 UUJN, terutama mengenai orang dan akta yang akan dibuat.
Dengan demikian kedudukan akta Notaris sebagai akta otentik atau otensitas akta Notaris, karena :
1. akta dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Publik.
2. akta dibuat dalam bentuk dan tata cara (prosedur) dan syarat yang ditentukan oleh undang-undang,
3. Pejabat Publik oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Karakter yuridis akta Notaris, yaitu :
1. Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang (UUJN).
2. Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak, dan bukan keinginan Notaris;
3. Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam hal ini Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta.
4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapapun terikat dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta tersebut.
5. Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.
Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan sebagai mana tersebut dalam Pasal 1869 BW, yaitu karena :
(1) tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau
(2) tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau
(3) cacat dalam bentuknya,
maka akta tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak.
Dengan menggunakan parameter Pasal 15 dan Pasal 38 UUJN jis Pasal 1868 dan 1869 KUHPerdata, maka SKMHT yang dibuat di hadapan Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta Notaris, yaitu :
1) tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau
(2) tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau
(3) cacat dalam bentuknya,
sehingga Notaris dalam membuat kuasa membebankan hak tanggungan tidak dapat menggunakan blangko SKMHT yang selama ini ada, tapi atau Notaris tidak berwenang untuk membuat SKMHT dengan mempergunakan blangko SKMHT. Jika Notaris ingin tetap membuat SKMHT, maka Notaris wajib membuatnya dalam bentuk akta Notaris (bukan surat) dengan memenuhi semua ketentuan yang tercantum dalam Pasal 38 UUJN dan tidak mempergunakan blangko SKMHT.
Jika Notaris dalam membuat kuasa membebankan hak tanggungan masih menggunakan blangko SKMHT, maka Notaris telah bertindak diluar kewenangannya, sehingga SKMHT tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik, tapi hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Dengan demikian Notaris yang berwenang untuk membuat akta Notaris, tapi ternyata membuat SKMHT, yang merupakan akta yang dibuat diluar kewenangannya, tidak mampunya Notaris memahami pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan cacat bentuk akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, maka jika tindakan Notaris seperti itu telah menimbulkan kerugian terhadap pihak yang namanya tersebut dalam akta, yang tadinya berharap akta yang dinginkan dalam bentuk akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, tetapi karena melanggar ketentuan Pasal 1869 KUHPerdata, menjadi akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, maka pihak yang namanya tersebut dalam akta dapat mengajukan gugatan perdata kepada pengadilan negeri terhadap Notaris, agar Notaris dijatuhi sanksi perdata, berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris.
Bahwa konsumen paling besar yang mempergunakan SKMHT yaitu perbankan (bank) yang berkedudukan sebagai kreditur, tidak dapat dibayangkan jika ternyata ada debitur yang mengetahui dan memahami kedudukan SKMHT sebagaimana tersebut di atas, maka debitur yang bersangkutan dapat mengajukan pembatalan pinjamannya (kreditnya) dengan alasan SKMHT bukan akta Notaris dan tidak memenuhi syarat dan ketentuan sebagai akta Notaris berdasarkan Pasal 38 UUJN, dan sudah tentu peluang seperti ini terbuka untuk dilakukan oleh debitur, kemudian Notaris digugat oleh bank secara perdata, karena membuat akta yang hanya kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan.
Agar hal tersebut di atas tidak terjadi, mari para Notaris untuk secara komprehensip – integral ketentuan mengenai akta Notaris, dan juga untuk tidak membuat atau mengisi blangko SKMHT, jika Notaris masih ingin membuat akta kuasa membebankan hak tanggungan untuk kreditur dan debitur, dibuatkan saja Akta Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (AKMHT) yang sesuai dengan kewenangan Notaris untuk membuat akta (Pasal 15 ayat 1 UUJN), dan sesuai dengan syarat dan ketentuan akta Notaris berdasarkan Pasal 38 UUJN, dan tentu sesuai pula dengan ketentuan Pasal 1868 dan 1869 KUHPerdata. Tapi jika masih ingin memaksakan untuk mengisi blangko SKMHT, buat saja dalam kedudukan sebagai PPAT, bukan sebagai Notaris.
Dengan demkian :
a. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) UUJN kewenangan Notaris adalah membuat akta (otentik), bukan membuat surat, sehingga judulnya KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN atau AKTA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN bukan SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN. Dan bentuk/format akta Notaris harus sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN.
b. Akta ini buat dalam Minuta, sehingga dapat dibuat Salinannya.
 SKMHT DIBUAT DENGAN AKTA PPAT ATAU AKTA NOTARIS :
àc. DALAM PASAL 15 AYAT (1) UU NO. 4/1996
1.  GUNAKAN BLANGKO AKTA PPAT/NOMOR AKTA
àJIKA DIBUAT DENGAN AKTA PPAT  PPAT/SESUAI DAERAH KERJA PPAT DAN UNTUK OBJEK YANG ADA PADA DAERAH KERJA PPAT.
 GUNAKAN FORMAT/BENTUK
à2. JIKA DIBUAT DENGAN AKTA NOTARIS  AKTA NOTARIS SESUAI PASAL 38 UUJN/NOMOR AKTA NOTARIS/UNTUK OBJEK DI LUAR TEMPAT KEDUDUKAN/WILAYAH JABATAN NOTARIS.
d. Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 tidak mengatur SKMHT untuk Notaris, tapi khusus untuk PPAT.
Selamat Bekerja….!!!
Yayasan Untuk/Dengan Bidang Kegiatan Khusus

(Oleh : Habib Adjie*)

Habib Adjie
Undang-undang Yayasan dan peraturan pelaksanaannya tidak mengatur atau menentukan Yayasan untuk bidang kegiatan khusus atau tertentu. Yayasan untuk bidang kegiatan khusus atau tertentu dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan tertentu antara lain badan yang menyelenggarakannya harus dilakukan dalam bentuk Yayasan, misalnya dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
A. Bidang Kegiatan Pendidikan.
Dalam Pasal 60 huruf d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan ditegaskan bahwa : Masyarakat yang menyelenggarakan satuan pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, menengah, dan/atau tinggi, melalui badan hukum yang berbentuk antara lain yayasan, perkumpulan, dan badan lain sejenis.
Bidang Kegiatan Pendidikan sebagai sebagai salah satu implementasi dari dari salah satu maksud tujuan Yayasan, yaitu Sosial. Yayasan dengan bidang kegiatan pendidikan ini mempunyai maksud dan tujuan dalam bidang sosial yang tidak digabung atau dicampur dengan maksud dan tujuan Yayasan yang lain seperti Keagamaan dan Kemanusiaan. Pasal 60 huruf d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tersebut tidak menegaskan bahwa bidang kegiatan pendidikan tersebut harus berbentuk Yayasan dengan bidang kegiatan khusus, tapi substansi pasal tersebut dimaksudkan bidang kegiatan pendidikan harus dalam bentuk Yayasan dengan maksud tujuan sosial, dengan bidang kegiatan pendidikan.
Bahwa tidak ada larangan Yayasan untuk mencari keuntungan (financial) dari bidang kegiatan yang dilakukan Yayasan, dengan ketentuan segala dan semua keuntungan tersebut dikembalikan untuk kepentingan dan kemajuan Yayasan untuk mencapai maksud dan tujuannya. Sehingga kalau Yayasan yang bersangkutan dengan bidang kegiatan pendidikan, maka keuntungan tersebut dikembalikan untuk kepentingan dan kemajuan Yayasan dengan bidang kegiatan pendidikan tersebut. Bisa dipahami jika Yayasan dengan maksud tujuan lebih dari satu dan bidang kegiatan yang beragam, ternyata jika hanya ada satu bidang kegiatan yang maju dan memperoleh keuntungan, sedangkan kegiatan yang lainnya kurang maju, bahkan memperoleh subsidi dari bidang kegiatan yang lainnya yang maju, jika ini terjadi maka bidang kegiatan yang seharusnya maju pesat, bisa jadi terhambat karena untuk membantu bidang kegiatan lain yang ada dalam Yayasan tersebut.
Perlu diberikan batasan lainnya, Yayasan dengan maksud dan tujuan sosial dengan bidang kegiatan bidang pendidikan, bahwa dalam Pasal 60 huruf d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan ditegaskan bahwa masyarakat yang menyelenggarakan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau tinggi, khusus penyelenggaraan pendidikan jalur formal saja, dengan demikian tidak bisa dicampur dengan bidang kegiatan Yayasan yang menyelenggarakan jalur pendidikan nonformal .
Dalam Pasal 14 UU Sisdiknas ditegaskan bahwa jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Mengenai Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi telah diberi batasan oleh UU Sisdiknas , sebagai berikut :
a. Pendidikan Dasar dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2), yaitu :
(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
(2) Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
b. Pendidikan Menengah dalam Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3), yaitu :
(1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.
(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.
(3) Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
c. Pendidikan Tinggi dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1), yaitu , :
(1) Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan perguruan tinggi.
(2) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademik, politeknik, sekolah tinggi, istitut, atau universitas.
Mengenai Pendidikan Nonformal diatur dalam Pasal 26 UU Sisdiknas, yaitu :
(1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalamrangkamendukungpendidikan sepanjang hayat.
(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
(3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untukmengembangkan kemampuan peserta didik.
(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
(5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
(6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
(7) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Mengenai Pendidikan Informal diatur dalam Pasal 27 UU Sisdiknas, yaitu :
(1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
(2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Khusus mengenai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) diatur dalam Pasal 28 UU Sisdiknas, yaitu :
(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
(2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.
(3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
(4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
(5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
(6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjutdengan Peraturan Pemerintah.
Bahwa Yayasan dengan bidang kegiatan khusus pendidikan formal tersebut, apakah untuk semua jenjang pendidikan, misalnya bidang kegiatan Yayasan menyelenggarakan semua pendidikan formal mulai dari pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi ataukah hanya satu saja ? Memang sampai saat ini belum ada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan yang mewajibkan, bahwa Yayasan dengan bidang kegiatan pendidikan hanya boleh menyelenggarakan satu jenjang pendidikan formal, informal atau nonformal saja. Meskipun demikian agar lebih fokus mengembangkan dan memajukan dunia pendidikan dan kemudahan perijinan penyelenggaraan pendidikan formal, informal dan formal agar Yayasan dengan bidang kegiatan khusus pendidikan cukup menyelenggarakan satu jenjang pendidikan formal atau nonformal atau formal saja. Sehingga dalam akta Notaris pendirian Yayasan cukup disebutkan bahwa maksud tujuan Yayasan dalam bidang Sosial dengan menyelenggarakan pendidikan formal atau nonformal atau informal saja.
