HUKUMAN MATI
Suatu Tinjauan: Pro Kontra Hukuman Mati
Dikeluarkannya Keputusan Presiden (Kepres) No 20/G, 21/G, 22/G, 23/G dan No
24/G tahun 2003 tentang Penolakan Permohonan Grasi terhadap para terpidana
mati oleh Kepala Negara (Presiden) menimbulkan pro kontra di kalangan
akademisi dan aktivis HAM.
Penolakan permohonan grasi oleh Presiden sesuatu yang sangat menarik untuk
ditinjau dari segi hukum, agama dan kemanusiaan. Bagi sebagian kalangan
aktivis HAM penerapan hukuman mati adalah sesuatu jenis pelanggaran HAM,
karena negara tidak dalam kapasitas sebenarnya untuk mengakhiri kehidupan
seseorang. Sedangkan menurut pandangan hukum positif, pemberian hukuman mati
kepada para pelaku tindak pidana dapat dibenarkan karena negara berkewajiban
memberikan sanksi hukuman bagi pelaku tindak pidana.
Adanya Kepres yang dikeluarkan pemerintah, hanyalah untuk memberikan efek
jera. Selama ini dikesankan pemerintah tidak serius memberikan sanksi
hukuman maksimal, khususnya bagi pelaku tindak pidana narkoba dan pembunuhan
berencana. Pro kontra hukuman mati telah berkembang menjadi opini dengan
berbagai argumentasinya. Sampai-sampai kalangan pakar hukum dan para
pengamat politik mengatakan, penerapan hukuman mati telah bertentangan
dengan UUD 1945, khususnya pada ketentuan pasal 28 ayat 1 dari hasil
amandemen terakhir UUD 1945 sebagaimana ditegaskan Hak untuk hidup adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Jika
ditinjau dari ketentuan pasal 28 ayat 1 adanya hukuman mati. Jika hukuman
mati itu tetap saja diberikan kepada terpidana maka semua peraturan dan
produk hukum yang kedudukannya dibawah konstitusi UUD 1945 harus segera
direvisi, karena konstitusi telah menyebutkannya dengan jelas.
Kenyataannya hukuman mati telah diatur dalam berbagai peraturan yang ada
berupa UU No 2/Pnps/1964 tentang Tata cara Pelaksanaan Pidana Mati, dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kemudian hukuman mati juga diatur
dalam beberapa pengaturan yaitu UU Pengadilan HAM, UU Narkoba dan yang
terbaru dikeluarkan Perpu Anti Terorisme.
Dari hasil jejak pendapat di harian Kompas pada tanggal 17-2-2003
menyebutkan dari beberapa kasus tindak pidana yang dapat diberi sanksi
hukuman mati seperti kasus pembunuhan, pemerkosaan, terorisme, pengedar dan
pemilik narkoba, pencandu narkoba, makar/subversif, separatis/pemberotakan.
Sebagian responden menyetujui adanya hukuman mati hanya untuk tindak pidana
tertentu seperti pecandu narkoba, separatis/pemberontak dan makar/subversif,
hampir sebagian responden tidak setuju pelaku tindak pidana dikenai hukuman
mati. Hasil jejak pendapat itu menunjukkan tindak pidana pembunuhan,
pemerkosaan, terorisme, pengedar danb pemilikj narkoba dan pelaku tindak
pidana korupsi. Penilaian masyarakat menunjukkan kesetujuannya diberikannya
sanksi dengan pidana berat berupa hukuman mati dari beberapa kejahatan
tersebut.
