PEMBUKTIAN TERBALIK
PEMBUKTIAN TERBALIK
Opini oleh : Romli Atmasasmita
(Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad & Ketua Forum 2004)
Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisasi dan bersi*fat lintas batas teritorial transnasio*nal), disamping pencucian uang, perda*gangan manusia, penyelundupan migrant dan penyelundupan senjata api. Demikian bunyi ketentuan dalam Konvensi Kejahat*an Transnasional Terorganisasi. Konvensi tahun 2000 ini sudah ditandatangani namun belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, sedangkan Konvensi Anti Ko*rupsi tahun 2003 telah diratifikasi dengan Undang-undang nomor 7 tahun 2006.
Ditempatkannya korupsi sebagai sa*lah satu kejahatan terorganisasi dan bersi*fat transnasional karena pertama, modus operandi korupsi te1ah menyatu dengan sistem birokrasi hampir di semua negara, termasuk dan tidak terbatas pada negara-*negara di Asia dan Afrika, dan dilakukan secara besar-besaran oleh sebagian terbe*sar pejabat tinggi, bahkan seorang Presi*den seperti di Filipina dan Nigeria dan be*berapa negara Afrika lainnya. Kasus ter*baru menyangkut mantan Perdana Men*teri Thaksin di Thailand. Alasan kedua, ko*rupsi terbukti telah melemahkan sistem pemerintahan dari dalam alias merupa*kan virus berbahaya dan penyebab proses pembusukan dalam kinerja pemerin*tahan serta melemahkan demokrasi.
Alasan ketiga, pemberantasan korupsi sangat sulit diperangi didalam sistem biro*krasi yang juga koruptif sehingga memer*lukan instrument hukum yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya. Alasan keempat, korupsi tidak lagi meru*pakan masalah dalam negeri atau masalah nasional suatu negara, melainkan sudah merupakan masalah antarnegara atau hu*bungan antara dua negara atau lebih, se*hingga memerlukan kerjasama aktif an*tara negara-negara yang berkepentingan atau dirugikan karena korupsi. Hal ini disebabkan sangat banyak bukti bahwa aset hasil korupsi ditempatkan di negara yang dianggap aman oleh pelakunya se*perti, Kepulauan Caymand, Swiss, Austria, dan beberapa negara di Asia dan Afrika. Kecanggihan modus operandi korupsi dan perlindungan asset hasil korupsi di*dukung oleh teknlogi informasi modern telah diakui sangat menyulitkan pembe*rantasan korupsi hampir di semua negara terutama dalam proses pembuktiannya.
Perkembangan praktik tersebut di be*berapa negara telah memunculkan suatu gagasan baru dalam menyikapi hambatan dalam proses pembuktian korupsi. Teori pembuktian yang selama ini diakui adalah asas pembuktian "beyond reasonable doubt", yang dianggap tidak bertentang*an dengan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence), akan tetapi disisi lain sering menyulitkan proses pembukti*an kasus-kasus korupsi. Terbukti dalam praktik sistem pembuktian tersebut atau dikenal dengan istilah, ”pembuktian ne*gatif” tidak mudah diterapkan.
Kedalaman ilmu pengetahuan dan akal manusia (logika hukum) memang ti*dak terbatas, sehingga muncullah alterna*tif asas pembuktian baru yang justru ber*asal dari penelitian negara maju dan di*pandang tidak bertentangan baik dengan perlindungan hak asasi tersangka maupun konstitusi; namun sangat efektif da*lam membuka secara luas akses pembukti*an asal usul harta kekayaan yang diduga di*peroleh karena korupsi. Alternatif pem*buktian yang diajukan dan digagas oleh pe*mikir di negara maju (Oliver, 2006) ada*lah, teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (balanced probability of prin*ciples), yaitu mengedepankan keseimbangan yang proporsional antara perlindungan kemerdekaan individu di satu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Model baru asas pembuktian terbalik ini ditu*jukan terhadap pengungkapan secara tun*tas asal usul aset-aset yang diduga dari hasil korupsi itu sendiri, dengan menempatkan hak atas kekayaan pribadi seseorang pada level yang sangat rendah, akan tetapi secara bersamaan menempatkan hak kemerdekaan orang yang bersangkutan pada level yang sangat tinggi dan sama sekali tidak boleh dilanggar.