B. Bidang Kegiatan Rumah Sakit.
Pada tanggal 28 Oktober 2009 telah diundangkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 153 dan TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5072). Dalam Konsiderans undang-undang ditegaskan alasan hukum diperlukan pengaturan tentang Rumah Sakit dalam bentuk undang-undang, yaitu :
c. bahwa dalam rangka peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan Rumah Sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan, perlu mengatur Rumah Sakit dengan Undang-Undang;
d. bahwa pengaturan mengenai rumah sakit belum cukup memadai untuk dijadikan landasan hukum dalam penyelenggaraan rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat;
Salah satu hal yang perlu diperhatikan, disamping hal-hal yang berkaitan dengan teknik kerumahsakitan, yaitu mengenai badan yang menyelenggarakan Rumah Sakit. Dalam Pasal 7 ayat (2) ditegaskan bahwa “Rumah Sakit dapat didirikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah atau Swasta”, kemudian dalam Pasal 7 ayat (4) ditegaskan bahwa “ Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan”. Substansi pasal ini menegaskan bahwa swasta yang menyelenggarakan rumah sakit harus berbentuk badan hukum yang kegiatannya hanya bergerak di bidang perumahsakitan saja, dengan kata lain bidang kegiatan rumah sakit merupakan bidang kegiatan yang khusus rumah sakit yang tidak bisa dicampur dengan bidang kegiatan lain. Alasan hukum kenapa rumah sakit harus dalam bentuk badan hukum yang merupakan bidang atau kegiatan khusus dari Yayasan atau Perkumpulan atau Perseroan Terbatas tersendiri, ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (4) yaitu :
Kegiatan usaha hanya bergerak di bidang perumahsakitan dimaksudkan untuk melindungi usaha rumah sakit agar terhindar dari risiko akibat kegiatan usaha lain yang dimiliki oleh badan hukum pemilik rumah sakit.
Kemudian dalam Pasal 20 ayat (1) berdasarkan pengelolaanya Rumah Sakit dibagi 2 (dua) yaitu Rumah Sakit Publik dan Rumah Sakit Privat. Pasal 20 ayat (2) menegaskan Rumah Sakit publik dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Menurut Pasal 21 untuk Rumah Sakit privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. Dalam Penjelasan Pasal 20 ayat (2) ditegaskan bahwa badan hukum yang mengelola Rumah Sakit Publik, adalah badan hukum nirlaba yang sisa hasil usahanya tidak dibagikan kepada pemilik, melainkan digunakan untuk peningkatan pelayanan, yaitu antara lain Yayasan, Perkumpulan dan Perusahaan Umum.
Substansi dari kedua pasal ini dapat ditafsirkan bahwa Rumah Sakit Publik (oleh swasta) didirikan dengan maksud nirlaba, maka badan hukum penyelenggaranya harus Yayasan atau Perkumpulan, sedangkan untuk mengelola Rumah Sakit Privat (oleh swasta) dengan maksud mencari untung (laba) badan hukumnya berbentuk Perseroan Terbatas. Hal ini agak unik pengelolaan rumah sakit publik atau privat dengan parameter mencari untung atau tidak mencari untung sehingga akan menentukan badan hukum yang akan mengelola atau menyelenggarakannya.
Dalam kaitan ini ada satu hal yang perlu dikaji lebih dalam yaitu mengenai substansi Ketentuan Peralihan yang tersebut dalam Pasal 64 ayat (1) bahwa Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua Rumah Sakit yang sudah ada harus menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang ini, paling lambat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan. Undang-undang ditetapkan tanggal 28 Oktober 2009, jadi paling lambat pada tanggal 28 Oktober 2011, terutama pengelola Rumah Sakit wajib menyesuaikan badan penyelenggaranya atau pengelolanya, misalnya jika saat ini Yayasan, Perkumpulan, Perseroan Terbatas disamping mengelola rumah sakit, juga mengelola pendidikan formal atau kegiatan lainnya, maka wajib memisahkan kegiatan rumah sakitnya dalam bentuk Yayasan atau Perkumpulan, atau Perseroan Terbatas tersendiri (terpisah badan hukumnya dari kegiatan atau bidang usaha selain rumah sakit). Jika pendirian baru (rumah sakit) atau yang tidak menyesuaikan maka tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak diperpanjang izin operasional Rumah Sakit (Pasal 17 Undang-undang Rumah Sakit).
(* Penulis adalah Notaris, PPAT dan Pejabat Lelang Kelas II di Surabaya; Dosen Pascasarjana di beberapa Universitas)
(Sumber : Majalah MINUTA terbitan Maret 2013)

Perlindungan Hukum Terhadap Profesi Notaris*
(Oleh : Syafran Sofyan, SH, SpN, MHum)

Syafran Sofyan
Jabatan notaris jabatan sangat terhormat, tidak hanya diatur dalam UUJN, namun sebagian tugas Negara di bidang keperdataan dilimpahkan kepada Notaris, dan notaris sangat besar perannya bagi bangsa dan Negara, khususnya di dalam memberikan kepastian hukum, baik dalam perjanjian, kontrak, dan pengikatan lainnya, yang memberikan kepastian hukum, dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum para penghadap. Namun demikian, dalam menjalankan profesinya tidak jarang seorang notaris dipanggil oleh pihak kepolisian, penyidik, penuntut umum, dan atau hakim, baik sebagai saksi, maupun sebagai tersangka, bahkan terpidana, sehubungan dengan akta otentik yang dibuatnya. Untuk lebih mengenal tentang Profesi Notaris, dan hal-hal apa saja yang harus diketahui oleh Notaris, dalam menghadapi kasus, atau dugaan pidana yang dituduhkan kepadanya, dalam kesempatan ini, saya akan mencoba menguraikan beberapa hal yang dianggap penting diketahui.
Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud UU 30/2004 tentang jabatan notaris. Akta Notaris adalah Akta autentik yang dibuat dihadapan Notaris menurut bentuk dan tatacara yang ditetapkan dalam UU 30/2004. Notaris adalah pejabat umum yang bertugas melayani kepentingan masyarakat dalam bidang jasa kenotariatan, seperti pengurusan akta pendirian badan hukum (PT,Yayasan, Perkumpulan, dll). Notaris juga diberi kewenangan pengurusan akta yang berkaitan dengan hak atas tanah. Wewenang utama Notaris meliputi:
a. Membuat akta autentik mengenai semua perbuatan perjanjian,dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan per-UU-an dan/ yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik,
b. Menjamin kepastian tanggal pembuat akta,dan
c. Menyimpan akta, memberi grosse, salinan, dan kutipan akta, semua nya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain/org lain yang ditetapkan oleh UU.
d. Mengesahkan tanda-tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
e. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
f. Memberikan kop idari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana di tulis dan di gambarkan dalam surat yang bersangkutan;
g. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
h. Memberikan penyuluhan Hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
i. Membuat akta risalah lelang.
Dari keterangan tersebut di atas, dapat juga dikatakan Notaris sebagai Notaris Fungsional/ Profesional, karena:
1. Akta yang dibuat dihadapan/oleh Notaris Fungsional mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sempurna dan kuat,serta mempunyai daya eksekusi; akta seperti ini harus dilihat Apa adanya;jika ada pihak yang keberatan dengan akta tersebut maka yang bersangkutan harus membuktikannya.
2. Notaris Fungsional menerima tugasnya dari negara dalam bentuk delegasi dari negara,salah satu rationya, Notaris memakai Lambang Garuda;oleh karena menerima tugas dari negara sebagai jabatan dari negara.
3. Notaris Indonesia,sebelumnya diatur oleh PJN (Reglement op het Notarisambt) S,1860-3 sebagai Ambt/Jabatan
Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji, menurut agamanya dihadapan Menkumham/pejabat yang ditunjuk. Kewajiban bagi notaris untuk mengucapkan sumpah sebelum menjalankan jabatannya sebagai notaris telah ada sejak dari dahulu. Dalam sumpah jabatan notaris ditetapkan bahwa notaris berjanji di bawah sumpah untuk merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan itu, peraturan-peraturan itu dimaksudkan peraturan-peraturan dalam Peraturan Jabatan Notaris khususnya Pasal 40, yang berisikan larangan bagi notaris untuk memberikan grosse akta, salinan/kutipan atau memperlihatkan atau memberitahukan isi akta-aktanya selain kepada orang-orang yang langsung berkepentingan pada akta itu, para ahli warisnya dan para penerima hak mereka, kecuali yang dalam hal-hal yang diatur dalam peraturan-peraturan umum;
a. Pasal 4 Undang-Undang Jabatan Notaris menyatakan lebih luas, bahwa kewajiban merahasiakan ini juga meliputi keterangan yang diperoleh notaris dalam pelaksanaan jabatannya. Hal ini lebih karena jabatan yang dipangku oleh notaris adalah jabatan kepercayaan dan justru oleh karena itu seseorang bersedia mempercayakan sesuatu kepercayaan kepadanya.
b. Wajib menyimpan atau memegang rahasia ini dapat diketahui dari kode etik profesi. Point ke-5 Sumpah Jabatan Notaris menyatakan : “Bahwa saya akan merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturan ini.” Etika memberikan kewajiban bagi kaum profesional hukum sebagai aparat atau pejabat untuk menyimpan rahasia, sehingga secara etis pula tidak dibenarkan kaum profesional hukum membuka rahasia yang diberitahukan, dipercayakan dan diperolehnya, dari klien.
c. Notaris merupakan jabatan kepercayaan. Hal ini mengandung makna, yaitu mereka yang menjalankan tugas jabatan dapat dipercaya dan karena jabatan notaris sebagai jabatan kepercayaan dan orang yang menjalankan tugas dan jabatan juga dapat dipercaya yang keduanya saling menunjang. Oleh karena itu, notaris dalam menjalankan tugas jabatannya mempunyai kewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuat dan segala keterangan yang diperolehnya guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN). Ditegaskan pula dalam penjelasan huruf e bahwa kewajiaban merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut. Sudah menjadi kewajiban notaris untuk mempertahankan rahasia jabatan tersebut karena jika melakukan pelanggaran terhadap Pasal tersebut dapat dikenai sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN.
d. Karena karyawan notaris yang berperan sebagai saksi instrumentair dalam peresmian akta, sudah masuk dalam lalu lintas hukum yang memiliki akibat hukum, sehingga apabila suatu akta notaris dikemudian hari terjadi masalah atau kasus maka karyawan notaris dengan sendirinya ikut terlibat dalam masalah atau kasus tersebut. Sebagaimana saksi dalam kasus lain, maka karyawan notaris sebagai saksi dalam kasus akta notaris juga harus mendapat perlindungan hukum dan harus dijamin keselamatannya dalam hal terjadi kasus atau gugatan di Pengadilan terhadap suatu akta dimana karyawan tersebut menjadi saksi.
e. Walaupun tindakan karyawan notaris sebagai saksi instrumentair dalam peresmian akta notaris sudah termasuk dalam bidang kenotariatan, akan tetapi Undang – Undang Jabatan Notaris tidak memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dalam akta, terutama terhadap karyawan notaris. Hal tersebut karena di dalam UUJN yang mendapat perlindungan hukum hanya Notaris, sehingga perlindungan hukum terhadap karyawan notaris sebagai saksi instrumentair dalam peresmian akta notaris tidak ditemukan dalam undang – undang tersebut. Mengenain hal ini, akan saya analisis kjhusus mengenai saksi akta.
Notaris didalam menjalankan jabatannya, hendaklah berpegang pada Kewajibannya sebagai Notaris meliputi:
a. Bertindak jujur,seksama,mandiri, tidak berpihak,dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;
c. Mengeluarkan grosse akta, salinan akta,atau kutipan akta berdasarkan minuta akta;
d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam UUJN,kecuali ada alasan untuk menolaknya;
e. Merahasiakan sesuatu mengenai akta,kecuali UU menentukan lain;
f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 akta dan mencatat jumlah minuta akta, bulan dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
g. Membuat daftar dan akta protes terhadap tidak dibayar/tidak diterimanya surat berharga;
h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;
i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke daftar Pusat wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawab di bidang kenotariatan dalam waktu 5 hari pada minggu pertama setiap bulannya;
j. Mencatat dalam reportorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara RI dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama,jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
l. Membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 org saksi dan ditanda-tangani pada saat itu juga oleh penghadap,saksi,dan Notaris;
m. Menerima magang calon Notaris.
Kalau begitu apa Hubungan Hukum antara Notaris dengan Para Pihak/Penghadap? Dapat saya jelaskan disini: Notaris dan para penghadap, bukan merupakan hubungan Kontraktual antara satu pihak dengan pihak yang lainnya; para penghadap datang ke Notaris atas kesadaran sendiri dan mengutarakan keinginannya di hadapan Notaris yang kemudian dituangkan dalam bentuk akta Notaris sesuai aturan hukum yang berlaku; maka tuntutan untuk perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sesuai Pasal 1365 tidak dapat dilakukan. Konstruksi seperti itu tidak dapat diterapkan, karena tidak ada syarat dipenuhi seperti:
a. Tidak ada perjanjian secara tertulis/kuasa untuk melakukan pekerjaan tertentu; dalam hal ini, hendaknya hati-hati dalam membuat kerja-sama dengan Perbankan, atau pihak lain?
b. Tidak ada hak-hak para pihak/penghadap yang dilanggar oleh Notaris;
c. Notaris tidak mempunyai atasan untuk menerima perintah melakukan suatu pekerjaan;
d. Tidak ada kesukarelaan dari Notaris untuk membuat akta,tanpa ada permintaan dari para pihak.
Jadi hubungan Notaris dengan para Penghadap,dengan karakter:
a. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian;
b. Mereka yang datang dengan anggapan Notaris mempunyai kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginan para pihak dalam bentuk akta otentik;
c. Hasil akhir dari tindakan Notaris berdasarkan kewenangan Notaris yang berasal dari permintaan/keinginan para pihak sendiri;
d. Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan.
Sekarang ini, banyak Notaris, didalam menjalankan jabatannya kurang cermat, bahkan ada yang dengan sengaja menggampangkan suatu masalah; karena ingat, Notaris itu dapat membuat akta apa saja, tapi tanggung-jawab, ada pada diri Notaris itu sendiri. Kita juga harus memperhatikan Pasal 1869 BW; Akta otentik dapat terdegradasi menjadi kekuatan pembuktian dibawah tangan, bahkan dapat dibatalkan, dengan alasan:
1. Notaris dalam membuat akta tersebut tidak berwenangn;
2. Tidak mempunyai pejabat umum yang bersangkutan;
3. Cacat dalam bentuknya;atau karena akta Notaris dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ketiga hal tersebut diatas, dapat menjadi dasar untuk menggugat Notaris sebagai perbuatan melawan Hukum. Kedudukan Akta Notaris sebagai akta dibawah tangan/batal demi hukum;tidak berdasarkan akta Notaris , karena tidak memenuhi syarat subjektif dan objektif,dalam hal ini:
a. UUJN telah menentukan syarat2 tersebut
b. Not telah tidak cermat,tidak teliti dan tidak tepat dalam menerapkan aturan hukum yang berkaitan
pelaksanaan tugas jabatan Notaris,maupun berkaitan dengan isi akta,
Dalam hal ini, dapat dilakukan tuntutan kepada Notaris berdasarkan adanya:
1. Hubungan hukum yang khas antara Notaris dengan para penghadap dengan bentuk sebagai perbuatan melawan hukum;
2. Ketidakcermatan,ketidaktelitian,dan ketiktepatan dalam:
a. Teknik administrasi membuat akta berdasarkan UUJN;
b. Penetapan berbagai aturan hukum yang tidak didasarkan kepada kemampuan menguasai keilmuan bidang notaris secara khusus dan hukum pada umumnya.
Dalam praktik sekarang ini banyak ditemukan kenyataan, ketika seorang notaris oleh MPD tidak di izinkan untuk memenuhi panggilan penyidik, penuntut umum, atau hakim, maka (khususnya penyidik dari kepolisian) akan berupaya untuk mencari cara atau celah lain dengan maksud untuk memperoleh kebenaran materil, dan yang dilakukan oleh penyidik, yaitu memanggil saksi-saksi akta atau membidik saksi-saksi yang tersebut dalam akhir akta, dengan keterangan yang diperoleh dari saksi akta tersebut, berharap dapat memeriksa notaris yang bersangkutan atau terkadang dibalik para saksi akta dipanggil terlebih dahulu, setelah mendapat keterangan dari para saksi tersebut, berharap dapat memeriksa Notaris.
Adapun untuk menyatakan Notaris diberikan sanksi perdata, haruslah dibuktikan terlebih dahulu:
a. Adanya diderita kerugian;
b. Antara kerugian yang diderita dan pelanggaran/kelalaian dari Notaris terdapat hubungan. kausal;
c. Pelanggaran/kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggung jawab kepada Notaris yang bersangkutan.
Harus juga diperhatikan, adanya Yurisprudensi MA, Putusan MA No.702K/Sip/1973; yang menyatakan Notaris fungsinya hanya mencatatkan/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa(hal2) yang dikemukakan oleh penghadap dihadapan notaris tersebut.
Berdasarkan Putusan MA tersebut,jika akta yang dibuat dihadapan/oleh Notaris bermasalah oleh para pihak sendiri,maka hal tersebut menjadi urusan para pihak sendiri, Notaris tidak perlu dilibatkan,dan Notaris bukan pihak dalam akta.
Apk Notaris dapat digugat ? Dapat; sebagai tergugat tunggal (Pdt), apabila para pihak melakukan pengingkaran:
1. Hari,tanggal,bulan,tahun menghadap.
2. Waktu,pukul menghadap.
3. Tanda-tangan yang tercantum dalam minuta
4. Merasa tidak pernah menghadap.
5. Akta tidak ditanda-tangani didepan Notaris
6. Akta tidak dibacakan
7. Alasan lain berdasarkan formalitas akta.
Dalam hal tersebut diatas hendaknya Para pihak,wajib membuktikannya.
Notaris dan Hukum Pidana.
Pemidanaan Notaris dapat dilakukan dengan batasan:
1. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek lahir,formal,dan materil akta yang sengaja,penuh kesadaran,serta direncanakan.
2. Ada tindakan hukum dari Notaris yang tidak sesuai dengan UUJN;
3. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang (Majelis Pengawas).
Sanksi Pidana merup Ultimum remedium,yi obat terakhir/upaya2 terakhir.
Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) Notaris
q Pasal 16 ayat.1e UUJN;bahwa Notaris berkewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala ket yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan,kecuali UU menentukan lain.
 Merupakan kelengkapan kepada Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai kewajiban ingkar Notaris.
q
q Apabila Notaris melanggar,UU tidak memerintahkannya,maka atas pengaduan pihak yang dirugikan maka pihak yang berwajib dapat diambil tindakan terhadap Notaris tersebut (Pasal 22 ayat.1,2 KHUP,yi membongkar Rahasia).
 Dalam kedudukan Notaris sebagai saksiž (perkara perdata) Notaris dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk membuat kesaksian,karena jabatannya menurut UU diwajibkan untuk merahasiakannya (Pasal 1909 ayat 3 BW).
 Notaris mempunyai kewajiban
ž ingkar bukan untuk kepentingan diri Notaris tapi untuk kepentingan para pihak yang telah mempercayakan kepada Notaris.
Kehadiran Majelis Pengawas Daerah (MPD) seperti yang diatur dalam Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris telah memberikan harapan mengenai seharusnya seperti apa notaris dan akta notaris dinilai oleh institusi yang memahami dan mengerti notaris. Sudah tentu dalam melakukan pemeriksaan notaris atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk kepentingan proses peradilan, MPD akan bersidang dan menilai tindakan notaris dan akta notaris yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris (UJN) dan hukum kenotariatan Indonesia.
Ketika MPD tidak mengizinkan seorang notaris untuk memenuhi panggilan penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan alasan notaris yang bersangkutan dalam membuat akta telah sesuai dengan prosedur pembuatan akta yang benar bedasarkan UUJN, maka untuk notaris yang bersangkutan telah selesai perbuatan hukumnya. Artinya, akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris telah memenuhi syarat lahir, formal, dan materil.
Putusan MPD, tidak dua kali dalam hal kasus, orang yang sama.
 Asas Ne bis in idem; suatu perkara atau sengketa yang sama tidak boleh diajukan untuk yang kedua kalinya.
ž
 Agar adanya kepastian Hukum.
ž
 Putusan MPD untuk melaksanakan Pasal 66 UUJN yang berkaitan dengan permintaan penyidik,hakim,atau kejaksaan bersifat final.
ž
Objek Pemeriksaan MPD.
ž Dalam tataran aturan Hukum, MPD harus menempatkan akta notaris sebagai objek karena notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berkaitan untuk membuat dokumen hukum berupa akta sebagai alat bukti tertulis yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata.
 Bukan menempatkan Notaris
ž sebagai objek; MPD berarti akan memeriksatindakan/ perbuatan notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.
Batasan MPD Melakukan Pemeriksaan
a. Kekuatan Pembuktian Lahiriah Akta Notaris; MPD harus dapat membuktikan otensitas akta notaris tersebut. MPD harus melak pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek lahiriah dari akta notaris, jika tidak mampu harus melihat akta tersebut apa adanya,bukan ada apanya?
b. Kekuatan Pembuktian Formal Akta Notaris; MPD harus dapat membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat,disaksikan, dan didengar notaris,juga pernyataan/ket para pihak yang diberikan/disampaikan kepada notaris.
c. Kekuatan Pembuktian Materil Akta Notaris; MPD harus membuktikan bahwa notaris tidak menerangkan/ menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat) / para pihak yang telah benar berkata (dihadapan Notaris) menjadi tidak berkata benar.
MPD menyetujui/menolak kaitan Pasal 66 UUJN
a. Ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari para pihak yang menandatangani akta pada minuta akta ;
b. Ada penyangkalan keabsahan tanda tangan pada dokumen yang dilekatkan pada minuta akta ;
c. Ada ahli waris pembuat akta, atau penerima hak dari pembuat akta atau pihak yang berkepentingan pada akta menyatakan bahwa pada tanggal pembuatan akta, pembuat akta telah meninggal dunia ;
d. Ada keterangan palsu yang dimasukkan dalam minuta akta ;
e. Dokumen yang dilekatkan atau dilampirkan pada minuta akta palsu ;
f. Ada dokumen palsu yang dilekatkan atau dilampirkan pada minuta akta
g. Ada pengurangan atau penambahan angka, kata atau kalimat pada minuta akta yang merugikan pihak lain ;
h. Ada dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal akta yang merugikan pihak lain ;
i. Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.
 Diluar point a sampai dengan i diatas, MPD, menolak Surat panggilan dari penyidik, penuntut, maupun peradilan.
