KASUS ARIEL DALAM FENOMENA PRIVASI
KASUS ARIEL DALAM FENOMENA PRIVASI
Sudah sebulan ini hampir disetiap hari pemberitaan dimedia cetak, maupun media televisi memberitakan kasus pornografi yang melibatkan artis-artis papan atas nasional. Silih berganti pemberitaan tersebut dengan menyajikan dari sisi sudut pandang yang sangat beragam. Keterkejutan para penggemar masing-masing artis melihat idola mereka pada gambar dan berita, dengan tanpa sensor publik sama sekali telah menjadi heatline pemberitaan nasional. Sampai-sampai Bapak Presiden sendiri mengomentari pemberitaan tersebut, dengan mengatakan Polisi harus bergerak cepat untuk menyelesaikan kasus tersebut. Dan pada akhirnya pihak kepolisian telah menetapkan Ariel sebagai tersangka dalam kasus yang berkembang saat ini.
Ditetapkannya Ariel sebagai tersangka memang suatu pilihan yang harus diambil oleh pihak penyidik, dengan memprediksikan sitersangka telah melanggar dari ketentuan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Oleh karena itu sitersangka sendiri tekah dikenakan penahanan.
Oleh karena itu penulis beranggapan, kasus Ariel cs pada dunia hiburan kita telah menjadi catatan tersendiri, yang dikarenakan tidak ada batas dan ruang yang harus ditutupi-tutupi saat ini. Inilah kenyataan yang harus disikapi oleh para pelaku-pelaku dunia hiburan. Para insan seni (artis) untuk harus lebih berhati-hati lagi untuk bertindak dan bersikap. Karena segala tindak tanduk mereka tetap akan menjadi konsumsi publik untuk disampaikan dalam pemberitaan dengan bumbu-bumbu yang menarik untuk dinikmati oleh masyarakat. Ini pembelajaran yang sangat mahal.
Kasus ini tidak berdiri sendiri, peran-peran media tetap menjadi hal yang sangat utama dalam penyampaian pemberitaan ini kepenjuru pelosok dunia. Media telah menjadi tempat utama dalam menumbuh suburnya opini yang berkembang saat ini. Pertanyaanya adalah sejauh mana hak-hak privasi seseorang dapat dilindungi dinegara ? Ketika kita ingin melihat media sebagai bagian pencerdasaan untuk dan kepentingan masyarakat, bukan sebagai lembaga yang yang meyuburkan kekerasan dalam pencitraan opini yang berkembang saat ini. Namun kenyataan media belum menempatkan pemberitaan ini secara berimbang. Pencitraan yang mengarah pada timbulnya opini yang berlebihan memang tidak dapat dipungkiri. Disinilah peran-peran media sebagai lembaga memberikan pencerdasan kepada masyarakat.
Memang tak bisa dipungkiri lagi, media di Indonesia, baik itu media elektronik maupun cetak, kini dipenuhi berbagai bentuk atraksi pemberitaan baik dari kekerasan, gossip, pornografi dan lainnaya . Tampaknya, mereka lebih memilih menjadi penyulut api atau penyulut opini di tengah pemberitaan untuk mendapatkan keuntungan daripada pencipta kedamain, pembelajaran dan memiliki nilia manfaat. Kekerasan tersebut melibatkan kekerasan linguistik dalam bentuk penggunaan kata-kata yang bersifat sarkastik, kekerasan simbolik, kekerasan virtual, sampai pada kekerasan yang dari luar tampak lembut, tetapi di baliknya memiliki cara pandang yang rasistis dan diskriminatif. Kondisi semacam ini memang mengundang sebuah keprihatinan tersendiri, terutama bagi orang-orang yang terkena langsung dampaknya, seperti para orang tua yang kebingungan dengan pola pendidikan anaknya, ataupun para praktisi pendidikan.
