Sengketa Yayasan
Majelis
hakim tolak permohonan pailit terhadapYayasan Universitas Pramita.
Sengketa
kepailitan antara dosen dan karyawan Universitas Pramita dengan Yayasan Citra
Pramita berakhir. Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak
permohonan pernyataan pailit yang diajukan tujuh belas pemohon itu. Permohonan
ditolak lantaran pembuktian pailit dinilai tidak bersifat sederhana. Putusan
itu dibacakan pada Kamis (8/4) oleh majelis hakim yang diketuai Marsudin
Nainggolan serta beranggotakan Sugeng Riyono dan Nirwana.
Dalam putusan
No 09/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST, majelis hakim menyarankan agar
permasalahan hukum diselesaikan di luar jalur hukum. Hal itu demi menjaga nama
baik Universitas Pramita dan operasional kegiatan mahasiswa yang bernaung di
bawah Yayasan Citra Pramita.
Sebelumnya,
permohonan pailit didaftarkan ke pengadilan pada 9 Februari 2010 melalui kuasa
hukum pemohon dari Jefry Butarbutar & Rekan. Para pemohon itu antara lain
Rachmat Setiawan (Wakil Dekan FISIP Universitas Pramita Indonesia), Prof Benny
Gunawan (Dekan Direktur Program pasca Sarjana Ilmu Pemerintahan FISIP), Agus
Hadi Ismoyo (Kajur Elektro Universitas Pramita Indonesia).
Majelis hakim
menyatakan Pasal 8 ayat (4) UU No 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU
mensyaratkan pembuktian pailit harus bersifat sederhana. Artinya, fakta adanya
utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih sudah bisa terungkap dengan bukti
nyata dan tidak ada sengketa utang piutang. Jika penilaian fakta utang sulit
maka sengketa harus dibawa ke pengadilan negeri secara perdata.
Dalam perkara
ini, yang jadi masalah adalah tunggakan pembayaran gaji, tunjangan, uang makan,
uang trasport serta THR 2009 yang belum dibayar hingga permohonan diajukan.
Total tunggakan sesuai dengan rekap gaji Agustus-Januari 2010 sebesar Rp448,542
juta. Tunggakan itulah yang ditagih melalui kepailitan.
Lantaran masalah
terkait penggajian, majelis hakim berpendapat pemohon memiliki hubungan hukum
dengan universitas, bukan dengan yayasan. Hal itu antara lain terbukti dari
keputusan rektor tentang pengangkatan sebagai karyawan dan dosen berupa
perjanjian kerja, SK kenaikan gaji.
Kuasa hukum
yayasan, Ismail Fahmi sempat mengajukan eksepsi atas permohonan itu.
Menurutnya, masalah penggajian adalah sengketa ketenagakerjaan sehingga yang
berwenang mengadili adalah Pengadilan Hubungan Industrial. Namun, majelis hakim
berpendapat dalil itu sudah memasuki pokok perkara. Karena hubungan penggajian
dan yayasan akan menjadi acuan dalam menentukan hubungan kreditur dan debitur.
Hubungan hukum lain
Nyatanya,
terdapat akta notaris pada 2007 tentang penyertaan modal ke dalam FISIP
antara universitas dengan Prof. Benny Gunawan (Dekan Direktur Program pasca
Sarjana Ilmu Pemerintahan FISIP). Benny juga salah satu pemohon pailit. Ada
lagi fakta pembayaran royalti dari Benny pada universitas sebagai konsekuensi
kerja sama pengelolaan perkuliahan pasca sarjana. Benny sendiri yang turun
tangan dalam pengelolaan program tersebut. Hubungan lain, adanya pengakuan
utang universitas pada Benny sebesar Rp345 juta.
Yayasan
sebenarnya mampu untuk membayar operasional penyelenggaraan pendidikan.
Berdasarkan data yang dilaporkan ke Direktorat Perguruan Tinggi, jumlah
mahasiswa program S1 dan S2 sekitar 531 mahasiswa. Sedangkan menurut data Biro
Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan berjumlah 705 orang. Dari jumlah itu,
pemasukan mahasiswa tiap semester bisa mencapai Rp2,3 miliar. Sementara, gaji
karyawan dan dosen rata-rata Rp60 juta per bulan .
Masalah
timbul karena pembayaran dari mahasiswa tidak disetorkan ke yayasan secara
langsung. Tapi secara manual diterima bagian keuangan universitas, dan
selanjutnya tidak disetorkan sepenuhnya pada yayasan. Yayasan hanya menerima
sebagian yang sejak Januari–Desember 2009 hanya Rp707,717 juta. Terhadap
persoalan ini, saat ini yayasan sedang melakukan investigasi dan pengumpulan
data tentang dugaan tindak pidana penggelapan uang yang dilakukan sebagian
pemohon pailit.
Di
samping itu, ada pula dugaan penyalahgunaan keuangan itu tengah disidik Kajati
Banten. Dugaan kejahatan ini menjadikan kuasa hukum yayasan membantah adanya
utang. Kondisi tambah memburuk lantaran saat ini rektor Universitas Pramita,
Hadi Subagyo, sakit stroke sehingga lumpuh.
Dari
fakta itu, majelis menyimpulkan terdapat berbagai hubungan hukum yang terkait
aset kekayaan universitas. "Berbagai hubungan hukum itu tak sekedar
hubungan antara kreditur dan debitur," kata M Nainggolan. Alhasil,
pembuktian pailit tidak bersifat sederhana sehingga bertentangan dengan Pasal 8
ayat (4) UU Kepailitan. "Maka permohonan pailit harus dinyatakan
ditolak," imbuh hakim bergelar doktor itu.
Usai bersidang
kuasa hukum pemohon, Haposan Jefry menolak berkomentar. “Nanti saja yah,”
ujarnya. Sementara, kuasa hukum termohon Ismail Fahmi menyambut baik putusan
hakim. “Sudah selayaknya putusan seperti itu karena faktanya memang rumit.
Tidak hanya masalah utang piutang, tapi masalah pidana dan administrasi yang
tidak rapi,” ujarnya.
----------------------------------------------
Ahli
Sarankan Kasus Untag Gunakan UU Yayasan
Usai
melaporkan ketua yayasan ke kepolisian, forum peduli Untag mengumpulkan sejumlah
ahli hukum.
Ribut-ribut
Yayasan Universitas 17 Agustus (Untag) Jakarta telah berujung ke Kepolisian.
Ketua Yayasan Untag Rudyono Dharsono dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri dan
Polres Jakarta Utara sekaligus. Tak tanggung-tanggung, Rudyono dilaporkan atas
dugaan penggelapan, pemalsuan hingga pencucian uang.
Notaris senior Winanto Wiryomartani menyarankan agar masing-masing pihak mencermati kasus tersebut dengan menggunakan UU Yayasan.
“Permasalahan yang terjadi di Untag masuk ranah hukum yang mana? Coba lakukan pencermatan legalitas hukum pengurus yayasan dulu, apakah sudah sesuai AD/ART atau tidak,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Masyarakat Peduli Untag, di Jakarta, Selasa (4/2).
Winanto menuturkan bila pengurus yayasan – dalam hal ini Ketua Yayasan – melakukan tindakan yang melebihi kewenangannya (ultra vires), maka perbuatan hukum itu bisa batal. “Makanya, harus dipelajari dulu. Itu yang paling penting,” ujarnya.
Berdasarkan UU Yayasan, lanjut Winanto, pengurus yayasan berwenang mewakili yayasan, dengan catatan untuk tindakan tertentu harus memperoleh izin dari badan pembina. “Fokusnya di situ,” tegasnya.
Bila ternyata izin dari pembina telah dikantongi, maka perlu dilihat lebih lanjut bagaimana prosedur pemberian izinnya. Bila pembina berjumlah tunggal atau satu orang, maka izin itu akan mudah diberikan. Namun, bila pembina yayasan terdiri dari banyak orang, maka izin itu harus memenuhi kuorum yang ditetapkan UU.
“Undang-undang bilang kalau pembinanya banyak, minimal 2/3 dari mereka setuju. Mungkin ada izin tapi tak sesuai dengan kuorum. Itu yang harus dicermati,” ujarnya.
Winanto juga mengutip Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan yang berbunyi “Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan UU ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada pembina, pengurus dan pengawas.”
Hukuman pelanggaran aturan ini tak tanggung-tanggung, yakni berupa pidana penjara maksimal lima tahun serta kewajiban mengembalikan uang, barang atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
Salah seorang pembicara dalam diskusi ini, Abdullah mengatakan bahwa kasus ini sangat rumit. Meski yang dirugikan secara langsung adalah individu-individu, tetapi dampaknya kepada masyarakat secara luas. Ia menuturkan dalam kasus ini ada unsur penggelapan, pencucian uang hingga pemalsuan surat.
“Tinggal dipikirkan yang mana yang mau digunakan terlebih dahulu,” ujar Abdullah yang didaulat berbicara menggantikan Pakar Hukum Pencucian Uang Yenti Ganarsih yang berhalangan hadir.
Sementara, Dosen FH Universitas Pancasila yang juga mantan Direktur Litigasi BPPN TB Adhi Faiz berbicara dari sudut penipuan dan penggelapan.
Sebagai informasi, Forum Masyarakat Peduli Untag telah melaporkan Ketua Yayasan Untag Rudyono Dharsono ke Bareskrim Mabes Polri atas tuduhan penggelapan aset yayasan senilai Rp35 miliar dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Selain itu, Rudyono juga dilaporkan oleh PT Graha Mahardika atas dugaan pemerasan ke Polres Jakarta Utara.
Pada 2000 lalu, Yayasan Untag sepakat menjual asetnya berupa tanah seluas 31.096 m2 kepada PT Graha Mahardika senilai Rp 91,1 Miliar. Namun, Ketua Yayasan Rudyono Dharsono melaporkan kepada internal Yayasan Untag bahwa jual beli itu senilai Rp 65,6 Miliar berdasarkan pada akte perjanjian pada 1999. Rudyono berdalih ada harta pribadinya senilai Rp 31,9 yang telah dikeluarkan untuk mengurus jual beli tersebut.
Notaris senior Winanto Wiryomartani menyarankan agar masing-masing pihak mencermati kasus tersebut dengan menggunakan UU Yayasan.
“Permasalahan yang terjadi di Untag masuk ranah hukum yang mana? Coba lakukan pencermatan legalitas hukum pengurus yayasan dulu, apakah sudah sesuai AD/ART atau tidak,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Masyarakat Peduli Untag, di Jakarta, Selasa (4/2).
Winanto menuturkan bila pengurus yayasan – dalam hal ini Ketua Yayasan – melakukan tindakan yang melebihi kewenangannya (ultra vires), maka perbuatan hukum itu bisa batal. “Makanya, harus dipelajari dulu. Itu yang paling penting,” ujarnya.
Berdasarkan UU Yayasan, lanjut Winanto, pengurus yayasan berwenang mewakili yayasan, dengan catatan untuk tindakan tertentu harus memperoleh izin dari badan pembina. “Fokusnya di situ,” tegasnya.
Bila ternyata izin dari pembina telah dikantongi, maka perlu dilihat lebih lanjut bagaimana prosedur pemberian izinnya. Bila pembina berjumlah tunggal atau satu orang, maka izin itu akan mudah diberikan. Namun, bila pembina yayasan terdiri dari banyak orang, maka izin itu harus memenuhi kuorum yang ditetapkan UU.
“Undang-undang bilang kalau pembinanya banyak, minimal 2/3 dari mereka setuju. Mungkin ada izin tapi tak sesuai dengan kuorum. Itu yang harus dicermati,” ujarnya.
Winanto juga mengutip Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan yang berbunyi “Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan UU ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada pembina, pengurus dan pengawas.”
Hukuman pelanggaran aturan ini tak tanggung-tanggung, yakni berupa pidana penjara maksimal lima tahun serta kewajiban mengembalikan uang, barang atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
Salah seorang pembicara dalam diskusi ini, Abdullah mengatakan bahwa kasus ini sangat rumit. Meski yang dirugikan secara langsung adalah individu-individu, tetapi dampaknya kepada masyarakat secara luas. Ia menuturkan dalam kasus ini ada unsur penggelapan, pencucian uang hingga pemalsuan surat.
“Tinggal dipikirkan yang mana yang mau digunakan terlebih dahulu,” ujar Abdullah yang didaulat berbicara menggantikan Pakar Hukum Pencucian Uang Yenti Ganarsih yang berhalangan hadir.
Sementara, Dosen FH Universitas Pancasila yang juga mantan Direktur Litigasi BPPN TB Adhi Faiz berbicara dari sudut penipuan dan penggelapan.
Sebagai informasi, Forum Masyarakat Peduli Untag telah melaporkan Ketua Yayasan Untag Rudyono Dharsono ke Bareskrim Mabes Polri atas tuduhan penggelapan aset yayasan senilai Rp35 miliar dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Selain itu, Rudyono juga dilaporkan oleh PT Graha Mahardika atas dugaan pemerasan ke Polres Jakarta Utara.
Pada 2000 lalu, Yayasan Untag sepakat menjual asetnya berupa tanah seluas 31.096 m2 kepada PT Graha Mahardika senilai Rp 91,1 Miliar. Namun, Ketua Yayasan Rudyono Dharsono melaporkan kepada internal Yayasan Untag bahwa jual beli itu senilai Rp 65,6 Miliar berdasarkan pada akte perjanjian pada 1999. Rudyono berdalih ada harta pribadinya senilai Rp 31,9 yang telah dikeluarkan untuk mengurus jual beli tersebut.
Yayasan
Jurnal Perempuan Tersandung Sengketa Ketenagakerjaan
Jika
dicermati, ada pemandangan tak biasa di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
Jakarta beberapa pekan ini. Seorang aktivis perempuan terlihat wara-wiri di sana. Orang itu adalah
Adriana Venny. Bagi pemerhati isu perempuan, nama Venny �demikian ia disapa- tidak asing di telinga. Selain
itu, ia juga dikenal sebagai Direktur Eksekutif Yayasan
Jurnal Perempuan, sebuah LSM yang bergerak di bidang publikasi
jurnal, buku dan informasi seputar kesetaraan gender.
Namun
kedatangan Venny di PHI Jakarta tidak sedang memberikan materi pelatihan
tentang keseteraan gender bagi warga pengadilan. Kehadiran Venny tak lain sebagai pihak yang bersengketa. Ia bertindak
sebagai penggugat. Pihak yang digugat tak lain adalah Yayasan Jurnal Perempuan.
Perselisihan
Venny dengan Yayasan Jurnal Perempuan mencuat sejak Agustus 2007. Pada satu
kesempatan rapat, pendiri Yayasan mengutarakan niatnya untuk pergantian
manajemen. Salah satu posisi yang ikut dirombak adalah Direktur Eksekutif.
Sesuai SK Pengangkatan, seharusnya masa jabatan saya sebagai Direktur Eksekutif
baru berakhir pada Juni 2009, kata Venny, Selasa (25/11).
Venny lantas
menanggapi dingin rencana pendiri Yayasan. Saya tidak mau berkonflik. Jadi saya
hanya diam saja. Tidak mengiyakan atau menolak rencana itu.
Keputusan
pendiri untuk merombak manajemen sudah bulat. Pada pertengahan Januari 2008,
pendiri kembali mengadakan pertemuan dengan Venny dan beberapa staf manajemen.
Dalam kesempatan itu, pendiri menjanjikan posisi baru bagi Venny. Waktu itu,
katanya saya akan diangkat sebagai Board
of Director (BoD). Tugasnya seperti komisaris yang mengawasi kerja Direktur
Eksekutif, ungkap Venny.
Sehari
setelah pertemuan itu, tepatnya pada 16 Januari 2008, pendiri Yayasan melantik
Mariana Amiruddin sebagai Direktur Eksekutif yang baru dengan periode
kepengurusan 2008-2011.
Hari setelah
pelantikan Mariana, menjadi hari yang berat bagi Venny. Ia menunggu janji
pendiri yang akan mengangkatnya sebagai BoD. Ia mencoba menagihnya dengan
menghubungi pendiri lewat email mapun
pesan pendek melalui telepon. Hasilnya tetap nihil.
Alih-alih
menunggu jabatan baru, Venny malah dilarang masuk kantor. Melalui surat
peringatan tertanggal 14 Februari 2008, manejemen menilai Venny menyebarkan
informasi bohong dan merugikan nama baik seorang manager program. Ia pun
dilarang masuk kantor hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Kontan Venny
meradang. Ia lantas berkirim surat meminta klarifikasi dari manajemen. Karena
tak berbalas, Venny lalu mencatatkan perselisihan ini ke Sudinakertrans Jakarta
Selatan. Mediator instansi ini mengeluarkan anjuran yang meminta agar Yayasan
mempekerjakan kembali Venny dalam jabatan semula.
Masih tak
menggubris anjuran mediator, Venny menggulirkan perselisihan ke PHI pada
September 2008. Dalam gugatannya, ia menuntut agar PHI menyatakan putusnya
hubungan kerja Venny dengan Yayasan. Tentunya dengan pembayaran kompensasi
pesangon dan upah selama proses.
Gara-gara 'berulah'
N. Farid
Adhikoro, kuasa hukum Yayasan membantah semua tuduhan Venny. Menurutnya, Venny
secara sadar dan tanpa tekanan mengundurkan diri dari jabatannya.
Lebih jauh
Farid menyebutkan Venny salah alamat mengajukan gugatan ke PHI. Awal masalah
perkara ini, kata Farid, adalah tak kunjung diangkatnya Venny sebagai BoD
sesuai janji pendiri Yayasan. Kalau mau dipermasalahkan, ini wanprestasi.
Mengenai
pelarangan Venny ke kantor, Yayasan mempunyai alasan sendiri. Seperti dikatakan
Farid, tindakan penyebaran informasi bohong oleh Venny menyebabkan suasana
kantor menjadi tidak nyaman. Penuh kecurigaan dan menimbulkan perpecahan sesama
staf.
Sebelum
surat pelarangan terbit, masih menurut Farid, pada awal Februari sebenarnya
Yayasan sudah mengeluarkan surat yang mengangkat Venny sebagai tenaga ahli. Hal
ini langsung dibantah Venny. Sampai saya dilarang masuk kantor, saya tidak
pernah menerima surat itu.
'Jenjang Karir' di LSM
Pada bagian
lain, Farid menyebutkan masalah �jenjang karir' sebagai salah satu masalah dalam perkara ini. Menurutnya,
sudah menjadi �kebiasaan' di tiap LSM dimana mantan
Direktur Eksekutif pada akhirnya mengundurkan diri dari LSM itu. Tak jarang
mantan direktur itu kemudian membentuk LSM baru.
Ketua Pusat
Kajian Hukum Ketenagakerjaan Universitas Pasundan, Bandung, Wirawan angkat
bicara. Awalnya ia menerangkan bahwa secara normatif, LSM yang memiliki
pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain dapat dikategorikan sebagai perusahaan. Itu disebut dalam Pasal 1
angka 6 huruf (d) UU Ketenagakerjaan, jelas Wirawan lewat gagang telepon, Rabu
(26/11).
Karena
tunduk dengan UU Ketenagakerjaan, lanjut Wirawan, semua aturan main yang
berlaku di LSM juga harus tunduk dengan UU Ketenagakerjaan. Mengenai mundurnya
seorang Direktur Eksekutif dari jabatan, menurutnya tidak lantas menghilangkan
status �kepegawaian' seorang pekerja LSM.
Sekedar
informasi, Venny meniti karir sebagai staf redaksi di Yayasan Jurnal Perempuan
sejak 1999. Beberapa tahun setelah itu, ia diangkat menjadi pekerja tetap
sebelum akhirnya dipercaya sebagai Direktur Eksekutif pada 2004.
Lebih lanjut
Wirawan berpendapat, LSM tidak bisa seenaknya �mendepak' mantan direkturnya. Jika mau diberhentikan, LSM harus membayar
kompensasi PHK. Beda hal kalau si mantan direktur yang mengundurkan diri.
Nah, dalam
perkara ini Farid juga menuding Venny melakukan hal yang sama. Pertengahan
Januari dia mundur dari Direktur Eksekutif, pertengahan Februari dia dilarang
masuk kantor, kemudian pertengahan Maret 2008 dia mendirikan LSM baru yang juga
concern dengan isu perempuan,
tuturnya. Bagi Farid, Venny secara sukarela sudah mengundurkan diri dari
Yayasan.
Mengenai hal ini Venny kembali menyanggah. Saya tidak
pernah mengundurkan diri. Kalau dibilang saya beraktifitas di LSM lain itu
tidak benar. Saya memang tercatat menjadi Dewan Penasihat suatu LSM. Tapi itu
tidak digaji. Malah saya yang mengeluarkan uang.
--------------------------------------------
KY akan tindak lanjuti pengaduan Rektorat Usakti
terhadap Ketua PN Jakarta Barat
Sengketa kepemilikan Universitas Trisakti (Usakti)
antara pihak Yayasan Trisakti dan sembilan pimpinan universitas terus
berlanjut. Kamis (5/5), Rektorat Usakti mengadukan Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Barat Lexy Mamonto ke Komisi Yudisial (KY). Lexy dituding telah
melakukan pelanggaran kode etik terkait penetapan eksekusi putusan kasasi
Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan pihak yayasan.
“Pelanggaran kode etik ini terkait surat undangan
rapat koordinasi pelaksanaan eksekusi oleh Anshori Thoyib (panitera)
mengatasnamakan Ketua PN Jakbar (Lexy Mamonto) yang melibatkan unsur TNI,” ujar
kuasa hukum Usakti Bambang Widjojanto di Gedung KY Jakarta, Kamis (5/5).
Bambang menegaskan dalam surat undangan rapat
koordinasi penetapan eksekusi itu tertanggal 20 April 2011 disebutkan unsur TNI
yang dilibatkan yakni Komandan Gartap I Ibukota Jakarta Raya Up Asops, Komandan
Kodim 0503, Komandan Sub Gar Jakarta Barat, dan Komandan Koramil Grogol
Pentamburan.
“Penetapan eksekusi akan melibatkan militer, apalagi
menjelang 12 Mei (Hari Reformasi, red.) loh, di balik ini ada maksud apa? Kita
kan jadi ‘ngeri’,” kata Bambang. Menurutnya, proses eksekusi yang melibatkan
unsur TNI dapat dikualifikasi sebagai tindakan tidak bertanggung jawab dan
sikap yang tidak profesional.
Selain pelibatan TNI, pihak Usakti juga mempersoalkan
bunyi amar putusan kasasi yang intinya melarang para tergugat (sembilan
pimpinan) atau siapapun tanpa kecuali yang telah dapat hak dan wewenang
dari para tergugat untuk masuk Kampus A Trisakti Grogol Jakarta Barat.
“Putusan kasasi itu implikasinya sangat luas, tidak
hanya sembilan orang itu, tetapi semua dosen dan mahasiswa dapat
dikualifikasikan sebagai ‘siapapun tanpa kecuali’ yang tidak boleh masuk ke
kampus. Putusan itu, menurut kami, bisa dipersoalkan karena melanggar UU Sistem
Pendidikan Nasional dan UU Guru dan Dosen yang seharusnya mendapat
perlindungan,” kata Bambang.