ž
Perlindungan Hukum terhadap Saksi Akta Notaris.
 Kedudukan saksi notaris berbeda dengan saksi pada umumnya.
ž
ž Saksi akta notaris merup para saksi yang ikut di dalam pemb terjadinya akta(instrumen). Dengan jalan membubuhkan tanda-tangan mereka, mereka membuat kesaksian tentang kebenaran adanya dilakukan dan dipenuhinya formalitas2 yang diharuskan oleh UUJN,yang disebutkan dalam akta tersebut
 Salah satu syarat formal akta notaris sebagai mana
ž disebut dalam Pasal 38 UUJN,dan mengenai saksi(instrumentair) ini ditegaskan dalam Pasal 38 ayat.4c UUJN;bahwa pada akhir akta harus memuat nama lengkap,tempat dan tanggal lahir,pekerjaan,jabatan,kedudukan,dan tempat tinggal saksi; kalo tidak ada maka akta tersebut menjadi akta dibawah tangan (Pasal 1869 – 1870 BW)
 Ketika notaris oleh MPD tidak diperkenankan untuk memenuhi
ž panggilan penyidik,berarti akta tersebut telah benar secara Hukum; karenanya tidak perlu lagi penyidik mengambil tindakan Hukum lain,yi dengan cara memanggil saksi akta untuk dimintai keterangan.
 Saksi akta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari formalitas2 akta notaris sebagai akta otentik.
ž
Saksi secara umum,ada dua,yaitu:
1. Mereka yang secara kebetulan melihat, mendengar sendiri peristiwa2 yang jadi persoalan, dan
2. Saksi2 yang pada waktu perb hukum dilakukan sengaja telah diminta untuk menjadi saksi.
q Pasal 171 HIR bahwa yang diterangkan saksi adl apa yang ia lihat,dengar,/rasakan sendiri, lagipula tiap2 kesaksian disertai alasan2 apa sebabnya,dan bagaimana ia sampai mengetahui hal2 yang diterangkan olehnya.
Notaris bukan Pihak dalam Akta yang dibuatnya.
 Pasal 38 ayat.2d UUJN; Pada awal/kepala akta memuat nama lengkap dan tempat kedudukan notaris.
ž
 Pasal.44 ayat.1 UUJN pada akhir akta wajib dicantumkan tanda-tangan notaris.
ž
ž Pencantuman nama dan tanda-tangan notaris merupakan perintah UUJN,karena merup bgn dari syarat formal akta notaris; bahkan jika tidak dipenuhi sebagai mana disyaratkan Pasal 38,akta tersebut hanya memp kekuatan pembuktian sebagai mana Pasal 84,dan juga kekuatan pembuktian sebagai tulisan dibawah-tangan jika diteken para pihak (Pasal 1869 BW).
 Pencantuman namaž & tanda-tangan Notaris sering ditafsir Notaris sebagai pihak di dalam akta; sehingga jika akta dipersalahkan Notaris sering ditempatkan sebagai tergugat/turut tergugat/saksi/tersangka/ terdakwa.
 Menempatkan kedudukan Notaris seperti itu salah kaprah /tidak memahami kedudukan Notaris dalam sistem Hukum Nasional.
ž
ž Pasal 38 ayat.3c UUJN: isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan para penghadap sendiri,bukan keinginan Notaris; Notaris hanya membingkainya dalam bentuk akta notaris sesuai UUJN.
 Dan suatu yang
ž tidak tepat apabila Notaris ditempatkan sebagai saksi atas akta yang dibuat dihadapan/oleh notaris tersebut; karena akta notaris telah dikonstruksikan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga siapapun terikat dengan akta tersebut.
 Akta Notaris harus dinilai
ž apa adanya,dan setiap org harus dinilai benar berkata seperti itu yang dituangkan dalam akta notaris yang bersangkutan
Penutup.
Mudah-mudahan apa-apa yang telah diuraikan tersebut diatas, merupakan sedikit permasalahan yang di alami Notaris, selama penulis menjalankan tugas sebagai Majelis Pengawas Notaris, maupun sebagai saksi ahli di pengadilan, atau memberikan keterangan ahli di kepolisian, maupun memberikan Diklat di bareskrim Polri, dan Diklat di lembaga Perbakan, serta sedikit solusi untuk menjadi pegangan kita semua. Tentunya, masih banyak sekali hal-hal yang belum kita ketahui, melihat perkembangan masyarakat, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, sangat cepat, yang tidak sebanding dengan perkembangan peraturan perundang-undangan, maupun ilmu yang kita peroleh.
Mudah-mudahan kita selalu berbuat, dan berbagi pengetahuan, demi kebaikan kita semua, dan bermanfaat, bagi sesama, masyarakat, bangsa, dan Negara.
(*Syafran Sofyan, SH, SpN, MHum ; Penulis adalah Notaris-PPAT-Pejabat Lelang Kls II di Jakarta Selatan, Dosen/Nara-Sumber Lemhannas RI, Kemhan, Dosen Magister Kenotariatan Univ.Brawijaya, Univ.Jayabaya, Dosen Pasca Hukum Mabes TNI, Polri, Dosen Tetap Fak.Hukum Univ.Semarang, Instruktur Diklat Perbankan, Bareskrim Mabes Polri, Nara-Sumber Forum Bupati/Walikota, DPRD, Saksi Ahli/Ket.Ahli di Pengadilan/Polri).
(Sumber : Majalah MINUTA terbitan Januari 2013)

Rangkap Jabatan PPAT
(Oleh : Miftachul Machsun*)

I. Pengertian P.P.A.T.

Miftachul Machsun
Dari berbagai macam definisi yang tercantum dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berkenaan dan / atau berhubungan dengan P.P.A.T. dapat disimpulkan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah Pejabat umum yang berwenang membuat akta-akta tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun, vide pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 jo. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 jo. Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala B.P.N. Nomor 1 Tahun 2006 jo. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.
Berhubung tulisan sederhana ini merupakan Ikhtisar yang berkaitan dengan P.P.A.T., maka pengertian tentang P.P.A.T. Sementara dan P.P.A.T. Khusus tidak saya paparkan.
II. Dasar Hukum Keberadaan P.P.A.T.
Secara berturut-turut, keberadaan P.P.A.T. diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di bawah ini :
1. Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 juncto Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 juncto Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006;
III. Tugas Pokok dan Wewenang P.P.A.T.
1. Tugas pokok P.P.A.T. adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, vide Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 juncto Pasal 2 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006.
2. Wewenang P.P.A.T. adalah membuat akta-akta atas perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu, vide Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 juncto Pasal 3 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006.
IV. Rangkap Jabatan
Berdasar peraturan perundan-undangan yang berlaku, rangkap jabatan bagi P.P.A.T. dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. yang diperkenankan (dapat) dirangkap; dan
b. yang tidak diperkenankan (dilarang) dirangkap.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Jabatan P.P.A.T. menyebut secara limitatif tentang beberapa jabatan yang dapat dirangkap, yaitu : jabatan Notaris dan Konsultan / Penasihat Hukum. Sedangkan jabatan / profesi yang tidak diperkenankan atau dilarang untuk dirangkap meliputi : Pengacara atau Advokat dan Pegawai Negeri, atau pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah serta jabatan lain yang dilarang peraturan perundang-undangan, vide Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 juncto Pasal 30 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006.
Tanpa bermaksud untuk mengurangi manfaat pengaturan tentang rangkap jabatan sebagaimana tercantum dalam pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, sesungguhnya cara pengaturan seperti itu menyebabkan terjadinya area abu-abu, sehingga bukan mustahil menimbulkan multi tafsir. Lebih dari itu kurang sesuai dengan prinsip umum dalam tata cara mengatur sesuatu yang diperbolehkan atau dilarang, berhubung semestinya yang diatur adalah yang dilarang saja, sebab yang diperbolehkan sedemikian banyak jumlahnya, sehingga mustahil untuk menyebutnya satu demi satu.
Wilayah atau area abu-abu yang saya maksudkan di sini adalah tentang jabatan / profesi tertentu yang tidak disebut “dilarang”, dan tidak pula disebut “diperkenankan”. Selain itu, terasa kurang pas apabila pelarangan rangkap jabatan diserahkan pada peraturan perundang-undangan lain.
Penyebutan jabatan / profesi yang diperkenankan untuk dirangkap tersebut adalah sekedar untuk memberikan penegasan, sedangkan yang tidak disebutkan tidak sekali-kali menjadi atau dianggap dilarang, kecuali yang secara tegas disebutkan dilarang untuk dirangkap.
Mengenai rangkap jabatan sebagai Pejabat Negara, dalam hal ini sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (D.P.R.), Dewan Perwakilan Daerah (D.P.D.), Dewan Perwakilan Rakyat (D.P.R.) Propinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat (D.P.R.) Kabupaten / Kota, pendapat saya adalah sebagaimana terurai di bawah ini.
Berdasar ketentuan yang tercantum dalam Pasal 30 ayat (1) Peraturan Kepala B.P.N. Nomor 1 Tahun 2006, P.P.A.T. dilarang merangkap jabatan atau profesi :
a. advokat;
b. pegawai negeri, pegawai badan usaha milik negara/daerah;
c. lain-lain jabatan yang dilarang peraturan perundang-undangan.
Ketentuan tentang larangan yang tercantum pada huruf c di atas tidak tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998.
P.P.A.T. yang merangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Peraturan Kepala B.P.N. di atas wajib mengajukan permohonan berhenti kepada Kepala Badan, dan apabila masa tugasnya berakhir dapat mengajukan permohonan pengangkatan kembali sesuai peraturan perundang-undangan, vide pasal 30 ayat (2) dan ayat (3).
Dalam Pasal 50 ayat (1) huruf l Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (D.P.R.), Dewan Perwakilan Daerah (D.P.D.), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (D.P.R.D) dinyatakan bahwa : ”Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus memenuhi persyaratan : … bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (P.P.A.T.) …”.
Selanjutnya dalam pasal 50 ayat (2) huruf g diatur bahwa Kelengkapan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan : “… surat pernyataan kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (P.P.A.T.)… yang ditandatangani di atas kertas bermeterai cukup;”.
Ketentuan yang sama diperlakukan pula bagi perseorangan sebagai peserta pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah (D.P.D.), , sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat (1) huruf l Undang-Undang yang sama.
Dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 50 ayat (1) huruf l, dan ayat (2) huruf g di atas timbul pertanyaan :”Apakah rangkap jabatan sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten / kota dilarang ?” Jawaban atas pertanyaan tersebut tentu saja tidak, sebab Peraturan itu hanya mengatur tentang “kesediaan untuk tidak berpraktik, dan sekali-kali bukan untuk berhenti sebagai pejabat pembuat akta tanah (P.P.A.T.) selama berstatus sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten / kota”.
Mengenai makna atas istilah “berpraktek”, menurut hemat saya yang paling tepat dalam hubungannya dengan ketentuan di atas adalah “melaksanakan pekerjaan / jabatan / profesi”, dalam hal ini “membuat akta peralihan dan pembebanan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun serta surat kuasa membebankan hak tanggungan”.