Di luar lingkaran orang-orang yang terkena dampak ini, ada sekumpulan besar orang yang tidak peduli, dan sama sekali tidak ingin terlibat. Alasannya sebenarnya jelas, mereka diuntungkan dengan pola kekerasan yang berlangsung di dalam media sekarang ini! Keuntungan ekonomis dan keutungan politis ada di depan mata orang-orang tersebut. Gejala ini memang mengakibatkan terciptanya iklim apatisme publik yang luar biasa besar. Semua bentuk ketidakpedulian dan keengganan seolah menyerbu ruang publik kita. Akibatnya terjauhnya adalah terciptanya individu-individu yang patuh dan mudah dikontrol (docile individual), baik secara politis, maupun diatur oleh produsen di bidang ekonomi.
Sampai batas mana hak privasi seseorang dilindungi di negeri ini akan diuji dalam kasus penahanan Nazril Irham. Penyanyi sekaligus pemusik yang lebih dikenal dengan nama Ariel “Peterpan” ini telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dalam kasus video porno. Sebagian publik mempertanyakan, jika dia hanya pelaku alias pemain, bukan penyebar video, kenapa harus dijerat?
Penahanan ini berlangsung di tengah kuatnya tekanan beberapa kelompok masyarakat agar Ariel bersama dua pesohor lainnya, yaitu Luna Maya dan Cut Tari, segera ditahan. Tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun ikut-ikutan mengomentari kasus ini. Kata Presiden, mereka bertiga seharusnya bisa dijerat dengan undang-undang yang ada.
Entah karena tekanan itu, atau lantaran memang sudah memiliki cukup bukti, polisi pun merespons. Setelah hampir sebulan kasus ini meledak, polisi memeriksa ketiga pesohor itu, lalu menahan Ariel. Ia dijerat dengan tiga undang-undang sekaligus: Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bukan tidak mungkin Luna Maya dan Cut Tari pun akan bernasib sama.
Saya berharap polisi memang benar-benar memiliki bukti kuat untuk menetapkan status tersangka dan melakukan penahanan. Bukti itu diperlukan karena polisi harus memenuhi syarat yang dituntut ketiga undang-undang itu. Syarat tersebut adalah, mereka terbukti sengaja membuat video porno untuk disebarkan ke publik.
Soal ini tercantum gamblang dalam penjelasan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Pornografi. Inti penjelasan itu adalah, pelaku tindak pornografi tak bisa dipidana bila mereka melakukannya untuk kepentingan pribadi. Semangat yang sama juga terlihat dalam Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Pasal 282 KUHP yang dituduhkan terhadap Ariel.
Dalam Pasal 27 UU Informasi, misalnya, jelas disebutkan bahwa yang bisa dijerat adalah mereka yang sengaja menyebarkan konten bermuatan pornografi. Senada dengan itu, Pasal 282 KUHP pun menyatakan bahwa yang bisa dijerat adalah mereka yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan konten pornografi di muka umum.
Syarat-syarat itulah yang harus bisa dipenuhi oleh polisi. Jika kelak tidak terbukti bahwa ketiga pesohor itu sengaja membuat video porno untuk disebarkan kepada publik, jerat hukum itu harus dilepaskan. Sebaliknya, bila memang mereka sengaja membuat video porno untuk konsumsi publik, selayaknya mereka dihukum.
Argumen bahwa mereka bisa dijerat karena lalai dalam menyimpan materi pornografi juga tak bisa diterima. Analoginya adalah, jika seseorang memiliki mobil, lalu mobil itu dicuri orang dan kemudian menyebabkan kecelakaan lalu lintas, maka pemiliknya tidak bersalah. Yang harus dihukum adalah pencuri mobil itu.
Pemahaman seperti itulah yang harus disosialisasi kepada publik. Kita boleh emosional melihat merebaknya konten pornografi di sekitar kita. Kasus Ariel dan dua pasangannya itu menunjukkan betapa berbahayanya bila konten pornografi tersebar luas tanpa kontrol. Tapi semangat mencegah penyebaran pornografi tetaplah harus dilakukan dengan melindungi hak privasi yang dijamin konstitusi.
BAMBANG SYAMSUZAR OYONG, SH
Komentar
Posting Komentar