Bambang menambahkan jika melihat sejarahnya, Usakti
merupakan salah satu aset negara karena lembaga ini didirikan oleh negara dan
menggunakan sebagian aset negara. Karena itu, kepemilikan negara atas Usakti
harus dipertahankan. “Jangan sampai aset ini jatuh ke tangan segelintir orang
saja, setelah ini kita juga akan ke Komnas HAM karena ada indikasi pelanggaran
HAM dalam putusan itu.”
Menanggapi pengaduan ini, Komisioner KY Bidang
Pengawasan Hakim Suparman Marzuki meminta waktu untuk melakukan kajian. “Kita
akan meneliti secepat mungkin, jika benar ada indikasi pelanggaran pedoman kode
etik dan perilaku dalam proses eksekusi ini yang dikatakan melibatkan pihak TNI
itu, kita akan memanggil dan memeriksa pihak-pihak,” janji Suparman.
Sengketa kepemilikan ini bermula ketika Rektor Usakti
Thoby Mutis mengubah Statuta Usakti yang memangkas wewenang Yayasan Trisakti
saat pemilihan rektor pada 2002. Lalu, Kubu Thoby mendirikan Badan Hukum
Pendidikan Universitas Trisakti dengan Akta No 27/2002, tetapi nyatanya
tidak diakui pemerintah dan pengadilan. Tak terima dengan keputusan itu,
yayasan menggugat sejumlah pimpinan Usakti ke pengadilan, tetapi kandas.
Namun, pada Desember 2003, Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta justru mengabulkan sebagian gugatan Yayasan Trisakti. Majelis
hakim pimpinan Ridwan Nasution memangkas hampir semua wewenang Rektor untuk
mengelola universitas dan menyerahkannya ke yayasan termasuk hak
pengelolaan rekening bank.
Kemudian, permohonan kasasi yang dimohonkan Thoby dkk
yang mewakili Senat dan Forum Komunikasi Karyawan Usakti pun ditolak MA lewat
putusan kasasi No. 821/K/PDT/2010 tertanggal 28 September 2010. Salah satu amar
putusan tersebut melarang para tergugat (Thoby dkk) masuk lingkungan Kampus
Usakti.
Putusan kasasi dengan susunan majelis Zaharuddin
Utama, Soltoni Mohdally, dan Takdir Rahmadi itu juga meneguhkan pengelolaan
Usakti kembali kepada pihak Yayasan Trisakti. MA menilai Yayasan Trisakti
sebagai pihak yang sah untuk mengelola universitas dan sekaligus menegaskan
bahwa Yayasan Trisakti adalah Pembina Pengelola Badan Penyelenggara Usakti yang
sah secara hukum.
Kini, kasus ini tengah dimohonkan peninjauan kembali
oleh Thoby dkk dengan menyodorkan bukti baru berupa SK Mendiknas No
94/NPM/LK/008 tertanggal 30 Juni 2008 dan Surat Kemendiknas No 120/B/II/2010.
Kedua surat itu menyatakan SK Mendikbud No 281/U/1979 yang menjadi dasar
hubungan hukum antara Yayasan Trisakti dan Usakti dinilai cacat hukum dan tidak
berlaku karena daluwarsa.
Ralat:
Paragraf 9,
tertulis:
Tak terima dengan keputusan itu, yayasan menggugat sejumlah pimpinan
Usakti ke pengadilan, tetapi kandas.
Yang benar adalah:
Tak terima dengan keputusan itu, yayasan menggugat sejumlah pimpinan
Usakti ke pengadilan, dan menang (berdasarkan putusan PN Jakarta Barat
No 410/Pdt.G/2007/PN JKT BAR tanggal 3 Juli 2008).
@Redaksi
|
Komentar
Posting Komentar