Secara Hukum
Menurut ketentuan Bab XIX Kejahatan Terhadap Jiwa Orang dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 340 menyebutkan barang siapa dengan
sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jawa orang lain,
dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau
pidana seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Ketentuan pasal ini jelas sekali menyebutkan kejahatan dengan pembunuhan
yang direncanakan terlebih dahulu tidak sama dikategorikan degan pembunuhan
biasa (doodslag), sebagaimana disebut dalam pasal 338 KUHP yang sanksi
hukumannya adalah penjara selama lima belas tahun. Karena akibat adanya
unsur perencanaan untuk menghilangkan nyawa orang lain (voorbedachete Rade),
maka sanksinya diberikan secara maksimal yaitu dengan pidana mati. Inilah
yang melatarbelakangi pembunuhan berencana dimasukkan sebagai salah satu
pidana berat.
Begitu pula degan ketentuan UU Narkoba, pada pasal 82 ayat 1 poin a
menyebutkan barang siapa tanpa hak melawan hukum mengimpor, mengekspor,
menawarkan untuk dijual, menyalurkan, memberi, menyerahkan, menerima,
menjadi perantara dalam jual beli atau tukar menukar narkoba golongan satu
dipidana degan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara paling
lama 20 tahun dan denda paling banyak satu miliar. Latar belakang
diberikannya sanksi hukuman mati dalam UU Narkotika karena terdapatnya
bahaya yang sangat mendasar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan
negara serta ketahanan nasional Indonesia, kejahatan narkotika pada umumnya
tidak dilakukan oleh perorangan secara sendiri-sendiri, melainkan dilakukan
secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang teroranisasi secara
mantap, rapi dan sangat rahasia. Di samping itu juga kejahatan yang bersifat
trannasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi
canggih, jelas menjadi ancaman serius bagi kehidupan umat manusia umumnya.
Hukuman mati juga tercantum pada pasal 6 Perpu No 1 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, yaitu setiap orang yang dengan sengaja menggunakan
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang
lain, mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun.
Pemberian sanksi hukuman mati bagi pelaku terorrisme karena dianggap dari
tindakan terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra
oradinary crime) atau juga kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against
humanity) akibat tindakannya berakibat telah menghilangkan nyawa tanpa
memandang korban dan berakibat menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas
dan hilangnya kemerdekaan serta kerugian harta benda oleh karena itu negara
berkewajiban untuk melindungi dari setiap segala tindakan terorisme.
Tinjauan Agama Dan Kemanusiaan
Tidak dapat dipungkiri begitulah adanya, penerapan hukuman mati memang telah
menjadi perdebatan bukan hanya saat sekarang, melainkan juga pada saat
penyusunan rancangan undang-undang hukum pidana yang baru. Ada beberapa
alasan mengapa hukuman mati selalu menjadi perdebatan. Hukuman mati dianggap
tidak manusiawi dan bertentangan dengan ajaran agama, maupun HAM, disamping
itu juga hukuman mati tidak sesuai dengan tujuan pemidananan yang bermaksud
mendidik terpidana agar dapat kembali di tengah masyarakat.
Benarkah hukuman mati bertentangan dengan ajaran agama? Dari sebuah tulisan
Fidel S Djaman SH Varia Peradilan edisi Maret 1995, sebagaimana dikutip,
untuk menjawab pertanyaan tersebut dibutuhkan penelaahan. Ternyata tidak
sepenuhnya ditemukan jawaban yang pasti. Selain adanya larangan ternyata di
dalam kitab-kitab Suci juga memuat beberapa ketentuan-ketentuan (ayat-ayat)
yang merestui adanya hukuman mati. Di dalam Kitab Suci Alquran, misalnya
(Surah Al Maidah ayat 45 dan surat Al Isra ayat 33) memuat
ketentuan-ketentuan yang membenarkan adanya hukuman mati atas dasar Qishaash
(mengambil pembalasan yang sama). Begitu juga dalam Kitab Suci Injil, baik
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru (Kitab Kejadian 9:6 dan Roma (Surat
Paulus 13:40) membenarkan adanya hukuman mati yang dilakukan pemerintah atas
dasar hamba Allah. Selain itu di dalam ajaran-ajaran agama Hindu sebagaimana
dapat dibaca dalam Compendium Hukum Hindu (Buku VIII Pasal 34, 323 dan 359)
membenarkan adanya hukuman mati pada kejahatan-kejahatan tertentu.
