KEKOSONGAN HUKUM

KEKOSONGAN HUKUM

Penegakan dan penerapan hukum khususnya di Indonesia seringkali menghadapi kendala berkaitan dengan perkembangan masyarakat. Berbagai kasus yang telah terjadi menggambarkan sulitnya penegak hukum atau aparat hukum mencari cara agar hukum dapat sejalan dengan norma masyarakat yang ada. Namun perkembangan masyarakat lebih cepat dari perkembangan aturan perundang-undangan, sehingga perkembangan dalam masyarakat tersebut menjadi titik tolak dari keberadaan suatu peraturan.
Dalam kehidupan bermasyarakat memang diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Kenyataannya hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut. Asas legalitas yang kerap dianggap sebagai asas yang memberikan suatu kepastian hukum dihadapkan oleh realita bahwa rasa keadilan masyarakat tidak dapat dipenuhi oleh asas ini karena masyarakat yang terus berkembang seiring kemajuan teknologi. Perubahan cepat yang terjadi tersebut menjadi masalah berkaitan dengan hal yang tidak atau belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena tidak mungkin suatu peraturan perundang-undangan dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas sehingga adakalanya suatu peraturan perundang-undangan tidak jelas atau bahkan tidak lengkap yang berakibat adanya kekosongan hukum di masyarakat. Definisi Kekosongan Hukum Tidak ada pengertian atau definisi yang baku mengenai kekosongan hukum (rechtsvacuum), namun secara harafiah dapat diartikan sebagai berikut :
Hukum atau recht (Bld) Menurut Kamus Hukum, recht (Bld) secara obyektif berarti undang-undang atau hukum. Grotius dalam bukunya “De Jure Belli ac Pacis (1625)” menyatakan bahwa “hukum adalah peraturan tentang perbuatan moral yang menjamin keadilan”. Sedangkan Van Vollenhoven dalam “Het Adatrecht van Ned. Indie” mengungkapkan bahwa “hukum adalah suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergejolak terus menerus dalam keadaan bentur dan membentur tanpa henti-hentinya dengan gejalagejala lainnya”. Surojo Wignjodipuro, SH dalam “Pengantar Ilmu Hukum” memberikan,pengertian mengenai hukum yaitu “Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang besifat memaksa, berisikan suatu perintah, larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat”. Dengan peraturan-peraturan hidup disini dimaksudkan baik peraturan-peraturan yang tertulis dalam peraturan perundangundangan maupun yang tidak tertulis (adat atau kebiasaan).
 Kekosongan atau vacuum (Bld) Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) cetakan kedua tahun 1989,  “Kekosongan adalah perihal (keadaan, sifat, dan sebagainya) kosong atau kehampaan”, yang dalam Kamus Hukum diartikan dengan Vacuum (Bld) yang diterjemahkan atau diartikan sama dengan “kosong atau lowong”. Dari penjelasan diatas maka secara sempit “kekosongan hukum” dapat diartikan sebagai “suatu keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum) yang mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat”, sehingga kekosongan hukum dalam Hukum Positif lebih tepat dikatakan sebagai “kekosongan undang-undang/peraturan perundang-undangan”. Mengapa Terjadi? Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik oleh Legislatif maupun Eksekutif pada kenyataannya memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh peraturan tersebut sudah berubah.
Selain itu kekosongan hokum dapat terjadi karena hal-hal atau keadaan yang terjadi belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, atau sekalipun telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap. Hal ini sebenarnya selaras dengan pameo yang menyatakan bahwa “terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan senantiasa tertinggal atau terbelakang dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat”.
Dapatlah dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang berlaku pada suatu negara dalam suatu waktu tertentu merupakan suatu sistem yang formal, yang tentunya agak sulit untuk mengubah atau mencabutnya walaupun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang harus diatur oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Akibat apa yang timbul? Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum, terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hokum (rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat yang lebih jauh lagi akan berakibat pada kekacauan hukum (rechtsverwarring), dalam arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, selama belum ada tata cara yang jelas dan diatur berarti bukan tidak boleh. Hal inilah yang menyebabkan kebingungan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan apa yang harus dipakai atau diterapkan. Dalam masyarakat menjadi tidak ada kepastian aturan yang diterapkan untuk mengatur hal-hal atau keadaan yang terjadi. Solusi apabila terjadi kekosongan hokum Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa perkembangan masyarakat selalu lebih cepat dari perkembangan peraturan perundang-undangan.
 Peraturan perundang-undangan sebenarnya dibuat sebagai panduan bersikap tindak masyarakat yang dapat menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Hukum yang  stabil dan ajeg dapat menjadi ukuran yang pasti di masyarakat, namun hukum yang berjalan ditempat pada kenyataannya akan menjadi hukum yang usang yang tertinggal jauh oleh perkembangan masyarakat yang acapkali menimbulkan kekosongan hokum (kekosongan peraturan perundang-undangan) terhadap hal-hal atau keadaan yang berkembang dalam masyarakat yang pastinya belum diatur atau jika sudah diatur namun tidak jelas bahkan tidak lengkap atau sudah usang.