Dari sudut pandang gramatikal, sistematik maupun teleologis, insya Allah penafsiran / pemberian makna sebagaimana terurai di atas telah sesuai pula. Untuk lebih jelasnya di bawah ini saya beri contoh sebagai berikut :
a. seseorang yang telah berstatus dan mengangkat sumpah jabatan P.P.A.T. masih diperkenankan tidak berpraktek (melaksanakan jabatannya) dalam waktu kurang dari 1 (satu) bulan sejak pengangkatan sumpah jabatan tersebut;
b. seorang P.P.A.T. yang sedang cuti tetap berstatus sebagai P.P.A.T., namun tidak berpraktek (melaksanakan jabatannya) selama masa cuti.
Kesesuaian penafsiran / pemberian makna tersebut akan lebih nampak lagi bila kita berkenan memperbandingkannya dengan pengaturan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat maupun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Dalam pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Tentang Advokat dinyatakan bahwa : ”Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat selama memangku jabatan tersebut”. Dalam penjelasan dari ayat yang bersangkutan dinyatakan bahwa :”Ketentuan dalam ayat ini tidak mengurangi hak dan hubungan perdata Advokat tersebut dengan kantornya”.
Dalam pasal 11 ayat (1) dan ayat (6) Undang-Undang tentang Jabatan Notaris dinyatakan secara verturut-turut sebagai berikut :
(1) Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti.
(6) Notaris yang tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan kembali jabatan Notaris, dan Protokol Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan kembali kepadanya
Perbedaan pengaturan antara kedua undang-undang di atas sebatas dan terbatas pada persoalan tentang cuti, di mana Notaris yang menjadi pejabat negara berkewajiban untuk mengambil cuti, baik dengan maupun tanpa pengganti, sedangkan terhadap Advokat tidak ada kewajiban demikian. Pengaturan seperti itu adalah wajar, sebab berdasar ketentuan yang tercantum dalam pasal 1 angka 13 Undang-Undang Jabatan Notaris dinyatakan bahwa Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris, sehingga harus jelas tentang siapa yang harus menyimpan dan merawatnya apabila Notaris yang bersangkutan cuti . Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kerugian kepada para anggota masyarakat yang berkepentingan dan memerlukan informasi, salinan, kutipan atas suatu akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris maupun hal-hal lainnya yang berkenaan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris.
Berhubung yang diminta (diperintahkan) oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 sebatas dan terbatas pada kesediaan untuk tidak berpraktik sebagai pejabat pembuat akta tanah (P.P.A.T.), maka tidak ada kewajiban terhadap P.P.A.T. yang bersangkutan untuk mengajukan permohonan berhenti sebagai P.P.A.T. kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional, dan yang bersangkutan tidak pernah kehilangan, oleh karena itu tetap berstatus sebagai P.P.A.T., hanya saja tidak berpraktik, seperti halnya para advokat maupun Notaris.
Andaikata P.P.A.T. yang bersangkutan tetap berpraktik, yaitu dengan membuat berbagai macam akta mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang merupakan kewenangannya, maka dalam hal ini yang dilanggar bukan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan P.P.A.T., melainkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 berikut peraturan perundang-undangan yang melaksanakannya.
Apabila ada pihak-pihak tertentu yang mempunyai pendapat yang berbeda, di mana P.P.A.T. dianggap ”dilarang merangkap jabatan sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten / kota”, maka yang harus diketahui adalah ”berhentinya yang bersangkutan sebagai anggota P.P.A.T. bukan karena hukum”, seperti halnya dalam hal : meninggal dunia; telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun; atau diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten /Kota yang lain daripada daerah kerjanya sebagai P.P.A.T., melainkan harus diberhentikan dengan Surat Keputusan Pemberhentian oleh Kepala Badan Pertanaan Nasional, sehingga sepanjang dan selama belum diberhentikan, yang bersangkutan tetap berstatus dan dapat menjalankan tugas jabatan sebagai P.P.A.T.
Pengaturan yang berbeda dan tegas terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik, yang dalam pasal 30 ayat (1) huruf b angka 1 dinyatakan bahwa : ”Akuntan Publik dilarang merangkap sebagai pejabat negara”. Pengaturan ini mirip dengan pengaturan yang tercantum dalam pasal 10 dan pasal 11 Reglement op Het Notaris Ambt, A.1860 Nomor 3, yang berisi sebagai berikut :
Pasal 10
Jabatan seorang notaris tidak dapat dirangkap dengan jabatan Kepala Pemerintaban Daerah, anggota badan peradilan, ketua, anggota atau sekretaris balai harta peninggalan, pengacara, pokrol, solisitor dan juru sita.
Dalam ketentuan ini dikecualikan Para pegawai yang jabatannya berhubungan dengan jabatan notaris menurut pasal 2 nomor 2 peraturan ini.
Pasal 11
Notaris, yang menerima suatu jabatan yang tidak dapat dirangkap, kecuali jabatan termaksud dalam alinea dua pasal yang lalu, dianggap melepaskan jabatan notarisnya dan diganti menurut ketentuan pasal 63.
Sebaliknya bila seseorang yang memangku jabatan seperti itu diangkat menjadi notaris, dengan menerima jabatan notaris la dianggap melepaskan jabatan sebelumnya.
V. Kesimpulan
Dari segala sesuatu yang terurai di atas, insya Allah dapat kita simpulkan bahwa :
1. berdasar Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (D.P.R.), Dewan Perwakilan Daerah (D.P.D.), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (D.P.R.D), anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten / kota tidak dilarang merangkap jabatan sebagai P.P.A.T., melainkan sekedar bersedia untuk tidak berpraktek sebagai P.P.A.T., oleh karena itu
2. berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 juncto Peraturan Kepala B.P.N. Nomor 1 Tahun 2006, anggota P.P.A.T. tidak dilarang merangkap jabatan sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten / kota, hanya saja yang bersangkutan berhenti berpraktik sebagai P.P.A.T.
(*Penulis adalah : Notaris/PPAT di Surabaya, narasumber di berbagai event, saksi ahli/ memberi keterangan akhli dalam proses peradilan)
(Sumber : Majalah MINUTA terbitan Januari 2013)

Persoalan Hukum Dalam Praktek Berikut Solusinya
 (Oleh : Miftachul Machsun, SH)

PENGANTAR

Miftachul Machsun
Dalam edisi ini saya sampaikan beberapa persoalan hukum tentang :
I. Ketidakcakapan & Ketidakwenangan;
II. Kuasa Lisan;
III. Saat Berlakunya Penggantian Anggota Direksi dan Dewan Komisaris, serta Peralihan Hak Atas Saham;
IV. Jual Beli Saham sebelum Perseroan Terbatas Berstatus sebagai Badan Hukum
Sebagaimana pada edisi sebelumnya, dalam materi persoalan hukum kali ini saya sertakan juga usulan solusinya, tanpa menutup kemungkinan adanya solusi lain yang menurut para pembaca lebih layak.
Saya sangat menyadari bahwa beberapa persoalan yang saya sampaikan ini bisa jadi bukan merupakan persoalan lagi bagi sebagian pembaca. Sekalipun demikian, saya masih tetap berharap semoga materi yang saya sajikan ini masih ada manfaatnya bagi para pembaca yang lain.
————
U R A I A N
I. Ketidakcakapan & Ketidakwenangan
I.1.Pengertian Kecakapan dan Kewenangan
Dalam praktek hukum sehari-hari sering kali kita jumpai kerancuan dalam penggunaan istilah maupun pengertian tentang kecakapan (bekwaamheid) dan kewenangan (bevoegdheid). Keadaan tersebut patut kita sesalkan, namun harus maklumi, sebab dalam ketentuan yang tercantum dalam peraturan perudang-undangan sendiri terjadi penggunaan istilah yang tidak tepat, di samping tiadanya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan istilah-istilah tersebut.
Berkaitan dengan hal itu, di bawah ini saya sampaikan pengertian pokok tentang kedua istilah di atas :
a. Kecakapan adalah kewenangan yang bersifat umum dalam melakukan perbuatan hukum pada umumnya;sedangkan
b. Kewenangan adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu atau khusus.
Dari rumusan pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa orang yang berwenang pasti mempunyai kecakapan, namun sebaliknya orang yang cakap belum tentu mempunyai kewenangan.
Mengenai kekurangtepatan penggunaan istilah atau penempatan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan dapat kita lihat dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1329 dan pasal 1330 angka 3 bagian akhir K.U.H. Perdata, yang secara berturut-turut berisi sebagai berikut :
Pasal 1329
Tiap orang berwenang (bevoegd) untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap (onbekwaam) untuk hal itu.
Pasal 1330
Yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah :
1. anak yang belum cukup umur (minderjarigen);
2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang, dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu.
Apabila dilihat dari substansi yang terkandung dalam pasal 1329 dan korelasinya dengan pasal 1330 maupun pasal 1320 angka 2 K.U.H., yang menyatakan bahwa : “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
…. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (semestinya perjanjian)”, maka Istilah berwenang (bevoegd) dalam pasal 1329 semestinya harus dibaca cakap, sebab salah satu syarat yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian adalah “kecakapan (bekwaamheid), dan bukan kewenangan (bevoegdheid)”, dan substansi yang diatur dalam pasal 1330 adalah mengenai ketidakcakapan (onbekwaamheid), bukan ketidakwenangan (onbevoegdheid), sehingga redaksi pasal tersebut menjadi “Tiap orang cakap …., kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.
Dengan makna seperti itu dapat kita fahami bahwa dalam hubungannya dengan kecakapan, K.U.H. Perdata beranggapan bahwa ”pada prinsipnya setiap orang adalah cakap untuk melakukan perbuatan hukum, sedangkan ketidakcakapan merupakan suatu perkecualian, yaitu dalam hal undang-undang menentukan seperti itu”.
Berdasar ketentuan yang tercantum dalam pasal 1330 K.U.H. Perdata, orang yang dikecualikan tersebut terdiri dari :
1. anak yang belum cukup umur (minderjarigen);
2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan (onder curatele);
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang.
Khusus untuk kalimat bagian akhir pasal 1330 angka 3, yaitu ”…. semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu”, kata-kata ”tidak cakap (onbekwaam)” pada bagian awal pasal 1330 diberi makna tidak berwenang (onbevoegd).
Mengenai ”perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang” sebagaimana tercantum pada pasal 1330 angka 3 di atas, sejak adanya Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 5 September 1963, Nomor : 3/1963 yang menetapkan bahwa Pasal 108 dan 110 K.U.H. Perdata tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan tindakan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan ”Dinyatakan Tidak Berlaku Lagi”, maka ketentuan mengenai ketidakcakapan ”perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang” sebagaimana tercantum pada pasal 1330 angka 3 tidak mempunyai arti lagi, terlebih lagi dengan adanya ketentuan yang tercantum dalam pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan secara tegas bahwa ”Masing-masing pihak (suami atau isteri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.
Mengenai anak yang belum cukup umur, demikian pula mengenai orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curandi) akan saya uraikan sebagai berikut :
1. Cukup Umur
Sekalipun peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang perkawinan masih menyisakan beberapa macam persoalan yang cukup krusial, baik karena belum lengkap maupun kurang jelasnya pengaturan yang ada, serta terjadinya multi tafsir atas beberapa ketentuan yang tercantum di dalamnya, sehingga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum, namun mengenai batas usia “cukup umur” menurut hemat saya sudah sangat jelas, yaitu mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun atau sudah pernah melangsungkan perkawinan sebelumnya, sebagaimana yang secara berturut-turut diatur dalam pasal 47 dan pasal 50 Undag-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 47
(1)) Anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan
Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Selain ketentuan-ketentuan di atas, dalam pasal 39 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris diatur sebagai berikut :
(1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan Cakap melakukan perbuatan hukum.
Apabila kita yang berstatus sebagai Notaris masih tetap mempertahankan batas usia “cukup umur” 21 tahun, sebagaimana yang diatur dalam pasal 330 K.U.H. Perdata, maka akan menemui berbagai macam kesulitan, di satu sisi Undang-Undang Jabatan Notaris memperkenankan seorang yang berumur minimum 18 tahun sebagai penghadap, sehingga sebagai konsekuensinya adalah cakap melakukan perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau yang dikehendakinya untuk dinyatakan dalam akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, sedangkan pada sisi yang lain orang yang menghadap tersebut dianggap tidak cukup umur, sehingga sebagai konsekuensinya tidak dapat bertindak sebagai penghadap, berhubung perbuatan menghadap adalah perbuatan hukum. Oleh karena itu tidak ada alasan lagi bagi setiap Notaris untuk menolak batas usia “cukup umur” adalah genap 18 (delapan belas) tahun, belum lagi kalau kita berkenan mengingat akibat hukum tentang ketidakcakapan dan ketidakwenangan melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang akan saya uraikan pada bagian selanjutnya.
Mengenai batas usia minimum untuk melakukan perkawinan, yaitu genap 16 (enam belas) tahun untuk perempuan, dan genap 19 tahun untuk pria, sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 akan saya uraikan sebagaimana di bawah ini.
Bahwa batas usia “cukup umur” 18 tahun merupakan prinsip umum, sedangkan persyaratan umur untuk menikah bagi perempuan, yang kurang dari 18 tahun merupakan penyimpangan yang disediakan oleh Undang-Undang, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berhubung menikah (kawin) merupakan perbuatan hukum. Selain itu, yang harus kita ketahui adalah antara prinsip umum tentang cukup umur dengan syarat umur untuk menikah (kawin) merupakan dua hal yang berbeda.
2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan (Curandi)
Berdasar ketentuan yang tercantum dalam pasal 433 K.U.H. Perdata, orang yang diletakkan atau ditaruh di bawah pengampuan adalah orang dewasa yang se1alu berada dalam keadaan dungu, sakit otak (gila), mata gelap, sekalipun kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya, serta orang yang boros. Selain karena alasan-alasan tersebut, orang yang karena kelemahan akalnya merasa tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri dengan sebaik-baiknya diperbolehkan meminta pengampuan untuk dirinya sendiri.
Dari alasan-alasan yang tercantum dalam pasal di atas, insya Allah kita sepakat bahwa alasan pembentuk undang-undang dalam meletakkan mereka di bawah pengampuan adalah karena tidak atau kurang memiliki kesadaran dan kemampuan bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan.
Patut kita kehui bahwa pengampuan tidak terjadi demi hukum, melainkan karena permohonan kepada Pengadilan Negeri yang meliputi tempat tinggal Termohon, dan baru berlaku terhitung sejak diterbitkannya ketetapan pengadilan mengenai hal tersebut, vide pasal 446 K.U.H. Perdata. Mengenai siapa yang berhak memohon diatur dalam pasal 434 dan pasal 435 K.U.H. Perdata.
Berdasar ketentuan pasal 452 alenia pertama K.U.H. Perdata dinyatakan bahwa :”Setiap orang yang ditaruh di bawah pengampuan mempunyai kedudukan yang sama dengan seorang yang belum cukup umur”. Oleh karena itu, andaikata ketentuan yang tercantum dalam pasal 1330 angka 2 tidak ada, orang yang ditaruh di bawah pengampuan masih merupakan orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
I.2. Akibat Hukum Ketidakcakapan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1331 alenia pertama juncto pasal 1446 K.U.H. Perdata, orang-orang yang tidak cakap boleh menuntut pembatalan atas perjanjian yang telah mereka buat, kecuali undang-undang menentukan lain (mengecualikan). Sebaliknya, orang-orang yang cakap tidak dapat menuntut pembatalan atas dasar ketidakcakapan pihak yang lain.
Dari isi pasal di atas dapat kita ketahui bahwa dengan mengingat perkecualian yang ditetapkan oleh undang-undang, setiap perjanjian yang dibuat oleh orang yang belum cukup umur selalu dapat dimintakan pembatalan, sekalipun pihak yang cakap dapat membuktian tentang ketidaktahuannya bahwa lawan kontraknya belum cakap. Selama tidak ada tuntutan pembatalan, perjanjian yang dibuat oleh anak yang belum cukup umur tersebut masih tetap mengikat.
Lebih dari itu, tuntutan untuk pembatalan tidak bergantung pada ada atau tiadanya kerugian terhadap orang yang tidak cakap, sehingga tiadanya ganti rugi bagi orang yang tidak cakap bukan merupakan hambatan untuk mengajukan permohonan pembatalan. Pihak yang berhak mengajukan tuntutan untuk pembatalan adalah orang tua atau wali, sepanjang dan selama si anak masih belum cukup umur. Apabila sudah cukup umur, maka tuntutan tersebut dilakukan oleh si anak sendiri, sedagkan untuk orang yang berada di bawah pengampuan dilakukan oleh Kuratornya.
Ketentuan yang tercantum dalam pasal 1331 juncto pasal 1446 K.U.H. Perdata yang mengatur tentang tuntutan pembatalan perjanjian oleh orang yang tidak cakap bukan mustahil menimbulkan kesan bahwa pengaturan tersebut sangat merugikan pihak yang cakap melakukan perbuatan hukum, berhubung di satu sisi tidak mempunyai hak untuk menuntut pembatalan, sedangkan pada sisi yang lain selalu dihadapkan pada pembatalan atas tuntutan pihak yang tidak cakap. Apabila kita berkenan berfikir lebih jauh, keadaan seperti ini layak kita maklumi, mengingat latar belakang diadakannya ketentuan yang mengatur tentang ketidakcakapan adalah untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang yang tidak cakap, yaitu atas kerugian yang timbul atau terjadi karena perbuatan mereka sendiri, berhubung dianggap belum menyadari sepuhnya atas akibat dari perbuatan yang mereka lakukan.
Berdasar ketentuan yang tercantum dalam pasal 1451 K.U.H. Perdata, pembatalan perjanjian karena alasan ketidakcakapan orang-orang yang tidak cakap mengakibatkan pulihnya keadaan orang-orang yang bersangkutan seperti sebelum perjanjian dibuat. Sebagai konsekuensinya adalah prestasi yang telah diserahkan secara timbal balik harus dikembalikan, dengan catatan mengenai prestasi yang telah diberikan kepada pihak yang tidak cakap hanya dapat dituntut kembali, sepanjang :
– masih berada di tangan pihak tidak cakap;
– pihak yang tidak cakap telah mendapatkan manfaat dari padanya;
– telah dipakai dan berguna bagi kepentingan pihak yang tidak cakap.
I.3. Akibat Hukum Ketidakwenangan
Terlebih dahulu marilah kita kembali pada uraian tentang cukup umur, yaitu apabila seseorang sudah berumur genap 18 tahun atau sudah pernah menikah (kawin) sebelumnya. Sepanjang tidak berada di bawah pengampuan, orang yang sudah cukup umur adalah cakap melakukan perbuatan hukum.
Dalam praktik hukum sehari-hari, termasuk yang dilakukan oleh para Notaris maupun P.P.A.T. sangat sering kita jumpai di mana anak yang sudah berusia genap 18 tahun masih diwakili oleh orang tua atau walinya. Persoalan : Apakah orang tua atau wali tersebut mempunyai wewenang untuk mewakili anak yang sudah berusia genap 18 tahun ?
Sebagaimana kita ketahui bahwa Kekuasaan orang tua atau wali bersumber dari undang-undang, vide pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dari penafsiran secara akontrario atas ketentuan yang tercantum dalam pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) tersebut dapat kita ketahui bahwa kekuasaan orang tua atau wali berakhir manakala anak yang berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali tersebut sudah berusia genap 18 tahun. Dengan berakhirnya kekuasaan orang tua atuu wali tersebut berarti orang tua atau wali kehilangan (tidak lagi mempunyai) kewenangan untuk mewakili anak yang sudah berusia genap 18 tahun tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Dari makna tentang kewenangan, khususnya dalam ruang lingkup hukum perdata, sesungguhnya dapat kita mengerti bahwa pengaturan mengenai ketidakwenangan dalam undang-undang adalah dimaksudkan untuk melindungi pihak lawan dalam perjanjian, pihak ke tiga, maupun kepentingan umum, oleh karena itu sudah pada tempatnya apabila perjanjian yang dilakukan atau ditutup oleh salah satu pihak yang tidak berwenang adalah batal demi hukum.
Dengan batal demi hukum, maka perbuatan hukum yang bersangkutan tidak menimbulkan akibat hukum sama sekali, yang dalam perjanjian berarti tidak menimbulkan perikatan sebagaimana yang dituju atau dimaksudkan oleh para pihak, sehingga perjanjian itu tidak pernah menimbulkan hak dan kewajiban sebagai yang mereka kehendaki.
II. Kuasa Lisan
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 mengatur bahwa :
a. yang wajib dilekatkan pada minuta akta adalah Surat kuasa otentik atau surat lainnya yang menjadi dasar kewenangan pembuatan akta yang dikeluarkan dalam bentuk originali atau surat kuasa di bawah tangan;
b. yang wajib diuraikan (diperlihatkan) adalah surat kuasa otentik yang dibuat dalam bentuk minuta;
c. yang cukup dinyatakan dalam akta adalah surat kuasa yang telah dilekatkan pada akta yang dibuat di hadapan Notaris yang sama.
Dari ketentuan yang terurai di atas timbul persoalan sebagai berikut :
Persoalan I : Apakah penggunaan kuasa Lisan masih diperkenankan dalam mewakili Pihak dalam suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris atau P.P.A.T. ?
Jawaban :
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud engan pemberian kuasa.
Berdasar ketentuan yang tercantum dalam pasal 1792 K.U.H. Perdata, yang dimaksud dengan pemberian kuasa adalah :”suatu persetujuan yang berisi pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa”. Selanjutnya mari kita perhatikan ketentuan yang tercantum dalam pasal 1793, yang menyatakan bahwa :
Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan.
Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.
Dari ketentuan yang tercantum pada alenia pertama pasal 1793 tersebut dapat kita ketahui bahwa pemberian kuasa bukan merupakan perjanjian formal, oleh karena itu diperkenankan secara lisan, satu dan lain sepanjang peraturan perundang-undangan tidak menentukan lain, misalnya dalam Pembebanan Hak Tanggungan, dan dalam Pemberian Hipotik, berturut-turut vide pasal 15 U.U. Nomor 4 Tahun 1996, dan pasal 1171 alenia kedua K.U.H. Perdata.
Selanjutnya perlu kita fahami bahwa sekalipun Undang-Undang Jabatan Notaris tidak melarang penggunaan kuasa lisan secara tegas, namun dengan tidak diaturnya sama sekali, termasuk di dalamnya mengenai cara menguraikan dalam hal terjadi pemberikan kuasa secara lisan, maka bisa disimpulkan bahwa Undang-Undang Jabatan Notaris tidak memperkenankan perwakilan dengan pemberian kuasa secara lisan.
Pengaturan yang lebih tegas dalam hubungannya dengan pemberian kuasa ini tercantum dalam pasal 101 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala B.P.N. Nomor 3 Tahun 1997, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
“(1)Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Persoalan II :
Apakah yang dimaksud dengan surat lainnya yang menjadi dasar kewenangan pembuatan akta ?
Jawaban :
Secara sederhana dapat diformulasikan bahwa yang dimaksud dengan surat lainnya adalah seluruh surat (akta) otentik selain surat (akta) kuasa yang berisi kewenangan untuk mewakili pihak lain yang dikeluarkan dalam bentuk originali.
III. Saat Berlakunya Pengangkatan, Penggantian, dan Pemberbentian Anggota Direksi, Dewan Komisaris, Serta Peralihan Hak Atas Saham
1. Anggota Direksi
Dalam anggaran dasar P.T. diatur tentang tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi, dan dapat juga diatur tentang tata cara pencalonan anggota Direksi.
Dalam hubungannya dengan pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut, RUPS menetapkan juga saat mulai berlakunya, dan dalam hal RUPS tidak menetapkan, saat mulai berlakunya adalah sejak ditutupnya RUPS. Sekalipun demikian, pasal 94 ayat (7) U.U. – P.T. mewajibkan Direksi untuk memberitahukan kepada Menteri untuk dicatat dalam Daftar Perseroan dalam jangka waktu paling lama 30 hari. Dari ketentuan ini dapat kita simpulkan bahwa pendaftaran tersebut tidak berkenaan dengan keabsahan maupun mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian Anggota Direksi.
Sanksi atas belum diberitahukannya kepada Menteri dalam waktu 30 hari tersebut adalah Menteri menolak setiap permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) maupun pemberitahuan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), serta pemberitahuan tentang data Perseroan lainnya yang wajib diberitahukan kepada Menteri.
Timbul pertanyaan : ”Bagaimana bila terjadi keadaan di mana Menteri mengetahui bahwa anggota Direksi yang diangkat ternyata tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam pasal 93 ayat (1) dan ayat (2), sehingga pengangkatan tersebut ditolak oleh Menteri ? Dalam kondisi seperti ini, ketentuan yang berlaku adalah yang tercantum dalam pasal 95 ayat (1), yaitu : ”Pengangkatannya batal demi hukum sejak saat anggota Direksi lainnya atau Dewan Komisaris mengetahui tidak terpenuhinya persyaratan tersebut”
Apabila hal itu terjadi, maka dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diketahui, anggota Direksi lainnya atau Dewan Komisaris harus mengumumkan batalnya pengangkatan anggota Direksi yang bersangkutan dalam Surat Kabar, dan memberitahukannya kepada Menteri untuk dicatat dalam Daftar Perseroan.
Selanjutnya perlu saya sampaikan hendaknya jangan sampai terjadi RUPS menetapkan saat mulai berlakunya Pemberhentian Anggota Direksi (maupun Dewan Komisaris) diberlakukan surut, seperti yang pernah terjadi di Kota Surabaya.
2. Anggota Dewan Komisaris
Ketentuan tentang persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat diangkat sebagai Anggota Dewan Komisaris, demikian pula tentang tata cara pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian maupun saat mulai berlakunya, seperti halnya dalam pengangkatan, penggantian,dan pemberhentian anggota Direksi.
Pengangkatan, penggantian,dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris diwajibkan juga untuk diberitahukan kepada Menteri guna dicatat dalam Daftar Perseroan dalam jangka waktu paling lama 30 hari, dengan sanksi yang berupa penolakan Menteri atas setiap pemberitahuan tentang perubahan susunan Dewan Komisaris selanjutnya yang disampaikan kepada Menteri oleh Direksi.
3. Peralihan Hak Atas Saham
Berdasarkan Pasal 56 U.U. – P.T., pemindahan hak atas saham dilakukan dengan akta Notaris atau akta di bawah tangan, yang atas akta mana atau salinannya disampaikan secara tertulis kepada Perseroan untuk dicatat oleh Direksi dalam Daftar Pemegang Saham atau Daftar Khusus. Selanjutnya Direksi berkewajiban memberitahukan perubahan susunan pemegang saham kepada Menteri untuk dicatat dalam Daftar Perseroan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pencatatan pemindahan hak, dengan sanksi penolakan Menteri atas permohonan persetujuan atau pemberitahuan yang dilaksanakan berdasarkan susunan dan nama pemegang saham yang belum diberitahukan tersebut.
Selama saham belum dicatat dalam Daftar Pemegang Saham, pemiliknya tidak mempunyai hak untuk : menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS; menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi; dan menjalankan hak lainnya berdasarkan Undang-Undang P.T.
Dari segala sesuatu yang terurai di atas dapat kita ketahui bahwa :
a. akta Notaris atau akta di bawah tangan merupakan syarat keberadaan untuk adanya pemindahan hak atas saham;
b. pemberitahuan kepada Menteri bukan merupakan syarat keabsahan maupun saat mulai berlakunya pemindahan hak atas saham;
c. beralihnya hak atas saham terjadi sejak dibuatnya akta pemindahan hak, sepanjang seluruh syarat maupun prosedurnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang P.T., Anggaran Dasar maupun peraturan perundang-undangan lainnya terpenuhi.
IV. Jual Beli Saham Sebelum Perseroan Terbatas
Berstatus Sebagai Badan Hukum;
Saya pernah menemui suatu kejadian di mana pada hari dan tanggal yang sama didirikan suatu Perseroan Terbatas, dan sesudah itu dibuat akta jual beli saham oleh salah seorang pendiri kepada para pendiri lainnya.
Dalam keadaan seperti ini, pasti kita ketahui bahwa saham, demikian pula pemilik saham dalam perseroan tersebut belum ada, sehingga menimbulkan pertanyaan kepada kita apakah barang (dalam hal ini saham) yang belum ada dapat dijadikan sebagai objek dalam suatu perjanjian jual beli saham.
Dalam kejadian seperti di atas bukan mustahil, para pihak dalam perjanjian tersebut, demikian pula Notaris yang membuat akta khilaf tentang kapan saham tersebut ada atau lahir.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Saham maupun Pemegang Saham baru ada sejak Perseroan Terbatas tersebut berstatus sebagai Badan Hukum, yaitu sejak Akta Pendirian (Anggaran Dasar)-nya disahkan oleh Institusi yang berwenang. Bertalian dengan itu, Rapat Umum Pemegang Sahampun baru bisa diselenggarakan jika Perseroan tersebut telah berstatus sebagai Badan Hukum..
Selanjutnya perlu saya sampaikan bahwa dalam memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, kita harus hati-hati, sebab dari sekian banyak orang yang saya temui rata-rata berpendapat bahwa jual beli tersebut tidak sah.
Untuk mendudukkan persoalan tersebut mari kita lihat ketentuan yang tercantum dalam pasal 1334 alenia pertama K.U.H. Perdata, yang pada pokoknya berisi bahwa : ”Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu perjanjian”, oleh karena itu perjanjian jual beli tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang.
Dalam hubungannya dengan barang yang baru akan ada ini, yang harus kita ingat adalah adanya larangan bagi seseorang untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk menentukan suatu syarat dalam perjanjian mengenai warisan itu, sekalipun dengan persetujuan orang yang akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu.
Ketentuan yang diatur dalam pasal 1334 alenia pertama tersebut diikuti oleh Undang-Undang Fidusia, yang memperkenankan pemberian fidusia atas barang yang baru akan ada, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1), yang selengkapnya berisi sebagai berikut :
” Jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis Benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian”.
Ketentuan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 tersebut menunjukkan bahwa mengenai hal ihwal benda yang dapat dibebani Jaminan Fidusia bagi pelunasan utang, Undang-Undang Fidusia sedemikian fleksibel.
————-
PENUTUP
Sekalipun saya telah berusaha secara sungguh-sungguh, namun saya yakin bahwa dalam tulisan ini masih terkandung berbagai macam kekurangan, sehingga belum bisa memenuhi harapan para pembaca. Hal ini disebabkan karena dangkalnya ilmu pengetahuan maupun pengalaman, oleh karena itu saya sangat berharap agar para pembaca tulisan ini berkenan menyampaikan saran dan kritik demi perbaikan penulisan saya di masa yang akan datang.
Semoga Allah S.W.T, Tuhan yang Maha Kuasa selalu melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua. (Surabaya, 28 Pebruari 2013; Penyaji, Miftachul Machsun)
(Sumber : Majalah MINUTA terbitan Maret 2013)

Mempeributkan Sidik Jari
(Oleh: Zul Fadli, S.H., M.Kn)

Zul Fadly
Berbagai macam penafsiran muncul terkait kewajiban Notaris dalam melekatkan sidik jari pada minuta akta. Ada yang mengatakan bahwa penghadap diharuskan membubuhkan kesepuluh sidik jarinya, di sisi lain ada pula yang mengatakan cukup sidik jari jempol saja.
Di samping itu, kebanyakan berpendapat sidik jari ini dibubuhkan terpisah dari minuta akta, artinya pembubuhan sidik jari dilakukan pada kertas diluar kertas minuta akta, sedangkan sebagian yang lain berpendapat, pembubuhan sidik jari tersebut dilakukan dalam kertas minuta akta.
Keberagaman interpretasi dalam dunia hukum memang sudah ada sejak lama, perbedaan pandangan atas sebuah aturan terkadang bukanlah suatu hal yang tabu. Bila kita ingat pelajaran Pengatar Ilmu Hukum, kita diajarkan bahwa definisi hukum itu ibarat beberapa orang buta memegang gajah.
Orang buta pertama mengatakan gajah itu besar sekali karena dia memegang perut gajah. Orang buta kedua mengatakan gajah itu kecil, panjang dan berbulu, karena dia memegang ekor gajah. Lalu orang buta ketiga mengatakan gajah itu tipis dan lebar karena dia memegang kuping gajah.
Interpretasi
Keberagaman pandangan dalam hukum merupakan suatu keniscayaan dan mesti disikapi dengan bijaksana. Sebagai seorang sarjana hukum, kita harus terbiasa dengan perbedaan pendapat. Pandangan yang berbeda akan memperkaya khazanah pengetahuan hukum itu sendiri.
Perbedaan pendapat salah satunya disebabkan oleh cara menginterpretasikan suatu regulasi dengan metode yang berbeda. Metode penemuan hukum interpetasi merupakan salah satu cara untuk menjawab persoalan hukum.