Teori pembuktian terbalik keseim*bangan kemungkinan dalam harta keka*yaan tersebut menempatkan seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi pada posisi di mana sebe*lumnya yang bersangkutan belum mem*peroleh harta kekayaan sebanyak seka*rang yang didapat. Teori tersebut dengan dasar pertimbangan di atas telah diprak*tikkan oleh Pengadilan Tinggi Hong kong dalam kasus ICAC Hong Ong terhadap pe*mohon 'judicial review" terhadap proses pembuktian terbalik yang dilaksanakan oleh pengadilan rendah telah sesuai de*ngan Hong Kong Bribery Ordinance Act. Keputusan Pengadilan Tinggi Hong kong menganggap bahwa proses pembuktian terbalik yang telah dilaksanakan peng*adilan rendah telah memberikan keadilan sama bagi kedua belah pihak yaitu kepada pemohon maupun kepada ICAC Hong Kong dalam menyampaikan pembuktian*nya.
Berlainan dengan model Hong Kong (dalam pembuktian terbalik) yang dapat digunakan dalam kasus korupsi melalui prosedur hukum acara pidana, maka model pembuktian terbalik dalam Kon*vensi Anti Korupsi 2003 (Pasal 31 ayat 8), dan banyak memperoleh pengakuan dari negara-negara maju baik yang mengguna*kan sistem hukum "Common Law" dan "Civil Law", yaitu mendukung penggu*naan prosedur keperdataan dalam mene*rapkan teori pembuktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, artinya, sepanjang prosedur pembuktian terbalik tersebut ditujukan untuk meng*gugat hak kepemilikan seseorang atas harta kekayaannya yang berasal dari tindak pidana korupsi.
UU Nomor 31 tahun 1999 (Pasal 31) dan UU Nomor 15 tahun 2002 (Pasal 37) telah memuat ketentuan mengenai pembuktian terbalik (reversal burden of proof atau onus of
Ketentuan di dalam kedua undang-*undang tersebut masih belum dilandaskan kepada justifikasi teoritis sebagaimana telah diuraikan di atas, melainkan hanya menem*patkan ketentuan pembuktian terbalik tersebut semata-mata sebagai sarana untuk memudahkan proses pembuktian saja tanpa dipertimbangkan aspek hak asasi ter*sangka/terdakwa berdasakan UUD 1945. Kini dengan munculnya dua model pem*buktian terbalik dengan keseimbangan kemungkinan tersebut, maka telah terdapat referensi teoritik dan praktik dalam masalah pembuktian terbalik.
Sudah tentu pembuktian terbalik da*lam hal hak-kepemilikan harta kekayaan seseorang yang diduga berasal dari korup*si menimbulkan pro dan kontra. Pandang*an kontra mengatakan bahwa, pembukti*an terbalik dalam hak kepemilikan harta kekayaan tersebut juga bertentangan de*ngan hak asasi manusia yaitu setiap orang berhak untuk memperoleh kekayaannya dan hak privasi yang harus dilindungi. Na*mun demikian, bertolak kepada pemikiran bahwa korupsi merupakan sumber ke*miskinan dan kejahatan serius yang sulit pembuktiannya di dalam praktik sistem hukum di semua negara,maka hak asasi in*dividu atas harta kekayaannya bukanlah dipandang sebagai hak absolut, melain*kan hak relatif, dan berbeda dengan per*lindungan atas kemerdekaan seseorang dan hak untuk memperoleh peradilan yang fair dan terpercaya.
Konvensi Anti Korupsi 2003 yang telah diratifikasi telah memuat ketentuan me*ngenai pembuktian terbalik (Pasal 31 ayat 8) dalam konteks proses pembekuan (freez*ing), perampasan (seizure), dan penyitaan (confiscation) di bawah judul Kriminalisasi dan Penegakan Hukum (Bab III). Pascara*tifikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 sudah tentu berdampak terhadap hukum pem*buktian yang masih dilandaskan kepada Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 tahun 1981 dan ketentuan me*ngenai penyelidikan, penyidikan dan pe*nuntutan serta pemeriksaan pengadilan di dalam UU nomor 31 tahun 1999.
Yang terpenting dalam hukum pem*buktian kasus korupsi, sudah seharusnya unsur kerugian negara yang nyata bahkan yang masih diperkirakan akan nyata keru*giannya, sudah tidak pada tempatnya dan tidak proporsional lagi untuk dijadikan unsur pokok dalam suatu tindak pidana korupsi, dan karenannya tidak perlu harus dibuktikan lagi. Bahkan kerugian masya*rakat luas terutama pihak ketiga yang diru*gikan karena korupsi sudah seharusnya diakomodasi di dalam UU baru pemberan*tasankorupsi. (*)
Note: Diambil dari Harian Seputar Indonesia 27 September 2006
Komentar
Posting Komentar