PENGALIHAN PUNGUTAN BPHTB DARI PUSAT KE DAERAH
PENGALIHAN PUNGUTAN BPHTB DARI PUSAT KE DAERAH
YANG MASIH BERMASALAH
Pajak merupakan gejala sosial yang hanya terdapat dalam suatu masyarakat. Tanpa masyarakat tidak mungkin ada suatu pajak. Pemahaman tentang pajak selalu terpikirkan adanya peralihan uang (harta) dari sektor swasta atau individu ke sektor masyarakat atau pemerintah, tanpa ada imbalan yang secara langsung dapat dinikmati. Disamping itu juga, ada pungutan yang dilakukan oleh pemerintah diluar pajak yang memberikan imbalan secara langsung yang dikenal dengan nama retribusi.
Undang-Undang Dasar 1945 secara jelas menyebutkan, perpajakan merupakan salah satu perwujudan kenegaraan, melalui proses pemungutan kepada masyarakat yang bersifat memaksa dan harus diatur dalam bentuk undang-undang yang mengatur, sebagai dasar pengenaan. Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan baik dalam bentuk undang-undang, maupun peraturan pelaksana lainnya yang berhubungan dibidang perpajakan dan Retribusi.
Peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan merupakan payung hukum yang harus ada saat dilaksanakannya proses pemungutan kepada masyarakat. Tanpa adanya peraturan yang mengatur mengenai pemungutan, sama diartikan pemerintah telah melakukan pemungutan illegal, dengan mengatas namakan pajak dan retribusi.
Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban pemerintah yang berkaitan dengan tugasnya dalam rangka penyelenggarakan pemerintahan demi menjaga proses pembangunan, pemerintah menetapkan pajak dan retribusi sebagai salah satu sumber penerimaan negara . Bila melihat perkembangan penerimaan pajak pada APBN maka tampak bahwa pajak telah menjadi primadona yang mendominasi penerimaan negara saat ini.
Dalam rangka peningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, pemerintah berupaya menggali potensi pajak seluas mungkin. Baik dengan dengan cara mencari dan menerapkan jenis pajak sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada saat ini. Berbagai jenis pajak diterapkan, mungkin pada waktu berikutnya dihilangkan atau dihapus dengan berbagai pertimbangan, dan kemudian dipungut dan diberlakukan kembali. Salah satunya yang menjadi pembicaraan masyarakat, yaitu saat diberlakukannya Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retrubisi Daerah, pengganti dari UU No. 18 Tahun 1997.
Diundangkannya UU No. 28 Tahun 2009, suatu bentuk apresiasi pelaksanaan otonomi Daerah yang memberikan kewenangan yang semakin besar kepada Daerah dalam rangka penyelenggaran Pemerintah Daerah yang berbasis pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan masih minimnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), basis pajak daerah yang masih terbatas, banyaknya Peraturan Daerah bermasalah perihal pemungutan, dan lemahnya pengawasan pungutan daerah yang dikarenakan sistem pengawasan masih bersifat represif juga penerapan sanksi yang belum maksimal.
Untuk itu, setiap perluasan basis pajak Daerah harus tetap menjunjung tinggi prinsip pajak yang baik, dengan tidak boleh menyebabkan timbulnya ekonomi biaya tinggi dan menghambat mobilitas penduduk, lalulintas barang dan jasa dan lainnya. Karena selama ini begitu besarnya ketergantungan daerah terhadap adanya dana perimbangan pusat yang kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah, berakibat Pemerintah Daerah tidak didorong untuk mengalokasikan anggaran secara efektif dan efisien.
Pengaturan BPHTB Menurut UU No. 28 Tahun 2009
UU No. 28 tahun 2009 merupakan peraturan yang memuat pajak daerah dan retribusi daerah, dimana di dalamnya terdapatnya empat jenis pajak baru yang diberikan wewenang sepenuhnya kepada daerah yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2), Bea Perolehana Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang sebelumnya menjadi wewenang pusat, Pajak Sarang Burung Walet sebagai pajak Kabupaten/Kota serta Pajak Rokok yang merupakan pajak baru bagi Propinsi. Disamping itu juga terdapat empat jenis retribusi baru bagi daerah yaitu Retribusi Pelayanan Tera Ulang, Retribsui Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Pada tulisan ini, penulis akan membahas perihal pengalihan wewenang pungutan BPHTB dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah sebagai mana yang diamanatkan UU No. 28 Tahun 2009. Bahwa, tujuan terbesar pengalihan BPHTB tidak lain untuk meningkatkan local taxing power Kabupaten dan Kota yang selama ini belum berjalan secara maksimal, walaupun lokalitas objek PBB P2 (Pajak Bumu Bagunan Perdesaan dan Perkotaan) dan BPHTB berlokasi didaerah Kabupaten dan Kota. Disamping itu juga hampir disetiap negara telah menetapkan Property Tax dan Property Transfer sebagai salah satu pajak daerah. Inilah yang menjadi pertimbangan utama pengalihan PBB P2 dan BPHTB. Pengalihan BPHTB dari Pusat dan Daerah tidak hanya sebatas pemungutan/penagihan, melainkan juga pada pendataan, penilaian, penetapan, pelayanan yang menyeluruh disamping pengadministrasian yang harus dilaksanakan daerah
Namun pengalihan ini tidak semudah yang diduga, walaupun persiapan-persiapan telah dijalani oleh daerah. Melalui Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri No. 186/PMK.07/2010 No. 53 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Sebagai Pajak Daerah. Untuk itu masing-masing dari Kementrian Keuangan dan Kementrian Dalam Negeri bersama-sama membuat formula dan pentahapan pengalihan supaya dapat berjalan dengan lancar. Dari Kementrian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak akan mengkompilasi segala permasalahan yang timbul sebagai bahan acuan oleh Pemerintah Daerah untuk menyusun Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah, membuat standard operating procedure (SOP) terkait BPHTB, disamping melakukan pemantauan dan pembinaan pelaksanaan pengalihan kewenangan pemungutan BPHTB kepada Pemerintah Daerah.
Sedangkan dari Kementrian Dalam Negeri, lebih mengarah pada pembinaan dalam bentuk memberikan bimbingan, kosultasi dan pelatihan sebagai supervisi dalama rangka pengalihan kewenangan pemungutan BPHTB tersebut.
Tugas yang terberat saat ini, jelas diemban oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menerima pengalihan kewenangan pemungutan BPHTB. Pemerintah Daerah bertugas dan bertanggung jawab untuk menyiapkan dari sarana dan prasarana, struktur organisasi dan tata kerja, sumber daya manusia, Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan SOP, melaksanakan kerja sama dengan pihak-pihak terkait, antara lain kepada Kantor Pelayanan Pajak, Perbankan, Kantor Pertanahan, Kantor Lelang, serta kepada Notaris/PPAT, Pemerintah Daerah juga harus membuka rekening BPHTB pada bank yang ditunjuk menjadi bank persepsi.
Untuk terlaksananya ketentuan tersebut, Pemerintah Daerah harus segara membuat Peraturan Daerah (Perda) sebagai payung hukum untuk dapat memungut BPHTB tersebut kepada masyarakat. Perda adalah sesuatu yang sangat utama disamping dikeluarkannya Peraturan Kepada Daerah sebagai dasar pemungutan. Karena dalam Perda pajak tersebut harus memuat segala hal yang bersifat teknis perpajakan dari nama, objek dan subjek pajak sampai pemberian sanksi administratif, yang tidak boleh berlaku surut.
Dikarenakan UU No. 28 Tahun 2009, diundangkan pada tanggal 15 September 2009 dan diberlakukan satu tahun sejak diundangkan. Yang mana berdasarkan pasal 185 menyebutkan, UU ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari. Jelas, efektivitas diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009, menyangkut pelaksanaan pelimpahan wewenang pemungutan BPHTB kepada Pemerintah Daerah mulai dilaksanakan dan diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2011. Sempitnya waktu berakibat masih banyaknya Pemerintah Daerah belum mengeluarkan Perda mengenai BPHTB. Karena itu bagi Pemerintah Daerah yang belum memiliki Perda tidak diperkenankan untuk melakukan pemungutan BPHTB terhutang kepada masyarakat dalam rangka proses pengalihan hak atas tanah dan bangunan.
Ada sebagian daerah hanya meng copy paste Perda daerah lain tanpa melakukan kajian menyeluruh melihat potensi apa yang ada pada daerah dan apa yang menjadi kendala pada daerah saat diberlakukan UU ini. Misalnya dalam menentukan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk setiap peralihan hak atas tanah dan bangunan yang menetapkan paling rendah Rp. 60.000.000,- (enampuluh juta rupiah). Pada hal sebelumnya melalui UU No. 20 tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang BPHTB, NPOPTKP itu ditetapkan secara regional setinggi-tingginya Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). Mungkin pengenaan NPOPTKP itu pada wilayah kota-kota besar yang tingkat harga jual tanah dan bangunannya setiap tahunnya naik di tafsiran 20 sampai 30 % tidak masalah. Hal ini akan timbul masalah pada daerah yang potensinya kenaikan harga jualnya tidak begitu besar. Karena pengenaan besarnya NPOPTKP Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) baru bisa dikenakan BPHTB terhutang apabila transaksi peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut harus di atas Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). Kita tahu masih banyaknya masyarakat untuk peralihan tanah dan bangunan dibawah Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) walaupun nilai transaksinya di atas nilai tersebut.
Untuk itu, diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2009 perihal mengenai pengalihan pungutan BPHTB dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah harus tetap dikritisi, apakah dengan diberlakukannya UU ini akan meningkatkan PAD Daerah atau malah sebaliknya. Jika hal ini memang tidak mungkin menjadi potensi bagi daerah khususnya bagi daerah-daerah kecil dan daerah yang baru melaksanakan pemekaran, dapat melaksanakan hak uji materi terhadap UU ini. Karena filosofi diberlakukannya UU ini, tidak lain harus tetap memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat dan kondisi daerah yang bersangkutan .
Bambang Syamsuzar Oyong, SH
Notaris-PPAT Banjarmasin
Sehubungan dengan penerapan BPHTB sejak tidak berlakunya lagi UU BPHTB (per tanggal 01 Januari 2011) terdapat beberapa pertanyaan yaitu :
BalasHapus1) Terkait dengan tugas PPAT dalam hal pendaftaran tanah, bagaimana pelaksanaannya sejak diberlakukannya undang-undang tersebut?
2) Apakah setelah AJB sudah otomatis terjadi balik nama? Jika tidak, bagaimana dampak terhadap pemilik tanah yang sudah AJB pada tahun 2010, namun balik nama nya baru dilakukan pada 2011?
3) Berhubung dengan tidak berlakunya UU BPHTB lagi, bagaimana validasi terkait PPh dan BPHTB dalam hal peralihan hak atas tanah?
4) Bagaimana dengan daerah yang belum memiliki perda BPHTB? Bagaimana pelaksanaan AJB nya terkait dengan syarat penyetoran PPh dan BPHTB?
5) Apa hambatan-hambatan yang dihadapi PPAT terkait dengan diterapkannya Undang-undang ini, baik untuk daerah yang sudah memiliki perda maupun belum memiliki perda?
6) Bagaimana pengamanan BPHTB untuk daerah yang belum memiliki perda, padahal PPh nya tetap dapat disetor ke pemerintah pusat, apakah AJB tetap dapat dilaksanakan?
7) Apakah sudah ada kesepakatan diantara PPAT terkait dengan penerapan UU No. 28 tahun 2009?
8) Apakah sudah ada sosialisasi dari pemerintah?
9) apakah banjarmasin termasuk daerah yang sudah memiliki perda BPHTB? Jika ya, mohon bantuannya untuk mendapatkan perda dimaksud.
mohon bimbingannya
terima kasih.
apakah boleh sebelum ada perda memungut BPHTB??????
BalasHapus