Ada beragam metode interpretasi yang berkembang dalam ilmu hukum. Mulai dari interpretasi gramatikal, otentik, teleologis, sismatis, historis, komparatif, futuristis, reskriktif dan ekstensif. Semua metode interpretasi ini dapat menghasilkan padangan yang berbeda. Berikut penjelasan terkait macam-macam interpretasi:
1. Interpretasi gramatikal adalah penafsiran atas sebuah aturan menurut bahasa, misalnya frasa “menggelapkan barang” dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimaknai secara bahasa dimaknai “mencuri barang yang dipercayakan kepadanya”.
2. Interpretasi otentik adalah penafsiran berdasarkan batasan yang dicantumkan dalam peraturan itu sendiri, biasanya terdapat pada bagian penjelasan.
3. Interpretasi teleologis (sosiologis) adalah penafsiran berdasarkan tujuan masyarakat.
4. Interpretasi sistematis (logis) adalah penafsiran dengan mengaitkan peraturan satu dengan peraturan lainya. Contohnya makna akta otentik yang terdapat dalam Undang-Undang Jabatan Notaris bisa dikaitkan dengan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang memberikan penjelasan apa itu akta otentik.
5. Interpretasi historis adalah penafsiran dengan menyimak latar belakang sejarah hukum atau sejarah perumusan suatu ketentuan tertentu.
6. Interpretasi komparatif adalah membandingkan aturan sistem hukum yang satu dengan aturan yang ada pada sistem hukum lainya.
7. Interpretasi futuristis adalah penafsiran dengan mengacu pada Rancangan Peraturan Perundang-Undangan atau rumusan yang dicita-citakan (ius constituendum).
8. Interpretasi reskriptif adalah penafsiran dengan membatasi/ mempersempit suatu ketentuan.
9. Interpretasi ekstensif adalah penafsiran dengan memperluas cakupan suatu aturan.
Multi Tafsir Melekatkan Sidik Jari
Dalam pasal 16 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014) yang mengharuskan Notaris melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta. Atas ketentuan ini, sempat menimbulkan kekagetan diantara Notaris, karena hal semacam ini merupakan hal yang baru dalam dunia kenotariatan.
Seminar, sosialisasi, dan diskusi pun diselenggarakan untuk memahami ketentuan ini, namun keberagaman padangan atas ketentuan ini tidak dapat dielakan. Mulai dari jari yang mana, berapa jari, dan apakah dibubuhkan di kertas minuta atau di kertas yang terpisah dari kertas minuta. Ada lagi yang menafsirkan ketentuan yang menwajibkan melekatkan sidik jari pada minuta akta baru berlaku bila telah memiliki peraturan pelaksana.
Dalam hal ini penulis berpendapat, ketentuan melekatkan sidik jari telah berlaku sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, karena hal ini memang dinyatakan dengan tegas di dalam Undang-Undang. Selain itu, kewajiban melekatkan sidik jari pada minuta akta, tidak mendelegasikan kepada peraturan dibawahnya untuk diatur lebih lanjut sebagai syarat berlaku efektif. Artinya kewajiban melekatkan sidik jari pada minuta akta secara yuridis telah berlaku tanpa peraturan pelaksana.
Mengenai jari yang mana yang harus dibubuhkan dan berapa jumlah jarinya, bagi penulis hal itu tidak lah menjadi masalah, mau satu jari jempol, keduanya atau malah kesepuluh jari tangan, menurut penulis hal itu sama saja, karena Undang-Undang hanya mengatur melekatkan sidik jari dan tidak mengatur berapa jari dan jari yang mana yang harus dibubuhkan.
Apakah sidik jari dibubuhkan langsung pada minuta akta atau dalam kertas yang terpisah dari minuta akta? Kebanyakan yang berkembang dikalangan Notaris adalah dengan menggunkan kertas yang terpisah dari minuta akta. Lalu kertas yang berisi sidik jari penghadap itu dilekatkan pada minuta akta.
Namun ada juga yang membubuhkan sidik jari tersebut langsung pada kertas minuta akta. Bagi penulis, perbedaan ini tidak lah masalah, karena hakekat dari kewajiban melekatkan sidik jari telah tercapai walau ada perbedaan pada kertas mana sidik jari itu dibubuhkan. Perintah melekatkan sidik jari bertujuan untuk menegaskan dan membuktikan bahwa penghadap benar-benar telah hadir di hadapan Notaris.
Penutup
Mesti diakui bahwa sebuah regulasi yang baik adalah regulasi yang mempersempit terjadinya multitafsir. Keberagaman interpretasi akan menimpulkan implementasi yang berbeda-beda pula. Untuk mengakhiri perbedaan tafsir terkait kewajiban melekat sidik jari pada minuta akta, maka perlu dibuat suatu aturan pelaksana yang mengatur kewajiban melekatkan sidik jari pada minuta akta.
Karena Undang-Undang tidak mendelegasikan kepada peraturan dibawahnya mengenai kewajiban ini untuk diatur lebih lanjut dalam bentuk peraturan apa, maka regulasi yang paling tepat untuk mengaturnya lebih lanjut adalah Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini sesuai dengan apa yang telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, “Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.”
Diselesaikan 22 Juli 2014

Kewajiban Ingkar Notaris Dalam Undang-Undang tentang Jabatan Notaris (UUJN)
Dr. Habib Adjie, SH, MHum)

Habib Adjie
Ketika kita disumpah atau mengucapkan janji (berdasarkan agama masing-masing) sebagai Notaris, dengan lantang kita mengucapkan sumpah dan janji tersebut. Setelah selesai disumpah/mengucapkan janji terbayang sudah, bahwa kita telah dipercaya mengemban amanat untuk menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris. Tapi sebenarnya tanpa kita sadari, sumpah atau janji yang pernah kita ucapkan mengandung makna yang sangat dalam yang harus kita jalankan dan mengikat kita selama menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, biasanya setelah mengucapkan sumpah dan menjalankan tugas jabatan sehari-hari, kita lupa dengan isi sumpah dan janji yang pernah kita ucapkan, seakan-akan sumpah atau janji tersebut hanya merupakan Dekorasi Bibir saja atau hanya untuk memenuhi persyaratan formal untuk memulai tugas jabatan sebagai Notaris.
Sumpah atau janji tersebut mengandung dua hal yang harus kita pahami, yaitu (1) secara vertikal kita wajib bertanggungjawab kepada Tuhan, karena sumpah atau janji yang kita ucapkan berdasarkan agama kita masing-masing, dengan demikian artinya segala sesuatu yang kita lakukan akan diminta pertanggungjawabannya dalam bentuk yang dikehendaki Tuhan; (2) secara vertikal kepada negara dan masyarakat, artinya Negara telah memberi kepercayaan kepada kita untuk menjalankan sebagain tugas Negara dalam bidang Hukum Perdata, yaitu dalam pembuatan alat bukti berupa akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, dan kepada masyarakat yang telah percaya bahwa Notaris mampu memformulasikan kehendaknya ke dalam bentuk akta Notaris, dan percaya bahwa Notaris mampu menyimpan (merahasiakan) segala keterangan atau ucapan yang diberikan di hadapan Notaris.
Dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN mengenai sumpah/janji Notaris ditegaskan……”bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya…”, dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, bahwa Notaris berkewajiban – “merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain”.
Secara umum Notaris wajib merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pembuatan akta Notaris, kecuali diperintahkan oleh undang-undang bahwa Notaris tidak wajib merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan yang berkaitan dengan akta tersebut, dengan demikian batasannya hanya undang-undang saja yang dapat memerintahkan Notaris untuk membuka rahasia isi akta dan keterangan/pernyataan yang diketahui Notaris yang berkaitan dengan pembuatan akta yang dimaksud.
Bahwa instrument untuk ingkar bagi Notaris ditegaskan sebagai salah satu kewajiban Notaris yang tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN, sehingga Kewajiban Ingkar untuk Notaris melekat pada tugas jabatan Notaris. Sebagai suatu kewajiban harus dilakukan, berbeda dengan hak ingkar, yang dapat dipergunakan atau tidak dipergunakan, tapi kewajiban ingkar mutlak dilakukan dan dijalankan oleh Notaris, kecuali ada undang-undang yang memerintahkan untuk menggugurkan kewajiban ingkar tersebut.
Kewajiban Ingkar tersebut merupakan instrument yang sangat penting yang diberikan oleh UUJN kepada Notaris, tapi ternyata dalam praktek, kewajiban tersebut tidak banyak dilakukan oleh para Notaris, bahkan kebanyakan para Notaris ketika diperiksa oleh MPD, MPW atau MPP atau dalam pemeriksaan oleh penyidik atau dalam persidangan lebih suka “buka mulut” untuk menceritakan dan mengungkapkan semua hal yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, sehingga jabatan Notaris sebagai suatu jabatan kepercayaan telah dicederai oleh para Notaris sendiri.
Dalam hal ini timbul pertanyaan, kapan kewajiban ingkar dapat dilakukan ? Kewajiban ingkar dapat dilakukan dengan batasan sepanjang Notaris diperiksa oleh instansi mana saja yang berupaya untuk meminta pernyataan atau keterangan dari Notaris yang berkaitan dengan akta yang telah atau pernah dibuat oleh atau di hadapan Notaris yang bersangkutan.
Notaris sebagai jabatan kepercayaan wajib untuk menyimpan rahasia mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan/ pernyataan para pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta, kecuali undang-undang memerintahkannya untuk membuka rahasia dan memberikan keterangan/pernyatan tersebut kepada pihak yang memintanya. Tindakan seperti ini merupakan suatu kewajiban Notaris berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUUJN. Jika ternyata Notaris sebagai saksi atau tersangka, tergugat ataupun dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan, sedangkan undang-undang tidak memerintahkannya, maka atas pengaduan pihak yang merasa dirugikan kepada pihak yang berwajib dapat diambil tindakan atas Notaris tersebut, tindakan Notaris seperti ini dapat dikenakan Pasal 322 ayat (1) dan (2) KUHP, yaitu membongkar rahasia, padahal Notaris berkewajiban untuk menyimpannya. Dalam kedudukan sebagai saksi (perkara perdata) Notaris dapat minta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya menurut undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya (Pasal 1909 ayat (3) BW).
Jelas sudah bahwa Notaris mempunyai kewajiban seperti tersebut di atas, pertanyaannya, kenapa para Notaris tidak menyadari punya kewajiban seperti itu ? Bahwa Notaris mempunyai Kewajiban Ingkar bukan untuk kepentingan diri Notaris, tapi untuk kepentingan para pihak yang telah mempercayakan kepada Notaris, bahwa Notaris dipercaya oleh para pihak mampu menyimpan semua keterangan atau pernyataan para pihak yang pernah diberikan di hadapan Notaris yang berkaitan dalam pembuatan akta.
Kalau kata Aa Gym, jagalah hati, maka untuk para Notaris, jagalah mulut dan lidah. Kita jaga kata dan kalimat agar tidak menjadi limbah yang tidak berguna yang dapat mengotori dunia Notaris. Untuk itu mari kita jalankan Kewajiban Ingkar Notaris yang telah ada dan melekat pada Notaris dalam menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris karena telah dilindungi undang-undang berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UUJN dan Pasal 16 ayat (1) huruf e UUUJN menentukan tindakan Notaris tersebut sebagai suatu Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) Notaris. (Habib Adjie)
————————————–
Share this Post: 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS