KEBATALAN PERJANJIAN
KEBATALAN PERJANJIAN
(Moch. Isnaeni)
1. Pendahuluan
Corak hidup manusia yang bersifat zoon politicon, yakni selalu
mengelompok dalam suatu gugus yang disebut masyarakat, ternyata manusia juga
bersososk sebagai homo economicus, di mana tingkah polah kesehariannya
selalu bertumpu pada perhitungan untung dan rugi. Pada hal peri laku yang
bertolok ukur pada kalkulasi untung dan rugi, sebenarnya itu tak lain merupakan
kegiatan bisnis. Tak peduli untung tersebut meski kecil sekalipun, tetap saja
itu adalah bisnis. Tak urung dalam keseharian sedemikian banyak kegiatan bisnis
digeluti oleh segenap anggota masyarakat, mulai yang skala kecil, menengah,
ataupun besar. Sejatinya bisnis dalam skala besar, acap kali justru bermula
dari usaha kecil yang dikelola dengan ulet dan seksama.
Selaku umat, manusia akan berusaha melestarikan eksistensinya, dengan
berupaya keras agar segala kebutuhan hidupnya terpenuhi sesuai cita harapan
yang diukirnya. Baik itu merupakan
kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, juga papan, selalu ingin dipenuhi
secermat mungkin. Tanpa menanggalkan sifat kodratinya yang tak pernah sempurna,
maka saat berupaya memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia sebagai anggota
kelompok, akan selalu berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat yang lain.
Lewat interaksi inilah pemenuhan kebutuhan hidup akan relatif lebih mudah
pencapaiannya ketimbang diupayakan secara mandiri. Lini interaksi yang dibangun
dengan sesama anggota masyarakat, di mana sosok selaku homo economicus
selalu dijadikan andalan berperi laku, diharapkan interaksi tersebut akan
mendatangkan keuntungan bagi masing-masing pihak secara proporsional. Menakar
untung dalam suatu perbuatan, jelas ini bernuansa bisnis. "In essence, business is the art of
providing goods or services with a view to making provit".[1]Namun keuntungan masing-masing hanya akan dapat terwujud, mana kala
interaksi yang dilakukan itu bernuansa kerja sama. Akibat lanjutnya, dengan
pola kerja sama berselaput harapan perolehan keuntungan, menjelmakan ikatan di
antara mereka. Gatra ikatan-ikatan yang terjelma ini mewarnai seluruh kehidupan
anggota masyarakat tanpa kecuali, sehingga membentuk mosaik jaringan hubungan
kelompok yang sangat dominan. Riuhnya hubungan sosial keseharian tak lain
disebabkan oleh lahirnya perikatan yang membanjiri latar kehidupan masyarakat
tanpa jeda. Kegiatan apapun yang ada dalam masyarakat, terlebih yang dilakukan
secara masal tanpa henti, pasti memerlukan aturan agar kehidupan sosial menjadi
tertib dan nyaman. Tak terkecuali kegiatan interaksi yang menimbulkan ikatan,
sudah barang tentu harus ada aturannya juga. Ikat mengikat demi memenuhi
kebutuhan hidup yang dilakukan setiap warga, adalah urusan pribadi atau privat.
Oleh karenanya aturan yang membingkai urusan pribadi atau privat tersebut, dikuasai
oleh Hukum Perdata yang di Indonesia aturannya terangkum dalam Burgerlijk
Wetboek (BW).
2. Perjanjian Sebagai Sumber Perikatan
Berjuta perikatan saling berjalin membentuk mosaik kehidupan sosial
dalam rangka memenuhi aneka kebutuhan warganya. Mana kala perikatan sebagai
gerakan masif yang dilakukan oleh segenap anggota kelompok, tentu saja kegiatan
itu memerlukan aturan. Mengingat pemenuhan kebutuhan hidup itu merupakan urusan
pribadi atau privat para warga, tentu saja aturan yang diperlukan untuk
membingkai perikatan yang lahir dalam kehidupan konkrit dapat dicari dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia yang sampai dengan sekarang masih
bertumpu pada BW yang ditinggalkan Belanda tempo dulu. Ternyata untuk soal
perikatan yang menghiasi rona kehidupan sosial himpunan normanya ada dalam Buku
III BW yang judulnyapun separalel yaitu Hukum Perikatan.
Menilik ketentuan pembuka Hukum Perikatan, yakni Pasal 1233 BW,
dinyatakan bahwa perikatan itu pada dasarnya bersumber pada perjanjian dan undang-undang.
Kalau suatu perikatan bersumber undang-undang, prinsipnya kehendak para pihak
tidak memegang peran. Sebaliknya perikatan yang lahir dari perjanjian, justru
kehendak para pihak menjadi sentralnya. Pada hal interaksi yang menimbulkan
perikatan dalam kehidupan sosial umumnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia, berarti dalam masyarakat yang banyak bermunculan bahkan
mendominasi, tak lain adalah jenis perikatan yang bersumber pada perjanjian.
Menyoal perjanjian sesuai pengertiannya sebagaimana termaktub dalam Pasal 1313
BW yang intinya menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang
dilakukan oleh satu pihak atau lebih dengan satu atau lebih pihak lainnya. Dari
makna perjanjian tersebut, sebuah perjanjian melibatkan paling tidak dua pihak,
dan inipun jelas dilakukan dengan sadar atau sengaja. Oleh sebab itu, karena
dibuat secara sadar dan sengaja, maka kehendak para pihak memegang peran
sentral. Kehendak yang dinyatakan, intinya tak lain berupa suatu janji yang
saling dipertukarkan antar para pihak. Mana kala janji yang dipertukarkan
mencapai tahap sepakat, maka janji-janji tersebut mempunyai kekuatan mengikat,
dan inilah ujud perikatan yang dilahirkan dari perjanjian yang bersangkutan.
Berarti janji-janji yang disepakati, akan mempunyai kekuatan mengikat secara
hukum. "By promising, a party takes some such opportunities and forgoes
others, insofar as the promise is binding in law or morals."[2] Kendati demikian di luar
kehendak para pihak ada segi-segi lain yang ikut berperan seperti yang
dinyatakan oleh Pasal 1339 BW bahwa perjanjian tidak hanya mengikat atas apa
yang dinyatakan dengan tegas di dalamnya, tetapi juga segala apa yang
diharuskan oleh undang-undang, kebiasaan, dan kepatutan. Demikian pula apa yang
diatur dalam Pasal 1347 BW, apa yang biasa diperjanjikan, dianggap juga terangkum dalam perjanjian yang dibuat para
pihak.
Perikatan yang bersumber undang-undang dalam kehidupan masyarakat tentu
saja juga ada, namun jumlahnya relatif lebih kecil. Ini dapat diamati dalam
kehidupan nyata, betapa jarang dalam keseharian orang terikat pada pihak lain
disebabkan oleh undang-undang. Demikian pula pasal dalam BW yang mengatur
perikatan yang lahir dari undang-undang jumlahnya tidak terlalu banyak. Sebaliknya pasal-pasal
dalam BW yang mengatur perjanjian lalu melahirkan perikatan, jumlahnya sungguh
tak terbilang. Pola pengaturan ini menyebabkan nuansa perjanjian dalam Buku III
BW amat dominan. Gatra ini sebenarnya menggambarkan secara terang bahwa
kegiatan warga dalam kesehariannya memang banyak sekali membuat perjanjian yang
berujung melahirkan perikatan. Hampir
segala pemenuhan kebutuhan hidup, orang akan melakukannya dengan merangkai
perjanjian beserta pihak lain, di mana perjanjian tersebut dipakai sebagai
bingkai bisnis sedasar dengan perhitungan keuntungan yang ingin diraih. Andai keuntungan yang dicitaharapkan tidak
terealisasi akibat rekan sekontraknya ingkar janji, maka perjanjian itulah yang akan dipergunakan
sebagai normanya untuk menyelesaikan.
Memang ada kalanya keuntungan sebagai hak, tak bakal terwujud mana kala
janji yang sudah disepakati pada awal melangkah, tak ditepati. "That
interest is harmed when the party in breach fails to perform as and when
agreed."[3] Tak urung perjanjian atau kontrak ini menjadi sentral kehidupan
sosial, terlebih secara faktual kontrak memang selalu difungsikan sebagai
bingkainya bisnis. Lewat kontrak para pebisnis dapat melindungi
kepentingan-kepentingannya dalam rangka memperoleh keuntungan yang didamba.
3. Syarat Keabsahan Perjanjian Sebagai
Bingkai Bisnis
Menyimak perjanjian yang banyak dibuat oleh anggota masyarakat yang
kemudian berujung lahirnya perikatan,
pasti dilandaskan pada perhitungan untung dan rugi, tentu saja ini adalah bisnis, mengingat
paraga yang melakukan itu adalah bersosok sebagai homo economicus.