Namun bagi kalangan yang menentang hukuman mati, tetap berpendapat bahwa
hukuman mati itu tidak dapat dibenarkan. Menurut mereka, kematian seseorang
merupakan hak yang dimiliki oleh Yang Maha Esa, seseorang manusia tidak
berhak mencabut nyawa manusia lainnya.
Lalu bagaimana apakah hukuman mati bertentangan juga dengan kemanusiaan?
Jika dikaitkan dengan tujuan pemidanaan itu sendiri sebagai tempat wahana
mendidik seseorang agar dapat kembali ke tengah masyarakat, maka dari
konteks ini penerapan hukuman mati bukanlah solusi yang sebenarnya. Namun
bagaimana seandainya terpidana (pelaku) yang dikenai hukuman mati melakaukan
tindakan kembali (melakukan tindakan pidana pembunuhan), bagaimana dengan
kepentingan masyarakat yang telah dirugikannya (korban)? Maka untuk
memandang semuanya itu, kepentingan kemanusiaan haruslah juga memandang sisi
keadilan bagi masyarakat yang telah menjadi korban dari tindakan terpidana
tersebut.
Jika dikatakan penerapan hukuman mati bertentangan dengan pelaksanaan HAM,
maka berdasarkan salah satu standar, panduan dan instrumen dari PBB yaitu
Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death
Penalty (Ketentuan Penjamin Perlindungan hak-hak mereka yang menghadapi
hukuman mati) dalam Evaluasi Dewan Ekonomi dan Sosial 1984/50, diadopsi pada
tanggal 25 Mei 1984 menyebutkan bagi negara-negara yang belum menghapus
hukuman mati diistilahkan sebagai hukuman berat hanya boleh dijatuhkan untuk
kejahatan-kejahatan yang paling berat atau membahayakan nyawa. Dan mereka
yang belum berumur 18 tahun, para wanita hamil, ibu-ibu yang baru melahirkan
atau orang-orang yang telah menjadi gila tidak boleh dijatuhi hukuman mati.
Hukuman berat hanya boleh dijatuhkan kalau kesalahan telah diputuskan dengan
bukti yang jelas dan menyakinkan sehingga tidak ada kemungkinan penjelasan
yang lain atas fakta tersebut. Hukuman berat hanya boleh dijalankan setelah
putusan akhir dijatuhkan oleh pengadilan yang berhak memberikan semua
perlindungan bagi terdakwa, termasuk bantuan hukum yang memadai. Setiap
orang yang dihukum mati harus diberi hak banding ke pengadilan yang
yuridiksinya lebih tinggi. Hukuman berat tidak boleh dilaksanakan sewaktu
peradilan banding bahwa diputuskan atau pengulangan prosedur, penyelesaian
yang berkaitan dengan pengampunan pengubahan hukuman masih dalam proses.
Kalau hukuman berat terjadi, hukuman harus dilakukan sedemikian agar
penderitaan yang mungkin timbul menjadi seminimum mungkin.
Dari beberapa tinjauan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hukuman mati
bukanlah sesuatu yang dilarang, sejauh keberadaannya semata-mata tidak
dijatuhkan untuk mengefektifkan suatu hukuman, melainkan hanya memenuhi rasa
keadilan bagi masyarakat. Jangan dikesankan pemberian hukuman mati hanya
sebatas menghilangkan nyawa terpidana dari tindakannya melainkan juga
pendidikan hukum di dalamnya terdapat rasa patuh pada aturan hukum dan
undang-undang yang berlaku.
Bambang S Oyong SH
Pemerhati Masalah Hukum Dan Praktisi
Copyright © 2003 Banjarmasin Post
Komentar
Posting Komentar