KPI DALAM DILEMA

KPI Dalam Sebuah Dilema
Oleh : Bambang Syamsuzar Oyong SH

Seorang anak terlihat sangat ketakutan tidur di kamarnya. Ketika si ibu menanyakan mengapa ia begitu takut, si anak menceritakan ia baru saja menyaksikan siaran sinetron di salah satu televisi swasta. Sineton itu menampilkan adegan sangat mengerikan, yang seharusnya bukan konsumsi anak-anak.
Dalam peristiwa lain, seorang anak yang baru duduk di bangku sekola menengah di duga telah melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Ketika diminta keterangan oleh kepolisian, ia mengatakan baru saja menyaksikan siaran yang ditayangkan salah satu stasiun televisi swasta. Materi tayangan itu diperuntukan bagi orang dewasa.
Dua hal di atas, menjadi keprihatinan kita jika melihat perkembangan tayangan televisi. Hampir semua stasiun menampilkan sisi yang seragam. Tayangan yang mengandung kekerasan, seksualitas, supranatural dan gaya hidup yang hedonis menjadi konsumsi kita sehari-hari. Konsumsi anak-anak dan generasi muda. Wajar jika kita prihatin melihat perkembangan informasi yang begitu cepat, tanpa dibarengi kesiapan untuk memberikan pengawasan di dalamnya.
Undang Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, diundangkan pada 23 Desember 2002. Namun kita belum melihat hasil nyata dari keberadaan UU itu sebagai alat kontrol, untuk memberikan pemberdayaan kepada masyarakat sebagai bagian pemberian informasi layak, pendidikan kepada generasi akan datang, hiburan yang mendidik sebagai bagian dari perekat sosial. Untuk mendapatkan semua itu, dibentuk sistem penyiaran nasional yang menjamin terciptanya tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
UU Penyiaran mengamatkan dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sebagai lembaga negara yang bersifat independen. Keberadaannya baik di pusat dan daerah yang memiliki tugas dan wewenang, diatur dalam UU sebagai wujue peranserta masyarakat di bidang penyiaran.
Peran KPI dalam UU Penyiaran adalah sesuatu yang sangat strategis untuk terciptanya satu sistem penyiaran nasional sebagai bagian tatanan dalam menyelenggarakan penyiaran nasional berdasarkan ketentuan, peraturan perundang-undangan yang berlaku menuju tercapainya asas, tujuan, fungsi dan arah penyiaran nasional. Juga sebagai upaya mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana yang tercantum dalam Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia.
Maka wajar dalam mencapai asas, tujuan dan arah penyiaran harus selalu mencerminkan peranserta masyarakat di dalamnya. Karena masyarakat harus selalu dijamin untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai hak asasi manusia. Di samping ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran; membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri penyiaran; memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang; menampung, meneliti dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.
KPI juga diberi wewenang oleh UU Penyiaran untuk menetapkan standar program siaran, menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran, mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran, memberikan sanksi terhadap pelanggar peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran, melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan pemerintah, lembaga penyiaran dan masyarakat. Tugas, kewajiban dan wewenang yang diberikan kepada KPI oleh UU sangat strategis dalam terciptanya tatanan informasi nasional di bidang penyiaran. Baik diperuntukkan pada lembaga penyiaran publik, swasta, komunitas dan berlangganan.
Namun kenyataannya sebagaimana diamanatkan UU Penyiaran perihal keberadaan tugas, kewajiban dan wewenang KPI menimbulkan suatu yang sangat kontradiksi. Di satu sisi manyarakat mengharapkan peran dominan KPI untuk menciptakan kontrol tegas, tidak sebatas membuat panduan tentang batasan mengenai apa yang diperbolehkan dan atau tidak diperbolehkan berlangsung dalam proses pembuatan program siaran, maupun dalam pembuatan panduan tentang batasan apa yang diperbolehkan dan atau yang tidak diperbolehkan ditayangkan dalam program siaran. Sebagaimana dimaksudkan Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Strandar Program Siaran (P3 SPS) melalui Keputusan KPI No 009/SK/KPI/8/2004. Melainkan lebih dari itu, yaitu memberikan sanksi tegas terhadap dilangarnya rambu yang telah disepakati.
Kontradiksi
Dengan diberlakukannya UU Penyiaran dan dibentuknya KPI baik di tingkat pusat maupun daerah, belum satu pun sanksi yang diberikan KPI kepada penyelenggara lembaga penyiaran. Walaupun jelas, penyelenggara lembaga penyiaran telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan yang dimaksud P3 SPS. Seperti baru-baru ini semaraknya tayangan yang mengandung kekerasan, seksualitas dan supranatural dengan seting kejadian nyata hasil saduran dari beberapa majalah keagamaan. Hal itu harus selalu menjadi penilaian pemerintah dan KPI, sebagai efek dari tayangan tanpa kontrol.
Apalagi baru-baru ini, pemerintah menunjukkan pengaruh kekuasaannya dengan mengambil beberapa tugas dan wewenang KPI. Dengan argumentasi, sebagai lembaga negara KPI tidak boleh sekaligus berfungi legislatif, eksekutif dan yudikatif (www.hukumonline.com edisi 9 Desember 2005). Terlihat bagaimana pemerintah mengeluarkan beberapa paket Peraturan Pemerintah (PP) yang sangat bertentangan dengan UU Penyiaran. PP itu adalah PP No 49/2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing, PP No 50/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, PP No 51/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Komunitas, PP No 52/2005 tentang Peyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan. Di samping PP No 11/2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik, PP No 12/2005 tentang Lembaga Penyiaran RRI, PP No 13/2005 tentang Lembaga Penyiaran TVRI.
Menurut Menkominfo Sofyan Djalil, keterlibatan pemerintah pada sektor penyiaran dikarenakan UU Penyiaran khususnya pasal 33 dan 34 tidak jelas menyangkut izin lembaga penyiaran. Apakah perizinan ini merupakan wewenang KPI atau negara? UU tidak menyebutkan secara jelas mengenai hal ini. Pasal 34 ayat 5 menyebutkan, atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara melalui KPI. Namun pasal 1 ayat 14 menyebutkan, izin penyelenggaraan penyiaran adalah hak yang diberikan negara kepada lembaga penyiaran untuk menyelenggarakan penyiaran.
Dikeluarkannya PP tersebut, anggota KPI Amalia Hezkaria Day, juga tidak memberikan sanksi tegas kepada pelaku penyelenggara penyiaran yang nyata sekali melanggar UU Penyiaran, P3 SPS sebagai pedoman.
Apalagi anggota Komisi I dari Fraksi PKS, Untung Wahono, memandang persoalan yang dihadapi KPI saat ini dikarenakan masih besarnya keinginan pemerintah untuk mengendalikan lembaga penyiaran di segala sektor. Dia menyebutkan, UU Penyiaran tidak ajeg dalam memberikan kwewenangan kepada KPI karena salalu dibayangi-bayangi ‘intervensi’ pemerintah. Seharusnya KPI diberi kewenangan yang tegas sebagaimana pada Komisi Pemilihan Umum (KPU), jika kita ingin memfungsikan KPI sebagai lembaga negara sebagaimana diamanatkan UU.
* Masyarakat umum peduli penyiaran
tinggal di Banjarmasin


Dimuat pada harian Banjarmasin Post, tgl 28-12-2005

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS