perjanjian
A. Pacta Sunt Servanda
Dasar yang fundamental di dalam hukum perjanjian yang banyak dianut di berbagai negara adalah suatu azas yang berbunyi “Pacta sunt servanda” yang berarti “Janji harus ditepati”. Azas pacta sunt servanda ini kemudian muncul di berbagai peraturan hukum di semua bangsa yang berperadaban.
Pacta sunt servanda berasal dari bahasa Latin yang berarti “janji harus ditepati”, azas ini merupakan prinsip dasar sistem hukum civil law dan hukum internasional.[1] Pada umumnya, azas ini berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan di antara para individu, dengan menekankan bahwa perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya,[2] dan menyiratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan melanggar janji atau wanprestasi.
Prinsip umum perilaku yang baik dalam segala bidang terutama bidang komersial menyimpulkan adanya keadaan bona fide, yang merupakan persyaratan terciptanya keseluruhan sistim, sehingga ketidakpatuhan akan dijatuhi hukuman oleh undang-undang di beberapa negara terkadang meskipun tidak ada kerugian yang diderita oleh salah satu pihak.
Azas pacta sunt servanda juga terdapat di dalam perjanjian internasional, “setiap traktat adalah mengikat terhadap para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.[3] Selain fakta bahwa azas pacta sunt servanda bersama dengan azas itikad baik yang merupakan prinsip-prinsip yang dikenal secara universal (The Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969, Preambule para. 3), azas ini juga muncul pada Article 26:
“Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be
performed by them in good faith.”
Azas ini dapat diterjemahkan dengan formula sebagai berikut: “traktat adalah apa yang diinginkan oleh perancangnya dan hanya apa yang mereka inginkan dan karena mereka menginginkannya dengan cara mereka”.
Suatu pihak tidak boleh menggunakan ketentuan hukum internalnya sebagai alasan atas kegagalannya untuk memenuhi ketentuan traktat (Article 27). Pembatasan atas azas “pacta sunt servanda” ini terdapat dalam ketentuan tentang “peremptory norm of general international law” (atau jus cogens).
Akan tetapi, dalam kenyataan negara-negara mengharapkan bahwa traktat yang diadakan untuk lingkup tertentu, misalnya yang secara khusus berhubungan dengan perlindungan terhadap lingkungan, tidak secara kaku diterapkan oleh seluruh negara hanya berdasarkan azas “pacta sunt servanda”. Inilah sebabnya maka beberapa traktat yang dibentuk belakangan ini memuat kewajiban untuk bekerjasama dalam rangka memfasilitasi kepatuhan terhadap kewajiban yang ada pada traktat (lihat juga Article 8 The Ottawa Convention on the prohibition of landmines).
Professor Aziz T Saliba LLM dari Universidade de Itauna dan Faculdades de Direito do Oeste de Minas - Brazil menulis komentarnya yang berjudul Comparative Law Europe pada Contracts Law and Legislation Volume 8, Number 3 September 2001, menyatakan bahwa Pacta sunt servanda merupakan sakralisasi perjanjian (Sanctity of Contracts): Titik fokus dari hukum perjanjian adalah kebebasan berkontrak atau yang dikenal dengan prinsip otonomi, yang berarti bahwa dengan memperhatikan batasan hukum yang tepat, orang dapat mengadakan perjanjian apa saja sesuai dengan pilihannya; dan apabila mereka telah memutuskan untuk membuat perjanjian, mereka terikat dengan perjanjian tersebut. Kekuatan mengikat suatu perjanjian mempunyai akar religi. Old Testament, yang disakralkan oleh kaum kristiani dan Yahudi menyatakan: “Apabila seseorang berjanji kepada Tuhan atau mengambil sumpah untuk memenuhi kewajiban dengan suatu janji, maka ia tidak boleh mengingkari perkataannya dan haruslah ia melaksanakan apa yang telah dikatakannya“. Di dalam New Testament, terdapat perintah untuk mematuhi perkataan: “Apa yang kamu katakan ‘ya’, biarlah tetap ‘ya’ dan ‘tidak’ tetap ‘tidak’”.