Gambaran sederhana ini memberikan pengertian, bahwa kegiatan bisnis itu selalu
memerlukan bingkai hukum, yakni Hukum Perjanjian. Bicara bisnis, jangan selalu
dibayangkan akan selalu berpusat pada nilai yang jumlahnya ratusan juta ataupun
milyar rupiah. Bisnis itu mencakup baik yang besar, menengah, ataupun kecil,
sehingga dapat disimpulkan sepanjang di situ ada perhitungan untuk mendapatkan
keuntungan, sesungguhnya itu sudah terkwalifikasi sebagai kegiatan bisnis.
Seperti sudah disinggung bahwasanya bisnis selalu memerlukan bingkai
hukum berupa perjanjian atau kontrak, sehingga hak dan kewajiban para pihak
akan tersusun secara sistematis dalam klausula-klausula perjanjian yang dibuat
oleh mereka. Lewat pola itu juga, kepastian hukum terhadap kepentingan bisnis
para pihakpun menjadi terjamin. Andai dalam bisnis yang dibingkai perjanjian,
sudah barang tentu lahirlah perikatan di antara mereka, ada pihak yang rugi,
maka hukum dapat membantu untuk memulihkannya. Namun bantuan yang diberikan itu
ada syaratnya bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut, kehadirannya
dapat diterima dalam konstelasi hukum. Supaya suatu perikatan eksistensinya
dapat diterima oleh hukum, maka perjanjian yang melahirkannya harus benar atau
sah. Sedangkan perjanjian yang sah itu syaratnya ditetapkan oleh Pasal 1320 BW
yakni sepakat, cakap, obyek tertentu, dan causa yang halal.
Setiap perjanjian yang memenuhi syarat keabsahannya sebagaimana
ditentukan oleh Pasal 1320 BW, akan memiliki kekuatan mengikat layaknya
undang-undang bagi para pihaknya. Demikianlah jaminan yang diberikan oleh Pasal
1338 BW. Ilustrasi ini memberikan pertanda bahwa hukum -dalam hal ini
perjanjian atau kontrak- yang selalu dipergunakan untuk membingkai bisnis,
memiliki kedudukan yang sangat sentral dalam tatanan hukum itu sendiri, tetapi
juga dalam lapangan ekonomi sebuah bangsa. "The central role of
contract in our legal and economic systems is not accidental."[4]Tak ada kegiatan bisnis tanpa bingkai hukum. Tujuan untuk mencapai
kesejahteraan sosial salah satunya lewat kegiatan bisnis, dan bisnis selalu
memerlukan landasan hukum, tak pelak pada akhirnya kontrak sumbangannya sangat
besar dalam kehidupan masyarakat. "...it is because contract serves
important purpose society."[5]Meski bisnis laju perkembangannya sangat cepat, tetap saja hukum
-dalam hal ini Hukum Perjanjian- mampu untuk mengemasnya. Ini antara lain
disebabkan adanya asas kebebasan berkontrak yang menjadi salah satu prinsip
kunci Hukum Perjanjian, di samping asas-asas lain yang tak kalah pentingnya
sebagai pendamping, antaranya asas privity of contract, pacta sund servanda,
prinsip itikad baik, asas konsensualisme, dan masih ada beberapa yang lain.
Sosok Hukum Perjanjian yang memiliki berbagai asas sebagai fondasinya, terbukti
sangat kondusif untuk dipergunakan oleh para pelaku bisnis dalam merakit
usahanya. Namun harus diakui, meskipun syarat keabsahan perjanjian dalam Pasal
1320 BW terlihat begitu sederhana, ternyata banyak mengandung pernik-pernik
problematika yang lumayan rumit.
Menyimak syarat keabsahan perjanjian dalam Pasal 1320 BW, dunia doktrin
mengajarkan bahwa syarat sepakat dan cakap, tergolong sebagai unsur subyektif,
sedang syarat obyek tertentu dan causa yang halal terkwalifikasi selaku unsur
obyektif. Tidak memenuhi unsur subyektif
mengakibatkan perjanjian yang lahir berposisi "vernietigbaar-voidable" (dapat dibatalkan) sedangkan tidak
memenuhi unsur obyektif perjanjian menjadi "nietig-null and void"(batal
demi hukum). Peri hal kedua macam kebatalan tersebut -nietig dan vernietigbaar-
masih banyak mengundang wacana berkepanjangan di berbagai forum diskusi ataupun
ruang-ruang seminar.
Tidak memenuhi syarat sepakat, bisa dikarenakan ada dwang (paksaan-
Pasal 1323-1327 BW), dwaling (kekhilafan-Pasal 1322 BW), bedrog (penipuan-Pasal
1328 BW). Suatu perjanjian yang
kesepakatannya cacad karena mengandung dwang, dwaling, bedrog, mengakibatkan
posisi perjanjian yang bersangkutan "dapat dibatalkan". Kalau
seseorang yang belum dewasa atau sedang ditaruh di bawah pengampuan ternyata
membuat perjanjian atau kontrak, maka perjanjian yang dibuatnya juga berposisi
dapat dibatalkan (pasal 1330 jo. 1331 BW). Apa bila perjanjian yang
bersangkutan sudah dinyatakan batal, maka keadaan kembali seperti semula
(Pasal 1451 jo. 1452 BW). Permohonan
untuk dibatalkannya suatu perjanjian karena tidak memenuhi unsur subyektif, ada
jangka waktunya yaitu 5 tahun dan ini dapat dirujuk pada Pasal 1454 BW.
Cacadnya sepakat sesuai perkembangan tidak hanya sebatas pada adanya dwang,
dwaling, bedrog, tetapi dalam lapangan yurisprudensi telah dikenal lagi
salah satu jenis penyebab cacadnya sepakat, yaitu "penyalahgunaan
keadaan" (misbruik van omstandigheden). Konon tentang
penyalahgunaan keadaan ini kalau di Belanda sudah masuk dalam Nieuw
Burgerlijk Wetboek (NBW). Kalau di Indonesia penyalahgunaan keadaan muncul
dari lapangan yurisprudensi, sudah memberikan pertanda bahwasanya BW yang
selalu kita pegang dalam mempelajari Hukum Perdata dengan usia kurang lebih 180
tahun, wajar sekali mana kala menunjukkan adanya perkembangan baru yang memang
semestinya harus dipacu. Terlebih-lebih negara Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat internasional, tidaklah tabu mana kala untuk bidang kontrak juga
memperhatikan segala perkembangan yang terjadi dalam era global sekarang ini.
Perkembangan terhadap bidang kontrak, tidak disadari sepenuhnya oleh
kebanyakan kalangan bahwa sesungguhnya dalam sistem Hukum Perdata yang ada
dalam BW, juga ada beberapa perubahan akibat bekerjanya sistem hukum di
Indonesia. Sebagai suatu sistem, hukum di Indonesia itu terdiri dari
komponen-komponen, semisal berupa undang-undamg, di mana antara aturan yang
satu dengan yang lain saling berkait. Msalnya saja dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), maka berdasarkan Pasal
31 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa suami dan isteri punya kedudukan hukum
yang sederajad, sehingga keduanya menjadi cakap untuk melakukan perbuatan
hukum, baik di dalam ataupun di luar pengadilan. Hadirnya Pasal 31 UU
Perkawinan ini menumbangkan dan meniadakan keberadaan misalnya Pasal 108, 110
BW, juga tak memberlakukan lagi Pasal 1330 angka 3 BW, menyangkut kedudukan perempuan berdasar
undang-undang. Sedasar tuntutan emansipasi, jamak sudah kalau pada era
sekarang, suami dan isteri itu sama-sama cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
Salah satu bukti bahwa isteri cakap melakukan perbuatan hukum tanpa perlu lagi
bantuan suami, dapat disimak dalam Pasal 36 UU Perkawinan. Juga saat menentukan
domisili, tak lagi digantungkan semata pada suami, tetapi harus ditentukan oleh
suami isteri secara bersama-sama (Pasal 32 UU Perkawinan). Demikian pula
berkait dengan Pasal 108 dan 110 BW kalau dirunut satu dekade sebelum
berlakunya UU Perkawinan, kedua pasal tersebut sudah tidak lagi berkekuatan
akibat perkembangan hukum yurisprudensi yang dipicu oleh Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 3 Tahun 1963 (SEMA No 3/1963).
Selain itu dengan adanya Pasal 47 jo. 50 UU Perkawinan, maka tanggal pula
keberadaan Pasal 330 BW yang mengatur tentang batas usia dewasa, yang semula 21
tahun berubah menjadi 18 tahun. Oleh karenanya sejak UU Perkawinan berlaku,
seseorang baik pria ataupun wanita sudah cakap melakukan perbuatan hukum,
termasuk membuat kontrak, kalau yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau
sudah kawin. Ini sebuah contoh, bahwa dengan terbitnya sebuah undang-undang
yang digulirkan oleh pemerintah Indonesia, memiliki pengaruh yang tidak kecil
pada aturan perundangan lainnya, tak terkecuali BW, akibat sistematisasi dari
tatanan hukum di tanah air ini.
Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian depan, kalau suatu perjanjian
atau kontrak tidak memenuhi unsur subyektif, maka perjanjian yang bersangkutan
ada dalam posisi dapat dibatalkan. Menyangkut perjanjian dengan posisi dapat
dibatalkan, kalau dikaji lebih mendalam ternyata juga sangat menarik. Berbicara
perjanjian, sebenarnya sebagai salah satu konsekwensi pengakuan BW bahwa orang
itu tidak dapat lagi dijadikan obyek hukum sebagaimana pernah dikenal dalam
peradaban perbudakan, maka setiap orang adalah subyek hukum, tak peduli tinggi
rendahnya posisi sosial ekonomis yang dimilikinya, dalam usia berapapun, dan
dalam kondisi fisik seperti apapun. Hukum yang moderen mengakui bahwa dalam
kondisi apapun setiap orang dianggap sebagai subyek hukum, maka pada dasarnya
setiap orang itu boleh membuat perjanjian. Hal ini dinyatakan dengan tegas oleh
Pasal 1329 BW. Namun karena hukum itu tidak pernah mengenal dalil
"mutlak", pasti selalu ada kekecualian, maka bagi orang-orang
tertentu, sementara belum atau tidak boleh membuat kontrak, kendati yang
bersangkutan tetap diakui sebagai subyek hukum. Hal ini ditegaskan oleh Pasal
1330 BW. Umumnya ketentuan undang-undang yang bermuatan "kekecualian"
posisinya adalah sebagai "dwingend recht" artinya suatu
ketentuan yang sifatnya memaksa sehingga tidak dapat dikesampingkan oleh para
pihak kendati dengan sepakat sekalipun.
Mengingat pada dasarnya setiap orang diperkenankan membuat kontrak,
kecuali apa bila undang-undang menentukan lain seperti kemasan Pasal 1329,
ternyata orang yang dikecualikan belum atau tidak boleh membuat kontrak, diatur
dalam Pasal 1330 BW, yakni orang-orang yang belum dewasa dan orang-orang yang
ditaruh di bawah pengampuan. Sejatinya Pasal 1330 BW ini berposisi sebagai dwingend
recht, karena muatannya berupa kekecualian. Umumnya suatu perjanjian kalau
melanggar ketentuan yang berkedudukan selaku dwingend recht akibatnya
adalah batal demi hukum. Namun ada suatu keistimewaan, kalau pasal yang
berposisi sebagai dwingend recht itu terletak
dalam ranah Buku III BW, pelanggaran terhadapnya tidak mengakibatkan
secara serta merta perjanjiannya batal demi hukum. Pelanggaran terhadap
ketentuan yang berposisi sebagai dwingend recht yang berada dalam Buku
III BW, semisal terhadap Pasal 1330 BW, ternyata perjanjiannya bukan
"batal demi hukum" tetapi "dapat dibatalkan". Oleh sebab
itu kalau ada orang belum dewasa atau sedang ditaruh di bawah pengampuan
membuat sebuah perjanjian, maka posisi perjanjiannya hanya bertaraf "dapat
dibatalkan" dan bukan "batal demi hukum". Hal ini dapat dilacak
pada Pasal 1131 BW. Ini terjadi tak lain dari akibat lanjut sifat
"terbuka" dari Buku III BW yang selalu dijadikan bingkai kegiatan bisnis.
Ilustrasi ini hanya merupakan salah satu bukti bahwa hukum sebagai bingkai
bisnis itu harus luwes agar dapat mengimbangi perkembangan bisnis yang lajunya
sangat cepat. Tanpa keluwesan seperti itu, maka hukum tidak akan mampu
mengimbangi kecepatan perkembangan dunia bisnis yang selalu berinovasi demi
diperolehnya keuntungan yang sebesar-besarnya tapi dengan pengorbanan sesedikit
mungkin.