Untuk itu sangat diperlukan suatu hukum yang stabil dan fleksibel dan mampu mengikuti perkembangan tersebut. Upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi terjadinya kekosongan hokum adalah sebagai berikut : Penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim Meski terjadi kekosongan hukum, terdapat suatu usaha interpretasi atau penafsiran peraturan perundang-undangan bisa diberlakukan secara positif. Usaha penafsiran terhadap hukum positif yang ada bisa diterapkan pada setiap kasus yang terjadi, karena ada kalanya UU tidak jelas, tidak lengkap, atau mungkin sudah tidak relevan dengan zaman (out of date). Berdasarkan Pasal 22 A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia; Stb. 1847 : 23) dan Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970 (pokok-pokok kekuasaan Kehakiman) seorang hakim tidak boleh menangguhkan atau menolak memeriksa perkara dengan dalih UU tidak sempurna atau tidak adanya aturan hukum. Dalam kondisi UU tidak lengkap atau tidak jelas maka seorang hakim harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
 Penemuan hukum diartikan sebagai sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas hukum lainnya terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Atau dengan bahasa lain penemuan hukum adalah upaya konkretisasi peraturan hukum yang bersifat umum dan abstrak berdasarkan peristiwa yang real terjadi. Dengan perkataan lain, hakim harus menyesuaikan UU dengan hal-hal yang konkrit, oleh karena peraturanperaturan yang ada tidak dapat mencakup segala peristiwa yang timbul dalam masyarakat. Selain itu apabila suatu peraturan perundang-undangan isinya tidak jelas maka hakim berkewajiban untuk menafsirkan sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni mencapai kepastian hukum.
Kebijakan/prakarsa dari Pembentuk Perundang-undangan Walaupun hakim ikut menemukan hukum, menciptakan peraturan perundangundangan, namun kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif ataupun eksekutif (sebagai badan pembentuk perundang-undangan) sebagaimana DPR dan Pemerintah (Presiden). Keputusan Hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum. Keputusan hakim hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Ini ditegaskan dalam Pasal 21 A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia; Stb. 1847 : 23) yang menyatakan bahwa “hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan berlaku sebagai peraturan umum”. Lebih lanjut ditegaskan lagi dalam Pasal 1917 KUH Perdata (B.W.) bahwa “kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam keputusan itu”.
 Oleh karenanya, dalam upaya mengatasi kekosongan hukum di masyarakat sangat diperlukan kebijakan atau prakarsa dari Badan Pembentuk Perundangundangan, yang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945 yang telah diamandemen) Pasal 20 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa “DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang” dan “setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Pasal 5 UUD Negara RI Tahun 1945 menegaskan pula bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR” dan “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Dalam hal ini berarti prakarsa atau kebijakan (political will) dari DPR dan Pemerintah (Presiden) memegang peranan yang sangat penting dalam menciptakan atau membentuk suatu undang-undang (lebih luas peraturan perundang-undangan) baik mengatur hal-hal atau keadaan yang tidak diatur sebelumnya maupun perubahan atau penyempurnaan dari peraturan perundangundangan yang telah ada namun sudah tidak sesuai dengan perkembangan di masyarakat. Lebih lanjut dalam upaya mengatasi kekosongan hukum maka dalam pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan”. Kemudian dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 ditegaskan bahwa “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu Program Legislasi Nasional (Prolegnas)”. Prolegnas itu sendiri menurut Pasal 1 angka 9 adalah “instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis”. Prolegnas menjadi salah satu dari mekanisme program legislasi. Karena disamping Prolegnas (pemerintah/eksekutif) yang menampung rencana-rencana legislasi dari departemen-departemen/LPND, juga terdapat mekanisme program legislasi yang dikelola oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Bahkan juga ada program legislasi yang dikelola oleh masyarakat (organisasi profesi dan lembaga swadaya masyarakat).
Penutup
Dalam kehidupan bermasyarakat memang diperlukan suatu sistem hukum untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis dan teratur. Namun perubahan cepat yang terjadi dalam masyarakat menjadi masalah berkaitan dengan hal yang tidak atau belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena tidak mungkin suatu peraturan perundang-undangan dapat mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas sehingga adakalanya suatu peraturan perundang-undangan tidak jelas atau bahkan tidak lengkap yang berakibat adanya kekosongan hukum di masyarakat. Kekosongan hukum dapat diatasi dengan jalan yaitu jika kondisi UU tidak lengkap atau tidak jelas maka seorang hakim dapat melakukan penemuan hokum (rechtsvinding), atau dengan cara prakarsa dari Pembentuk Perundang-undangan, yaitu
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah (Presiden). Dengan adanya Program Legislasi Nasional (Prolegnas) merupakan salah satu dari mekanisme program legislasi dan juga sebagai salah satu upaya untuk mengatasi kekosongan hukum.

 Sumber : 1. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
3. Kamus Hukum (Edisi Lengkap);
 4. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka Jakarta, 1989;5. Surojo Wignjodipuro, S.H., Pengantar Ilmu Hukum (Himpunan Kuliah), Alumni Bandung, 1971;
6. Drs. C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, 1989;
7. Andi Maulana Mustamin, S.H.,M.H., Urgensi Penemuan Hukum di Indonesia, http://fiaji.blogspot.com;
8. Mohammad Aldyan, S.H., Penemuan Hukum, http://masyarakathukum.blogspot.com;
9. H. Ahmad Ubbe, S.H., MH, APU, Instrumen Prolegnas dalam Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Terencana dan Terpadu;
10. http://yogyacarding.tvheaven.com;
11. http://anggara.org.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKENALAN DENGAN PERBANDINGAN HUKUM

Istilah Hukum

TATA KELOLA YAYASAN SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KAJIAN YURIDIS