Hal yang sama yang berkaitan dengan perjanjian dapat pula ditemui di dalam hukum Islam. Surat ke 5 Al Qur’an, yang dinamakan Surat Al Maidah yang sering pula dinamakan Surat tentang Perjanjian, dimulai dengan pernyataan: ”Hai orang-orang yang beriman! Tunaikan (semua) perjanjian”. Pernyataan ini ditemukan di dalam hukum Romawi: pacta sunt servanda ex fide bona: ” …janji harus di tepati dengan itikad baik.
•B. Rebus Sic Stantibus
Rebus sic stantibus. Pembatasan terhadap “kesucian perjanjian” disampaikan oleh ahli-ahli hukum kanonik pada Abad XII dan XIII. Menurut mereka dalam istilah Latin nya: contractus qui habent tractum succesivum et depentiam de future rebus sic stantibus intelliguntur. Ini dapat diterjemahkan menjadi:
“Perjanjian menentukan perbuatan selanjutnya untuk melaksanakannya pada masa yang akan datang harus diartikan tunduk kepada persyaratan bahwa lingkungan dan keadaan di masa yang akan datang tetap sama”.
Akan tetapi azas Rebus sic stantibus ini tidak boleh dicampuradukkan dengan force majeure. Keadaan Force majeure menyampingkan kewajiban pelaksanaan hanya apabila terjadi suatu keadaan yang tidak dapat dicegah (dan tidak dapat diduga). Dalam force majeure, pelaksanaan haruslah tidak dimungkinkan secara fisik dan secara hukum dan bukan semata-mata hanya karena lebih sulit untuk dilaksanakan. Dasar perbedaannya adalah, bahwa di dalam force majeure tidak termasuk kesulitan ekonomis bahkan juga ketidakmungkinan secara ekonomi.
Rebus sic stantibus pertamakali diterapkan oleh peradilan keagamaan. Hal tersebut kemudian diadopsi oleh pengadilan lain dan para ahli hukum dan konsep ini telah diterima secara luas pada akhir abad XVIII. Pada umumnya dalam sejarah perubahan hukum, penerimaan suatu konsep tertentu dalam hukum secara berangsur-angsur mengabur seiring dengan waktu. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Rosenn:
“Pada awal abad kelimabelas, popularitas teori rebus sic stantibus mulai memudar, sebagian karena adanya protes untuk kepentingan komersial terhadap meningkatkan ketidakamanan yang ditimbulkan oleh penerapan secara luas teori tersebut. Pada akhir abad delapanbelas, azas pacta sunt servanda mencapai puncaknya, dan teori rebus sic stantibus telah menghilang hanya mencadi doktrin yang usang. Yang ikut mendorong kepudarannya adalah munculnya positifisme saintifik, dan meningkatnya penekanan pada otonomi individual dan kebebasan berkontrak”.
Karena Liberalisme, yang merupakan aliran filsafat yang mendominasi di abad ke delapan belas, membawa ide baru yang tidak kompatibel dengan penerapan yang tegas dan terbatas dari prinsip rebus sic stantibus sebagaimana dikemukakan oleh para kanonis dan karena azas Pacta sunt servanda, dianggap sangat sesuai dengan konsep lasse faire, lassez passé maka kitab undang-undang yang dikeluarkan pada masa itu (Kode Napoleon dan Italian Civil Code) tidak mengadopsi konsep rebus sic stantibus.
Code Napoleon, secara umum, mencerminkan nilai-nilai burjuis. Karakteristik penting lainnya dari Kode Napoleon adalah bahwa ia memisahkan antara gereja dengan negara. Oleh karena itu, seperti dijelaskan di atas, rebus sic stantibus pada awalnya diterapkan oleh pengadilan gereja apabila dicurigai terjadi perzinahan, tidak sulit untuk dimengerti mengapa rebus sic stantibus dikeluarkan dari Kode Napoleon. Klausula yang menghalangi penerapan rebus sic stantibus dalam kontrak, yang tergantung kepada hukum Perancis, adalah Artikel 1134 Kode Napoleon yang berbunyi:
“Agreements legally made take the place of law for those who make them. They may be revoked only by mutual consent or for causes which the law authorizes. They must be executed in good faith.”
Setelah pecahnya Perang Dunia I, para ahli hukum Eropa mencari justifikasi teori untuk memberi kelonggaran kepada pemberi janji untuk melaksanakan kontrak yang sangat sulit dilaksanakan. Sebagai akibatnya, prinsip Rebus sic stantibus sekali lagi di daur ulang, dengan nama dan peraturan legislatif yang berbeda di berbagai negara, bersama dengan dasar justifikasi yang paralel.
•C. Penerapan di Indonesia
Perjanjian di Indonesia tunduk kepada KUHPerdata, di dalam Pasal 1338 KUHPerdata dinyatakan bahwa:
“Setiap persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup.
Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Pasal ini mencerminkan azas pacta sunt servanda yang diterapkan di dalam KUHPerdata Indonesia. Alinea kedua Pasal 1338 ini menyatakan bahwa perjanjian yang telah dibuat secara sah hanya dapat ditarik kembali apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup terdapat pada KUHPerdata mulai Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328, dan dilanjutkan pada Pasal 1446 sampai 1456.
Pengecualian atas azas pacta sunt servanda ini terdapat pada Pasal 1444 KUHPerdata yang berbunyi:
“Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya diberutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.”
Alinea pertama Pasal 1444 ini mencerminkan tunduknya perjanjian kepada ketentuan tentang force majeure yang diluar kendali para pihak dan tidak membebaskan pihak yang mempunyai kewajiban untuk tetap memberi penggantian kepada pihak yang berhak, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1445:
“Jika barang yang terutang, diluar salahnya di berutang, musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang yang mengutangkan padanya”.
Namun demikian pihak yang mempunyai hak tidak dapat menuntut hak yang lebih dari hak atau tuntutan ganti rugi yang ada pada pihak yang mempunyai kewajiban, hal ini sesuai dengan azas nemo plus juris yang berasal dari Hukum Romawi:
“Nemo plus juris as alium transfere potest quam ipse haberet”
Yaitu: tidak seorangpun yang dapat menyerahkan hak lebih daripada jumlah hak yang ada padanya.
Hal ini tidak mengherankan karena KUHPerdata yang berlaku di Indonesia adalah berasal dari KUHPerdata Belanda (Burgerlijk Wetboek), yang sebagai negara penganut sistem civil law sangat dipengaruhi oleh Hukum Romawi seperti juga negara-negara Eropah daratan lainnya. Pengaruhi ini sangat terlihat apabila kita bandingkan bunyi Pasal 1338 KUHPerdata dengan Artikel 1134 Kode Napoleon di atas.
•D. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam hukum perjanjian terdapat dua azas yang dianut yaitu azas Pacta sunt servanda dan azas Rebus sic stantibus.
Azas pacta sunt servanda sudah sejak lama berlaku di negara-negara yang menganut civil law, sedangkan azas Rebus sic stantibus muncul kembali setelah Perang Dunia I, disebabkan kesulitan yang timbul dalam melaksanakan perjanjian akibat terjadi perang yang memakan waktu lama dan membawa kerusakan di berbagai negara di Eropah. Indonesia yang mendapat warisan hukum perdata Belanda yang sangat dipengaruhi oleh hukum Romawi tidak menganut azas Rebus sic stantibus tetapi menganut azas Pacta sunt servanda.
Dasar yang fundamental di dalam hukum perjanjian yang banyak dianut di berbagai negara adalah suatu azas yang berbunyi “Pacta sunt servanda” yang berarti “Janji harus ditepati”. Azas pacta sunt servanda ini kemudian muncul di berbagai peraturan hukum di semua bangsa yang berperadaban.
Pacta sunt servanda berasal dari bahasa Latin yang berarti “janji harus ditepati”, azas ini merupakan prinsip dasar sistem hukum civil law dan hukum internasional.[1] Pada umumnya, azas ini berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan di antara para individu, dengan menekankan bahwa perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya,[2] dan menyiratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan melanggar janji atau wanprestasi.
Prinsip umum perilaku yang baik dalam segala bidang terutama bidang komersial menyimpulkan adanya keadaan bona fide, yang merupakan persyaratan terciptanya keseluruhan sistim, sehingga ketidakpatuhan akan dijatuhi hukuman oleh undang-undang di beberapa negara terkadang meskipun tidak ada kerugian yang diderita oleh salah satu pihak.
Azas pacta sunt servanda juga terdapat di dalam perjanjian internasional, “setiap traktat adalah mengikat terhadap para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.[3] Selain fakta bahwa azas pacta sunt servanda bersama dengan azas itikad baik yang merupakan prinsip-prinsip yang dikenal secara universal (The Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969, Preambule para. 3), azas ini juga muncul pada Article 26:
“Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be
performed by them in good faith.”
Azas ini dapat diterjemahkan dengan formula sebagai berikut: “traktat adalah apa yang diinginkan oleh perancangnya dan hanya apa yang mereka inginkan dan karena mereka menginginkannya dengan cara mereka”.
Suatu pihak tidak boleh menggunakan ketentuan hukum internalnya sebagai alasan atas kegagalannya untuk memenuhi ketentuan traktat (Article 27). Pembatasan atas azas “pacta sunt servanda” ini terdapat dalam ketentuan tentang “peremptory norm of general international law” (atau jus cogens).
Akan tetapi, dalam kenyataan negara-negara mengharapkan bahwa traktat yang diadakan untuk lingkup tertentu, misalnya yang secara khusus berhubungan dengan perlindungan terhadap lingkungan, tidak secara kaku diterapkan oleh seluruh negara hanya berdasarkan azas “pacta sunt servanda”. Inilah sebabnya maka beberapa traktat yang dibentuk belakangan ini memuat kewajiban untuk bekerjasama dalam rangka memfasilitasi kepatuhan terhadap kewajiban yang ada pada traktat (lihat juga Article 8 The Ottawa Convention on the prohibition of landmines).
Professor Aziz T Saliba LLM dari Universidade de Itauna dan Faculdades de Direito do Oeste de Minas - Brazil menulis komentarnya yang berjudul Comparative Law Europe pada Contracts Law and Legislation Volume 8, Number 3 September 2001, menyatakan bahwa Pacta sunt servanda merupakan sakralisasi perjanjian (Sanctity of Contracts): Titik fokus dari hukum perjanjian adalah kebebasan berkontrak atau yang dikenal dengan prinsip otonomi, yang berarti bahwa dengan memperhatikan batasan hukum yang tepat, orang dapat mengadakan perjanjian apa saja sesuai dengan pilihannya; dan apabila mereka telah memutuskan untuk membuat perjanjian, mereka terikat dengan perjanjian tersebut. Kekuatan mengikat suatu perjanjian mempunyai akar religi. Old Testament, yang disakralkan oleh kaum kristiani dan Yahudi menyatakan: “Apabila seseorang berjanji kepada Tuhan atau mengambil sumpah untuk memenuhi kewajiban dengan suatu janji, maka ia tidak boleh mengingkari perkataannya dan haruslah ia melaksanakan apa yang telah dikatakannya“. Di dalam New Testament, terdapat perintah untuk mematuhi perkataan: “Apa yang kamu katakan ‘ya’, biarlah tetap ‘ya’ dan ‘tidak’ tetap ‘tidak’”.
Hal yang sama yang berkaitan dengan perjanjian dapat pula ditemui di dalam hukum Islam. Surat ke 5 Al Qur’an, yang dinamakan Surat Al Maidah yang sering pula dinamakan Surat tentang Perjanjian, dimulai dengan pernyataan: ”Hai orang-orang yang beriman! Tunaikan (semua) perjanjian”. Pernyataan ini ditemukan di dalam hukum Romawi: pacta sunt servanda ex fide bona: ” …janji harus di tepati dengan itikad baik.
•B. Rebus Sic Stantibus
Rebus sic stantibus. Pembatasan terhadap “kesucian perjanjian” disampaikan oleh ahli-ahli hukum kanonik pada Abad XII dan XIII. Menurut mereka dalam istilah Latin nya: contractus qui habent tractum succesivum et depentiam de future rebus sic stantibus intelliguntur. Ini dapat diterjemahkan menjadi:
“Perjanjian menentukan perbuatan selanjutnya untuk melaksanakannya pada masa yang akan datang harus diartikan tunduk kepada persyaratan bahwa lingkungan dan keadaan di masa yang akan datang tetap sama”.
Akan tetapi azas Rebus sic stantibus ini tidak boleh dicampuradukkan dengan force majeure. Keadaan Force majeure menyampingkan kewajiban pelaksanaan hanya apabila terjadi suatu keadaan yang tidak dapat dicegah (dan tidak dapat diduga). Dalam force majeure, pelaksanaan haruslah tidak dimungkinkan secara fisik dan secara hukum dan bukan semata-mata hanya karena lebih sulit untuk dilaksanakan. Dasar perbedaannya adalah, bahwa di dalam force majeure tidak termasuk kesulitan ekonomis bahkan juga ketidakmungkinan secara ekonomi.
Rebus sic stantibus pertamakali diterapkan oleh peradilan keagamaan. Hal tersebut kemudian diadopsi oleh pengadilan lain dan para ahli hukum dan konsep ini telah diterima secara luas pada akhir abad XVIII. Pada umumnya dalam sejarah perubahan hukum, penerimaan suatu konsep tertentu dalam hukum secara berangsur-angsur mengabur seiring dengan waktu. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Rosenn:
“Pada awal abad kelimabelas, popularitas teori rebus sic stantibus mulai memudar, sebagian karena adanya protes untuk kepentingan komersial terhadap meningkatkan ketidakamanan yang ditimbulkan oleh penerapan secara luas teori tersebut. Pada akhir abad delapanbelas, azas pacta sunt servanda mencapai puncaknya, dan teori rebus sic stantibus telah menghilang hanya mencadi doktrin yang usang. Yang ikut mendorong kepudarannya adalah munculnya positifisme saintifik, dan meningkatnya penekanan pada otonomi individual dan kebebasan berkontrak”.
Karena Liberalisme, yang merupakan aliran filsafat yang mendominasi di abad ke delapan belas, membawa ide baru yang tidak kompatibel dengan penerapan yang tegas dan terbatas dari prinsip rebus sic stantibus sebagaimana dikemukakan oleh para kanonis dan karena azas Pacta sunt servanda, dianggap sangat sesuai dengan konsep lasse faire, lassez passé maka kitab undang-undang yang dikeluarkan pada masa itu (Kode Napoleon dan Italian Civil Code) tidak mengadopsi konsep rebus sic stantibus.
Code Napoleon, secara umum, mencerminkan nilai-nilai burjuis. Karakteristik penting lainnya dari Kode Napoleon adalah bahwa ia memisahkan antara gereja dengan negara. Oleh karena itu, seperti dijelaskan di atas, rebus sic stantibus pada awalnya diterapkan oleh pengadilan gereja apabila dicurigai terjadi perzinahan, tidak sulit untuk dimengerti mengapa rebus sic stantibus dikeluarkan dari Kode Napoleon. Klausula yang menghalangi penerapan rebus sic stantibus dalam kontrak, yang tergantung kepada hukum Perancis, adalah Artikel 1134 Kode Napoleon yang berbunyi:
“Agreements legally made take the place of law for those who make them. They may be revoked only by mutual consent or for causes which the law authorizes. They must be executed in good faith.”
Setelah pecahnya Perang Dunia I, para ahli hukum Eropa mencari justifikasi teori untuk memberi kelonggaran kepada pemberi janji untuk melaksanakan kontrak yang sangat sulit dilaksanakan. Sebagai akibatnya, prinsip Rebus sic stantibus sekali lagi di daur ulang, dengan nama dan peraturan legislatif yang berbeda di berbagai negara, bersama dengan dasar justifikasi yang paralel.
•C. Penerapan di Indonesia
Perjanjian di Indonesia tunduk kepada KUHPerdata, di dalam Pasal 1338 KUHPerdata dinyatakan bahwa:
“Setiap persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup.
Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Pasal ini mencerminkan azas pacta sunt servanda yang diterapkan di dalam KUHPerdata Indonesia. Alinea kedua Pasal 1338 ini menyatakan bahwa perjanjian yang telah dibuat secara sah hanya dapat ditarik kembali apabila ada kesepakatan para pihak. Sedangkan alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup terdapat pada KUHPerdata mulai Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328, dan dilanjutkan pada Pasal 1446 sampai 1456.
Pengecualian atas azas pacta sunt servanda ini terdapat pada Pasal 1444 KUHPerdata yang berbunyi:
“Jika barang tertentu yang menjadi bahan persetujuan, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya diberutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.”
Alinea pertama Pasal 1444 ini mencerminkan tunduknya perjanjian kepada ketentuan tentang force majeure yang diluar kendali para pihak dan tidak membebaskan pihak yang mempunyai kewajiban untuk tetap memberi penggantian kepada pihak yang berhak, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1445:
“Jika barang yang terutang, diluar salahnya di berutang, musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak atau tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang yang mengutangkan padanya”.
Namun demikian pihak yang mempunyai hak tidak dapat menuntut hak yang lebih dari hak atau tuntutan ganti rugi yang ada pada pihak yang mempunyai kewajiban, hal ini sesuai dengan azas nemo plus juris yang berasal dari Hukum Romawi:
“Nemo plus juris as alium transfere potest quam ipse haberet”
Yaitu: tidak seorangpun yang dapat menyerahkan hak lebih daripada jumlah hak yang ada padanya.
Hal ini tidak mengherankan karena KUHPerdata yang berlaku di Indonesia adalah berasal dari KUHPerdata Belanda (Burgerlijk Wetboek), yang sebagai negara penganut sistem civil law sangat dipengaruhi oleh Hukum Romawi seperti juga negara-negara Eropah daratan lainnya. Pengaruhi ini sangat terlihat apabila kita bandingkan bunyi Pasal 1338 KUHPerdata dengan Artikel 1134 Kode Napoleon di atas.
•D. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam hukum perjanjian terdapat dua azas yang dianut yaitu azas Pacta sunt servanda dan azas Rebus sic stantibus.
Azas pacta sunt servanda sudah sejak lama berlaku di negara-negara yang menganut civil law, sedangkan azas Rebus sic stantibus muncul kembali setelah Perang Dunia I, disebabkan kesulitan yang timbul dalam melaksanakan perjanjian akibat terjadi perang yang memakan waktu lama dan membawa kerusakan di berbagai negara di Eropah. Indonesia yang mendapat warisan hukum perdata Belanda yang sangat dipengaruhi oleh hukum Romawi tidak menganut azas Rebus sic stantibus tetapi menganut azas Pacta sunt servanda.
Komentar
Posting Komentar