Paparan di atas menandakan bahwa suatu perjanjian yang melanggar Pasal
1330 BW yang tergolong sebagai dwingend recht, ternyata tidak serta
merta batal demi hukum sebagaimana umumnya terjadi, tetapi hanya dalam gradasi
"dapat dibatalkan". Ini sinkron dengan ajaran doktrin menyangkut
tidak terpenuhinya unsur subyektif dari syarat keabsahan perjanjian dalam Pasal
1320 BW, menjadikan perjanjian yang bersangkutan berposisi "dapat
dibatalkan". Sesungguhnya ajaran itu digali dari pasal-pasal yang ada
dalam BW yang secara implisit "menyembunyikan" pikiran-pikiran yang
tersamar. Mencari apa yang tersirat dari apa yang tersurat, acap kali memang
tidak mudah. Oleh sebab itu dunia doktrin dengan mengkait-kaitkan antara pasal
yang satu dengan pasal yang lain, menguraikan segala sesuatu yang hanya
tersirat itu dengan lebih lugas, sehingga mempermudah orang untuk memahaminya.
Hanya saja pemahaman yang sudah didapatkan dari paparan sebagaimana sudah
dijelaskan tadi, jangan terkecoh lalu roboh kalau kemudian membaca Pasal 1446
BW.
Posisi kontrak "dapat dibatalkan" sesungguhnya kata
"dapat" mengandung adanya suatu pilihan, minta dibatalkan atau justru
memilih dikuatkan. Kalau minta dibatalkan, rujukannya ditemukan dalam Pasal
1331 BW, sebaliknya kalau memilih dikuatkan baik secara diam-diam ataupun
secara tegas, normanya dapat dilihat pada Pasal 1456 BW. Inilah sebuah cermin
keluwesan ketentuan undang-undang dalam rangka melayani kebutuhan pasar.
Keluwesan aturan hukum dalam lapangan perjanjian ini antara lain dimotori oleh
asas kebebasan berkontrak yang dapat dijumpai keberadaannya dalam Pasl 1338 BW.
Hanya saja peran asas kebebasan berkontrak ini supaya tidak menimbulkan ekses,
kiranya perlu di dampingi oleh asas itikad baik yang dalam dekade akhir-akhir
ini mulai digalakkan. "Over the last two decades, the concept of good
faith has become enormously important to the law of contract."[6] . Model ketentuan hukum seperti inilah yang kiranya tidak akan
lapuk oleh hujan dan tak kan lekang oleh panasnya perputaran roda bisnis yang
dilakukan oleh masyarakat.
Mana kala suatu perjanjian itu posisinya "batal demi hukum",
ternyata rumit, karena tidak hanya disebabkan oleh tak terpenuhinya unsur
obyektif belaka. Banyak penyebabnya sehingga suatu perjanjian atau kontrak itu
posisinya "batal demi hukum". Wacana tentang perjanjian yang
kebatalannya tergolong sebagai "batal demi hukum" sering memancing debat
berkepanjangan. Ini wajar mengingat bidang hukum itu kedalamannya tak ada tolok
ukurnya, tambahan lagi sedemikian banyak kerumitan yang tersemat dalam
kandungannya. Oleh sebab itu sudah sepatutnya kalau kemudian memunculkan
pelbagai macam pendapat dengan dukungan argumentasi masing-masing yang secara a
priori tak dapat disalahkan begitu
saja.
Secara sederhana dapat dilacak, bahwa suatu kontrak atau perjanjian itu
menjadi batal demi hukum apa bila:
1.
Tidak memenuhi unsur
obyektif dari Pasal 1320 BW:
a) Obyeknya tak tertentukan (Pasal 1332 jo. 1472 BW).
b) Causanya tidak halal (Pasal 1335 jo. 1337 BW)
2.
Tidak memenuhi syarat formal (Pasal 1171 BW; Pasal 5 UU Jaminan Fidusia;
Pasal 15
UU Hak Tanggungan)
3.
Perjanjian atau kontrak dibuat oleh orang yang tidak wenang (handelingsonbevoeg)
meski yang bersangkutan "cakap" (Pasal 1468 BW).
4.
Munculnya syarat batal:
(a) syarat batal mutlak (Pasal 1265 BW), di mana syarat yang disepakati
itu tak
berhubungan dengan prestasi,
sehingga begitu syarat yang bersangkutan
muncul, otomatis perjanjian
batal tanpa perlu campur tangan hakim.
