BANGSA DENGAN HUKUM YANG TERTIDUR
BANGSA DENGAN HUKUM YANG TERTIDUR
Mungkin sangat berlebihan sekali jika melihat judul yang terpampang pada awal tulisan ini. Hukum yang diartikan sebagai peraturan dan tingkah laku tetapi tidak lagi dipakai oleh rakyatnya sendiri (statutory dormancy), tidak hanya rakyat tetapi juga oleh para penguasa.
Tapi jangan kuatir, tulisan ini hanyalah sebuah gambaran yang ada pada negara yang memang sama sekali telah melupakan sistem kaidah-kaidah hukum didalamnya memuat ketertiban, keteraturan dan bagian yang mengikat yang harus ditegakkan. Apakah ini hanya sebatas gambaran, masih adakah negara hukum (rechstaad) dinegeri ini ? Jika melihat ketidak mampuan negara secara permanent dihadapan rakyatnya dimana negara seolah-olah telah menidurkan hukumnya sendiri yang seharusnya dapat dibangunkan untuk dapat berjalan sebagaimana apa yang diharapkan.
Konsep negara hukum yang didapat pada saat perkulian di semester pertama Fakultas Hukum, dikatakan sesuatu yang sangat dekat dengan konsep rule of law, yang secara sederhana diartikan tidak ada satupun dimuka bumi ini berada di atas hukum, dimana hukumlah yang berkuasa. Namun dalam konsep moderen, rule of law sebagai konsep yang melibatkan pada prinsip-prinsip dan aturan yang memberikan pedoman dan mekanisme tertib hukum (legal order).
Dari ketentuan tersebut dapat ditarik pada garis pemahaman, dimana rule of law itu sendiri mengandung beberapa hal yang sangat penting, seperti : ditaatinya prinsip berkuasanya hukum (supremacy of law), persamaan di depan hukum (equality before the law), pertanggungjawaban hukum (accountability to the law), keadilan dalam penerapan hukum (fairness in the application of the law), adanya pemisahan kekuasaan (separation of power), adanya partisipasi dalam pembuatan keputusan (participation in the decision making), kepastian hukum (legal certainty), dihindarinya kesewang-wenangan (avoidance of arbitrariness) dan adanya keterbukaan prosedur dan hukum (procedural and legal transparency).
Keseluruhan elemen ini harus dilihat pada tataran untuk dapat mengukur sejauh mana rule of law telah dijalankan. Dari beberapa elemen yang telah disebutkan di atas, masih adakah yang dapat dipegang dan menjadi jastifikasi Negara ? Dimana Negara telah menerapkan prinsip-prinsip tersebut.
Kajian-kajian dalam penerapan rule of law suatu bangsa tidak hanya sebatas dalam pemberian citra Negara yang berasaskan hukum, melainkan pada penerapan aturan hukum dan tingkah laku hukum sebagai jalan dan jembatan menuju bangsa yang beradab akan hukum.
Memang sangat sukar sekali jika penguasa dalam hal ini pimpinannya hanya sebatas mewacanakan hukum di depan publik, pada hal tidak memahami suatu garis merah antara Negara yang menganut pada prinsip sebagai Negara hukum (rechstaad) akan selalu bersenyawa yang sama pada tegaknya rule of law .
Sementara itu, prinsip persamaan di depan hukum memuat dua komponen utama yaitu bahwa aturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi dan mensyaratkan perlakuan yang setara untuk kasus yang serupa. Adanya pertanggungjawaban hukum (accountability to the law) harus dimaknai bahwa otoritas Negara tidak boleh di luar atau di atas hukum dan harus tunduk pada hukum (subject to the law) seperti halnya warga negara. Pinsip kepastian hukum mengimplikasikan bahwa aturan tidak menyediakan ruang yang banyak untuk adanya diskresi. Prinsip ini tentunya juga berkaitan dengan prinsip keterbukaan dalam hukum dan prosedur.
Bagaiamanapun juga, prinsip supremasi hukum harus menjadi dasar aturan pelaksaan kekuasaan publik. Masyarakat juga haruslah diatur berdasarkan hukum, bukan berdasarkan moralitas, keuntungan politik atau ideologi. Prinsip ini juga mengimplikasikan bahwa badan-badan politik terikat tidak saja pada konstitusi naisonal tetapi juga pada kewajiban hukum hak asasi manusia itu sendiri baik lokal maupun internasional. Hal ini mengimplikasikan bahwa legislasi yang valid harus diterapkan oleh otoritas dan pengadilan, bahwa intervensi negara pada kehidupana rakyat haruslah memenuhi standard umum yaitu prinsip legalitas. Dengan demikian rule of law menjadi pelindung rakyat dari adanya penyalahgunaan kekuasaan.
Jika dikatakan rule of law sebagai pelindung masyarakat, masih adakah itu dinegeri ini ? Karena kita tahu, hukum negeri ini telah tertidur panjang, sampai menuju mati suri. Dia ada tapi tidak dapat dilaksanakan. Betapa Negara tidak berdaya dan tidak bisa untuk berbuat apa-apa. Apa yang salah ? Kita, Masyarakat dan atau penguasa yang memang mengkondisikannya seolah-olah hukum ditidurkan. Dengan adanya kondisi tersebut, jelas negara telah memberikan ruang kosong kepada para mafia-mafia hukum yang tahu akan hukum. Hukum akan bangun untuk masyarakat kecil yang tidak memiliki peran berarti. Kasus Nenek Minah yang dituduh telah mencuri 3 buah kakou, dihukum 1 bulan 15 hari dan pada kasus lainnya Nenek Rasminah, yang dituduh telah mencuri sup dan piring dituntut dengan hukuman 5 bulan kurungan, walaupun telah sempat merasakan hawa dingin hotel prodeo, adalah suatu gambaran bahwa penegakkan hukum hanya diperuntukan bagi golongan-goloangan papa, yang tidak memiliki akses, jika dibandingkan para penguasa, dan orang-orang kaya.
Bagi yang tahu, ini hanya sebatas teori dan pepesan kosong yang selalu dibanggakan sebagai negara hukum (rachtstaad). Kita sebagai bangsa telah melupakan bagaimana berhukum itu sendiri, dan juga berprilaku hokum dalam berkehidupan hukum. Karena kehidupan hukum tidak hanya sebatas melayani keadilan, melainkan juga melayani peraturan yang harus dijalani dengan nyata dan sebenarnya.
Jika kondisi demikian, hukum yang bagaimana yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia saat ini ? Bagaimana reformasi hukum harus dilaksanakan, jika memang reformasi itu masih ada ? Dari mana harus dimulai, dan bagaimana pelaksanaannya, supaya hukum tidak tertidur lagi. Sebelum pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab, maka yang perlu dipertanyakan kembali, apa peranan hukum bagi bangsa Indonesia ?
Untuk menjawab semua itu, dan mencari karakter hukum yang sebenarnya dibutuhkan oleh Bangsa Indoensia sebagai alat untuk mencapai tujuan nasional adalah hukum yang dapat mengakomodir sfat kemajemukan bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Marauke dengan berbagai suku bangsa dengan otoritas-otoritas lokal tradisonal yang otonom. Karena hal utama yang harus dilakukan dalam pembangunan hukum adalah melakukan harmonisasi hukum, bukan melakukan unifikasi atau kondifikasi, yang selama ini lebih diutamakan.
Dengan demikian jelas, bahwa bagi bangsa Indonesia hukumlah yang harus diabadikan pada manusia, bukan manusia yang harus mengabdi pada hukum, dan tidak ada tempatnya untuk mengorbankan manusia demi kepentingan hukum, dengan alasan adanya keterbatas hukum dalam menghadirkan keadilan sebagaimana yang sering dikemukakan selama ini oleh penguasa.
Pada akhir tulisan ini, mungkin dapat menjadi renungan kita apa yang pernah dikemukakan oleh (alm) Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, dalam paradigma Hukum Progresif yaitu “Hukum adalah untuk manusia dan bukan untuk sebaliknya, dan hokum itu tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk harga diri manusia kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia.
Kita, seluruh masyarakat, dan Bangsa saat ini, harus memahami tidak ada jalan pintas untuk berhukum.
Bambang Syamsuzar Oyong
Notaris – PPAT Banjarmasin
*Tulisan ini telah dimuat pada Harian Pagi Media Kalimantan(Banjarmasin),
tanggal 17 Januari 2011
*Tulisan ini telah dimuat pada Harian Pagi Media Kalimantan(Banjarmasin),
tanggal 17 Januari 2011
Komentar
Posting Komentar