(b) syarat batal relatif (Pasal 1266 BW), syarat itu berkaitan dengan
prestasi,
sehingga batalnya perjanjian
tersebut tidak secara otomatis, tetapi ada
campur tangan hakim. Sesuai
kenyataan sehari-hari justru Pasal 1266 BW
beserta Pasal 1267 BW sering
disepakati para pihak untuk dikesampingkan.
5.
Adanya "actio pauliana"(Pasal 1341 BW)
6.
Batal demi hukum yang dinyatakan oleh pihak yang diberi wewenang untuk
itu.
7.
Wanprestasi akibat adanya overmacht/force majeur . Ps 1545, 1553,
1607 BW
8.
Perjanjian yang tidak masuk akal (Pasal 1256, 1257 BW).
9.
Pelanggaran terhadap ketentuan yang melarang kontraktannya membuat suatu
per-
jian (Pasal 1467 BW).
Menyimak penyebab suatu kontrak menjadi batal demi hukum sebagaimana
terpapar di atas, masing-masing memiliki keunikan sendiri-sendiri yang membuat
kerumitan tambah meruncing. Banyak pendapat yang bergulir dengan mengedepankan
alasan yang berbeda-beda. Terlebih lagi peri hal perjanjian batal demi hukum
itu karena berkait dengan dunia bisnis, debat kian menjadi lebih sengit.
Ketidakjelasan posisi perjanjian adalah batal demi hukum, ternyata tak pernah
ditunjang oleh hukum yurisprudensi yang sejatinya amat diharapkan banyak
memberikan sumbangan. Pada hal hakim dengan profesi yang diembannya, teramat
dekat dengan kehidupan masyarakat sehingga banyak tahu perkembangan rasa hukum
senyatanya yang melaju dalam arena sosial. Ini mestinya penting, mengingat
undang-undang -dalam hal ini BW- sesungguhnya baru merupakan langkah awal
terbentuknya hukum yang masih memerlukan kejelasan ataupun penyempurnaan oleh
dunia yurisprudensi.
4. Penutup
Mengkaji aspek perjanjian atau kontrak dengan titik tolak syarat
keabsahan beserta seluk beluknya seperti yang tertera pada Pasal 1320 BW,
terbukti banyak sekali segi-segi yang masih memerlukan pembahasan lanjut.
Analisa sistematis sekalian dengan menyimak perkembangan yang terjadi, baik
dalam arena domestik ataupun pentas internasional, sungguh diperlukan, supya
apa yang kurang jelas akan memperoleh arah akurat demi tercapainya kepastian
hukum dan keadilan sesuai tuntutan zaman. Pemikiran konstruktif di seputar
kebatalan perjanjian, perlu menjadi kajian segenap kalangan, baik dari
masyarakat akademisi beserta kaum praktisi. Apa lagi dengan latar belakang usia
BW yang sudah sedemikian renta, diperlukan anotasi-anotasi nyata guna mengikuti
kencangnya laju bisnis yang tak pernah jeda barang sejenak. Perkembangan Hukum
Kontrak di pentas internasional, sudah selayaknya dicermati, guna penyesuaian
terhadap ketertinggalan BW sebagai salah satu perangkat penting yang selalu
dipergunakan untuk landas pacu hubungan bisnis.
Daftar Bacaan
Burton, J. Steven, Eric G. Anderson, Contractual Good Faith,
Formation, Performance,
Breach, Enforcement, Little Brown and Company, New York, 1996
Poole, Jill, Textbook on Contract Law, Blackstone Press,
London, 2001.
Tabulajan, S. Benny, Valerie Du Toit-Law, Singapore Business Law,
Business Law Asia,
Singapore, 2003.
[1] Benny S
Tabulajan, Valerie Du Toit-law, Singapore Business Law, Business Law
Asia, Singapore, 2002, h. 15
[2] Steven J.Burton, Eric G. Anderson, Contractual
Good Faith, Formation, Performance, Breach, Endorcement, Little Brown and
Company, New York, 1995, h. 12
[3] Ibid., h. 6
[4] Jill Poole, Textbook
on Contract Law, Blackstone Press, London, 2001, h. 8
[5] Ibid.
[6] Steven J.
Burton, Eric G. Anderson, Op., Cit., h. xxi
Komentar
Posting Komentar